PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH YANG MEMANFAATKAN LEAD ADVERSITY QUOTIENT UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS PESERTA DIDIK (Tesis) Oleh AVISSA PURNAMA YANTI PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018
96
Embed
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH YANG ...digilib.unila.ac.id/49946/3/TESIS TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · abstrak pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH YANGMEMANFAATKAN LEAD ADVERSITY QUOTIENT UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARANMATEMATIS PESERTA DIDIK
(Tesis)
Oleh
AVISSA PURNAMA YANTI
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRACT
THE DEVELOPMENT OF PROBLEM BASED LEARNING THATUTILIZES LEAD ADVERSITY QUOTIENT TO IMPROVE THE
STUDENTS’ MATHEMATICAL REASONING ABILITY
By
AVISSA PURNAMA YANTI
This research is a development research that aims at describing the process andget the product of developing problem-based learning that utilizes LEADadversity quotient, as well as analyzing validity, practicality, attractiveness andeffective-ness of the development of problem-based learning that utilize LEADadversity quotient to improve the ability of students' mathematical reasoning. Thesubjects of this study are students of Tenth class of Senior High School 1Talangpadang Academic Year 2017/2018. Research data were obtained throughadversity quotient tests and mathematical reasoning tests. Research procedureused Borg and Gall step. Data analysis technique used t-test and N-gain.
The results of this study are (1) preliminary study shows the need for thedevelopment of problem based learning that focuses on the difficulties of studentsin reasoning so that learning should utilizes LEAD adversity quotient, (2) thedevelopment of learning has valid categories and learning administration that alsohave valid categories namely syllabus, lesson plan, and students worksheet withaverage percentage is 86,52%, (3) result of practicality and attractiveness ofproblem-based learning development utilizing LEAD adversity quotient haspractical categorization with average percentage is 83,17% and attractivenesscategory with percentage value is 78.88%, and (4) the effectiveness test resultsshow that problem-based learning that utilizes LEAD adversity quotient iseffective in improving students' mathematical reasoning ability with an averageN-gain of 0.72. Mathematical reasoning ability of students who use problem-based learning that utilizes LEAD adversity quotient is higher than conventionallearning or commonly applied learning.
Keywords: problem based learning, LEAD adversity quotient, mathematicalreasoning.
ABSTRAK
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH YANGMEMANFAATKAN LEAD ADVERSITY QUOTIENT UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARANMATEMATIS PESERTA DIDIK
Oleh
AVISSA PURNAMA YANTI
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untukmendeskripsikan proses dan mendapatkan produk pengembangan pembelajaranberbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient, sertamenganalisis kevalidan, kepraktisan, kemenarikan dan efektivitas pengembanganpembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotientterhadap kemampuan penalaran matematis peserta didik. Subjek penelitian iniadalah peserta didik kelas X SMAN 1 Talangpadang Tahun Pelajaran 2017/2018.Data penelitian diperoleh melalui tes adversity quotient dan tes penalaranmatematis. Prosedur Penelitian menggunakan langkah Borg and Gall. Teknisanalisis data menggunakan uji t dan N-gain.
Hasil penelitian ini, yaitu (1) studi pendahuluan menunjukkan kebutuhandikembangkannya pembelajaran berbasis masalah yang terfokus pada kesulitanpeserta didik dalam menalar sehingga pembelajaran diarahkan denganmemanfaatkan LEAD adversity quotient, (2) pengembangan pembelajaranmemiliki kategori valid dan perangkat pembelajaran yang juga memiliki kategorivalid yaitu silabus, RPP, dan LKPD dengan rata-rata persentase adalah 86,52%,(3) hasil kepraktisan dan kemenarikan pengembangan pembelajaran berbasismasalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient memiliki kotegori praktisdengan rata-rata persentase adalah 83,17% dan kategori menarik denganpersentase nilai adalah 78,88%, dan (4) hasil uji efektivitas menunjukkan bahwapembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotientefektif dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didikdengan rata-rata N-gain sebesar 0,72. Kemampuan penalaran matematis pesertadidik yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkanLEAD adversity quotient lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajarankonvensional atau pembelajaran yang biasa diterapkan.
Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, LEAD adversity quotient, penalaranmatematis.
PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH YANGMEMANFAATKAN LEAD ADVERSITY QUOTIENT UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARANMATEMATIS PESERTA DIDIK
Oleh
AVISSA PURNAMA YANTI
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarMAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
pada
Program Studi Magister Pendidikan MatematikaFakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKAFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNGBANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Avissa Purnama Yanti dilahirkan di
Talangpadang Kecamatan Gunung Alip Kabupaten Tang-
gamus Lampung pada tanggal 15 Februari 1994. Penulis
merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Anak
dari pasangan Bapak Apsani, S.Pd dan Ibu Asiah, S.Pd.
Pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis adalah Taman Kanak-Kanak di
TK Darma Wanita Pagelaran tamat pada tahun 2000, Sekolah Dasar di SDN 1
Kedaloman tamat pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama di MTs Negeri 2
Tanggamus tamat pada tahun 2009, Sekolah Menengah Atas di MAN 1
Pringsewu tamat pada tahun 2012 dan Program Sarjana (S-1) jurusan Pendidikan
Matematika di Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung tamat pada
tahun 2016. Kemudian pada tahun yang sama yaitu 2016, penulis melanjutkan
pendidikan pada Program Pascasarjana (S-2) di Universitas Lampung Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan dengan Program Studi Magister Pendidikan
Matematika.
MOTTO
Semua manusia itu pasti mampu, pasti bisa. Mampu karena mau untuk mampu.Bisa karena mau untuk bisa. Adanya perbedaan dikarenakan ada manusia yang
tidak mau mampu dan tidak mau bisa. Tugas manusia pada dasarnya bukanuntuk mampu atau bisa tetapi untuk mencoba karena dalam mencoba,
manusia akan merasakan bahwa dirinya mampu. Allah telah berjanjidalam firmannya Q.S Al- Najm: 39 yaitu “Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakan”.
Avissa Purnama Yanti
Persembahan
Dengan Mengucap Syukur Kepada Allah SWT
Kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda cinta & kasih sayangku kepada.
Kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda Apsani, SPd dan Ibunda Asiah,S.Pd yang telah membesarkan, mendidik, mencurahkan kasih sayang, dan
selalu mendoakan kebahagiaan dan keberhasilanku.
Adik-adikku (Novela Azalia, M. Ilham Nouval dan M. Iqbal Hafidho)yang telah mendo’akan, memberi dukungan dan semangatnya padaku.
Teman-teman seperjuangan Magister Pendidikan Matematika
dan
Almamater Universitas Lampung tercinta.
xi
SANWACANA
Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengembangan Pembelajaran Berbasis
Masalah yang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient untuk Meningkatkan
Kemampuan Penalaran Matematis Peserta Didik” sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penyusunan tesis ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada.
1. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd, selaku Ketua Program Studi Magister
Pendidikan Matematika, dan Dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk konsultasi dan memberikan bimbingan,
sumbangan pemikiran, kritik, dan saran selama penyusunan tesis, sehingga
tesis ini menjadi lebih baik.
2. Bapak Dr. Budi Koestoro, M.Pd, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan sumbangan
pemikiran, kritik, dan saran serta motivasi dan semangat demi
terselesaikannya tesis ini.
xii
3. Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd, selaku Dosen Pembahas (Penguji 1) yang
telah memberikan masukan, kritik, dan saran kepada penulis sehingga tesis
ini menjadi lebih baik.
4. Ibu Dr. Asmiati, S.Si., M.Si, selaku ahli materi pada LKPD dan Penguji 2
yang telah banyak memberikan saran dan masukan sehingga tesis ini menjadi
lebih baik.
5. Ibu Dr. Adelina Hasyim, M.Pd, selaku ahli desain pembelajaran yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan saran dan
masukan kepada penulis untuk memperbaiki desain pengembangan
pembelajaran, Silabus, RPP, dan LKPD ini agar menjadi lebih baik.
6. Bapak Dr. Nanang Supriadi, M.Sc, selaku ahli media pada LKPD yang telah
memberikan saran dan masukan sehingga LKPD ini menjadi lebih baik.
7. Bapak Andi Thahir, S.Psi., M.A., Ed.D, selaku ahli psikologi pada angket
Adversity Respon Profile (ARP) yang telah banyak memberikan saran dan
masukan sehingga ARP untuk Adversity Quotient menjadi lebih baik.
8. Ibu Mella Triana, M.Pd, selaku ahli materi untuk soal kemampuan penalaran
matematis yang telah memberikan saran dan masukan sehingga soal
kemampuan penalaran matematis menjadi lebih baik.
9. Bapak Zulianda, M.Pd selaku guru di SMA N 1 Talangpadang yang telah
bersedia memberikan waktu, motivasi dan semangat kepada penulis untuk
menyelesaikan tesis terkait penggunaan bahasa Inggris yang baik.
10. Bapak Prof. Drs. Mustofa, MA., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Lampung, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan
perhatian dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan tesis.
xiii
11. Bapak Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd, selaku Dekan FKIP Universitas Lam-
pung, beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
12. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Matematika di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.
13. Bapak Sudirman, S.Pd, selaku Kepala SMA N 1 Talangpadang beserta Wakil,
staff, guru dan karyawan yang telah memberikan izin dan kemudahan selama
penelitian.
14. Peserta didik kelas X IPA 4, X IPA 5, X IPA 1, dan XI IPA 1 SMA N 1
Talangpadang yang selalu semangat.
15. Sahabat-sahabat spesial (Mushlihah Rohmah, M.Pd, Mega Kusuma
Listyotami, M.Pd, Madya Hutabarat, S.Pd dan Yola Citra Lutfianingtyas,
S.Pd) yang telah memberikan kenangan indah, persaudaraan, motivasi,
semangat dan dukungan serta kecerian kepada penulis.
16. Teman-teman Program Studi Magister Pendidikan Matematika Universitas
Lampung.
17. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Semoga dengan kebaikan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan pada
penulis, mendapat balasan pahala yang setimpal dari Allah SWT dan semoga tesis
ini dapat bermanfaat.
Bandar Lampung, Oktober 2018Penulis
Avissa Purnama Yanti
xiv
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ................................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xx
I. PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1B. Rumusan Masalah ................................................................... 8C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8D. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKAA. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) .................................. 10B. LEAD Adversity Quotient ........................................................ 16C. Kemampuan Penalaran Matematis .......................................... 21D. Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah yang Me-
manfaatkan LEAD Adversity Quotient untuk MeningkatkanKemampuan Penalaran Matematis ........................................... 27
E. Teori Pembelajaran Matematika yang Mendukung ................. 31F. Penelitian yang Relevan .......................................................... 32G. Kerangka Berpikir ................................................................... 34
III. METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian ........................................................................ 41B. Lokasi, Waktu, dan Subjek Penelitian ..................................... 41C. Prosedur Penelitian .................................................................. 44D. Instrumen Penelitian ................................................................ 49E. Teknik Analisis Data ................................................................ 66
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANA. Hasil Penelitian ........................................................................ 77
1. Proses dan Produk Pengembangan Pembelajaran BerbasisMasalah yang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient... 77
2. Hasil Validitas, Kepraktisan, dan Kemenarikan Pengem-bangan Pembelajaran Berbasis Masalah yang Memanfaat-kan LEAD Adversity Quotient ........................................... 109
xv
3. Hasil Efektivitas Pembelajaran Berbasis Masalah yangMemanfaatkan LEAD Adversity Quotient untuk Mening-katkan Kemampuan Penalaran Peserta Didik..................... 114
B. Pembahasan ............................................................................. 1181. Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah yang
V. SIMPULAN DAN SARANA. Simpulan .................................................................................. 132B. Saran ........................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 135
2.3 Indikator Kemampuan Penalaran Matematis Peserta Didik dalamMemecahkan Masalah .................................................................... 26
2.4 Sintak Proses PBM dan LEAD Adversity Quotient ......................... 29
3.1 Subjek Validasi Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalahyang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient untuk Mening-katkan Kemampuan Penalaran Matematis Peserta Didik ............... 42
3.2 Rancangan Uji Coba Lapangan ...................................................... 48
3.3 Pedoman Penilaian Tes Kemampuan Penalaran Matematis ........... 59
3.4 Interpretasi Kemampuan Penalaran Matematis ............................... 60
3.6 Interpretasi Tingkat Kesukaran ....................................................... 64
3.7 Tingkat Kesukaran Butir Soal ......................................................... 64
3.8 Interpretasi Nilai Daya Pembeda ..................................................... 65
3.9 Daya Pembeda Butir Soal ............................................................... 65
3.10 Kriteria Tingkat Kevalidan dan Revisi Produk .............................. 68
3.11 Kriteria Kepraktisan Analisis Nilai Rata-rata ................................. 69
3.12 Kriteria Tingkat Kemenarikan Produk ........................................... 69
3.13 Hasil Uji Normalitas ........................................................................ 71
3.14 Hasil Uji Homogenitas ................................................................... 73
3.15 Kriteria Indeks Gain ........................................................................ 76
4.1 Tipe Adversity Quotient ................................................................... 80
4.2 Kategori Penilaian Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalahyang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient oleh Ahli DesainPembelajaran.................................................................................... 109
4.3 Kategori Penilaian Silabus oleh Ahli Desain pembelajaran ........... 110
xvii
4.4 Kategori Penilaian RPP oleh Ahli Desain pembelajaran................. 110
4.5 Kategori Penilaian LKPD oleh Ahli Desain pembelajaran ............ 110
4.6 Kategori Penilaian LKPD oleh Ahli Materi ................................... 111
4.7 Kategori Penilaian LKPD oleh Ahli Media .................................... 111
4.8 Kategori Penilaian Tanggapan Guru Matematika Terhadap Pem-belajaran Berbasis Masalah yang Memanfaatkan LEAD AdversityQuotient .......................................................................................... 112
4.9 Kategori Penilaian Tanggapan Peserta Didik Uji Coba Awal Ter-hadap Pembelajaran Berbasis Masalah yang Memanfaatkan LEADAdversity Quotient .......................................................................... 113
4.10 Kategori Penilaian Tanggapan Peserta Didik Uji Coba TerhadapPembelajaran Berbasis Masalah yang Memanfaatkan LEAD Ad-versity Quotient ............................................................................... 113
4.11 Kategori Penilaian Kemenarikan Pembelajaran Berbasis Masalahyang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient oleh peserta didik . 114
4.12 Data Skor Pretest (Kemampuan Awal Penalaran Matematis) ........ 115
4.13 Hasil Uji t Skor Pretest ................................................................... 116
4.14 Data Skor Posttest (Kemampuan Akhir Penalaran Matematis) ..... 116
4.15 Hasil Uji t Skor Posttest .................................................................. 117
4.16 Uji t Skor Pretest - Posttest ........................................................... 118
4.17 Data Indeks N-Gain Kemampuan Penalaran Matematis ................ 119
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Desain Awal Proses PBM yang Memanfaatkan LEAD AdversityQuotient untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis. 30
4.29 Kegiatan dalam Uji Coba Pengembangan Pembelajaran BerbasisMasalah yang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient pada Ke-las X IPA 1....................................................................................... 97
4.30 Kegiatan Uji Coba Soal Evaluasi Penalaran Matematis ................. 98
4.31 Kegiatan Pendahuluan pada Pembentukan Kelompok ................... 101
4.32 Kegiatan Inti ................................................................................... 102
4.33 Kegiatan Penutup Saat Mengutarakan Kesulitan dan Menarik Ke-simpulan .......................................................................................... 103
4.34 Langkah-langkah PBM yang Memanfaatkan LEAD Adversity Quo-tient untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis ........ 105
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A. Perangkat PembelajaranA.1 Produk Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah yang
Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient untuk MeningkatkanKememampuan Penalaran Matematis Peserta Didik.................. 141
B. Analisis DataB.1 Analisis Validitas Soal Evaluasi Penalaran Matematis ............. 291B.2 Analisis Reliabilitas Soal Evaluasi Penalaran Matematis ......... 292B.3 Analisis Tingkat Kesukaran Soal Penalaran Matematis ............. 293B.4 Analisis Daya Pembeda Soal Penalaran Matematis .................. 294B.5 Hasil Pretest dan Posttest X IPA 4 (Eksperimen) ..................... 295B.6 Hasil Pretest dan Posttest X IPA 5 (Kontrol) ............................ 296B.7 Analisis Data Normalitas ........................................................... 297B.8 Analisis Data Homogenitas ........................................................ 299B.9 Analisis Uji-t .............................................................................. 300B.10 Analisis N-Gain ......................................................................... 302B.11 Deskripsi Nilai X IPA 4 (Eksperimen) SPSS ............................ 303B.12 Deskripsi Nilai X IPA 5 (Kontrol) SPSS ................................... 304B.13 Analisis Hasil Validasi Pengembangan PBM yang Memanfaat-
kan LEAD Adversity Quotient untuk Meningkatkan Kemampu-an Penalaran Matematis (Ahli Desain Pembelajaran (DP)) ....... 305
B.14 Analisis Hasil Validasi Silabus (Ahli DP) ................................. 306B.15 Analisis Hasil Validasi RPP (Ahli DP) ..................................... 307B.16 Analisis Hasil Validasi LKPD (Ahli DP) .................................. 308B.17 Analisis Hasil Validasi LKPD (Ahli Materi).............................. 309B.18 Analisis Hasil Validasi LKPD (Ahli Media) ............................. 310B.19 Analisis Hasil Validasi Soal (Ahli Materi) ................................ 311B.20 Analisis Validasi ARP (Ahli Psikologi) .................................... 312B.21 Analisis Hasil Tanggapan Guru.................................................. 313B.22 Analisis Tanggapan X IPA 1 (Uji Awal) ................................... 314
xxi
B.23 Analisis Tanggapan X IPA 4 (Uji Coba) ................................... 315B.24 Analisis Kemenarikan X IPA 4 ................................................. 316B.25 Tipe AQ X IPA 4 ........................................................................ 317B.26 Tipe AQ X IPA 1 ....................................................................... 319
C. Data Penelitian PendahuluanC.1 Lembar Observasi Pembelajaran ................................................ 322C.2 Lembar Wawancara oleh Guru ................................................... 325C.3 Lembar Wawancara oleh Kelas X .............................................. 327C.4 Lembar Wawancara oleh Kelas XI ............................................. 329
D. Angket dan Surat-menyuratD.1 Angket Validasi Pengembangan Pembelajaran (Ahli DP) ......... 330D.2 Angkat Validasi Silabus (Ahli DP) ............................................ 336D.3 Angkat Validasi RPP (Ahli DP) ................................................. 343D.4 Angkat Validasi LKPD (Ahli DP) .............................................. 350D.5 Angkat Validasi LKPD (Ahli Materi) ........................................ 358D.6 Angkat Validasi LKPD (Ahli Media) ......................................... 368D.7 Angket Validasi Saol (Ahli Materi) ........................................... 377D.8 Angket Validasi ARP (Ahli Psikologi) ...................................... 384D.9 Angket Tanggapan Guru Matematika ........................................ 392D.10 Angket Tanggapan Peserta Didik (Awal dan Uji Coba) ............ 397D.11 Angket Kemenarikan Pembelajaran ........................................... 401D.12 Surat Izin Penelitian ................................................................... 404D.13 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian ..................... 405
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah proses atau usaha yang dilakukan seseorang dalam rangka
mengembangkan pengetahuan, kepribadian dan kemampuan sebagai usaha
mendewasakan diri baik itu di dalam maupun di luar sekolah. Pendidikan
berperan dalam menciptakan insan yang cerdas, kreatif, terampil, bertanggung
jawab, produktif, dan berakhlak. Melalui pendidikan yang bermutu, akan tercipta
sumber daya manusia yang berkualitas. Seiring berkembangnya zaman, maka
mutu pendidikan akan terus berubah mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Oleh karena itu pembaharuan pendidikan di Indonesia perlu terus
dilakukan untuk menciptakan dunia pendidikan yang fleksibel terhadap perubahan
zaman dalam suatu proses yang disebut pembelajaran.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
oleh guru sebagai pendidik dan peserta didik dalam kegiatan pengajaran dengan
menggunakan sarana dan fasilitas pendidikan yang ada untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Salah satu tujuan pembelajaran
matematika di sekolah sesuai Permendiknas No. 22 Tahun 2006 (Tim Depdiknas,
2006: 346) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan penalaran dalam
menarik kesimpulan pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam
2
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika. Selain sebagai tujuan pembelajaran matematika, NCTM (2000: 29)
menyatakan bahwa penalaran menjadi salah satu satandar proses dalam
pembelajaran matematika.
Suparno dan Yunus (2006: 41) mendefinisikan penalaran adalah proses berpikir
sistematik dan logis untuk memperoleh sebuah simpulan (pengetahuan atau
keyakinan). Hidayati (2015: 132) memaparkan pernyataan yang disampaikan oleh
Brodie yaitu “Mathematical reasoning is reasoning about and with the object of
mathematics”. Selanjutnya pernyataan Brodie, dapat diartikan bahwa penalaran
matematis adalah penalaran tentang objek matematika. Berdasarkan penjabaran
tentang penalaran dan penalaran matematika, maka dapat disimpulkan bahwa
kemampuan penalaran matematis adalah kesanggupan atau kecakapan seseorang
membuat kesimpulan logis dan sistematis dalam memecahkan masalah
matematika melalui proses berpikir logis berdasarkan fakta dan sumber yang
relevan.
Penalaran peserta didik sangat penting untuk dipelajari dan dikembangkan. Pada
dasarnya setiap penyelesaian soal matematika memerlukan kemampuan
penalaran. Melalui penalaran, peserta didik diharapkan dapat melihat bahwa
matematika merupakan kajian yang masuk akal atau logis sehingga peserta didik
merasa yakin bahwa matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan
dapat dievaluasi. Selain itu juga, kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan
ketika mempelajari matematika maupun mata pelajaran lainnya, namun sangat
dibutuhkan juga ketika memecahkan masalah ataupun saat menentukan keputusan
dalam kehidupan.
3
Kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematis peserta didik
Indonesia masih rendah sejak dari sekolah dasar sampai sekolah menengah
pertama sehingga berpengaruh pada jenjang selanjutnya. Hal ini sesuai dengan
hasil The Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun
2015 yang menunjukkan bahwa pada domain reasoning (penalaran) rata-rata
persentase peserta didik Indonesia yang menjawab benar hanya 20%. Skor
penalaran ini terendah dari semua konten, sedangkan rata-rata internasional adalah
sebesar 45% yang mampu menjawab benar. Ini membawa Indonesia memperoleh
ranking 45 dari 50 negara yang mengikuti TIMSS (Mullis, 2016: 13). Rendahnya
kemampuan penalaran matematis juga didukung dengan capaian PISA tahun 2015
yang membawa Indonesia meduduki peringkat 64 dari 72 negara yang dievaluasi
(OECD, 2016: 1).
Beberapa penelitian menunjukkan kurangnya kemampuan matematika peserta
didik yang dilihat dari kinerja dalam bernalar sebagaimana diungkapkan
Wahyudin (1999: 191) bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan
sejumlah siswa gagal menguasai pokok-pokok bahasan matematika adalah akibat
mereka kurang menggunakan nalar yang logis dalam menyelesaikan soal atau
persoalan matematika yang diberikan. Faktor penyebab kurangnya penggunaan
nalar diungkapkan oleh Ario (2016: 134) yang menyimpulkan bahwa ragam
kesalahan yang dilakukan peserta didik dalam menalar adalah kesalahan
memahami maksud soal, kesalahan menggunakan rumus, kesalahan dalam
melakukan operasi hitung, ketidakpahaman konsep, dan kesulitan menuliskan
alasan dalam bentuk tertulis.
4
Rendahnya kemampuan penalaran matematis juga terlihat berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan pada tanggal 13 November 2017 di SMAN 1
Talangpadang pada Penilain Harian (PH) peserta didik kelas X IPA 5, dimana
bentuk soal yang diujikan adalah soal yang dapat dikategorikan soal penalaran
pada materi Persamaan Nilai Mutlak Linear Satu Variabel. Jumlah peserta didik
yang mengerjakan PH adalah 36 peserta didik. Peserta didik tersebut yaitu (1) 10
peserta didik mengerjakan soal dengan hasil yang benar dengan rincian 2 peserta
didik mampu mengerjakan sesuai langkah-langkah penalaran matematis secara
lengkap meliputi menyebutkan apa yang diketahui dan ditanyakan, menuliskan
strategi, melaksanakan penyelesaian soal secara sistematis, membuat kesimpulan
secara umum dan membuat kesimpulan yang logis. 8 peserta didik yang tersisa
mengerjakan tanpa membuat kesimpulan yang logis.
Hasil lainnya yaitu (2) 19 peserta didik mengerjakan soal dengan menyebutkan
apa yang diketahui dan ditanyakan, membuat rencana namun kurang tepat,
melaksanakan penyelesaian soal tetapi tidak sistematis, tidak membuat
kesimpulan logis serta tidak mendapatkan hasil yang benar, dan (3) 7 peserta
didik mengerjakan soal hanya dengan menuliskan proses penyelesaian namun
tidak logis dan mendapatkan hasil yang salah. Berdasarkan penjabaran ini
diketahui hanya 2 peserta didik yang memiliki kemampuan penalaran yang sesuai.
Rendahnya kemampuan penalaran matematis juga terlihat berdasarkan hasil
wawancara dengan guru mata pelajaran matematika dan peserta didik kelas X
pada tanggal 13 November 2017 di SMAN 1 Talangpadang. Guru tersebut
mengungkapkan bahwa masih banyak peserta didik yang memiliki nilai
5
matematika rendah. Penyebab nilai matematika peserta didik rendah diduga
karena pemahaman konsep peserta didik terhadap materi yang dipelajari masih
kurang maksimal, hal ini juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman akan
materi-materi yang sebelumnya yang masih berkaitan, sehingga cukup sulit bagi
peserta didik untuk mengerti terutama untuk soal cerita yang membutuhkan
langkah penyelesaian yang panjang dan proses yang rumit. Guru tersebut juga
mengatakan bahwa kebanyakan peserta didik hanya menunggu mendapat
informasi dan penjelasan materi dari guru. Tak hanya itu kurangnya minat peserta
didik untuk membaca buku matematika juga menjadi kendala pada kegiatan
belajar mengajar yang membuat peserta didik kurang latihan soal untuk mengasah
kemampuan penalaran matematisnya.
Selain itu ketika wawancara dengan salah satu peserta didik, peserta didik tersebut
mengungkapkan bahwa mengerti dengan konsep yang dijelaskan guru namun jika
soal yang dirubah sedikit, peserta didik mengalami kebingungan. Peserta didik
juga mengaku merasa malas bertanya jika menemui kesulitan tentang soal-soal
penalaran. Peserta didik mengungkapkan bahwa salah satu penyebabnya adalah
guru kurang memancing peserta didik untuk bertanya.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, guru dapat mengupayakan
pembelajaran dengan menggunakan model-model belajar yang inovatif, yakni
yang dapat memberikan peluang dan mendorong peserta didik untuk melatihkan
kemampuan penalaran. Upaya peningkatan kemampuan dan keterampilan berpikir
matematika peserta didik khususnya kemampuan penalaran matematis perlu
mendapat perhatian dan usaha yang serius dari guru sebagai objek sentral dalam
proses pembelajaran. Guru sebagai salah satu faktor penting penentu keberhasilan
6
pembelajaran berperan dalam merencanakan, mengelola, mengarahkan dan
mengembangkan materi pembelajaran termasuk di dalamnya pemilihan model,
pendekatan atau metode yang digunakan sangat menentukan jenis interaksi
pembelajaran yang dilakoni peserta didik sekaligus keberhasilan pengajaran
matematika.
Salah satu pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kemampuan penalaran
matematis peserta didik adalah pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu pembelajaran yang menggunakan masalah
dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pembelajaran. Menurut Arends
(2008: 43) PBM dirancang terutama untuk membantu peserta didik
mengembangkan keterampilan berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah,
dan keterampilan intelektualnya.
Selain dengan penerapan pembelajaran yang sesuai, untuk dapat meningkatkan
kemampuan penalaran matematis juga diperlukan ketahanan atau kecerdasan
dalam menghadapi masalah sehingga masalah tersebut sukses diselesaikan.
Ketahanan atau kecerdasan dalam menghadapi masalah ini disebut adversity
quotient pertama kali dicetuskan pada tahun 1997 oleh Paul G. Stoltz. Seorang
konsultan yang sangat terkenal dalam topic- topic kepemimpinan di dunia kerja dan
dunia pendidikan berbasis skill. Ada suatu cara yang dikemukakan oleh Stoltz
untuk meningkatkan adversity quotient yaitu LEAD adversity quotient.
7
LEAD adversity quotient adalah singkatan dari langkah-langkah meningkatkan
ketahanan seseorang dalam menghadapi masalah. Rangkaian LEAD adalah L =
Listen (dengarkan respon anda terhadap kesulitan), E = Explore (jajaki asal usul
dan pengakuan anda atas akibatnya), A = Analyze (analisis bukti-buktinya), dan D
= Do (lakukan sesuatu/ambil tindakan) (Stoltz, 2000: 203). Berdasarkan
pernyataan tersebut kita ketahui bahwa LEAD adalah singkatan dari langkah-
langkah peningkatan adversity quotient. Menurut Stoltz LEAD sangat efektif
untuk membantu orang menciptakan perbaikan-perbaikan permanen dalam
adversity quotient serta cara merespon kesulitan (Sudarman, 2012: 58). Ketika
LEAD adversity quotient efektif meningkatkan kecerdasan seseorang dalam
menghadapi masalah, maka jika diterapkan dalam pembelajaran matematika maka
maka LEAD adversity quotient juga diharapkan mampu meningkatkan
kemampuan penalaran matematis siswa dalam memecahkan masalah matematika.
Berdasarkan teori, PBM dapat memfasilitasi kemampuan matematis peserta didik
melalui belajar cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah seperti
yang diungkapkan pada beberapa penelitian diatas. LEAD adversity quotient juga
juga diharapkan mampu meningkatkan ketahanan seseorang melakukan proses
penalaran dalam memecahkan masalah. Jika keduanya dikombinasikan menjadi
menjadi pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan langkah-langkah
LEAD adversity quotient diharapkan mampu memaksimalkan peningkatan
kemampuan penalaran matematis. Berdasarkan penjabaran tersebut, maka
perlunya pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan
LEAD adversity quotient untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis
peserta didik.
8
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses dan produk pengembangan pembelajaran berbasis masalah
yang memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk meningkatkan
kemampuan penalaran matematis peserta didik?
2. Bagaimana kevalidan, kepraktisan dan kemenarikan produk pengembangan
pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik?
3. Bagaimana efektifitas produk pengembangan pembelajaran berbasis masalah
yang memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk meningkatkan
kemampuan penalaran matematis peserta didik?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mendeskripsikan proses dan mendapatkan produk pengembangan
pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity
quotient untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik.
2. Untuk mengetahui kevalidan, kepraktisan, dan kemenarikan produk
pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD
adversity quotient untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis
peserta didik.
9
3. Untuk mengetahui efektifitas produk pengembangan pembelajaran berbasis
masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk meningkatkan
kemampuan penalaran matematis peserta didik.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dalam
pendidikan matematika tentang pengembangan pembelajaran berbasis masalah
yang memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk meningkatkan
kemampuan penalaran matematis peserta didik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, melalui penelitian ini diharapkan guru mengenal dan
mengetahui pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang
memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk meningkatkan kemampuan
penalaran matematis peserta didik serta menjadi pertimbangan untuk
memperoleh suatu pendekatan pembelajaran yang lebih efektif.
b. Bagi sekolah, memberikan informasi dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan dan mutu sekolah.
c. Bagi peneliti lain, dapat menjadi sarana bagi pengembangan diri,
menambah pengetahuan dan diharapkan dapat disajikan referensi dalam
melakukan penelitian lain dengan memperluas dan memperdalam lingkup
penelitian yang berkaitan dengan pengembangan pembelajaran berbasis
masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk
meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) atau Problem Based Learning (PBL)
pertama kali diimplementasikan pada sekolah kedokteran di McMaster University
Kanada pada tahun 60-an. PBM ini didasarkan pada hasil penelitian Barrows and
Tamblyn pada tahun 1980 (Barret, 2005: 13). PBM sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran diterapkan dengan alasan bahwa PBM sangat efektif untuk sekolah
kedokteran dimana mahasiswa dihadapkan pada permasalahan kemudian dituntut
untuk memecahkannya. PBM lebih tepat dilaksanakan dibandingkan dengan
pendekatan pembelajaran tradisional. Hal ini dapat dimengerti bahwa para dokter
yang nanti bertugas pada kenyataannya selalu dihadapkan pada masalah pasiennya
sehingga harus mampu menyelesaikannya. Walaupun pertama dikembangkan
dalam pembelajaran di sekolah kedokteran tetapi pada perkembangan selanjutnya
diterapkan dalan pembelajaran secara umum.
1. Pengertian Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Barrows (Barret, 2005: 14) mendefinisikan PBM sebagai “The learning that
results from the process of working towards the understanding of a resolution of a
problem. The problem is encountered first in the learning process”. Lidinillah
(2007: 1) menyatakan bahwa PBM atau PBL adalah suatu pendekatan
11
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi
peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang
esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.
Berdasarkan pernyataan tentang PBM di atas dapat disimpulkan bahwa PBM
adalah pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai awal dari proses
pembelajaran dan peserta didik diharapkan untuk memecahkan masalah tersebut
melalui pembelajaran yang aktif sehingga peserta didik belajar tentang cara
berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah. Pada proses ini,
pembelajaran berpusat pada peserta didik sehingga peserta didik diarahkan lebih
aktif, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator.
2. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu menjelaskan karakteristik
dari PBM (Shoimin, 2014: 130), yaitu
a. Learning is student-centered
Proses pembelajaran dalam PBM lebih menitikberatkan kepada peserta didik
sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBM didukung juga oleh teori
konstruktivisme dimana peserta didik didorong untuk dapat mengembangkan
pengetahuannya sendiri.
b. Authentic problems form the organizing focus for learning
Masalah yang disajikan kepada peserta didik adalah masalah yang otentik
sehingga peserta didik mampu dengan mudah memahami masalah tersebut
serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.
12
c. New information is acquired through self-directed learning
Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja peserta didik belum
mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga
peserta didik berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari
buku atau informasi lainnya.
d. Learning occurs in small groups
Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun
pengetahuan secara kolaborative, maka PBM dilaksakan dalam kelompok
kecil. Kelompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan
penetapan tujuan yang jelas.
e. Teachers act as facilitators.
Pada pelaksanaan PBM, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Namun,
walaupun begitu guru harus selalu memantau perkembangan aktivitas peserta
didik dan mendorong peserta didik agar mencapai target yang hendak dicapai.
Berdasarkan penjelasan tentang karakteristik dari PBM di atas, dapat diketahui
bahwa karakteristik dari PBM adalah pembelajaran yang berlangsung adalah
berpusat pada peserta didik, kemudian masalah adalah proses awal dalam
pembelajaran. Pada saat proses pemecahan masalah, peserta didik dituntut lebih
aktif dan menggunakan penalarannya dalam rangka usaha untuk memecahkan
masalah, selain itu karakteristik PBM juga adalah pembelajaran dilaksanakan
dalam kelompok kecil, dan guru berperan sebagai fasilitator.
13
3. Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
Barrett (2005: 15) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBM yaitu
a. Peserta didik diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari
pengalaman peserta didik).
b. Peserta didik melakukan diskusi dalam kelompok kecil.
c. Peserta didik melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah
yang harus diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari
sumber di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakukan
observasi.
d. Peserta didik kembali kepada kelompok PBM semula untuk melakukan tukar
informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasaman dalam
menyelesaikan masalah.
e. Peserta didik menyajikan solusi yang mereka temukan.
f. Peserta didik dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh
kegiatan pembelajaran.
Sugiyanto (2008: 140-141) mengemukakan ada 5 tahapan yang harus
dilaksanakan dalam PBM, yaitu (1) memberikan orientasi tentang per-
masalahannya kepada peserta didik, (2) mengorganisasikan peserta didik untuk
meneliti, (3) membantu investigasi mandiri dan kelompok, (4) mengembangkan
dan mempresentasikan hasil, dan (5) menganalisis dan mengevaluasi proses
mengatasi masalah. Berdasarkan dua pendapat tentang langkah-langkah
pelaksanaan PBM di atas, maka PBM dalam penelitian ini mengadaptasi dari dari
kombinasi keduanya yaitu terlihat pada Tabel 2.1 berikut.
14
Tabel 2.1 Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
No Langkah-langkah PBM Kegiatan Guru Kegiatan Peserta didik
1. Mengorientasipeserta didikkepadamasalah
a. Guru menjelaskan tujuanpembelajaran
b. Guru memotivasi pesertadidik
c. Guru membawa peserta didikpada masalah dalamkehidupan sehari-hari
d. Guru mengingatkan materiprasyarat atau memberi intimateri yang akan dipelajari
a. Peserta didik mendengarkanpenjelasan guru
b. Peserta didik menganalisistentang masalah awal yangdiberikan guru
c. peserta didik melakukantanya jawab terkait materiprasyarat yang lupa atautentang inti materi
2. Mengorgani-sasi pesertadidik untukbelajar
a. Guru membagi peserta didikdalam kelompok kecil
b. Guru memberi tahu pesertadidik untuk memecahkanmasalah sesuai dengan idekelompok
a. Peserta didik membentukkelompok sesuai apa yangdiperintahkan oleh guru danmemecahkan masalahdengan berdiskusi dengankelompok
3. Membimbingpenyelidikanindividualmaupunkelompok
a. Guru mendorong pesertadidik untuk mengumpulkaninformasi, melaksanakaneksperimen untukmendapatkan penjelasan danpemecahan masalah denganmelakukan analisis baikindividu, kelompok atau punkeduanya dan
b. Guru memberikan arahanterkait pemecahan masalah
a. Peserta didik menganalisismasalah untuk memecahkanmasalah meliputi memahamimasalah
b. Peserta didik membuatstrategi yang diperlukanuntuk memecahkan masalah
c. Peserta didik melaksanakanproses sesuai strategi yangdisetujui kelompok danbertanya kepada guru jikamengalami kesulitan
4. Mengembang-kan danmenyajikansolusi atauhasil karya
a. Guru membantu peserta didikdalam merencanakan danmenyiapkan solusi atau hasilkarya
b. Guru membimbingmenyimpulkan hasilpemecahan masalah, dan
c. Guru meminta perwakilankelompok untuk menyajikanhasil pemecahan masalah
a. Peserta didik membuat solusiuntuk pemecahan masalah
b. Peserta didik menyimpulkansolusi pemecahan masalah
c. Peserta didik menyajikanhasil pemecahan masalah didepan kelas
1. Control (Kendali) tingkat kendaliyang dirasakan terhadap peristiwayang menimbulkan kesulitan
Kontrol diri peserta didik saat merasakanadanya kesulitan
2. Origin (asal usul) dan Ownership(pengakuan)
Or: Pengakuan terhadap asal usul adanyakesulitanOw: Pengakuan terhadap terjadinyakesulitan
3. Reach (Jangkauan) sejauh manakesulitan dianggap dapat menjangkauke bagian-bagian lain dari kehidupan
Pengakuan peserta didik akan sejauhmana kesulitan dianggap dapatmenjangkau ke bagian-bagian lain darikehidupan
4. Endurance (Daya Tahan) Anggapan peserta didik akan berapa lamakesulitan itu akan berlangsung dan Berapalamakah penyebab kesulitan itu akanberlangsung
Setiap model pembelajaran matematika memiliki tiga kegiatan pokok, yaitu
kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup termasuk Pembelajaran
Berbasis Masalah (PBM). Mungkin saja ada model pembelajaran yang
menggunakan istilah lain, namun pada prinsipnya tetap pada tiga kegiatan pokok
tersebut. Berikut akan diuraikan bagaimana mengintegrasikan LEAD adversity
quotient pada setiap kegiatan pembelajaran matematika (Sudarman, 2012: 61).
Pada kegiatan pendahuluan, adversity quotient disampaikan sebagai bagian dari
apersepsi. Guru menjelaskan secara singkat bahwa sebenarnya pada setiap peserta
20
didik ada potensi yang disebut kecerdasan mengatasi kesulitan. Penjelasan guru
tersebut diharapkan dapat menyadarkan peserta didik bahwa potensi kecerdasan
mengatasi kesulitan yang dimiliki dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
belajar matematika. Pada kegiatan ini diharapkan tidak ada peserta didik yang
menyerah sebelum belajar matematika.
Pada kegiatan inti, guru perlu memperhatikan tingkat adversity quotient peserta
didik. Guru tidak boleh hanya memperhatikan sekelompok peserta didik saja.
Guru sebaiknya memperhatikan peserta didik yang memiliki adversity quotient
tinggi tanpa mengabaikan peserta didik yang memiliki adversity quotient rendah.
Sehingga semua peserta didik merasa diperhatikan. Peserta didik climber mungkin
diberikan tugas tambahan yaitu memberikan pengayaan, sambil guru
membimbing peserta didik camper dan quitter. Dalam situasi seperti ini pekerjaan
guru memang tidak mudah. Namun demikian sebenarnya guru dapat
memanfaatkan potensi peserta didik climber menjadi tutor sebaya kepada teman-
temannya yang lain. Peserta didik climber juga dapat berperan sebagai ketua
sekaligus juru bicara setiap kelompok pada diskusi kelompok maupun disksusi
kelas. Pemanfaatan potensi peserta didik climber dalam setiap pembelajaran
matematika untuk keperluan tertentu sangat tergantung kepada kreatifitas guru.
Pada kegiatan penutup guru juga perlu memerhatikan adversity quotient peserta
didik. Peserta didik climber dapat diarahkan guru untuk membantu teman-
temannya dalam menyimpulkan hasil diskusi, merangkum materi pelajaran. Tugas
pekerjaan rumah sebaiknya dikerjakan secara berkelompok. Ketiga tipe peserta
didik sebaiknya didistribusi secara merata pada setiap kelompok.
21
C. Kemampuan Penalaran Matematis
Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1995: 623) berasal dari kata “mampu”
yang berarti kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan. Sedangkan menurut Uno,
kemampuan adalah merujuk pada kinerka seseorang dalam suatu pekerjaan yang
bisa dilihat dari pikiran, sikap, dan perilakunya (Uno, 2016: 129). Berdasarkan
penjelasan tentang kemampuan yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa kemampuan merupakan kecakapan ataupun kesanggupan yang dimiliki
seseorang dalam memecahkan suatu soal yang dapat dilihat pikiran, sikap, dan
perilakunya. Pada umumnya, kemampuan matematika merupakan kemampuan
yang telah dimiliki peserta didik dalam pelajaran matematika, namun berbeda
kadarnya. Kemampuan tersebut salah satunya adalah kemampuan penalaran
matematis.
Suparno dan Yunus (2006: 41) mendefinisikan penalaran adalah proses berpikir
sistematik dan logis untuk memperoleh sebuah simpulan (pengetahuan atau
keyakinan). Sejalan dengan Suparno, Johansson (2015: 23) mendefinisikan
penalaran sebagai “the line of thought adopted to produce assertions and reach
conclusions in task solving”. Berdasarkan uraian tentang penalaran di atas maka
dapat disimpulkan bahwa penalaran adalah suatu kegiatan berpikir logis dan
sistematis untuk mengumpulkan fakta, mengelola, menganalisis, menjelaskan, dan
membuat kesimpulan yang berguna untuk memahami dan menyelesaikan
masalah.
22
Berbicara mengenai penalaran matematis, Widjaja (2010: 5) mengemukakan
pengertian penalaran matematis yang disampaikan oleh Ball, Lewis & Thamel,
yang dapat diartikan bahwa penalaran matematika atau penalaran matematis
adalah fondasi untuk mengkonstruk pengetahuan matematika. Hidayati (2015:
132) memaparkan pernyataan yang disampaikan oleh Brodie yaitu “Mathematical
reasoning is reasoning about and with the object of mathematics”. Selanjutnya
pernyataan itu dapat diartikan bahwa penalaran matematis adalah penalaran
tentang objek matematika. Menurut Wardhani (2008: 12) ada dua cara untuk
menarik kesimpulan yaitu secara induktif dan deduktif, yang selanjutnya dikenal
istilah penalaran induktif dan penalaran deduktif. Berdasarkan beberapa uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa penalaran matematis adalah suatu kegiatan,
suatu proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan atau membuat suatu
pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa pernyataan yang diketahui
sebelumnya menggunakan cara logis baik penalaran deduktif maupun induktif.
Berdasarkan uraian tentang kemampuan, penalaran dan penalaran matematis
diatas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan penalaran matematis adalah
kesanggupan atau kecakapan seseorang membuat kesimpulan logis dan sistematis
dalam memecahkan masalah matematika melalui proses berpikir logis
berdasarkan fakta dan sumber yang relevan. Menurut Adagoke (2013: 54)
“Success in mathematics reasoning ability reliably predicted success in
mathematics attainment” yang berarti bahwa keberhasilan dalam kemampuan
penalaran matematika dapat dipercaya memprediksi keberhasilan dalam
pencapaian matematika. Jadi mengembangkan kemampuan penalaran dalam
pembelajaran matematika menjadi penting karena akan berdampak dalam
23
pemetaan nalar pembelajar terutama pada saat pengambilan keputusan ketika
menyelesaikan permasalahan.
Depdiknas (Shadiq, 2004: 3) menyatakan bahwa materi matematika dan penalaran
matematika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi
matematika dipahami melalui penalaran dan penalaran dipahami dan dilatih
melalui belajar materi matematika. Berdasarkan hasil penelitian Baig (2006: 15)
menyatakan bahwa ada dua faktor penting yang di dapat dalam “Learning
Mathematical Rules with Reasoning” yaitu peserta mampu menjelaskan apa
pemikiran mereka dan terlibat dalam proses memperoleh konsep.
Dasar pentingnya mengembangkan kemampuan penalaran matematis untuk
peserta didik dikarenakan penalaran merupakan salah satu standar yang sangat
dibutuhkan dalam pembelajaran matematika yaitu standar proses dan menjadi
salah satu tujuan dari pembelajaran matematika serta sangat dibutuhkan untuk
pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menyampaikan ide
ketika belajar matematika (NCTM, 2000: 29., Jeannotte, 2015:1). Hal ini juga
sejalan dengan penjelasan Ayal (2016: 50) yaitu “mathematical reasoning plays
an important role, both in solving problems and in conveying ideas when learning
mathematics”.
Baroody (1993:2-59) mengungkapkan ada empat alasan mengapa penalaran
penting untuk matematika dan kehidupan sehari-hari, yaitu
1. The reasoning needed to do mathematics, penalaran diperlukan untuk
mengerjakan matematika. Ini artinya penalaran berperan penting dalam
pengembangan dan aplikasi matematika.
24
2. The need for reasoning in school mathematics, penalaran dibutuhkan dalam
pelajaran matematika di sekolah. Hal ini jelas terlihat bahwa untuk menguasai
konsep matematika dengan benar diperlukan penalaran dalam pembelajaran
matematika.
3. Reasoning involved in other content area, artinya keterampilan-keterampilan
penalaran dapat diterapkan pada ilmu-ilmu lainnya. Dapat dikatakan bahwa
penalaran menunjang pengembangan ilmu lainnya.
4. Reasoning needed for everyday life, artinya penalaran berguna untuk
kehidupan sehari-hari.
Banyak indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketercapaian Kemampuan
penalaran matematis peserta didik diantaranya menurut NCTM (2000: 56-59)
meliputi (1) memperkirakan jawaban dan proses solusi, (2) menganalisis
pernyataan-pernyataan dan memberikan penjelasan/alasan yang dapat mendukung
atau bertolak belakang, (3) mempertimbangkan validitas dari argumen yang
menggunakan berpikir deduktif atau induktif, dan (4) menggunakan data yang
mendukung untuk menjelaskan mengapa cara yang digunakan dan jawaban adalah
benar, serta memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-
sifat, dan hubungan. Indikator penalaran matematis dalam memecahkan masalah
menurut Hidayati (2015: 134) yaitu (1) mengetahui pernyataan-pernyataan dan
memberikan penjelasan/alasan yang dapat mendukung, (2) memperkirakan
jawaban dan proses solusi, (3) ada pola/cara dan hubungan untuk menarik
kesimpulan.
25
Indikator untuk mengetahui kemampuan penalaran peserta didik menurut Agustin
(2016: 181) adalah peserta didik mampu (1) menganalisis situasi matematik, (2)
merencanakan proses penyelesaian, (3) memecahkan persoalan dengan langkah
yang sistematis, (4) menarik kesimpulan yang logis. Indikator Agustin sejalan
dengan indikator yang dikemukakan oleh Ayal (2016: 52) yaitu (1) the ability of
the students draw logical conclusions based on existing data; (2) the ability of the
students check the validity of the arguments in the work on the problems; (3) the
ability of students to explain the figures and tables they use in solving problems;
and (4) the ability of students to prove the relationship between mathematical
concepts.
Berdasarkan penjabaran tentang indikator penalaran matematis di atas, maka
proses penalaran berlangsung saat peserta didik melakukan proses pemecahan
masalah. Berdasarkan alasan ini, maka indikator penalaran matematis pada
penelitian ini disesuaikan dengan tahapan dalam memecahkan masalah
matematika. Tahapan pemecahan masalah matematika yang akan digunakan
adalah menurut Polya. Polya (Nafi’an, 2011: 572) menguraikan empat tahapan
dalam menyelesaikan soal cerita, yaitu sebagai berikut (1) memahami masalah
(underst manding the problem), (2) merencanakan pemecahan masalah (devising
a plan), (3) melaksanakan rencana pemecahan masalah (carrying out the plan),
dan (4) memeriksa kembali solusi yang diperoleh (looking back). Adapun
indikator penalaran matematis dalam memecahkan masalah matematika dalam
penelitian ini disesuaikan dengan indikator menurut Agustin (2016: 181) dan Ayal
(2016: 52) yaitu terlihat pada Tabel 2.3.
26
Tabel 2.3 Indikator Kemampuan Penalaran Matematis Peserta didik dalamMemecahkan Masalah
Peserta didik mampu menganalisis situasi matematisyaitu mampu menuliskan atau menyebutkan apa yangdiketahui dan yang ditanyakan dalam soal sertamenghubungkan dengan cara penyelesaiannya denganlengkap dan benar
Merencanakan pemecahanmasalah (devising a plan).
Peserta didik mampu membuat rencana prosespenyelesaian dengan lengkap dan benar
Melaksanakan rencanapemecahan masalah (carryingout the plan).
Peserta didik mampu melaksanakan proses pemecahanpersoalan dengan langkah yang sistematis danmendapatkan hasil yang benar
Memeriksa kembali solusiyang diperoleh (looking back).
Peserta didik mampu menarik kesimpulan yang logisdengan memberikan alasan pada langkah penye-lesaiannya dengan lengkap dan benar
Berdasarkan hubungan antara proses pemecahan masalah dan proses penalaran
maka peningkatan penalaran matematis peserta didik dapat dilakukan dengan
menyajikan masalah dalam pembelajaran dan berpusat pada peserta didik sebagai
orang yang belajar. Pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD
adversity quotient diharapkan menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan
kemampuan penalaran matematis. Seperti yang diutarakan Mueller (2014, 17)
bahwa students can learn that, with practice and careful analysis of task design,
students’ approaches to problems can sometimes (although not always) be
anticipated, and can learn which teacher moves can effectively move students’
mathematical reasoning to a higher level yang berarti guru dapat secara efektif
meningkatkan penalaran matematis peserta didik melalui latihan dan analisis yang
mendalam dari tugas yang diberikan, kemudian melakukan pendekatan kepada
peserta didik melalui masalah ataupun kesulitan.
27
D. Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah yang MemanfaatkanLEAD Adversity Quotient untuk Meningkatkan Kemampuan Penalaran
Pengembangan dalam kegiatan ilmiah sering dikaitkan dengan penelitian, bahkan
menjadi sebuah satu kesatuan menjadi sebuah jenis penelitian yaitu Research and
Development. Sugiyono (2014: 297) menyatakan bahwa Research and
Development adalah suatu metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan
produk tertentu dan menguji keefektifan produk tertentu. Haryati (2012: 14)
menyatakan penelitian dan pengembangan berbeda dengan penelitian biasa yang
hanya menghasilkan saran-saran bagi perbaikan. Penelitian dan pengembangan
menghasilkan produk yang langsung bisa digunakan. Senada dengan itu,
Postlethwaite (2005: 4) menyatakan,
Research and development research differs from the above types of researchin that, rather than bringing new information to light, it focuses on theinteraction between research and the production and evaluation of a newproduct. This type of research can be ‘formative’ (by collecting evaluativeinformation about the product while it is being developed with the aim ofusing such information to modify and improve the development process).
Penjelasan Postlethwaite tersebut menyatakan bahwa penelitian dan
pengembangan adalah jenis penelitian yang berbeda dari jenis penelitian
sebelumnya dan penelitian ini berfokus pada interaksi antara penelitian dan
dihasilkannya produk, baik produk produk baru yang belum pernah ada
sebelumnya maupun yang merupakan hasil modifikasi dan perbaikan dari
The Model of Educational Reconstruction presented here shares majorfeatures with other recent models of instructional design that aim atimproving practice. First of all, the cyclical process of educationalreconstruction, i.e. the process of theoretical reflection, conceptual analysis,small scale curriculum development, and classroom research on the
28
interaction of teaching and learning processes is also a key concern of theconception of “developmental research”.
Pernyataan Lijnse tersebut mengandung maksud bahwa perhatian utama dari
penelitian dan pengembangan adalah bertujuan memperbaiki praktik yang
menyangkut siklus pembelajaran antara lain mengenai teori, analisis konseptual,
pengembangan kurikulum, dan penelitian kelas tentang interaksi proses belajar
mengajar.
Berdasarkan beberapa pernyataan tentang penelitian dan pengembangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa penelitian dan pengembangan merupakan suatu metode
penelitian yang berisi proses, langkah, atau tahapan untuk menghasilkan produk
baru atau memperbaiki dan memodifikasi produk yang telah ada sebelumnya yang
bertujuan memperbaiki proses dalam pembelajaran. Perbaikan tersebut dapat
dilakukan dengan mengembangkan teori, analisis konseptual, pengembangan
kurikulum, dan penelitian kelas tentang interaksi proses belajar mengajar.
Mengacu pada kesimpulan tersebut, penelitian dan pengembangan yang dilakukan
dalam penelitian ini berfokus pada proses dan tahapan dalam pembelajaran yaitu
mengembangkan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD
adversity quotient untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis.
Pengembangan pembelajaran ini merupakan hasil kombinasi dari langkah
pembelajaran berbasis masalah dan langkah dalam meningkatkan
ketahanan/kecerdasan seseorang dalam menghadapi masalah yaitu LEAD
adversity quotient. Pengembangan ini diharapkan mampu memaksimalkan proses
pembelajaran dan membantu dalam melakukan perbaikan proses pembelajaran
untuk meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik.
29
Pengembangan dalam penelitian ini menggunakan secara umum menggunakan
prosedur R&D dari Borg dan Gall (1983: 775) yang memiliki 10 tahapan yaitu (1)
penelitian dan pengumpulan data, (2) perencanaan, (3) pengembangan desain
produk awal, (4) uji coba awal, (5) merevisi hasil uji coba, (6) uji coba lapangan,
(7) penyempurnaan produk hasil uji lapangan, (8) uji pelaksanaan lapangan, (9)
penyempurnaan produk akhir, dan (10) diseminasi dan implementasi. Tetapi
penelitian yang akan dilaksanakan ini bersifat terbatas, artinya tahapan R&D
hanya dilakukan sampai penyempurnaan produk hasil uji lapangan.
Secara khusus, ketika tahap tiga pada prosedur R&D dari Borg dan Gall (1983:
775) yaitu pengembangan desain/draf produk awal, penyusunan desain
pembelajaran menggunakan model pengembangan desain pembelajaran menurut
Branch (2009: 17) dengan tahapan analysis, design, development, implementation,
dan evaluation (ADDIE). Hal ini dilakukan agar pengembangan produk lebih
terfokus pada pengembangan model pembelajaran dan lebih maksimal.
Berikut disajikan sintak proses PBM dan LEAD adversity quotient pada Tabel 2.4
dan desain awal proses PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk
meningkatkan kemampuan penalaran matematis yang disajikan pada Gambar 2.1.
Tabel 2.4 Sintak Proses PBM dan LEAD Adversity Quotient
Pengembangan PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient merupakan
pembelajaran yang melatih peserta didik untuk bekerja sama dalam kelompok
untuk memecahkan masalah suatu permasalahan baik itu masalah yang
berhubungan dengan kehidupan nyata ataupun masalah dalam materi
pembelajaran matematika serta mengaitkannya dengan pengelaman rill peserta
didik. Proses pemecahan masalah ini di kembangkan untuk memfasilitasi
penalaran matematis peserta didik melalui pertanyaan atau masalah yang
diberikan oleh guru. Pengembangan PBM yang memanfaatkan LEAD adversity
quotient lebih menitikberatkan kepada peserta didik sebagai orang belajar, dimana
peserta didik didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri
melalui penalaran. Oleh karena itu, PBM yang memanfaatkan LEAD adversity
quotient didukung juga oleh teori konstruktivisme.
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan menciptakan suatu makna dari apa yang dipelajari (Sani, 2016: 21).
Teori konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih
menekankan pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai
penting, tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. Proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi belajar akan
mempengaruhi perkembangan penalaran (tata pikir dan skema berpikir)
seseorang. Menurut Nurhadi, dkk (Baharuddin dan Wahyuni, 2010: 116)
mengumukakan bahwa
Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan suatuyang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan
32
mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didikharus mengkontruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Esensi dariteori kontruktivisme adalah ide. Peserta didik harus menemukan danmengtransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain. Dengan dasaritu maka belajar dan pembelajaran harus dikemas menjadi prosesmengkontruksi bukan menerima pengetahuan.
Berdasarkan uraian tentang teori kontruktivisme tersebut, untuk meningkatkan
penalaran matematis peserta didik, guru harus lebih membiasakan memberikan
soal-soal yang berhubungan dengan pemecahan masalah. Selain itu juga, guru
harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan jalan
penyelesaiannya sendiri berdasarkan pengalaman dan pengetahuan mereka
sebelumnya.
F. Penelitian yang Relevan
Berikut diberikan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini.
1. Penelitian Mukhtar, dkk (2013: 79-86) yang berjudul “Pengembangan
Pembelajaran Matematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Konsep Peserta didik SMA”.
Penelitian ini menunjukkan bahwa draft model pembelajaran, draft model
bahan ajar, dan draft model penilaian yang valid berdasarkan validasi isi dan
validasi konstruk oleh para ahli pembelajaran sehingga secara teoritis dapat
diterapkan di kelas.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Mukhtar adalah Penelitian Mukhtar
hanya mengembangkan PBM, sedangkan dalam penelitian ini tidak hanya
mengembangkan PBM namun memaksimalkannya juga dengan
memanfaatkan LEAD adversity quotient. Dengan kata lain penelitian Mukhtar
33
hanya terbatas pada pengembangan PBM sedangkan penelitian ini lebih luas
dengan mengembangkan PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient.
2. Penelitian Ismawati dkk (2017: 48-58) yang berjudul “Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika dalam Problem Based Learning dengan
Strategi Scaffolding Ditinjau dari Adversity Quotient”. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika mencapai
ketuntasan dengan rata-rata 77,726 dengan gain 0,732 dan peningkatan
kemampuan pemecahan masalah matematika pada kelompok eksperimen
lebih baik dari kelompok kontrol. Peserta didik yang memiliki AQ kategori
climber mempunyai kemampuan pemecahan masalah matematika tergolong
baik, sedangkan peserta didik yang memiliki AQ kategori camper mempunyai
kemampuan pemecahan masalah matematika tergolong cukup baik.
Perbedaan penelitian Ismawati dengan penelitian ini adalah
a. Penelitian Ismawati menggunakan Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
yang ditinjau dengan strategi scaffolding, sedangkan penelitian ini
menggunakan PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient.
b. Pada penelitian Iswamati, adversity quotient digunakan sebagai hasil
klasifikasi dari tingkat kemampuan pemecahan masalah peserta didik,
sedangkan dalam penelitian ini adversity quotient digunakan sebagai
strategi dalam pembelajaran.
c. Kemampuan yang diteliti oleh Ismawati adalah kemampuan pemecahan
masalah, sedangkan dalam penelitian ini, kemampuan yang diteliti adalah
kemampuan penalaran matematis.
34
G. Kerangka Berpikir
Kemampuan penalaran sangat penting untuk dipelajari dan dikembangkan.
kemampuan bernalar tidak hanya dibutuhkan ketika mempelajari matematika
maupun mata pelajaran lainnya, namun sangat dibutuhkan juga ketika
memecahkan masalah ataupun saat menentukan keputusan dalam kehidupan.
Masalah, penalaran, dan matematika adalah tiga hal yang sulit dipisahkan.
Masalah dalam pembelajaran matematika diberikan dengan tujuan agar peserta
didik termotivasi menggunakan penalarannya sehingga tertarik menyelesaikan
masalah. Penalaran berguna untuk memecahkan masalah matematika atau
kehidupan sehari-hari. Sedangkan matematika merupakan salah satu sarana
mengembangkan penalaran melalui pemberian masalah.
Kenyataan menunjukkan, pentingnya kemampuan penalaran matematis tidak
sejalan dengan perolehan tingkat kemampuan penalaran matematis peserta didik.
Hal ini terlihat dari hasil TIMSS, PISA, beberapa penelitian, dan hasil penelitian
pendahualuan oleh peneliti. TIMSS 2015 yang menunjukkan bahwa pada domain
reasoning (penalaran) rata-rata persentase peserta didik Indonesia yang menjawab
benar hanya 20% dan skor penalaran ini terendah dari semua konten, sedangkan
rata-rata internasional adalah sebesar 45% yang mampu menjawab benar. Ini
membawa Indonesia memperoleh ranking 45 dari 50 negara. Capaian PISA tahun
2015 yang membawa Indonesia meduduki peringkat 64 dari 72 negara yang
dievaluasi.
Selain itu berdasarkan beberapa penelitian di Indonesia membuktikan bahwa
kemampuan penalaran matematis peserta didik tergolong rendah. Ini juga
35
didukung dengan hasil wawancara pada penelitian pendahuluan pada guru dan
peserta didik, guru mengungkapkan rendahnya penalaran matematis dikarenakan
kurangnya pemahaman peserta didik terhadap materi, tidak terbiasa dengan soal
penalaran dan kebanyakan peserta didik hanya menunggu mendapat informasi
serta penjelasan materi dari guru. Sedangkan ketika wawancara dengan salah satu
peserta didik, peserta didik tersebut mengungkapkan bahwa mengerti dengan
konsep yang dijelaskan guru tapi namun jika soal yang dirubah sedikit, peserta
didik mengalami kebingungan. Peserta didik juga mengaku merasa malas
bertanya jika menemui kesulitan tentang soal-soal penalaran dan guru kurang
memancing peserta didik untuk bertanya.
Guru sebagai pendidik menjadi salah satu faktor penting penentu keberhasilan
pembelajaran yang berperan dalam merencanakan, mengelola, mengarahkan dan
mengembangkan pembelajaran. Berdasarkan permasalahan-permasalahan terkait
kemampuan penalaran matematis, guru dapat kiranya mengupayakan
pembelajaran dengan menggunakan model-model pembelajaran yang inovatif,
yakni yang dapat memberikan peluang dan mendorong peserta didik untuk
melatihkan kemampuan penalaran salah satunya adalah Pembelajaran Berbasis
Masalah (PBM) yang memanfaatkan LEAD adversity quotient.
PBM adalah pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai fokus utama. PBM
memfasilitasi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan
keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi pembelajaran sehingga diharapkan kemampuan
penalaran matematis peserta didik meningkat. Kita ketahui bahwa kemampuan
36
seseorang dalam memecahkan masalah berbeda-beda. Selain PBM, untuk
meningkatkan kemampuan penalaran matematis maka diperlukan suatu ketahanan
atau kecerdasan sehingga seseorang sukses sampai akhir menggunakan
penalarannya dalam memecahkan masalah yaitu adversity quotient. Adversity
quotient adalah ketahanan atau kecerdasan seseorang dalam menghadapi
kesulitan. LEAD adversity quotient adalah langkah-langkah yang efektif
dilakukan untuk meningkatkan kemampuan atau ketahanan seseorang dalam
menghadapi kesulitan atau memecahkan masalah.
Ketika LEAD adversity quotient efektif meningkatkan kecerdasan seseorang
dalam menghadapi kesulitan, maka jika diterapkan dalam pembelajaran
matematika maka LEAD adversity quotient juga diharapkan mampu
meningkatkan kemampuan penalaran peserta didik dalam memecahkan masalah
matematika. Ditambah dengan proses pembelajaran yang memfasilitasi
kemampuan penalaran dalam memecahkan masalah yaitu PBM maka jika
keduanya dikombinasikan, diharapkan akan menghasilkan suatu proses
pembelajaran yang lebih terfokus pada kemampuan penalaran peserta didik dalam
memecahkan masalah dan diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
penalaran matematis peserta didik.
Pada dasarnya, seorang peserta didik disebut memiliki kemampuan penalaran
matematis adalah ketika peserta didik tersebut mampu menyelesaikan soal
matematika dengan benar. Indikator yang digunakan dalam untuk melihat tingkat
kemampuan penalaran matematis peserta didik dalam memecahkan masalah
matematika yaitu (1) peserta didik mampu menganalisis situasi matematis
37
meliputi kemampuan dalam menuliskan atau menyebutkan apa yang diketahui
dan apa yang ditanyakan dengan benar, (2) peserta didik mampu membuat
rencana dari proses penyelesaian dengan lengkap dan benar, (3) peserta didik
mampu Memecahkan persoalan dengan langkah yang sistematis dan mendapatkan
hasil yang benar dan, (4) peserta didik mampu Menarik kesimpulan yang logis
dengan lengkap dan benar. PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
diharapkan mampu memaksimalkan dan meningkatkan kemampuan penalaran
peserta didik dalam memecahkan masalah matematika.
Semua langkah PBM memanfaatkan LEAD adversity quotient, namun penjabaran
aktivitas guru dan peserta didik dalam langkah PBM tidak semua memanfaatkan
LEAD adversity quotient. Ini dilakukan untuk menempatkan proses yang tepat
sebagai langkah-langkah PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient.
Langkah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient adalah langkah yang
disesuaikan dengan kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan penalaran
matematis peserta didik. Pengaplikan langkah-langkah LEAD secara nyata
diaplikasikan pada langkah 5 dalam PBM melalui kegiatan logis dan sistematis.
Sedangkan Pada langkah 1, 2, 3, dan 4 PBM, langkah langkah-langkah LEAD
diaplikasikan namun secara tersirat.
Langkah pertama dalam PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient yaitu
mengorientasi peserta didik pada masalah. Pada langkah ini rangkaian LEAD
(Listen, Explore, Analyze, dan Do) tidak diaplikasikan semua hanya Listen, dan
Explore. Tahapan yang termasuk Listen adalah tahap ketika peserta didik
mendengarkan penjelasan guru mengenai tujuan pembelajaran dan pemberian
38
memotivasi sedangkan tahapan Explore ada pada tahap pemberian masalah awal
dan apersepsi. Pada tahap memotivasi peserta didik, peserta didik diingatkan
bahwa setiap peserta didik memiliki kecerdasan pemecahan masalah yang disebut
adversity quotient. Pemberian motivasi ini bisa berupa sebuah tulisan yang dibaca
atau penayangan berupa cuplikan singkat film. Pemberian motivasi ini juga bukan
sebarang motivasi tetapi motivasi yang juga dikaitkan dengan materi yang akan
dipelajari hari ini sehingga pembelajaran lebih bermakna. Tahap Listen, dan
Explore diharapkan mampu meningkatkan ketahanan dan semangat peserta didik
untuk berusaha menyelesaikan soal dan memenuhi indikator penalaran matematis
yang pertama yaitu mampu menganalisis situasi matematis.
Langkah selanjutnya dalam PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
yaitu mengorientasi peserta didik untuk belajar. Pada langkah ini rangkaian LEAD
yang digunakan adalah Explore, dan Do. Tahapan yang termasuk Explore adalah
tahap ketika peserta didik membentuk kelompok sesuai tipe adversity quotient dan
tahap pemecahan sesuai ide kelompok. Sedangkan tahapan Do ada pada tahap
pemberian LKPD sebagai alat mempelajari kemampuan penalaran matematis.
Pada saat pembentukan kelompok. Guru membentuk kelompok berdasarkan
campuran dari tiga tipe adversity quotient yaitu climbers, campers, dan quitters.
Hal ini dilakukan untuk menghindari pembentukan kelompok dengan kemampuan
sama. Peserta didik dengan tipe adversity quotient tinggi yaitu climbers
diharapkan mampu membantu teman-temannya yang belum memahami soal.
Peserta didik climbers diharapkan mampu membantu temannya dalam
menerjemahkan uraian pernyataan menjadi simbol matematika atau sebaliknya.
39
Kegiatan Explore dan Do diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
penalaran matematis yang pertama yaitu mampu menganalisis situasi matematis.
Langkah ketiga dalam PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient yaitu
membimbing penyelidikan individual atau kelompok. Pada langkah ini rangkaian
LEAD yang digunakan adalah Explore, Analyze dan Do. Tahapan yang termasuk
Explore adalah tahap ketika peserta didik mengaplikasikan pemecahan masalah
berdasarkan langkah-langkah Polya yang telah disesuaikan dengan kemampuan
penalaran matematis. Tahapan yang termasuk Analyze adalah ketika peserta didik
menganalisis informasi baik secara individu maupun kelompok. Sedangkan
tahapan yang termasuk Do adalah pada saat proses pemecahan masalah.
Pengaplikasian tahap Explore, Analyze dan Do pada langkah ini diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik dalam
merencanakan dan memecahkan persoalan (indikator kemampuan penalaran
matematis tahap 2 dan 3) dengan bantuan peserta didik climbers atau umpan balik
dari ketiga tipe adversity quotient.
Langkah keempat dalam PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient yaitu
mengembangkan dan menyajikan solusi atau hasil karya. Pada langkah ini
rangkaian LEAD yang digunakan adalah Analyze dan Do. Kegiatan pada langkah
4 PBM semuanya berdasarkan langkah Analyze dan Do meliputi merencanakan,
menyiapkan, membimbing, dan menyajikan solusi hasil karya. Pada langkah ini
diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik
dalam memahami situasi matematis, merencanakan dan memecahkan persoalan
(indikator kemampuan penalaran matematis tahap 1, 2 dan 3).
40
Langkah terakhir dalam PBM yang memanfaatkan LEAD adversity quotient yaitu
menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada langkah ini
Guru menerapkan semua rangkaian LEAD adversity quotient yaitu (1) L = Listen
(peserta didik diminta menelaah dengan merenungkan dan mendengarkan isi hati
tentang kesulitan selama pembelajaran), (2) E = Explore (peserta didik diminta
untuk menuliskan kesulitan tersebut di lembar yang telah disediakan dan akibat
kesulitan tersebut bisa terjadi), (3) A = Analyze (peserta didik diminta
menunjukkan bagian yang menjadi letak kesulitan, dan meminta peserta didik
menuliskan penyebab kesulitan itu bisa terjadi) dan (4) D = Do (peserta didik
membacakan kesulitan dan penyebab yang telah ditulikan dan guru memberi
kejelasan sesuai kesulitan peserta didik).
Pada langkah terakhir ini, peserta didik perwakilan setiap kelompok
mengemukakan semua kesulitan yang dirasakan ketika proses pembelajaran
sebelumnya melalui kegiatan LEAD adversity quotient. Guru memberi solusi atas
kesulitan tersebut. Selain itu pada langkah ini terdapat tahap merefleksi,
mengevalusi dan nasehat secara berturut-turut merupakan tahapan Analyze, Do,
dan Listen. Pada langkah ini peserta didik dapat memaksimalkan bahkan
meningkatkan kemampuan dalam memahami situasi matematis, merencanakan
penyelesaian, melaksanakan pemecahan dan membuat kesimpulan logis (indikator
kemampuan penalaran matematis 1-4) dengan melakukan tanya jawab.
Berdasarkan penjabaran di atas, maka penelitian tentang pengembangan
pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik.
41
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah Research and Development (Penelitian dan
Pengembangan). Menurut Sugiyono (2014: 297) Research and Development
adalah penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan
menguji keefektifan produk tertentu. Pengembangan yang dilakukan pada
penelitian ini adalah pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang
memanfaatkan LEAD adversity quotient untuk meningkatkan kemampuan
penalaran matematis peserta didik.
B. Lokasi, Waktu dan Subjek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA N 1 Talangpadang. SMA N 1 Talangpadang
sendiri terletak di Desa Banjar Sari Kecamatan Talangpadang Kabupaten
Tanggamus Provinsi Lampung. Penelitian ini dilaksankan di semester genap tahun
ajaran 2017/2018. Alasan SMAN 1 Talangpadang dipilih sebagai lokasi penelitian
karena di sekolah tersebut belum pernah diadakan penelitian mengenai
pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD
adversity quotient dan dirasa memiliki peserta didik yang bervariatif dalam
kemampuan penalaran matematis.
42
Pengambilan subjek dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik purposive
sampling. Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2014: 85). Subjek validasi
pengembangan pengembangan pembelajaran ditentukan dengan pertimbangan
bahwa subjek validasi adalah seseorang yang ahli atau paham dengan masalah
penelitian. Subjek studi pendahuluan, subjek uji coba awal dan subjek uji coba
lapangan ditentukan dengan pertimbangan bahwa subjek adalah peserta didik
yang memiliki kemampuan penalaran dan tingkat adversity quotient yang
bervariatif dan lebih merata. Adapun penjelasan tentang subjek dalam penelitian
ini dibagi dalam beberapa tahap berikut.
1. Subjek Validasi Pengembangan Pembelajaran
Subjek validasi pengembangan pembelajaran dalam penelitian ini adalah
empat ahli yang terdiri atas satu ahli desain pembelajaran, dua ahli materi,
satu ahli media, dan satu ahli psikologi. Berikut dijabarkan secara lebih rinci
tentang subjek validasi pengembangan pembelajaran dalam Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Subjek Validasi Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalahyang Memanfaatkan LEAD Adversity Quotient untuk Meningkat-kan Kemampuan Penalaran Matematis Peserta Didik.
Subjek Validasi(Validator)
Nama Validator Instrumen Validasi
Ahli desainpembelajaran
Dr. Adelina Hasyim, M.PdDesain PengembanganPembelajaran, RPP,Silabus, LKPD
(selalu), dan (2) pernyataan negatif yaitu 1 (selalu), 2 (sering), 3 (jarang), 4 (tidak
pernah) serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari peserta didik. Lembar ini
sebagai dasar untuk merevisi pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang
memanfaatkan LEAD Adversity Quotient. Adapun Kriteria dari respon peserta
didik terhadap kemenarikan pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang
memanfaatkan LEAD Adversity Quotient adalah 1) perhatian, 2) ketertarikan, 3)
kesenangan, dan 4) partisipasi.
2. Instrumen Tes
Intrumen tes yang digunakan adalah tes adversity quotient dan tes kemampuan
penalaran matematis peserta didik. Tes ini diberikan secara individu. Adapun
penjelasan tentang kedua instrumen ini sebagai berikut.
a. Instrumen Tes Tipe Adversity Quotient (AQ)
Instrumen yang digunakan untuk mengetahui tipe Adversity Quotient (AQ) peserta
didik dalam penelitian ini adalah Adversity Response Profile (ARP). Tes ARP
akan diberikan kepada peserta didik kelas X IPA 4 SMA N Talangpadang
sebagai kelas uji coba dan diberikan juga kepada peserta didik kelas X IPA 1
57
sebagai kelas uji coba awal. Penentuan tipe AQ digunakan sebagai alat pembentuk
kelompok saat uji coba pemgembangan pembelajaran.
Instrumen ARP merupakan instrumen baku yang dikembangkan oleh Paul G.
Stoltz, Ph.D. Adversity Response Profile (ARP) telah dicoba oleh lebih dari 7.500
orang dari seluruh dunia dengan berbagai macam karier, usia, ras, dan
kebudayaan. Analisis formal terhadap hasil-hasilnya mengungkapkan bahwa
instrumennya merupakan tolak ukur yang valid untuk mengukur bagaimana orang
merespon kesulitan. Penelitian-penelitian diberbagai perusahaan, sekolah, dan
dengan atlet-atlet memperlihatkan bahwa ARP merupakan instrumen yang efektif
dan berperan dalam serangkaian kesuksesan yang lainnya. ARP juga memiliki
validitas yang hebat. Dengan kata lain, hasilnya masuk akal, tanpa
memperdulikan latar belakang seseorang (Stoltz, 2000: 120).
Meskipun Instrumen ARP tersebut telah valid, namun instrumen ARP yang akan
digunakan dalam penelitian ini tetap diuji validitasnya. Hal ini dikarenakan
instrumen yang digunakan menyesuaikan keadaan dan bahasa dari subjek
penelitian yaitu peserta didik-peserta didik yang tengah mengenyam pendidikan di
sekolah menengah namun pertanyaan tetap sesuai dengan situasi dan kondisi
dijelaskan oleh Paul G. Stoltz dalam bukunya “Adversity Quotient”.
Uji validitas instrumen ARP yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
validasi isi, yakni uji instrumen melalui experts judgement (penilaian yang
dilakukan oleh ahli) (Sukardi, 2012: 123) dan semua kriteria disetujui (jika ada
salah satu tidak disetujui, maka harus direvisi atau dibuang). Tes ini disusun dan
dikembangkan peneliti dan divalidasi oleh Ahli Psikologi/Pendidikan sebagai
58
validator yang kompeten dalam bidangnya. Uji validitas instrumen yang diberikan
berupa pernyataan skala dengan tiga pilihan jawaban yaitu (1) layak digunakan
tanpa revisi, (2) layak digunakan dengan revisi, dan (3) tidak layak digunakan,
serta dilengkapi dengan komentar dan saran dari ahli psikologi/pendidikan.
Adapun Kriteria penilain oleh Ahli Psikologi/Pendidikan sebagai berikut.
1) Aspek kesesuaian dengan dimensi adversity quotient yaitu CO2RE, meliputi
(a) Control (Kendali) tingkat kendali yang dirasakan terhadap peristiwa yang
menimbulkan kesulitan, (b) Origin (asal usul) dan Ownership (pengakuan), (c)
Reach (Jangkauan) sejauh mana kesulitan dianggap dapat menjangkau ke
bagian-bagian lain dari kehidupan, dan (d) Endurance (Daya Tahan)
2) Aspek kelayakan bahasa, meliputi penggunaan bahasa sesuai dengan EYD,
dan kesederhanaan struktur kalimat.
b. Instrumen Tes Kemampuan Penalaran Matematis
Tes kemampuan penalaran matematis diberikan secara individual dan tujuannya
adalah untuk mengukur kemampuan penalaran matematis. Kemampuan penalaran
matematis yang diamati disesuaikan dengan tahap pemecahan masalah
berdasarkan pembelajaran berbasis masalah. Penilaian hasil tes dilakukan sesuai
dengan pedoman penilaian kemampuan penalaran matematis yang diadaptasi dan
dimodifikasi dari Agustin (2016: 184) dan Ayal (2016: 52) yang dapat dilihat
pada Tabel 3.3.
59
Tabel 3.3 Pedoman Penilaian Tes Kemampuan Penalaran Matematis
TahapPemecahan
Masalah
IndikatorPenalaran Kriteria Skor
Memahamimasalah
Menganalisissituasimatematis
Tidak menyebutkan atau menuliskan apa yangdiketahui dan ditanyakan dari soal
0
Menyebutkan atau menuliskan apa yangdiketahui dan ditanyakan dari soal tetapi salah
1
Menyebutkan atau menuliskan apa yangdiketahui saja atau ditanya saja
2
Menyebutkan atau menuliskan apa yangdiketahui dan ditanyakan dari soal tetapi belumlengkap
3
Menyebutkan atau menuliskan apa yangdiketahui dan ditanyakan dari soal denganlengkap dan benar
4
Membuatrencanapemecahanmasalah
Merencanakanprosespenyelesaian
Tidak membuat rencana penyelesaian 0Membuat rencana tetapi salah atau tidak dapatdilaksanakan
1
Membuat rencana yang kurang tepat denganpenjelasan
2
Membuat rencana tetapi belum lengkap 3Membuat rencana dengan lengkap dan benar 4
Melaksana-kan rencana/perhitungan
Memecahkanpersoalandengan langkahyang sistematis
Tidak memecahkan persoalan dengan langkahyang sistematis
0
Memecahkan persoalan dengan langkah yangtidak sistematis dan proses yang salah sehinggamenghasilkan jawaban salah
1
Memecahkan dengan langkah yang tidaksistematis dan proses yang kurang tepat namunmenghasilkan jawaban benar
2
Memecahkan persoalan dengan langkah yangsistematis dengan langkah yang tepat tetapimenghasilkan jawaban yang salah karena salahperhitungan
3
Memecahkan persoalan dengan langkah yangsistematis dan mendapatkan hasil yang benar
4
Memeriksakembali hasil
Menarikkesimpulanyang logis
Tidak membuat kesimpulan 0Membuat kesimpulan namun salah 1Membuat kesimpulan tetapi kurang logis 2Membuat kesimpulan yang logis namun kuranglengkap
3
Membuat kesimpulan logis dengan lengkap danbenar
4
Data yang diperoleh merupakan nilai kognitif hasil kemampuan penalaran
matematis peserta didik yang berupa nilai evaluasi akhir program pembelajaran
dan nilai ulangan peserta didik sebelum dan sesudah diberikan pembelajaran
60
berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient. Hasil
kemampuan penalaran matematis diinterpretasikan pada Tabel 3.4 (Arikunto,
2009: 245) sebagai berikut.
Tabel 3.4 Interpretasi Kemampuan Penalaran Matematis
No. Nilai Kriteria1 80-100 Baik Sekali2 66-79 Baik3 56-65 Cukup4 40-55 Kurang5 30-39 Kurang sekali
Sementara itu, kualifikasi hasil kemampuan penalaran matematis yang dicapai
oleh peserta didik dapat diketahui melalui nilai yang dirumuskan sebagai berikut.
N =∑∑ × 100%
Keterangan
N : Nilai hasil kemampuan penalaran matematis∑ : Jumlah nilai jawaban responden∑ : Jumlah nilai ideal atau jawaban tertinggi
Sebelum tes kemampuan penalaran matematis digunakan pada saat uji coba
lapangan (Main field testing), terlebih dahulu tes tersebut divalidasi dan kemudian
diujicobakan pada kelas lain (kelas uji coba lapangan awal) untuk diketahui
tingkat validitas, reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal.
Instrumen ini digunakan untuk menilai keefektifan pembelajaran yaitu nilai rata-
rata yang dicapai peserta didik setelah dilakukan pengembangan pembelajaran
berbasis masalah yang memanfaatkan langkah-langkah LEAD adversity quotient.
Instrumen berisikan soal latihan untuk mengetahui daya serap peserta didik dalam
61
pembelajaran. Lembar tes kemampuan penalaran matematis dapat digunakan jika
telah memenuhi syarat valid, reliable, tingkat kesukaran soal merata dan daya
pembeda soal yang baik. Pemaparan mengenai tahapan dari uji validitas,
reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal tes kemampuan penalaran
matematis yaitu sebagai berikut.
1) Validitas
Validitas yang digunakan pada penelitian ini adalah validitas isi dan validitas
empiris. Validitas isi yaitu validitas yang menggunakan isi tes itu sendiri sebagai
alat pengukur hasil belajar peserta didik. Validitas isi dari tes kemampuan
penalaran matematis dibandingkan dengan cara membandingkan isi yang ada
dalam indikator kemampuan penalaran matematis dan indikator pembelajaran
yang telah ditentukan. Validitas tes ini dikonsultasikan dengan dosen pembimbing
terlebih dahulu dan validator kemudian dikonsultasikan kepada guru mata
pelajaran matematika kelas X. Jika penilaian guru menyatakan bahwa butir-butir
tes telah sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator maka tes tersebut
dikategorikan valid.
Teknik yang digunakan untuk menguji validitas empiris ini dilakukan dengan
menggunakan rumus korelasi product moment (Widoyoko, 2017: 147)
= ∑ − (∑ ) (∑ )( ∑ − (∑ ) )( ∑ − (∑ ) )Keterangan
: Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel YN : Jumlah Peserta didik
62∑ : Jumlah skor peserta didik pada setiap butir soal∑ : Jumlah total skor peserta didik∑ : Jumlah hasil perkalian skor peserta didik pada setiap butir soal dengantotal skor peserta didik
Distribusi (Tabel r) untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk = n – 2). Kaidah
keputusan : Jika > berarti valid. Widoyoko (2017: 149) menyatakan
bahwa apabila lebih besar atau sama dengan 0,3 ( ≥ 0,3), nomor butir
tersebut dapat dikatakan valid begitupun sebaliknya. Tabel 3.5. menyajikan hasil
validitas instrumen tes penalaran matematis. Perhitungan selengkapnya terdapat
Instrumen dikatakan reliabel jika hasil pengukuran yang dilakukan dengan
menggunakan instrumen tersebut berulang kali terhadap subjek yang sama
menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya ajeg (stabil). Perhitungan
koefisien reliabilitas instrumen ini didasarkan pada pendapat Arikunto (2010:
238) yang menyatakan bahwa untuk menghitung reliabilitas dapat digunakan
rumus Alpha, yaitu
2
2
11 11
t
i
k
kr
63
Keterangan
11r : nilai reliabilitas instrumen (tes)
k : banyaknya butir soal
2i : jumlah varians dari tiap-tiap butir soal
: varians total
Widoyoko (2017: 165) berpendapat bahwa suatu tes dikatakan baik apabila
memiliki nilai reliabilitas ≥ 0,70. Berdasarkan hasil perhitungan uji coba
instrumen penalaran matematis, diperoleh nilai koefisien reliabilitas sebesar 0,73.
Hal ini menunjukkan bahwa instrumen yang diujicobakan memiliki reliabilitas
yang tinggi. Hasil perhitungan reliabilitas uji coba instrumen dapat dilihat pada
Lampiran B.2.
3) Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran digunakan untuk menentukan derajat kesukaran suatu butir
soal. Suatu tes dikatakan baik jika memiliki derajat kesukaran sedang, yaitu tidak
terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Menurut Sudijono (2008: 372) untuk
menghitung tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus sebagai berikut.
=Keterangan
TK : nilai tingkat kesukaran suatu butir soal: jumlah skor yang diperoleh peserta didik pada butir soal yang diolah: jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh peserta didik pada suatu
butir soal.
Sudijono (2008: 372) mengintepretasikan nilai tingkat kesukaran suatu butir soal
Berdasarkan kriteria tingkat kesukaran, hasil perhitungan tingkat kesukaran butir
tes menunjukkan bahwa sumua soal masuk dalam kriteria soal yang dapat
digunakan meskipun soal nomor 2 masuk dalam interpretasi soal yang sukar.
Hasil perhitungan tingkat kesukaran butir soal dapat dilihat pada Lampiran B.3.
4) Daya Pembeda
Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui apakah suatu butir soal dapat
membedakan peserta didik yang berkemampuan tinggi dan peserta didik yang
65
berkemampuan rendah. Berikut perhitungan indeks daya pembeda soal uraian
digunakan rumus sebagai berikut berdasarkan pendapat Sudijono (2008: 120).
= −Keterangan
DP : indeks daya pembeda suatu butir soal tertentuJA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolahJB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolahIA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah).
Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi yang
tertera dalam Tabel 3.8 Sudijono (2008: 121).
Tabel 3.8 Interpretasi Nilai Daya Pembeda
Nilai Interpretasi-1,00 < DP ≤ 0,00 Sangat Buruk0,00 < DP ≤ 0,20 Buruk0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup0,40 < DP ≤ 0,70 Baik0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat Baik
Kriteria soal tes yang digunakan dalam penelitian ini memiliki interval nilai yaitu
0,20 < DP ≤ 0,70. Hasil perhitungan tingkat kesukaran uji coba soal disajikan
pada Tabel 3.9 dan dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran B.4.
Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas, reliabilitas tingkat kesukaran, dan
daya beda menunjukkan bahwa 5 soal yang diujikan adalah soal-soal yang layak
digunakan dalam uji coba lapangan di kelas X IPA 4 dan X IPA 5.
E. Teknis Analisis Data
Teknik analisis data pada penelitian ini dijelaskan berdasarkan jenis instrumen
yang digunakan dalam setiap tahapan penelitian pengembangan, yaitu.
1. Analisis Data Pendahuluan
Data studi pendahuluan berupa hasil observasi dan wawancara dianalisis secara
deskriptif sebagai latar belakang diperlukannya pengembangan pembelajaran.
Hasil review mengenai metode pembelajaran dan berbagai buku teks serta KI dan
KD matematika SMA Kelas X juga dianalisis secara deskriptif sebagai acuan
untuk mengembangkan pembelajaran dan menyusun perangkat pembelajaran.
2. Analisis Proses dan Hasil Produk Pengembangan Pembelajaran
Analisis yang digunakan berupa deskriptif kualitatif. Data kualitatif berupa
komentar dan saran dari validator yang dideskripsikan secara kualitatif sebagai
acuan untuk memperbaiki proses pengembangan pembelajaran berbasis masalah
yang yang memanfaatkan LEAD adversity quotient dan perangkat pembelajaran
yang berupa silabus, RPP, dan LKPD. Data yang diperoleh adalah hasil validasi
ahli desain pembelajaran untuk proses pengembangan pembelajaran berbasis
masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient, silabus, dan RPP dan hasil
validasi ahli materi (bidang matematika) dan ahli media untuk LKPD.
67
Selain validasi dari beberapa ahli di atas, untuk menyempurnakan desain
pengembangan pembelajaran dan perangkatnya juga diperkuat dengan saran dari
pihak-pihak yang terhubung langsung dalam proses pelaksanaan pembelaran yaitu
guru dan peserta didik. Saran dari guru dan peserta didik digunakan sebagai acuan
untuk lebih menyempurnakan pembelajaran yang akan dikembangkan.
3. Analisis Validitas, Kepraktisan, dan Kemenarikan PengembanganPembelajaran Berbasis Masalah yang Memanfaatkan LEAD AdversityQuotient
Analisis yang digunakan berupa deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif sesuai yang telah dijabarkan pada analisis proses dan hasil
pengembangan pembelajaran. Data kuantitatif berupa skor penilaian ahli materi,
ahli media, guru, dan peserta didik kemudian dijelaskan secara kualitatif.
Penilaian kevalidan produk diperoleh berdasarkan penilaian validator/para ahli
melalui (1) angket validasi pengembangan pembelajaran berbasis masalah yang
memanfaatkan LEAD adversity quotient, (2) angket validasi silabus, (3) angket
validasi RPP, dan (4) angket validasi LKPD. Berdasarkan data angket validasi
yang diperoleh, rumus yang digunakan untuk menghitung hasil angket dari
validator adalah sebagai berikut.
P =∑∑ × 100%
Keterangan
P : Presentase yang dicari∑ : Jumlah nilai jawaban responden∑ : Jumlah nilai ideal atau jawaban tertinggi
132
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai
berikut.
1. Pengembangan model pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan
LEAD adversity quotient untuk meningkatkan kemampuan penalaran
matematis peserta didik, diawali dari studi pendahuluan yang menunjukkan
kebutuhan dikembangkannya pembelajaran berbasis masalah yang terfokus
pada kesulitan peserta didik dalam menalar sehingga pembelajaran diarahkan
dengan memanfaatkan LEAD adversity quotient. Proses pengembangan
dilakukan dengan (a) penyusunan desain awal pengembangan pembelajaran
berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient, (b)
melakukan validasi kepada ahli, (c) melakukan uji coba awal, (d) melakukan
revisi berdasarkan hasil uji coba awal, (e) melakukan uji coba lapangan, dan
(f) melakukan revisi berdasarkan hasil uji coba lapangan. Hasil akhir dari
penelitian pengembangan ini adalah tersusunnya produk pengembangan
model pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity
quotient.
2. Pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
memiliki kualitas kevalidan, kepraktisan, dan kemenarikan yang baik.
133
Perolehan rata-rata persentase dalam kevalidan adalah 86,52%. Perolehan
rata-rata persentase dalam kepraktisan adalah 83,17%. Perolehan rata-rata
persentase dalam kemenarikan adalah 78,88%.
3. Pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
efektif dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematis peserta didik
dengan rata-rata N-gain sebesar 0,72. Kemampuan penalaran matematis
dengan pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity
quotient lebih tinggi dibanding dengan kemampuan penalaran matematis
dengan pembelajaran yang biasa diterapkan (konvensional).
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian, ada beberapa saran, yaitu.
1. Bagi guru yaitu (a) proses pembelajaran dikelas sebaiknya memanfaatkan
LEAD adversity quotient sehingga membantu peserta didik mengutarakan
kesulitan tanpa takut selama pembelajaran sehingga peserta didik mampu
belajar secara mendalam melalui pertanyaan yang diutarakan, (b) hendaknya
guru mempertimbangkan karakter peserta didik melalui tipe adversity
quotient dalam menerapkan strategi pembelajaran yang sesuai, (c) diharapkan
mempertimbangkan saran peserta didik untuk membuat pembelajaran tidak
membosankan misal belajar sambil mendengarkan musik, dan (d)
pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
dapat dijadikan salah satu referensi bagi guru dalam meningkatkan
kemampuan penalaran matematis peserta didik.
134
2. Bagi sekolah, berdasarkan kesimpulan dari hasil penilitian ini maka
pembelajaran berbasis masalah yang memanfaatkan LEAD adversity quotient
dapat dijadikan salah satu upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan
terutama dalam hal kemampuan penalaran matematis.
3. Bagi peneliti lain yaitu (a) hendaknya mempertimbangkan secara mendalam
tentang materi yang sesuai dengan karakteristik PBM, (b) hendaknya
mempertimbangkan dan memikirkan secara mendalam tentang kesesuaian
dalam mengkontruks masalah pada PBM sehingga masalah yang dibuat
memenuhi karakteristik PBM, (c) hendaknya memperluas dan memperdalam
lingkup penelitian yang tidak hanya terbatas pada kemampuan penalaran
matematis, dan (d) untuk proses penalaran matematis peserta didik dalam
LKPD, hendaknya peneliti lebih mempercayai peserta didik bahwa peserta
didik mampu melakukan proses penalaran tanpa harus dibimbing dalam
LKPD.
135
DAFTAR PUSTAKA
Adegoke, Benson Adesina. 2013. Modelling the Relationship betweenMathematical Reasoning Ability and Mathematics Attainment. Journal ofEducation and Practice, 4 (17), 54-61.
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosidan Spiritual ESQ: Emotional Quotient Berdasarkan Enam Rukun Iman danLima Rukun Islam. Jakarta: Arga.
Agustin, Ririn Dwi. 2016. Kemampuan Penalaran Matematika MahasiswaMelalui Pendekatan Problem Solving. Jurnal Pedagogia, 5 (2), 179-188,ISSN 2089-3833.
Arends, R. I. 2008. Learning to Teach. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Artika, Yuni Arya. 2017. Pengembangan Lembar Kerja Peserta Didik (LKPD)pada Problem Based Learning untuk Memfasilitasi Kemampuan BerpikirKritis dan Disposisi Matematis Siswa (Thesis). Universitas Lampung(UNILA): Lampung.
Ario, Marfi. 2016. Analisis Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMKSetelah Mengikuti Pembelajaran Berbasis Masalah. Jurnal Ilmiah EduResearch, 5 (2), 125-134.
Ayal S.C., Kusuma, Y.S., Subandar J., and Dahlan J.A. 2016. The Enhancementof Mathematical Reasoning Ability of Junior High School Students byApplying Mind Mapping Strategy. Journal of Education and Practice, 7(25), 50-58.
Baharuddin., dan Wahyuni, Esa Nur. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaran.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Baig, Shahida., and Halai Anjum. 2006. Learning Mathematical Rules withReasoning. Eurasia Journal of Mathematics, Science and TechnologyEducation, 2 (2), 15-39.
136
Barret, Terry. 2005. Understanding Problem Based Learning. Handbook ofEnquiry & Problem Based Learning. Galway: CELT Released underCreative Commons licence. (Online) http://www.aishe.org/readings/2005-2/chapter2.pdf. Diakses Tanggal 09 Februari 2018 Pukul 14.24.
Baroody, A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8(Helping Children Think Mathematically). New York: MacmillanPublishing Company.
Borg. W.R. dan Gall, M.D. 1983. Educational Research: An Introduction. NewYork: Longman. (Online) http://jurnal.utm.ac.id/index.php/MID/article/viewFile/13/11. Diakses pada tanggal 14 Februari 2018. 23.32.
Branch, R.M. 2009. Instructional Design: The ADDIE Approach. New York:Springer Science+Business Media.
Duit, Reinders. 2007. Science Education Research Internationally: Conceptions,Research Methods, Domains of Research. Eurasia Journal of Mathematics,Science & Technology Education, 3(1), 3-15, ISSN: 1305-8223.
Haryati, Sri. 2012. Research and Development (R&D) Sebagai Salah Satu ModelPenelitian dalam Bidang Pendidikan. Jurnal FKIP-UTM. (37) 1, 11-26.
Hidayati, Anisatul., dan Widodo, Suryo. 2015. Proses Penalaran Matematis Siswadalam Memecahkan Masalah Matematika pada Materi Pokok Dimensi TigaBerdasarkan Kemampuan Siswa di SMA Negeri 5 Kediri. Jurnal MathEducator Nusantara, 1 (2), 131-143.
Ismawati, Anik., Mulyono., dan Hindarto, Nathan. 2017. Kemampuan PemecahanMasalah Matematika dalam Problem Based Learning dengan StrategiScaffolding Ditinjau dari Adversity Quotient. Unnes Journal of MathematicsEducation Research (UJMER). 6 (1), 48-58.
Jeannotte, Doris., and Kieran, Carolyn. 2015. A conceptual model of mathematicalreasoning for school mathematics. Département de mathématiques,Université du Québec à Montréal, Montréal, QC, Canada. (Online) athttp://archpel.uqam.ca/9609/1/ESM_c_mineurfinal.pdf
Johansson, Helena. 2015. Mathematical Reasoning In Physics and Real LifeContext. Sweden: Division of Mathematics Department of MathematicalSciences Chalmers University of Technology and University of Gothenburg.
Larlen. 2013. Persiapan Guru Bagi Proses Belajar Mengajar. Pena, 3 (1), 81-91.
Lidinillah, Dindin Abdul Muiz. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem BasedLearning). (Online) http://file.upi.edu/Direktori/KD-TASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-TASIKMALAYA)-197901132005011003/132313548%20%20dindin%20abdul%20muiz%20lidinilah/Problem%20Based%20Learning.pdf. Diakses tanggal 09 Februari 2018Pukul 13.43.
137
Mueller, M., Yankelewitz, D., Maher, Carolyn. 2014. Teachers Promoting StudentMathematical Reasoning. Investigations in Mathematics Learning, TheResearch Council on Mathematics Learning Winter Edition, 7 (2), 1-20.
Mukhtar., Firdaus, Muliawan., dan Mulyono. 2013. Pengembangan PembelajaranMatematika Berbasis Masalah untuk Meningkatkan KemampuanPenalaran Dan Pemahaman Konsep Siswa SMA. Jurnal Penelitian BidangPendidikan Universitas Negeri Medan, 19 (2), 79-86, ISSN 0852-0151
Mullis, I V., Martin, M.O., Foy, P., Hooper M. 2016. TIMSS 2015 InternationalResults in Mathematics. Baston Collage: International Study Center IEA
Nafi’an, M.I. 2011. Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal CeritaDitinjau Dari Gender Di Sekolah Dasar. Prosiding: Seminar NasionalMatematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Matematika danPendidikan Karakter dalam Pembelajaran Jurusan Pendidikan MatematikaFMIPA UNY, 572-577, ISBN: 978-979-16353-6-3.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. United States ofAmerica: Library of Congress Cataloguing-in-Publication
Noer, Sri Hastuti. 2010. Evaluasi Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalamPembelajaran Berbasis Masalah. Lampung: Jurnal Pendidikan MIPA Unila.
OECD. 2016. Programme for International Students Assessment (PISA) Resultfrom PISA 2015. (Online) https://www.oecd.org/pisa/PISA-2015-Indonesia.pdf
Polya, George. 1985. How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method.Second Edition. New Jersey: Princeton University Press. [online]. Tersedia:https://notendur.hi.is/hei2/teaching/Polya_HowToSolveIt.pdf. Diakses pada5 Desember 2017.
Postlethwaite, T Neville. 2005. Educational research: some basic concepts andterminology. UNESCO: International Institute for Educational Planning.(Online) http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001824/182459e.pdf.Diakses pada tanggal 09 Februari 2018 Pukul 09.38.
Roffiq, Ainoer., Qiram, Ikhwanul., dan Rubiono, Gatut. 2017. Media Musik danLagu pada Proses Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Dasar Indonesia, 2 (2),35-40.
Sani, Amir. 2016. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe StudentFacilitator And Explaning Terhadap Kemampuan Pemecahan MasalahMatematika Siswa. Pekanbaru: UIN Sultan Syarif Kasim. (Online)http://epository.uin-suska.ac.id/2346/3/BAB II.pdf. Diakses Pada 17Februari 2018 Pukul 15.54 WIB.
Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
138
Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang,terjemahan T.Hermaya. Jakarta: Gramedia
Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Sugiyanto. 2008. Model-model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: PanitiaSertifikasi Guru Rayon 13
Sugiyono. 2014. Penelitian Kuantitatif, Kulakitatif dan R & D. Bandung:Alfabeta.
Suhartono. 2016. Adversity Quotient sebagai Acuan Guru dalam MemberikanSoal Pemecahan Masalah Matematika. INOVASI, 18 (2), 62-70. (Online)http://erepository.uwks.ac.id/278/1/JURNAL_SUHARTONO_FBS.pdf.Diakses pada tanggal 18 Agustus 2018 Pukul 20.38.
Sukardi. 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya.Jakarta: Bumi Aksara
Suparno & Yunus, M. 2006. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: UniversitasTerbuka
Shadiq, Fadjar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran, dan Komunikasi. MakalahDisampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMP JenjangDasar di PPPG Matematika Tanggal 6 s.d. 19 Agustus 2004. Yogyakarta:Depdiknas Dirjendiknas Dasar dan Menengah Pusat PengembanganPenataran Guru (PPPG) Matematika Yogyakarta.
Tim Depdiknas. 2006. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar danMenengah. Jakarta: Depdiknas.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. KamusBesar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Uno, Hamzah. 2016. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta:Bumi Aksara.
Wahyudin. 1999. Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika, danSiswa Dalam Mata Pelajaran Matematika. Disertasi pada Program PascaSarjana IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.
Wardhani, Sri. 2008. Analisis SI dan SKL Mata Pelajaran Matematika SMP/MTsuntuk Optimalisasi Mata Pelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPPTK
Widjaja, Wanty. 2010. Design Realistic Mathematics Education Lesson. MakalahSeminar Nasional Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya,
139
Palembang 1 Mei 2010. (Online), tersedia: https://p4mristkipgarut.files.wordpress.com, diunduh 5 April 2018.
Widoyoko. 2017. Teknik Penyusuna Instrumen Penelitian. Yogyakarta. PustakaPelajar.
Yanti, Avissa Purnama., dan Syazali, M. 2016. Analisis Proses Berpikir Siswadalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Langkah-langkahBransford dan Stein Ditinjau dari Adversity Quotient Siswa Kelas X MAN 1Bandar Lampung Tahun 2015/2016. Aljabar: Jurnal PendidikanMatematika IAIN Raden Intan Lampung, 7 (1)