54 TROBOS April 2009 Oleh: Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis-IPB (MB-IPB) Peningkatan Daya Saing Peternakan dengan Manajemen Rantai Pasokan Pemasaran produk-produk peternakan di Indonesia mengalami transformasi sangat cepat sebagai respon adanya peningkatan pendapatan, perubahan gaya hidup, industrialisasi, globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang begitu cepat. Globalisasi dan industrialisasi yang demikian cepat itu telah menciptakan “konsumen- konsumen baru” dengan tuntutan yang semakin kompleks terkait dengan produk-produk peternakan. Konsumen tidak hanya menilai jenis dan harga produk semata, tetapi menuntut atribut yang lebih rinci lagi seperti atribut keamanan produk (safety attributes), atribut nutrisi (nutritional attributes), atribut nilai (value attributes), atribut pengepakan (package attributes), atribut lingkungan (ecolabel attributes) dan atribut kemanusiaan (humanistic attributes). Bahkan aspek kesejahteraan hewan (animal welfare) menjadi persyaratan baru. Pada intinya, konsumen menuntut produk yang murah, cepat dan berkualitas. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan juga mengubah peta perdagangan produk-produk peternakan di dunia. Peranan perusahaan-perusahaan multinasional semakin besar dalam pasar domestik melalui outlet-outlet supermarket dan hypermarket yang mereka kembangkan. Keberadaan supermarket dan hypermarket menuntut adanya standarisasi dan grading yang berlaku di seluruh dunia. Hal ini merupakan akibat dari perkembangan Information, Communication Technology (ICT) yang demikian cepat sehingga aliran transaksi dan informasi pasar diantara para pelaku pasar berjalan dengan sangat pesat dan hambatan lokasi serta waktu bisa diminimalisasi. Sumber-sumber pertumbuhan utama industri peternakan dikenal dengan sebutan revolusi peternakan, revolusi supermarket dan revolusi putih. Ketiga sumber pertumbuhan tersebut tidak bisa terealisasikan dengan baik jika daya saing produk peternakan tidak bisa secara terus menerus ditingkatkan. Daya saing produk peternakan ini erat kaitannya dengan peningkatan nilai tambah (value added) yang sangat tergantung oleh integrasi sistem, mulai dari subsistem hulu sampai dengan subsistem hilir. Daya saing produk peternakan tidak hanya ditentukan oleh kinerja peternakan (“on farm activities”) itu sendiri, tetapi ditentukan pula oleh kinerja keseluruhan rantai (“on farm and off farm activities”). Pendekatan Supply Chain Management (SCM) diyakini oleh para akademisi, para peneliti, kalangan bisnis dan birokrat mampu mengintegrasikan setiap rantai distribusi dari produsen, pengolah, pedagang besar dan eceran, yang menjamin adanya kualitas yang sangat baik, kuantitas yang sesuai kebutuhan, waktu pengiriman sebagaimana yang dijanjikan dan adanya kesinambungan dengan menganut prinsip minimalisasi biaya dalam operasionalisasinya. SCM dan Daya Saing Produk Peternakan Brown (2002) mendefinisikan Supply Chain Management (SCM) sebagai “a combination of different arrangements occurring between various business entities involved in the production, procurement, processing, and marketing of a product or products. The arrangements include aspects of marketing, economics, logistics and organizational behaviour”. Penerapan SCM menuntut industri untuk (a) memenuhi kepuasan konsumen, (b) mengembangkan produk tepat waktu, (c) mengeluarkan biaya yang rendah dalam bidang persediaan dan penyerahan produk, serta (d) mengelola industri secara cermat dan fleksibel. Kondisi ini menunjukkan bahwa SCM merupakan metode untuk mendapatkan manfaat yang kompetitif (competitive advantage) bagi industri peternakan dalam memberikan pelayanan yang cepat dengan variasi produk peternakan yang tinggi dan biaya (cost) yang rendah, sehingga industri peternakan bisa tetap bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat. Pentingnya penerapan SCM pada industri peternakan ini didasarkan alasan bahwa selama ini keterkaitan setiap subsistem yang terlibat pada umumnya masih tersekat-sekat, sehingga sulit untuk bersaing di pasar yang penuh dengan persaingan. Hal ini bisa dilihat dari terpisahnya operasionalisasi subsistem hulu sampai dengan subsistem hilir. Subsistem banyak diperankan oleh pengusaha dalam skala produksi kecil dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat. SCM pada industri peternakan bisa diterapkan secara maksimal dengan memperbaiki beberapa kekurangan yang menghambat sistem ini. Yaitu dengan mentransformasikan struktur yang tersekat dan terpisah tersebut kepada struktur integrasi