433 433 Teguh Hindarto 1 , Chusni Ansori 2 Jurnal Analisa Sosiologi Oktober 2021, 10 (2):433- 451 PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN: GRAFITI GUA JATIJAJAR SEBAGAI DAYA TARIK WISATA GUA Teguh Hindarto 1 , Chusni Ansori 2 Abstract: Since 1975, Jatijajar Cave has undergone a redesign of the area and has been introduced as a public tourism property owned by the Kebumen Regency Government. In addition to the geological aspect which is the selling point of the existence of this cave, there are historical values and sociological values found on the cave walls in the form of handwriting (graffiti) from the colonial to post-colonial periods. If the caves generally contain symbolic images in the cave walls, the walls of the Jatijajar Cave show their unique characteristics in the form of handwriting containing descriptions of names and years of writing from 1816-1974. This study focuses on analyzing the social status of cave visitors through graffiti trails in the form of names and the period of the year they write with the aim of being a guide material for cave tourism (cave tourism). This study uses a qualitative method using sociological analysis tools which include the sociology of language, structural sociology, tourism sociology and sign semiotics with the aim of a comprehensive picture of the existence of Jatijajar Cave graffiti from several aspects, namely historical and geological and especially sociological. The choice of qualitative method is also related to the pandemic situation which causes the absence of sources to be interviewed, both traders, guards, visitors and related sources. The final result of this research becomes a recommendation for relevant parties, especially tourism stakeholders in Kebumen Regency to make Jatijajar Cave graffiti as a historical text and an attraction for the development of cave tourism (cave tourism) as part of tourism with sustainable goals (SDG's). Keywords: Historical Text, Tourist Attraction, Graffiti Text Meaning, Cave Tourism, Sustainable Tourism Abstrak: Sejak tahun 1975, Gua Jatijajar mengalami penataan ulang desain kawasan dan mulai diperkenalkan sebagai wisata publik milik Pemerintahan Daerah Kabupaten Kebumen. Selain aspek geologis yang menjadi nilai jual keberadaan gua ini terdapat nilai sejarah dan nilai sosiologis yang terdapat pada dinding gua berupa tulisan tangan (grafiti) dari periode kolonial hingga pasca kolonial. Jika gua-gua pada umumnya berisikan gambar simbolik di dalam dinding guanya maka dinding Gua Jatijajar memperlihatkan keunikan karakteristiknya berupa tulisan tangan berisikan keterangan nama dan tahun penulisan dari 1 Braindilog Sosiologi Indonesia 2 Pusat Riset Geoteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional 1 [email protected]
24
Embed
PENGEMBANGAN PARIWISATA BERKELANJUTAN: GRAFITI GUA ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
433
433
Teguh Hindarto1, Chusni Ansori2
Jurnal Analisa Sosiologi
Oktober 2021, 10 (2):433- 451
PENGEMBANGAN PARIWISATA
BERKELANJUTAN: GRAFITI
GUA JATIJAJAR SEBAGAI DAYA
TARIK WISATA GUA
Teguh Hindarto1, Chusni Ansori
2
Abstract:
Since 1975, Jatijajar Cave has undergone a redesign of the area and has been introduced
as a public tourism property owned by the Kebumen Regency Government. In addition to
the geological aspect which is the selling point of the existence of this cave, there are
historical values and sociological values found on the cave walls in the form of
handwriting (graffiti) from the colonial to post-colonial periods. If the caves generally
contain symbolic images in the cave walls, the walls of the Jatijajar Cave show their
unique characteristics in the form of handwriting containing descriptions of names and
years of writing from 1816-1974. This study focuses on analyzing the social status of cave
visitors through graffiti trails in the form of names and the period of the year they write
with the aim of being a guide material for cave tourism (cave tourism). This study uses a
qualitative method using sociological analysis tools which include the sociology of
language, structural sociology, tourism sociology and sign semiotics with the aim of a
comprehensive picture of the existence of Jatijajar Cave graffiti from several aspects,
namely historical and geological and especially sociological. The choice of qualitative
method is also related to the pandemic situation which causes the absence of sources to be
interviewed, both traders, guards, visitors and related sources. The final result of this
research becomes a recommendation for relevant parties, especially tourism stakeholders
in Kebumen Regency to make Jatijajar Cave graffiti as a historical text and an attraction
for the development of cave tourism (cave tourism) as part of tourism with sustainable
goals (SDG's).
Keywords: Historical Text, Tourist Attraction, Graffiti Text Meaning, Cave Tourism,
Sustainable Tourism
Abstrak:
Sejak tahun 1975, Gua Jatijajar mengalami penataan ulang desain kawasan dan mulai
diperkenalkan sebagai wisata publik milik Pemerintahan Daerah Kabupaten Kebumen.
Selain aspek geologis yang menjadi nilai jual keberadaan gua ini terdapat nilai sejarah dan
nilai sosiologis yang terdapat pada dinding gua berupa tulisan tangan (grafiti) dari periode
kolonial hingga pasca kolonial. Jika gua-gua pada umumnya berisikan gambar simbolik di
dalam dinding guanya maka dinding Gua Jatijajar memperlihatkan keunikan
karakteristiknya berupa tulisan tangan berisikan keterangan nama dan tahun penulisan dari
1Braindilog Sosiologi Indonesia
2 Pusat Riset Geoteknologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional
tahun 1816-1974. Tulisan tangan berisikan keterangan nama dan tahun penulisan dari
tahun 1816-1974. Penelitian ini memfokuskan menganalisis status sosial pengunjung gua
melalui jejak grafiti berupa nama dan periode tahun mereka menuliskan dengan tujuan
sebagai materi panduan pariwisata gua (cave tourism). Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan menggunakan perangkat analisis sosiologis yang meliputi sosiologi bahasa, sosiologi struktural, sosiologi pariwisata serta semiotika tanda dengan tujuan
gambaran menyeluruh mengenai keberadaan grafiti Gua Jatijajar dari beberapa aspek yaitu
historis dan geologis serta khususnya sosiologis. Pilihan metode kualitatif berkaitan pula
dengan situasi pandemi yang menyebabkan ketiadaan narasumber untuk diwawancarai
baik pedagang, petugas penjaga, pengunjung dan sumber terkait. Hasil akhir penelitian ini
menjadi sebuah rekomendasi bagi pihak-pihak terkait khususnya pemangku kepentingan
pariwisata di Kabupaten Kebumen untuk menjadikan grafiti Gua Jatijajar sebagai teks
historis dan daya tarik pengembangan pariwasata gua (cave tourism) sebagai bagian dari
pariwisata dengan tujuan berkelanjutan (SDG’s)
Kata Kunci: Teks Historis, Daya Tarik Wisata, Makna Teks Grafiti, Pariwisata Gua,
Pariwisata Berkelanjutan
PENDAHULUAN
Sejumlah penelitian mengenai pariwisata gua telah banyak dilakukan al, Strategi
Pengembangan Wisata Gua Pindul Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Sekitar
(Erlangga Brahmanto, 2013), Strategi Pengembangan Objek Wisata Gua Batu Cermin
Ditinjau dari Aspek Lingkungan Geografis di Kecamatan Komodo Kabupaten Manggarai
Barat (Nining Indayani, Susmala Dewi, 2018), Potensi Obyek dan Daya Dukung Kawasan
Obyek Wisata Goa Hwang di Kabupaten Maluku Tenggara (Ongky Safari,
C.K.Pattinasaranny,Yosevita.Th.Latupapua, 2020), Pengelolaan Gua Cerme Sebagai Daya
Tarik Wisata Berkelanjutan (Viona Amelia, Danang Prasetyo (2020), Pembangunan
Pariwisata Berkelanjutan: Studi tentang Pengembangan Wisata Gua Selomangleng di Kota
Kediri (Heylen Amildha Yanuarita, 2018).
Dari keseluruhan penelitian mengenai gua dan keterkaitannya sebagai komoditas
pariwisata, lebih banyak menjelaskan mengenai keunikan gua yang memiliki kisah-kisah
mitologis maupun historis yang dijadikan kekuatan dan daya tarik. Kebaruan dalam
penelitian ini adalah menjadikan grafiti yang membentang ratusan meter di sepanjang Gua
Jatijajar yang telah melintasi tahun (1816-1974) dan ditulis oleh individu dan kelompok
masyarakat yang berbeda menjadi sebuah daya tarik pariwisata gua.
Di Kebumen semasa kolonial, ada dua tempat wisata yang dituju oleh orang-orang
Belanda dan pribumi. Tempat yang pertama adalah pemandian air panas Krakal di
kecamatan Alian dan yang kedua adalah di Karangbolong serta Gua Idjoe atau yang
435
435
Teguh Hindarto1, Chusni Ansori2
kemudian dikenal dengan Gua Jatijajar. Namun semasa kolonial, Karangbolong dan Gua
Idjoe masuk wilayah kabupaten Karanganyar sebelum kemudian dihapuskan status
kabupatennya pada tahun 1935 dan digabungkan menjadi wilayah Kebumen pada tahun
1936.
Pemandian Air Panas Krakal bukan hanya menawarkan keindahan alam pedesaan
melainkan menawarkan sumber alami penyembuhan penyakit melalui khasiat kandungan
larutan kimiawi alam dalam air panas. Banyak peneliti yang telah meriset kemujaraban
kandungan air panas Krakal (Hindarto & Ansori, 2019).
Melalui pelacakan sejumlah buku dan surat kabar dalam bahasa Belanda semasa
kolonial, gua Jatijajar lebih dikenal oleh orang-orang Belanda yang berkunjung ke tempat
ini dengan sebutan Grot van Idjoe (gua Ijo) atau Grot bij Idjoe (gua dekat Idjo). Nama
Idjoe dikaitkan dengan sebuah stasiun kecil yang terletak beberapa kilometer dari lokasi
gua.
Nama Gua Karangbolong dan Gua Ijo menjadi dua lokasi terkenal sejak era
kolonial, di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari kabupaten Kebumen.
Karangbolong dikaitkan keberadaannya dengan pengunduhan sarang walet dan sebuah
pesanggarahan indah untuk bersantai sementara Gua Ijo menjadi tempat melakukan
petualangan ke dalam gua dengan bantuan pemandu yang membawa penerangan.
Lokasi Gua Ijoyang kemudian dikenal dengan Gua Jatijajar telah dimuat dalam
sejumlah buku panduan wisata. Dalam sebuah publikasi berjudul, Lijst van Oudheden en
Bezienswaardigheden op Java dalam buku Handboek Toerisme in Nederlandsch Indie
diberikan sebuah deskripsi lokasi menuju Goa Ijo sbb, “Sesaat sebelum jembatan yang
terletak di perbatasan antara Kedu dan Banjoemas (antara Gombong dan Banjoemas),
seseorang tinggal berbelok kiri dan mencapai Idjoe. Banyak kelelawar hidup di dalam gua,
sehingga baunya sangat tidak sedap” (1927:97). Sampai hari ini, jika wisatawan hendak
menuju lokasi wisata akan melewati sebuah pertigaan jalan raya di mana ada sebuah
sungai yang menjadi batas wilayah Gombong dan Banyumas.
Gambaran lebih detail diulas dalam sebuah artikel berjudul, Karangbolong en De
Grot van Idjoe (Karangbolong dan Gua Idjoe) sbb, “Salah satu tempat terindah di pantai
Selatan Jawa tentunya adalah Pegunungan Karangbolong... Salah satu gua yang paling
terkenal adalah Gua Idjoe yang terletak di sisi barat pegunungan; inilah tujuan perjalanan
kami. Menurut kepercayaan populer, ini pasti kediaman Loro Kidoel, Dewi Pantai Selatan
Jawa” (De Preanger Bode, 19 Mei 1912).
436
436
Teguh Hindarto1, Chusni Ansori2
Inilah yang menjelaskan kenapa di Gua Ijo (Gua Jatijajar) begitu banyak tersemat
tulisan berisikan nama orang (pejabat dan masyarakat umum baik Belanda maupun Jawa
juga Tionghoa) yang menyambangi lokasi tersebut al., Aroeng Binang (bupati Kebumen),
Iskandar Tirtoekoesoemo (bupati Karanganyar). Pengunjungnya bukan hanya dari wilayah
sekitar bahkan ada yang dari Banyuwangi, Solo, Yogya, Klaten, Poerwakerta.
Gua Jatijajar (Gua Idjoe) pada tahun 1975 dijadikan wisata publik. Gua kapur yang
terletak di kecamatan Ayah, kabupaten Kebumen ini memiliki panjang 250 meter dengan
lebar 15 meter serta tinggi 12 meter. Selain sejumlah diorama yang mengisahkan legenda
Raden Kamandaka alias lutung kasarung, juga terdapat patung dinosaurus yang
mengalirkan air dari sendang di dalam gua. Jika membaca penjelasan di Wikipedia terkait
alasan pembuatan patung dinosaurus dikarenakan simbolisasi usia batuan dalam gua yang
sangat tua seperti dinosaurus.
Sebelum adanya profil patung dinosaurus tersebut, sebuah artikel berjudul,
Karangbolong en De Grot van Idjoe (1912) memberikan sebuah deskripsi menarik
mengenai isi gua di mana diasosiasikan dirinya seolah sedang masuk ke perut sebuah
monster bawah tanah (onderaardsche monster). Keberadaan stalaktit dan stalakmit serta
sejumlah aliran air sungai di dalamnya disebutkan menjadi obyek kunjungan. Hanya pada
masa itu, kunjungan ke dalam gua dengan menggunakan alat penerangan berupa obor.
Selain tempat wisata semasa kolonial, lokasi gua ini pernah menjadi pusat
penambangan fosfat baik di era Belanda maupun Jepang. Dalam sebuah artikel berjudul,
Superfosfaat-fabriek te Tjilatjap (Pabrik Superfosfat di Tjilatjap) sebagaimana dilaporkan
Het Nieuws (16 Agustus 1932) sbb: “Beberapa minggu yang lalu saya berburu di
Keboemen Selatan dan melakukan perjalanan ke salah satu dari banyak gua di pegunungan
kapur di sana, termasuk Karang Bolong di pantai Selatan, yang terkenal di kalangan
wisatawan, dan gua Indah di dekat Idjoe (de mooie grot bij Idjoe)...Beberapa bulan yang
lalu, dinas pertambangan di sini melakukan penyelidikan ekstensif terhadap keberadaan
fosfat alam (natuurfosfat) yang sangat berharga untuk pertanian di negara ini...Ternyata
cadangan fosfat alam sangat besar; terjadi di dasar gua pegunungan kapur tersebut. Fakta
bahwa penemuan ini tidak dibuat sebelumnya dikaitkan dengan fakta bahwa fosfat ada di
sana dalam reservoir yang belum diketahui di sini”.
Dari hasil riset tersebut kemudian dikembangkan penambangan batu kapur yang
mengandung fosfat di Goa Idjoe oleh de Algemeene Industrieele Mijnbouw en Exploitatie
437
437
Teguh Hindarto1, Chusni Ansori2
Mijnbouw (A.I.M.E.M.) sebagaimana dilaporkan buku Verslagen en Mededelingen
Betreffende Indische Delfstoffen en Hare Toepassingen (1939:21).
Anggraini dkk (2005) melakukan penelitian arkeologis di kawasan karst Gombong
Selatan. Gua Jatijajar dan Banteng merupakan gua ideal untuk hunian karena kondisi ruang
yang besar serta ketersediaan air dan sirkualasi udaranya. Di Gua Jatijajar ditemukan 3
buah serpihan batu dari gamping silikaan, tulang, tanduk rusa, fragmen tulang dan gigi
hewan dan cangkang moluskal laut. Di Gua banteng dijumpai artefak berupa sisa gerabah,
cangkang molusca laut maupun darat, tulang dan taring binatang.
Melalui artikel ini akan dikaji tulisan-tulisan berisikan nama orang dan tahun yang
merentang dari tahun 1816-1974 dengan pendekatan multidisipliner selain sosiologi untuk
mendapatkan gambaran yang menyeluruh terhadap peran dan fungsi grafiti di Gua
Jatijajar.
Hasil akhir penelitian ini menjadi sebuah rekomendasi bagi para pemangku
kepentingan terkait untuk menjadikan tulisan-tulisan nama dan tahun di Gua Jatijajar
menjadi sebuah teks historis dan daya tarik pariwisata gua. Pengungkapan nama-nama para
pengunjung dan tahun penulisan di Gua Jatijajar dapat menjadi materi penting bagi para
pemandu pariwisata gua.
Beberapa persoalan yang menuntun arah penelitian untuk memahami grafiti di Gua
Jatijajar dan nilainya bagi pengembangan pariwisata gua al., mengapa banyak tulisan nama
dan tahun di gua? Siapakah yang pernah datang ke gua berdasarkan nama-nama yang
tertulis? Dari tahun berapa dimulai dan berakhir di tahun berapa penulisan nama-nama
tersebut? Dengan bahan apa penulisan dilakukan di gua? Bagaimana cara penulisan nama
dan tahun di gua? Apa makna tulisan nama dan tahun di dalam dinding gua tersebut?
Adakah nilai potensial yang terkandung dibalik keberadaan grafiti teks di dinding gua bagi
pengembangan pariwisata?
Permasalahan yang diinventarisir memang lebih banyak memfokuskan kepada
status sosial sebuah masyarakat pada periode tertentu yang dapat dilacak dalam goresan
grafiti di dalam gua dan bukan kelompok sosial yang bekerja di sekitar gua baik mereka
yang bertatus sosial sebagai pengelola wisata, petugas tiket, petugas kebersihan, penjual,
pemandu wisata dsj. Dikarenakan artikel ini ditulis di masa pandemi dan pemberlakuan
kebijakan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) oleh pemerintah
terkait pandemi Covid 19, sehingga berdampak pada penutupan sejumlah kawasan
438
438
Teguh Hindarto1, Chusni Ansori2
pariwisata, sehingga tidak dimungkinkannya melakukan studi kasus dengan menggali
sejumlah informasi dari kelompok sosial yang bekerja di kawasan wisata.
METODE PENELITIAN
Dengan mempertimbangkan minimnya narasumber di kawasan akibat kebijakan
PPKM semasa pandemi Covid 19, maka fokus penelitian dialihkan dari kelompok sosial
yang bekerja di sekitar kawasan wisata gua menjadi kelompok sosial yang pernah
mengunjungi gua khususnya sejak era kolonial, untuk dijadikan materi dan informasi yang
berguna bagi para pemandu pariwisata gua saat pengunjung mendatangi kembali Gua
Jatijajar setelah pemerintah memperbolehkan kegiatan pariwisata.
Metodologi penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sejumlah
perangkat analisis sosiologis yang dipergunakan untuk memahami teks-teks grafiti Gua