Penggunaan Skemata dalam Pembelajaran Berbicara (Speaking Class) dalam Bahasa Inggris (Sebuah Studi Comparative tentang Role Play dengan Script dan tanpa Script) Oleh Kadek Wiramarta SMAN 3 Denpasar Email: [email protected] CP : 081916540925
Penggunaan Skemata dalam Pembelajaran
Berbicara (Speaking Class) dalam Bahasa
Inggris
(Sebuah Studi Comparative tentang Role
Play dengan Script dan tanpa Script)
Oleh
Kadek Wiramarta
SMAN 3 Denpasar
Email: [email protected]
CP : 081916540925
Penggunaan Skemata dalam Pembelajaran Berbicara (Speaking Class)
dalam Bahasa Inggris
(Sebuah Studi Comparative tentang Role Play dengan Script dan
tanpa Script)
ABSTRACT
Studi berikut ini merupakan sebuah studi jangkapendek yang dilakukan untuk mengetahui efektifitasskemata dalam pembelajaran speaking. Hal ini munculdari sebuah pertanyaan, mampukah skemata membantu siswadalam pembelajaran speaking secara signifikan? Untukmembuktikan ini, sebuah studi dengan melibatkan 2 kelasdi SMAN 3 Denpasar yang diambil secara acak sebagaisampel dilakukan. Kedua kelas tersebut akanmendapatkan metode yang sama, Role Play. Namun dalamrole play ini, kedua kelas mendapatkan perlakuan yangberbeda. Kelas eksperimen mendapatkan perlakuan, dimana siswa mendapatkan skrip sebagai panduan mereka.Sedangkan kelas kontrol tidak mendapatkan skrip sebagaipanduan. Skrip ini dianggap sebagai skema yang akandimengerti oleh siswa sebelum proses role play ini.Setelah melakukan role play ini hasil didapatkan.Penelitian ini mampu membuktikan bahwa, skrip yangberfungsi sebagai pengaktif skemata telah mampumemberikan efek yang signifikan dalam prosespembelajaran. Dengan demikian diharapkan guru mulaimemberikan perhatian pada aspek skemata sebelumpembelajaran dimulai
Kata kunci : Role play, speaking, skemata
1. Latar Belakang
Setiap negara pastilah
memiliki kurikulum sebagai
panduan dalam pendidikan.
Menurut Goodlad dan Su (1992),
kurikulum didefinisikan
sebagai sebuah media dan
perangkat yang terdiri dari
rencana-rencana pengajaran
yang akan diaplikasikan kepada
peserta didik dalam jangka
waktu dan tempat tertentu.
Media ini diharapkan akan
mampu membawa perubahan pada
peserta didik baik dalam
pengetahuan, kemampuan dan
sikap ke arah yang lebih baik.
Di Indonesia, dalam
setiap pembelajaran, kurikulum
yang digunakan telah
merumuskan tujuan-tujuan atau
kompetensi yang telah
dikembangkan sebagai hasil
dari pengimplementasikan
kurikulum itu sendiri. Dalam
pembelajaran Bahasa Inggris,
terdapat empat skill yang
diharapkan bisa dikembangkan.
Salah satunya adalah speaking.
Tetapi pada kenyataannya
banyak peserta didik tidak
mampu untuk mencapai
kompetensi yang diharapkan
dalam kurikulum. Berdasarkan
hasil observasi sementara,
peserta didik merasa takut
untuk berbicara karena mereka
tidak siap untuk berbicara
baik dari segi vocabulary,
grammar,
Menurut Vacca (1998) ada
beberapa factor yang mampu
mempengaruhi kesiapan siswa
dalam menerima pembelajaran.
Salah satunya adalah skemata
atau pengetahuan awal anak.
Nunan (1999 : 257) juga
menyatakan bahwa pengetahuan
awal peserta didik akan
mempengaruhi ekspektasi siswa
akan materi yang akan
diajarkan. Jika skemata telah
diaktifkan , maka kemampuan
siswa dalam mencerna sebuah
materi akan menjadi lebih
baik. Irwin (1986) lebih jelas
menjabarkan bahwa pengetahuan
awal siswa adalah modal dalam
mencapai kesuksesan dalam
komunikasi. Secara mendetail,
kegagalan peserta didik dalam
berkomunikasi disebabkan
oleh : (1) tidak adanya
penghetahuan awal tentang
materi yang dibicarakan; (2)
skemata yang digunakan masih
belum sempurna; (3) tidak ada
informasi baru yang cukup
dalam perkembangan schema; (4)
penggunaan schema yang tidak
tepat dan; (5) schema yang ada
dalam pikiran peserta didik
masih tidak berkaitan dengan
apa yang dimaksudkan dalam
materi.
Implementasi dari teori
ini adalah sebelum pengajaran
dimulai, pendidik harus yakin
bahwa siswa memiliki
pengetahuan awal yang tepat
dan benar sebelum berlanjut ke
aktifitas pengajaran. Jika
siswa memiliki pengetahuan
yang kurang tentang apa yang
akan mereka lakukan, tingkat
kemengertian siswa juga akan
makin berkurang. Pada
akhirnya, performa siswa di
dalam kelas menjadi kurang
maksimal.
Sayangnya, tidak semua
peserta didik memiliki skemata
yang sama. Selain itu, siswa
terkadang mengatifkan skemata
yang salah dalam proses
pedagogik, Perlu peran serta
yang proaktif dari pengajar
untuk mengaktifkan skemata
yang benar sehingga pengajaran
akan menjadi lebih fokus dan
mudah diserap. Oleh karena
itu, sebelum mengajar,
pendidik harus berusaha
mengaktifkan bagian-bagian
skemata yang cocok untuk
pelajaran yang akan diajarkan
pada saat itu. Teori ini
dikuatkan oleh Rumelhart
(1985) yang menyatakan bahwa
sebuah skemata yang diaktifkan
secara aktif dan terus-menerus
akan sangat membantu siswa
dalam belajar.
Untuk membuktikan hal
itu, maka diimplementasikan
sebuah metode yang sama pada
dua kelas yang berbeda di
kelas X SMAN 3 Denpasar.
Metode yang digunakan adalah
role play.
Satu hal yang akan
membedakan kedua kelas
tersebut adalah, satu tim akan
mendapatkan skrip ketika
mereka akan melakukan role-
play sebagai panduan dalam
melakukan role play mereka .
Di lain pihak, kelas lainnya
tidak akan mendapatkan skrip
dan akan melakukan role-play
tanpa script. Nantinya rata-
rata nilai dari kedua group
akan dibandingkan dan akan
melalui uji SPSS untuk
menentukan signifikansi
perbedaan antara kedua cara
pengajaran ini.
Script dalam penelitian
dapat melambangkan sebagai
panduan yang bertujuan untuk
mengaktifkan skemata siswa
sebelum menjalani role play.
Dengan demikian, tujuan dari
penelitian ini, untuk mencari
tahu, apakah sebuah role play
dengan script memberikan efek
yang lebih signifikan
dibandingkan dengan role play
tanpa script, akan bisa
tercapai.
2. Tinjauan Pustaka
a. Skemata
Teori skemata pertama
kali dibicarakan oleh Frederic
Bartlett. Sebuah studi
dilakukan untuk membuktikan
eksistensi skemata di dalam
pikiran manusia. Sebuah cerita
daerah Amerika diberikan
kepada siswa untuk dibaca.
Setelah selesai diabaca, siswa
diminta untuk menceritakan
kembali apa yang mereka baca.
Namun banyak dari cerita ini
tidak sesuai dengan apa yang
mereka baca. Ada beberapa
bagian yang diganti oleh siswa
dengan alasan cerita itu lebih
familiar baginya. Dari
penelitian di atas, Bartlett
menarik kesimpulan bahwa
terdapat skemata atau struktur
mental tidak sadar sebagai
pengetahuan awal siswa tentang
dunia. Skemata lama inilah
yang terkadang mampu
mempengaruhi cepat atau
tidaknya skemata baru
dimengerti.
Menurut Rumelhart
(1985:18) skemata dapat
didefinisikan sebagai sebuah
struktur tentang konsep sebuah
benda yang tersimpan di dalam
memori otak manusia. Skemata
dapat menyimpan berbagai
informasi. Dengan bagian ini,
manusia bisa menerima,
merespin atau mengerti apa
yang dibicarakan kepada
mereka. Contohnya, ketika
seseorang berkata tentang
kamar tidur, maka pikiran akan
langsung membentuk sebuah
gambaran ruang yang memiliki
tempat tidur, lemari dan
sebagainya tergantung dari
pengetahuan awal pendengar.
Scheneider dan Pressley
dalam Thompson dan Byron
(2004) menyatakan bahwa
skemata adalah pengetahuan
yang telah dipelajari,
diketahui dan dialami oleh
peserta didik dalam hidupnya.
Selain itu, skemata sangat
membantu siswa dalam
pembelajaran. Individu yang
memiliki skemata yang lebih
luas atau skemata yang cocok
dengan materi yang diajarkan
pada saat itu akan membantu
siswa untuk mengingat dan
mengerti topik dengan lebih
baik.
Slavin (2006 : 182)
mendefinisikan skemata sebagai
informasi penting dan bermakna
yang terdiri dari elemen-
elemen yang berkaitan satu
sama lain, yang tersimpan di
dalam memori jangka panjang
kita. Lebih jauh, skemata
mampu menjadi sebuah media
pembantu dalam proses belajar.
Namun, kembali tingkat
komprehensi siswa tergantung
pada seberapa banyak skemata
yang cocok dengan materi yang
baru ini.
Terdapat beberapa
karakteristik dari skemata
menurut Rumelhart (1985) yang
seperti sebagai berikut :
a. Skemata memiliki variabel.
Variabel - variable dari
skemata ini dapat diasosiakan
pada benda yang dibicarakan.
Contohnya ketika seseorang
menyebut kata “memberi”, maka
ada beberapa benda yang bisa
diasosiasikan dengan kata ini
seperti penerima, hadiah dan
pemberi.
b. Skemata tentang satu topik
bisa melekat pada skemata
lainnya. Artinya satu schema
tentang sebuah topic bisa saja
mirip dengan schema tentang
topic lainnya. Variabel-
variabel dari skemata tersebut
mungkin mirip. Tapi, beberapa
variable hanya menjadi
karakteristik dari skema itu
saja. Contohnya, skema tentang
restoran Cina dan restoran
kaki lima. Mereka memiliki
beberapa variable sama seperti
makanan, minuman, meja,
pelayan, koki dan lainnya.
Akan tetapi variable seperti
sumpit akan menjadi khusus
milik resotran Cina.
c. Skemata merupakan pengetahuan
bukan fakta. Skemata adalah
apa yang manusia tahu tentang
sesuatu baik itu secara umum
benar, atau kebenaran sesaat
saja.
d. Skemata bisa tentang semua
benda. Ini artinya setiap
benda memiliki skemata
tersendiri di otak manusia.
Hanya saja skemata ini
terkadang tidak semuanya
benar.
e. Skemata adalah sebuah proses
yang aktif berkembang. Ketika
manusia menemukan sesuatu yang
baru, maka manusia akan
memperbaharui skematanya.
Landry (2002) menyatakan
bahwa berdasarkan tipe dari
informasi yang tersimpan dalam
skemata , terdapat tiga
skemata yaitu :
a. Content Skemata (Skemata isi)
yang mencakup pengetahuan
tentang topic dan pengalaman
sebelumnya tentang topic
tersebut.
b. Formal skemata (skemata
bentuk) yang mencakup
pengetahuan tentang bentuk-
bentuk discourse seperti
struktur atau tipe dari text.
c. Linguistics skemata (skemata
kebahasaan) yang mencakup
pengetahuan tentang
perbendaharaan kata atau
ketatabahasaan.
Implikasi dari teori-teori
di atas dalam proses belajar
mengajar adalah pengajar harus
selalu mengaktifkan atau
menyediakan informasi untuk
mengembangkan skemata sebelum
pelajaran dimulai. Proses
pengaktifan ini juga harus
fokus ke semua tipe skemata,
tidak hanya satu skemata.
Pengajar juga harus menyadari
bahwa semakin besar skemata
yang dimiliki tentang sebuah
topic, semakin cepat peserta
didik akan mengerti. Selain
itu pengajar juga harus
memastikan bahwa skemata yang
digunakan untuk materi adalah
benar sehingga kemungkinan
ketidakpahaman siswa terhadap
sebuah materi dapat
diperkecil.
b. Berbicara (Speaking)
Berbicara (speaking)
adalah sebuah proses timbal
balik. Itu artinya semua
pembicara sama-sama
berkontribusi dalam proses
berbicara dan bisa merespon
sebagai reaksi dari kontribusi
yang dilakukan lawan bicara.
Lebih jauh lagi, dalam
pembicaraan, setiap orang
memiliki hak yang sama untuk
menentukan topic pembicaraan
sehinggan membuat kelas
berbicara kurang bisa
diprediksi dibandingan kelas
menulis (Carter and Nunan,
2001).
Luoma (2004) menyatakan
bahwa terdapat beberapa
karakteristik dari berbicara
seperti : (1) tersusun ole
berbagai ide yang bekerja
sebagai satu kesatuan, (2)
mungkin direncanakan dan
mungkin tidak direncanakan,
(3) menggunakan istilah yang
lebih umum digunakan
dibandingkan bahasa tertulis,
(4) sering terjadi kesalahan
yang merefleksikan bahwa
berbicara adalah proses yang
cepat, (5) membutuhkan
timbale-balik dan (6) sangat
bervariasi (contohnya dalam
penggunaan bahasa formal dan
informal berdasarkan pembicara
atau situasi di mana bahasa
digunakan)
Richards dalam Nunan
(1999 : 226) menyatakan bahwa
kompetensi berbicara
mengandung tiga macam
pengetahuan yaitu (1)
pengetahuan tengan kosa kata
dan tata bahasa, (2)
pengetahuan tentang aturan-
aturan dalam berbicara, dan
(3) pengetahuan tentang
bagaimana cara menggunakan
berbagai tipe tindak tutur
seperti meminta maaf,
menawarkan sesuatu dll.
Canale dan Swain dalam
Celce Murcia (2001)
mengadaptasi teori Hymes
tentang kompetense berbicara
dan mengajukan sebuah teori
tentang 3 dimensi dalam
berbicara : (1) kompetensi
gramatikal yang mencakup kosa
kata dan pengaturan tata
bahasa, (2) kompetensi
sosiolinguistik yang mencakup
pengetahuan seseorang dalam
mengaplikasikan bahasa dalam
berbagai situasi, (3)
kompetensi discourse yang
mencakup bagaimana kata-kata
tergantung dalam kalimat
dengan menggunakan repetisi,
sinonim, koherensi atau
rujukan dan (4) kompetense
strategi berbicara yang
mencakup bagaimana menggunakan
kata-kata atau mencari kata
pengganti dalam upaya
menyampaikan pesan kepada
lawan bicara.
Hymes dalam Luoma (2004 :
24) menyatakan beberapa fitur
yang mampu mempengaruhi apa
yang orang katakan dalam
sebuah komunikasi. Teorinya
disebut teori SPEAKING yang
merupakan akronim dari elemen-
elemen tersebut di atas. Teori
SPEAKING terdiri dari :
1. Situation : Situasi atau
setting tempat, waktu dan
situasi ketika berbicara
2. Participants : Peserta dari
pembicaraan
3. Ends : Tujuan dari
pembicaraan
4. Act sequence : bentuk dan
isi dari tindak tutur dan
bagaimana cara
menyampaikannya
5. Key : Ekspresi, sikap dan
intonasi
6. Instrumentalities : Model
(tertulis, lisan) atau
bentuk bahasa (dialek atau
aksen kebahasaan)
7. Norms : norma interpretasi
dan norma interaksi seperti
tanggung jawab untuk
memulai sebuah topic,
bertanya, menjelaskan dan
mengelaborasi.
8. Genre : jenis pembicaraan
seperti candaan,
pengajaran, bercerita dll.
Teori – teori tersebut
mengndikasikan bahwa berbicara
bukanlah sebuah keterampilan
yang sederhana. Ada beberapa
elemen yang harus menjadi
bahan pertimbangan guru ketika
mengajar dalam kelas berbicara
sehingga tujuan dari
pengajaran bisa dicapai.
c. Role Play
Davis (1990) menyatakan
bahwa role play adalah sebuah
metode di mana siswa
dimintauntuk memainkan sebuah
karakter imajiner dalam
situasi yang imajiner pula.
Situasi ini dibuat oleh
pengajar dengan sengaja demi
tujuan pembelajaran. Namun
situasi atau karakter ini
harus dibuat mendekati dengan
kehidupan nyata.
Blatner (1995) menyatakan
teknik role play awalnya
berasal dari drama yang
digunakan untuk membantu siswa
dalam mengerti lebih jauh
tentang literature dan ilmu
social. Penggunaan role play
dalam pembelajaran membuat
siswa lebih tertarik dengan
material karena mereka
terintegrasi dengan materi
pembelajaran. Selain itu,
teknik ini bisa mengembangakan
inisiatif siswa, keterampilan
berkomunikasi, kemampuan
menyelesaikan masalah dan
bekerjasama dalam sebuah tim.
Hal yang terpenting adalah
role play bisa membantu siswa
untuk mempersiapkan diri
mereka untuk menghadapi dunia
nyata karena role play
mengadaptasi kondisi dunia
nyata ke dalam ruang kelas.
Bartle (2007)
mendefinisikan roleplay
sebagai sebuah sesi latihan di
mana guru bertindak sebagai
fasilitator yang mengatur
scenario di mana pesertanya
akan ditugasi untuk memerankan
berbagai peran. Peran-peran
ini biasanya diadaptasi dari
situasi di dunia nyata. Lebih
jauh lagi, role play dipandang
sebagai sebuah metode efektif
untuk meningkatkan kesadaran
diri siswa dan meningkatkan
kemampuan siswa untuk
menganalisa sekaligus
membiasakan siswa dengan
peran, tujuan berbicara, dan
kondisi atau perspektif
pembicara dalam sbuah
percakapan. Walaupun peserta
didik tidak terintegrasi
secara langsung dalam dunia
nyata. Siswa terintegrasi
dengan implemetasi dari
situasi tersebut sehingga akan
menyediakan keuntungan yang
berharga bagi peserta didik
itu sendiri.
Lebih jauh, Woodhouse (2007
: 76) menyatakan bahwa role
play memberikan banyak
keuntungan sebagai berikut :
a. Role play dapat
meningkatkan kemampuan
berkomunikasi
b. Role play dapat
mendemonstrasikan
bagaimana masyarakat
berinteraksi
c. Role play dapat digunakan
untuk mengeksplorasi
emosi.
d. Role play dapat
mengembangkan kemampuan
interpersonal
e. Role play dapat
meningkatkan empati
peserta didik
f. Dengan menggunakan role
play, peserta didik bisa
menyadari tingkat emosi
mereka.
g. Dapat membantu peserta
didik untuk
mengidentifikasi emosi
dari lawan main dalam
role play.
h. Dapat membantu individu
untuk belajar menghargai
perasaan diri sendiri
atau lawan bicara.
i. Dapat mengembangakan
perbendaharaan kata siswa
yang bisa digunakan
ketika akan
mengekspresikan sesuatu.
j. Dapat membantu melatih
siswa untuk menghadapi
situasi sulit dalam
pembicaraan
k. Dapat meningkatkan
kepercayaan diri siswa.
l. Bisa membantu siswa
untuk berlatih
berkomunikasi di berbagai
situasi seperti
wawancara, diskusi, dll.
Dari penjelasan di atas
dapat dijelaskan bahwa role
play adalah salah satu metode
pengajaran yang efektif karena
mampu membantu siswa untuk
berkomunikasi dengan situasi
yang diadptasi dari dunia
nyata.
d. Role play dengan Skrip
Tierney dan Nestel (2007)
mendefinisikan Role play
dengan skrip sebagai sebuah
drama dimana percakapan telah
dibuat dan didesain sebelum
role play dimulai, dan para
pemain hanya cukup berakting
berdasarkan skrip. Skrip yang
digunakan menurut Davis (1990)
seharusnya memenuhi kebutuhan
siswa dan bahasa yang
digunakan harus masih bisa
dimengerti siswa. Melalui ini,
diharapkan siswa tidak akan
merasa tertekan ketika bermain
peran.
Keuntungan role play dengan
skrip menurut Harper-Wallen
dan Morris (2005) adalah
metode ini menawarkan sebuah
lingkungan belajar yang aman
dan bebas resiko terutama
ketika peserta didik masih
tidak familiar dengan materi
tersebut.
e. Role Play Tanpa Script
Di sisi lain, role play
tanpa script menurut Harper-
Wallen dan Morris (2005)
adalah sebuah metode dimana
siswa hanya \\diberikan
informasi secara singkat
tentang peran dan masalah yang
diangkat. Agar role-play
berjalan lancar, topik yang
dipilih haruslah familiar
dengan siswa. Selain itu,
partner yang diajak haruslah
dekat dengan siswa sehingga
siswa bisa merasa lebih nyaman
ketika bermain peran.
Untuk melakukan role play
ini, guru tidak diperbolehkan
untuk meminta siswa bermain
peran langsung di depan kelas.
Berikan waktu kepada siswa
untuk berpikir tentang
percakapan yang akan dilakukan
akan lebih baik untuk kesiapan
mental siswa.
3. Metode Penelitian
3.1 Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian
ini adalah Siswa kelas X di
SMA Negeri 3 Denpasar.
Sedangkan sampel dari
penelitian ini adalah Siswa
kelas X3 dan X4 di SMAN 3
Denpasar setelah dipilih
melalui cluster random
sampling. Siswa kelas X3 akan
diajari dengan menggunakan
Role Play tanpa script.
Sedangkan siswa kelas X4 akan
diajari menggunakan Role Play
dengan script.
Pada awalnya test
normalitas dan homogeneitas
akan dilakukan pada sampel.
Berikut adalah hasil
normalitas dan homogeneitas
yang diuji melalui test SPSS
16.0
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
kelasx4 kelasx3
N 38 38
Kolmogorov-Smirnov Z 1.119 .830
Asymp. Sig. (2-tailed) .164 .497
Tabel 1. Test normalitas
Jika dilihat dari table,
nilai sig menunjukkan angka
0.164 dan 0.497. Kedua nilai
signifikansi berada di atas
0.05. Maka dapat disimpulkan
bahwa kedua kelas berada dalam
kondisi normal.
Test of Homogeneity of Variance
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
VAR00002
Based onMean
.245 1 74 .622
Based onMedian
.356 1 74 .553
Based onMedian and withadjusteddf
.356 1 66.382 .553
Based ontrimmed mean
.252 1 74 .617
Tabel 2. Test homogeneitas
Dari table di atas, dapat
dilihat bahwa kedua grup
bersifat homogen. Ini dapat
disimpulkan dari sig yang
kesemuanya di atas 0.05. Oleh
karena itu kedua kelompok
bersifat normal dan homogeny.
3.2 Variabel
Variabel dalam penelitian ini
dapat dilihat sebagai berikut
Diagram 1. Variabel bebasmempengaruhi variable terikat
3.3 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimen yang
dengan desain yang bernama
Posttest Only Control Group
Design (rancangan secara acak
dengan tes akhir dan kelompok
control). Kedua kelas akan
dilihat kesetaraanya dengan
menggunakan nilai speaking
siswa pada tes oral terakhir.
Jika dinilai sama, kedua kelas
akan menjadi bahan eksperimen
di mana salah satu kelompok
siswa menjadi kelompok kontrol
yang tidak diberi perlakuan
apapun dan yang lainnya
menjadi kelompok eksperimen
yang akan diberi perlakuan
3.4 Instruments
Terdapat beberapa instrument
yang digunakan di dalam
penelitian ini. Mereka
adalah :
1. RPP sebagai panduan dalam
mengajar
2. Tes kemampuan berbicara
sebagai alat untuk
mengukur kompetensi siswa
dalam berbicara
3. Rubrik penilaian
berbicara sebagai panduan
untuk memberi skor
kompetensi berbicara
siswa.
3.5 Teknik Analisis Data
Variabel Bebas Variabel
Terikat
X3 Kmptnsi
Teknik analisis yang digunakan
dalam penelitian ini ada dua.
Teknik pernama adalah Teknik
Analisis Deskriptif dalam
bentuk nilai rata-rata yang
kedua. Teknik analisis kedua
adalah teknik analisis
inferensial di mana teknil
analisis ini digunakan untuk
menarik kesimpulan.
4. Temuan dan Pembahasan
4.1 Temuan
4.1.1 Analisis Deskriptif
Pada analisi deskriptif,
nilai rata-rata dari kedua
kelas dianalisis untuk melihat
rata-rata kedua kelas. Nilai
rata-rata kedua kelas dapat
dilihat di tabel di bawah ini.
Kelas Nilai rata-rata
Eksperimen 81.92Kontrol 77.84Tabel 3 : nilai rata-rata kelas.
Nilai rata-rata di atas
nilai menunjukkan bahwa kelas
eksperimental memiliki nilai
rata-rata di atas kelas
kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa kelas eksperimental
memiliki kompetensi yang lebih
tinggi bila dibandingkan
dengan kelas kontrol.
4.1.2 Analisis Inferensial
Sebelum masuk ke analisis
inferensial, data harus
memenuhi uji tes normalitas
dan homogeneitas. Uji tes
normalitas dan homogeneitas
bisa dilihat di tabel di bawah
ini.
KelasExperimental Kelas Kontrol
Sig. 0.066 0.200Tabel 4 : normalitas data
Dari tabel di atas, bisa
dilihat bahwa kelas kontrol
dan kelas eksperimental
memiliki nilai signifikansi di
atas 0.05. Bisa disimpulkan
bahwa kedua kelas tersebut
normal.
Sig.
VAR00002 Based on Mean .120
Based on Median .124
Based on Median and with adjusted df
.124
Based on trimmed mean .117
Tabel 5. Hasil uji homogeneitas
Hasil uji homogeneitas
menunjukkan bahwa taraf
signifikansi dari data
berdasarkan dari keempat
komponen di atas ada pada
taraf di atas 0.05. Hal ini
menunjukkan bahwa data
tersebut homogen.
tobsdf t cv
level ofsignifica
nce
Penafsiran
2.667
76
1.9917 0.05 Signifika
nTabel 6. Hasil uji.test
Hasil uji test
inferensial digunakan untuk
menarik kesimpulan. Perbedaan
dinyatakan signifikan apabila
t obs > tcv . Dari tabel di atas,
dapat dilihat bahwa t obs > tcv .
2.667 lebisa besar bila
dibandingkan dengan 1.9917.
Hal ini membuktikan bahwa
skemata jelas meningkatkan
kompetensi siswa secara lebih
signifikan dibandingkan dengan
kelas tanpa skemata.
4.2 Pembahasan
Penelitian ini merupakan
sebuah penelitian eksperimen
dimana terdapat dua kelas yang
telah diuji normalitas dan
homegenitasnya dengan
membandingkan hasil speaking
terakhir. Kemudian kedua grup
ini diberikan perlakuanyang
berbeda. Teknik yang
diterapkan pada kedua kelas
adalah sama. Satu hal yang
akan membedakan keduanya
adalah eksistensi skrip ketika
role play. Grup kontrol
melakukan role play tanpa
skrip sebagai panduan mereka.
Siswa hanya diberikan tema dan
ekspresi yang diinginkan.
Sebelum melakukan role play,
selama 15 menit sebelumnya,
siswa akan memikirkan sendiri
apa yang hendak mereka
peragakan di depan kelas.
Sedangkan kelas lainnya, yang
menjadi kelas eksperimen
menerima skrip sebagai panduan
mereka. Skrip ini langsung
terdiri dari tokoh yang harus
diperagakan beserta kata-kata
yang akan dibicarakan dalam
percakapan. Siswa diminta
untuk berbicara sesuai dengan
skrip walaupun siswa
diperbolehkan untuk melakukan
improvisasi pada percakapan.
Secara descriptif, dapat
dibuktikan bahwa nilai rata-
rata dari kelas eksperimen
lebih besar bila dibandingkan
dengan kelas kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa kompetensi
berbicara siswa pada kelas
eksperimen yang diajari dengan
role play dengan skrip lebih
baik dibandingkan dengan
kompetensi berbicara siswa di
kelas kontrol
Terdapat beberapa
perbedaan signifikan yang
terjadi dalam kedua proses
role play ini. Perbedaan
pertama terdapat pada tingkat
kepercayaan diri siswa ketika
melakukan role play. Siswa
pada kelas yang menggunakan
role play dengan skrip
menunjukkan tingkat
kepercayaan diri yang lebih
tinggi. Tingkat kelancaran
dalam berbicara mereka lebih
baik bila dibandingkan dengan
tingkat kelancara berbicara di
kelas kontrol. Hal ini
dikarenakan siswa lebih siap
baik dari segi kata-kata atau
dari segi situasi dalam
pembicaraan untuk menghadapi
role play yang akan mereka
lakukan.
Perbedaan kedua terjadi
dalam ketepatan tema
berbicara. Beberapa siswa di
kelas kontrol menunjukkan
bahwa mereka belum benar-benar
menguasai materi. Materi yang
diajarkan adalah ekspresi
kebahagian. Akan tetapi,
beberapa siswa masih salah
dalam memilih kata-kata untuk
menunjukkan kebahagiaan.
Contohnya penggunaan kata
untuk berterima kasih sebagai
wujud rasa senang. Beberapa
siswa juga membuat situasi
yang kurang mencerminkan
kebahagiaan. Contohnya adalah
situasi di mana seorang siswa
melakukan role play di mana
mereka saling melemparkan
tebak-tebakan yang lucu.
Situasi yang diperagakan
walaupun hampir mirip bukanlah
ekspresi kebahagiaan tapi
ekspresi geli terhadap tebak-
tebakan yang lucu. Perbedaan
besar ini disebabkan oleh
skemata mereka tentang situasi
atau keadaan di mana sebuah
percakapan harus diucapkan
pada kelas eksperimen telah
diaktifkan melalui skrip.
Sedangkangan kelas lainnya
tidak mendapatkan apa yang
didapatkan oleh kelas kontrol.
Perbedaan ketiga terdapat
pada frekuensi penggunaan kosa
kata dan grammar yang salah.
Di kelas kontrol, tingkat
penggunaan kosa kata atau
grammar yang salah lebih besar
dibandingkan di kelas
eksperimen. Ini jelas karena
di kelas eksperimen siswa
mendapatkan skrip sebagai
panduan. Peserta didik
setidaknya sudah mendapatkan
kata-kata yang harus mereka
ucapkan dalam role play.
Dengan demikian skemata mereka
tentang kosakata sudah
diaktifkan. Di lain pihak.
Kelas kontrol yang melakukan
role play tanpa skrip hanya
melakukan role play dengan
tulisan yang mereka karang
sendiri. Hasilnya, banyak dari
kosa kata yang diucapkan masih
salah dan grammar yang
digunakan masih tidak begitu
bagus,
Namun, ada satu hal yang
bisa diidentifikasi tentang
kelemahan role play dengan
skrip ini. Siswa yang
melakukan role play tanpa
skrip cenderung lebih kreatif
pada situasi-situasi di mana
mereka harus menggunakan
ekspresi tertentu. Sedangkan
kelas eksperimen cenderung
membosankan. Walaupun peserta
didik telah didorong untuk
mengimprovisasi percakapan
mereka.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian
ini adalah siswa yang
diajarkan dengan skemata
diaktifkan secara signifikan
menunjukkan nilai kompetensi
yang lebih baik bila
dibandingkan dengan kelas yang
diajarkan tanpa skemata. Hal
ini jelas membuktikan bahwa
pengaktifan skemata sebelum
pengajaran akan memberikan
dampak positif terhadap
keberlangsungan proses
pembelajaran.
5.2 Saran
Terdapat beberapa saran
yang ingin penulis sampaikan
melalui kesempatan ini yang
akan dijabarkan sebagai
berikut :
a. Secara umum role play
merupakan sebuah metode
yang bagus. Namun, akan
sangat bagus jika skemata
siswa diaktifkan terlebih
dahulu sebelum role play
dilakukan. Hal ini akan
jelas membantu siswa dalam
proses pembelajaran siswa.
b. Siswa cenderung menjadi
kurang kreatif ketika
melakukan role play dengan
skrip. Siswa sebaiknya
diminta untuk menjadi lebih
kreatif. Caranya bisa
dengan meminta siswa untuk
melakukan role play dengan
skrip yang berbeda-beda
atau siswa bisa diminta
untuk mengembangkan role
play dengan kreaatifitas
mereka sendiri.
c. Studi ini masih bersifat
studi jangka pendek pada
siswa yang masih pemula.
Perlu diadakan studi lebih
lanjut tentang studi ini
dengan variabel variabel
yang lebih beragam.
Daftar Pustaka
Goodlad, J.I., & Su, Z. 1992.The organization of thecurriculum. New York:Macmillan.
Vacca, Richard T., Vacca, JoA.L. 1998. Content AreaReading, Literacy andLearning Across theCurriculum. United States.Addison-Wesley EducationalPublished Inc.
Nunan, David. 1999. SecondLanguage Teaching andLearning. Boston : HeinleCengage Learning.
Irwin, Judith Westphal. 1986.Teaching ReadingComprehension Process.United States of America :Pearson Education Inc.
Rumehalt, David E.,McClelland, James 1985.Parallel DistributedProcessing, Exploration inThe MicrostructureCognition Volume 2,Psychological andBiological Model.Available athttp://205.196.122.18/78c55rdywz5g/whrq7b7pme6qh6b/_B1Z4JeKD7vCN.7z.
Thompson, Ross A. and ByronL.Z. 2004. Academic
Aptitude and PriorKnowledge as Predictors ofStudents’ Achievement inIntroduction toPsychology. USA : AmericaPsychology Association.
Slavin, Robert E. 2006.Educational Psychology,Theory and Practice,Eighth Edition. UnitedState of America : PearsonEducation Inc.
Landry, Kevin L. 2002.“Skemata in SecondLanguage Reading”. TheReading Matrix Vol.2,No.3. Available at :http://www.readingmatrix.com/articles/landry/
Celce-Murcia, Marianne.2001.Teaching English as aSecond or ForeignLanguage, Third Edition.USA : Heinle and Heinle.
Luoma, Sari. (2004). AssessingSpeaking. United Kingdom :Cambridge University Press
Davis, Paul. (1990). The Useof Deama in EnglishLanguage Teaching. TESLCanada Journal. Availableat :http://journals.sfu.ca/tes
l/index.php/tesl/article/viewFile/581/412
Blatner, Adam. (1995). RolePlayin in Education.Available at :http://www.blatner.com/adam/pdntbk/rlplayedu.htm.
Bartle, Phil. (2007). RolePlaying and SimulationGames : A TrainingTechnique. Available athttp://cec.vcn.bc.ca/cmp/modules/tm-rply.htm.
Woodhouse Jan. (2007).Strategies for HealthcareEducation, How to Teach in21st Century. Abingdon :Biddles Ltd, King’s Lynn.Available at :http://books.google.co.id/books?id=Ht4HCKPAfKUC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false
Nestel, Debra and Tierney,Tanya. (2007). Role-playfor medical studentslearning aboutcommunication: Guidelinesfor maximising benefits .London : Department ofBiosurgery & SurgicalTechnology.