PENGHULU NEGARA DAN PENGHULU NON-NEGARA: Kontestasi Otoritas dalam Penyelenggaraan Perkawinan di Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa Barat Oleh: ALFARABI, S.H.I NIM: 1120310063 TESIS Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga YOGYAKARTA 2013
81
Embed
PENGHULU NEGARA DAN PENGHULU NON-NEGARA: …digilib.uin-suka.ac.id/12234/2/BAB I, V, DAFTAR PUSTAKA.pdf · G. Vocal Pendek yang berurutan dalam ... Program Pascasarjana UIN Sunan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGHULU NEGARA DAN PENGHULU NON-NEGARA: Kontestasi Otoritas dalam Penyelenggaraan Perkawinan di Desa
Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa Barat
Oleh: ALFARABI, S.H.I NIM: 1120310063
TESIS
Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga
YOGYAKARTA 2013
i
PENGHULU NEGARA DAN PENGHULU NON-NEGARA: Kontestasi Otoritas dalam Penyelenggaraan Perkawinan di Desa
Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa Barat
Oleh: ALFARABI, S.H.I NIM: 1120310063
TESIS
Diajukan kepada Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh
Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga
YOGYAKARTA 2013
vii
ABSTRAK Pelembagaan hukum pencatatan perkawinan merupakan peran aktif
Negara dalam bidang administrasi hukum Islam guna penertiban dan penjaminan kepastian hukum bagi setiap pasangan dalam perkawinan. Upaya ini selanjutnya direpresentasikan oleh penghulu KUA yang ditunjuk oleh Negara sebagai aktor tunggal dalam pencatatan perkawinan. Penunjukkan penghulu KUA sebagai pemangku otoritas tunggal ini berbanding lurus dengan miningkatnya kesadaran masyarakat untuk menyelenggarakan perkawinan secara tercatat, namun dalam kasus tertentu masih terdapat praktek perkawinan tidak tercatat sebagai alternatif di samping perkawinan tercatat. Praktek perkawinan tidak tercatat ini dapat ditemukan dalam praktek kawin kyai di tengah masyarakat Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat. Praktek ini menunjukkan eksistensi penghulu non-Negara sebagai alternatif di samping penghulu yang ditunjuk Negara dalam penyelenggaraan perkawinan. Selanjutnya, bagaimana peran dan eksistensi pegawai pencatat pernikahan/penghulu yang ditunjuk Negara dan ‘ulama setempat di mata masyarakat Sinarrancang? Dan bagaimana masyarakat melihat otoritas penghulu yang ditunjuk Negara dan para ‘ulama atau kyai dalam penyelesaian masalah keluarga di desa setempat?
Untuk menjawab rumusan pertanyaan tersebut dilakukan penelusuran data yang terdiri dari data dokumen terkait, observasi langsung terhadap praktek kawin kyai, dan interview terhadap aktor kepenghuluan dan pelaku kawin kyai secara purposive dengan teknik bola salju (snowballing), yaitu meneliti informan kunci dan digulirkan kepada informan lainnya. Selanjutnya, data-data tersebut diolah secara kualitatif dan dianalisis dengan menggunakan teori praktek dari Pierre Bourdieu dengan rumusan: (Habitus X Modal) + Ranah = Praktek. Habitus direpresentasikan oleh aktor penghulu, baik Negara maupun non-Negara; modal mencakup modal simbolik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki oleh setiap habitus; dan ranah merepresentasikan arena penyelenggaraan perkawinan. Berdasarkan metode dan teori yang digunakan tersebut, penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam penelitian hukum Islam sebagai pranata sosial dengan pendekatan normatif-sosiologis.
Akhirnya, melalui metodologi tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa, pertama, eksistensi institusi kepenghuluan, penghulu Negara dan penghulu non-Negara, didasarkan pada sumber otoritas yang berbeda. Penghulu Negara didasarkan pada peraturan perundang-undangan sedangkan penghulu non-Negara didasarkan pada kharisma individu dan tradisi setempat. Selanjutnya perbedaan sumber otoritas ini melahirkan relasi yang berbeda dengan masyarakat, di mana penghulu non-Negara menjadi pilihan alternatif di samping penghulu Negara sebagai pemangku otoritas tunggal penyelenggaraan perkawinan. Kedua, dengan menggunakan kerangka teori praktek, terlembaganya praktek kawin kyai secara alternatif di Sinarrancang dapat dijelaskan sebagai wujud kontestasi antara penghulu Negara dan penghulu non-Negara dalam ranah penyelenggaraan perkawinan yang ditopang oleh modal masing-masing. Demikianlah dapat disimpulakan bahwa terlembaganya praktek kawin kyai merepresentasikan kontestasi antara penghulu Negara dan penghulu non-Negara. Kata kunci: Penghulu Negara, penghulu non-Negara, dan kontestasi otoritas.
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agam RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543b/U/1987, tanggal 22
Januari 1988.
A. Konsonan Tunggal
Huruf
Arab Nama Huruf Latin Keterangan
Alif Tidak dilambangkan Tidak dilambangkan
ba B Be
ta T Te
s\a s\ Es (dengan titik di atas)
ji>m J Je
h}a>’ h{ ha(dengan titik di bawah)
kha>’ Kh Dan dan ha
da>l D De
z\a>l z\ Zet (dengan titik di atas)
ra>’ R Er
zai Z Zet
sin S Es
syin Sy Es dan ye
sa>d s} Es ( dengan titik di bawah)
da>d d} De (dengan titik di bawah)
t}a>’ t} Te (dengan ttitik di bawah)
z}a’ z{ Zet (dengan titik di bawah)
‘ain ‘ Koma terbalik dari atas
gain G Ge
fa> F Ef
qa>f Q Qi
ka>f K Ka
ix
la>m L ’el
mi>m M ’em
nu>n N ’en
wa>wu> W W
ha>’ H Ha
Hamzah ’ Apostrof
ya> Y Ye
B. Kosonan Rangkap Karena Syahddah Ditulis Rangkap
Ditulis Muta‘adiddah
Ditulis ‘iddah
C. Ta’ Marbutah diakhir kata
1. Bila dimatikan ditulis h.
Ditulis h}ikmah
Ditulis ‘illah
(ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang suadah terserap
dalam bahasa indonesia, seperti salat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya)
2. Bila diikuti denagan kata sandang ’al’ seta bacaaan kedua itu terpisah
maka ditulis dengan h.
Ditulis Kara>mah al-auliya >’
3. Bila ta’ marbu>t}ah hidup atau dengan harakat fath}ah, kasrah dan
d}ammah ditulis t atau h.
x
Dituliis Zaka>h al-fit}ri
D. Vocal pendek
ـ Fath}ah Ditulis A
Ditulis Fa‘ala
Kasrah Ditulis I
Ditulis Zukira
D}ammah Ditulis U
Ditulis yaz\habu
E. Vocal Panjang
1 Fath}ah + Alif Ditulis a>
Ditulis ja>hiliyyah
2 Fath}ah +ya’mati Ditulis Ai
Ditulis tansa>
3 Kasrah + ya’mati Ditulis i>
Ditulis kari>m
4 D}ammah + wawu mati Ditulis u>
Ditulis furu>d}
F. Vocal Rangkap
1 Fath}ah + ya’mati Ditulis Ai
2 Ditulis Bainakum
3 Fath}ah + wawu mati Ditulis Au
4 Ditulis Qaul
G. Vocal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof
Ditulis A’antum
Ditulis U‘iddat
xi
Ditulis La’in syakartum
H. Kata Sandang Alif +Lam
1. Bila diikuti huruf Qomariyyah dituis menggunakn huruf ”l”.
Ditulis Al-Qur‘a>n
Ditulis Al-Qiya>s
2. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis denagan mengunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, denagan mengilangkan huruf l(el)nya.
Ditulis As-Sama>’
Ditulis Asy-Syams
I. Penyusunan kata-kat dalam rangkian kalimat
Ditulis menurut penyusunannya.
Ditulis Z}awi al-furu>d}
Ditulis Ahl as-sunnah
xii
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang pantas terucap untuk pertama kalinya selain rasa syukur
kita kehadirat Ila>hi dengan sifat Rahma>n dan Rahi>m-Nya sehingga kita bisa terus
melakukan berbagai aktifitas sampai hari ini, terutama terealisasinya penyusunan
TESIS ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad Saw. yang telah membimbing umatnya di jalan yang benar dengan
berpegang teguh pada syari’at Islam.
Tesis ini disusun untuk memenuhi tugas akhir yang diberikan oleh
Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga sekaligus sebagai salah satu syarat
yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Magister Hukum Islam.
Terlaksananya penyusunan tesis ini adalah berkat bantun dosen pembimbing serta
bantuan berbagai pihak, maka dari itu penyusun mengucapkan ucapan terimakasih
kepada:
1. Bpk. Prof. Dr. H. Khoiruddin Nasution, M.A., selaku Direktur Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
2. Bpk. Syafik Mahmadah dan Bpk. Kholid Zulfa selaku Ketua dan
Sekertaris jurusan al-Ahwal asy-Syakhiyah
3. Ibu Euis Nurlaelawati, MA., Ph.D., selaku pembimbing yang selalu
memotivasi, memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis
ini.
xiv
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI .......................................................... iii
PENGESAHAN ............................................................................................. iv
2. Relasi antara Penghulu Negara dan Penghulu non-Negara
di tengah Masyarakat Sinarrancang ....................................134
B. Saran .........................................................................................137
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................138
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Biografi Ulama/Tokoh .......................................................................... I
Tabel Pernikahan di Empat RT (II, V, VII, dan X) .............................. V
Dokumentasi Gambar ...................................................................... XVI
Pedoman Wawancara ........................................................................ XX
Daftar Riwayat Hidup ..................................................................... XXI
Tabel Perkara Masuk di Pengadilan Sumber
Kabupaten Cirebon ................................................... Tidak ada halaman
Surat Izin .................................................................. Tidak ada halaman
Bukti Wawancara ..................................................... Tidak ada halaman
Peta Kawasan ........................................................... Tidak ada halaman
Gambar 1 Bagan/Skema Teoritis Pierre Bourdieu, 23.
Gambar 2 Kerangka Teoritis Penelitian yang Diadopsi dari Teori Bourdieu, 24.
Gambar 3 Bagan “Pancalang Lima” dan Mancanegara Kesultanan Palembang, 40.
Gambar 4 Bagan Kesinambungan dan Perubahan Institusi Kepenghuluan, 50.
Gambar 5 Tabel Jumlah Penduduk Menurut Usia dan Pendidikan, 60.
Gambar 6 Tabel Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian, 62.
Gambar 7 Tabel Jumlah Sarana Peribadatan, 63.
Gambar 8 Bagan Struktur Organisasi KUA Kecamatan Mundu, 68.
Gambar 9 Tabel Data Nikah KUA Kecamatan Mundu Periode 2006-2013, 68.
Gambar 10 Kerangka Teoritis Penelitian yang diadopsi dari Teori Bourdieu, 108.
xix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
Gambar 1 Bagan/Skema Teoritis Pierre Bourdieu, 23.
Gambar 2 Kerangka Teoritis Penelitian yang Diadopsi dari Teori Bourdieu, 24.
Gambar 3 Bagan “Pancalang Lima” dan Mancanegara Kesultanan Palembang, 40.
Gambar 4 Bagan Kesinambungan dan Perubahan Institusi Kepenghuluan, 50.
Gambar 5 Tabel Jumlah Penduduk Menurut Usia dan Pendidikan, 60.
Gambar 6 Tabel Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian, 62.
Gambar 7 Tabel Jumlah Sarana Peribadatan, 63.
Gambar 8 Bagan Struktur Organisasi KUA Kecamatan Mundu, 68.
Gambar 9 Tabel Data Nikah KUA Kecamatan Mundu Periode 2006-2013, 68.
Gambar 10 Kerangka Teoritis Penelitian yang diadopsi dari Teori Bourdieu, 108.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa Agama dan Negara merupakan dua entitas
yang menarik dan unik untuk dibahas. Daya tarik dan keunikan ini bermuara pada
pembahasan tentang relasi yang terjalin antara keduanya. Dalam konteks
Indonesia, keunikan ini terlihat dalam peran dan fungsi yang dimainkan oleh
Negara dalam pemberlakuan hukum Islam bagi kalangan umat Islam. Dalam hal
ini, Negara sejak awal telah berperan aktif dengan mengatur ketentuan tentang
perkawinan—khususnya tentang pencatatan—di dalam peraturan perundang-
undangan.1 Selanjutnya, fungsi Negara di bidang pencatatan diperankan oleh
penghulu di kantor urusan agama (selanjutnya disingkat KUA) di seluruh
Indonesia. Pada tataran ini, penghulu merupakan ujung tombak Negara yang
merepresentasikan peran aktif Negara dalam mengemban tugas kepenghuluan di
bidang perkawinan.
Status penghulu sebagai ujung tombak Negara dalam urusan hukum
perkawinan menggambarkan hubungan yang erat antara Negara dengan Agama.
Relasi ini menempatkan penghulu di satu sisi sebagai agen Negara dengan segala
peran dan fungsinya dan di sisi lain menjadi panutan masyarakat dalam bidang
hukum perkawinan. Dengan istilah lain, penghulu merepresentasikan pejabat
sekaligus ulama. 1 Peran aktif Negara dalam pencatatan perkawinan tertuang dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, di antaranya: UU. No. 22 Tahun 1946, UU. Nomor 32 Tahun 1954, UU. No. 1 Tahun 1974, dan KHI. Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Pedoman Penghulu, (Jakarta: Depag, 2008), hlm. 9.
1
2
Peran penghulu sebagai ulama berbanding lurus dengan konteks
masyarakat Islam yang sering mengidentifikasikan ulama sebagai ahli waris para
Nabi (wara>s|ah al-anbiya>’).2 Dalam hal ini, masyarakat telah akrab dengan
keberadaan sosok penghulu dengan tugas keulamaan. Namun perlu dicatat bahwa
peran aktif negara dalam mengakomodir peran dan fungsi kepenghuluan
(keulamaan) perlu menyeimbangkan antara kewenangan Negara untuk melakukan
penertiban kehidupan masyarakat melalui penerapan syariah dan tingkat
kebebasan pribadi yang harus dipertahankan dan tidak diterobos oleh kekuasaan
negara.3 Dengan batasan ini, relasi yang terjalin antara Agama dengan Negara
diharapkan tidak berbenturan.
Adapun tugas keulamaan yang diemban oleh penghulu adalah tugas
keulamaan di bidang perkawinan. Melalui tugas yang spesifik ini, penghulu
dibedakan dengan ulama yang secara mandiri berdiam dan membina masyarakat.
Dalam kaintannya dengan pembagian ulama berdasarkan tugas atau fungsi ini,
Ibnu Qoyim Isma’il membaginya menjadi dua kategori: ulama bebas atau ulama
yang kedudukan peran sosialnya berada di jalur ad-da’wah wa at-tarbiyyah dan
ulama pejabat yang berada di jalur at-tasyri>’ wa al-qada’> (penghulu). Dengan
demikian bisa dipahami bahwa penghulu merupakan ulama pejabat Negara di
bidang hukum Islam yang merepresentasikan relasi yang erat antara Negara
dengan Agama.
2 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai penghulu Jawa perannya di masa kolonial, Cet. 1, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997), hlm. 61. 3. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet. ke-1 (Jakarta, RM Books:
2007), hlm 9.
3
Dalam catatan sejarah, keberadaan penghulu dengan peran dan fungsi yang
melekat padanya telah ada sejak lama di nusantara, secara terperinci: 1) Pada era
pra-kolonial institusi kepenghuluan telah dikenal di nusantara;4 2) Pada era
kolonial institusi penghulu telah diakomodir oleh pemerintah kolonial;5 dan 3)
sejak awal kemerdekaan, institusi kepenghuluan telah mendapat payung
perundang-undangan Negara.6 Demikianlah peran keulamaan penghulu yang telah
mengakar di tengah masyarakat Indonesia sejak pra-kolonial, kolonial, dan
kemerdekaan.
Dalam menjalankan perannya, di sini tugas pencatatan, penghulu
berhadapan langsung dengan masyakarakat Islam. Ketika berhadapan dengan
masyarakat, penghulu idealnya merupakan aktor tunggal dalam melaksanakan
peran kepenghuluan di bidang pencatatan perkawinan ini. Pentingnya peran
tunggal ini, selain diamanatkan oleh perundang-undangan, juga berkaitan erat
dengan cita-cita kepastian hukum dan pelindungan hak para pihak.7 Oleh karena
itu, untuk menunjang kinerja penghulu, pemerintah menetapkan jabatan penghulu
4 Muhammad Hisyam, Caught Between Three Fires: The Javanese Pangulu Under The
Dutch Colonial Administration 1882-1942, (Jakarta: INIS: 2001), hlm. 21. 5 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai Penghulu…, hlm. 117. 6 UU. No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. 7 Jabatan kepenghuluan merupakan jabatan resmi yang mengakomodir pencatatan nikah,
talak dan rujuk. Ibid., jo. UU. No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura, jo. UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Institusi pencatatan merupakan keberlanjutan dari upaya penertiban administrasi pada era kolonial yang tetap dilestarikan hingga sekarang. Menurut Husni Rahim, keberlanjutan ini merepresentasikan dampak positif dari politik Islam era kolonial di mana institusi pencatatan selain memperkenalkan sistem administrasi yang rapi dan tertib juga dirasakan penting keberadaannya. Husni Rahim, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1998), hlm. 259.
4
sebagai jabatan fungsional melalui peraturan MENPAN Nomor:
PER/62/M.PAN/6/2005.8 Dengan status sebagai jabatan fungsional, keberadaan
penghulu tidak sekedar menjadi penjelmaan aparatur negara tetapi juga termasuk
jabatan resmi yang memiliki kemandirian dan status yang lebih progressif.
Demikianlah keberadaan penghulu sebagai pejabat resmi di bidang perkawinan
yang telah terekam dalam sejarah panjang Indonesia guna mencapai cita hukum
nasional.
Keberadaan penghulu sebagai pejabat resmi yang diakui Negara melalui
payung peraturan perundang-undangan dan pemangku otoritas tunggal di bidang
pencatatan perkawinan umat Islam merupakan situasi yang diidealkan. Namun
dalam pelaksanaannya masih kerap mendapat kendala, terutama dalam
kapasitasnnya sebagai aktor tunggal di bidang kepenghuluan.
Kendala tersebut adakalanya berkaitan dengan regulasi pencatatan
perkawinan, kapasitas penghulu Negara sebagai pemangku otoritas tunggal dalam
perkawinan, dan ada pula yang berkaitan dengan budaya masyarakat hukum
tempat diberlakukannya regulasi tersebut.9 Pertama, kendala regulasi berkisar
seputar perbedaan pendapat dalam memahami relasi ayat 1 dengan ayat 2
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat
8 Jabatan Fungsional adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam struktur
organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksansaan tugas-tugas pokok organisasi. Jabatan ini menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak seorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada keahlian/dan atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1994.
9 Al Farabi, “Budaya Kawin Kyai: Studi terhadap praktek nikah sirri di Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Cirebon,” jurnal Al Ahwal, Fakultas Syariah dan hukum UIN Sunan Kalijaga (2011), hlm. 21.
5
UUP).10 Penafsiran yang berbeda terhadap relasi kedua ayat di atas melahirkan
dua perspektif dalam melihat keabsahan suatu perkawinan. Sebagai contoh,
kalangan yang memahami relasi ayat (1) dan (2) secara alternatif menganggap
kedua ketentuan ini berdiri sendiri dan tidak saling berhubungan, dan perkawinan
tidak bisa dibatalkan pengadilan karena pencatatan hanya persyaratan
administrasi. Sedangkan kalangan yang memahami relasi kedua ayat ini secara
kumulatif akan mengganggap perkawinan yang dilakukan secara agama saja tidak
sah secara yuridis formal dan bisa mengajukan pembatalan perkawinan ke
pengadilan agama.11 Perbedaan tersebut masih memberikan ruang dan keabsaan
bagi perkawinan tanpa tercatat.
Kedua, kendala yang berkaitan dengan kapasitas penghulu Negara sebagai
pemangku otoritas tunggal dalam perkawinan merupakan kendala yang kompleks.
Kompleksitasnya tidak hanya berkisar pada friksi ulama menjadi ulama pejabat
(penghulu) dan ulama bebas sebagaimana dikategorikan oleh Ibnu Qayim Isma’il
di atas, tatapi juga berkaitan dengan kualifikasi untuk menjadi seorang penghulu.
Untuk pengangkatan pertama sebagai penghulu disyaratkan: a. Berijazah paling
rendah Sarjana (S1/Diploma IV sesuai dengan kualifikasi yang ditentukan; b.
Paling rendah menduduki pangkat Penata Muda, golongan ruang III/a; c. Lulus
pendidikan dan pelatihan fungsional di bidang kepenghuluan; dan d. Setiap unsur
penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP-3) paling kurang bernilai baik dalam 1 (satu)
10 Pasal 2: (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11 Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: IHC, 1986), hlm. 92.
6
tahun terakhir.12 Kualifikasi tersebut kerap berbeda dengan realitas di tengah
masyarakat—di mana dalam masyarakat umumnya telah terdapat tokoh agama
yang memangku tugas tersebut—dan membuat jarak antara penghulu dengan
masyarakat setempat, yaitu jarak yang disebabkan oleh pengangkatan penghulu
secara sepihak oleh pemangku kepentingan di tingkat atas (pemerintah).
Sehingga, dalam prakteknya, kerap muncul penghulu non-Negara (tidak resmi)
yang mengisi sekaligus mewadahi praktek perkawinan tidak tercatat.
Ketiga, budaya masyarakat setempat juga menjadi tantangan tersendiri
bagi setiap upaya untuk memperkenalkan perkawinan tercatat. Budaya setempat
yang memiliki ikatan yang erat dengan sosok penghulu non-Negara akan memiliki
tingkat kemandirian yang khas dari ketergantungan akan sosok penghulu Negara.
Keadaan ini dalam porsi tertentu menyebabkan proses pelembagaan pencatatan
perkawinan resmi melalui aktor penghulu Negara menemui hambatan berupa
otoritas tandingan dalam budaya setempat.
Fenomena di atas menggambarkan bagaimana upaya pelembagaan hukum
pencatatan perkawinan, di mana penghulu Negara diidealkan sebagai aktor
tunggal, menemui hambatan yang kompleks. Kompleksitas ini mencakup
hambatan subtansi peraturan, struktur pelaksana, dan budaya masyarakat sasaran.
Gambaran ini selanjutnya merepresentasikan perbenturan antara idealitas dengan
Kesenjangan ini dapat ditemukan dalam praktek “kawin kyai”13 di desa
Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa Barat. Pasalnya, kurang lebih separuh
pasangan suami istri membentuk keluarga melalui nikah sirri14. Praktek tersebut
sudah berjalan demikian lama.15 Fakta nikah sirri yang dimaksud adalah suatu
perkawinan yang dilakukan berdasarkan cara-cara agama Islam, tetapi tidak
dicatat oleh Petugas Pencatatat Nikah (PPN) pemerintah yaitu penghulu di
Kantor Urusan Agama (KUA).16 Praktek tersebut di kalangan mereka dikenal
dengan istilah kawin kyai. Praktek perkawinan ini dilangsungkan dengan
menghadirkan seorang pemuka agama—biasanya seorang kyai—untuk memimpin
prosesi perkawinan tanpa perlu mencatat pada aparat yang berwenang.
Berdasarkan penelitian pendahuluan diketahui bahwa praktek kawin kyai
tersebut dilangsungkan dengan dua pola, yaitu: pertama, pada periode awal, di
bawah tahun 1990-an, sebagai pilihan mayoritas masyarakat; dan kedua, di era
sekarang, sebagai pilihan alternatif—dikatakan alternatif karena dijadikan sebagai
13 “Kawin Kyai” adalah istilah yang sering digunakan masyarakat setempat untuk
menunjukkan perkawinan yang dilangsungkan di hadapan penghulu desa atau tokoh agama setempat (penghulu non-resmi). Istilah ini juga digunakan untuk membedakannya dengan perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat nikah yang resmi. Wawancara dengan bapak Caca Effendi, Kepala Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa Barat, tanggal 18 November 2010.
14 Berdasarkan penelitian di empat RT terdapat 59,35% pasangan kawin sirri dari 246 KK belum termasuk mereka yang melangsungkan kawin ulang (data terlampir). Melalui observasi dan wawancara, kepala desa setempat membenarkan praktek serupa di delapan RT lainnya. Wawancara dengan bapak Caca Effendi, Kepala Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa Barat, tanggal 18 November 2010.
15 M. Junaedi, “Kampung-kampung yang penduduknya banyak nikah sirri”, Jambi Independent (Koran Online), http://www.jambiindependent.co.id, akses 31 oktober 2010.
16 Dadi Nurhaedi, Nikah Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, (Jogjakarta: Saujana Percetakan Ar-Ruzz Media Jogja, 2003), hlm. 16.
sarana untuk menghindari prosedur pencatatan resmi.17 Terlembaganya kawin
kyai sebagai pilihan alternatif menunjukkan keberadaan penghulu non-Negara di
luar penghulu Negara dalam penyelenggaraan perkawinan.
Keberadaan penghulu non-Negara di tengah masyarakat setempat
memiliki landasan sosiologis yang kuat. Landasan ini berkaitan erat dengan
keberadaan dan kewibawaan penghulu non-Negara tersebut dalam mengemban
tugas keulamaan di tengah masyarakat, tempat mereka berdiam. Kewibawaan ini
berkaitan erat dengan tingginya interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan
ulama penghulu non-Negara tersebut dan peran sekaligus fungsi keulamaan yang
dinisbatkan masyarakat setempat terhadap mereka. Relasi yang tejalin antara
masyarakat setempat dengan ulama penghulu non-Negara tersebut, baik secara
langsung maupun tidak langsung, melekatkan kewibawan dan otoritas tersendiri
pada sosok ulama penghulu non-Negara.
Selanjutnya, realitas di atas, selain menunjukkan eksistensi penghulu non-
Negara juga menunjukkan kontestasi antara penghulu Negara dan penghulu non-
Negara dalam penyelenggaraan perkawinan. Akhirnya, bagaimana eksistensi
penghulu Negara dan penghulu non-Negara di tengah masyarakat setempat, dan
bagaimana relasi yang terjalin antara masyarakat, penghulu Negara, dan penghulu
non-Negara di desa Sinarrancang dirumuskan sebagai berikut.
17 Adapun penyebab yang melatar belakangi praktek ini terbagi menjadi dua aspek,
pertama penyebab internal: 1) Rendahnya pemahaman tentang pencatatan perkawinan; 2) Paham keagamaan; 3) Sikap tidak acuh; 4) Prosedur yang rumit. Kedua, penyebab eksternal: 1) Peran Kyai (lebe’ dan penghulu non-resmi); 2) Minimnya sosialisasi; 3) Sulitnya mengakses pejabat pencatat; 4) Kelalaian aparat perwakilan di Desa; 5) Biaya pencatatan; 6) Pandangan masyarakat setempat; 7) Budaya kawin kyai di tengah masyarakat. Sedangkan proses pelembagaan hukum menemukan kendala pada setiap komponen dari sistem hukum, baik struktur, subtansi, dan kultur hukum pencatatan perkawinan. Al Farabi, “Budaya Kawin Kyai…, hlm. 21.
9
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran dan eksistensi pegawai pencatat pernikahan/penghulu
yang ditunjuk Negara dan ulama setempat di mata masyarakat Desa
Sinarrancang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat?
2. Bagaimana masyarakat melihat otoritas penghulu yang ditunjuk Negara
dan para ulama atau kyai dalam penyelesaian masalah keluarga di Desa
Sinarrancang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berangkat dari rumusan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami peran dan eksistensi pegawai pencatat
pernikahan/penghulu yang ditunjuk Negara dan ulama setempat di mata
masyarakat Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon
Provinsi Jawa Barat. Pemahaman tentang peran dan fungsi dari penghulu
yang ditunjuk Negara dan ulama setempat di mata masyarakat setempat akan
memberikan gambaran tentang interaksi yang terjalin antara institusi
kepenghuluan dan masyarakat setempat.
2. Untuk menggambarkan bagaimana masyarakat melihat otoritas penghulu
yang ditunjuk Negara dan para ulama atau kyai dalam penyelesaian masalah
keluarga di Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon
Provinsi Jawa Barat. Gambaran ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana
hubungan masyarakat dengan kedua institusi kepenghuluan ini dan kontestasi
10
yang terjalin atara penghulu yang ditunjuk Negara dengan ulama setempat
dalam penyelesaian masalah keluarga.
Adapun Kegunaan dari penelitian ini sendiri adalah:
1. Kegunaan teoritis, yaitu untuk memberikan sumbangsih bagi khazanah ilmu
pengetahuan terutama dalam bidang hukum Islam dan pranata sosial tentang
administrasi agama bidang perkawinan khususnya tentang pelembagaan
pencatatan perkawinan di tengah masyarakat.
2. Kegunaan praksis, yaitu untuk memberikan penjelasan tentang peran dan
fungsi (kedudukan) penghulu yang ditunjuk Negara di tengah masarakat, dan
gambaran tentang kontestasi yang terjadi antara penghulu yang ditunjuk
Negara dan ‘ulama setempat dalam penyelesain masalah keluarga. Penjelasan
tersebut selain memberikan gambaran tentang pelaksanaan hukum pencatatan
perkawinan di satu sisi juga bisa menjadi pertimbangan dalam mengevaluasi
dan memformulasikan hukum pencatatan perkawinan di kemudian hari.
D. Telaah Pustaka
Dalam telah pustaka ini diuraikan beberapa penelitian ilmiah yang
berkaitan dengan penelitian ini. Keterkaitan beberapa hasil penelitian dengan
penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu: penelitian yang dilakukan
terhadap institusi kepenghuluan dan penelitian yang dilakukan terhadap praktek
kawin sirri.
Pertama, penelitian yang dilakukan terhadap insitusi kepenghuluan, di
antaranya: Ibnu Qoyim Isma’il, dengan pedekatan historis-sosiologis-politologis,
11
meneliti tentang “kiai penghulu Jawa: peranannya pada masa kolonial.” 18 Dalam
penelitian ini, Ibnu Qoyim Isma’il menelusuri: 1) ulama penghulu dan
lembaganya pada masa kolonial guna mengetahui peran yang dimainkannya; 2)
fungsi dari penghulu: apakah sekedar sebagai alat politik atau mempunyai fungsi
lain?; dan 3) apa dan siapakah ulama penghulu dan lembaganya itu, dan
bagaimanakah kontinuitas dan diskontinuitasnya dalam perspektif sejarah?
Berangkat dari rumusan permasalahan tersebut, pendekatan sejarah digunakan
untuk menelusuri institusi kepenghuluan di era kolonial Belanda (1882-1942).
Selanjutnya pendekatan sosiologis digunakan untuk memaknai penghulu dan
lembaganya sebagai gejala sosial. Sedangkan pendekatan politik digunakan untuk
memperjelas gambaran penghulu dan lembaganya dalam sistem politik masa lalu.
Pada bagian akhir, Ibnu Qoyyim Isma’il menyimpulkan bahwa: 1)
Penghulu merupakan implementasi dari ajaran Islam yang berkaitan dengan
konsep negara dan kekuasaan; 2) Fungsi penghulu pada era kolonial Belanda
mengalami distorsi dan pengekangan; 3) Ulama penghulu telah ada sejak pra
kolonial dan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah kolonial. Status resmi ini
tidak membenturkannya dengan peran ulama lainnya, malainkan penguatan status
bagi ulama pejabat (penghulu) dengan peran dan fungsi yang spesifik, hukum
keluarga; 4) Profil ulama penghulu adalah sebagai formal leader dan informal
leader di tengah masyarakat Islam Jawa dan Madura; dan 5) secara geneologis,
ulama penghulu berasal dari tiga kelompok strata sosial, yaitu dari keluarga
priyayi, dari keluarga wong cilik, dan dari keluarga di antara keduanya.
18 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai penghulu Jawa perannya di masa kolonial, Cet. 1, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1997).
12
Penelitian selanjutnya adalah penelitian Muhammad Hisyam19 yang
menelusuri dinamika dan status hukum Penghulu Jawa—terbatas pada era
kolonial Belanda 1882-1942—di bawah konstelasi tiga entitas yang terpisah,
yaitu: usaha kolonial Belanda untuk mengakomodir institusi penghulu ke dalam
administrasi kolonial, penyebaran gerakan pembaruan atau reformis Islam, dan
kemunculan gerakan nasionalis. Penelusuran ini selanjutnya dipertajam dengan
diajukannya dua pertanyaan lainnya, yaitu: apa signifikansi penghulu dalam
konteks kehidupan sosial yang lebih luas? Dan bagaimana penghulu mengemban
peran mereka? Pada tataran ini, penghulu tidak hanya dilihat sebagai bagian dari
sistem hukum tetapi juga sebagai pemimpin Islam yang berpengaruh.
Dalam penelusuran tersebut, Muhammad Hisyam menggunakan
pendekatan sosiologi sejarah (historical-sociological approach) yang dipahami
sebagai kajian terhadap masa lampau untuk mengetahui bagaimana masyarakat
bekerja dan berubah. Selanjutnya, melalui pendekatan ini, Hisyam menyimpulkan
bahwa selain memiliki landasan historis yang kuat sebagai institusi yang telah
sejak era pra kolonial, institusi penghulu juga memiliki peran yang signifikan
dengan fungsi gandanya—baik sebagai pemimpin agama maupun sebagai anggota
administrasi formal kolonial. Fungsi ganda ini menunjukkan peran yang sangat
penting dari penghulu, terutama perannya sebagai mediator antara kecendrungan
elitis Jawa kala itu yang terbagai menjadi dua kelompok, kelompok priyayi yang
pro kolonial dan kelompok ulama yang kontra kolonial. Akhirnya, dalam
kaitannya dengan dinamika kolonial; gerakan pembaruan Islam; dan gerakan
19 Muhammad Hisyam, Caught Between Three Fires….
13
Nasionalis, Muhammad Hisyam menyimpulkan bahwa penghulu dalam
mengemban peran mereka dihadapkan pada situasi yang sulit—baik sebagai qadi
dihadapan Alllah, pejabat dihadapan otoritas kolonial, maupun sebagai pemimpin
agama dihadapan umat. Meski demikian, keberadaan institusi penghulu dalam
konstelasi ketiga entitas di atas tetap signifikan terutama peran sentralnya sebagai
mediator dan aktor yang terlibat dalam dinamika itu sendiri.
Penelitian lainnya adalah penelitian Husni Rahim tentang “Sistem Otoritas
dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan
Kolonial di Palembang.”20 Melalui studi ini peneliti merumuskan perbandingan
peranan penghulu dalam masyarakat Palembang di masa kesultanan (penguasa
Islam) dan di masa kolonial Belanda (penguasa non-Islam) sebagai sasarannnya.
Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan serjarah, Husni Rahim menelusuri
tugas-fungsi penghulu dan hubungannya dengan pihak lain.
Dari penelusuran tersebut, Husni Rahim menyimpulkan bahwa: Pertama,
dalam memerankan tugas dan fungsinya di era kesultanan, institusi penghulu di
Palembang terlibat penuh baik dalam bidang hukum maupun pendidikan
(pesantren dan tasawuf). Peran ini berbeda dengan peran kepenghulun di Jawa
yang mengalami pemisahan antara peran ad-da’wah wa at-tarbiyyah dengan at-
tasyri>’ wa al-qada’>. Selanjutnya pada era kolonial institusi kepenghuluan juga
memerankan tugas dan fungsi sebagai pejabat resmi kolonial. Kedua, dalam
kaitannya dengan pihak lain, institusi kepenghuluan Palembang di era kesultanan
bisa digambarkan dengan relasi kekuasaan sultan dengan agama di mana otoritas
20 Husni Rahim, Sistem Otoritas….
14
kesultanan dihasilkan dari kontrak sosial masyarakat. Relasi ini menjadikan
institusi kesultanan sebagai sarana dan ototitas yang berkewajiban untuk
mengakomodir peran h}uku>mah dan nubuwwah yang praktiknya diemban oleh
penghulu. Sedangkan pada era kolonial ditandai dengan pengkomodiran (baca,
kontrol) kolonial terhadap institusi penghulu sebagai pejabat resmi.
Selain dua poin tersebut, Husni Rahim juga menyimpulkan bahwa
kemunculan embrio Departemen Agama di era Kolonial di satu sisi
merepresentasikan keberlanjutan relasi kekuasaan kesultanan dengan institusi
kepenghuluan yang ditandai dengan pengakomodiran dan pendelegasian peran
h}uku>mah dan nubuwwah kepada penghulu, dan di sisi lain juga menggambarkan
kemenangan kelompok guru dan kyai atas penghulu.
Studi lainnya yang menjadikan sosok kyai sebagai sasaran penelitiannya
dalam masyarakat adalah studi Clifford Geertz terhadap para kyai di Jawa Timur.
Penelitian yang tergolong dalam studi etnografis ini menunjukkan bahwa para
kyai—termasuk di dalamnya para ulama—sebagai mediator atau perantara dan
cultural broker atau makelar budaya. Pada tataran ini sosok kyai menjadi
penyaring informasi yang datang kemudian untuk diakses oleh masyarakatnya.21
Dalam perkembangannya, konsep kyai sebagai makelar budaya ini
diperbaharui oleh penelitian dari Hiroko Horikoshi yang melakukan penelitian
terhadap institui kyai di Jawa Barat 15 tahun kemudian. Melalui pendekatan
antropologis peneliti melakukan penelitian terhadap institusi kyai di tengah
masyarakat Jawa Barat dan memperlihatkan, melalui uraian yang bercoarak
21 Clifford Geertz, The Javaanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker.
(Comparative Studies in Society and History: 1960).
15
etnografis, bagaimana sosok kyai masih memperlihatkan kekuatan de facto dan
kemampuan untuk mengecoh penguasa nasional. Dalam penelitian ini Horikoshi
memperlihatkan bagaimana sosok kyai, yang dibedakan dengan sosok ulama
kampung, memiliki pengaruh yang sangat besar yang terimplementasikan melalui
peran yang diabdikannya kepada masyarakat dan terlembagakan melalui
ketergantungan masyarakat pada peran dan sosok kyai itu sendiri. Akhirnya sosok
kyai tidak sekedar perantara atau makelar budaya yang menjembatani
masyarakatnya dengan dunia luar yang lebih luas melainkan melangkah jauh
sebagai aktor penting dalam arus perubahan sosial.22
Kedua, penelitian yang dilakukan terhadap praktek kawin sirri. Di
antaranya: Penelitian Dadi Nurhaedi: “Nikah Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri
Mahasiswa Jogja,”23 pada pasangan kawin sirri dan mengaitkan praktek ini
dengan aspek pencatatan dan publikasi perkawinan. Setelah melakukan
penelusuran terhadap pelaku nikah sirri, penelitian ini menemukan: 1) Tidak
tercatat di KUA dan dipublikasikan 8,3%, 2) tidak tercatat di KUA dan
dipublikasikan terbatas 41,7%, dan 3) tidak tercatat di KUA dan tidak
dipublikasikan 50%.24 Untuk memaknai praktek ini digunakan kombinasi
paradigma fakta sosial dan perilaku sosial, selanjutnya perilaku sosial dibedakan
kepada tindakan rasional dan non-rasional, sedangkan fakta sosial digunakan
untuk menerangkan nikah sirri sebagai fakta sosial melalui fakta sosial lainnya. 22 Hiroko Horikhosi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Mualry
Sunrawa, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987). 23 Dadi Nurhaedi, Nikah Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja,
(Jogjakarta: Saujana Percetakan Ar-Ruzz Media Jogja, 2003). 24 Prosentase didasarkan pada jumlah pelaku yaitu 12 pasangan atau 22 orang pelaku
yang ditemui.
16
Penelitian ini memberikan pemaknaan bahwa praktek tersebut tergolong
perilaku rasional. Pertama, perilaku yang dilakukan dengan kesadaran,
perencanaan, dan pertimbangan rasional diantaranya: Tujuan yang bersifat
normative, psikologis, biologis, dan sosial ekonomis. Kedua, perilaku nikah sirri
dengan berorientaasi pada nilai diantaranya: nikah sirri lebih utama/afd}al dan
sakral, keutamaan untuk menikah dalam suatu komunitas tertentu dengan alasan
kemaslahatan. Selain itu dalam penelitian ini beliau melihat bagaimana agama
mempengaruhi kehidupan masyarakat—disini agama difungsikan untuk
melegalisasi perilaku nikah sirri.
Kamal Muchtar25 meneliti fenomena perkawinan tanpa tercatat (sirri) di
Indonesia. Peneliti melihat fenomena ini dari aspek perundang-undangan yang
berlaku dan bagaimana akta nikah sebagai produk pencatatan ditinjau dari Al-
Qur’a>n dan Sunnah. Dengan menggunakan metode qiya>s dan beberapa kaidah
us}u>liyyah dan penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan terkait,
penelitian pustaka ini menyimpulkan bebarapa poin, diantaranya: pencatatan
sebagai asas perkawinan dalam UU. Perkawinan, kemaslahatan dari pencatatan
dan pencatatan bukan sekedar syarat administratif tetapi penyempurna dari
pelaksanaan hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari perkawinan.
Ismail Kaliky,26 melalui penelitian tesis, menelusuri: Pertama, kendala
yang menghambat penerapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
25 Kamal Muchtar, “Nikah Sirri di Indonesia,” Journal al-Jami’ah, No. 56 (Tahun 1994),
hlm.116. 26 Ismail Kaliky, “Kawin di Bawah Tangan: Studi Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kota Ambon,” Tesis S-2 tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijga (2012).
17
Perkawinan, khususnya klausul tentang pencatatan perkawinan. Kedua,
Bagaimana hubungan hukum pasal 2 UUP, secara formil dan materiil, dengan
praktek perkawinan di bawah tangan di kota Ambon. Melalui penelitian lapangan
ini, Ismail mencoba melihat bagaimana dan apa yang menjadi kendala
pelembagaan hukum pencatatan perkawinan di Kota Ambon dengan
menggunakan teori sosiologi hukum untuk mengetahui praktek riil dari UUP di
tengah masyarakat setempat. Selanjutnya, peneliti menyimpulkan bahwa:
Pertama, 1) Kawin di bawah tangan di kota Ambon dikarenakan calon pengantin
adalah anggota TNI/POLRI yang tidak/belum memperoleh izin dari atasannya; 2)
karena alasan poligami; 3) karena tidak memiliki wali. Kedua, lemahnya
pelembagaan UUP disebabkan karena produk hukum tentang pencatatan
perkawinan tergolong multi tafsir sehingga kepastian hukum menjadi taruhannya
dan terdapat konflik kepentingan antara pejabat pencatatan nikah yang resmi
(PPN) dengan tokoh agama yang ada di masyarakat di satu sisi dan lemahnya
ancaman hukuman bagi penghulu tidak resmi di sisi lain.
Penelitian lain yang mengkaji alasan dan corak relasi suami-istri dari
perkawinan sirri dilakukan oleh Muhammad Makhrus di Purworeja 27. Penelitian
ini menggunakan pendekatan normatif dan menyimpulkan: Pertama, alasan yang
melatar-belakangi perkawinan sirri ini adalah: Alasan agama, ekonomi, hukum,
dan pemahaman agama yang ekstrim. Kedua, relasi yang terjalin adalah relasi
yang kurang sempurna untuk pasangan yang menikah sirri dengan alasan agama
dan relasi suami-istri yang sempurna bagi pasangan yang menikah sirri dengan
27 Muhammad Makhrus, “Studi Terhadap Perkawinan Sirri di Kabupaten Purworejo,”
Thesis S-2 tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga (2012).
18
alasan pandangan agama yang ekstrim, yaitu keabsahan suatu perkawinan hanya
ditentukan oleh ketentuan agama saja.
Berangkat dari ulasan di atas, dapat diketahui bahwa: pertama, Ibnu
Qoyim Isma’il dan Muhammad Hisyam menelusuri peran kyai penghulu di Jawa
pada era kolonial Belanda. Sedangkan Husni Rahim dengan wilayah penelitian
yang berbeda meneliti institusi penghulu (pejabat agama Islam) di Palembang
pada masa kesultanan dan kolonial. Ketiganya meneliti peranan institusi
kepenghuluan dalam sejarah pra kemerdekaan. Selanjutnya penelitian Geertz
memperlihatkan sosok kyai sebagai perantara sekaligus makelar budaya yang
menyaring informasi luar dan kemudian diakses oleh masyarakatnya melalui
tangan kedua sang kyai. Adapun penelitian Horikoshi memperlihatkan peran yang
tidak sekedar perantara dan makelar budaya dari para kyai di Jawa Barat
melainkan memerankan peran dan fungsi yang lebih vital yaitu sebagai penggerak
dalam perubahan sososial dengan ketergantungan yang tinggi dari masyarakat
pada sosok kyai itu sendiri.
Kedua, Dadi Nurhaedi meneliti nikah sirri di kalangan mahasiswa jogja
dan memaknainya sebagai fakta sosial sekaligus prilaku yang didasarkan pada
pilihan yang rasional/dirasionalisasikan. Selanjutnya, Kamal Muchtar yang
meneliti aspek normatif dari nikah sirri dan menyimpulkan ketentuan pencatatan
sebagai syarat penyempurna dalam perkawinan di Indonesia. Adapun Ismail
Kaliky dan Muhammad Makhrus meneliti fenomena nikah sirri sebagai dampak
dari pelembagaan hukum perkawinan yang kurang berhasil.
19
Berbeda dengan penelitian-penelitian di atas, penelitian ini mencoba untuk
meneliti eksistensi penghulu yang ditunjuk Negara di mata masyarakat setempat
dan kontestasi yang terjalin antara penghulu yang ditunjuk Negara dengan ulama
atau kyai dalam penyelesaian masalah keluarga masyarakat Desa Sinarrancang,
Mundu, Cirebon, Jawa Barat. Selanjutnya bila dibandingkan dengan temuan
Geertz dan Horikoshi yang memperlihatkan sosok kyai sebagai perantara-makelar
budaya dan penggerak perubahan sosial yang didukung oleh pengaruh yang
sangat kuat baik dalam menanamkan pengaruhnya terhadap masyarakatnya
sendiri maupun dalam melakukan resistensi terhadap pengaruh luar, penelitian
terhadap ulama setempat yang memerankan peran kepenghuluan di samping
penghulu Negara menunjukkan bahwa para ulama desa setempat tidak mampu
berbuat banyak dalam melakukan resistensi terhadap upaya pelembagaan hukum
perkawinan yang berskala nasional namun dalam kasus penyelesaian beberapa
masalah perkawianan mereka muncul sebagai alternatif di samping agen yang
ditunjuk resmi oleh Negara, penghulu KUA.
Demikianlah urgensitas penelitian ini yang ditandai dengan tetap
terlembaganya kawin kyai, sebagai pilihan alternatif, di tengah masyarakat
setempat yang berkaitan erat dengan permasalahan pelembagaan hukum
perkawinan, kontestasi otoritas, dan peran ulama desa sebagai alternatif di
samping penghulu Negara dengan otoritas yang terbatas. Akhirnya, melalui
penelitian tentang institusi kepenghuluan di mata masyarakat setempat dan relasi
yang terjalin antara penghulu yang ditunjuk Negara dan ulama atau kyai setempat
20
dalam penyelesaian masalah keluarga, terlembaganya kawin kyai sebagai pilihan
alternatif dapat dijelaskan.
E. Kerangka Teori
Berangkat dari rumusan masalah di atas yang memfokuskan penelitian
pada eksistensi dan relasi yang terjalin antara penghulu Negara dengan penghulu
non-Negara beserta masyarakat setempat, kerangka teoritis yang disusun dalam
penelitian ini juga bermuara pada keduanya yaitu: eksistensi dan relasi yang
terjalin antara ketiganya, khususnya antara penghulu Negara dengan penghulu
non-Negara.
Pertama, eksistensi penghulu sebagai pemimpin keagamaan (ulama),
secara umum, diidentifikasi dengan ciri-ciri yang dipaparkan oleh Cik Hasan
Bisri, yaitu: 1) ulama merupakan gelar atau panggilan kehormatan yang diberikan
oleh masyarakat kepada orang yang memiliki tingkat ilmu dan kesalihan tertentu;
2) panggilan ulama di dalam masyarakat Indonesia merupakan hal yang tidak
lazim; 3) panggilan kehormatan tersebut diberikan secara informal dan bertahap,
terutama oleh orang-orang yang mengenal secara pribadi terhadap orang yang
diberi gelar kehormatan itu; 4) biasanya orang yang diberi gelar kehormatan
bukan semata-mata karena ilmu dan kesalihannya saja, tetapi, juga, karena
kepemimpinannya di dalam masyarakat telah teruji; 5) ulama merupakan pewaris
para nabi; dan 6) khususnya tentang ulama fikih merupakan kesulitan tersendiri,
karena lebih spesifik.28 Demikianlah ciri-ciri ulama secara umum yang memiliki
28 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh
Penelitian, (Jakarta: Prenanda Media, KENCANA, 2003), hlm. 140-142. Dengan kategori yang berbeda, Horikhosi membedakan kyai dan ulama. Kyai lebih ditonjolkan kepemimpinannya dalam sistem sosial. Sedangkan ulama lebih ditonjolkan keahliannya dalam sistem pesantren. Ibid., hlm.
21
padanan istilah dan penunjukkan peran dan fungsi yang lebih spesifik sebagai
mana disinggung berikut ini.
Secara spesifik, istilah penghuulu merujuk pada kategori yang lebih
kompleks. Ibnu Qoyim Isma’il, berdasakan penelitiannya terhadap ulama/kyai
Jawa, membagi ulama menjadi dua kategori: ulama bebas atau ulama yang
kedudukan peran sosialnya berada di jalur ad-da’wah wa at-tarbiyyah dan ulama
pejabat yang berada di jalur at-tashri>’ wa al-qada’> (penghulu).29 Sedangkan Husni
Rahim, berdasarkan penelitiannya pada administrasi keagamaan di Palembang,
menemukan peran dan fungsi ad-da’wah wa at-tarbiyyah dan at-tashri>’ wa al-
qada’> terintegrasi dalam sosok penghulu.30 Dengan demikian, status penghulu di
Palembang pada era kesultanan dan kolonial mencakup peran dan fungsi yang
lebih luas, pendidikan, tasawuf, dan syariat.
Selanjutnya, di era kolonial, istilah penghulu digunakan untuk
mengidentifikasi istitusi keagamaan yang melingkupi peran keulamaan, fungsi
qa>di (peradilan), dan pejabat administratif. Kemudian pada era kemerdekaan
term penghulu mengalami penyempitan makna yaitu sebagai pejabat
administratif saja setelah institusi peradilan agama berdiri sendiri.31 Pada
tataran ini, istilah terakhir, penghulu sebagai offisial Negara di bidang
administrasi perkawinan, merupakan term yang dimaksud dengan penghulu
Negara. Sedangkan term penghulu non-Negara digunakan untuk menunjukkan
169. Lihat juga Hiroko Horikhosi, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Mualry Sunrawa, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987).
29 Ibnu Qoyim Isma’il, Kiai penghulu Jawa …, hlm. 63-64. 30 Husni Rahim, Sistem Otoritas…, hlm. 9. 31 Muhammad Hisyam, Caught Beween Three Fires…, hlm. 1.
22
peran keulamaan yang bergerak di wilayah perkawinan umat Islam namun tidak
terintegrasi sebagai pejabat resmi Negara.
Kedua, untuk melihat relasi yang terjalin antara penghulu Negara dengan
penghulu non-Negara yang teraktualisasi dalam praktek penyelenggaraan
perkawinan di Desa Sinarrancang digunakan teori praktek dari Pierre Bourdieu.
Untuk memahami praktek sosial budaya Pierre Bourdieu menawarkan kerangka
konseptual dengan rumusan: (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik. Rumusan ini
didasarkan pada paradigma stukturalisme generatif yang mendialektikakan
paradigma eksistensialisme-individualisme dengan paradigma aksionalisme-
strukturalisme.32 Melalui metode dialektis ini, Bourdieu ingin melangkah jauh
dengan mengintegrasikan unsur subjektif degan unsur objektif, agensi dan struktur
dalam praktek sosial budaya.
Pertama, Habitus menurut Bourdieu, sebagaimana dikutup oleh Cheleen
Mahar dkk., adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-
ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif
bagi praktek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif. Selain itu,
habitus dapat dipandang bekerja pada tingkat bawah sadar.33 Pada tataran ini
habitus adalah struktur sosial yang diinternalisasikan dan sekaligus diwujudkan.34
Kedua, Modal di sini didefinisikan secara luas mencakup hal-hal material dan
32 Cheleen Mahar, dkk., ‘(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik’: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terj. Pipit Maizier dari An Inroduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), hlm. 5.
33 Ibid., hlm. 13. Lihat juga dalam Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice (London: Cambridge University Press, 1977), hlm. 71.
34 Pierre Boudieu, Distinctions: A Social Critique of the Judgment of Taste (Cambridge: Harvard University Press, 1984), hlm. 486.
23
berbagai atribut yang tidak tersentuh. Ketiga, ranah dalam konteks rumusan ini
adalah ranah kekuatan yang mengitari habitus.35 Selanjutnya, ketiga komponen ini
berkaitan satu sama lain secara langsung dalam melahirkan suatu praktik.
Gambar 1: Bagan/Skema Teoritis Pierre Bourdieu36
Dalam penelitian ini, kerangka tersebut akan digunakan untuk memahami
praktek kontestasi antara penghulu Negara dengan penghulu non-Negara dalam
penyelenggaraan perkawinan di Desa Sinarrancang, Cirebon, Jawa Barat.
Rumusan Bourdieu di atas akan diaplikasikan dalam kerangka konseptual sebagai
berikut: Habitus, yang mengintegrasikan agensi dan struktur, direpresentasikan
oleh aktor penghulu, baik Negara maupun non-Negara; modal mencakup modal
simbolik, ekonomi, sosial, dan budaya yang dimiliki oleh setiap agensi (habitus);
35 Ibid., hlm. 9. 36 Skema diadaptasi dari tulisan Imam Iqbal, “Pemikiran Pierre Bourdieu tentang
Perubahan Sosial-Budaya,” Makalah, dipresentasikan pada Latihan Kader II HMI Cabang Yogyakarta tanggal 01 Februari 2012 di Yogyakarta.
Modal Ekonomi
Modal Budaya
Modal Simbolik
Modal Sosial
Ranah Habitus
Praktik
Perubahan sosial dan budaya
24
dan ranah merepresentasikan arena otoritas penyelenggaraan (pengawasan)
perkawinan. Akumulasi ketiga entitas tersebut diharapkan mampu menerangkan
relasi antara penghulu Negara dengan penghulu non-Negara dalam
penyelenggaraan otoritas di bidang penyelenggaraan perkawinan.
Berikut ini kerangka teoritis yang akan diaplikasikan dalam menelusuri
kontestasi (baca relasi) antara penghulu Negara dengan penghulu non-Negara
dalam penyelenggaraan perkawinan di Desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon, Jawa
Barat.
Gambar 2: Kerangka Teoritis Penelitian yang diadopsi dari Teori Bourdieu
Selanjutnya, untuk membantu menjelaskan terbentukya habitus penghulu
Negara dan penghulu non-Negara, yaitu dialektika antara agensi dan struktur,
digunakan kategori dari Max Weber, sebagaimana dikutip oleh Euis Nurlaelawati,
Ranah Penyelenggaran Perkawinan
Habitus Penghulu Negara
Habitus Penghulu non-Negara
Modal Simbolik Modal Ekonomi Modal Budaya Modal Sosial
Modal Simbolik Modal Ekonomi Modal Budaya Modal Sosial
Praktek:Kontestasi antara Penghulu Negara dengan Penghulu non-Negara
25
berupa: 1) dalam masyarakat partimonial, peran pemimpin keagamaan (baca,
ulama) diemban oleh kepemimpinan karismatik yang dicirikan dengan penciptaan
hukum ad hoc dan ketidak-pastian hak hukum. 2) Dalam masyarakat modern,
peran kepemimpinan ditransformasikan dari kepemimpinan karismatik kepada
pejabat hukum yang lebih sistematis, rasional, legal code, dan kemerdekaan
individu.37 Dalam penelitian ini, penghulu non-Negara merepresentasikan
kepemimpinan karismatik, sedangkan penghulu Negara merepresentasikan
kepemimpinan non-Karismatik atau berdasarkan hukum dalam masyarakat
setempat.
Demikianlah kerangka teoritis yang digunakan untuk menganalisis
eksistensi dan relasi antara penghulu Negara dengan penghulu non-Negara dalam
masyarakat setempat. Kategori ulama yang pertama digunakan untuk
mengidentifikasi eksistensi keduanya, sedangkan kategori kedua digunakan untuk
menganalisis relasi antara keduannya dalam masyarakat setempat.
F. Metodologi Penelitian
Secara umum penelitian ini termasuk dalam wilayah penelitian “Hukum
Islam dan Pranata Sosial” dengan pengkhususan pada wilayah pranata sosial, di
mana hukum Islam sebagai gejala sosial menjadi sasarannya.38 Wilayah ini,
37 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Identity:The Kompilasi Hukum Islam
and Legal Practice in the Indonesiaan Religious Courts, (Dutch: Amsterdam University Press, 2010), hlm. 22.
38 Pranata sosial di sini diartikan sebagi norma-norma yang dijadikan patokan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia yang spesifik dalam interaksi sosial. Cik Hasan Bisri, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 56.
26
secara spesifik, berbanding lurus dengan jenis penelitian hukum sosiologis39 yang
ditandai dengan mencari data secara langsung pada penghulu Negara (KUA),
penghulu non-Negara (ulama setempat), dan masyarakat yang melakukan kawin
kyai di Desa Sinarrancang, Kecamatan Mundu, Cirebon, Jawa Barat untuk
menjelaskan eksistensi dan relasi antara ketiganya.
Untuk mendukung penelitian hukum sosiologis ini (hukum Islam sebagai
pranata sosial), maka penelitian dilaksanakan melalui penelitian lapangan (field
research) yang didukung dengan penelitian pustaka (library research) tentang
masyarakat, penghulu Negara, dan penghulu non-Negara. Selanjutnya, penelitian
ini didekati dengan pendekatan normatif-sosiologis. Pendekatan normatif
digunakan untuk menelusuri peran dan fungsi penghulu dalam peraturan
perundang-undangan dan sumber lain, sedangkan pendekatan sosiologis
digunakan untuk menjelaskan relasi antara masyarakat dengan penghulu dan
kontestasi antara penghulu Negara dengan penghulu non-Negara. Melalui
pendekatan normatif dapat diketahui status penghulu, sedangkan melalui
pendekatan sosiologis dapat dijelaskan makna dibalik terlembaganya praktek
kawin kyai sebagai pilihan alternatif di tengah masyarakat setempat.
Adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif-analitis, yaitu peneliti
memaparkan dan menjelaskan keberadaan dan relasi yang terjalin antara
masyarakat, penghulu Negara, dan penghulu non-Negara di desa setempat.
Selanjutnya, dengan mengetahui keberadaan dan relasi yang terjalin di antara 39 Atho’ Mudzhar membagi penelitian hukum Islam menjadi penelitian hukum Islam
sebagai doktrin asas, penelitian hukum Islam normatif dan penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial (yang disebut sebagai studi hukum Islam sosiologis). Atho’ Mudzhar, ‘Studi Hukum Islam dengan pendekatan Sosiologis’, dalam Pidato pengukuhan Guru Besar tanggal 15 Sepetember 1999, hlm. 15
27
ketiganya, fenomena terlembaganya kawin kyai sebagai pilihan alternatif dapat
digambarkan sekaligus dianlisis untuk mengetahui makna yang ada di balik
fenomena ini.
Dalam ranah praksis, metode penelitian ini diterapkan melalui langkah-
langkah berikut: Pertama, penetapan sumber data dilakukan melalui teknik
penetapan sampel bertujuan (purposive sample).40 Kemudian sumber data dibagi
menjadi sumber utama dan sumber penunjang. Sumber utama adalah penghulu
Negara (KUA), penghulu non-Negara, dan masyarakat setempat yang,
sebagaimana disinggung sebelumnya, ditetapkan melalui teknik sampel bertujuan
(purpossive sample). Sedangkan sumber penunjang terdiri dari dokumen, buku,
jurnal dan bahan tertulis lainnya yang sesuai dan mendukung penelitian ini.
Kedua, Pengumpulan data dilaksanakan dengan mengikuti tata urut
berikut: 1) peneliti mengumpulkan dokumen, buku, jurnal atau bahan tertulis yang
sesuai dan mendukung penelitian ini; 2) observasi, peneliti mengamati praktek
kawin kyai dan prosesi penyelenggaraan kawin kyai di tengah masyarakat
setempat; dan 3) interview, peneliti melakukan wawancara terhadap pejabat KUA,
pemuka agama setempat (khususnya penghulu non-Negara), dan masyarakat
setempat dengan teknik sampling bola salju (snowballing), yaitu meneliti salah
40 Sampel bertujuan (puposive sample) dicirikan dengan: 1) rancangan sampel yang
muncul tidak dapat ditentukan dan ditarik terlebih dahulu; 2) pemilihan sampel dilakukan secara berurutan; 3) penyesuaian berkelanjutan dari sampel; dan 4) pemilihan berakhir jika sudah terjadi pengulangan. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, cet. Ke-22, (Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2006), hlm. 224-225.
28
seorang informan kunci, kemudian digulirkan untuk menemukan ulama
berikutnya dan seterusnya.41
Ketiga, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data
kualitatif dengan menggunakan kerangka berfikir logis (induktif dan deduktif).
Kerangka berfikir induktif digunakan untuk mengurai fakta yang ditemukan untuk
mengetahui eksistensi penghulu Negara dan penghulu non-Negara, dan
menjelaskan relasi yang terjalin antara masyarakat, penghulu Negara dan
penghulu non-Negara di tengah masyarakat setempat. Adapun kerangka berfikir
deduktif digunakan untuk memahamai dan memaknai hasil penelitian tentang
eksistensi (keberadaan) dan relasi antara masyarakat, penghulu Negara dan
penghulu non-Negara secara deduktif dengan kerangka teoritis penelitian.
Dengan demikian, secara umum metodologi dari penelitian ini dapat
dicirikan dengan: jenis penelitian adalah penelitian lapangan tentang hukum Islam
sebagai pranata sosial, sifat penelitain adalah deskriptif-analitis, dan
pendekatannya adalah normatif-sosiologis. Sedangkan secara praksis, penelitian
ini diterapkan melalui langkah-langkah berikut, berupa: teknik penetapan sumber
data secara bertujuan (purposive sample), pengumpulan data secara snowballing,
dan analisis data kualitatif.
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam penelitian ini dimulai dengan pendahuluan (Bab
Pertama) yang terdiri dari latar belakang permasalahan, pentingnya topik
41 Yaitu mulai dari satu menjadi makin lama makin banyak. Ibid., hlm. 224. Lihat juga
Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi: Bidang Ilmu Agama Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 60.
29
penelitian, penelitian terdahulu (kajian pustaka), metode yang digunakan,
kerangka teori, dan sistematika pembahasan. Bagian ini dijadikan arahan dan
acuan kerangka penelitian serta pertanggung-jawaban penelitian skripsi.
Sebelum menjelaskan eksistensi dan relasi antara penghulu Negara dengan
penghulu non-Negara di tengah masyarakat desa Sinarrancang, Mundu, Cirebon,
Jawa Barat, terlebih dahulu landasan teori tentang penghulu Negara dan penghulu
non-Negara dijabarkan pada bab kedua. Selanjutnya, bab ketiga memuat data
berupa profil, peran dan fungsi, dan relasi antara penghulu Negara dengan
penghulu non-Negara dalam praktek kawin kyai di desa Sinarrancang ini.
Pada bab keempat dilakukan analisis secara kualitatif terhadap fakta-fakta
yang ditemukan dengan menggunakan kerangka berfikir deduktif dan induktif dan
kerangka teoritis yang digunakan. Akhirnya, pada bab kelima penelitian ini
diakhiri dengan penutup yang memuat kesimpulan dan rekomendasi berikut saran
yang dihasilkan dari keseluruhan proses penelitian yang telah di lakukan.
132
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Eksistensi Pegawai Pencatat Pernikahan/Penghulu yang Ditunjuk
Negara(penghulu Negara) dan Ulama Setempat (penghulu non-Negara) di
Mata Masyarakat Sinarrancang
Institusi kepenghuluan—termasuk di dalamnya penghulu Negara dan
penghulu non-Negara—di mata masyarakat dapat digambarkan sebagai institusi
yang memiliki otoritas dalam penyelenggaraan perkawinan, yaitu otoritas
pengawasan, pelaksanaan, dan kepemimpinan. Selanjutnya, otoritas ini
menimbulkan ketergantungan masyarakat dalam setiap upacara atau ritual
perkawinan. Ketergantungan ini bersifat masif dengan tingkatan yang berbeda.
Berikut ini kesimpulan tentang eksistensi ketiga entitas di atas, penghulu Negara,
penghulu non-Negara dan masyarakat setempat.
Pertama, penghulu Negara merupakan institusi pemangku otoritas tunggal
penyelenggaraan perkawinan tercatat. Otoritas ini bersumber dari Peraturan
Perundang-Undangan yang menjadi acuan dalam Negara hukum. Selanjutnya,
otoritas dari Peraturan Perundang-Undangan ini mengamandatkan tugas
penyelenggaraan, terutama pengawasan, dan pembinaan hukum perkawinan
masyarakat. Pada tataran ini, penghulu Negara diberi keistimewaan berupa
kewenangan sebagai pejabat administrasi perkawinan Negara sekaligus peran
keulamaan di bidang perkawinan.
132
133
Kedua, penghulu non-Negara merupakan institusi dengan otoritas lain di
samping penghulu Negara. Eksistensi penghulu non-Negara di samping penghulu
Negara merupakan institusi alternatif di samping penghulu Negara dengan otoritas
khas dari masyarakat setempat. Otoritas ini didasarkan pada kharisma individu
penghulu non-Negara dan dipelihara oleh tradisi masyarakat setempat. Melalui
otoritas ini, penghulu non-Negara mampu mengakomodir penyelenggaraan
perkawinan secara agama, bukan secara Negara (legal formal), di tengah
masyarakat, khususnya bagi pasangan yang terkendala persyaratan administrasi
perkawinan dan lain sebagainya. Pada tataran ini, penghulu non-Negara
merepresentasikan ulama murni yang memiliki otoritas alternatif di samping
penghulu Negara.
Ketiga, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, di satu sisi institusi
kepenghuluan merepresentasikan otoritas yang berbeda di mata masyarakat—
penghulu Negara merepresentasikan otoritas utama sedangkan penghulu non-
Negara merepresentasikan otoritas alternatif—dan di sisi lain masyarakat
menunjukkan ketergantungan yang masif dengan tingkatan yang berbeda. Kondisi
ini menjadikan masyarakat bergantung pada institusi kepenghuluan ini dalam
setiap penyelenggaraan perkawinan. Ketergantungan masyarakat umumnya
kepada penghulu Negara dan ketergantungan pasangan kawin kyai kepada
penghulu non-Negara.
Eskisistensi penghulu Negara dan penghulu non-Negara atas masyarakat
ini kemudian menghantarkan kita untuk melihat bahwa sosok ulama masih
menanamkan pengaruhnya, meski dalam bentuk pilihan alternatif, disamping
134
terlembaganya penghulu yang ditunjuk Negara sebagai pemangku otoritas
tunggal. Bedasarkan otoritas yang terbatas ini, penghulu non-Negara tampil
sebagai pilihan alternatif sekaligus aktor yang memelihara tradisi keulamaan
sebagai tempat masyarakat berkonsultasi dan menyelesaikan permasalahan
mereka yang tidak diakomodir oleh aktor penghulu Negara.
Demikianlah eksistensi penghulu Negara dan penghulu non-Negara
berdasarkan otoritas yang dimiliki masing-masing di tengah masyarakat setempat.
Perbedaan otoritas ini pada akhirnya melahirkan ketergantungan masyarakat
terhadap insitusi kepenghuluan ini dalam penyelenggaraan perkawinan dengan
tingkat ketergantungan yang berbeda. Eksistensi penghulu non-Negara ini juga
memperlihatkan bagaimana penghulu non-Negara (ulama desa) muncul sebagai
aktor alternatif yang menjadi acuan sekaligus tempat masyarakat menyelesaikan
permasalahan mereka, khususnya masalah perkawinan. Pada tataran ini, penghulu
non-Negara muncul sebagai pemelihara tradisi (ajaran agama) yang tidak bisa
diakomodir oleh penghulu Negara karena keterbatas otoritas dan regulasi
peraturan-perundang-undangan yang menjadi acuan mereka.
2. Relasi antara Penghulu Negara dan Penghulu non-Negara di tengah
Masyarakat Sinarrancang
Berangkat dari kesimpulan di atas, kesimpulan kedua ini dapat dimulai
dari eksistesi penghulu Negara di satu sisi dan penghulu non-Negara di sisi lain
yang memiliki otoritas yang berbeda atas masyarakat namun sama-sama
menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap keduanya. Keadaan ini
mengindikasikan praktek kontestasi antara penghulu Negara dan penghulu non-
135
Negara dalam penyelenggaraan perkawinan. Kontestasi di sini ditunjukkan
dengan eksistensi penghulu non-Negara sebagai pilihan alternatif di samping
eksistensi penghulu Negara dengan otoritas tunggal yang diamanatkan oleh
peraturan perundang-undangan. Berikut ini dijelaskan bagaimana otoritas dan
modal yang mengitari kedua insitusi kepenghuluan ini berimplikasi pada praktek
kontestasi antara keduanya dalam ranah penyelenggaraan perkawinan.
Pertama, sumber otoritas yang berbeda antara penghulu Negara dan
penghulu non-Negara menjadikan keduanya berdiri sendiri dengan otoritas
masing-masing. Penghulu Negara dengan landasan Peraturan Perundang-
Undangan memiliki otoritas legal formal dalam pencatatan perkawinan umat
Islam. Penghulu non-Negara melalui kharisma individu dan tradisi masyarakat
setempat mengokohkan pengaruhnya melalui penyelnggaraan kawin kyai. Kondisi
inilah yang kemudian menstimulus kontestasi antara keduanya dalam
penyelenggaraan perkawian.
Kedua, kontestasi otoritas di atas dipertajam dengan kepemilikan modal
yang berbeda dari kedua institusi ini. Perbedaan kepemilikan modal ini pada
gilirannya semakin memperuncing kontestasi antara keduanya. Penghulu Negara,
dengan landasan hukum yang kuat namun karena tidak didukung oleh
kepemilikan modal ekonomi dan sosial yang memadai, membuat institusi ini
kerap menemui kendala dalam praktek namun dengan semakin meningkatnya
kesadaran masyarakat (budaya) menjadikan pelembagaan kawin tercatat semakin
baik. Adapun penghulu non-Negara dengan modal sosial budaya yang dimiliki
menjadi tujuan alternatif bagi pasangan yang menemukan kendala, baik ekonomi
136
maupun administraif, melangsungkan perkawinan tercatat. Pergulatan antara
otoritas dan modal masing-masing ini menunjukkan praktek kontestasi antara
keduanya dalam ranah penyelenggaraan perkawinan.
Meski demikian, saat penghulu yang ditunjuk Negara (P3N) terlibat
dalam rutinitas kemasyarakatan dan keagamaan yang sama keduanya dapat
bergumul dan bekerjasama dengan saling terlibat dan mendukung. Namun ketika
pergumulan ini dibenturkan pada kasus perkawinan yang tidak mampu
diakomodir oleh penghulu Negara melalui agen P3N maka sosok penghulu non-
Negara muncul dan melahirkan kontestasi dalam menyelesaikan masalah
perkawinan.
Demikianlah kesimpulan yang dihasilkan melalui penelitian ini di mana
terlembaganya praktek kawin kyai secara alternatif di tengah masyarakat setempat
menunjukkan bahwa: pertama, terjadi kontestasi antara institusi penyelenggara
perkawinan yaitu antara penghulu Negara dengan penghulu non-Negara yang
dipertajam dengan kepemilikan modal masing-masing dalam ranah tersebut.
Kedua, dalam penyelenggaran upacara atau ritual perkawinan masyarakat
menunjukkan ketergantungan yang masing, ketergantungan utama dalam
perkawinan tercatat kepada penghulu Negara dan ketertantungan alternatif dalam
kawin kyai kepda penghulu non-Negara. Namun dalam aspek tertentu, baik
penghulu Negara maupun penghulu non-Negara, dapat saling bekerjasama dalam
kehidupan sosial dan keagamaan.
137
B. Saran
1. Otoritas penghulu Negara sebagai pemangku otoritas tunggal perlu
didukung dengan kepemilikan modal yang memadai. Kontestasi antara
penghulu Negara dan penghulu non-Negara yang ditemukan dalam
penelitian ini sedikit banyak disebabkan keterbatasan penghulu Negara
dalam menguasai modal di ranah masyarakat, terutama modal ekonomi
dan budaya. Dengan demikian, reformasi birokrasi di tingkatan KUA perlu
dititik-beratkan pada perbaikan dana penunjang program kegiatan dan
pemberdayaan P3N di tengah masyarakat.
2. Para pelaku kawin kyai perlu didorong untuk melakukan upaya hukum,
seperti is|ba>t an-nika>h}, tawki>d an-nika>h}, dan tajdi>d an-nika>h} di kantor
KUA dan Pengadilan Agama, guna menghindari dampak yang timbul dari
perkawinan tidak tercatat. Saran ini selain didasarkan pada maksud
preventif tersebut juga didasarkan pada kenyataan bahwa di tingkatan
KUA Mundu upaya tawki>d an-nika>h} dan tajdi>d an-nika>h} dapat
diakomodir dan upaya is|ba>t an-nika>h masih diakomodir oleh Pengadilan
Agama Sumber.
3. Dari penguatan modal dan upaya penanggulangan di atas, penghulu
Negara perlu lebih aktif dalam menyelenggarakan peran dan fungsinya di
tengah masyarakat. Peran aktif tersebut dapat dilakukan dengan
memberdayaan P3N lebih dari sekedar pembantu administrasi lapangan.
Akhirnya, melalui upaya aktif ini diharapkan terjalin komunikasi dua arah
antara penghulu Negara dan masyarakat setempat.
138
DAFTAR PUSTAKA
Jenis Buku:
Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES, 1979.
Anwar, Syamsul, Studi Hukum Islam Kontemporer, cet. ke-1, Jakarta, RM Books: 2007.
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh jilid I: Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian, Jakarta: Prenanda Media, KENCANA, 2003.
Bisri, Cik Hasan, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi: Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1998.
Bisri, Cik Hasan, Pilar-pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Boudieu, Pierre, Distinctions: A Social Critique of the Judgment of Taste Cambridge: Harvard University Press, 1984.
Bourdieu, Pierre, Outline of a Theory of Practice, London: Cambridge University Press, 1977.
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI, Pedoman Penghulu, Jakarta: Departemen Agama, 2008.
Geertz, Clifford, The Javaanese Kijaji: The Changing Roles of a Cultural Broker. Comparative Studies in Society and History: 1960.
Hisyam, Muhammad, Caught Between Three Fires: The Javanese Pangulu Under The Dutch Colonial Administration 1882-1942, Jakarta: INIS: 2001.
Hooker, M.B., Islam Mazhab Indonesia: Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, alih bahasa oleh Iding Rosyidin Hasan, cet. Ke-2, Jakarta Selatan: Penerbit TERAJU, 2003.
Horikhosi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, terj. Umar Basalim dan Andi Mualry Sunrawa, Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, 1987.
Isma’il, Ibnu Qoyim, Kiai penghulu Jawa perannya di masa kolonial, Cet. 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
138
139
Kementerian Agama Ri Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinan Syariah, Modul Pelatihan Motivator Keluarga Sakinah, Jakarta: Tahun 2007.
Lukito, Ratno, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2001.
Mahar, Cheleen, dkk., ‘(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik’: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, terj. Pipit Maizier dari An Inroduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory, Yogyakarta: Jalasutra, 2009.
Minhaji, Akh., Islamic Law and Local Tradition: A Socio-Historical Approach, Yogyakarta, Kurnia Kalam Semesta Press, 2008.
Mudzhar, Atho’, Studi Hukum Islam dengan pendekatan Sosiologis’, dalam Pidato pengukuhan Guru Besar tanggal 15 Sepetember 1999.
Nasution, Khoiruddin, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, cet. ke-1, Yogyakarta: ACAdeMIA + TAZZAFA, 2009.
Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali, 1983.
Nurhaedi, Dadi, Nikah Bawah Tangan: Praktik Nikah Sirri Mahasiswa Jogja, Jogjakarta: Saujana Percetakan Ar-Ruzz Media Jogja, 2003.
Nurlaelawati, Euis, Modernization, Tradition, and Identity:The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesiaan Religious Courts, (Dutch: Amsterdam University Press, 2010.
Rahim, Husni, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1998.
Ramulyo, Mohd. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: IHC, 1986.
Rasyidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, cetakan ke-6, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Turner, Bryan S., Weber and Islam: Critical Study, London: Routledge and Kegan Paul, 1974.
Jenis Laporan Penelitian, Thesis, dan Laporan Lainnya:
140
140
Kaliky, Ismail, “Kawin di Bawah Tangan: Studi Evaluasi Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Kota Ambon,” Thesis S-2 tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijga (2012).
Laporan Akhir Tahun 2011 Kementerian Agama Kantor Urusan Agama Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
Laporan Akhir Tahun 2012 Kementerian Agama Kantor Urusan Agama Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
Laporan Akhir Tahun 2013 Kementerian Agama Kantor Urusan Agama Kecamatan Mundu Kabupaten Cirebon.
Law Report: Putusan/Penetapan Pengadilan Agama Tahun 1982, Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Ditjen BINBAGA Islam Departemen Agama, Jakarta, 1983/1984.
Makhrus, Muhammad, “Studi Terhadap Perkawinan Sirri di Kabupaten Purworejo,” Thesis S-2 tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga (2012).
Jenis Jurnal dan Makalah Ilmiah:
Al Farabi, “Budaya Kawin Kyai: Studi terhadap praktek nikah sirri di Desa Sinarrancang Kecamatan Mundu Cirebon,” jurnal Al Ahwal, Fakultas Syariah dan hukum UIN Sunan Kalijaga (2011).
Iqbal, Imam, “Pemikiran Pierre Bourdieu tentang Perubahan Sosial-Budaya,” Makalah, dipresentasikan pada Latihan Kader II HMI Cabang Yogyakarta tanggal 01 Februari 2012 di Yogyakarta.
Kamsi, “Book Review: Studi Kritis Undang-Undang Perkawinan Indonesia,” Jurnal Asy-syir’ah Vol. 42 (Tahun 2008).
Turner, Stephen, “Charisma Reconsidered,” Journal of Classical Sociology, Vol 3(1): 5–26 London, Thousand Oaks and New Delhi: SAGE Publications, (2003).
Jenis Peraturan Perundang-Undangan:
Huwelijksordonantie S. 1929.
Penjelasan Umum Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Tanggal 21 Nopember 1946.
141
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1994.
Staatblad 1898-158 tentang Keputusan Raja Belanda tanggal 29 Desember 1896.
UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU. No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.
UU. No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang RI Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di Seluruh Daerah Jawa dan Madura.
Voorstenlandseche Huwelijksordonantie S. 1933.
Jenis tidak Dicetak
Junaedi, M., “Kampung-kampung yang penduduknya banyak nikah sirri”, Jambi Independent (Koran Online), http://www.jambiindependent.co.id. Akses 31 oktober 2010.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, akses 24 Juni 2013.
Cik Hasan Bisri Cik Hasan Bisri, dilahirkan di Desa Tapos, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, tanggal 5 September 1946. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, ia melanjutkan pendidikan tinggi: Program Sarjana Muda pada Fakultas Hukum Islam Universitas Ibnu Khaldundi Bogor (tamat pada tahun 1973); Program Sarjana Lengkap di Jurusan Peradilan Agama, Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Jati Program Sarjana Lengkap di Jurusan Peradilan Agama, Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung (tamat tahun 1978); Program Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang (1980-1981); dan Program Pascasarjana Bidang Sosiologi Pedesaan di Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, di Bogor (tamat tahun 1988).
Selama menunaikan tugasnya sebagai pegawai negeri sipil, ia pernah menjadi guru agama pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Bogor (1967-1973); guru Madrasah Tsanawiyah Persatuan Islam di Bandung (1973-1977); tenaga administrasi pada Sekretariat IAIN Sunan Gunung Djati (1977-1978. Sejak tanun 1978 hingga kini menjadi tenaga pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Sunan Gunung Djati. Mata kuliah tetap yang diasuhnya adalah Peradilan Agama. DI samping itu, mengajar Metodologi Penelitian.
Adapun karya ilmiah yang dihasilkannya terdiri dari beberapa kategori, di antaranya. Kategori buku: Peradilan Agama di Indonesia (1996); Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia (1997); Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi: Bidang Ilmu Agama Islam (1997); Peradilan Islam dalam Tantanan Masyarakat Indonesia (1997); Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional (1998); Agenda Pengembangan Pendidikan Tinggi Agama Islam (1998); Ilmu, Pengelitian, dan Pendidikan Tinggi: Wacana Pengembangan Ilmu Agama Islam (2000); Model Penelitian Fiqh (2003); dan Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam. Selain buku-buku yang telah dihasilkan tersebut, ia juga produktif dengan menyumbangkan tulisan pada beberapa jurnal ilmiah—di antaranya: Dialog, Mimbar Hukum, Mimbar Studi, dan Hamdard Islamicus—dan terlibat dalam penyuntingan beberapa buku. Husni Rahim
Husni Rahim, lahir 23 Maret 1946 di Pagaralam, Sumatera Selatan. Tugas utama-nya adalah pegawai Direktorat Pembinaan Perguruan Agama Islam, Departemen Agama, sebagai direktur, sejak 1995. Riwayat pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat Nahdatul Ulama, Pagaralam (tamat 1958), kemudian melanjutkan ke sekolah Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN), Curup, Bengkulu (tamat 1962), lalu ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), Yogyakarta (tamat 1964). Setelah itu mendapat tugas belajar untuk kuliah di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hingga meraih gelar sarjana
II
(Drs.) tahun 1972, dan mengikuti Program Doktor (S3) di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang diselesaikannya tahun 1994.
Di antara program pendidikan tambahan (informal) yang pernah diikutinya adalah pada: Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1996-1970); Kursus Kedinasan Statistik, Pusat Statistik, Jakarta (1975); Kursus Penelitian di Universitas Atmajaya, Jakarta (1975); Kursus Manajemen Umum di Lembaga Pendidikan Pembinaan Manajemen (LPPM), Jakarta (1977); Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial (PLPIIS), Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, (1981-1982); Postgraduate Course of Islamic Studies di Rijks Universiteit, Leiden, Belanda, (1983-1984); Penelitian Penghulu dalam Masyarakat Palembang Abad ke-19 dan 20 di Negeri Belanda (1991-1992); dan program Stategic Managenet Course, McGill University, Montreal, Canada (1992). Ibnu Qoyim Isma’il
Ibnu Qoyim Isma’il, anak kelima dari delapan bersaudara putra pasangan Isma’il Sjadja’ie dengan Siti Qothuro ini lahir di Kauman Purbalingga Jawa Tengah pada tahun 1954. Kedua orang tuanya berdarah Kyai Penghulu, Purbalingga dan Banjarnegara. Sejak kecil hidup di tengah lingkungan keluarga kepengulon. Setelah menamatkan pendidikan sekolah atas di madrasah yang didirikan oleh ayahnya sendiri di kompleks Masjid Agung Purbalingga, Madrasah Aliyah Al-Ushriyyah, kemudian melanjutkan pendidikan akademisnya ke Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga di Yogyakarta, dengan mangambil bidang studi Ilmu Perbandingan Agama. Selanjutnya mengambil pendidikan Pascasarjana bidang studi Sejarah di Universitas Gadjah Mada juga di Yogyakarta.
Perjalanan karirnya antara lain pernah menjadi reporter untuk penyusunan buku “Apa dan Siapa Orang Terkemuka di Indonesia 1983-1984”, penerbit Grafiti Pers, menjadi Dosen Agama Islam Akademi Sekretaris dan Manajemen Indonesia (AKSMI), Fultas Hukum Universitas Gotong Royong (UNIGOR), pada Fakultas Teknik Universitas Borobudur, Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila, dan di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, semuanya di Jakarta. Sejak tahun 1983 hingga sekarang, sebagai peneliti bidang kemasyarakatan dan kebudayaan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). (Tahun 1983-1986 menjadi peneliti Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas)-LIPI, 1986 sampai sekarang menjadi peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB – LIPI). Mulai tahun 1994, diangkat sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan Religi dan Filsafat PMB – LIPI sampai sekarang. Selain itu menjadi Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) periode 1996-2001. Juga menjadi anggota dewan redaksi Majalah Sejarah, yang diterbitkan oleh MSI pusat bekerjasama dengan Gramedia dan Toyota Foundation, serta menjadi dewan redaksi journal pendidikan “Educatio Indonesia”, UMS Surakarta, Journal “Kajian” Fisip UM Jakarta, Journal “Educatio Indonesae” IKIP Muhammadiyah Jakarta, Journal “Sejarah” MSI-Gramedia Jakarta, “Mimbar Ulama” MUI Jakarta. “Ensklipodia
III
Islam” Pusat Bahasa di Malaysia, “Seratus Tahun Haji Agus Salim” penerbit Sinar Harapan, dan lain sebagainya. Kamal Muchtar
Beliau pernah menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga dengan mengampu mata kuliah hukum Islam. Diantara karya beliau adalah: 1) Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, 1993. 2) Bersama tim, Ushul Fiqh: Jilid II, 1995. Selain itu aktif juga menulis di jurnal ilmiah seperti di Al-Jami’ah. Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu, Profesor Sosiologi pada College de France, lahir pada tahun 1930 di provinsi Bearn, Prancis Selatan. Ia anak pegawai negeri (pegawai pos) yang mengenyam pendi-dikan di lingkungan kaum elit, yakni di École Normale Supérieure pada tahun 1951. Basis pendi-dikan ini kelak menjadi sisi menarik dari Bourdieu, dan memiliki implikasi yang tidak kecil terha-dap suburnya semangat perlawanan dalam dirinya. Sebab orang yang berasal dari daerah pe-dalaman dan dari keluarga sederhana, di École Normale Supérieure Bourdieu justru harus meng-hadapi kultur kalangan borjuis. Sebagaimana diakuinya sendiri bahwa meskipun ia memperoleh pendidikan di lingkungan elit, tetapi dia justru menentang lingkungan tersebut, karena di sana ia merasakan marginalitas intelektual dan sosio-kultural.
Bourdie pernah mengajar untuk beberapa lama di sekolah provinsi sebelum masuk wajib militer pada 1956. Tahun 1960 dia kembali ke Prancis dan bekerja sebagai asisten di Universitas Paris setelah beberapa lama di Algeria. Dia sempat mengikuti kuliah antropolog Lévi-Strauss di College de France dan bekerja sebagai asisten untuk sosiolog Raymond Aron. Kemudian ia pin-dah ke Universitas Lille, dan bekerja di sana selama tiga tahun. Bourdieu menduduki posisi yang kuat pada 1964 sebagai Direktur Studi di L’École Practique des Hautes Etudes.
Bourdieu pernah melakukan riset etnografis di Algeria semasa perang, dari tahun 1958 sampai 1961. Di sana, ia memusatkan perhatianya pada kehidupan di lingkungan kaum Kabilah tanpa pemimpin (acephalous Kabyle). Hasil riset inilah yang kelak menjadi titik-tolak baginya dalam mengembangkan pelbagai konsep utama mengenai ‘praktik’ (theory of practice).
Pada penggal kedua kehidupannya, Bourdieu menjadi figur utama di lingkaran intelek-tual Prancis. Karyanya berpengaruh terhadap sejumlah bidang yang berbeda, di antaranya pen-didikan, antropologi, dan sosiologi. Sejak 1960-an dia mengumpulkan sekelompok murid untuk berkolaborasi dengannya dalam menggagas kontribusi intelektual yang khas. Sejak Centre de Sociologie Europeenne didirikan pada 1968, Bourdieu bertindak sebagai direkturnya. Bersama asosiasi ini muncul usaha terbitan yang unik, Actes de la Recherche en Sciences Sociales, yang menjadi outlet penting untuk karya-karya Bourdieu dan pendukungnya.
Bourdieu menjadi penulis yang semakin produktif sejak ia memangku jabatan sebagai pimpinan di College de France, setelah Raymond Aron pensiun pada tahun 1981. Saat itu, bebe-rapa sosiolog Prancis terkemuka, seperti
IV
Raymond Boudon dan Alain Touraine bersaing untuk menduduki jabatan tersebut. Bourdieu meninggal pada tanggal 23 Januari 2002, setelah melempengkan jalan baru bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
V
Lampiran II
TABEL PERNIKAHAN DI EMPAT RT (II, V, VII, DAN X)
RT 02 RW 01
Ketua RT : Pak Jumlah KK : 55 KK
No Nama Prosedur Nikah Tahun Ket 1 Yanto KUA - D 2 Wartani KUA - D 3 Iksan KUA - D 4 Darji KUA - D 5 Basir Sirri - A 6 Surya Sirri - A 7 Kasda KUA - D 8 Tina Sirri - A 9 Nurwahid - - - 10 Salim Sirri+KUA - C 11 Hamid KUA - D 12 Saleh KUA - D 13 Anwar Sirri - A 14 Casna Sirri - A 15 Buang Sirri - A 16 Isma Sirri+KUA - C 17 Edi Sirri - A 18 Oot Sirri - A 19 Toha Sirri - A 20 Hasan Sirri + 1992 B 21 Usman Sirri+KUA - C 22 Roba Sirri - A 23 Sajir Sirri - A 24 Nikum Sirri - A 25 Rustini KUA - D 26 Sarwa Sirri - A 27 Mus Sirri - A 28 Wamakin Sirri - A 29 Parta KUA - D 30 Mukamad - - - 31 Aktori KUA - D 32 Muhammad KUA - D
VI
33 Urip Sirri + 1992 B 34 Bangkon KUA - D 35 Medi Sirri - A 36 Casiwan Sirri - A 37 Dirman Sirri+KUA - C 38 Rasan Sirri - A 39 Jened Sirri - A 40 Guru Rakhman Sirri+KUA - C 41 Wasiah Sirri - A 42 Darna KUA - D 43 Mista KUA - D 44 Kisa Sirri - A 45 Udin KUA - D 46 Siryada KUA - D 47 Solek KUA - D 48 Sulya KUA - D 49 Tani KUA - D 50 Mulki Sirri - A 51 Mana KUA - D 52 Dul Wahid KUA - D 53 Sarja KUA - D 54 Rakidin KUA - D 55 Sakum KUA - D
Sumber: Wawancara dengan kepala RT dan warga
RT 05 RW 02
Ketua RT : Pak Tafsir Jumlah KK : 64 KK
No Nama Prosedur Nikah Tahun Ket 1 Nuradi Sirri 1971 A 2 Junaidi KUA - D 3 Tarmina KUA - D 4 Bawi KUA - D 5 Salman Sirri 1971 A 6 Buang KUA - D 7 Abdullah Sirri+KUA - C 8 Kasa Sirri+KUA - C 9 Jeni KUA - D
VII
10 Rasdi Sirri 1971 A 11 Tafsir Sirri 1971 A 12 Ranisa KUA - A 13 Arta KUA - D 14 Wasli Sirri 1950 A 15 Asir Sirri - A 16 Rapijan Sirri - A 17 Mahmud Sirri + 1992 B 18 Suhendi Sirri 1989 A 19 Armadi KUA - D 20 Ofik KUA - D 21 Kasma Sirri 1971 A 22 Ambia KUA - D 23 Munasar Sirri 1971 A 24 Wasdiah KUA - D 25 Ramin Sirri 1980 A 26 Sarjono KUA - D 27 Sujat Sirri+KUA - C 28 Abdurrahim KUA - D 29 Asyka KUA - D 30 Jasa KUA - D 31 Maryati Sirri - A 32 Saifudin KUA - D 33 Sumarna Sirri 1970 A 34 Rastam KUA - D 35 Wasid Sirri 1970 A 36 Ujang Bustomi KUA - D 37 Rokhmad KUA - D 38 Sukardi Sirri 1970 A 39 Rasim Sirri 1970 A 40 Darso KUA - D 41 Sukari Sirri 1970 A 42 Rasiman KUA - D 43 Rusdi KUA - D 44 Ajis KUA - D 45 Ema KUA - D 46 Nono Sirri+KUA - C 47 Kani Sirri - A 48 Nawi Sirri 1970 A
VIII
49 Agus KUA - D 50 Hendi Sirri - A 51 Sukanta Sirri 1970/1971 A 52 Maman KUA - D 53 Udin KUA - D 54 Astam Sirri 1971 A 55 Sarfani Sirri 1960 A 56 Suadi Sirri 1971 A 57 Turadi KUA - D 58 Safin Sirri 1980 59 Kasdari KUA - D 60 Kasan Sirri 1970 A 61 Juli KUA - D 62 Tarmad Sirri - A 63 Sanijan KUA - D 64 Kamim KUA - D 65 Sanirah Sirri - A
Sumber: Wawancara dengan kepala RT dan warga, tanggal 8 Juli 2013
RT 07 RW 03
Ketua RT : Pak Kaya Jumlah KK : 81 KK
No Nama Prosedur Nikah Tahun Ket 1 Kartam Sirri - A 2 Saran KUA 1991 C 3 Sukaya KUA - D 4 Nermi Sirri - A 5 Karnita Sirri - A 6 Surman Sirri + 1992 B 7 Sukarno Sirri + 1992 B 8 Tarkim Sirri + 1992 B 9 Tarmedi Sirri - A 10 Subandi Sirri - A 11 Samin KUA - D 12 Kajim Sirri - A 13 Eboh Sirri - A 14 Warsini Sirri - A 15 Jarim Sirri - A 16 Daska KUA - D
XI
17 Warti Sirri - A 18 Karja Sirri + 1992 B 19 Talam Sirri + 1992 B 20 Wari KUA - D 21 Rawiyah Sirri - A 22 Dardi Sirri - A 23 Nurman Sirri + 1992 B 24 Badirah Sirri + 1992 B 25 Maksum Sirri - A 26 Wanto Sirri + 1992 B 27 Karimah Sirri - A 28 Diman Sirri + 1992 B 29 Bakar Sirri - A 30 Barto KUA - D 31 Sumi Sirri + 1992 B 32 Pijan Sirri - A 33 Rumini Sirri - A 34 Niyah Sirri - A 35 Kadimah KUA - D 36 Suwari Sirri - A 37 Kadi KUA - D 38 Kajrah Sirri - A 39 Jawiyat Sirri - A 40 Juma Sirri - A 41 Ropi KUA - D 42 Akias Sirri - A 43 Enda Warga pendatang dan telah menginggalkan desa
44 Tini Sirri - A 45 Kasdi KUA - D 46 Sudarya Sirri + 1992 B 47 Nurita Sirri + 1992 B 48 Bani Sirri + 1992 B 49 Widi Sirri + 1992 B 50 Dursilah Sirri - A 51 Danjani Sirri + 1992 B 52 Caca Effendi KUA - D 53 Kaya Sirri - A 54 Rasmadi Sirri - A
XII
55 Sugi KUA - D 56 Simah Sirri - A 57 Sukilah Sirri - A 58 Siti Sirri - A 59 Akmad KUA - D 60 Mi’ad Sirri + 1992 B 61 Oni Sirri - A 62 Kaswita Sirri - A 63 Bandi KUA - D 64 Kartono KUA - D 65 Kasmin Sirri - A 66 Junedi KUA - D 67 Dodi KUA - D 68 Eti Sirri - A 69 Kadma KUA - D 70 Turnminah Sirri - A 71 Rokhman Sirri + 1992 B 72 Akid Sirri - A 73 Rukmini Sirri - A 74 Nawi Sirri - A 75 Saedi Sirri - A 76 Rawud Sirri + 1992 B 77 Warma KUA - D 78 Amin KUA - D 79 Sutar Sirri + 1992 B 80 Sawita Sirri - A 81 Dastam KUA - D
Sumber: Wawancara dengan kepala RT dan warga, tanggal 18-11-2010
RT 10 RW 04
Ketua RT : Pak Sajak Jumlah KK : 45 KK
No Nama Prosedur Nikah Tahun Ket 1 Misja Sirri - A 2 Wadi KUA - D 3 Walya Sirri + 1992 B
XIII
4 Sajak Sirri - A 5 Yayat KUA - D 6 Misca Sirri - A 7 Satari KUA - D 8 Sujana Sirri - A 9 Suwanda Sirri - A 10 Resin Sirri - A 11 Aka KUA - D 12 Sera Sirri - A 13 Waryan Sirri + 1992 B 14 Casmina Sirri - A 15 Sumirah Sirri - A 16 Kasta KUA - D 17 Robbana Sirri - A 18 Talim Sirri - A 19 Wastilah Sirri - A 20 Sarida Sirri - A 21 Saena Sirri + 1992 B 22 Tusmin Sirri - A 23 Sarwin Sirri - A 24 Sumar Sirri - A 25 Janim KUA - D 26 Andi KUA - D 27 Jambar Sirri - A 28 Juwedi Sirri + 1992 B 29 Asadi Sirri - A 30 Najad Sirri - A 31 Rasimah Sirri - A 32 Warniti Sirri - A 33 Pandi KUA - D 34 Suwedi Sirri - A 35 Madi Sirri - A 36 Luqman KUA - D 37 Samid KUA - D 38 Bujal Sirri - A 39 Sarji Sirri - A 40 Surtani KUA - D 41 Jardi Sirri - A 42 Misja D Sirri - A 43 Santeri Sirri - A
XIV
44 Ucu Sirri - A 45 Sri Sirri - A
Sumber: Wawancara dengan kepala RT dan warga, tanggal 19-11-2010
Keterangan:
Dari tabel di atas, terdapat keterangan dengan menggunakan abjad
A, B, C, dan D sebagai kode. Abjad A untuk menunjukkan perkawinan
dilangsungkan secara sirri di tahun 1990-an Kebawah, abjad B untuk
menunjukkan perkawinan yang dilangsungkan secara sirri pada tahun
1990-an ke atas, abjad C untuk menunjukkan perkawinan yang tercatat di
KUA di tahun 1990-an kebawah, dan kode D untuk menunjukkan
perkawinan yang tercatat di KUA di tahun 1990-an ke atas. Untuk jenis
kode C terdapat yang dahulu tidak tercatat namun karena kebutuhan
tertentu (seperti menjadi pejabat desa), maka dia mencatat dan
mendaftarkan perkawinannya di KUA/nikah ulang.
XV
Lampiran III
5.68 cm
Perjalanan Jogja-Cirebon terpaksa terhenti sejenak karena banjir di Ajibarang
Suasana di Masjid At-Taqwa (alun-alun) saat pertama kali tiba di kota Cirebon
Suasana Desa Sinarrancang di siang hari Desa Sinarrancang dilihat dari sebarang Setu Patok
Peneliti tiba di KESBANGLINMAS Cirebon mengurus perizinan
Kantor KUA Mundu
XVI
Pemandangan di balik Desa Sinarrancang Suasana Setu Sinarrancang saat senja
Rehat bersama warga setelah berpartisipasi menyiram kebun
Berpartisipasi dalam obrolan warga di malam hari
Silaturrahmi bersama pasangan Sartinah-Turoh beserta keluarga
Silaturrahmi di rumah kepala RT 6
XVII
Berbincang-bincang dengan Kyai Dirman di pelataran masji Sinarrancang
Berbincang-bincang dengan apparatus Desa SInarrancang
Sekretaris Kecamatan Mundu bersama staff berpose setelah diwawancarai
Kepala KUA (sebelah kanan) berpose setelah diwawancarai
Peneliti menghadiri prosesi tawkid nikah di kantor KUA Mundu
Peneliti di Pengadilan Agama Sumber Kabupaten Cirebon
XVIII
Survey ke Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Peneliti di Depan Pengadilan Sumber setelah melakukan wawancara
Pak Cacah Efendi bersama keluarga
Struktur KEMENANG Kabupaten Cirebon
Fasilitas pedidikan di Sinarrancang
XIX
Lampiran IV
1. Deskripsi perkawinan1
a. Proses pelaksanaan perkawinan b. Latar belakang menikah c. Aktor yang mengakomodir kawin kyai d. Pemenuhan syarat dan rukun e. Publikasi perkawinan f. Pencatatan formal/non-formal
2. Penyebab melangsungkan perkawinan dengan kawin kyai
a. Alasan menikah secara kawin kyai b. Status kawin kyai menurut pelaku c. Status kawin kyai di mata masyarakat sekitar
3. Pelembagaan hukum perkawinan Islam dan hukum pencatatan perkawinan
a. Pengetahuan dan pemahaman terhadap syarat sah perkawinan dalam Islam b. Pandangan terhadap hukum Islam c. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum pencatatan perkawinan d. Pandangan terhadap UUP
4. Relasi suami-istri kawin kyai
a. Pemenuhan hak dan kewajiban lahir batin antara suami istri: Ekonomi,
biologis, prikologis, sosiologis, dan religius.
b. Status anak dari kawin kyai
c. Kendala dan penyelesaian konflik rumah tangga kawin kyai.
1 Waktu wawancara:
Jama : Hari : Tanggal : Tempat :
Pedoman Wawancara
Nama : Suami/Istri : TTL : Tahun Menikah : Agama : Tempat Menikah : Pekerjaan : Penghasilan :
XX
Jl. Ahmad Yani No 05 Rt 03 / Rw 02 Kelurahan Talang Ulu Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu.
Strata Satu (S1) Jurusan al-Ahwal asy-Sakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2011.
Lampiran V
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri Nama : ALFARABI, S.H.I No. KTP : 474.4/2607/0730343/2008 Tempat/Tanggal lahir : Curup, 09 Desember 1987 Jenis Kelamin : Pria Agama : Islam Status Perkawinan : Belum Kawin Alamat Rumah : Nama Ayah : M. Nazir, S.Pd Nama Ibu : Nurjanah, S.Pd.I. No HP : 085643495143 Email : [email protected] / [email protected]
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal a. Tamatan : TK Aisyiah Curup R/L Bengkulu Tahun 1993 b. Tamatan : MI Muhammadiyah Talang Ulu Tahun 1999 c. Tamatan : PM. Darussalam Gontor Ponorogo Tahun 2005 d. Tamatan :
2. Pendidikan Non-Formal dan Pelatihan a. Kursus Lengkap empat semester English Ektention Course (EEC)
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Periode 2010-2013 b. English Training on Holiday – 1 Program, MAHESA Institute 2008. c. Lembaga Pendidikan Bahasa Ara dan Studi Islam “Ali bin Abi
Thalib” Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2012. d. Kurus Bahasa Jerman di Pusat Bahasa UIN Sunan Kalijaga Tahun
2008. e. Diklat Karya Lembaga Bantuan Hukum (KALABAHU) LBH
Yogyakarta Tahun 2008. f. Latihan Kader (LK) I HMI Fakultas Tarbiyah Cabang Yogyakarta
g. Latihan Kader (LK) II HMI Cabang Yogyakarta Tahun 2012. h. Senior Course (SC) HIM Cabang Yogyakarta Tahun 2012. i. Sekolah Filsafat Islam HMI Cabang Yogyakarta Tahun 2007. j. Sekolah Kritik Idiologi IMPULSE Yogyakarta. k. Sekolah Jurnalisme Kritis IMPULSE Yogyakarta.
C. Riwayat Pekerjaan
1. Staff Pengajar di Ponpes. Darul Istiqomah Pakuniran Bondowoso Jawa Timur Tahun 2005-2007.
2. Pasilitator Lapangan CDASC : Pelatihan siaga bencana wilayah kerja Curup Bengkulu Tahun 2007.
D. Prestasi/Penghargaan
1. Wisudawan terbaik dan tercepat tingkat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga periode 2 tahun 2011.
2. Delegasi UIN Sunan Kalijaga dalam Lomba Debat Konstitusi di Mahkamah Konstitusi Jakarta tahun 2009.
3. Delegasi UIN Sunan Kalijaga dalam Lomba Debat Konstitusi di Regional Jawa Tengah di Surakarta tahun 2010.
4. Juara 3 Regional Jawa Tengah (Sebagai Pendamping) Debat Konstitusi UIN Sunan Kalijaga di Semarang tahun 2011.
E. Pengalaman Organisasi
1. Ketua Korps LK I HMI Tarbiyah angkatan 2007. 2. Wakil Ketua Korps “MAPAH” PSKH angkatan 2007. 3. Anggota SPBA Divisi Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga Tahun 2007. 4. Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum Periode 2009-2010. 5. Ketua Bidang Pengembangan Wacana dan Kepustakaan (PWK) Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta 2011-2013. 6. Anggota Badan Pengelola Lapangan (BPL) Himpunan Mahasiswa Islam
Cabang Yogyakarta 2013. 7. Pengurus Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI)
Periode 2008-2009. 8. Pengurus Pusat Studi dan Konsultasi Hukum (PSKH) Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Periode 2008-2010. 9. Pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Advokasia periode 2008-2010.
F. Karya Ilmiah
1. Buku
XXII
a. Kontributor tulisan dengan tema “ketika kalkulasi ekonomi mengikis keramahan jogja,” dalam buku berjudul: Rerasan Jogja, terbitan Impulse-Kanisius 2008.
b. Kontributor tulisan dalam kumpulan resensi nasional buku jihad ilmiah dari Tremas ke Harvard, terbitan Nawesea 2009.
2. Artikel a. Budaya Kawin Kyai: Studi terhadap praktek nikah sirri di Desa
Sinarrancang Mundu Cirebon, Jurnal Al-Ahwal, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2011.
3. Penelitian a. “Pergeseran pola kos-kosan dari induk semang menjadi profit-oriented
di Desa Sapen Yogyakarta,” Sebagai Ketua Tim dalam Lomba penelitian kompetitif Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, 2008.
b. “Praktek Pekerja Anak Bawah Umur di Burjo Sapen,” Penelitian Kompetitif dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.