PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA 1. Pengertian dan Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Constracting States). Sedangkan menurut penulis setelah membahas bab-bab sebelumnya dan bab yang akan datang, definisi perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan tujuan P3B adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda. Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu a. mencegah timbulnya pengelakan pajak; b. memberikan kepastian; c. pertukaran informasi; d. penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B; e. non diskriminasi; f. bantuan dalam penagihan pajak; g. penghematan dalam cash flow. Tujuan P3B adalah
37
Embed
Pengertian Dan Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
1. Pengertian dan Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian pajak antara dua negara
bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh
atau diterima oleh penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both
Constracting States). Sedangkan menurut penulis setelah membahas bab-bab sebelumnya dan
bab yang akan datang, definisi perjanjian penghindaran pajak berganda adalah perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan
agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling menguntungkan
dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.
Sedangkan tujuan P3B adalah mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan
berganda. Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu
a. mencegah timbulnya pengelakan pajak;
b. memberikan kepastian;
c. pertukaran informasi;
d. penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B;
e. non diskriminasi;
f. bantuan dalam penagihan pajak;
g. penghematan dalam cash flow. Tujuan P3B adalah sebagai berikut:
a. tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha;
b. peningkatan investasi modal dari luar negeri ke dalam negeri;
c. peningkatan sumber daya manusia;
d. pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak;
e. keadilan dalam hal pemajakan penduduk antar kedua negara.
a. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha
Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di kedua
tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di
tempat di mana mereka berkedudukan. Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia
usaha mendapatkan kepastian hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu
kali yaitu di negara domisili.
b. Peningkatan investasi modal dari luar negeri.
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman saham,
royalti dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka
dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk
menanamkan modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
c. Peningkatan sumber daya manusia.
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di negara
di mana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai. Apabila
penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan
dikenakan pajak, maka akan membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar
di luar negeri atau menambah ilmu di luar negeri di mana mereka belajar atau
bekerja. Hal ini jika diberlakukan maka sumber daya manusia salah satu negara tersebut
akan mengalami keterbelakangan di bidang ilmu pengetahuan.
d. Pertukaran informasi guna mencegah pengelakan pajak
Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka penduduk
yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas terlihat
dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
Negara yang terkait dengan tax treaty, dapat melaporkan penghasilan penduduk asing di
negara sumber, misalnya dengan mengirimkan bukti penerimaan penghasilan dari
negara sumber. Informasi penghasilan tersebut seharusnya dilaporkan oleh penerima
penghasilan di negara domisili, dan diperhitungkan kembali di akhir tahun pajak.
e. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan
prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua
negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh
sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
2. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Penerapan prinsip domisili dan sumber atas suatu penghasilan yang melibatkan dua atau
lebih negara dapat menimbulkan pajak berganda internasional, baik yuridis maupun ekonomis.
Secara ekonomis pajak berganda internasional (PBI) tersebut memperberat beban usaha,
investasi dan, kegiatan internasional lainnya sehingga dapat menghambat mobilitas sumberdaya
dimaksud. Sebagaimana terjadi dalam bidang investasi, perdagangan, produksi dan distribusi,
sains dan teknnologi dimana terdapat jaringan kerja sama antarnegara baik regional maupun
global, dalam sektor perpajakan untuk mengindari beban ekonomis dari PBI tersebut juga
terdapat jaringan kerja sama antarnegara yang dilakukan dengan menutup perjanjian
penghindaran pajak berganda (.tax treaty; P3B).. Menurut Surrey, (1980), P3B merupakan
perjanjian bilateral (namun dalam kasus tertentu dapat multilateral) yang ditutup oleh dua negara
dengan tujuan utama untuk menentukan solusi terhadap (PBI) yang disebabkan oleh
implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua negara atas suatu objek
(subjek) yang sama.
2.1 Dasar Hukum P3B
P3B merupakan perjanjian antara negara berdaulat dan mempunyai status legal sebagai
perjanjian internasional dan berfungsi sebagai perjanjian pembuat undang-undang (lawmaking
treaties) berdasar hukum publik internasional karena disepakati (pemerintah) negaranegara
(contracting states) dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum publik internasional (knechtle;
1979). Negara (Pemerintah) Indonesia dapat menutup P3B yang menyatakan berdasar amanat
Pasal 11 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa presiden dengan persetujuan
DPR membuat perjanjian dengan negara lain. Selanjutnya Pasal 4 (1) Undang-Undang No 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional antara lain menyatakan bahwa Pemerintah RI
membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, atau subjek hukum internasional
lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian
tersebut dengan itikad baik. Khusus untuk pajak penghasilan, Pasal 32 A UU PPh menyatakan
bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Dalam kerangka hukum internasional Vogel (1991) menyatakan bahwa P3B merupakan
perjanjian internasional dan berkekuatan law-makin treaties karena kreasi dan konsekuensinya
tunduk pada The Viena Convention on The Law of Treaties tanggal 23 Mei 1969 (.Konvensi
Wina.). Walaupun terdapat communis opini doctorum (pendapat yang berterima umum), bahwa
di atas kekuasaan suatu negara diakui adanya kekuasaan yang lebih tinggi, yaitu hukum antar
negara (public internatonal law; Brotodiharjo; 1971), namun ketentuan di berbagai negara
berbeda. Ada negara yang menyatakan perlu diratifikasi agar menjadi bagian dari hukum
nasional yang mengikat warga, namun ada negara yang menyatakan tidak perlu. Pasal 3 UU No
24 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah mengikatkan diri pada perjanjian internasional
antara lain melalu pengesahan. Selanjutnya Pasal 9 (2) menyatakan bahwa pengesahan dilakukan
dengan undang-undang atau keputusan presiden. Khusus untuk P3B karena materinya tidak
termasuk dalam kewenangan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000. Pasal 11 menyatakan bahwa
pengesahan dilakukan dengan keputusan presiden yang salinannya disampaikan kepada DPR
(sebagai lembaga legislative). Karena lebih bersifat teknis administrative (Darussalam dan
Septriadi; 2006), maka ratifikasi P3B cukup dilakukan dengan keputusan presiden. Dengan
pertukaran nota diplomatic antara Indonesia dengan negara mitra runding., P3B mulai berlaku di
kedua negara mitra runding tersebut.
2.2 Model Perjanjian
Dampak kurang kondusif dari PBI terhadap arus pertukaran barang dan jasa dan
mobilitas sumber daya dan dana, sains dan teknologi, telah diketahui secara meluas sehingga
upaya untuk mengeliminasi pajak berganda merupakan salah satu instrumen dari pengembangan
hubungan ekonomi antarnegara. Sebetulnya dalam ketentuan domestik negara domisili yang
menganut sistem pemajakan global terhadap WPDN telah terdapat ketentuan pemberian
keringanan PBI seperti Pasal 24 UU PPh, namun dua negara secara bersama-sama dapat
mengupayakan eliminasi PBI. Upaya eliminasi tersebut biasanya dirumuskan dalam suatu bentuk
perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Walaupun dalam ketentuan domestik (misalnya
Pasal 24 UU PPh) sudah tersedia keringanan PBI namun P3B paling kurang memberikan tiga
kelebihan (Van Raad; 1986). Kelebihan yang dimaksud adalah (1) P3B dapat memberikan
keringanan lebih baik dari ketentuan domestik (misalnya pengecualian), (2) memungkinkan
harmonisasi saat pemajakan antara negara domisili dan sumber, dan (3) tujuan lainnya.
Perumusan P3B didasarkan kepada salah satu model yang tersedia (1) OECD, (2) UN,
atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara
maju) mendasarkan P3B-nya pada model EOCD, antara negara berkembang dan negara maju
mendasarkan pada UN dan/atau OECD model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan
negara mitra runding mendasarkan pada US Model.
Model OECD dirumuskan selaras dengan kebutuhan harmonisasi hubungan perpajakan
antara negara anggota OECD, sebagai organisasi dari negara-negara industri maju dengan
kekuatan ekonomi yang cukup untuk melakukan investasi ke mancanegara. Situasi demikian
merupakan dasar pijakan alokasi penerimaan pajak dari kegiatan lintas batas antara para anggota
domisili berdasarkan keseimbangan ekonomi dan resiprositas pengorbanan penerimaan.
Sebagai akibat dari kemampuan untuk saling berdagang dan berinvestasi pada setiap
wilayah, pengorbanan penerimaan pada negara sumber sebagai aplikasi prinsip residensi akan
dialami timbal balik (resiprositas) antarnegara anggota. Model OECD dikonsepkan dengan
berlandaskan dua premis, yaitu pertama hak pemajakan utama kebanyakan diberikan kepada
negara domisili wajib pajak. Negara sumber harus rela untuk melepaskan klaim pemotongan
pajak sumber (withholding tax at source) mereka harus mengurangi tarif pajaknya untuk
memberikan kepastian bahwa beban pajak negara sumber selalu dapat diserap oleh batasan kredit
pajak negara residen (kalau keduanya) diperbolehkan menerapkan ketentuan pajak domestiknya,
keringanan pajak berganda diberikan dengan meminta negara residens untuk menyediakan kredit
atau bebas pajak atas penghasilan yang telah dikenakan pajak oleh negara sumber.
Di pihak lain, UN Model, yang secara khusus didesain untuk P3B antara negara maju dan
berkembang, dirumuskan berdasarkan premis bahwa OECD Model, yang kebanyakan meminta
negara sumber untuk merelakan penerimaan pajaknya, kurang tepat untuk dipakai sebagai
panduan P3B antara negara maju dan berkembang. Hal itu disebabkan oleh karakteristik
hubungan ekonomi negara maju dengan negara berkembang yang diwarnai oleh ketimpangan
arus penghasilan antarkedua kelompok negara tersebut (penghasilan dari negara berkembang
lebih besar mengalir ke negara maju). Arus penghasilan satu arah tersebut menyebabkan
pengorbanan yang kurang proposional dan kurang adil dalam pembagian penerimaan pajak dari
objek pajak lintas batas dan sepertinya mengesampingkan kepentingan pemajakan negara sumber
(berkembang). Kurangnya penerimaan negara berkembang tersebut menyebabkan terbatasnya
dana penyediaan fasilitas umum dan jasa publik lainnya. Selain menyebabkan kurang
kondusifnya iklim investasi di negara berkembang, keterbatasan dana juga menyebabkan tidak
mampunya negara berkembang yang umumnya sebgai negara pengutang untuk membayar utang
luar negeri dan dalam negerinya.
2.3 Sifat P3B
Istilah .treaty. dan .convention. sering dipakai secara bersamaan dan saling dipertukarkan.
Sehubungan dengan kedua istilah tersebut, Pires (1989) berpendapat bahwa konvensi dapat
dikaitkan dengan perjanjian secara umum, yang salah satu bentuknya adalah .treaty.. Perjanjian
(.agreement.) merupakan konvensi dengan tujuan kultural dan ekonomi serta dalam bentuk
sederhana. Konvensi untuk mengeliminasi pajak berganda umumnya dirumuskan dalam
bentuk .treaty.. Sebagai perjanjian bilateral, sesuai dengan hukum publik internasional, P3B
bersifat mengikat kedua negara (contracting states). Selanjutanya, menurut Knechtle (1979),
P3B yang ditutup suatu negara (Indonesia) juga mempunyai validitas internal domestik dan
menjadi self executing. Sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, P3B mempunyai
kemungkinan yang dapat bersifat restriktif atau ekspansif. Sebagai elemen dari hukum
internasioanl, sesuai dengan prinsip negatif efek, P3B membatasi aplikasi dari ketentuan
domestik (kewenangan mengenakan pajak). Sementara itu, perluasan hak pemajakan tidak bisa
diperoleh hanya dengan menciptakan kewajiban pajak yang tidak tersurat (ada) dalam ketentuan
domestik atau dengan mengeliminasi keringanan dalam ketentuan domestik (dengan ketentuan
pada P3B). Sehubungan dengan kewajiban pajak, Van Raad (1986) menyatakan bahwa
kewajiban tersebut hanya dapat dikenakan berdasarkan ketentuan domestik (misalnya undang-
undang perpajakan) dan bukan dengan P3B. begitu juga keringanan (pembebasan) pajak pada
ketentuan domestik tetap ada dan tidak terhapus oleh rumusan pada P3B. Hanya untuk tujuan
aplikasi P3B dengan suatu negara tertentu ketentuan domestik tersebut dikesampingkan.
2.4 Struktur P3B
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perumusan P3B didasarkan kepada salah satu
model yang tersedia, yaitu (1) OECD, (2) UN, atau (3) US. Dengan berbagai variasi dan
modifikasi antarnegara anggota OECD (antarnegara maju) mendasarkan P3B-nya pada model
EOCD, antara negara berkembang dan negara maju mendasarkan pada UN dan/atau OECD
model, sedangkan P3B antara Amerika Serikat dengan negara mitra runding mendasarkan pada
US Model
3. Penyebab Pajak Berganda Internasional
Pemajakan atas suatu penghasilan secara bersamaan oleh negara yang menerapkan
domisili dan negara yang menerapkan azas sumber menimbulkan pajak ganda internasional
(international double taxation). Oleh para investor dan pengusaha, pajak ganda tersebut
dianggap kurang memperlancar mobilitas arus investasi, bisnis, dan perdagangan internasional.
oleh karena itu, perlu dihilangkan atau diberikan keringanan. Selain diatur dalam ketentuan pajak
domestik, keringanan pajak ganda dimaksud pada umumnya juga diatur dalam P3B. Pajak
Berganda Internasional (selanjutnya dalam modul ini disebut PBI) muncul apabila terdapat
benturan yurisdiksi pemajakan, baik yang melekat pada pemerintah pusat (negara) maupun
pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten), dan yang melekat pada masing-masing
negara (overlapping of tax jurisdiction in the international sphere).
Sementara orang akan mempertanyakan kenapa benturan tersebut sampai terjadi? Dalam
hak pemajakan, kita menyadari bahwa setiap negara berdaulat akan melaksanakan pemajakan
terhadap subjek dan/atau objek yang mempunyai pertalian fiskal (fiscal allegiance) dengan
negara pemungut pajak dan berada dalam wilayah kedaulatannya berdasarkan ketentuan
domestik. Seandainya dalam ketentuan domestik dari negara-negara pemungut pajak tersebut
terdapat pengecualian atau pembebasan dari pajak terhadap subjek atau objek yang bertempat
kedudukan atau berada di luar wilayah kedaulatannya maka tidak akan terjadi PBI karena
mungkin tidak terjadi benturan hak pemajakan dengan negara lain. atau apabila tarif pajak di
negara tempat sumber penghasilan dikenakan pajak dan domisili cukup rendah, beban pajak
berganda yang dikenakan di negara sumber sebagai pemegang hak pemajakan utama (primary
taxing rights) dan yang dikenakan di negara domisili sebagai pemegang hak pemajakan skunder
(secondary taxing rights) secara wajar masih dalam jumlah yang terjangkau oleh pembayar
pajak.
Dalam Pajak Penjualan, misalnya, PBI dapat terjadi apabila negara pengekspor menganut
prinsip negara asal (origin principle; pemajakan oleh negara asal barang dan jasa), dipihak lain,
negara pengimpor menganut prinsip negara tujuan (destination principle; Pemajakan oleh negara
tujuan atau negara konsumen).
PBI berkenaan dengan Pajak Penghasilan, sebagaimana telah dikemukakan di awal
bagian ini, apabila terjadi benturan hak pemajakan antara negara-negara mempunyai pertalian
ekonomis, menerapkan azas pembagian hak pemajakan secara tidak bersamaan.