1 ANALISIS PENILAIAN SAHAM PT HOLCIM INDONESIA TBK UNTUK KEPENTINGAN GO PRIVATE Oleh : Rizki Arief Nugroho 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada tahun 2008, sejumlah pelaku pasar dikejutkan dengan adanya isu go private 1 yang akan dilakukan oleh PT Holcim Indonesia, Tbk. (dalam uraian selanjutnya, sebagian besar akan disebut Holcim). Berita tersebut dimuat dalam Harian Investor Daily tanggal 11 Februari 2008 dengan judul ―Holcim Indonesia Akan Go Private.‖ Banyak pelaku pasar yang kemudian tergiur untuk mengumpulkan saham Holcim (SMCB). Berita go private tersebut kemudian dibantah oleh Holcim melalui suratnya kepada Kepala Divisi Pencatatan Sektor Riil Bursa Efek Indonesia nomor 0103/LCA.Dir/II/2008 yang kemudian diumumkan oleh Bursa Efek Indonesia pada Pengumuman Keterbukaan Informasi No.Peng-109/BEI.PSR/KI/02-2008. Laporan keuangan Holcim tahun 2007 yang diaudit oleh KAP Earnst & Young mencatat defisit sebesar Rp7,56 trilyun. Hal ini bisa jadi merupakan salah satu alasan manajemen Holcim membantah isu go private yang diberitakan tersebut, karena tidak mungkin bagi Holcim untuk melakukan aksi korporasi berupa go private dalam keadaan neraca Holcim mencatat nilai defisit. Defisitnya neraca Holcim disebabkan oleh hantaman krisis ekonomi di Indonesia dan di 1 Go Private adalah perubahan status dari perusahaan yang terbuka menjadi perusahaan tertutup (Widjaja, 2009,71). sejumlah negara di Asia Pasifik pada pertengahan tahun 1997 2 yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian akibat rugi selisih kurs yang sangat besar, sehingga tidak mampu membayar utangnya. Defisit tersebut kemudian berangsur-angsur pulih karena perusahaan berhasil menyelesaikan restrukturisasi utangnya pada tahun 2001 dan mampu memperbaiki kinerja usaha dan pembiayaan secara signifikan setelah diakuisisi oleh Holcim, Ltd. Pada tahun 2008, neraca Holcim mencatat defisit sebesar Rp5,18 trilyun, turun sebesar Rp2,38 trilyun dibandingkan dengan defisit tahun 2007. Defisit tersebut kemudian kembali turun sebesar Rp895 miliar pada tahun 2009 menjadi Rp4,288 trilyun dan berakhir pada angka Rp3,98 trilyun pada pertengahan tahun 2010. Kinerja keuangan Holcim telah meningkat secara signifikan dan Holcim mampu membukukan laba bersih selama lima tahun berturut-turut, walaupun laba bersih tersebut masih terus menutup defisit yang disebabkan oleh krisis dan restrukturisasi utang. Pada akhir tahun 2010, Holcim melakukan kuasi reorganisasi sesuai dengan PSAK No.51 (Revisi 2003) menggunakan neraca tanggal 30 2 Pada saat itu PT Holcim Indonesia, Tbk. masih bernama PT Semen Cibinong, Tbk. Pada tahun 2001 77,33 persen saham PT Semen Cibinong, Tbk. diakuisisi oleh Holcim, Ltd. perusahaan semen terbesar kedua dari Swiss melalui anak perusahaannya.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
ANALISIS PENILAIAN SAHAM PT HOLCIM INDONESIA TBK
UNTUK KEPENTINGAN GO PRIVATE
Oleh : Rizki Arief Nugroho
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pada tahun 2008, sejumlah pelaku pasar
dikejutkan dengan adanya isu go private1 yang
akan dilakukan oleh PT Holcim Indonesia, Tbk.
(dalam uraian selanjutnya, sebagian besar akan
disebut Holcim). Berita tersebut dimuat dalam
Harian Investor Daily tanggal 11 Februari 2008
dengan judul ―Holcim Indonesia Akan Go
Private.‖ Banyak pelaku pasar yang kemudian
tergiur untuk mengumpulkan saham Holcim
(SMCB). Berita go private tersebut kemudian
dibantah oleh Holcim melalui suratnya kepada
Kepala Divisi Pencatatan Sektor Riil Bursa Efek
Indonesia nomor 0103/LCA.Dir/II/2008 yang
kemudian diumumkan oleh Bursa Efek Indonesia
pada Pengumuman Keterbukaan Informasi
No.Peng-109/BEI.PSR/KI/02-2008.
Laporan keuangan Holcim tahun 2007 yang
diaudit oleh KAP Earnst & Young mencatat
defisit sebesar Rp7,56 trilyun. Hal ini bisa jadi
merupakan salah satu alasan manajemen Holcim
membantah isu go private yang diberitakan
tersebut, karena tidak mungkin bagi Holcim
untuk melakukan aksi korporasi berupa go
private dalam keadaan neraca Holcim mencatat
nilai defisit.
Defisitnya neraca Holcim disebabkan oleh
hantaman krisis ekonomi di Indonesia dan di
1 Go Private adalah perubahan status dari
perusahaan yang terbuka menjadi perusahaan
tertutup (Widjaja, 2009,71).
sejumlah negara di Asia Pasifik pada
pertengahan tahun 19972 yang menyebabkan
perusahaan mengalami kerugian akibat rugi
selisih kurs yang sangat besar, sehingga tidak
mampu membayar utangnya. Defisit tersebut
kemudian berangsur-angsur pulih karena
perusahaan berhasil menyelesaikan
restrukturisasi utangnya pada tahun 2001 dan
mampu memperbaiki kinerja usaha dan
pembiayaan secara signifikan setelah diakuisisi
oleh Holcim, Ltd.
Pada tahun 2008, neraca Holcim mencatat
defisit sebesar Rp5,18 trilyun, turun sebesar
Rp2,38 trilyun dibandingkan dengan defisit tahun
2007. Defisit tersebut kemudian kembali turun
sebesar Rp895 miliar pada tahun 2009 menjadi
Rp4,288 trilyun dan berakhir pada angka Rp3,98
trilyun pada pertengahan tahun 2010. Kinerja
keuangan Holcim telah meningkat secara
signifikan dan Holcim mampu membukukan laba
bersih selama lima tahun berturut-turut,
walaupun laba bersih tersebut masih terus
menutup defisit yang disebabkan oleh krisis dan
restrukturisasi utang.
Pada akhir tahun 2010, Holcim melakukan
kuasi reorganisasi sesuai dengan PSAK No.51
(Revisi 2003) menggunakan neraca tanggal 30
2 Pada saat itu PT Holcim Indonesia, Tbk. masih
bernama PT Semen Cibinong, Tbk. Pada tahun
2001 77,33 persen saham PT Semen Cibinong,
Tbk. diakuisisi oleh Holcim, Ltd. perusahaan
semen terbesar kedua dari Swiss melalui anak
perusahaannya.
2
Juni 2010 yang disetujui oleh para pemegang
saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham
Luar Biasa (RUPSLB) yang diselenggarakan pada
tanggal 17 Desember 2010. Kuasi reorganisasi ini
dimaksudkan agar neraca konsolidasi Holcim
menunjukkan posisi keuangan yang lebih baik
tanpa dibebani defisit masa lampau. Kuasi
reorganisasi yang dilakukan Holcim dipenghujung
tahun 2010 tersebut menghasilkan surplus
sebesar Rp47 miliar.
Dengan adanya kondisi neraca yang sehat
setelah dilakukannya kuasi reorganisasi dan
didukung oleh kinerja keuangan yang luar biasa,
seperti penjualan bersih (net sales), earning
before interest, taxes, depreciation and
amortization (EBITDA), laba bersih (net income)
yang terus meningkat secara signifikan dan debt
to equity ratio yang juga terus menurun secara
signifikan, isu go private Holcim menjadi marak
diperbincangkan kembali khususnya di kalangan
praktisi pasar modal. Beberapa pihak
menganggap bahwa kuasi reorganisasi yang
dilakukan pada tahun 2010 lalu merupakan
langkah awal yang dilakukan Holcim sebelum go
private.
Sampai saat ini, baik Bapepam-LK maupun
Bursa Efek Indonesia belum memiliki peraturan
khusus yang mengatur prosedur dan mekanisme
go private. Peraturan yang selama ini dijadikan
acuan dalam melaksanakan go private adalah
peraturan mengenai benturan kepentingan dan
peraturan mengenai penawaran tender (tender
offer). Kedua peraturan ini meliputi peraturan
Bapepam-LK dan peraturan yang dikeluarkan
oleh Bursa Efek Indonesia. Di samping itu, proses
go private juga harus mengacu pada Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas.
Peraturan Bapepam-LK mengenai benturan
kepentingan mewajibkan suatu transaksi yang
mengandung benturan kepentingan mendapat
persetujuan pemegang saham independen
melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Apabila rencana go private telah disetujui oleh
para pemegang saham independen, maka harus
dilakukan penawaran tender (tender offer) oleh
pemegang saham perusahaan untuk membeli
saham yang dimiliki oleh pemegang saham
publik.
Harga penawaran tender, berdasarkan
peraturan Bapepam-LK, harus lebih tinggi dari
(1) harga penawaran tender sukarela tertinggi
yang diajukan sebelumnya oleh pihak yang sama
dalam jangka waktu 180 hari sebelum
pengumuman, (2) harga rata-rata dari harga
tertinggi perdagangan harian di Bursa Efek
selama 90 hari terakhir sebelum pengumuman,
(3) harga rata-rata dari harga tertinggi pada
perdagangan harian di Bursa Efek dalam waktu
12 bulan terakhir yang dihitung mundur dari hari
perdagangan terakhir atas saham dimaksud,
dalam hal saham dan/atau waran perusahaan
sasaran tidak diperdagangkan di Bursa Efek
dalam jangka waktu 90 hari terakhir sebelum
pengumuman, dan (4) harga wajar yang
ditetapkan oleh penilai, dalam hal penawaran
tender sukarela dilakukan atas saham dan/atau
waran perusahaan sasaran yang tidak tercatat di
Bursa Efek. Sementara itu, Peraturan BEJ No. I-
1, mengisyaratkan bahwa harga penawaran
tender sekurang-kurangnya harus sama dengan
harga tertinggi dari (1) harga nominal, (2) harga
tertinggi di pasar reguler selama dua tahun
terakhir sebelum pemberitahuan RUPS setelah
memperhitungkan faktor penyesuaian akibat
perubahan nilai nominal sejak dua tahun
terakhir hingga RUPS yang menyetujui delisting,
3
ditambah premi berupa tingkat pengembalian
investasi selama dua tahun yang diperhitungkan
sebesar harga perdana saham dikali rata-rata
tingkat bunga SBI satu bulan dalam periode tiga
bulan atau tingkat bunga obligasi pemerintah
lain yang setara yang berlaku pada saat
ditetapkannya putusan RUPS mengenai delisting,
dan (3) nilai wajar berdasarkan penilaian Penilai
Independen.
Terlepas dari peraturan Bapepam-LK Nomor
IX.F.1 dan peraturan BEJ No. I-1 yang di
dalamnya mengatur harga penawaran tender,
Holcim dihadapkan pada pertanyaan, pada harga
berapa Holcim harus melepas sahamnya jika
hendak Go Private, karena pada kenyatannya
harga saham Holcim yang diperdagangkan di
Bursa Efek adalah harga pasar yang terbentuk
melalui mekanisme bid and offer yang belum
tentu secara tepat mencerminkan harga wajar
saham Holcim. Cara terbaik untuk menjawab
pertanyaan tersebut adalah dengan mengetahui
nilai wajar (nilai intrinsik) saham melalui proses
penilaian, karena setiap aset, termasuk saham
mempunyai nilai tersendiri dan nilai tersebut
dapat diukur.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini selain ditujukan untuk
memahami konsep penilaian saham, juga
ditujukan untuk memberikan gambaran
mengenai nilai intrinsik saham Holcim.
Gambaran tersebut dapat dijadikan
pertimbangan oleh Holcim dalam kegiatan
penawaran tender (tender offer) untuk
kepentingan go private dan untuk menilai
apakah nilai pasar saham Holcim telah sesuai
dengan nilai intrinsiknya.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat bagi banyak pihak, antara
lain, sebagai berikut:
1. Manfaat bagi perusahaan (Holcim) yaitu
sebagai bahan pertimbangan dan gambaran
umum mengenai harga wajar saham yang
sebaiknya ditawarkan kepada pemegang
saham publik apabila akan melakukan Tender
Offer untuk kepentingan go private.
2. Manfaat bagi dunia akademis, penelitian ini
diharapkan dapat menjadi tambahan
pengetahuan dan memperkaya penelitian
mengenai penilaian saham sehingga dapat
membantu penelitian selanjutnya.
2. LANDASAN TEORI
2.1. Pendahuluan
Setelah mendapatkan persetujuan
pemegang saham independen (publik), suatu
perusahaan yang hendak melakukan go private
diharuskan untuk membeli seluruh saham yang
dimiliki oleh publik tersebut melalui suatu
mekanisme yang dinamakan penawaran tender
(tender offer), untuk kemudian delisting dari
bursa. Sebelum menentukan harga yang akan
ditawarkan kepada pemegang saham publik pada
saat dilakukannya penawaran tender,
perusahaan harus melakukan analisis terhadap
nilai wajar sahamnya yang diperjualbelikan di
bursa. Hal ini mutlak harus dilakukan, di
samping ketentuan Bapepam-LK dan Bursa Efek
Indonesia, harga pasar saham perusahaan yang
diperjualbelikan di bursa belum tentu
mencerminkan nilai wajar saham perusahaan
tersebut. Saham perusahaan bisa saja dinilai
lebih tinggi (over valued), lebih rendah (under
valued), atau wajar (fairly priced) oleh pasar.
Dengan diketahuinya nilai wajar saham,
4
perusahaan akan lebih mudah menentukan harga
yang pantas ditawarkan kepada publik dan
meminimalisir risiko-risiko yang mungkin timbul
akibat tidak dilakukannya penilaian atas nilai
wajar saham, seperti dikeluarkannya dana yang
lebih besar dari yang semestinya akibat
penentuan harga saham yang terlalu tinggi, atau
gagalnya proses go private karena publik
menolak harga yang ditawarkan perusahaan yang
disebabkan oleh penentuan harga yang terlalu
rendah.
2.2. Pendekatan penilaian saham.
Ada beberapa pendekatan yang dapat
digunakan untuk menilai nilai intrinsik suatu
saham, namun yang lebih dikenal adalah
pendekatan menggunakan analisis teknikal dan
analisis fundamental.
Analisis teknikal (technical analysis)
merupakan suatu teknik analisis yang
menggunakan data atau catatan mengenai pasar
itu sendiri untuk berusaha mengakses
permintaan dan penawaran suatu saham
tertentu atau pasar secara keseluruhan.
Pendekatan analisis ini menggunakan data pasar
yang dipublikasikan, seperti: harga saham,
volume perdagangan, indeks harga saham
gabungan dan individu, serta faktor-faktor lain
yang bersifat teknis (Sunariyah 2011, 166).
Sasaran yang ingin dicapai pada pendekatan ini
adalah ketepatan waktu dalam memprediksi
pergerakan harga (price movement) jangka
pendek suatu saham maupun suatu indikator
pasar. Analisis teknikal adalah metode analisis
berdasarkan pergerakan harga saham sesuai
dengan kemungkinan teknis dari historikal data
statistik pergerakannya pada jangka waktu
tertentu (Tryfino 2009, 18).
Analisa fundamental adalah studi tentang
ekonomi, industri, dan kondisi perusahaan untuk
memperhitungkan nilai dari saham perusahaan
(Kodrat dan Indonanjaya 2010, 203). Analisa
fundamental menitikberatkan pada data-data
kunci laporan keuangan untuk memperhitungkan
apakah harga saham sudah diapresiasi secara
akurat.
Darmadji dan Fakhruddin (2011, 149)
mendefinisikan analisis fundamental sebagai
berikut:
―Analisis fundamental merupakan salah
satu cara untuk melakukan penilaian
saham dengan mempelajari atau
mengamati berbagai indikator yang
terkait dengan kondisi makro ekonomi
dan kondisi industri suatu perusahaan
hingga berbagai indikator keuangan dan
manajemen perusahaan”.
Dengan demikian, analisis fundamental
merupakan analisis yang berbasis pada berbagai
data riil untuk mengevaluasi atau memproyeksi
nilai suatu saham (Darmadji dan Fakhruddin
2011, 149).
Menurut Halim (2005, 21), analisis
fundamental menyatakan bahwa saham memiliki
nilai intrinsik (nilai yang seharusnya) tertentu.
Analisis fundamental membandingkan nilai
intrinsik suatu saham dengan harga pasarnya
guna menentukan apakah harga pasar saham
tersebut sudah mencerminkan nilai intrinsiknya
atau belum. Nilai intrinsik suatu saham
ditentukan oleh faktor-faktor fundamental yang
mempengaruhinya.
2.3. Metode penilaian saham.
Para analis banyak mempergunakan
berbagai model mulai dari yang sederhana
hingga yang sangat kompleks dalam rangka
melakukan valuasi (penilaian). Model-model
tersebut didasarkan pada asumsi yang berbeda-
beda, tetapi ada karakteristik yang berlaku
5
secara umum sehingga dapat dilakukan
pengklasifikasian.
Menurut Damodaran (2002, 13) secara
umum terdapat tiga pendekatan dalam penilaian
saham, yaitu Discounted Cash Flow (DCF)
valuation, Relative Valuation dan Contingent
Claim Valuation. Sementara itu, menurut
Murhadi (2009, 10), secara umum ada dua
pendekatan untuk melakukan valuasi saham
yakni (1) Discounted Cash Flow (DCF) Valuation,
yang menghubungkan suatu asset terhadap
present value (nilai saat ini) dari harapan arus
kas di masa yang akan datang dari aset tersebut
dan (2) Relative Valuation, mengestimasi nilai
asset dengan melihat pada harga dari
comparable asset (aset yang dapat
diperbandingkan) dengan relatif terhadap
variabel umum lainnya seperti earnings
(pendapatan), arus kas, book value (nilai buku
aset), ataupun penjualan. Dalam penelitian ini,
metode yang akan digunakan adalah metode
discounted cash flow dan relative valuation.
2.3.1. Discounted cash flow (DCF).
Pendekatan penilaian DCF didasarkan
pada aturan present value, di mana nilai suatu
aset adalah merupakan nilai saat ini dari arus
kas yang diharapkan pada masa yang akan
datang (Murhadi 2009, 11). Persamaan umum
DCF adalah sebagai berikut:
𝑽𝒂𝒍𝒖𝒆 = 𝑪𝑭𝒕
( 𝟏 + 𝒓 )𝒕
𝒕=𝒏
𝒕=𝟏
di mana:
n = umur aset
CFt = arus kas pada periode t
r = tingkat diskonto yang mencerminkan
risiko dari arus kas yang akan datang
2.3.1.1. Proyeksi Laporan Keuangan.
Dasar pemikiran metode discounted cash
flow (DCF) adalah nilai sekarang (present value)
atas arus kas yang diharapkan diperoleh dari
investasi atau aktiva pada masa yang akan
datang. Untuk dapat menghitung nilai sekarang
atas arus kas tersebut, maka terlebih dahulu
harus dilakukan proyeksi atas laporan keuangan.
Proyeksi tersebut harus memperhatikan analisis
ekonomi makro, analisis industri, dan analisis
perusahaan yang telah dilakukan sebelumnya
dalam rangkaian top-down approach analisis
fundamental. Asumsi-asumsi yang dibutuhkan
dibuat dengan melihat kinerja keuangan di masa
lalu (Ivalandari, 2010).
2.3.1.2. Estimasi parameter risiko.
Dalam estimasi parameter risiko
didapatkan seluruh biaya modal (cost of capital)
yang meliputi cost of equity dan cost of debt.
Cost of equity berfungsi sebagai unsur pembagi
(denominator) pada perhitungan nilai sekarang
(present value) dalam model valuasi Free Cash
Flow to Equity (FCFE). Sementara itu, weighted
average cost of capital (WACC) yang merupakan
perpaduan antara cost of equity dan cost of
debt merupakan unsur pembagi pada
perhitungan nilai sekarang dalam model valuasi
Free Cash Flow to the Firm (FCFF). Karena
penelitian ini menggunakan model valuasi FCFE,
maka pembahasan akan dibatasi pada cost of
equity saja.
Biaya ekuitas (cost of equity) adalah
tingkat pengembalian yang disyaratkan oleh
investor sebagai konsekuensi atas investasi pada
saham perusahaan (Murhadi 2009, 49).
Pendekatan yang biasa digunakan untuk
melakukan estimasi Cost of equity adalah
pendekatan capital asset pricing model (CAPM)
(Satya 2010, 19). CAPM mengukur risiko dalam
kondisi variance yang tidak terdiversifikasi dan
berhubungan dengan tingkat pengembalian yang
diharapkan terhadap risiko atas pengukuran
tersebut. Risiko yang tidak terdiversifikasi ini
dapat diukur dengan beta (β). Beta inilah yang
6
digunakan untuk memperkirakan cost of equity.
Rumus cost of equity adalah sebagai berikut:
Ke = Rf + β (Rm – Rf)
di mana:
Ke = biaya ekuitas (cost of equity)
Rf = tingkat bunga bebas risiko (risk free rate)
β = faktor risiko spesifik perusahaan (beta)
Rm = tingkat bunga investasi rata-rata dari pasar (market rate)
2.3.1.3. Model Valuasi DCF.
Discounted cash flow (DCF) method
memiliki beberapa model, yaitu (1) dividend
discount model (DDM), (2) Free Cash Flow to
Equity (FCFE) dan (3) Free Cash Flow to the
Firm (FCFF). Adapun model DCF yang digunakan
dalam penelitian ini adalah FCFE (Free Cash
Flow to Equity).
Dalam penilaian model FCFE, arus kas
yang digunakan adalah arus kas yang tersedia
untuk ekuitas dan bukan untuk seluruh penyedia
modal. Berbeda dengan model FCFF, di mana
model FCFF (Free Cash Flow to the Firm)
merupakan keseluruhan aliran kas (cash flow)
yang ditujukan kepada semua pihak yang
memiliki klaim (claim holder) terhadap
perusahaan (Murhadi 2009, 133). Pihak-pihak
tersebut adalah (1) pemegang saham biasa
(share original), (2) pemberi pinjaman (kreditur)
(3) pemegang obligasi, dan (4) pemegang saham
preferen (share preference). Berikut ini
persamaan untuk mencari nilai FCFE:
FCFE = Net Income – (Capital Expenditure – Depresiasi) – (Perubahan dalam Working capital) + (Jumlah utang baru – pembayaran utang lama)
2.3.2. Relative valuation.
Tidak seperti model DCF yang berusaha
mencari nilai intrinsik, relative valuation lebih
ditekankan kepada pasar (market). Relative
valuation bertujuan untuk menilai aset suatu
perusahaan dengan melihat kondisi dimana aset
lain yang sejenis dihargai di pasar. Dalam
relative valuation, nilai suatu aset diturunkan
dari harga aset yang diperbandingkan,
distandarisasi dengan menggunakan variabel
umum seperti earnings, cash flow, book value
ataupun revenues. Dalam penelitian ini, relative
valuation dilakukan dengan menggunakan (1)
model valuasi berbasis earnings (menggunakan
Price Earning Ratio – P/ER), (2) model valuasi
berbasis nilai buku (menggunakan Price to Book
Value – PBV) dan (3) model valuasi berbasis
revenue (menggunakan Price to Sales Ratio –
PSR).
3. Industri Semen
3.1. Sekilas industri semen.
Industri semen dikategorikan sebagai
industri kimia anorganik. Bahan baku utama
industri semen diperoleh dari sumber daya alam
yang tidak dapat diperbaharui kembali, yaitu
batu kapur sebagai bahan baku utama, dan
tanah liat, pasir silika, pasir besi, batubara dan
gypsum sebagai bahan baku lainnya. Pengolahan
industri semen memerlukan dukungan modal
yang besar, peralatan modern, dan kebutuhan
energi yang padat. Sumber bahan baku tersebut
tersebar luas di berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, semen merupakan komoditi yang
biaya angkutnya tergolong tinggi. Oleh karena
itu, semen mendapat prioritas sebagai industri
strategis dalam negeri, agar kebutuhan semen
dalam negeri dapat diatasi tanpa harus
melalukan impor dari luar negeri.
Industri semen merupakan industri padat
modal, padat energi, padat teknologi, dan
memerlukan kecakapan manajerial yang tinggi.
Padat modal, karena per ton semen memerlukan
investasi baru sekitar US$150—200. Industri
semen merupakan industri padat energi, karena
7
proses produksinya memerlukan energi panas
800—900 kkal/ton klinker dan energi listrik 110—
220 kwh/ton semen. Industri semen merupakan
industri padat teknologi, karena semen adalah
campuran senyawa anorganik berupa bubuk
padat dari gypsum, batu kapur, tanah liat, dan
pasir besi yang proses produksinya melalui
pembakaran 1.000o C sampai dengan 1.500o C.
Proses produksi semen memerlukan dukungan
peralatan modern dan riset yang berkelanjutan
agar didapatkan skema produksi yang lebih
efisien dan efektif.
Semen sendiri merupakan salah satu
komoditi strategis yang sangat penting dalam
rangka menunjang perekonomian nasional
melalui pembangunan infrastruktur dan
perumahan, gedung serta fasilitas umum
lainnya. Ketersediaan infrastruktur merupakan
komponen penting dalam upaya meningkatkan
daya saing nasional, terutama pembangunan
industri. Selain itu, semen juga diperlukan untuk
bahan baku industri barang dari semen seperti
ubin, batako, pot, genting, pipa beton
bertulang, konblok, lembaran beton, gorong-
gorong, pipa pembuangan, buis (cincin sumur),
tiang pancang, bantalan beton rel kereta api,
tiang listrik, dan lainnya
Saat ini terdapat sembilan produsen
semen nasional yang umumnya memproduksi
semen Portland, disusul Portland Pozzolan, dan
Semen Campur/komposit dengan kapasitas
produksi sebesar 53 juta ton/tahun. Lokasi
kesembilan produsen berada di pulau Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa
Tenggara. Sementara itu, pendistribusian semen
dapat dilakukan hingga ke seluruh pelosok tanah
air karena didukung oleh unit pengantongan
(packing plant) yang berada di berbagai wilayah
pemasaran.
Sampai dengan tahun 2010, terdapat
sembilan produsen semen yang beroperasi di
Indonesia. Lima perusahaan di antaranya
merupakan produsen semen milik pemerintah,
yaitu Semen Gresik Group yang menguasai
43,26% pangsa pasar semen, sedangkan empat
perusahaan lainnya dimiliki oleh swasta, yaitu
Indocement yang menguasai 30,86% pangsa
pasar, Holcim Indonesia yang menguasai 13,65%
pangsa pasar, dan produsen semen lainnya yang
terbagi atas Semen Andalas, Semen Baturaja,
Semen Bosowa, dan Semen Kupang, menguasai
12,24% pangsa pasar. Dilihat dari penguasaan
pangsa pasar tersebut terdapat tiga pelaku pasar
utama dalam industri semen yaitu Semen Gresik
(SMGR), Indocement (INTP) dan Holcim Indonesia
(SMCB). Berdasarkan struktur pasar tersebut,
pasar semen di Indonesia adalah pasar oligopoli.
3.2. Struktur biaya produksi semen.
Struktur biaya di industri semen sangat
rentan terhadap perubahan harga bahan bakar
(batubara) yang mengikuti harga internasional.
Selain batubara, biaya bahan baku dan listrik
merupakan komponen biaya yang memiliki porsi
yang besar. Ketiga jenis biaya ini merupakan
komponen utama dalam proses produksi semen.
Adapun stuktur biaya produksi semen,
sebagaimana dikutip dari Kementerian
Perindustrian (2010, 10) dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1 Struktur Biaya Industri Semen
Uraian Proporsi (%)
Pengadaan Bahan Baku 30
Batubara 27
Listrik 13
Tenaga Kerja 15
Pemeliharaan 8
Kemasan 7
Sumber: Kementerian Perindustrian (2010, 10)
3.3. Kesempatan dan hambatan.
Rumitnya masalah pembebasan lahan
terus menghambat rencana pembangunan
infrastruktur oleh pemerintah. Untuk
8
mengatasinya, pada tahun 2010 pemerintah
membuat rancangan undang-undang yang pada
intinya mencabut hak kepemilikan lahan oleh
perorangan dan mengizinkan pembebasan lahan
secara paksa untuk pembangunan fasilitas-
fasilitas umum. Apabila undang-undang tersebut
berhasil ditetapkan, maka manajemen optimis
bahwa proyek Kementerian Pekerjaan Umum
untuk periode 2010—2014 dengan total anggaran
sebesar Rp400 trilyun (50% dialokasikan untuk
pembangunan jalan), dapat mulai berjalan pada
tahun 2011. Di samping itu, Pemerintah juga
memiliki rencana pembangunan jangka panjang
yang disebut dengan Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) 2011—2025 dengan total investasi
sebesar Rp1.672,8 trilyun. Proyek-proyek
tersebut (Tabel 2), merupakan peluang bagi
perusahaan untuk menambah kapasitas produksi
dan meningkatkan penjualan pada tahun-tahun
mendatang.
Tabel 2 Rencana Pembangunan MP3EI
No Jenis Proyek Nilai Investasi
(Rp Miliar)
1 Bandara 20.675
2 Bendungan 2.606
3 Pelabuhan dan Dermaga 115.995
4 Jalan Tol 227.092
5 Jembatan 154.175
6 Kanal Banjir 4.900
7 MRT 79.100
8 Pembangkit Listrik 353.414
9 Lain-lain 714.914
Total Investasi 1.672.872
Sumber: Diolah dari Daftar Proyek MP3EI
Lingkungan maupun perubahan iklim
tetap menjadi persoalan penting yang harus
selalu dihadapi perusahaan. Faktor yang menjadi
kendala di dalam negeri sepanjang tahun 2010
adalah kondisi alam yang tidak menentu.
Perubahan suhu laut sebagai efek La Nina
menyebabkan musim hujan berlangsung lebih
lama dan mengganggu industri pertambangan,
khususnya batubara sehingga pada akhirnya
mengganggu aktivitas di sektor konstruksi.
Namun, risiko kenaikan harga batubara yang
diakibatkan oleh kondisi alam tersebut untuk
sementara dapat ditangani dengan adanya
kontrak pasokan batubara dengan harga bersaing
untuk beberapa tahun ke depan.
4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Industri Semen
4.1.1. Kapasitas produksi semen.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun
2005, kapasitas produksi semen nasional
mencapai 46,090 juta ton per tahun. Kapasitas
tersebut turun 1,2 juta ton menjadi 44,89 juta
ton pada tahun 2006. Sampai dengan tahun
2008, tidak terjadi perubahan jumlah kapasitas
produksi semen. Namun pada tahun 2009 terjadi
peningkatan kapasitas produksi semen sebesar
7,43%, sehingga total kapasitas produksi semen
nasional pada tahun 2009 adalah sebesar 48,227
juta ton. Peningkatan kapasitas produksi semen
tersebut meningkat kembali pada tahun 2010, di
mana terdapat tambahan kapasitas terpasang
sebesar 4,783 juta ton semen.
Tabel 3 Kapasitas Produksi Semen Per Perusahaan 2005—2010
diperoleh dari Kementerian Perdagangan hanya berupa data harga semen maksimum dan minimum per bulan dan per provinsi, bukan data harga semen secara detail, sehingga nilai rata-rata tidak dapat dicari. Sementara itu, digunakannya harga semen di wilayah Pulau Jawa adalah karena 57% dari total konsumsi semen nasional berasal dari wilayah tersebut
atas, diperoleh proyeksi harga pasar semen
sebagaimana tercantum pada Tabel 10.
Tabel 10 Proyeksi Harga Semen 2011—2015
Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Harga Pasar Semen (Rp/Sak)
55.624 58.127 60.743 63.172 65.383
Sumber: Dari Hasil Pengolahan Data
4.2. Penilaian Saham
4.2.1. Metode Discounted Cash Flow (DCF).
4.2.1.1. Proyeksi laporan keuangan.
a. Asumsi dasar proyeksi laporan keuangan.
Asumsi-asumsi yang digunakan sebagai
dasar penyusunan proyeksi laporan keuangan
Holcim periode 2011 sampai dengan 2015 adalah
sebagai berikut:
1) Kebijakan Pemerintah dalam industri semen
dan kebijakan Holcim diasumsikan tidak
mengalami perubahan yang dapat
mempengaruhi kinerja perusahaan baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik
signifikan maupun tidak signifikan.
2) Kondisi sosial dan politik negara diasumsikan
stabil, sehingga tidak memiliki dampak yang
signifikan terhadap kinerja keuangan Holcim.
3) Akun-akun yang berkaitan dengan penjualan
akan diproyeksikan berdasarkan rata-rata
weighted moving average (WMA) commonsize
(rasio) akun tersebut terhadap penjualan
pada periode historis (2006—2010) dikali
dengan proyeksi penjualan untuk tiap tahun
proyeksi (2011—2015).
4) Akun-akun yang tidak berkaitan dengan
penjualan akan diproyeksikan berdasarkan
rata-rata weighted moving average (WMA)
commonsize akun tersebut terhadap akun
lain pada periode historis (2006—2010) yang
diperkirakan berkaitan, rata-rata weighted
moving average (WMA) growth masing-
masing akun tersebut pada periode historis
13
(2006—2010) atau diproyeksikan berdasarkan
pertimbangan lain yang logis.
5) Perhitungan rata-rata menggunakan
weighted moving average (WMA), yaitu
pemberian bobot paling besar pada tahun
yang paling akhir dan bobot paling kecil pada
tahun yang paling awal untuk data time
series. Hal ini dilakukan karena rata-rata
WMA diasumsikan lebih mewakili kondisi
kekinian lingkungan internal maupun
eksternal perusahaan dibandingkan dengan
rata-rata aritmetika biasa.
b. Proyeksi penjualan.
Penjualan Holcim terbagi menjadi tiga
jenis, yaitu penjualan semen, beton jadi (ready
mix concrete), dan agregat. Penjualan semen
dan beton jadi sendiri merupakan gabungan dari
penjualan Holcim Indonesia dan anak
perusahaannya, Holcim Malaysia (Holcim Sdn.
Bhd). Dalam melakukan proyeksi penjualan
untuk masing-masing jenis penjualan tersebut,
digunakan dua pendekatan yang berbeda. Untuk
penjualan semen, proyeksi dilakukan dengan
mempertimbangkan kapasitas produksi, tingkat
utilisasi pabrik, estimasi produksi dan estimasi
harga. Asumsi-asumsi yang dibangun terkait
dengan kapasitas produksi, tingkat utilisasi,
estimasi produksi dan estimasi harga untuk
memproyeksikan penjualan semen tahun 2011
sampai dengan 2015 adalah sebagai berikut:
(1) Seluruh semen yang diproduksi terjual, baik
dalam bentuk penjualan domestik maupun
ekspor.
(2) Tidak ada perbedaan harga jual, baik
penjualan kepada pihak hubungan istimewa,
maupun kepada pihak ketiga (konsumen).
(3) Kapasitas produksi semen tidak mengalami
perubahan sampai dengan tahun 2012, yaitu
sebesar 8,3 juta ton (Holcim Indonesia) dan
1,2 juta ton (Holcim Malaysia). Adapun pada
tahun 2013 terdapat peningkatan kapasitas
produksi sebesar 1,3 juta ton (Holcim
Indonesia), sehingga total kapasitas
terpasang pada tahun 2013—2015 adalah 10
juta ton (Holcim Indonesia) dan 1,2 juta ton
(Holcim Malaysia).
(4) Utilisasi pabrik yang dipergunakan adalah
rata-rata weighted moving average tingkat
utilisasi tahun 2006 sampai dengan 2010.
Tingkat utilisasi tersebut diasumsikan tidak
berubah pada tahun 2011 sampai dengan
2015, yaitu 64,67% untuk Holcim Indonesia
dan 43,32% untuk Holcim Malaysia.
(5) Produksi semen (dalam satuan ton) diperoleh
dari hasil kali kapasitas produksi dengan
tingkat utilisasi.
(6) Harga jual semen per sak untuk tahun
proyeksi (2011—2015) diestimasikan
berdasarkan perkiraan harga jual semen per
sak tahun sebelumnya (lihat Lampiran 15)
ditambah dengan tingkat inflasi yang
diperkirakan pada tahun tersebut
sebagaimana tercantum pada Tabel 9 pada
bagian analisis industri semen. Estimasi
harga jual semen per sak tidak boleh
melebihi estimasi harga jual pasar per sak,
sebagaimana telah dijabarkan pada analisis
industri.
Tabel 11 Estimasi Harga Jual (Harga Pabrik) Semen Holcim
Tahun 2011 2012 2013 2014 2015
Harga Jual Semen (Rp/Sak) 42.822,99 44.750,02 46.763,77 48.634,32 50.336,53
Sumber: Diolah berdasarkan data ASI dan Laporan Keuangan Holcim
14
Penjualan beton jadi (ready mix
concrete) dan penjualan agregat pada tahun
2011 sampai dengan tahun 2015 diasumsikan
sebesar rata-rata (2006—2010) porsi masing-
masing terhadap total penjualan. Rata-rata
weighted moving average porsi penjualan beton
jadi dan agregat masing-masing adalah sebesar
13,78% dan 0,72%. Porsi tersebut diasumsikan
tidak berubah selama masa proyeksi (2011—
2015). Dengan menggunakan porsi sebagai dasar
perhitungan, maka penjualan semen, beton jadi,
dan agregat masing-masing memiliki growth
yang sama pada masa proyeksi. Berdasarkan
asumsi-asumsi yang telah disebutkan di atas,
proyeksi penjualan Holcim pada tahun 2011
sampai dengan 2015 adalah sebagaimana terlihat
pada Tabel 12.
Tabel 12 Proyeksi Penjualan Holcim 2011—2015
TAHUN PENJUALAN
SEMEN (Juta Rp)
PENJUALAN AGREGAT (Juta Rp)
PENJUALAN BETON JADI (Juta
Rp)
TOTAL PENJUALAN
(Juta Rp) GROWTH
Porsi Rata-rata 85,5% 0,72% 13,78% 100%
2011 5.042.198 42.564 812.349 5.897.111 -1,06%
2012 5.269.097 44.480 848.905 6.162.481 4,50%
2013 6.534.391 55.161 1.052.756 7.642.308 24,01%
2014 6.795.766 57.367 1.094.867 7.948.000 4,00%
2015 7.033.618 59.375 1.133.187 8.226.180 3,50%
Sumber: Dari hasil pengolahan data
4.2.1.2. Perhitungan tingkat diskonto.
Sebelum dilakukan perhitungan nilai
intrinsik saham menggunakan model FCFE,
terlebih dahulu harus dicari tingkat diskonto
yang akan dipergunakan sebagai unsur pembagi
(denominator) pada perhitungan nilai sekarang
(present value – PV) atas nilai arus kas bebas
yang diperoyeksikan untuk masing-masing tahun
proyeksi. Untuk model FCFE, tingkat diskonto
yang digunakan adalah cost of equity (Ke).
Cost of equity (Ke) adalah tingkat
pengembalian yang diinginkan investor atas
investasi ekuitas pada suatu perusahaan.
Pendekatan yang umumnya digunakan untuk
menghitung cost of equity adalah dengan
menggunakan model Capital Asset Pricing Model
(CAPM) dengan rumus sebagai berikut:
Ke = Rf + β (Rm – Rf)
a. Risk free rate (Rf).
Risk Free Rate (Rf) diasumsikan diambil
dari BI Rate pada akhir tahun 2010, yaitu sebesar
6,5%. Pertimbangan dalam menggunakan BI Rate
sebesar 6,5% tersebut adalah sebagai berikut:
a) BI Rate pada akhir tahun 2010 sebesar 6,5%
tersebut lebih menggambarkan kondisi
kekinian dibandingkan menggunakan rata-
rata BI Rate sejak tahun 2006 sampai dengan
tahun 2010.
b) Sejak bulan Agustus 2009, Bank Indonesia
telah menetapkan besarnya BI Rate sebesar
6,5% dan tetap bertahan sampai akhir bulan
Desember tahun 2010.
c) Dengan asumsi bahwa pemerintah berhasil
menahan laju inflasi sebagaimana sasaran
yang telah ditetapkan, maka Bank Indonesia
akan tetap menahan BI Rate pada kisaran
6,5% untuk beberapa tahun ke depan.
b. Beta (β).
Beta (β) merupakan indikator sensitivitas
pergerakan harga saham dibandingkan dengan
pasar. Dalam penelitian ini, nilai beta diperoleh
dari hasil regresi return harian IHSG terhadap
15
return harian saham Holcim tahun 2006 sampai
dengan 2010 menggunakan Microsoft Office
Excel. Baik data IHSG maupun saham Holcim,
keduanya diperoleh dari Yahoo Finance. Dari
hasil regresi tersebut diperoleh nilai beta
sebesar 1,263.
c. Market risk premium (Rm – Rf)
Dalam menentukan Market Risk Premium
(MRP), penelitian ini menggunakan MRP yang
diterbitkan oleh Aswath Damodaran, Stern
School of Business New York University tahun
2010, yaitu sebesar 6,07%. Dipilihnya MRP dari
pihak akademisi tersebut karena diasumsikan
akan lebih obyektif dan tidak mengandung unsur
komersial. Dari data di atas, dengan
menggunakan model CAPM diketahui bahwa nilai
cost of equity yang akan digunakan dalam proses
valuasi pada penelitian ini adalah sebesar 14,17%
dengan rincian sebagaimana tercantum pada
Tabel 13.
Tabel 13 Cost of Equity
Risk Free (%) β Rm-Rf (MRP) Cost Of Equity
6,5% 1,263 6,07% 14,17%
Sumber: Dari Hasil Pengolahan Data
4.2.1.3. Perhitungan nilai saham menggunakan
model FCFE dua tahap
a. Perhitungan FCFE 2 tahap (Two Stage FCFE).
Berdasarkan nilai laba bersih (net income),
capital expenditure, depresiasi, perubahan non-
cash working capital, total liabilities, dan total