TERJEMAHAN Pemberian oksitosin selama persalinan dan resiko
terjadinya perdarahan post partum berat: based population,
cohort-nested, case control Abstrak Latar Belakang Perdarahan
postpartum adalah penyebab utama kematian dan morbiditas pada ibu
di seluruh dunia. Penelitian experimental ini mendukung hipotesis
bahwa pemberian oksitosin selama persalinan, yang umum digunakan
tidak memiliki evidence-based. Namun dapat meningkatkan resiko dari
perdarahan postpartum yang disebabkan oleh atonia uteri. Akan
tetapi tidak dapat disimpulkan pada penelitian klinik. Tujuan
penelitian ini untuk menginvestigasi atau mencari hubungan antara
banyaknya pemberian oksitosin selama persalinan dan resiko
terjadinya perdarahan postpartum berat dan untuk mengetahui
pemberian profilaksis oksitosin setelah persalinan mempengaruhi
hubungan tersebut. Desain Population-based, cohort-nested, case
control study. Waktu dan Tempat 106 Rumah Sakit Perancis dari
Desember 2004 sampai November 2006 Populasi Ibu yang melahirkan
janin tunggal pervaginam, dengan tidak ada komplikasi pada
kehamilan. Ada 1483 kasus ibu dengan perdarahan postpartum berat,
didefinisikan sebagai perubahan Hb peripartum dari 4 g/dl atau
membutuhkan transfusi darah. 1758 kontrol dari random sample yang
melahirkan tanpa perdarahan postpartum. Pengukuran Hubungan antara
tingkat pemberian oksitosin selama persalinan dan resiko terjadinya
perdarahan postpartum berat diuji dan dihitung menggunakan ORs
melalui dua-tingkat multivariable logistic regression modeling.
Hasil Oksitosin telah diberikan selama persalinan pada 73% kasus
dan 61% kontrol (Crude OR: 1,7 , 95%, Cl 1,5 sampai 2,0). Setelah
penyesuaian untuk semua potensial pembaur, pemberian oksitosin
selama persalinan berhubungan secara signifikan meningkatkan faktor
resiko perdarahan postpartum (disesuaikan OR 1,8 , 95%, Cl 1,3
sampai 2,6) pada wanita yang tidak menerima profilaksis oksitosin
setelah persalinan. OR untuk perdarahan meningkat dari 1 sampai 5
sesuai dengan tingkat pemberian oksitosin. Pada ibu yang mendapat
profilaksis oksitosin setelah persalinan, hubungan ini secara
signifikan hanya untuk kategori paparan tertinggi. Kesimpulan
Pemberian oksitosin selama persalinan muncul sebagai satu-satunya
faktor resiko terjadinya perdarahan postpartum berat. Hasil ini
menekankan dibutuhkan pedoman untuk mengklarifikasi evidence-based
dari indikasi untuk prosedur ini dan minimal berguna.
LATAR BELAKANG Perdarahan pada bidang kebidanan tetap menjadi
penyebab utama kematian ibu dinegara berkembang, 10-30% kematian
langsung ibu dinegara berkembang masih merupakan pertanyaan. Itu
juga komponen utama morbiditas berat pada ibu. Peningkatan
prevalensi perdarahan postpartum telah dilaporkan beberapa negara.
Peningkatan ini secara langsung diakibatkan oleh atonia uteri yang
dapat menyebabkan perdarahan postpartum di Australia, Canada dan
Amerika, tetap menjadi faktor resiko utama. Peneliti memfokuskan
pada komponen selama persalinan karena itu mungkin mempengaruhi
tonus uterus, dari waktu ke waktu dan dapat di intervensi atau
dimodifikasi. Penggunaan oksitosin salah satunya, digunakan untuk
menginduksi atau augmentasi persalinan. Meskipun jarang ada data
tentang itu, pemberian oksitosin selama persalinan merupakan
prosedur yang rutin dinegara berkembang dan dapat menjadi perhatian
pada persalinan, bahkan kadangkadang menjadi yang utama.
Perkembangan ini bermanfaat karena dapat memberikan saran
penggunaan oksitosin dapat digunakan secara lebih luas tetapi
sedikit indikasi dengan atau tanpa pembuktian atau evaluasi yang
teliti terhadap keamanannya, terutama faktor resiko terjadinya
perdarahan postpartum.
Hormon androgen berperan dalan fisiologi mempertahankan
kontraktilitas uterus selama persalinan dan memperkuat kontraksi
uterus setelah persalinan untuk menghentikan perdarahan postpartum.
Secara farmakologi oksitosin digunakan untuk menginduksi atau
augmentasi persalinan, namun memperbanyak reseptornya, dengan
demikian dapat merusak mekanisme oksitosin dan akan memberikan efek
rusaknya kontraktilitas uterus setelah persalinan dengan begitu
meningkatkan resiko terjadinya atoni uteri yang mengakibatkan
perdarahan postpartum. Efek pemberian oksitosin selama persalinan
dapat berbeda pada ibu yang menerima atau tidak menerima oksitosin
eksogen setelah persalinan untuk mencegah terjadinya perdarahan
postpartum, pemberian ini direkomendasikan dalam praktek
sehari-hari. Penelitian klinik untuk mengetahui efek pemberian
oksitosin selama persalinan sebagai faktor resiko terjadinya
perdarahan postpartum telah dilaporkan hasilnya bertentangan,
kesimpulan tersebut terganggu dengan terbatasnya metodologi,
seringnya kegagalan diakibatkan indikasi yang bias yang berhubungan
dengan persalinan lama, jumlah pemberian oksitosin atau kemungkinan
perbedaan pengaruh terhadap ibu yang menerima profilaksis setelah
persalinan atau tidak. Data yang buruk ini berkontribusi pada
kepercayaan bahwa pengobatan atau terapi ini tidak terlalu
merugikan. Tujuan dari luasnya populasi dalam penelitian ini untuk
meneliti hubungan antara tingkat pemberian oksitosin selama
persalinan dan resiko terjadinya perdarahan postpartum dan menguji
bahwa penggunaan oksitosin profilaksis setelah persalinan dapat
memodifikasi hubungan tersebut. METODE Desain penelitian Desain
penelitian ini adalah population-based, cohort-nested, case control
Populasi Populasi penelitian ini diambil dari Pithagore6 trial,
cluster randomized controlled dilakukan pada 106 unit kesehatan ibu
di Prancis pada 6 jaringan perinatal. Tujuan utama dari penelitian
ini untuk mengevaluasi pengetahuan yang beranekaragam untuk
mengurangi kejadian perdarahan postpartum berat dan tidak ditemukan
perbedaan kejadian yang signifikan antara 2 kelompok Rumah Sakit.
106 unit kesehatan ibu mewakili 17% dari semua unit kesehatan ibu
di Prancis dan
mecatat 20% kelahiran di Prancis. Data dikumpulkan selama 1
tahun disetiap unit dari Desember 2004 sampai November 2006.
Perdarahan postpartum secara klinis didiagnosa oleh dokter obsgin
atau bidan atau didefinisikan dengan hemoglobin (Hb) peripartum
delta > 2gr/dl (dianggap sama dengan kehilangan >500ml
darah). Hb prepartum diukur selama ANC yang mendekati kelahiran, Hb
postpartum yaitu Hb terendah dalam pengukuran 3 hari setelah
persalinan. Pembantu persalinan ditiap unit kesehatan ibu
mengidentifikasi semua persalinan dengan perdarahan postpartum dan
melaporkan kepada tim peneliti. Pembantu peneliti memeriksa setiap
unit persalinan pada buku catatan bulanan dan grafik pasien yang
tersedia dikomputer. Pada tiap persalinan yang dicurigai dengan
perdarahan postpartum atau pada pemeriksaan rongga uterus atau
dilakukan pengeluaran plasenta secara manual, data pasien telah
dilakukan pengecekan dan diagnosis sebagai perdarahan postpartum.
Selama 1 tahun data dikumpulkan 9365 kasus dengan perdarahan
postpartum ( didefinisikan sebagai kehilangan darah atau menurun
drastisnya Hb) terjadi antara 146781 persalinan didalam Pithagore6
unit, insidensi total perdarahan postpartum 6,4%. Sebagai contoh
yang mewakili ibu tanpa perdarahan postpartum diunit yang sama
selama periode tersebut diambil secara acak 1/60 dari semua
persalinan lain. Tim peneliti mengambil populasi penelitian dari
Pithagore6 dan populasi tidak termasuk subkelompok pada ibu yang
cenderung menimbulkan bias karena baik untuk seleksi atau pembaur
utama dengan terjadinya perdarahan postpartum berat: ibu dengan
kondisi sebelumnya, operasi uterus sebelumnya termasuk persalinan
dengan operasi sectio, multipara, penyakit kebidanan, kematian
janin, persalinan preterm (sebelum 37 minggu usia gestasi) dan
persalinan dengan operasi sectio cesar. Populasi akhir penelitian
termasuk ibu dengan persalinan pervaginam yang aterm (minimal 37
minggu usia gestasi) janin tunggal dan tidak ada komplikasi
kehamilan. Pada analisis case control, 1487 kasus pada ibu dengan
perdarahan postpartum berat dengan Hb peripartum 4gr/dl atau lebih
(sama dengan kehilangan darah 1000 ml atau lebih) atau memerlukan
transfusi, penundaan pengukuran Hb prenatal dan kelahiran adalah
(mean (25th, 75th percentile) (dalam hari) 11 0,7(0,14), total dari
1758 ibu yang melahirkan tanpa perdarahan postpartum menjadi
kontrol. Gambar 1. Tabel proses pengambilan menjadi 2 kelompok.
Gambar 1. Seleksi dari populasi penelitian. PPH, Perdarahan
postpartum. *PPH berat: peripartum hemoglobin delta 4 g/dl atau
membutuhkan transfuse darah. Di pilih secara acak sample yang
representatif. Variabel penelitian Karakteristik ibu, kehamilan,
persalinan dan kelahiran tercatat di grafik perkembangan pasien
pada rekam medik pasien. Variabel penelitian termasuk umur ibu,
body mass index (BMI) sebelum hamil, perdarahan postpartum
sebelumnya, kuretase sebelumnya, primipara induksi persalinan,
demam (>38 C) selama persalinan, anestesi epidural, durasi fase
aktif pada persalinan (menit), pemberian oksitosin selama
persalinan, durasi persalinan ( menit, dikategorikan menurut 50th ,
75th , dan 90th pecentile pada distribusi didalam kelompok
kontrol), usia gestasi pada waktu persalinan (minggu, dikategorikan
aterm (37-41) atau postterm (>41), persalinan dengan operasi
sectio cesar, episiotomi, robekan perineum, berat lahir (gram), dan
pemberian oksitosin profilaksis setelah persalinan.
Pemberian oksitosin selama persalinan pada penelitian ini
sebagai variabel terikat dan juga dengan variabel kuantitatif:
dosis total (IU), rata-rata tetesan (ml IU/menit) dan total durasi
pemberian (menit). Variabel kuantitatif ini dikelompokkan menurut
50th, 75th dan 90th pencentile didistribusikan dalam kelompok
kontrol, dibulatkan dengan bilangan bulat terdekat. Durasi
persalinan, khusus fase aktif, faktor pembaur utama didalam
hubungan penelitian dan dipikirkan diterima sebagai perhatian
khusus. Fase aktif pada kala I persalinan dimulai ketika servik
berdilatasi sampai 3 cm. Untuk mencegah bias dari pemotongan
catatan pada ibu dalam persalinan sebelum mencapai Rumah Sakit,
kita memberikan beberapa aturan. Durasi fase aktif pada ibu yang
diterima dengan dilatasi servik > 3cm (12% kasus dan 27 %
kontrol), peneliti berasumsi kecepatan dilatasi servik selama fase
ini tetap dan total durasi pada fase aktif persalinan diperkirakan
dari beberapa ibu rata-rata dilatasi serviknya tetap ( berasal dari
waktu pengukuran dilatasi servik ketika masuk sampai dilatasi
penuh/ pembukaan lengkap). Karena rata-rata kecepatan dilatasi
servik tidak dapat diperkirakan pada ibu yang serviknya sudah
berdilatasi penuh/ pembukaan lengkap ketika masuk, durasi dari fase
aktif persalinan dianggap hilang (0,7% (n=10)) pada kasus dan 1,3%
(n=23) pada kontrol). ANALISA Kasus dan kelompok kontrol
dibandingkan dengan uji untuk karakteristik ibu, kehamilan,
persalinan dan kelahiran. Efek independen pengobatan oksitosin
selama persalinan terhadap risiko perdarahan postpartum berat diuji
dan dihitung dengan regresi dua tingkat logistik multivariabel
dengan mencegah acak untuk memperhitungkan struktur keseluruhan
dari data, dengan pengelompokan ibu di unit kamar bersalin.
Peneliti menyesuaikan banyaknya variabel yang dijelaskan sebelumnya
sebagai faktor risiko untuk perdarahan postpartum berat dan untuk
variabel ditemukan potensial pembias dalam analisis bivariat.
Interaksi klinis relevan diuji antara pemberian oksitosin untuk
augmentasi persalinan, faktor paritas lainnya, induksi persalinan
dan pemberian profilaksis oksitosin setelah persalinan. Kurang dari
8% dari kasus dan kontrol tidak mempunyai nilai untuk setiap
variabel kecuali BMI dan durasi persalinan, yang mana peneliti
membuat missing value indikator variabel spesifik untuk analisis
regresi. Pengujian sensitivitas analisis, kekuatan dari hasil
dibawah terbaik dan hipotesis kasus yang buruk pada distribusi
missing value. Subyek dengan missing value untuk
karakteristik lain dari ibu, persalinan dan kelahiran tidak
termasuk dari analisis multivariabel: 63 (4,3%) kasus dan 55 (3,1%)
kontrol. Analisis sekunder, dengan menggunakan kelompok kontrol
yang sama, membatasi definisi kasus untuk ibu dengan perdarahan
postpartum berat yang disebabkan atonia uteri. Peneliti
memperkirakan, berdasarkan ukuran sampel dari 1500 pasien dengan
perdarahan postpartum hebat dan 1500 kontrol, bahwa kekuatan
penelitian ini akan melebihi 80% untuk mendeteksi OR sebesar 1,5
untuk paparan dengan prevalensi sebesar 5% atau lebih diantara
kelompok kontrol dan untuk mendeteksi suatu OR 1,3 untuk paparan
dengan prevalensi 15% atau lebih diantara kelompok kontrol.
Signifikansi statistik didefinisikan sebagai nilai dari a p 4,0 IU
(OR: 5,7, 95% CI 2,5-12,9). Demikian pula, hubungan perdarahan
postpartum berat dengan kecepatan pemberian oksitosin maksimal
terdapat dalam dosis terkait: disesuaikan OR adalah 2,2 (CI 95%
1,3-3,8) untuk tingkat maksimal antara 10 dan 15 mIU /menit dan 3,2
(95% CI 1,7-6,1) untuk tingkat maksimal > 15 mIU / menit (tabel
4). Di antara ibu yang menerima oksitosin profilaksis setelah
persalinan, augmentasi persalinan dengan oksitosin, dipertimbangkan
secara keseluruhan, tidak dikaitkan dengan risiko lebih tinggi
perdarahan postpartum berat (OR: 1,1, 95% CI 0,8-1,5) (tabel 5).
Namun, ketika tingkat paparan oksitosin dimunculkan, risiko
perdarahan postpartum berat muncul signifikan lebih tinggi untuk
ibu dengan kategori paparan tertinggi: disesuaikan OR 2,1 (95% CI
1,3-3,3) untuk dosis total> 4 IU dan 1,7 (95% CI 1,1-2,5) untuk
tingkat maksimal infus> 15 mIU / ml. Analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa berbagai hipotesis tentang distribusi missing
value untuk BMI dan durasi persalinan tidak mengubah hasil.
Analisis sekunder kasus terbatas pada ibu dengan perdarahan
postpartum berat dengan atonia uteri (n = 545) dan kelompok yang
sama diberikan hasil yang sama (rincian diberikan dalam tambahan
tabel).
Table 1. Karakteristik ibu: distribusi dalam kasus dan kontrol
analisis bivariat
Tabel 2. Karakteristik persalinan dan kelahiran distribusi dalam
kasus dan kontrol dan analisis bivariat
PEMBAHASAN
Peneliti menemukan hubungan terkait dosis antara pemberian
oksitosin selama persalinan dan perdarahan postpartum berat pada
wanita yang tidak menerima oksitosin profilaksis setelah
persalinan. Hubungan antara oksitosin selama persalinan dan
perdarahan postpartum berat pada wanita yang diberikan oksitosin
profilaksis setelah persalinan adalah secara signifikan hanya untuk
kategori paparan tertinggi. Meskipun begitu perhatian khusus
terhadap pengendalian untuk faktor pembaur potensial, peneliti
tidak dapat sepenuhnya mengesampingkan kemungkinan bahwa hubungan
ini karena adanya faktor pembaur sisa. Meskipun demikian, pemaur
sisa tersebut berhubungan dengan tonus kedua otot uterus yang dapat
meningkatkan kebutuhan akan oksitosin dan risiko perdarahan
postpartum yang tidak disukai, dengan memperhatikan lamanya
persalinan. Desain penelitian ini memiliki beberapa kekuatan. Hal
ini berdasarkan populasi, dan kemiripan dari populasi sumber
Pithagore6 dengan populasi nasional dalam hal karakteristik ibu dan
unit persalinan meningkatkan validitas eksternal hasil
penelitian.Ukuran sampel yang disediakan memadai untuk mempelajari
hubungan dari perdarahan postpartum berat dengan paparan oksitosin
yang jarang, seperti kategori dosis tertinggi oksitosin. Pemilihan
kasus dan kontrol dari basis populasi cohort yang sama memastikan
kesesuaian pada kedua kelompok ini. Mengingat kontroversi definisi
perdarahan postpartum berat, peneliti memilih kriteria objektif
keparahan (peripartum berkaitan dengan menurunnya Hb) karena
cenderung dapat lebih ditentukan konsisten dibandingkan kehilangan
darah dan pada praktek medis terutama karena Hb tidak bergantung.
Data dikumpulkan langsung dari rekam medis, termasuk rincian
tentang pemberian oksitosin (yaitu, jumlah, waktu dan kecepatan
pemberian) dan aspek lain dari persalinan (misalnya, dilatasi
serviks saat masuk rumah sakit, lamanya persalinan). Data-data
rinci memungkinkan kedua karakterisasi yang tepat dari paparan
penting dan kontrol yang memadai pada pembaur. Akhirnya, strategi
analisis peneliti dirancang untuk meminimalkan bias yang melemahkan
kesimpulan dari penelitian sebelumnya yang menelusuri hubungan ini.
Mengontrol lamanya persalinan secara memadai sangat penting untuk
menghindari adanya sisa faktor perancu. Peneliti mengestimasi total
durasi sebenarnya dari fase aktif, dengan mempertimbangkan tingkat
dilatasi serviks pada saat datang, mungkin mencerminkan dinamika
persalinan secara akurat. Peneliti juga menganggap perkiraan durasi
sebagai variabel kontinyu, tidak seperti penelitian sebelumnya yang
mempelajari lamanya waktu persalinan sebagai variabel biner
(persalinan lama) dan dengan demikian meningkatkan risiko dari
pembaur sisa.
Tabel 3. Pemberian oksitosin selama persalinan pada kasus dan
kontrol dan hubungan sederhana dengan perdarahan postpartum
berat
Temuan tentang hubungan independen terkait dosis antara
pemberian oksitosin dan perdarahan postpartum pada ibu yang tidak
menerima oksitosin profilaksis selama kala III persalinan merupakan
hal yang konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan
desensitisasi dari reseptor oksitosin setelah terpapar oksitosin
lama atau oksitosin dosis tinggi. Demikian pula, sebuah penelitian
terbaru pada miometrium tikus dilaporkan bahwa kontraktilitas yang
diinduksi oksitosin berespon rendah setelah adanya konsentrasi
oksitosin suprafisiologis. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa temuan eksperimental secara klinis
bersangkutan dan memiliki implikasi untuk penggunaan oksitosin
eksogen selama persalinan. Tabel 4. Hubungan antara pemberian
oksitosin selama persalinan dan resiko tejadinya perdarahan
postpartum berat menurut pemberian oksitosin setelah persalinan:
ibu tanpa pemberian oksitosin setelah persalinan
Penelitian klinis sebelumnya telah melaporkan hubungan antara
augmentasi persalinan dan perdarahan postpartum, tetapi penelitian
sebelumnya memiliki batasan. Satu kasus sederhana penelitian
kontrol yang dilakukan terhadap 108 ibu ditemukan bahwa ibu dengan
perdarahan postpartum terpapar oksitosin dalam jumlah banyak selama
persalinan. Dalam penelitian berdasarkan populasi, 153.000 ibu,
Sheiner dkk melaporkan hubungan yang signifikan antara augmentasi
persalinan dengan oksitosin dan perdarahan postpartum (disesuaikan
OR: 1,4). Dua penelitian lain menemukan OR sama, dengan risiko
perdarahan 1,6 kali lebih tinggi pada wanita
yang menerima oksitosin selama persalinan. Sifat dasar dari
hubungan antara pemakaian oksitosin dengan perdarahan postpartum
yang dilaporkan dalam penelitian ini masih dipertanyakan, namun,
karena mereka tidak mengontrol faktor pembaur, termasuk faktor
risiko individu dan riwayat obstetri untuk perdarahan postpartum.
Paling kritis, dua dari penelitian ini tidak melakukan penyesuaian
atas lamanya persalinan, faktor pengganggu utama yang berhubungan
dengan penggunaan oksitosin dan perdarahan postpartum. Sebaliknya,
hasil dari sebuah penelitian pada sebuah rumah sakit di Amerika
Latin, termasuk 11.323 ibu yang melahirkan secara pervaginam
(normal), 211 di antaranya terjadi perdarahan postpartum berat,
baru-baru ini Sosa dkk menyimpulkan bahwa oksitosin selama
persalinan tidak berhubungan dengan perdarahan postpartum berat.
Namun, penelitian tersebut tidak mempunyai kekuatan untuk
mendeteksi besarnya hubungan yang peneliti laporkan pada penelitian
ini (RR: