Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam)Pengertian Hukum Islam
(Syari'at Islam) - Hukum syara menurut ulama ushul ialah doktrin
(kitab) syari yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa
ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah
efek yang dikehendaki oleh kitab syari dalam perbuatan seperti
wajib, haram dan mubah . Syariat menurut bahasa berarti jalan.
Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh
Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan amaliyah. Hukum Islam Menurut Prof. Mahmud
Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah
supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan
dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya
sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan
hubungannya dengan kehidupan. Menurut Muhammad Ali At-Tahanawi
dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian
syariah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah,
ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syariah disebut juga
syara, millah dan diin. b. Hukum Islam berarti keseluruhan
ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati)
oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi: 1.
Ilmu Aqoid (keimanan) 2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap
ketentuan-ketentuan Allah) 3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan) Berdasarkan
uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah
syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk
umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukumhukum yang berhubungan
dengan amaliyah (perbuatan).
Hukum Islam Hukum adalah peraturan yang dibuat berdasarkan
kesepakatan. Bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang madani,
aman, nyaman, dan terkendali. Hukum dibuat sebagai pembatasan atas
tingkah laku manusia yang tidak bertanggung jawab sehingga perlu
media untuk melindungi orang lain dari orang yang tidak bertanggung
jawab tersebut.
Hukum Islam
Hukum bisa berdasarkan atas kesepakatan adat, ketetapan daerah,
ataupun ketetapan agama. Salah satu hukum yang berafiliasi kepada
agama adalah hukum Islam. Pengertian hukum Islam adalah hukum yang
bersumber kepada nilai-nilai keislaman, yang dibentuk dari sumber
dalil-dalil agama Islam. Hukum itu bisa berarti ketetapan,
kesepakatan, anjuran, larangan, dan sebagainya. Hukum Islam hanya
ditunjukkan kepada orang-orang yang beragama Islam dan tidak
ditunjukkan kepada orang yang non-Islam. Jika ada orang Islam yang
melanggar hukum Islam, orang itu harus diadili sesuai dengan
ketentuan dalil-dalil agama Islam. Ada beberapa sumber yang menjadi
landasan dalam membuat ketetapan hukum Islam. Sumber-sember
tersebut adalah sebagai berikut. 1. Al Quran Al quran adalah kitab
suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir,
yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat
banyak sekali kandungan. Kandungankandungan tersebut berisi
perintah, larangan, anjuran, ketentuan dan sebagainya. Al quran
menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani
kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Maka dari itu,
ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan utama untuk
menetapkan suatu hukum. 2. Hadis Hadis adalah segala sesuatu yang
berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku,
persetujuan, dan sifat beliau. Hadis menjadi landasan sumber yang
paling kuat setelah Al quran. Nabi Muhammad menjadi sosok yang
paling sentral bagi umat Islam karena umat Islam meyakini bahwa
segala perbuatan Rasulullah tidak sedikit pun yang bertentangan
dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan. 3. Ijma' Ulama
Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan
berdasarkan dalil-dalil Al quran atau hadis. Para ulama mengambil
ijma' karena dalam Al quran ataupun hadis tidak dijelaskan secara
teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa itu atau kini.
Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat
kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi
ketetapan hukum. Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan
al-Qur'an ataupun hadist. 4. Qiyas Qiyas berarti menjelaskan
sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis
dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang
hendak diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran
dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram
hukumnya. Al quran tidak menjelaskan bahwa arak haram, sedangkan
arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita akan
mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah
sumber-sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum
Islam.
Pengertian Hukum Islam (Syara') - Wajib, Sunnah, Makruh, Mubah,
Haram Wed, 16/09/2009 - 12:22am godam64
Di dalam ajaran agama islam terdapat hukum atau aturan
perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh setiap umat karena
berasal dari Al-Qur'an dan Hadist. Hukum islam yang disebut juga
sebagai hukum syara' terdiri atas lima komponen yaitu antara lain
wajib, sunah, haram, makruh dan mubah : Penjelasan dan
Pengertian/Arti Definisi Hukum-Hukum Islam : 1. Wajib (Fardlu)
Wajib adalah suatu perkara yang harus dilakukan oleh pemeluk agama
islam yang telah dewasa dan waras (mukallaf), di mana jika
dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan akan mendapat
dosa. Contoh : solat lima waktu, pergi haji (jika telah mampu),
membayar zakat, dan lain-lain. Wajib terdiri atas dua jenis/macam :
- Wajib 'ain adalah suatu hal yang harus dilakukan oleh semua orang
muslim mukalaf seperti sholah fardu, puasa ramadan, zakat, haji
bila telah mampu dan lain-lain. - Wajib Kifayah adalah perkara yang
harus dilakukan oleh muslim mukallaff namun jika sudah ada yang
malakukannya maka menjadi tidak wajib lagi bagi yang lain seperti
mengurus jenazah. 2. Sunnah/Sunnat Sunnat adalah suatu perkara yang
bila dilakukan umat islam akan mendapat pahala dan jika tidak
dilaksanakan tidak berdosa. Contoh : sholat sunnat, puasa senin
kamis, solat tahajud, memelihara jenggot, dan lain sebagainya.
Sunah terbagi atas dua jenis/macam: - Sunah Mu'akkad adalah sunnat
yang sangat dianjurkan Nabi Muhammad SAW seperti shalat ied dan
shalat tarawih. - Sunat Ghairu Mu'akad yaitu adalah sunnah yang
jarang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW seperti puasa senin kamis,
dan lain-lain. 3. Haram Haram adalah suatu perkara yang mana tidak
boleh sama sekali dilakukan oleh umat muslim di mana pun mereka
berada karena jika dilakukan akan mendapat dosa dan siksa di neraka
kelak. Contohnya : main judi, minum minuman keras, zina, durhaka
pada orang tua, riba, membunuh, fitnah, dan lain-lain.
4. Makruh Makruh adalah suatu perkara yang dianjurkan untuk
tidak dilakukan akan tetapi jika dilakukan tidak berdosa dan jika
ditinggalkan akan mendapat pahala dari Allah SWT. Contoh : posisi
makan minum berdiri, merokok (mungkin haram). 5. Mubah Mubah adalah
suatu perkara yang jika dikerjakan seorang muslim mukallaf tidak
akan mendapat dosa dan tidak mendapat pahala. Contoh : makan dan
minum, belanja, bercanda, melamun, dan lain sebagainya. Ekonomi
Islam : Kaidah Dasar Memahami Fikih Ekonomi Islam oleh : Ust.
Khalid Syamhudi, Lc Urgensi Mengenal Fikih Muamalah Maliyah
[Ekonomi Islam] Muamalah maliyah adalah medan hidup yang sudah
tersentuh oleh tangan-tangan manusia sejak zaman klasik, bahkan
zaman purbakala. Setiap orang membutuhkan harta yang ada di tangan
orang lain. Hal ini membuat manusia berusaha membuat beragam cara
pertukaran, bermula dengan kebiasaan melakukan tukar menukar barang
yang disebut barter, berkembang menjadi sebuah sistem jual-beli
yang kompleks dan multidimensional. Perkembangan itu terjadi karena
semua pihak yang terlibat berasal dari latar belakang yang berbeda,
dengan karakter dan pola pemikiran yang bermacam-macam, dengan
tingkat pendidikan dan pemahaman yang tidak sama. Baik itu pihak
pembeli atau penyewa, penjual atau pemberi sewa, yang berutang dan
berpiutang, pemberi hadiah atau yang diberi, saksi, sekretaris atau
juru tulis, hingga calo atau broker. Semuanya menjadi majemuk dari
berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang sosial dan
pendidikan yang variatif. Selain itu, transaksi muamalah maliyah
juga semakin berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Sarana atau
media dan fasilitator dalam melakukan transaksi juga kian hari kian
canggih. Sementara komoditi yang diikat dalam satu transaksi juga
semakin bercorak-ragam, mengikuti kebutuhan umat manusia yang
semakin konsumtif dan semakin terikat tuntutan zaman yang juga kian
berkembang.
Oleh sebab itu, urgensi muamalah maliyah yang sangat erat dengan
perekonomian Islam ini akan tampak bila kita melihat salah satu
bagiannya, yaitu dunia bisnis perniagaan dan khususnya level
menengah ke atas. Seorang yang memasuki dunia perbisnisan ini
membutuhkan kepekaan yang tinggi, feeling yang kuat dan
keterampilan yang matang serta pengetahuan yang komplit terhadap
berbagai epistimologi terkait, seperti ilmu manajemen, akuntansi,
perdagangan, bahkan perbankan dan sejenisnya. Atau berbagai ilmu
yang secara tidak langsung juga dibutuhkan dalam dunia perniagaan
modern, seperti komunikasi, informatika, operasi komputer, dan
lain-lain. Itu dalam standar kebutuhan businessman (orang yang
berwirausaha) secara umum.
Bagi seorang muslim, dibutuhkan syarat dan prasyarat yang lebih
banyak untuk menjadi wirausahawan dan pengelola modal yang
berhasil, karena seorang muslim selalu terikat-selain dengan kode
etik ilmu perdagangan secara umumdengan aturan dan syariat Islam
dengan hukum-hukumnya yang komprehensif. Oleh sebab itu, tidak
selayaknya seorang muslim memasuki dunia bisnis dengan pengetahuan
kosong terhadap ajaran syariat, dalam soal jual-beli misalnya. Yang
demikian itu merupakan sasaran empuk ambisi setan pada diri manusia
untuk menjerumuskan seorang muslim dalam kehinaan. Demikian
pentingnya permasalahan ini, sehingga kita semua harus bersabar dan
meluangkan waktu mempelajari dasar-dasar muamalah maliyah dan
berbagai jenisnya. Mudah-mudahan dengan izin dan taufik dari Allah
Azza wa Jalla kita dapat mengenal dan mengetahui hukum-hukum yang
ada seputar aktivitas muamalah maliyah tersebut melalui kaidah
dasar yang telah ditetapkan para ulama. Definisi Muamalah Kata
muamalah dalam etimologi bahasa Arab diambil dari kata ( ) yang
merupakan kata umum untuk semua perbuatan yang dikehendaki
mukallaf. Kata muamalah dengan wazan ( )dari kata ( ) yang bermakna
bergaul (.) Adapun dalam terminologi ahli fikih dan ulama syariat,
kata muamalah digunakan untuk sesuatu di luar ibadah, sehingga
muamalah membahas hak-hak makhluk dan ibadah membahas hakhak Allah.
Namun, mereka berselisih dalam apa saja yang masuk dalam kategori
muamalah tersebut dalam dua pendapat: 1. Muamalah adalah pertukaran
harta dan yang berhubungan dengannya, seperti al-bai (jualbeli),
as-salam, al-ijaarah (sewa-menyewa), syarikat (perkongsian),
ar-rahn (gadai), al-kafaalah, alwakalah (perwakilan), dan
sejenisnya. Inilah Mazhab Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah. 2.
Muamalah mencakup semua hal yang berhubungan kepada maslahat
manusia dengan selainnya, seperti perpindahan hak pemilikan dengan
pembayaran atau tidak (gratis) dan dengan transaksi pembebasan
budak, kemanfaatan, dan hubungan pasutri. Dengan demikian, muamalah
mencakup fikih pernikahan, peradilan, amanah, dan warisan. Inilah
mazhab al-Hanafiyah dan pendapat asy-Syathibi dari mazhab
al-Malikiyah. Oleh karena itu sebagian ahli fikih membagi fikih
menjadi empat kategori: a. Fikih Ibadah b. Fikih Muamalah c. Fikih
Ankihat (nikah) d. Hukum-hukum kriminal dan peradilan.
Yang menjadi topik pembahasan kita adalah fikih muamalah tentang
pertukaran harta benda. Pengertian Harta (Maal) Setelah jelas bahwa
pembahasan kita hanya membahas muamalah maliyah (harta), maka perlu
kita perlu mengetahui pengertian al-maal dalam syariat Islam. Yang
dimaksud dengan harta (al-maal) dalam pengertian syariat
adalah:
Semua benda yang diperbolehkan kemanfaatannya bukan karena
hajat.
Termasuk dalam definisi ini: emas, perak, gandum, kurma, garam,
mobil, bejana, rumah, dan lainlainnya. Yang dimaksud dengan kata (
)adalah benda tersebut memiliki manfaat, sehingga benda yang tidak
memiliki manfaat tidak termasuk dalam definisi ini. Benda yang
diharamkan pemanfaatannya, seperti alat-alat musik, juga tidak
termasuk dalam definisi ini. Adapun maksud pernyataan ( ) adalah
kebolehannya bukan disebabkan kebutuhan dan darurat, sehingga
mengeluarkan semua yang dibolehkan karena kebutuhan dan darurat,
seperti bangkai yang diperbolehkan karena darurat atau kulit
bangkai yang diperbolehkan pemanfaatannya karena kebutuhan.
Demikian juga, anjing pemburu diperbolehkan karena hajat
(kebutuhan) . Para ulama pun memakai kata harta benda ( ) untuk
tiga hal, yaitu: 1. Barang dagangan ( ,) seperti mobil, rumah,
bahan makanan, pakaian, dan selainnya.
2. Jasa pemanfaatan ( ,) seperti pemanfaatan menempati rumah,
pemanfaatan jual-beli di satu toko, dan lain-lainnya. 3. Benda (
kertas. ) yang dimaksudkan adalah emas dan perak dan yang
menggantikan keduanya dari uang
Walaupun sebagiannya memandang ini termasuk dalam barang
dagangan. Sebagian ulama memasukkan mata uang termasuk dalam
al-arudh. Ruang Lingkup Pembahasan Yang diinginkan dalam pembahasan
kita di sini adalah muamalah maliyah yang mencakup dua hal, yaitu:
1. Ahkam al-muawadhah ( ,) yaitu muamalah yang digunakan untuk
maksud adanya imbalan berupa keuntungan, usaha dan perdagangan,
serta lainnya. Di dalamnya tercakup: jual-beli ( ,)sewa menyewa (
,) hak pilih ( ,) syarikat ( ,) dan transaksi yang berhubungan
dengannya.
2. Ahkam at-tabaruat ( ,)yaitu muamalah yang bertujuan untuk
berbuat baik dan memudahkan orang lain, seperti hadiah ( ,)
pemberian ( ,) Wakaf ( ,) pembebasan budak ( ) dan Wasiyat ( )
serta yang lainnya. Dengan demikian, ruang lingkup pembahasan ini
meliputi permasalahan: jual-beli ( ,)sewa menyewa ( ,) hak pilih (
,) syarikat ( ,) utang piutang ( ,) gadai ( ,) jaminan ( ,)
al-hawalah ( ,) perjanjian damai ( ,) masalah kebangkrutan ( ,)
perlombaan ( ,) ariyah ( ,) al-ghashb ( ,) asy-syufah ( ,)
al-jualah ( ,) laqathah ( ,) al-luqaith ( ,) wakaf ( ,)
pemberian/hadiah ( ,) pemberian ketika sakit menjelang kematian (
,) wakaf ( ,) dan wasiat ( .) Namun, sebelum membahas permasalahan
muamalah maliyah ini, pengenalan kaidah-kaidah dasar muamalah
maliyah sangat perlu dilakukan agar permasalahannya lebih jelas dan
mudah. Kaidah-kaidah Dasar dalam Muamalah Maliyah Syekh Shalih bin
Abdil Aziz Alu Syekh (Menteri Urusan Wakaf, Dakwah, dan Bimbingan
Islam Negara Arab Saudi) pernah memberikan petunjuk bahwa seseorang
yang ingin meneliti dan membahas permasalahan-permasalahan kiwari
dan perkara nawazil, di antaranya fikih Muamalah Maliyah, harus
memahami hal-hal berikut ini: 1. Memahami pendapat para ulama yang
mereka sampaikan dalam kitab-kitab fikih dengan tepat hingga dapat
membedakan gambaran permasalahan dengan benar. 2. Mengetahui
nash-nash yang menyampaikan masalah tersebut. Baik dalam qimar,
maisir, gharar, riba, dan yang lainnya dari kejadian dan masalah
yang beraneka ragam. 3. Mengetahui bahasa Arab yang menjadi dasar
istilah syari dalam mengungkapkan masalah-masalah tersebut. 4.
Mengetahui istilahyang oleh ahli fikih disebut denganal jami wat
tafriq, yaitu kaidah yang menyatukan banyak permasalahan dan
perbedaan-perbadaan antara masalah-masalah tersebut. 5. Memiliki
dan menguasai ilmu maqashid syariah. Karenanya, sudah seharusnyalah
seorang thalib ilmu (pelajar) menguasai dengan baik pokokpokok dan
kaidah satu permasalahan. Pengenalan terhadap kaidah-kaidah
tersebut akan sangat memudahkan seseorang untuk menguasai fikih,
sehingga dengan satu kaidah seseorang dapat menjawab dan menguasai
banyak permasalahan. Contoh: Kaidah bersandar kepada nash syariat).
( Masalah ibadah pada asalnya adalah dilarang dan
Mengenal kaidah-kaidah seperti ini dapat memberikan banyak
faidah, di antaranya: 1. Mencapai derajat tinggi dalam fikih,
karena kaidah-kaidah ini dapat memudahkan seseorang mengenal
masalah yang beraneka ragam dengan satu atau dua kaidah. Oleh
karena itu, Syekh as-Sadi rahimahullahu menyatakan,
Semangatlah kemu dalam memahami kaidah-kaidah Yang menyatukan
masalah-masalah yang beragam 2. Berada pada kaidah tersebut dan
tidak melampauinya hingga ada dalil yang mengeluarkannya. 3.
Mengetahui bahwa yang dituntut menyampaikan dalil adalah orang yang
mengeluarkan dari asal kaidah tersebut. 4. Orang yang komitmen
dengan kaidah akan mendapatkan ketenangan ketika memaparkan furu
(cabang) fikih dalam bab-babnya dan dapat mencapai tingkatan
tertinggi dalam ilmu. Syekh asSadi rahimahullahu menyatakan:
Lalu mencapai tingkatan tertinggi dalam ilmu daan mengikuti
jalan yang mendapatkan taufik. Oleh karena itu, marilah kita
memotivasi diri kita masing-masing untuk memperhatikan kaidah dan
ketentuan fikih dengan dalil-dalilnya, kemudian mengenal (hasil)
yang keluar darinya berdasarkan dalil. Untuk mempelajari dan
menelaah muamalah maliyah diperlukan pengetahuan yang cukup seputar
kaidah dasar ( ) dalam muamalah, di antaranya: 1. Asal dalam
Muamalah Adalah Halal () Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama,
bahkan Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan bahwa sebagian ulama
menyampaikan ijma (kesepakatan) dalam hal ini. Namun, hikayat ijma
ini tidak benar karena mazhab azh-Zhahiriyah menyelisihinya (tidak
menyetujui kaidah ini). Pengertian Kaidah Pengertian kaidah ini
adalah kaidah dalam semua akad yang terjadi antara dua pihak adalah
halal dan mubah secara umum. Sehingga semua bentuk muamalah yang
belum ada atau telah ada terdahulu, pada asalnya boleh, kecuali ada
dalil yang shahih dan jelas melarangnya, sehingga keluar dari
asalnya dengan dalil dan diberi hukum lain di luar hukum asal.
Adapun bila tidak ada dalil yang melarangnya, maka ia berlaku
sesuai asal, yaitu boleh dan mubah. Dasar Kaidah Dalil kaidah dasar
ini adalah: 1. Ayat-ayat yang menunjukkan perintah menunaikan akad
transaksi dan perjanjian, seperti Firman Allah Azza wa Jalla,
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. (Qs.
al-Maidah: 1) Dan firman Allah Subhanahu wa Taala,
Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti dimintai
pertanggungan jawabnya. (Qs. al-Isra`: 34) Kedua ayat ini berisi
perintah menunaikan transaksi dan muamalah secara mutlak, baik
bentuk dan lafalnya ada pada zaman Nabi shallallahu alaihi wa
sallam atau belum ada. Oleh karen itu, hal ini menunjukkan bahwa
asal dalam muamalah adalah halal. 2. Ayat-ayat yang menunjukkan
pambatasan hal-hal terlarang pada perbuatan dan sifat tertentu,
seperti firman Allah Azza wa Jalla,
Katakanlah, Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babikarena sesungguhnya semua itu kotoratau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. al-Anam: 145) Dan firman Allah
Subhanahu wa Taala,
Katakanlah, Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinankami akan memberi rezki
kepadamu dan kepada merekadan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, serta janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.
Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami-(nya). (Qs. al-Anam: 151) Serta firman-Nya Azza wa Jalla,
Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji (baik
yang tampak atau yang tersembunyi), perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu,
dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak
kamu ketahui. (Qs. al-Araf: 33) Dalam ayat-ayat di atas, Allah
membatasi hal-hal terlarang pada jenis dan sifat tertentu saja,
sedangkan yang tidak diketahui ada pengharamannya, maka
diberlakukan hukum halal, karena tidak boleh ada hukum untuk para
mukallaf tanpa dasar dalil. 3. Firman Allah Subhanahu wa Taala,
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. (Qs. anNisa`: 29)
Dalam ayat ini, Allah tidak memberikan syarat dalam perdagangan
kecuali saling suka (taradhi). Ayat ini menunjukkan bahwa asal
dalam muamalah adalah halal.
4. Firman Allah Subhanahu wa Taala, } Padahal sesungguhnya Allah
telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. (Qs.
al-Anam: 119) 5. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Semua yang Allah halalkan dalam al-Quran maka ia halal, yang
diharamkan maka ia haram, dan yang didiamkan maka itu tidak ada
hukumnya (boleh). Terimalah dari Allah kemudahan-Nya. (Allah
berfirman), Rabbmu tidak pernah lupa. (Hr. ad-Daraquthni dalam
Sunan-nya: 2/137/12; dinilai shahih oleh al-Albani dalam Silsilah
ash-Shahihah, no. 2256)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebut hukum sesuatu
yang tidak diharamkan dan dihalalkan dengan kata afwun (dimaafkan
atau boleh). Ini menunjukkan bahwa asal sesuatu dalam muamalah
adalah halal. 6. Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,
Sungguh, orang yang paling besar kejahatannya adalah orang yang
bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan
dengan sebab pertanyaannya. (Muttafaqun alaihi) 7. Ditinjau secara
dalil aqli (akal) dengan tiga hal: a. Akad transaksi termasuk
perbuatan dan aktivitas yang sudah menjadi adat kebiasaan. Manusia
sudah biasa melakukannya dalam mendapatkan kebutuhan dunia mereka,
maka asal hukumnya adalah boleh dan tidak dilarang. Sehingga
dijadikan dasar sampai ada dalil yang mengharamkannya. b. Syariat
tidak mengharamkan jenis akad kecuali hanya beberapa saja, maka
tidak adanya dalil pengharaman menunjukkan ketidak-haramannya. c.
Dalam keabsahan akad transaksi, tidak disyaratkan adanya izin
khusus dari syariat. Ibnu Taimiyah rahimahullahu menyatakan, Kaum
muslimin apabila melakukan transaksi tertentu dan belum mengetahui
keharaman dan kehalalannya, maka seluruh ahli fikihyang aku
ketahuimenghukumi keabsahannya, apabila mereka tidak meyakini
keharamannya. Walaupun transaktor (orang yang bertransaksi ed)
tersebut belum mengetahui penghalalannyabaik dengan ijtihad atau
taklid, dan juga tidak ada seorang pun yang menyatakan bahwa akad
transaksi tidaklah sah kecuali untuk orang yang meyakini bahwa
syariat menghalalkannya. Seandainya izin khusus syariat menjadi
syarat keabsahan transaksi, maka transaksinya tidak sah, kecuali
setelah adanya izin kebolehannya. 3. Asal Setiap Muamalah Adalah
Adil dan Larangan Berbuat Zalim serta Memperhatikan Kemaslahatan
Kedua Belah Pihak dan Menghilangkan Kemudharatan.
Paragraph. Ruang Lingkup Hukum Islam Dalam bahasa sehari-hari
kata hukum sering dikonotasikan dengan peraturan dan sejenisnya.
Namun sesungguhnya kata hukum yang digunakan oleh masyarakat itu
sendiri berasal dari bahasa arab yang diserap menjadi bahasa
Indonesia yaitu ( hukm) jamak dari ahkam yang berarti putusan
(judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah
(command), pemerintahan (government), kekuasaan (authority, power),
hukuman (sentences) dan lain-lain. Kata kerjanya hakama yahkumu
yang bermakna memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan,
menghukum, mengendalikan dan lain sebagainya.
Selain dalam bahasa arab, istilah hukum juga dikenal dalam
bahasa lain seperti law dalam bahasa inggris, recht dalam bahasa
Jerman dan Belanda atau kata latin Ius. Kata hukum kemudian
dipergunakan lebih jauh dalam perbendaharaan kata dalam bahasa
Indonesia seperti kata hukuman, terhukum, penegak hukum, hakim,
kehakiman, mahkamah dan banyak lagi. Kata hukum dalam al-Quran
dipahami sebagai putusan atau ketetapan terhadap suatu masalah.
Putusan atau ketetapan yang tidak hanya mengatur hubungan antara
khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan) tapi juga antar
manusia yang didalamnya mengatur tentang hukum amaliyah (fiqh),
hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan dengan hukum etika
(akhlaq). Oleh karena itu sering kita mendengar bahwa Islam paling
tidak terdiri dari iman dan amal, yaitu keyakinan monotheis manusia
yang dilingkupi dengan kompetensi keilmuan yang luas untuk secara
tepat dan benar di amalkan baik untuk hubungannya dengan khaliq
(sang pencipta) maupun dengan makhluq (yang diciptakan). Kata hukum
yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab hukm
yang berarti putusan (judgement) atau ketetapan (Provision). Dalam
buku Ensiklopedi Hukum Islam, hukum berarti menetapkan sesuatu atas
sesuatu atau meniadakannya. Sementara dalam A Dictionary of Law
dijelaskan tentang pengertian hukum sebagai berikut: Law is the
enforceable body of rules that govern any society or one of the
rules making up the body of law, such as Act of Parliament. (Hukum
adalah suatu kumpulan aturan yang dapat dilaksanakan untuk
mengatur/memerintah masyarakat atau aturan apa pun yang dibuat
sebagai suatu aturan hukum seperti tindakan dari Parlemen). 2.
Pengertian Hukum Islam Kata hukum dalam Islam (hukum Islam) sering
dikonotasikan pada dua hal yaitu fiqh dan syariat. Fiqh secara
bahasa berarti :
Pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu. Hal ini sejalan
dengan pengertian yang disitir dalam hadits yang mengatakan,
Barangsiapa Allah menghendaki kebaikan baginya, maka ia dibuat
paham (fiqh) dalam agama. Juga dalam surat Q. S. Al-Tawbah/9:122
yang berbunyi:
Maka hendaknyalah pada setiap golongan dari mereka (orang-orang
yang beriman) itu ada sekelompok orang yang tidak ikut (berperang)
untuk mendalami agama (tafaqquh), dan untuk dapat memberi
peringatan kepada kaumnya bila mereka itu telah kembali (dari
perang) agar mereka semuanya waspada. A. Fiqh
Banyak dari para ahli hukum mendefinisikan fiqh sebagai: :
Ilmu tentang hukum-hukum syari yang bersifat amaliah yang
diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci. Fiqh yang juga berarti
hukum hanya dimengerti fungsinya bila dikaitkan dengan perbuatan
manusia baik berupa menyandarkan atau tidak menyandarkan. :
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian
sesuatu dari yang lain. Sehingga yang dimaksud dengan hukum dalam
definisi fiqh adalah status perbuatan manusia mukallaf (orang yang
telah baligh dan berakal sehat), pada perbuatan-perbuatan yang
bersifat wajib (prescribed), mandub (sunnah-recommended), haram
(unlawful), makruh (disliked), atau mubah (permissible). Fard bisa
dibagi dalam tiga dimensi yaitu sebagai kewajiban
(obligatory-wajib), pendelegasian (mandatory -muhattam) dan
permintaan (required-lazim). Yang kesemuanya tersebar dalam
personally obligatory (fard al-ayn), sebagai kewajiban setiap
individual Muslim seperti salat dan zakat dan communally obligatory
(fard al- kifaya), yang cukup dilakukan oleh salah satu dari
komunitas muslim seperti memandikan jenazah. The recommended,
(mandub) atau sunnah, merujuk pada lebih disukai
(preferable-mustahabb), bermanfaat (meritorious-fadila), dan
diperlukan (desirable-marghub fih). Misalnya solat malam (tahajjud)
dan mengingat Allah (zikr). the permissible/allowed (mubah) sesuatu
perbuatan boleh yang tidak diberi reward atau hukuman. Sedangkan
perbuatan yang tidak boleh/tidak disukai (dislikedmakruh) tapi
tidak memiliki dampak penghukuman. Berbeda dengan the unlawful/
prohibited (haram ) yang memiliki hukuman. B. Syariah Istilah
syariat yang sumber otentiknya berasal dari sumber-sumber hukum
Islam yang tersebar pada Al-Quran, hadits, ijma dan lain
sebagainya. Prof. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam salah satu
karyanya mendefinisikan hukum Islam sebagai: Segala yang
diterbitkan (ditetapkan) syara untuk manusia, baik berupa perintah
maupun merupakan tata aturan amaliyah yang menusun kehidupan
bermasyarakat dan hubungan mereka satu sama lain serta membatasi
tindakan mereka. Walaupun dilihat dari struktur bahasanya
(etimologi), Syariat merupakan kalimat yang berbahasa arab Syaria
yang bermakna jalan menuju sumber air: track yang jelas untuk di
ikuti. Atau sebagai sumber air yang di ambil orang untuk keperluan
hidup sehari-hari. Kata Syariah paling tidak disebut lima kali,
tiga di antaranya terdapat dalam Alquran yaitu pada surat Al-Maidah
ayat 48, AsySyura: ayat 13 dan Al-Jatsiyah ayat 18.
Dalam bentuk aktif, syariat disebut sebagai syaraa, sebuah kata
kerja yang bermakna mengurai atau menelusuri suatu jalan yang telah
jelas menuju air. Dengan makna tersebut, secara doktrin hukum,
syariat dapat difenisikan sebagai jalan utama menuju kehidupan yang
lebih baik yang terdiri dari nilainilai agama sebagai acuan untuk
membimbing kehidupan manusia. Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan
syariat sebagai jalan agama yang lebih luas dari sekedar
ibadah-ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang diwahyukan kepada
Muhammad SAW. Sedangkan sebuah komunitas akademis di Universitas
Southern California dalam kompendiumnya menjelaskan bahwa makna
syariah tidak hanya merujuk pada hukum dan jalan hidup yang
digariskan Allah SWT untuk hambanya namun juga berhubungan dengan
ideologi; keyakinan; prilaku; tindakan; serta praktek keseharian
seperti firmannya dalam surat Al-Maidah: 48. Sedangkan pakar hukum
Islam Indonesia, Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie menyebutkan
bahwa para ahli fiqh menggunakan kata syariat sebagai nama bagi
hukum yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya melalui Rasulullah SAW
yang berkaitan dengan amaliyah lahir (ahlak) dan bathin (Aqidah)
untuk dilaksanakannya dengan dasar iman. C. Fiqh dan Syariah Bagi
orang awam, adakalanya syariat disebut juga sebagai fiqh Islam.
Walaupun amat mirip namun keduanya memiliki arti yang berbeda. Jika
syariat adalah hukum wahyu yang bersumber Alquran dan hadits, maka
fiqh yang secara bahasa bermakna paham atau pemahaman adalah
pengetahuan tentang syariat mengenai perbuatan manusia yang diambil
dari ijtihad para mujtahid terhadap dalil-dalil yang rinci. Secara
definitif, setidaknya ada lima perbedaan antara syariah dengan fiqh
yaitu antara lain: 1. Syariat merupakan wahyu Allah yang terdapat
dalam Al-quran dan hadits sedangkan fiqh merupakan hasil ijtihad
manusia yang sah dalam memahami dan menafsirkan kedua sumber hukum
tersebut. 2. Syariat bersifat fundamental dan mempunyai ruang
lingkup yang lebih luas sedangkan fiqh bersifat instrumental dan
terbatas ruang lingkupnya pada hukum-hukum yang mengatur perbuatan
hukum manusia. 3. Syariat adalah ketetapan Allah dan ketentuan
rasul karena itu keduanya berlaku abadi sedangkan fiqh adalah hasil
ijtihad yang sah manusia yang bersifat sementara karena itu dapat
berubah sesuai kondisinya. 4. Syariat hanya satu sedangkan fiqh
lebih dari satu karena terdapat banyak madzhab fiqh dan aliran
hukum lainnya. 5. Syariat menunjukan kesatuan dalam Islam sedangkan
fiqh menunjukan keragamannya.
Dengan pembedaan tersebut jelaslah bagi kita bahwa syariat
merupakan hukum yang akan terus hidup sekalipun tak lagi diterapkan
oleh manusia dalam kehidupannya. Di dalam syariat tersebut ada
norma dan prinsip yang kemudian di tafsirkan oleh berbagai macam
ahli fiqh untuk dapat diaplikasikan kedalam setiap kehidupan
manusia yang berbeda waktu dan kondisinya. Adalah sangat naf bila
syariat yang telah ditafsirkan menjadi fiqh pada masa terdahulu
akan dapat menyelesaikan persoalan masa kini. Oleh karena itu
syariat selalu memerlukan penafsiran atau ijtihad.
3. Keistimewaan Fiqh Sebagaimana penjelasan di atas bahwa setiap
manusia menuntut dan mencari kebahagiaan dan kesempurnaan,
sedangkan keduanya tidak akan dicapai kalau manusia hidup semaunya
sendiri tanpa adanya peraturan dan kode etik hidup yang
mengaturnya. Di sinilah letak perbedaan antara Manhaj Islam yang
disebut Fiqhul Islam dengan manhaj-manhaj yang lain. Keistimewaan
Fiqh Islam atas manhaj-manhaj yang lain dapat disimpulkan sebagai
berikut:
A. Fiqh berdasarkan wahyu Ilahi dan Petunjuk Nabawy. Setiap
mujtahid di dalam pengambilan hukum (Istinbatul Ahkam) harus
bersumber dari al-Quran dan al-Hadits, baik yang diambil secara
langsung atau isyarat yang menunjukkan dari keduanya, seperti Ijma
dan Qiyas. Sehingga menjadi sempurna semua tuntutan hidup manusia.
Allah berfirman: Hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama
kalian. Dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku
rela untuk kalian Islam sebagai Agama. (Q.S. AlMaidah 3-5). B. Fiqh
Islam mencakup semua tuntutan Hidup. Di dalam Fiqh Islam telah
diatur semua urusan yang berkaitan dengan hidup manusia, sampai
salah seorang sahabat Rasulullah Saw. berkata: Semoga Allah
membalas kebaikan Baginda Rasulullah Saw. yang telah mengajarkan
kepada kita semua urusan hingga urusan di kamar kecil. C. Fiqh
Islam berhubungan erat dengan etika. Berbeda dengan manhaj lain
yang tujuan utamanya hanya sebatas memelihara kelestarian hidup,
meski harus mengorbankan akhlak dan ajaran-ajaran agama. Oleh
karena inilah maka disyariatkanlah ibadah. seperti; shalat dan
puasa yang semua itu bertujuan untuk mensucikan jiwa sehingga
tercegah dari perbuatan keji dan munkar. Firman Allah SWT:
Sesungguhnya shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar.
Begitu pula diharamkannya Riba misalnya; bertujuan untuk
membangkitkan jiwa tolong-menolong di antara sesama manusia dan
mencegah terjadinya penipuan di dalam transaksi. Apabila hak-hak
pribadi terjaga dan rasa saling mempercayai terpelihara maka akan
tampaklah kehidupan harmonis serta bahagia pada masyarakat. D. Fiqh
Islam memelihara kemaslahatan pribadi dan umum secara bersamaan
tanpa harus ada yang dikorbankan. Namun demikian di saat terjadi
pertentangan antara kepentingan pribadi dan umum maka yang
didahulukan adalah kemaslahatan umum. Dalam hal ini dikenal kaidah
Fiqh yang diambil dari Hadits Nabi: Laa dharara wa laa dhirara
4. Ruang Lingkup hukum Islam Selain berbagai makna syariat yang
berkonotasi hukum, syariat dalam arti luas juga berarti segala hal
yang ditetapkan oleh Allah. kepada mahluknya tentang berbagai
kaidah dan tata aturan yang disampaikan kepada umatnya melalui
nabi-nabinya termasuk Muhammad SAW baik yang berkaitan dengan hukum
amaliyah (fiqh), hukum tauhid (aqidah) maupun yang berhubungan
dengan hukum etika (akhlaq). Ungkapan hukum-hukum syari menunjukkan
bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara atau diambil darinya
sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari
dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam
definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu
pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar,
dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara. Hukum-hukum
syari dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau
terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau
muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syari yang
bersifat itiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib
seperti dzat Allah, sifat-sifatNya, dan hari akhir, bukan termasuk
ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan
dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah). Ilmu tentang hukum-hukum syari
yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil
rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil
tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang
hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah
berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum
tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan
dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang
hukum syari dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke
dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian
dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil. Hukum Islam
yang tertuang dalam syari`at dapat dibagi atas tiga kelompok besar
yaitu Hukum tentang `Aqidah yang mengatur keyakinan manusia
terhadap Allah dan lebih bersifat privat yaitu antara manusia
dengan tuhan, Hukum tentang Akhlaq yang mengatur etika berhubungan
dengan manusia dan Hukum yang berkaitan dengan prilaku manusia
(`Amaliyah atau Fiqh) yaitu hukum yang menata kehidupan manusia
dengan manusia sehari-hari baik dalam fungsi vertikal (ibadah),
pengaturan (muamalah) maupun penindakan (jinayah). Karena ketiga
fungsi tersebut, hukum Amaliyah dibagi dalam dua kategori yaitu
`Ibadat (dimensi vertikal) dan Mu`amalat (dimensi Horizontal) yang
terdiri atas Hukum Keluarga (Family Law), Hukum ekonomi, finansial
dan transaksi, Peradilan, Hukum tentang warganegara asing
(Mustamin) dalam Negara Islam, Hukum Antar Bangsa (International
Law), Hukum Tata Negara dan Politik (siyasah), Hukum tentang
Sumber-sumber Pendapatan Negara dan Hukum Pidana.
Hukum yang diatur dalam fiqh Islam itu terdiri dari hukum wajib,
sunat, mubah, makruh dan haram; disamping itu ada pula dalam bentuk
yang lain seperti sah, batal, benar, salah, berpahala, berdosa dan
sebagainya. Secara garis besar kandungan dalam Ilmu Fiqh ada tiga
macam; Hubungan seorang hamba dengan Tuhan, dengan dirinya, dan
dengan masyarakat luas. Sehingga semua masalah manusia diatur oleh
Fiqh Islam, karena Fiqh bukan hanya mengurus urusan dunia saja
namun juga urusan akhirat. Fiqh juga merupakan agama dan negara.
Fiqh Islam selalu relevan hingga hari kiamat. Sehingga konsep yang
ditawarkan oleh Fiqh Islam menjanjikan kebahagiaan abadi dunia dan
akhirat. Dari alasan itulah pembahasan di dalam Fiqh Islam mencakup
semua aspek kehidupan manusia dan kalau diperhatikan pembahasan
Fiqh Islam dibagi menjadi tujuh kategori: A. Hukum-hukum yang
berhubungan dengan muamalah seorang hamba terhadap Tuhannya,
seperti; shalat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya.
Hukum-hukum ini disebut al-Ibadat. B. Hukum-hukum yang berkaitan
dengan rumah tangga, seperti; pernikahan, perceraian, nafkah, dan
lain-lain. Hukum-hukum ini disebut Ahwal al- Syakhsiyah. C. Hukum
yang berhubungan dengan pekerjaan, perekonomian, dan interaksi
antara satu dan lainnya, seperti; jual beli, perdagangan,
pegadaian, dan pengadilan. Hukum-hukum ini disebut Muamalah
(perdata) D. Hukum-hukum yang berhubungan dengan pemerintahan
beserta pelaksanaannya dan politik. Hukumhukum ini disebut Ahkamu
Sulthaniah atau Siasah Syariah. E. Hukum-hukum yang berhubungan
dengan hukuman orang yang berbuat kesalahan, menjatuhkan kehormatan
orang, dan mengganggu keamanan umum. Hukum-hukum ini disebut
Jinayat (Pidana) F. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hubungan
antara Negara Islam dan Negara lain. Hukum-hukum ini disebut Syiar
(Diplomatik) G. Hukum-hukum yang berhubungan dengan tingkah laku
lahiriah seorang Muslim dengan sesama manusia. Hukum-hukum ini
disebut Fiqhul Adab.
Sedangkan Prof. T.M. Hasbi Ashiddiqqie, merinci lebih lanjut
pembagian tersebut dengan mengembangkan menjadi delapan topik
bahasan, yaitu:
A. Ibadah Pada bagian ini dibicarakan beberapa masalah masalah
yang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut
seperti Thaharah (bersuci); Ibadah (sembahyang); Shiyam (puasa);
Zakat; Zakat Fithrah; Haji; Janazah (penyelenggaraan jenazah);
Jihad (perjuangan); Nadzar; Udhiyah (kurban);
B. Ahwalusy Syakhshiyyah Satu bahasan yang terhimpun dalam bab
ini membicarakan masalah-masalah yang terkonsentrasi seputar aturan
hukum pribadi (privat) manusia, kekeluargaan, harta warisan, yang
antara lain meliputi persoalan: Nikah; Khithbah (melamar);
Muasyarah (bergaul); Nafaqah; Talak; Khulu; Fasakh; Lian; Zhihar;
Ila; Iddah; Rujuk; Radlaah; Hadlanah; Wasiat; Warisan; Hajru; dan
Perwalian.
C. Muamalah Madaniyah Biasanya disebut muamalah saja yang
didalamnya terdapat pembicaraan masalah-masalah harta kekayaan,
harta milik, harta kebutuhan, cara mendapatkan dan menggunakan,
yang meliputi masalah: Buyu (jual-beli); Khiyar; Riba (renten);
Sewa-menyewa; Hutang-piutang; Gadai; Syufah; Tasharruf; Salam
(pesanan); Wadiah (Jaminan); Mudlarabah dan Muzaraah (perkongsian);
Hiwalah; Pinjammeminjam; Syarikah; Luqathah; Ghasab; Qismah; Hibah
dan Hadiyah; Kafalah; Waqaf ; Perwalian; Kitabah; dan Tadbir.
D. Muamalah Maliyah Kadang-kadang disebut Baitul mal saja.
Inilah bagian dalam hukum Islam yang mengulas tentang harta
kekayaan yang dikelola secara bersama, baik masyarakat kecil atau
besar seperti negara (perbendaharaan negara=baitul mal). Pembahasan
di sini meliputi: Status milik bersama baitul mal; Sumber baitul
mal; Cara pengelolaan baitul mal; Macam-macam kekayaan atau materi
baitul mal; Obyek dan cara penggunaan kekayaan baitul mal;
Kepengurusan baitul maal; dan lain-lain.
E. Jinayah dan Uqubah (pelanggaran dan hukuman) Biasanya dalam
kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di
bicarakan dan dibahas masalah-masalah yang dapat dikelompokkan ke
dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda,
hukuman dan sebagainya. Pembahasan ini meliputi: Pelanggaran;
Kejahatan; Qishash (pembalasan); Diyat (denda); Hukuman pelanggaran
dan kejahatan; Hukum melukai/mencederai; Hukum pembunuhan; Hukum
murtad; Hukum zina; Hukuman Qazaf; Hukuman pencuri; Hukuman
perampok; Hukuman peminum arak; Tazir; Membela diri; Peperangan;
Pemberontakan; Harta rampasan perang; Jizyah.
F. Murafaah atau Mukhashamah
Pokok bahasan dalam bagian ini menjelaskan berbagai masalah yang
dapat dikategorikan ke dalam kelompok persoalan peradilan dan
pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi: Peradilan dan
pendidikan; Hakim dan Qadi; Gugatan; Pembuktian dakwaan; Saksi;
Sumpah dan lain-lain.
G. Ahkamud Dusturiyyah Bagian ini adalah bidang hukum tata
Negara dalam Islam yang umumnya membicarakan berbagai
masalah-masalah yang menyangkut seputar ketatanegaraan.
Pembahasannya antara lain meliputi: Kepala negara dan Waliyul amri;
Syarat menjadi kepala negara dan Waliyul amri; Hak dan kewajiban
Waliyul amri; Hak dan kewajiban rakyat; Musyawarah dan demokrasi;
Batas-batas toleransi dan persamaan; dan lain-lain
H. Ahkamud Dualiyah (Hukum Internasional) Bagian ini lebih tepat
bila disebut sebagai kelompok masalah hubungan internasional.
Pembicaraan pada bab ini meliputi: Hubungan antar negara, sama-sama
Islam, atau Islam dan non-Islam, baik ketika damai atau dalam
situasi perang; Ketentuan untuk orang dan damai; Penyerbuan;
Masalah tawanan; Upeti, Pajak, rampasan; Perjanjian dan pernyataan
bersama; Perlindungan; Ahlul ahdi, ahluz zimmi, ahlul harb; dan
Darul Islam, darul harb, darul mustakman.
5. Sumber Hukum Islam Ilmu hukum Islam juga sangat memfokuskan
diri pada kemaslahatan sesuai tujuan pokok penerapan hukum Islam.
Atas dasar tersebut para mujtahid (orang yang diberi wewenang untuk
berijtihad) melengkapi dirinya dengan metode dan pisau analisis
yang disebut dengan ushul fiqh (dasar ilmu fiqh) sebagai metodologi
yang harus dikuasai para pembentuk dan perumus hukum dalam
menafsirkan tekstual syariat. ushul fiqh tersebut nantinya akan
menentukan arah seorang mujtahid untuk menggunakan berbagai sumber
hukum Islam lainnya seperti qiyas (yurisprudensi aktif) istishan
(mengambil yang paling baik), Istishab, Istislah, Sadz dzariah dan
Urf (Custommary law) dalam mengeksplorasi dalil-dalil hukum dari
Alquran dan hadits.
Bahan Bacaan
Abdurraoef. Al-Quran dan Ilmu Hukum. (Jakarta: Bulan Bintang,
1970).
Ali, Abdullah Yusuf. The Holly Quran: Text Translation and
Commentary. (Maryland: Amana Corporation, 1989).
Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fikih. cetakan ke 2.
(Jakarta, Bulan Bintang, 1974).
______________________. Pengantar Fiqh Muamalah. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974).
Ball, Jhon. Indonesian Legal History 1602-1848. (Sidney:
Oughtershaw Press, 1982).
el-Bana, Jamal. Nahwa Fiqh Jadid . (Kairo: Dar el Fikr
el-Islamy, 1999).
Bisri, Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata
Sosial. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
Dasuki, HA. Hafizh. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: PT
Ichtiar Baru van Hoeve, FIKIMA, 1997).
Hambali, Ahmad. Hamdan Zoelva. Perda Syariah di Indonesia: Studi
tentang Asas dan Prinsip Pembentukan Perundang-Undangan. (Jakarta:
TRAC, 2009). Dalam Proses penerbitan
Idris. Fiqh Tajdid dan Shahwah Islamiah. (Jakarta, Islamuna
Press, 1997).
Kabah, Rifyal. Hukum Islam di Indonesia.( Jakarta:Universitas
Yarsi, 1999).
Martin, Elizabeth A. (editor) A Dictionary of Law. Fourth
Edition. (New York: Oxford University Press 1997).
Ramulyo, M. Idris. Asas-Asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan
Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam. (Jakarta: Sinar Grafika,
1995).
Saleh, E. Hassan. Studi Islam di Perguruan Tinggi: Pembinaan
Imtaq dan Pengembangan Wawasan. (Jakarta, ISTN, 2000).
Shihab, M Quraish. Ihsan Ali-Fauzi. Membumikan Al-Quran: Fungsi
dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. (Jakarta: Mizan
Pustaka, 2002).
USC-MSA, Compendium of Muslim Text, Shari`ah and Fiqh.
http://www.usc.edu/dept/MSA/law/shariahi.
USC online. Alalwani Usul al Fiqh. diakses 23 Februari 2008.
Wikipedia. Qiyas, . diakses 23 Februari 2008.
Yafie, Ali. Konsep-Konsep Istihsan, Istishlah dan Maslahat al
Ammah, , diakses 23 Februari 2008.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka