LAPORAN AKHIR
PENELITIAN FUNDAMENTAL
DINAMIKA SISTEM BUNYI BAHASA MELAYU DI BALI:
SEBUAH KAJIAN GENERATIF
TIM PENELITI NIDN
Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Suparwa, M.Hum 0010036212
Anggota :
Dr. Anak Agung Putu Putra, M.Hum 0025086015
Dibiayai Oleh
Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Sesuai Dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian
139/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, tanggal 3 Maret 2015
UNIVERSITAS UDAYANA
NOVEMBER 2015
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 520 /Ilmu Bahasa
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Dinamika Sistem Bunyi Bahasa Melayu Di Bali : Sebuah
Kajian Generatif
Peneliti/Pelaksana
Nama Lengkap : Prof. Dr. Drs. I NYOMAN SUPARWA M.Hum
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
NIDN : 0010036212
Jabatan Fungsional : Guru Besar
Program Studi : Ilmu Linguistik
Nomor HP : 0817354717
Alamat surel (e-mail) : [email protected]
Anggota (1)
Nama Lengkap : Dr., Drs ANAK AGUNG PUTU PUTRA M.Hum
NIDN : 0025086015
Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
Institusi Mitra (jika ada)
Nama Institusi Mitra : -
Alamat : -
Penanggung Jawab : -
Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 2 dari rencana 2 tahun
Biaya Tahun Berjalan : Rp 51.000.000,00
Biaya Keseluruhan : Rp 122.500.000,00
Mengetahui, Denpasar, 14 - 11 - 2015
Dekan Fakultas Sastra Unud Ketua,
(Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A) (Prof. Dr. Drs. I Nyoman Suparwa, M.Hum)
NIP/NIK 15909171984032002 NIP/NIK 196203101985031005
Menyetujui,
Ketua LPPM Unud
(Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.)
NIP/NIK 196408071992031002
3
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ 1
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................ 3
RINGKASAN ...................................................................................................... 4
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 5
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 5
1.2 Perumusan Masalah................................................................................. 7
1.3 Tujuan/Urgensi Penelitian ...................................................................... 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 10
2.1 Kajian Pustaka ........................................................................................ 10
2.2 Peta Jalan Penelitian ............................................................................... 14
BAB III. METODE PENELITIAN...................................................................... 16
3.1 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 16
3.2 Metode Pengumpulan data....................................................................... 16
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................................ 17
3.4 Instrumen Penelitian ................................................................................
3.5 Metode Analisis Data..............................................................................
17
18
BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 20
4.1 Dinamika Sistem Prosodi Tekanan .........................................................
4.2 Dinamika Sistem Prosodi Panjang..........................................................
4.3 Dinamika Sistem Prosodi Nada/Intonasi................................................
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN...................................................................
20
27
35
45
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 47
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 48
Lampiran 1. Instrumen Penelitian
Lampiran 2. Daftar Informan
Lampiran 3. Laporan Penggunaan Anggaran 100%
Lampiran 4. Artikel/Jurnal
Lampiran 5. Catatan Kemajuan
4
RINGKASAN
Kajian bahasa Melayu di Bali sebagai warisan sejarah bangsa sangat menarik
untuk ditelaah dan dikaji. Salah satu kantong pengguna bahasa Melayu di Bali yaitu
di Desa Loloan Jembrana. Bahasa Melayu Loloan Bali sekarang ini masih digunakan
sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Perkembangan bahasa Melayu
tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal yaitu usaha penutur bahasa untuk
mempertahankan bahasanya dan sentrifugal yaitu usaha akomodasi bahasa tersebut
dalam perkembangannya sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan
antaretnis. Keberadaan bahasa Melayu Loloan sebagai bahasa minoritas di
lingkungan bahasa mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi
secara ekstralingual.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat pola bunyi prosodi Bahasa Melayu
baik itu dalam tataran kata, kelompok kata/frasa, maupun kalimat, serta menganalisis
dinamika perubahan bunyi prosodi yang ada pada bahasa Melayu di Bali. Dengan
menggunakan metode observasi partisipasi data yang dikumpulkan berupa data lisan
dan hasil wawancara dengan informan di desa Loloan Jembrana Bali. Data yang
diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan speech analyzer dan dianalisis
berdasarkan teori fonetik dan fonologi generatif. Penelitian ini sangat penting
untuk dilaksanakan karena dapat memberikan manfaat secara linguistik teoretis,
terutama di bidang fonetik dan fonologi. Kajian pola bunyi prosodi akan menerapkan
berbagai konsep dalam bidang fonetik, baik yang bersifat ragam maupun yang
bersifat semesta. Penerapan konsep (teori) yang bersifat ragam terlihat pada
penemuan pola-pola prosodi bahasa Melayu Loloan seperti tekanan, panjang, dan
nada. Berbagai ragam temuan tersebut tentu sangat bermanfaat karena merupakan
sumbangan terhadap khazanah teori fonetik dan fonologi Indonesia dan linguistik
pada umumnya. Bagi linguistik terapan, penelitian ini bermanfaat terutama dalam hal
aplikasi pola bunyi prosodi pada pengajaran bahasa, baik bahasa Melayu maupun
bahasa Indonesia. Dengan diketahuinya pola bunyi prosodi dan dinamika perubahan
bunyi prosodi dalam bahasa Melayu Loloan, para pengajar bahasa Melayu dapat
menyusun cara pengucapan dan penulisan kata bahasa tersebut dengan tepat, serta
pola-pola prosodi yang mencirikan identitas dari sebuah bahasa. Pada penelitian
pertama, pola bunyi dan dinamikanya merupakan inti dari penelitian tersebut, setelah
itu diketahui, maka pada tahun kedua penelitian ini akan dibahas sistem bunyi pada
entri posleksikal yang dapat dijadikan pedoman dalam pengucapan bunyi bahasa
Indonesia dalam kamus yang dilengkapi dengan transkripsi fonetis mengingat bahasa
Melayu adalah asal bahasa Indonesia.
.
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Melayu Loloan digunakan oleh masyarakat Loloan, kelompok Muslim
minoritas di Kabupaten Jembrana, Bali. Bahasa tersebut digunakan oleh masyarakat
setempat dalam kehidupan sehari-hari yaitu pada ranah keluarga, agama, pendidikan
dan transaksi lokal. Selama berabad-abad keberadaan bahasa Melayu Loloan tersebut
berdinamika di bawah bayang-bayang bahasa Bali, yang digunakan oleh orang
Hindu Bali dan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan bahasa nasional.
Dinamika bahasa tersebut, yang berupa retensi dan inovasi, terekam baik secara
makrolinguistik maupun secara mikrolinguistik. Dalam unsur makrolinguistik dapat
dilihat antara lain sikap generasi muda Loloan terhadap pemakaian bahasanya yaitu
semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia. Dalam unsur mikrolinguistik
terlihat pada perubahan internal bahasa terutama kosakata, unsur bunyi, pemakaian
afiks, dan struktur kalimatnya.
Berdasarkan bunyi bahasanya, seseorang pun sering bisa dikenali daerah
asalnya. Orang Bugis mudah dikenali oleh suku lain di Indonesia karena
kecenderungannya menetralisasi nasal ([m,n] [ŋ]) pada posisi akhir kata (Lagousi,
1992:2). Hal itu terlihat seperti pada pelafalan nyoman menjadi ŋ [ŋomaŋ].
Kemudian, orang Bali mudah dikenali oleh suku lainnya di Indonesia karena bunyi
retrofleksnya. Contoh lainnya adalah seseorang dinilai tingkat intelektualnya dari
pemarkah lafal baku yang digunakannya dalam berbahasa Indonesia (Suparwa,
2006).
Secara historis dasar atau asal bahasa Indonesia yang pada 28 Oktober 1928
ditetapkan sebagai bahasa Nasional dan tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan sebagai
bahasa Negara (Indonesia) adalah bahasa Melayu (Arifin dan Amran Tansai,
1987:3—4). Bukti historis yang mendukung kehidupan bahasa Melayu pada zaman
lampau di Indonesia adalah bukti tertulis dan bukti lisan. Bukti tertulis adalah
berberapa prasasti yang ditulis dalam bahasa Melayu, seperti Prasasti Kedukan Bukit
(683 M), Prasasti Talang Tuo (684 M), dan Prasasti Kota Kapur (686 M) di daerah
Sumatra. Sementara itu, bukti lisan adalah berbagai dialek bahasa Melayu dan
tersebar di seluruh Nusantara, seperti dialek Melayu Jakarta, Melayu Menado, dan
Melayu Loloan Bali (Suparwa, 2006).
6
Bahasa Melayu Loloan memilki kekhasan kebahasaan (mikrolinguistik)
terlihat, antara lain, dalam proses pembentukan kata. Fenomena kebahasaan yang
menonjol dalam bahasa tersebut adalah pembentukan kata dengan proses kontraksi.
Dalam hal ini terjadi proses perubahan (pemendekan) bentuk bahasa akibat
pertemuan bentuk bahasa yang satu dengan yang lainnya (Kridalaksana, 1982:94).
Dalam proses tersebut juga menonjol terlihat adanya perubahan bunyi yang
bersistem.
Perubahan bunyi yang sistematis tersebut menjadi menarik karena terjadi tidak
hanya intraleksikal (intern kata), tetapi juga posleksikal (satuan lingual setelah [lebih
besar dari] kata; frasa dan klausa). Contoh berikut adalah ilustrasi fenomena tersebut.
(1) Subuh tu die mejalanan ke sunge. ‗Pagi itu dia berjalan ke sungai‘
[subʊh tu diyə məjalanan kə suŋe]
‗pagi itu dia AKT-jalan ke sungai‘
(2) Mereke tu mejalanan kulu. ‗Mereka berjalan ke hulu (sungai)‘
[mərekə tu məjalanan kulu]
‗mereka itu AKT-jalan ke hulu‘
(Suparwa, 2006)
Kata ke ‗ke‘ diikuti kata sunge ‗sungai‘ tetap ke pada kalimat (1), tetapi ke itu
menjadi k dengan pelesapan bunyi e (kalimat 2) jika diikuti kata hulu ‗hulu‘ yang
dalam hal ini menjadi ulu ‗hulu‘. Fenomena kebahasaan tersebut merupakan
perubahan bunyi yang terjadi pada tataran antarkata atau setelah kata (posleksikal).
Untuk itu, kajian bunyi yang tidak hanya dalam kata, tetapi juga setelah kata menjadi
menarik untuk dibicarakan pada bahasa ini. Hal itulah yang menarik untuk dibahas
lebih detail dalam penelitian ini di samping deskripsi yang mendalam tentang
karakteristik bunyi secara fonologis leksikal terlebih lagi karena fenomena tersebut
dikaji berlandaskan teori fonologi generatif.
1.2 Perumusan Masalah
7
Pada tahun pertama, penelitian ini akan memusatkan perhatian utamanya pada
dua hal, yaitu menyangkut pola bunyi dan dinamikanya. Setelah diketahui pola bunyi
dan dinamikanya maka pada tahun kedua penelitian ini akan dibahas sistem bunyi
pada entri posleksikal yang dapat dijadikan pedoman dalam pengucapan bunyi
bahasa Indonesia dalam kamus yang dilengkapi dengan transkripsi fonetis mengingat
bahasa Melayu adalah asal bahasa Indonesia. Secara sistematis, perumusan masalah
pada penelitian kedua sebagai berikut.
1) Bagaimanakah dinamika sistem prosodi tekanan pada bahasa Melayu Loloan
Bali?
2) Bagaimanakah dinamika sistem prosodi panjang pada bahasa Melayu Loloan
Bali?
3) Bagaimanakah dinamika sistem prosodi nada/intonasi pada bahasa Melayu
Loloan Bali?
1.3 Tujuan/Urgensi Penelitian
Kajian bahasa Melayu Loloan di Bali sebagai warisan sejarah bangsa sangat
menarik untuk ditelaah dan dikaji. Bahasa Melayu Loloan Bali sekarang ini masih
digunakan sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Keterkaitan bahasa Melayu
Loloan Bali sekarang dengan bahasa Melayu Kuna dan bahasa Melayu Klasik serta
dengan bahasa Indonesia merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas.
Perkembangan bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal dan
sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur
bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu
merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Sementara itu, daya sentrifugal
merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat
komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh
bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional tidak bisa dihindari. Keberadaan bahasa Melayu Loloan
sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa mayoritas (bahasa Bali)
menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual. Penutur bahasa Melayu
Loloan, umumnya, dwibahasawan (menguasai bahasa Melayu Loloan dan bahasa
Indonesia serta mengerti bahasa Bali) dengan pemakaian bahasa Melayu Loloan
dalam ranah informal, seperti intrakeluarga, upacara adat, dan pengajian. Dalam
8
situasi kebahasaan seperti itu, kebertahanan bahasa Melayu Loloan merupakan salah
satu fenomena kebahasaan yang menarik pada bahasa tersebut.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam beberapa bidang
berikut ini.
a. Linguistik Teoretis
Dalam bidang linguistik teoretis, penelitian ini bermanfaat dalam bidang fonetik
dan fonologi. Kajian pola bunyi akan menerapkan berbagai konsep dalam bidang
fonetik dan fonologi, baik yang bersifat ragam maupun yang bersifat semesta.
Penerapan konsep (teori) yang bersifat ragam terlihat pada penemuan ciri-ciri yang
unik bahasa Melayu Loloan. Sementara itu, penerapan konsep (teori) yang bersifat
semesta terlihat pada kajian ciri-ciri bahasa Melayu Loloan yang bersifat universal.
Berbagai ragam temuan tersebut tentu sangat bermanfaat karena merupakan
sumbangan terhadap khazanah teori fonetik dan fonologi Indonesia dan linguistik
pada umumnya.
b. Linguistik Terapan
Bagi linguistik terapan, penelitian ini bermanfaat terutama dalam hal aplikasi pola
bunyi pada pengajaran bahasa, baik bahasa Melayu maupun bahasa Indonesia.
Dengan diketahuinya bunyi dan pola bunyi bahasa Melayu Loloan, para pengajar
bahasa Melayu dapat menyusun cara pengucapan dan penulisan kata bahasa tersebut
dengan tepat. Hal itu terkait juga dengan penyusunan ejaan bahasa bersangkutan.
Kemudian, pengetahuan bunyi dan pola bunyi bahasa Melayu tersebut dapat
digunakan sebagai bahan untuk penyusunan pedoman dalam pengucapan bunyi
bahasa Indonesia, terutama bila akan disusun kamus yang dilengkapi dengan
transkripsi fonetis mengingat bahasa Melayu adalah asal bahasa Indonesia.
Selain manfaat tersebut di atas, secara aplikatif, penelitian ini juga bermanfaat
bagi perencaan pemodernan bahasa Indonesia. Pemodernan bahasa Indonesia pada
masa depan sangat memerlukan pengetahuan tentang sistem bunyi bahasa Melayu
yang merupakan asal bahasa Indonesia. Dalam hal pemodernan bahasa Indonesia,
biasanya banyak terjadi penyerapan istilah-istilah bahasa lain (bahasa daerah lain
[bahasa daerah selain bahasa Melayu] dan bahasa asing [terutama bahasa
internasional, bahasa Inggris]). Dalam penyerapan itu diperlukan kaidah adaptasi
fonologis dari bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal tersebutlah
diperlukan pengetahuan tentang kaidah-kaidah fonologis bahasa Melayu.
c. Bidang Interdisipliner
9
Penelitian bahasa Melayu di Loloan yang masyarakat penuturnya di daerah
multikultural dapat bermanfaat bagi penelitian lanjutan yang multidisiplin ilmu.
Hasil penelitian ini bermanfaat bagi penelitian, seperti sosiolinguistik dan
etnolinguistik. Pola bunyi bahasa Melayu di Loloan Bali sangat dipengaruhi juga
oleh lingkungan pemakaian bahasa tersebut. Pola adaptasi bunyi tersebut merupakan
gambaran keadaan sosial budaya masyarakat pemakai bahasa tersebut. Dengan
demikian, gambaran pola interaksi sosial masyarakat penutur bahasa Melayu dengan
penutur bahasa non-bahasa Melayu di Bali merupakan sumbangan yang sangat
penting bagi kajian ilmu interdisiplin, seperti sosiolinguistik dan etnolinguistik.
d. Penutur Bahasa Melayu
Manfaat lain hasil penelitian ini adalah bagi penutur bahasa Melayu. Hasil
penelitian ini akan dapat memperkenalkan penutur bahasa Melayu (terutama Melayu
Loloan) ke ―dunia luar‖. Penutur bahasa Melayu, terutama penutur bahasa Melayu di
Loloan, akan dikenal oleh masyarakat luar, khususnya masyarakat pemerhati bahasa.
Selanjutnya, bahasa Melayu di Loloan akan semakin banyak diteliti dan dianalisis
oleh berbagai pakar, baik pakar bahasa maupun pakar nonbahasa. Pada akhirnya,
penutur bahasa Melayu di Loloan Bali akan semakin dikenal oleh masyarakat dunia
karena pada prinsipnya pendokumentasian dan penyebarluasan informasi penelitian
merupakan tanggung jawab moral penelitian bahasa.
Selain manfaat tersebut, hasil penelitian pola bunyi ini akan dapat menjadi
bahan untuk penyusunan pedoman bagi penutur bahasa Melayu dalam pemakaian
lafal bahasanya. Pemakaian lafal yang benar sangat ditentukan oleh pengetahuan
penutur bahasa tentang kaidah-kaidah bunyi yang berlaku pada bahasanya.
Kemudian, penelitian ini juga bermanfaat bagi penutur bahasa Melayu untuk
menyadari bahwa beberapa bunyi yang digunakan itu merupakan hasil adaptasi dari
bahasa lingkungannya. Hal itu penting agar dalam upaya pelestarian dan
pengembangan bahasa Melayu ke depan dapat dilakukan dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
.2.1 Kajian Pustaka
Sudah lazim dipakai pegangan, pandangan yang mengatakan bahwa tuturan
(bahasa) terdiri atas bunyi (Gussmann, 2002:1; juga Kridalaksana dalam Kentjono,
1982:2) atau bunyi merupakan realitas material bahasa (Sudaryanto, 1996:42). Bunyi
yang dimaksud tersebut adalah bunyi dalam rangkaian karena pada prinsipnya bunyi
itu muncul dalam suatu kombinasi dalam membentuk morfem, kata, frasa, klausa,
dan kalimat. Sementara itu, dalam hubungannya dengan linguistik, bunyi biasanya
dibedakan menjadi dua macam, yaitu bunyi tidak bersistem (tidak terpola) yang
secara umum disebut suara dan bunyi bersistem (terpola) yang disebut (bunyi)
bahasa. Kelompok bunyi yang disebut pertama termasuk bunyi seperti suara batuk
atau suara erangan dan kelompok bunyi yang kedua adalah bahasa.1)
Bunyi bahasa sangatlah berpengaruh dalam sistem komunikasi manusia. Amanat
yang disampaikan pembicara kepada seseorang (mitra bicara) dibawa oleh bunyi
tuturan. Bunyilah yang pertama-tama memberi kesan dan pesan tentang apa dan
bagaimana pesan itu disampaikan oleh pembicara kepada mitra bicaranya.
Demikianlah di dalam kehidupan berkomunikasi verbal (berbahasa), bunyi (dalam
pengertian bunyi yang terpola/bersistem/bahasa) sangatlah penting. Dengan bunyi,
manusia, antara lain, dapat mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya serta
mengidentifikasikan dirinya.2)
Sebagai alat aktualisasi dan ekspresi diri, misalnya, bunyi digunakan oleh para
seniman dalam pembuatan karya seninya, seperti puisi (baru), pantun, dan kakawin.3)
Kemudian, sebagai alat identifikasi diri, misalnya, bunyi digunakan bervariasi,
seperti idiolek, dialek, dan sosiolek. Untuk itu, dalam kaitannya dengan struktur
bahasa, bunyi dapat diandaikan sebagai salah satu fondasinya.4)
Sudaryanto
(1996:42) memasukkan unsur bunyi ke dalam kelompok komponen bahasa,
khususnya sebagai realitas materialnya.5)
Dalam kaitannya dengan fokus bunyi sebagai alat aktualisasi diri dan ekspresi
diri, misalnya terlihat pada pemakaian bunyi dalam karya sastra, khususnya puisi.
Dalam puisi, bunyi merupakan unsur yang sangat vital. Rene Wellek (1968:151;
dalam Pradopo, 1993:15) menyebut unsur bunyi (sound stratum) sebagai lapis norma
pertama dalam struktur puisi dan dalam analisis puisi, selain lapis arti (units of
11
meaning) dan lapis lainnya.6)
Lebih jauh, Pradopo (1993:15) memberi contoh bahwa
kombinasi bunyi vokal (asonansi): a, e, i, o, dan u; bunyi bersuara (voiced): b, d, g,
dan j; bunyi likuid: r dan l; serta bunyi sengau: m, n, ng, dan ny menimbulkan bunyi
merdu dan berirama (efoni). Bunyi merdu tersebut dapat mendukung suasana mesra,
kasih sayang, gembira, dan bahagia. Dalam puisi tersebut, fokus penyair dalam
pemakaian bunyi (bahasa) adalah untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan
suasana batinnya. Soal pembaca bisa memahami dan menghayati karyanya bukanlah
tujuan utamanya.
Sebagai alat identifikasi diri merupakan fungsi lain bunyi bahasa. Orang sering
dapat menerka pembicara walaupun ia tidak melihatnya. Hal itu dimungkinkan
karena warna ucapan (tinggi rendah, nada, keras lembut, cepat lambat bunyi) setiap
manusia tidak sama (Bawa, 1992:2). Pembicara dapat dikenal melalui suaranya dan
tiap orang tidak sama penampilannya ketika berbicara (Bloomfield, 1933:45).
Keadaan suara yang demikian itu, yang mewarnai bahasa seseorang membentuk
bahasa perseorangan yang disebut dengan istilah idiolek.7)
Meskipun bahasanya
sama, tetap diujarkan berbeda oleh setiap pembicara (penutur), baik yang
menyangkut aksen, intonasi, dan lainnya (Pateda, 1987:57). Dengan demikian,
idiolek akan menjadi ciri bahasa perseorangan. Bunyi yang diucapkannya itu
merupakan ciri identitasnya yang membedakannya dengan orang lain.
Berdasarkan bunyi bahasanya, seseorang pun sering bisa dikenali daerah
asalnya. Orang Bugis mudah dikenali oleh suku lain di Indonesia karena
kecenderungannya menetralisasi nasal ([m,n] [ŋ]) pada posisi akhir kata (Lagousi,
1992:2). Hal itu terlihat seperti pada pelafalan nyoman menjadi ŋ [ŋomaŋ]8)
.
Kemudian, orang Bali mudah dikenali oleh suku lainnya di Indonesia karena bunyi
retrofleksnya. Contoh lainnya adalah seseorang dinilai tingkat intelektualnya dari
pemarkah lafal baku yang digunakannya dalam berbahasa Indonesia
Pola bunyi dalam sebuah bahasa sangat menarik diteliti karena pola itulah yang
sebenarnya mengungkapkan ciri khas sebuah bahasa, di samping ciri universalnya.
Misalnya, bahasa Indonesia memiliki sistem bunyi, yaitu vokal dan konsonan
sebagai ciri universal. Selain itu, bahasa Indonesia masih memiliki sistem bunyi
diftong yang merupakan ciri khasnya (Keraf, 1990:28). Dengan demikian, penelitian
pola bunyi sebuah bahasa (seperti pola bunyi bahasa Melayu Loloan ini) sangat
menarik untuk dikerjakan karena dapat diungkapkan ciri khas fonologis bahasa
tersebut di samping ciri universalnya.
12
Dalam kaitannya dengan penelitian bahasa, kajian bunyi (bidang fonologi)
semestinya mendapat prioritas sebelum penelitian perangkat bahasa lainnya, seperti
morfologi, semantik, dan sintaksis. Hal itu dikarenakan oleh kenyataan bahwa bunyi
merupakan perangkat yang mendasar dalam suatu bahasa. Apabila tidak demikian,
peneliti akan menemukan kesulitan dalam penelitiannya (Saussure, 1966:32).
Kesulitan yang dimaksud adalah tidak diketahuinya pola penyusunan bunyi bahasa
bersangkutan yang bisa menghambat analisis morfofonemik dan/atau morfosintaktik
dan/atau semantik. Lebih-lebih dalam penelitian leksikografi (kamus), pengetahuan
tentang sistem bunyi bahasa bersangkutan mutlak diperlukan untuk memudahkan
transkripsi, baik fonetis, fonemis, maupun ortografisnya.
Berkaitan dengan hal itulah, para linguis sejak awal sudah tertarik untuk
menelaah ihwal bunyi dalam bahasa. Paling tidak sejak akhir abad ke-18 sudah
terkenal penelitian tentang bunyi bahasa yang dikenal dengan Hukum Grimm oleh
seorang linguis Indo-German, Jacob Grimm, pada sekitar tahun 1785—1863
(Ibrahim, 1985:17). Pada waktu itu penelitian bahasa lebih dikenal sebagai penelitian
diakronis-komparatif yang dalam hal ini penelitian bahasa diarahkan pada pencarian
hubungan di antara bahasa-bahasa yang ada (sejarah bahasa). Selanjutnya, penelitian
tentang bunyi pun tetap berkembang ketika teori linguistik memasuki babak baru
yang dikenal dengan linguistik sinkronis (awal abad 20). Kajian ilmiah tentang
bahasa pada abad ini berbeda jauh dengan penelitian sebelumnya, sehingga abad ini
dikenal juga dengan sebutan linguistik modern. Linguistik merupakan kajian bahasa
yang otonom dalam artian tidak harus dihubungkan dengan bahasa lain atau sejarah
bahasa. Bahasa dipandang terdiri atas unit-unit yang masing-masing bisa dibahas
sendiri-sendiri. Salah satu unit bahasa itu adalah komponen bunyi yang dibicarakan
dalam bidang fonologi, sehingga muncullah kemudian penelitian fonologi berbagai
bahasa.
Paparan tersebutlah mendorong pelaksanaan penelitian ini yang mengambil
objek bahasa Melayu Loloan, Bali. Bahasa tersebut dipakai oleh komunitas yang
menamakan dirinya ―Orang Loloan‖. Daerah pemakaian bahasa tersebut adalah
Loloan Barat, Loloan Timur, dan beberapa daerah pesisir pantai kecamatan Negara
dan Melaya, seperti Banyubiru, Cupel, dan Melaya Bawah (berada sekitar 90 km ke
arah Barat dari kota Denpasar) (Peta Lampiran 1). Orang Loloan umumnya
beragama Islam dengan mata pencaharian pokok sebagai nelayan (belakangan ini
profesi nelayan mulai banyak ditinggalkan oleh masyarakat setempat terkait dengan
13
perkembangan pembangunan). Profesi penutur bahasa sebagai nelayan (sekaligus
pedagang) tersebutlah yang merupakan salah satu faktor penyebab tersebarnya
bahasa Melayu dari daerah asalnya (Riau, Sumatra) sampai ke daerah Bali (Bawa,
1981:6).
Secara historis, Orang Loloan berasal dari berbagai daerah, antara lain,
Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa, sehingga merupakan campuran keturunan
berbagai etnis, seperti Bugis, Melayu, Arab, Jawa, dan Bali. Mereka diperkirakan
masuk ke Bali pada pertengan abad ke-17 (Reken, t. t.). Saat ini percampuran
berbagai etnis itu sudah menyatu dan tidak bisa dikenali lagi asal-usul per keluarga.
Mereka umumnya tidak tahu dan tidak membedakan lagi asal etnisnya untuk
masing-masing keluarga. Mereka menyebut dirinya sebagai komunitas Masyarakat
Loloan yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai etnis serta mendiami daerah
terkonsentrasi di Desa Loloan (Loloan Barat dan Loloan Timur), Kecamatan Negara,
Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
Secara filologis, bahasa Melayu berasal dari daerah Riau (sepanjang pantai
timur Sumatra) karena di daerah tersebut ditemukan sebuah sungai yaitu ―Melayu‖.
Nama sungai itu dihubungkan dengan kata melaju, deras, atau kencang (Saidi,
2003:22). Dari daerah Sumatra, bahasa tersebut kemudian tersebar ke Singapura,
Malaysia, dan daerah-daerah Nusantara. Bahasa Melayu yang tersebar sampai ke
Bali itu tergolong ke dalam bahasa Melayu klasik karena bahasa itu datang ke Bali
sekitar abad ke-17. Menurut Kridalaksana (1986:50), perkembangan bahasa Melayu
dibedakan atas empat periode, yaitu (1) periode bahasa Melayu Kuna (abad ke-7—
abad ke-14; (b) bahasa Melayu Tengahan/Klasik (abad ke-14—abad ke-18; (c)
bahasa Melayu Peralihan (abad ke-19); dan (d) bahasa Melayu Baru (abad ke-20
sampai sekarang).
Ciri utama bahasa Melayu Klasik adalah telah masuknya unsur-unsur bahasa
Arab dan dipakainya bahasa tersebut dalam naskah perjanjian (Kridalaksana,
1986:51). Unsur bahasa Arab banyak ditemukan dalam pemakaian bahasa Melayu
Loloan karena bahasa itu juga digunakan dalam pengajian dan sebagai lambang
identitas Islam di Jembrana. Selain itu, bahasa Melayu tersebut juga ditemukan
dalam naskah perjanjian, yaitu naskah Encik Ya’qub yang berangka tahun 1268
Hijriah atau 1848 Masehi (Gambar Naskah Perjanjian Encik Ya’qub pada Bab IV,
halaman 106). Naskah tersebut berbahasa Melayu dan menggunakan huruf Arab.
Naskah itu berisi pesan (wasiat) Encik Ya‘qub yang mewakafkan sebidang sawah
14
dengan penghasilannya untuk mesjid Jembrana atau mesjid Baitul Qadim sekarang
(Brandan, 1995:22).
Dari sudut itu, kajian bahasa Melayu Loloan Bali sebagai warisan sejarah
bangsa sangat menarik untuk ditelaah dan dikaji. Bahasa Melayu Loloan Bali
sekarang ini masih digunakan sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia.
Keterkaitan bahasa Melayu Loloan Bali sekarang dengan bahasa Melayu Kuna dan
bahasa Melayu Klasik serta dengan bahasa Indonesia merupakan fenomena yang
menarik untuk dibahas. Perkembangan bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari
daya sintripetal dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan
usaha penutur bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa Melayu
Loloan itu merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Sementara itu, daya
sentrifugal merupakan usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya
sebagai alat komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini
pengaruh bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional tidak bisa dihindari.
2.2 Peta Jalan (Road Map) Penelitian
Usulan penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penelitian bahasa Melayu
di Bali yang telah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian sebelumnya kajian
bahasa Melayu di Bali membahas Kajian Fonologi struktural dan terbatas pada
sistem bunyi pada entri leksikal. Dalam usulan penelitian yang diajukan ini,
persoalan penelitian dan jangkauan permasalahan lebih luas dan lebih kompleks
yaitu dengan menggunakan kajian generatif dan pada entri posleksikal. Secara utuh
Peta Jalan Penelitian terkait sistem bunyi Bahasa Melayu di Bali dapat digambarkan
sebagai berikut.
15
PENELITIAN
TAHUN
II
Kajian Generatif Dinamika Sistem Bunyi Prosodi
Bahasa Melayu di Bali
PENELITIAN
TAHUN
I
1. Omong Kampung Sebuah Deskripsi tentang Dialek Melayu di
Bali (Jendra, 1970).
2. Kamus Dialek Melayu Bali-Bahasa Indonesia, (Laksana,
1980)
3. I Wayan Karta (1981) dengan judul ―Sistem Morfologi Kata
Benda Dialek Melayu Bali (Karta, 1981)
4. Yudha (1983) dengan judul ―Kata Tugas Dialek Melayu Bali
di Kecamatan Negara (Yudha, 1983)
5. Fonologi Generatif Dialek Melayu Bali di Kecamatan
Negara‖.Suraga (1992)
6. Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi
Leksikal dan Posleksikal (Suparwa, 2006)
7. Posleksikal Bahasa Melayu Loloan: Sebuah Pendekatan
Optimalitas (Malini,2009)
PENELI-
TIAN SEBE-
LUMNYA
(1) Menemukan sistem bunyi vokal dan
konsonan Bahasa Melayu di Bali
(2) Menganalisis dinamika bunyi bahasa
Melayu di Bali
T
U
J
U
A
N
L
U
A
R
A
N
1. Dihasilkannya kaidah–kaidah sistem
bunyi bahasa Melayu di Bali berdasarkan
kajian generatif
2. Dihasilkan publikasi pada jurnal nasional
terakreditasi
16
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan pendekatan kualitatif yang
menitikberatkan pada kealamiahan observasi, kedalaman data teks, berorientasi pada
proses dan penemuan, induktif, deskriptif, eksplanatori, dan realita yang dinamik
(bd. Nunan dalam Finch, 1992:4). Langkah-langkah operasional dalam
pengumpulan data akan dilakukan dengan metode observasi dan wawancara yang
ditunjang dengan teknik perekaman dan teknik pencatatan. Secara umum ada tiga
tipe data yang dikumpulkan: a) materi audio-visual, b) dokumen/teks tulis, dan 3)
informasi. Dua tipe data pertama didapatkan dengan metode observasi, sedangkan
yang terakhir dikumpulkan melalui metode wawancara. Sementara itu, dalam
analisis dan interpretasi data, langkah-langkah operasionalnya adalah: a) pemahaman
data, b) pengolahan data, c) persiapan analisis, d) analisis awal, e) analisis
mendalam, dan f) penyuntingan (bdk. Cresswell 2009: 177—195)
3.1 Lokasi Penelitian
Penutur bahasa Melayu di Bali berada di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali.
Kabupaten Jembrana terdiri atas empat kecamatan, yaitu Kecamatan Melaya,
Negara, Mendoyo, dan Pekutatan. Sehubungan dengan karakteristik penutur bahasa
Melayu yang beragama islam dan pendatang, mereka terkonsentrasi bertempat
tinggal di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Negara sebagai pusat dan kecamatan
Melaya sebagai daerah sebar. Khusus di Kecapatan Negara, penutur bahasa Melayu
berada di dua desa, yaitu Desa Loloan Barat dan Desa Loloan Timur. Dengan
demikian, lokasi penelitian ini adalah dua desa tersebut.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Dalam pendekatan kualitatif terhadap penelitian teks lisan dan tulis, ada empat
hal pokok yang mendasari pengumpulan data: a) pemilihan sampel secara selektif
yang gayut dengan permasalahan penelitian, b) tempat pengumpulan data, c) apa dan
siapa yang akan diobservasi dan diwawancarai, dan d) proses pengambilan data
(Creswell 2006: 178—179).
Penelitian sistem bunyi memerlukan data yang andal dalam hal kepekaan
fonetis. Pada banyak penelitian sistem bunyi sering dipakai metode penyimakan
17
(wawancara) penggunaan bahasa dengan hanya mengandalkan pendengaran peneliti
bahasa dan bunyi diinterpretasikan menurut perkiraan alat ucapnya (fonetik organis).
Akan tetapi, dalam penelitian ini, selain digunakan metode penyimakan dengan
pencatatan serta interpretasi fonetik organis, juga digunakan metode penyimakan
dengan perekaman serta interpretasi bunyi lewat fonetik akustik. Program yang
digunakan adalah Speech Analyzer (SIL, 2001). Dengan program tersebut bunyi bisa
digambarkan sehingga interpretasinya tidak hanya mengandalkan pendengaran,
tetapi juga pengamatan dan dibandingkan dengan khazanah bunyi internasional,
yaitu IPA (International Phonetic Association). Dengan demikian, keakuratan dan
kualitas data lebih tinggi.
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan penerapan metode wawancara
semi-terstruktur. Metode ini tepat digunakan pada penelitian kualitatif karena dalam
kegiatan wawancara hanya diperlukan elisitasi terhadap pandangan dan pendapat
informan (Creswell 2009: 181).
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian
Dalam penelitian ini akan digunakan jenis data lisan dan data tulis. Data lisan
berupa tuturan langsung penggunaan bahasa, seperti ceritra, dialog, dan lain-lain.
Kemudian, data tulis dapat berupa karya tulis berbahasa Melayu, seperti naskah
ceramah agama, karya sastra (cerpen atau puisi), dan lain-lain.
3.4 Instrumen Penelitian
Tiga jenis instrumen diterapkan dalam penelitian ini sesuai dengan jenis data
yang dikumpulkan: a) program perangkat lunak komputer, b) peneliti, dan c) daftar
tanyaan wawancara semi-terstruktur. Pertama, pada jenis data primer berupa teks
lisan dengan sasaran penelitiannya berupa bahan-bahan audio-visual, maka
instrumen yang digunakan adalah perangkat elektronik yang dapat dikendalikan oleh
peneliti untuk memecah teks menjadi bagian-bagian yang lebih kecil sesuai tema dan
aspek linguistiknya. Perangkat elektronik itu dalam bentuk program komputer (yang
disebut toolbox dan speech analyzer) khusus dirancang untuk merekam dan
mengurai data kebahasaan sesuai yang diinginkan oleh peneliti. Kedua, pada jenis
data primer berupa teks tulis dari surat kabar, peneliti mengandalkan dirinya sendiri
sebagai instrumen dan ditunjang oleh sistem pengelompokan korpus berdasarkan
tema dan aspek linguistiknya. Dalam kaitan ini, peneliti menjadikan dirinya sebagai
18
instrumen penelitian karena dia dapat memahami, mengidentifikasi, mengklasifikasi
dan mengolah data sesuai kebutuhan penelitian. Ketiga, dalam pengumpulan data
sekunder yang berbentuk informasi mengenai pendapat, kebijakan kebahasaan, dan
wawasan informan tentang pengetahuan kebahasaan; peneliti menyiapkan instrumen
dalam bentuk daftar tanyaan untuk wawancara semi-terstruktur. Daftar tanyaan
tersebut bersifat terbuka, tetapi harus tetap dipandu oleh tema dan permasalahan
penelitian sehingga informasi yang didapatkan dapat menunjang keberadaan data
primer. Dalam instrumen wawawancara semi-terstruktur itu, walaupun kegiatan
wawancara didukung dengan daftar tanyaan yang telah disiapkan, urutan pertanyaan
dapat berubah sesuai arah wawancara (Kajornboon 2005:5).
3.5 Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif eksplanatori yang berarti
pendeskripsian fenomena yang ditemukan disertai penjelasan yang cukup.
Pencapaian gambaran itu didasari oleh analisis metode agih dan metode padan
(Sudaryanto, 1993;14—15). Dua metode tersebut dioperasionalkan dengan membagi
unsur-unsur bahasa sampai ke tingkat fitur dan diklasifikasi dan identifikasi. Urutan
kerja analisis, antara lain, penentuan morfem, pendaftaran varian, penentuan kaidah,
pengujian kaidah, dan penyusunan kaidan yang ditemukan.
Seluruh proses penelitian ini dapat digambarkan secara utuh pada bagan
berikut ini.
19
PENELITIAN
SEBELUMNYA
PENELITIAN TAHUN I
LUARAN : Kaidah sistem bunyi bahasa
Melayu
Publikasi Jurnal Nasional
Terakreditasi
Artikel Ilmiah untuk seminar
Draft Buku Ajar
Data: tulis dan lisan
Lokasi: Loloan Jembrana, Bali
Pengumpulan data:
observasi lapangan
Analisis Data
Ditemukannya sistem bunyi vokal
dan konsonan Bahasa Melayu di
Bali
Ditemukannya proses (termasuk
kaidah) fonologis bahasa Melayu di
Bali
Kajian fonologi
struktural
Kajian fonologi
generatif
Kajian pada entri leksikal
vokal dan konsonan
METODE INDIKATOR
Kajian terbatas pada
sistem bunyi pada entri
leksikal
PENELITIAN TAHUN II
INDIKATOR
Kajian Bunyi
Prosodi
Ditemukannya sistem bunyi
Prosodi Bahasa Melayu di Bali
Ditemukannya Dinamika Prosodi
Bahasa Melayu di Bali
20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Tekanan
Tekanan (stress, accent) merupakan kekuatan yang lebih besar dalam
artikulasi pada salah satu bagian ujaran yang membuatnya lebih menonjol daripada
bagian ujaran yang lain atau disebut juga dengan keras lembutnya pengucapan
bagian ujaran (Kridalaksana, 1982:164). Dalam sebuah kata realisasi tekanan
mengacu pada suku kata (silabel) yang menonjol dalam ucapan lisan. Penonjolan itu
dilakukan oleh pembicara sebagai alat untuk tujuan pemfokusan perhatian pada
informasi penting dalam ujaran. Jika mengacu pada pengertian yang lebih spesifik,
Bolenger (1958:109) membedakan bahwa stress merupakan istilah yang mengacu
kepada ciri abstrak sebuah kata yang merupakan tempat untuk accent. Dengan
pengertian tersebut berarti accent adalah tekanannya, sedangkan stress merupakan
tempat tekanan tersebut di dalam kata.
Penempatan tekanan dalam suku kata menyebabkan suku kata tersebut
menjadi lebih menonjol daripada suku kata yang lainnya. Malahan, di dalam
beberapa kata, tekanan tersebut bisa menimbulkan kontras. Misalnya, dalam bahasa
Melayu Loloan Bali yang juga berlaku dalam bahasa Indonesia, kata ekor ‗ekor‘
diberi tekanan yang berbeda menimbulkan makna kalimat yang berbeda pula. Dalam
konteks Berape ekor ayam tu ? ’Berapa ekor ayam itu ?’ mengacu ke pertanyaan
jumlah ekor dari ayam. Sementara itu, apabila kara ekor digunakan dalam konteks
Berape ek or ayam tu ? ‘Berapa ek or ayam itu ?’ mengacu ke pertanyaan jumlah
ayam. Suku kata yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan,
sedangkan yang lainnya disebut suku kata tidak bertekanan.
Secara spesifik istilah tekanan (stress), ton (tone), dan intonasi (intonation)
mengacu kepada konsep linguistik (emik). Bukan fenomena secara fisik yang bisa
diteliti dan diukur secara langsung. Tinggi dan rendahnya nada (tones), tekanan pada
awal atau akhir kata, dan naik atau turunan kontur merupakan elemen-lemen yang
berperan dalam deskripsi sistem bahasa. Sebuah sistem bahasa merupakan sesuatu
yang dikenal secara umum oleh pembicara/pemakai bahasa. Akan tetapi, hal itu
bukanlah sesuatu yang bisa diteliti secara langsung.
Sementara itu, bunyi ucapan (speech) adalah sesuatu yang terjadi atau
terbentuk dan terobservasi secara nyata. Getaran alat ucap seseorang, gelombang
21
bunyi yang merambat di udara dan didengar oleh telinga pendengar merupakan
sesuatu yang terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik eksperimental
yang mampu mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi (yang digunakan
dalam analisis ini) sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari
tekanan, ton, dan intonasi (ton tidak dibahas dalam penelitian ini karena bahasa yang
diteliti bukan bahasa ton; intonasi akan dibicarakan pada bagian lain tulisan ini)
terlihat refleksinya dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada (pitch), panjang
(length), dan kenyaringan (loudness). Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini
akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara,
dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik.
Dalam data BML ditemukan bahwa tekanan pada kata dasar satu suku
terletak pada bunyi vokal baik itu pada suku tertutup maupun terbuka, contoh: bor
‗ayah‘. Secara grafik, tekanan dalam kata tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut.
Grafik 4.1 Tekanan pada Kata Dasar Satu Suku
Tekanan pada kata dasar dengan dua suku terletak pada bunyi vokal pada suku
terakhir (suku kedua) baik itu pada kata dua suku dengan suku terbuka maupun
tertutup. Misalnya, pada kata dasar dua suku yang diawali dengan bunyi konsonan,
dan diakhiri oleh bunyi vokal (suku terbuka), contoh, jaje ‗jajan‘
22
Grafik 4.2 Tekanan pada Kata Dasar Dua Suku
Pada data BML berupa kata-kata bersuku dua memperlihatkan bahwa
tekanan pada kata tersebut terletak pada silabel kedua, baik yang terbuka maupun
yang tertutup. Fenomena tersebut dapat dikaidahkan dalam pola penempatan tekanan
sebagai berikut.
(K-T 2)
Tekanan pada kata dasar dengan tiga suku terletak pada bunyi vokal pada
suku kedua baik itu pada kata dua suku dengan suku terbuka maupun tertutup.
Misalnya, pada kata dasar dua tiga suku yang diawali dengan bunyi konsonan, dan
diakhiri oleh bunyi vokal (suku terbuka), contoh: gekmane ‘bagaimana/seperti‘
V [ tekanan] / K1
oV Ko2___ Ko
1 #
23
Grafik 4.3 Tekanan pada Kata Dasar Tiga Suku
Kaidah penempatan tekanan pada kata dasar tiga silabel dapat dirumuskan
sebagai berikut.
K-T 3)
Kaidah tersebut merumuskan bahwa vokal penultimat bertekanan pada kata
dasar tiga silabel. Dalam hal ini vokal tersebut bisa didahului oleh konsonan
maksimal 2 dan minimal 0 serta diikuti oleh konsonan maksimal 2 dan minimal 0
juga. Kata dasar tiga silabel tersebut bisa diawali oleh konsonan dan bisa juga tidak
serta bisa juga diakhiri oleh konsonan dan bisa juga tidak diakhiri oleh konsonan.
Yang terakhir adalah kata dasar empat silabel yang merupakan kata dasar
dengan jumlah silabel maksimal yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali
Tekanan pada kata dasar dengan empat suku terletak pada bunyi vokal pada suku
ketiga baik itu pada kata dua suku dengan suku terbuka maupun tertutup. Misalnya,
pada kata dasar dua empat suku yang diawali dengan bunyi konsonan, dan diakhiri
oleh bunyi vokal (suku terbuka), contoh: sementare ‘sementara‘
Grafik 4.4 Tekanan pada Kata Dasar Empat Suku
V [ tekanan] / K1
oV K2 o ___ K
2 oVK
1o #
24
Kaidah penempatan tekanan pada kata dasar empat suku dapat dirumuskan
sebagai berikut.
(K-T 4)
Kaidah penempatan tekanan di atas merumuskan bahwa tekanan utama
terletak pada silabel kedua dari akhir yang diikuti oleh konsonan maksimal dua dan
minimal kosong serta diawali oleh konsonan maksimal dua dan minimal kosong. Di
depan vokal bertekanan tersebut terdapat dua buah vokal yang dapat diawali dan
diakhiri oleh maksimal dua konsonan dan minimal kosong, kecuali vokal pertama
yang diawali oleh maksimal satu konsonan dan minimal kosong. Vokal silabel akhir
kata juga diikuti oleh maksimal satu konsonan dan minimal kosong.
Lebih lanjut, untuk tekanan pada frasa/kelompok kata dibedakan menjadi
dua, yaitu frasa eksosentris dan frasa endosentris. Pada data, ditemukan bahwa
tekanan frasa terjadi pada bunyi vokal pada kata kedua. Misalnya frasa di kebon
berikut:
Grafik 4.5 Tekanan pada Frasa
Berdasarkan grafik di atas, dapat dilihat bahwa tekanan terjadi pada kata
kedua, ‗kebon’. Lebih spesifik lagi, pada kata kedua tersebut, senada dengan tekanan
pada kata dasar dua suku, pada kata kebon, tekanan terletak pada bunyi vokal pada
suku kedua, yaitu vokal [o].
V [ tekanan] / K1
oV K2 o V K
2 o ___ K
2 oVK
1o #
25
Bahasa Melayu Loloan juga memiliki bentuk-bentuk turunan dari kata-kata
dasar yang mendapat imbuhan, atau yang dikenal dengan istilah kata jadian. Kata-
kata jadian dalam bahasa Melayu Loloan terbagi atas kata berprefiks, kata bersufiks,
kata berprefiks dan bersufiks, serta kata berkonfiks. Data kata-kata jadian yang
ditemukan di antaranya.
1. Kata Berprefiks
Penempatan tekanan pada kata jadian, khususnya kata berprefiks dapat dilihat
pada contoh kata mebini ‗beristri‘ berikut ini.
Grafik 4.6 Tekanan pada Kata Jadian
Spektrogram di atas memperlihatkan bahwa penempatan tekanan utama
terletak pada silabel akhir kata bersangkutan. Jika diperhatikan dengan saksama
terlihat bahwa vokal silabel akhir berfrekuensi sekitar 240 Hz, sedangkan vokal
silabel kedua berfrekuensi sekitar 210 Hz dan vokal silabel pertama berfrekuensi
sekitar 230 Hz. Hal itu berarti bahwa silabel akhir merupakan tempat tekanan utama,
lalu silabel kedua merupakan tempat tekanan kesatu dan silabel pertama merupakan
tempat tekanan kedua.
2. Kata Bersufiks:
No Kata bersufiks Padan Makna
1. [naməɲə] namanya
2. [pokɔɁan] pojokan
3. [jalanɲə] jalannya
4. [tauɁi] memberi tahukan
26
5. [səbətulɲə] sebetulnya
6. [mikiri] memikirkan
7. [kamarɲə] kamarnya
8. [ləmpɛyan] lelah
Kaidah perubahan penempatan tekanan pada kata bersufiks terlihat sebagai
berikut.
Kaidah tersebut menyatakan bahwa tekanan utama pada kata bersufiks terjadi
pada vokal silabel sufiks pada akhir kata. Silabel sufiks tersebut didahului oleh kata
dasar (X) yang dalam hal ini adalah kata dasar dua silabel dengan tekanan utama
pada silabel akhir kata dasar bersangkutan. Penambahan sufiks di akhir kata dasar
menyebabkan tekanan utama pindah ke belakang (ke silabel sufiks) dan tekanan
sekunder terletak pada silabel awal kata dan silabel akhir kata dasar yang
sebelumnya bertekanan utama menjadi bertekanan tertier.
3. Kata Berprefiks dan Bersufiks
No Kata berprefiks dan bersufiks Padan Makna
1. [pərkənalkən] perkenalkan
2. [məsəbʊt səbʊtan] memanggil - manggil
3. [ŋocɛhi] berceloteh
4. [məkəlaiɁan] berkelahi
5. [neŋɔɁi] melihat
6. [ɲariɁi] mencari
7. [məjumpaɁan] saling bertemu
8. [ŋikuti] mengikuti
9. [məduwəɁan] berduaan
10. [məjalanan] berjalan-jalan
11. [səumpaməɲə] seumpamanya
Kaidah penempatan tekanan pada kata jadian di atas dapat dirumuskan
sebagai berikut.
Kaidah di atas menyatakan bahwa penempatan tekanan pada kata jadian
berprefiks dan bersufiks terdapat pada vokal silabel sufiks sebagai tekanan utama.
Selanjutnya, vokal silabel prefiks bertekanan sekunder dan vokal silabel pertama
kata dasar bertekanan tertier dan vokal silabel kedua kata dasar bertekanan kuarter.
V [tekanan] / X + __ K1
o #
V [tekanan] / X + X + __ K1
o #
27
Penempatan tekanan seperti itu ternyata tidak sama dengan penempatan tekanan
pada kata dasar empat silabel walaupun kedua bentuk kata tersebut sama-sama
empat silabel. Seperti sudah dibahas sebelumnya, kata dasar empat silabel memiliki
tekanan utama pada vokal silabel penultimat dan tekanan sekunder pada vokal
silabel akhir kata, lalu vokal silabel pertama bertekanan tertier dan vokal silabel
kedua bertekanan kuarter.
4. Kata Berkonfiks:
No Kata berkonfiks Padan Makna
1. [ɲadiɁi] menjadikan
2. [ŋapəɁi] sedang apa
3. [ŋənali] mengenalkan
4. [ŋawini] menikahi
5. [naɲəɁkan] menanyakan
6. [dijodohkən] dijodohkan
7. [ŋəlanjutkən] melanjutkan
8. [ɲələseɁkən] menyelesaikan
9. [ŋərjəɁi] mengerjakan
4.2 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Panjang
Bunyi ucapan (speech) adalah sesuatu yang terjadi atau terbentuk dan
terobservasi secara nyata. Getaran alat ucap seseorang, gelombang bunyi yang
merambat di udara dan didengar oleh telinga pendengar merupakan sesuatu yang
terukur dan nyata. Dengan demikian, analisis fonetik eksperimental yang mampu
mengobservasi getaran akustik gelombang bunyi (yang digunakan dalam analisis ini)
sangat relevan digunakan. Untuk itu, perbedaan linguistik dari tekanan terlihat
refleksinya dalam konfigurasi yang berbeda dari tinggi nada (pitch), panjang
(length), dan kenyaringan (loudness). Dengan kata lain, tekanan dalam analisis ini
akan terlihat di dalam gambaran tinggi rendahnya suara, panjang pendeknya suara,
dan keras lemahnya suara dalam fonetik akustik. Dengan kata lain, bunyi panjang
prosodi terlihat dalam realisasinya menyertai tekanan dalam pemakaian bahasa.
Seperti terlihat dalam pemakaian bahasa Melayu (Loloan) di Bali,
penempatan tekanan dalam suku kata menyebabkan suku kata tersebut menjadi lebih
menonjol daripada suku kata yang lainnya. Malahan, di dalam beberapa kata,
tekanan tersebut bisa menimbulkan kontras. Misalnya, dalam bahasa Melayu Loloan
Bali yang juga berlaku dalam bahasa Indonesia, kata ekor ‗ekor‘ diberi tekanan yang
berbeda menimbulkan makna kalimat yang berbeda pula. Dalam konteks
28
Berape ekor ayam tu? ’Berapa ekor ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ekor
dari ayam. Sementara itu, apabila kara ekor digunakan dalam konteks Berape ek or
ayam tu? ‘Berapa ek or ayam itu?’ mengacu ke pertanyaan jumlah ayam. Suku kata
yang mendapat tekanan tersebut disebut suku kata bertekanan, sedangkan yang
lainnya disebut suku kata tidak bertekanan.
Sama halnya dengan bentuk prosodi panjang dalam bahasa Melayu Loloan
Bali. Dalam menganalisis bunyi panjang yang terjadi tersebut digunakan teori
mengenai durasi. Durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama
singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua
(durasi) sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:) tanda ini yang disebut mora.
Pada data bahasa Melayu Loloan, ditemukan bunyi panjang, baik pada bunyi
vokal maupun konsonan. Panjang terjadi pada tataran kalimat dan pada dasarnya
tidak mengubah makna secara literal, tetapi lebih bermakna secara pragmatis, seperti
penyampaian emosi tertentu dan penegaskan maksud tuturan, dan faktor kebahasaan
lainnya. Penjelasan lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.
4.2.1 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Beda Generasi
Pada data dalam tataran kalimat, ditemukan bunyi panjang pada bunyi vokal.
Panjang umumnya terjadi pada tataran kalimat deklaratif, terutama tuturan-tuturan
ketika informan menanggapi atau menjawab pertanyaan. Salah satu contoh yang
ditemukan adalah tuturan deklaratif tu di bawah talanan ‗itu di bawah talenan‘
(papan untuk mengiris bahan makanan), yang merupakan jawaban atas pertanyaan
dimane wak tarok pisaunye? ‗dimana pisaunya bapak letakkan?‘. Pada kalimat
tersebut, terjadi pemanjangan bunyi vokal [a] pada suku kedua kata ‘bawah’. Secara
fonetis, tuturan dapat dijabarkan sebagai berikut:
(6) Tu di bawah talanan
[tu di bawa:h talanan]
‗itu di bawah talenan‘
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara fonetis, tanda mora digunakan
untuk memarkahi bunyi panjang dalam satu tuturan, baik itu dalam satuan kata,
frasa, maupun kalimat. Pada contoh 4.1 di atas, pemanjangan terjadi pada frasa ‗di
bawah’, yaitu pada bunyi vokal [a] pada suku kedua. Jika tuturan tersebut
digambarkan dalam grafik, terlihat sebagai berikut.
29
Grafik 4.7 Panjang pada Bunyi Vokal
Motivasi terjadinya panjang pada bunyi vokal di atas tersirat secara
pragmatis, dan tidak mengubah makna literalnya. Panjang terjadi pada kata bawah,
secara pragmatis dituturkan penutur untuk lebih menekankan tuturannya pada posisi
dari benda yang ditanyakan (pisau). Dengan demikian, si penanya dapat dengan
mudah menemukan pisau yang dicari.
Lebih lanjut, bila kajian diperdalam dengan melihat dinamika yang terjadi
pada bunyi panjang tersebut, perlu dilakukan perbandingan dalam realitanya.
Berdasarkan atas data yang ditemukan di lapangan, ditunjukkan bahwa terjadi
dinamika dalam panjang bunyi vokal pada bahasa Melayu Loloan Bali yang
didasarkan atas faktor golongan usia pemakai bahasa tersebut. Faktor yang pertama
adalah ketika diperbandingkan antara dua penutur dengan usia yang berbeda.
Penutur satuan lingual yang ditunjukkan oleh grafik 4.1 di atas adalah penutur
golongan tua (usia + 70 tahun) dengan durasi panjangnya ucapan bunyi mencapai
sekitar 589,98 milidetik, terlihat pada gambar berikut ini.
Grafik 4.8 Panjang pada Bunyi Vokal (Golongan Tua)
30
Pada penutur usia muda, terjadi juga bunyi vocal panjang, tetapi jika
dibandingkan dengan panjang vokal pada penutur usia tua, durasi pada penutur usia
muda cenderung lebih pendek. Pada penutur usia muda (umur + 20 tahun), durasinya
sekitar 107,39 milidetik. Grafiknya adalah sebagai berikut.
Grafik 4.9 Durasi pemanjangan bunyi vokal pada penutur usia muda
Pada grafik, dapat dilihat bahwa terjadi dinamika pada pemanjangan
bunyi vokal antara penutur tua dengan muda. Grafik di atas menunjukkan bahwa jika
dilihat dari durasinya, pemanjangan pada penutur usia muda cenderung lebih pendek
jika dibandingkan dengan penutur usia tua, yaitu dengan selisih yang cukup
signifikan sekitar 482, 59 ms.
Senada dengan panjang pada bunyi vokal, bunyi konsonan pada data bahasa
Melayu Loloan Bali juga ditemukan, khususnya dalam tataran kalimat yang di
dalamnya terdapat bunyi konsonan likuid (l atau r) pada akhir kata, dan diikuti oleh
bunyi vokal pada kata setelahnya. Contohnya dapat dilihat pada kalimat berikut.
(7) Tu telor ayam
[tu təlɔr rayam]
‗itu telor ayam‘
Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan ape tu? ‗apa
itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [r] pada kata ‗telor‘
yang cenderung dipanjangkan apabila bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal
(dalam kasus ini diikuti oleh bunyi vokal [a] pada kata ayam). Contoh lain juga
terjadi pada bunyi konsonan likuid [l] di akhir kata, seperti contoh berikut.
31
(8) Apak nyual ikan di pasar
[apaɁ ɲuwal likan di pasar]
‗paman menjual ikan di pasar‘
Sama halnya dengan contoh pertama, kalimat di atas merupakan kalimat
deklaratif atas pertanyaan ape kerjaan apak kau tu? ‗apa pekerjaan pamanmu itu?‘.
Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [l] pada kata ‗nyual‘ yang
dipanjangkan ketika bunyi yang mengikutinya adalah bunyi vokal (bunyi vokal [i]
pada ikan]. Selain, panjang bunyi konsonan ditemukan pada bunyi konsonan nasal
[n, m, ŋ] pada akhir kata apabila bunyi setelahnya diawali dengan bunyi vokal.
Contoh:
(9) Nak dare tu kawan akak
[naɁ darə tu kawan nakaɁ]
‗gadis itu kawan kakak (perempuan)‘
Kalimat di atas merupakan kalimat deklaratif atas pertanyaan sape nak dare
tu? ‗siapa gadis itu?‘. Pada tuturan tersebut terjadi panjang pada bunyi konsonan [n]
pada kata ‗kawan‘ yang dipanjangkan ketika bunyi yang mengikutinya adalah bunyi
vokal (bunyi vokal [a] pada kata akak).
Senada dengan panjang pada bunyi vokal di atas, pada data bunyi konsonan
panjang juga ditemukan dinamika, jika dilihat dari sudut pandang usia penutur, yaitu
antara penutur tua dengan muda. Bunyi konsonan panjang tersebut dapat
digambarkan pada grafik berikut.
32
Grafik 4.10 Pemanjangan Konsonan pada Penutur Usia Tua
Pada grafik di atas, panjang konsonan [r] pada penutur tua bahasa Melayu
Loloan Bali berdurasi sekitar 73,70 milidetik. Durasi tersebut memperlihatkan
perbedaan dengan penutur muda, setelah diuji dengan kalimat yang sama. Perbedaan
itu secara lebih konkrit ditunjukkan pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.11 Panjang pada Bunyi Konsonan pada Penutur Usia Muda
33
Grafik di atas menunjukkan durasi panjang konsonan [r] pada penutur muda
bahasa Melayu Loloan Bali berdurasi sekitar 49,21 ms. Jika dibandingkan dengan
grafik panjang bunyi konsonan pada penutur usia tua, grafik di atas menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan, yaitu sekitar 24,49 milidetik. Dari grafik di atas
juga menunjukkan bahwa durasi panjang konsonan pada penutur usia muda lebih
pendek daripada penutur usia tua. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa analisis
bunyi panjang bila dilihat dalam dinamika base lame (bahasa Melayu Lama) dan
base karang ni (bahasa Melayu sekarang) terlihat kecenderungan bunyi panjang
tersebut menjadi lebih pendek.
4.2.2 Bunyi Prosodi Panjang sebagai Realita Dialek
Ketika berbicara tentang dialek dalam bahasa Melayu Loloan Bali, terdapat
beberapa dialek yang berkembang mengingat penuturnya tersebar di beberapa
wilayah. Dua di antaranya adalah dialek Loloan Timur dan Loloan Barat. Pada grafik
4.1 penutur berasal dari Loloan Timur. Sementara, pada tuturan yang sama dengan
penutur dari Loloan Barat, dapat dilihat pada grafik berikut.
Grafik 4.12 Panjang pada Bunyi Vokal pada Penutur Loloan Barat
Jika dibandingkan, secara sekilas dari dua grafik di atas, dapat dilihat bahwa
pada dua penutur, terdapat adanya panjang pada bunyi vokal yang sama. Namun,
jika dilihat berdasarkan durasinya, terlihat bahwa penutur dengan dialek Loloan
Timur (grafik 4.1/4.7) menuturkan bunyi vokal yang sama lebih panjang
34
dibandingkan dengan penutur dengan dialek Loloan Barat (grafik 4.6/4.7). Secara
sistematis, dapat dilihat pada perbandingan grafik durasi di bawah ini.
Grafik 4.13 Durasi Panjang Bunyi Vokal [a] antara Loloan Timur dan Barat
Pada grafik di atas, dapat dilihat bahwa pemanjangan pada penutur dengan
dialek Loloan Timur berdurasi sekitar 589, 98 milidetik. Sementara itu, pada penutur
dengan dialek Loloan Barat, panjang terjadi lebih pendek yaitu sekitar 90, 39
milidetik. Terdapat selisih yang cukup signifikan, yaitu sekitar 499, 59 milidetik.
Perbedaan ini dapat terjadi karena tuturan dituturkan oleh dua penutur dengan dua
dialek berbeda. Hal itu disebabkan walaupun keduanya sama-sama menggunakan
bahasa Melayu, tetapi kedua daerah memiliki perkembangan kehidupan sosial
masyarakat yang cukup berbeda.
Dilihat dari sejarah perkembangannya, penduduk Loloan Barat dikatakan
cenderung memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap perubahan dan perkembangan
dibandingkan dengan Loloan Timur. Dengan demikian, di daerah ini banyak terjadi
35
perkawinan campur antara penduduk asli dengan pendatang. Hal tersebut pada
akhirnya juga memengaruhi perkembangan bahasa Melayu yang digunakan dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Sementara itu, penduduk Loloan Timur
digambarkan cenderung lebih tertutup, sehingga pada perkembangannya, sebagian
besar masyarakatnya merupakan penduduk asli keturunan Melayu. Dari sana dapat
diperoleh simpulan bahwa keaslian bahasa Melayu Loloan lebih bertahan di Loloan
Timur dibandingkan dengan Loloan Barat, termasuk di dalamnya adalah alunan
ketika menuturkan tuturannya. Salah satu bentuk alunannya tercermin pada
pemanjangan pada bunyi vokal dan konsonannya. Itulah mengapa penutur dengan
dialek Loloan Timur cenderung menuturkan bunyi panjang dengan durasi yang lebih
lama daripada penutur dengan dialek Loloan Barat
4.3 Dinamika Sistem Bunyi Prosodi/Suprasegmental Nada/Intonasi
Sebuah tuturan bukanlah sekadar deretan bunyi-bunyi bahasa yang diucapkan
secara linear, melainkan sebuah kontinum (kelanjutan). Persepsi orang terhadap
bunyi segmental yang dipadu menjadi satu kontinum sangat bervariasi bergantung
pada unsur suprasegmental yang menyertai kontinum itu dan aspek sosio-pragmatis
yang menyertai interaksi. Selain persyaratan keapikan struktur leksikal (well
formed), dalam pendengaran normal sebuah tuturan dapat dipersepsi secara baik
apabila persyaratan akustis tertentu – baik segmental maupun suprasegmental dapat
dipenuhi. Dengan demikian, setiap tuturan merupakan paduan struktur leksikal
dengan faktor segmental dan suprasegmental (Sugiyono, 2003: 2).
Intonasi sebagai bagian dari aspek suprasegmental secara umum dapat
didefinisikan sebagai naik-turunnya suara (Moeliono, dkk. 1988: 72). Intonasi
tersebut mengacu pada naik turunnya nada dalam kalimat, kendati ketepatan
pengukuran skala ketinggian intonasi naik dan kerendahan intonasi turun yang
signifikan membedakan makna kalimat masih tergantung pada persepsi pendengar
(Suparwa, 2008: 509). Perubahan titinada dalam berbicara sebagai penggambaran
intonasi sering dinyatakan dengan angka (1, 2, 3) yang melambangkan intonasi.
Angka itu dapat disejajarkan dengan bulatan balok pada not musik. Dengan
demikian, angka 1 melambangkan titinada paling rendah, angka 2 melambangkan
titinada menengah, dan angka 3 melambangkan titinada tinggi. Sementara itu, angka
4 melambangkan titinada khusus yang berkaitan dengan ekspresi tertentu seperti
terkejut, kegirangan, dan marah (Suparwa, 2008: 509).
36
Berbeda dengan penelitian Suparwa (2008), kajian mengenai aspek intonasi
dalam bahasa Melayu Loloan Bali ini tidak hanya pada satuan kalimat, melainkan
dimulai dari kata, frase, dan kalimat. Pada satuan kata, analisis akan dilakukan dari
kata bersuku satu sampai empat. Sementara itu, pada tataran frase dipilah menjadi
dua kelompok yakni frase endosentris dan eksosentris. Sedangkan pada bagian
kalimat, akan difokuskan pada tiga tipe kalimat yaitu kalimat deklaratif, interogatif,
dan imperatif. Tipe kalimat interogatif akan dirinci lagi menjadi kalimat interogatif
informatif, konfirmatoris, dan ekoik. Dengan memperluas cakupan satuan bahasa
yang menjadi tempat nada penelitian ini, diharapkan dapat melengkapi hasil
deskripsi mengenai kajian fonologi segmental yang telah dilakukan terhadap bahasa
ini.
4.3.1 Kata
Ditinjau dari banyaknya suku kata, dialek bahasa Melayu Loloan mempunyai
beberapa macam bentuk kata dasar. Berikut ini akan diuraikan beberapa contoh
bahasa Melayu Loloan dimulai dari kata dasar bersuku satu, dua, tiga, dan empat
yang selanjutnya akan diberikan analisis nadanya.
4.3.1.1 Kata dasar bersuku satu
Kata dasar bersuku satu yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali
tidak begitu produktif. Di bawah ini disajikan spektogram kata dasar bersuku satu
untuk mengamati aspek intonasinya secara lebih konkret.
Grafik 4.14 Intonasi pada kata dasar bersuku Satu
37
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku satu wak [waʔ]
‗ayah‘ dalam satu kelompok intonasi. Gambaran pola intonasi pada kata dasar
bersuku satu di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
1 2 1 #
wak
‗ayah‘
4.3.1.2 Kata dasar bersuku dua
Berbeda halnya dengan kata dasar bersuku satu yang jumlahnya terbatas,
kosakata bersuku dua yang ditemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali cenderung
melimpah. Berikut ini disajikan spektogram kata dasar bersuku dua ade [adǝ] ‗ada‘
untuk melihat penggambaran aspek intonasi kata itu secara lebih konkret.
Grafik 4.15 Intonasi pada Kata Dasar Bersuku Dua
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku dua ade [adǝ] ‗ada‘
dalam dua kelompok intonasi, yaitu a dan dǝ. Dengan demikian, gambaran pola
intonasi kalimat berita di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 – 1 #
ade
‗ada‘
38
4.3.1.3 Kata dasar bersuku tiga
Kata dasar bersuku tiga yang dittemukan dalam bahasa Melayu Loloan Bali
juga cukup produktif. Berikut ini disajikan spektogram kata dasar bersuku tiga
untuk melihat penggambaran aspek intonasi kata tersebut secara lebih konkret.
Grafik 4.16 Intonasi pada Kata Dasar Bersuku Tiga
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku dua kepale
[kǝpalǝ:] ‗kepala‘. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di atas
dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 1 3
kepale [kǝpalǝ]
‗kepala‘
4.3.1.4 Kata dasar bersuku empat
Kata dasar bersuku empat yang ditemuakan dalam bahasa Melayu Loloan
Bali juga tidak terlalu banyak. Berikut ini disajikan spektogram kata dasar bersuku
empat untuk melihat penggambaran aspek intonasi kata tersebut secara lebih
konkret.
39
Grafik 4.17 Intonasi pada Kata Dasar Bersuku Empat
Gambar di atas menunjukkan intonasi kata dasar bersuku empat selorogan
[sǝlɔrɔgan] ‗laci‘. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di atas
dapat dirumuskan sebagai berikut.
1 - 2 3
selorogan [sǝlɔrɔgan]
‗laci‘
4.3.2 Frase
Frase lazimnya diartikan kelompok kata yang tidak melebihi fungsi subjek
dan predikat. Sementara itu, Kridalaksana mendefiniskan frase sebagai kelompok
kata atau gabungan kata yang tidak predikatif (2008: 66). Nada dalam penelitian ini
akan ditinjau dari dua jenisnya yakni frase endosentrik dan frase eksosentrik. Di
bawah ini akan diuraikan beberapa contoh frase dalam bahasa Melayu yang
kemudian dilanjutkan dengan analisis nadanya.
4.3.2.1 Frase Eksosentris
Frase eksosentris merupakan frase yang keseluruhannya tidak mempunyai
perilaku sintaktis yang sama dengan salah satu konstituennya. Frase ini mempunyai
dua bagian, yang pertama disebut perangkai berupa preposisi (dalam bahasa
Indonesia antara lain partikel si atau yang), yang ke dua disebut sumbu berupa kata
atau kelompok kata (Kridalaksana, 2008: 66). Di bawah ini akan disajikan
spektogram frase eksosentris dalam bahasa Melayu Loloan Bali sehingga nada yang
terdapat dalam frase tersebut dapat digambarkan secara visual.
40
Grafik 4.18 Intonasi pada Frasa Eksosentris
Gambaran pola intonasi kalimat berita di atas dapat dirumuskan sebagai
berikut.
1 2 3
di kebon [di kɔbɔn]
‗di kebun‘
4.3.2.2 Frase Endosentris
Frase yang keseluruhannya mempunyai perilaku sintaktis yang sama dengan
salah satu konstituennya (Kridalaksana, 2008: 66). Hasil spektogram terhadap frase
endosentris bahasa Melayu Loloan tersebut akan disajikan di bawah ini.
Grafik 4.19 Intonasi pada Frasa Endosentris
41
Gambar di atas menunjukkan intonasi pada frase endsosentrik pokok jepun
[pokɔʔ jǝpun] ‗pohon. Dengan demikian, gambaran pola intonasi kalimat berita di
atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 - 1 3
pokok jepun [pokɔʔ jǝpʊn]
‗pohon jepun‘
4. 3.3 Kalimat
Tinjauan nada dalam satuan kalimat pada penelitian ini akan dititikberatkan
pada tiga tipe kalimat yakni (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat interogatif, dan (3)
kalimat imperatif. Secara lebih rinci akan dijelaskan di bawah ini.
4.3.3.1 Kalimat Deklaratif
Kalimat deklaratif atau disebut juga kalimat berita biasanya digunakan untuk
membuat pernyataan sehingga isinya merupakan berita bagi pendengar/pembaca
(Alwi, 1993: 398). Dalam penelitian ini digunakan kalimat deklaratif yang terdiri
dari satu kata yaitu kata tidur [tedʊr] ‗tidur‘. Kata itu merupakan jawaban dari
pertanyaan Akila lagi dimane? [akila lagi dimanǝ] ‗Akila lagi dimana?‘, yang
kemudian mendapatkan jawaban tidur [tedʊr] ‗tidur‘. Di bawah ini disajikan intonasi
pada kalimat deklaratif tersebut.
Grafik 4.20 Intonasi pada Kalimat Deklaratif
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat tidur [tedʊr] ‗tidur‘ dimulai
dengan frekuensi sekitar 280 Hz pada suku te, yang kemudian mengalami penurunan
sekitar 230 Hz. Selanjutnya, suku kata kan terbentuk dari alunan titinada yang
42
semula naik sampai sekitar 300 Hz, yang disusul dengan penurunan sampai pada 270
Hz. Dengan demikian pola intonasi kalimat deklaratif tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut.
2 1 2 1
tidur [tedʊr]
‗tidur‘
4.3.3.2 Kalimat Interogatif
Kalimat interogatif yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
tipe yaitu kalimat interogatif informatif dan kalimat interogatif ekoik. Kalimat
interogatif informatif ditandai dengan kata tanya yang berposisi di awal klausa.
Sementara itu, kalimat interogatif ekoik adalah kalimat interogatif yang tidak
menggunakan pemarkah leksikal berupa kata tanya. Berikut ini akan disajikan data
intonasi yang terkandung dalam kedua tipe kalimat interogatif tersebut dengan
contoh masing-masing (1) siape yang berangkat sekarang? ‘siapa yang berangkat
sekarang‘ dan (2) di dapur Bu? ‗di dapur ibu?‘
Grafik 4.21 Intonasi pada Kalimat Interogatif W/H
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat siape yang berangkat
sekarang? ‘siapa yang berangkat sekarang‘ dimulai dengan frekuensi sekitar 180 Hz
pada suku si, yang kemudian mengalami penaikan sekitar 390 Hz pada suku kata
yang. Serta berangsur-angsur mengalami penurunan tajam hingga mencapai sekitar
170 Hz pada suku kata ang.
43
Dengan demikian pola intonasi kalimat interogatif tersebut dapat dirumuskan
sebagai berikut.
2 2 3 2- 2- 2 2- 2- 1
siape yang berangkat sekarang?
‘siapa yang berangkat sekarang‘
Di samping menggunakan data kalimat interogatif informatif, penelitian ini
juga menggunakan kalimat interogatif ekoik. Berikut ini disajikan data kalimat
interogatif ekoik tersebut dalam bentuk spektogram.
Grafik 4.22 Intonasi pada Kalimat Interogatif Ekoik
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat di dapur? ‘di dapur‘ dimulai
dengan śfrekuensi sekitar 210 Hz pada suku di, yang kemudian mengalami penaikan
sekitar 280 Hz pada suku kata da. Serta mengalami penaikan secara tajam hingga
mencapai sekitar 380 Hz pada suku kata ur. Dengan demikian, pola intonasi kalimat
interogatif ekoik itu dapat dirumuskan seperti di bawah ini.
1 2 3
di dapur?
‗di dapur?‘
Data dan rumusan kalimat interogatif ekoik di atas menunjukkan perbedaan
dengan kalimat kalimat interogatif informatif pada contoh analisis sebelumnya. Pada
kalimat interogatif konfirmatoris, nada pada akhir kalimat cenderung mengalami
44
penurunan. Sementara itu, analisis data pada kalimat interogatif ekoik menunjukkan
penaikan.
4.3.3.3 Kalimat Imperatif
Kalimat imperatif adalah kalimat yang mengandung intonasi imperatif dan
pada umumnya mengandung makna perintah atau larangan. Dalam kaitannya dengan
ragam bahasa tulis, kalimat imperatif ditandai oleh tanda (.) atau (!) (Kridalaksana,
2008: 104). Penelitian intonasi yang terdapat dalam kalimat ini digunakan dua tipe
kalimat yakni kalimat imperatif yang terdiri dari satu kata sesuai dengan contoh di
atas, dan kalimat deklaratif yang terdiri atas kalimat tunggal sebagai penguat
generalisasi.
Grafik 4.23 Intonasi pada Kalimat Imperatif
Gambar di atas menunjukkan intonasi kalimat dengeri kate orang tue tu
‗dengarkan kata orang tua itu‘ dimulai dengan frekuensi sekitar 170 Hz pada suku
de, yang kemudian mengalami penaikan sekitar 210 Hz pada silabel ri. Selanjutnya,
mengalami penurunan yang cukup tajam pada silabel tu sekitar 90 Hz. Dengan
demikian, pola intonasi pada kalimat di atas dapat dirumuskan sebagai berikut.
2 2 3 2 - 2 2 2 1
dengeri kate orang tue tu [dǝŋǝri katǝ oraŋ tue tu]
‗Dengarkan kata orang tua itu‘
45
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.2 Simpulan
Dalam bahasa Melayu Loloan Bali ditemukan dinamika dalam aspek
prosodinya. Dinamika tersebut di antaranya, pada tataran tekanan, panjang, dan
nada/intonasi. Pada dinamika sistem bunyi tekanan, kaidah penempatan tekanan
yang ditemukan adalah pada vokal dalam kata dasar satu silabel, pada vokal silabel
kedua dalam kata dasar dua silabel, pada vokal silabel penultimat dalam kata dasar
tiga silabel, dan pada vokal silabel penultimat dalam kata dasar empat silabel. Tidak
tertutup kemungkinan adanya penempatan tekanan tipe lain sebagai akibat adanya
pemfokusan silabel tertentu oleh pembicara. Sementara itu, pada dinamika sistem
bunyi panjang dapat dilihat berdasarkan dua faktor, faktor dialek antara Loloan
Timur dan Barat, serta faktor usia penutur, yaitu antara penutur tua dengan muda.
Berdasarkan dialeknya, tuturan dari penutur dialek Loloan Timur cenderung
memiliki durasi yang lebih panjang daripada penutur dengan dialek Loloan Barat.
Begitu juga dengan penutur tua, vokal dan konsonan yang dituturkan cenderung
lebih panjang daripada penutur muda seperti yang dibuktikan grafik di atas. Salah
satu faktor yang menyebabkan kecenderungan adanya dinamika pemanjangan dalam
bahasa Melayu Loloan, dikarenakan adanya keinginan pragmatis penutur muda
untuk lebih mengefisienkan ujarannya dalam suatu tuturan.
Apabila dihubungkan fenomena dinamika bunyi segmental dengan
suprasegmental (prosodi), ditemukan hal yang saling mendukung. Dalam hal ini,
perubahan bunyi segmental dari struktur batin ke struktur lahir didukung oleh
perubahan bunyi prosodi dari penutur golongan tua ke penutur golongan muda serta
dari penutur dialek Loloan Timur ke penutur dialek Loloan Barat. Hal itu
menggambarkan dinamika perubahan base lame ‘bahasa lama‘ ke base karang ni
‘bahasa sekarang‘, yaitu struktur batin (bentuk asal), bahasa penutur golongan tua,
dan dialek Loloan Timur sebagai base lame ‘bahasa lama‘ serta struktur lahir
(bentuk turunan), bahasa penutur golongan muda, dan bahasa Melayu dialek Loloan
Barat sebagai base karang ni ‘bahasa sekarang‘.
Yang terakhir adalah pada sistem bunyi nada/intonasi, Pengelompokan
intonasi memfokuskan analisis pada pengelompokan segmen menurut kesamaan
intonasinya. Kelompok intonasi dibatasi oleh penanda fonetik seperti kesenyapan,
46
kepanjangan silabel akhir, dan peninggian/penurunan bunyi. Sementara itu,
penempatan inti (nukleus) ditandai oleh aksen silabel yang biasanya dipakai untuk
penanda fokus (penanda informasi baru). Akhirnya, penyeleksian ton inti berkaitan
dengan penaikan dan penurunan nada yang merupakan faktor penentu melodi. Dari
data didapat bahwa pada kalimat deklaratif, interogatif W/H, dan dan imperatif
cenderung turun. Kemudian, pada kalimat interogatif ekoik cenderung naik.
5.2 Saran
Aspek prosodi bahasa Melayu Loloan merupakan hal menarik untuk diteliti.
Hal lainnya yang masih memerlukan tinjauan secara lebih mendalam adalah faktor
penyebab terjadinya dinamika bahasa Melayu tersebut. Apakah terjadinya dinamika
itu memiliki relasi dengan intensifnya pengaruh bahasa-bahasa luar seperti bahasa
Indonesia dan bahasa Bali, atau karena faktor lainnya.
47
DAFTAR PUSTAKA
Gussmann, Edmund. 2002. Phonology: Analysis and Theory. Cambridge: University
Press.
Hawkins, Peter. 1984. Introducing Phonology. London: Hutchinson.
Kridalaksana, Harimurti. 1995. ―Pendayagunaan Potensi Intern dan Ekstern dalam
Pengembangan Bahasa Indonesia dan Peningkatan Budaya Bangsa‖;
makalah dalam Seminar Nasional Sejarah Bahasa Indonesia dalam
Perjalanan Bangsa, 27—28 Juli 1995. Denpasar: FS Unud dan Program
Magister (S2) Linguistik Unud.
Laksmi, Anak Agung Rai. 1984. ―Kata-kata Pungutan Bahasa Bali dalam Dialek
Melayu Bali di Kecamatan Negara‖ (skripsi). Denpasar: Fakultas sastra
Unud.
Lapoliwa, H. 1977. Pengantar Fonologis I: Fonetik. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lapoliwa, H. 1981. ―A Generative Approach to the Phonology of Bahasa Indonesia‖,
in Pasific Linguistics Series D- No.34. Canberra: Departement of Linguistics
Research School of Pasific Studies, The Australian National University.
Lass, Roger. 1984. Phonology: An Introduction to Basic Concepts. Cambridge:
Cambridge University Press.
Ledefoged, P. 1982. A Course in Phonetics. Second Edition. San Diego, New York,
Chicago, Washington D.C. Atlanta, London, Toronto: Harcourt Brace
Javanovich Publisher.
Roca, Iggy and Wyn Johnson. 1999. A Course in Phonology. Oxford USA:
Blackwell Publishers Inc.
Rogers, Henry. 2000. The Sounds of Language: An Introduction to Phonetics. Harlo:
Longman.
Schane, Sanford A. 1973. Generative Fonology. Englewood Cliffs New Jersey:
Prentice- Hall.
Sudaryanto. 1993. Metode Linguistik (Bagian Pertama dan Kedua). Yogyakarta:
Duta Wacana University Press.
Suparwa, I Nyoman. 2007. ―Pola Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian
Fonologi Leksikal dan Posleksikal‖. Disertasi Program Doktor Linguistik
Unud. Denpasar: PPs Unud
48
LAMPIRAN 1.LEMBAR PENGAMATAN
META DATA
Catatan Pewawancara :
Pelaksanaan Wawancara
1 Tanggal
2 Tempat/Latar
3. Waktu berlangsungnya wawancara Menit/jam
4 Jumlah orang yang hadir pada saat
wawancara (sebutkan hubungannya
dengan yang diwawancara)
5 Suasana ketika wawancara
6 Alat bantu yang digunakan selama
wawancara
7 Kendala yang dihadapi selama wawancara
8 Nama lengkap pewawancara
9 - Nama Informan
- Umur
- Pendidikan terakhir
- No. telepon
- Alamat
BUNYI PROSODI/SUPRASEGMENTAL
Meliputi
1. Tekanan
49
2. Panjang
3. Nada : -- suku kata
-- kata
-- frasa
-- kalimat/intonasi
Tekanan
(1) Kata Dasar
a. Satu suku
b. Dua suku
c. Tiga suku
d. Empat suku
e. Lima suku
f. Enam suku
g. Tujuh suku
(2) Kata Jadian
a. Kata berprefiks
b. Kata bersufiks
c. Kata berinfiks
d. Kata berprefiks + bersufiks
e. Kata berkonfiks
(3) Kata Konotatif/Kata Majemuk
(4) Kelompok kata/Frasa
Panjang
a. Vokal
b. Konsonan
Nada
1. Kata
2. Kalimat/Intonasi
50
a. Deklaratif
(1a) Saya Nyoman
(1b) Dia ibu saya
(1c) Rambut saya kriting
(1d) Asal saya dari Tabanan
(1e) Baju ibu saya hitam
(1f) Baju adik saya banyak
(2a) Ibu sedang tidur
(2b) Adik bermain di jalan
(2c) Ayah membaca koran
(2d) Ibu membelikan adik sepatu baru
(3a) Adik tidak mau makan
(3b) Paman tidak suka memancing
(4a) Bibi tidak diundang dalam pesta kemarin
(4b) Telor itu dimakan anjing
(5a) Bibi tidak datang ke pesta itu karena tidak diundang
(5b) Paman tidak makan waktu ia sakit
(5c) Ketika adik datang ke sini, ia bertemu paman
(5d) Ibu membeli baju dan tas kemarin
(5e) Adik tidak mau makan, tetapi ia mau minum
(6a) Kakak sudah berangkat ke sekolah, sedangkan adik masih tidur di
kamar
b. Imperatif
1. Perintah
Pola 1: Pergi!
Minum obat ini!
Pola 2: Pergilah!
Makanlah apel ini!
Pola 3: Silahkan pergi!
51
Silahkan minum teh ini!
Pola 4 : Tolong pergi!
Tolong ambilkan saya obat itu!
2. Larangan: Jangan pergi!
Jangan makan di sini!
Jangan ambil buku itu!
3. Ajakan: Ayo (kita) pergi!
Ayo makan buah itu sama-sama!
Mari (kita) pergi dari sini!
c. Interogatif
Instrumen Penelitian 2
‘UNSUR-UNSUR PROSODI DALAM BAHASA MELAYU LOLOAN BALI’
Frasa
Frasa Eksosentris : Frasa yang salah satu pembentuknya adalah preposisi
No. Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Loloan
1. di rumah
2. kepada mereka
3. ke pasar
4. dari sawah
5. di dapur
6. dari laut
7. di sungai
8. ke rumah sakit
9. kepada teman
10. dari pengajian
11. di kelurahan
12. ke sekolah
13. pada malam hari
14. dengan tangan kanan
15. pada pagi hari
16. ke masjid
17. dari ziarah
18. ke kuburan
19. dari ubi
20. kepada pemuda
52
21. di kasur
22. ke kota
23. pada siang hari
24. dengan cangkul
25. di kebun
26. dengan pensil
27. dari lapangan
28. sejak tadi pagi
29. di halaman
30. dengan pisau
31. dari warung
32. di tembok
33. untuk keluarga
34. dengan mesin
35. pada hari raya
36. di danau
37. pada sore hari
38. di kantor desa
39. oleh Kepala Desa
40. untuk masyarakat
41. kepada Tuhan
42. sampai maghrib
43. dari subuh
44. oleh petani
45. kepada Datuk
46. dari singkong
47. untuk makan
48. dengan sendok makan
49. di seberang jalan
50. di belakang
Frasa Endosentrik : Frasa yang mempunyai induk.
No. Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Loloan
1. kucing hitam
2. kelapa muda
3. ayah ibu
4. sangat cantik
5. guru bahasa indonesia
6. dua ekor
7. tadi pagi
8. sapu lidi
9. tiga butir
53
10. rumah baru
11. jalan raya
12. rumah besar
13. tidur nyenyak
14. bangun pagi
15. kerja keras
16. murah sekali
17. pasar baru
18. tiga masjid
19. sedang mandi
20. paling pintar
21. sangat mahal
22. makan pagi
23. makan siang
24. makan malam
25. makan malam
26. mangga asam
27. rumah panggung
28. pisang goreng
29. kopi hitam
30. teh tawar
31. tiga kilo
32. gadis cantik
33. pria tampan
34. sangat rajin
35. sawah luas
36. sangat cinta
37. panas sekali
38. sangat ribut
39. suka bohong
40. jarang libur
41. daging babi
42. lima puluh ekor
43. dagu runcing
44. sangat nakal
45. gelas kaca
46. paling kaya
47. gula batu
48. dua puluh lima hari
49. air putih
50. rambut panjang
54
Kalimat
a. Kalimat Deklaratif
No. Kalimat Bahasa Melayu Loloan
1. Saya memasak Aku masak
Saya memasak nasi Aku metanak nasi
Saya memasak nasi di dapur Ak u metanak nasi di dapur
Saya memasak nasi di dapur dengan
tungku
Aku nanak nasi di dapur makek
tungku
Saya memasak nasi di dapur dengan
tungku pada pagi hari
Aku nanak nasi di dapur makek
tungku pagi-pagi
2. Kamu mencuci Kau nyabun
Kamu mencuci baju Kau nyabun baju
Kamu mencuci baju di sungai Kau nyabun baju di sunge
Kamu mencuci baju di sungai pada hari
minggu
Kau nyabun baju di sunge hari
minggu
3. Dia membaca Diye mace
Dia membaca buku Diye mace buku
Dia membaca buku cerita Diye mace buku cerite
Dia membaca buku cerita di dalam kelas Diye mace buku cerite dalem kelas
Dia membaca buku cerita di dalam kelas
bersama temannya
Diye mace buku cerite dalem kelas
same kawannye
4. Mereka bermain Diye-diye maenan
Mereka bermain bola Diye diye maen bal
Mereka bermain bola voli Diye-diye maen bal poli
Mereka bermain bola voli di lapangan Diye-diye maen bal poli di
lapangan
Mereka bermain bola voli di lapangan
sejak tadi pagi
Diye-diye maen bal poli di
lapangan mule‘i tadi pagi
5. Kami mencuri mangga Kite maling empo
Kami mencuri mangga manis Kite maeng empo manis
Kami mencuri mangga manis di kebun Kite maleng empo manis di
kebonan
Kami mencuri mangga manis di kebun
tetangga
Kite maleng empo manis di
kebonan tetangge
Kami mencuri mangga manis di kebun
tetangga di malam hari
Kite maleng empo manis di
kebonan tetangge malem-malem
6. Kita membeli tepung Kite meli tepong
55
Kita membeli tepung dua kilo Kite meli tepong duwe kilo
Kita membeli tepung dua kilo di pasar Kite meli tepong duwe kilo di pasar
Kita membeli tepung dua kilo di pasar
untuk membuat kue
Kite meli tepong duwe kilo di pasar
pakek muat jaje
7. Ayam itu bertelor Ayam tu metelor
Ayam itu bertelor lima belas butir Ayam tu metelor lime belas biji
Ayam itu bertelor lima belas butir di
kandang
Ayam tu metelor lime belas biji di
kandang
Ayam itu bertelor lima belas butir di
kandang depan rumah
Ayam tu metelor lime belas biji di
kandang depan rumah/adepan
rumah
8. Paman menyabit Apak ngarit
Paman menyabit rumput Apak ngarit rumput
Paman menyabit rumput untuk sapinya Apak ngarit rumput pakek makanan
sampinye
Paman menyabit rumput untuk sapinya di
ladang
Apak ngarit rumput pakek
sampinye di tegalan
Paman menyabit rumput untuk sapinya di
ladang kemarin sore
Apak ngarit rumput pakek
sampinye di tegalan semalem sore
9. Kakak tidur Abang tedor
Kakak tidur di lantai Abang tedor di plesteran
Kakak tidur di lantai karena kepanasan Abang tedor di plesteran soalnye
kepanesan
Kakak tidur di lantai karena kepanasan dua
hari yang lalu
Abang tedor di plesteran soalnye
kepanesan puan
10. Ayah dan ibu pergi Wak ajak mak pegi
Ayah dan ibu pergi berkunjung ke rumah
kakek
Wak ajak mak pegi nyambangi
datuk
Ayah dan ibu pergi berkunjung ke rumah
kakek di desa
Wak ajak mak pegi nyambangi ke
rumah datuk di dese
Ayah dan ibu pergi berkunjung ke rumah
kakek di desa karena kakek sakit
Wak ajak mak pegi nyambangi ke
rumah datuk di dese soalnye datuk
sakit
Ayah dan ibu pergi berkunjung ke rumah
kakek di desa karena kakek sakit siang tadi
Wak ajak mak pegi nyambangi ke
rumah datuk solanye datuk sakit
tadi siyang
b. Kalimat Interogatif
No Bahasa Indonesia Bahasa Melayu
1. Kita akan menangkap ikan di sungai. Kite nak nangkep ikan di sunge
Kita akan menangkap ikan di sungai ? Kite nak nanngkep ikan di
sunge?
Kita akan menangkap ikan di sungai bukan ? Awak nak nangkep ikan di
sunge kan?
Apakah kita akan menangkap ikan di sungai ? Ape awak nak nangkep ikan di
56
sunge?
Kita akan menangkap ikan di sungai ya ? Awak nak nangkep ikan di
sunge ye?
Bagaimana kita akan menangkap ikan di
sungai?
Gek mane awak nak nangkep
ikan di sunge?
Kita akan menangkap ikan di sungai? tidak di
laut saja?
Awak nak nangkep ikan di
sunge? Dak di laut ‗an?
Kita akan menangkap ikan di sungai? tidaklah.
kita akan menangkap ikan di laut.
Awak nak nangkep ikan di
sunge? Dak, awak nak nangkep
ikan di laut
2. Pacar kamu itu cantikkah? Pacar kau tu elok dak?
Dia dari daerah Melaya bukan? Diye dari Melaye kan?
Panas benar hari ini ya? Ongkeb/Panes li hari ni ye?
Tadi habis hujan ya? Tadi ndur ujan ye?
Ibumu jualan kripikkah? Mak kau nyual keripik dak?
Ayahmu jualan di pasar bukan? Wak kau medagang di pasar
kan?
3. Kenapa gerangan ayahmu belum pulang ya? Nak ape se wak kau belum
pulang ye?
Kenapa bulan jam segini belum muncul ya? Nak ape bulan dina hari belum
timbul ye?
4. Dekat atau jauh rumah nenekmu itu dari kantor
kepala desa?
Deket pa jao rumah datuk kao
dari kantor perbekel?
Mengerti bahasa Melayu ini Pak? Ngerti bhase melayu ni pak?
Boleh atau tidak pada waktu liburan aku main
ke rumahmu lagi?
Bole pa dak pas waktu prai aku
maen ke rumah kau lagi?
5. Kenapa gerangan dia ini suka senyum-senyum
sendiri?
Nak ape se diye ni gemer
kenyem-kenyem sendirian?
Dia ini suka senyum-senyum sendiri. Apa
gerangan?
Diye ni gemer kenyem-kenyem
sendirian. Nak ape se?
Bagaimana ceritanya kampung kita ini bernama
Loloan?
Gek mane ceritenye kampung
awak ni namenye loloan?
c. Kalimat Imperatif
No. Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Loloan
1. Tutup pintu itu rapat-rapat! Tudungi pintu tu rapeti!
Tutupi pintu tu rapeti
Tutupkan pintu itu rapat-rapat! -
Tutuplah pintu itu rapat-rapat! -
Tolong tutup pintu itu rapat-rapat! Tutupi le pintu tu rapeti!
2. Rajinlah kamu belajar! Rajini kau belajar
Tolong rajinlah kamu belajar! Wak minta tolong rajini le kau
belajar
3. Dengar nasehat ibumu! Dengeri nasehat mak kau!
Dengarkan nasehat ibumu! Dengerken nasehat mak kau!
Dengarlah nasehat ibumu! -
57
Tolong dengar nasehat ibumu! Dengeri le nasehat mak kau!
4. Cari bajumu di lemari! Carik baju kau di lemari!
Carikan baju adikmu di lemari! Cari‘i baju adek Ku di lemari!
Carilah bajumu di lemari! -
Tolong cari bajumu di lemari! Cari‘i le baju kau di lemari
5. Jangan malas-malas kamu nak! Jangan males-males kau lok!
Janganlah malas-malas kamu nak! -
Tolong jangan malas-malas nak! Jangan le males-males kau lok!
6. Pergi! Megerak!
Pergi kamu! Megerak kau!
Pergilah kamu merantau! Megerak kau meranto sane!
Meranto dah kau sane!
Tolong pergi kamu merantau! -
d. Kalimat Eksklamatif
No. Bahasa Indonesia Bahasa Melayu Loloan
1. Aduh cantiknya gadis itu! Aduh dengele orang tu!
2. Aduh sudah cantik pintar pula! Aduh sudah dengel penter lagi!
3. Aduh kerjanya rapi sekali! Aduh kerjaannye rapi le!
4. Aduh hebat sekali guru itu
mengajar!
Aduh aeng le guru tu ngajar!
5. Wah murah sekali harga berasnya di
pasar baru itu!
Pih murah le harga beras di pasar baru
tu!
6. Wah baju itu bagus! Pih baju tu elok le!
7. Wah di rumahnya ada banyak
anjing!
Pih di rumahnye banyak le anjeng!
8. Wah ternyata hari sudah malam! Pih dak taunye sudah malem!
9. Wah bersih sekali masjidnya! Pih bersih le masjidnye tu!
10. Aduh berisik sekali keluarga itu! Adoh uyut le keluarge tu!
HAL-HAL LAIN YANG PERLU DIAMATI
1. Dinamika perubahan prosodi dalam perkembangan bahasa Melayu Loloan
Bali
- lebih lambat atau lebih cepat? (dulu dan sekarang)
- lebih keras atau lebih lembut? (dulu dan sekarang)
58
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR INFORMAN PENELITIAN
PROSODI BAHASA MELAYU LOLOAN BALI
1. Nama : Nur Asyia
Umur : 41 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : Tamatan SMP
Alamat : Lingkungan Terusan Loloan Barat
2. Nama : Edi Alfan
Umur : 48 Tahun
Pekerjaan : Pramuwisata
Pendidikan : Tamatan SMP
Alamat : Lingkungan Terusan Loloan Barat
3. Remaja Loloan Timur
Nama : Muztahidin
Umur : 29 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa/Buka usaha
Alamat : Jalan Gunung Merapi No 2 Loloan Timur
Nama : Rahil Iftar
Umur : 24 Tahun
Pekerjaan : Buka usaha
Nama : Najehan
Umur : 28 Tahun
Pekerjaan : Penyiar Radio
Nama : Fawaid
Umur : 24 Tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
4. Nama : H. Musaddad
Umur : 55 Tahun
Pekerjaan : Tani Tambak
Pendidikan : SMA
Alamat : Jalan Gunung Kerinci No.17
5. Nama : Nasihurahman
Umur : 43 Tahun
Pekerjaan : Ketua Lingkungan Loloan Timur
Alamat : Jalan Tangkuban Perahu
59
6. Nama : Maknunah
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Buka toko
Alamat : Jalan Gunung Tangkuban Perahu No. 9
7. Nama : Fadliyan
Umur : 39 Tahun
Pekerjaan : Penjaga Masjid
Alamat : Loloan Timur
Pendidikan : Pesantren
8. Nama : Nur Hana
Umur : 32 Tahun
Pekerjaan : Penginapan Melayu Asri
Pendidikan : MAN
9. Nama : Mohamad Said
Umur : 46 Tahun
Pekerjaan : Servis elektronik
Alamat : Masjid Mujahidin daerah terusan Loloan Barat
Pendidikan : SMA
10. Nama : Syaripah Sidah A-Qadri
Umur : 65 Tahun
Pekerjaan : Penjual Jajanan Tradisional
Pendidikan : SD
Alamat : Jalan Durian No. 69 Loloan Barat
11. Nama : S. Zahra Al Qadry
Umur : 38 Tahun
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : S1 Tarbiyah
12. Nama : S. Nur Hamisah Al Qadry
Umur : 39 Tahun
Pekerjaan : Guru
Pendidikan : MAN
60
LAMPIRAN FOTO PENELITIAN
Foto 1. Pengurusan Ijin di Kesbanglit
Foto 2. Pengurusan Ijin di Kelurahan Loloan Timu
Foto 3. Interaksi warga di kelurahan Loloan Timur
61
Foto 4. Interaksi warga di lingkungan sekitar
Foto 5. Interaksi antar warga Melayu Loloan Bali
Foto 6. Bersama para informan kunci H. Musaddad
dan kelompok Remaja Loloan Timur
62
Foto 7. Bersama informan kunci lurah Loloan Barat, dan warga Loloan Barat
Foto 8. Informan menjelaskan tentang nama-nama benda dalam bahasa Melayu
Loloan Bali
Foto 9 . Tim Peneliti Bahasa Melayu Loloan
63
64
65
ARTIKEL JURNAL NASIONAL TERAKREDITASI (LITERA)
66
67
68
MAKALAH SEMINAR NASIONAL BAHASA IBU
69
70
PEMAKALAH DALAM SEMINAR SENASTEK
DAFTAR PEMAKALAH SENASTEK
KATEGORI PEMAKALAH ORAL
71