PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA STAIN SALATIGA TAHUN 2012 Laporan Penelitian Kelembagaan Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012 Disusun Oleh Tim: Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua) Mukti Ali, M. Hum. (Anggota) Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012 KATA PENGANTAR 1
129
Embed
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN KARAKTER MAHASISWA …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4127/1... · ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara. Tujuan penelitian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGEMBANGAN MODEL PEMBINAAN
KARAKTER MAHASISWA MELALUI KOLABORASI
DOSEN PEMBIMBING, PEMILIK KOS, PEMUKA
AGAMA, DAN KETUA RT PADA MAHASISWA
STAIN SALATIGA TAHUN 2012
Laporan Penelitian Kelembagaan
Dibiayai DIPA STAIN Salatiga Tahun 2012
Disusun Oleh Tim:
Drs. Bahroni, M. Pd. (Ketua)
Mukti Ali, M. Hum. (Anggota)
Dra. Lilik Sriyanti, M. Si. (Anggota)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) SALATIGA
2012
KATA PENGANTAR
1
Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT dan kerjasama dari Tim Peneliti,
penyusunan laporan penelitian kelembagaan dengan judul ”Pengembangan Model
Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen Pembimbing, Pemilik
Kos, Pemuka Agama, dan Ketua RT Pada Mahasiswa STAIN Salatiga Tahun
2012” dapat terselesaikan dengan baik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan rujukan dalam
upaya pembinaan mahasiswa STAIN Salatiga menuju terwujudnya
karakter/akhlaq mahasiswa yang mulia serta menciptakan suasana kampus yang
religius.
Tim Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif dari
berbagai pihak terhadap kekurangan-kekurangan dalam penelitian ini untuk
perbaikan dalam penelitian selanjutnya.
2
ABSTRAK
Pengembangan Model Pembinaan Karakter Mahasiswa Melalui Kolaborasi Dosen
Pembimbing, Pemilik Kos, Pemuka Agama, dan Ketua Rt Pada Mahasiswa
STAIN Salatiga Tahun 2012. Drs. Bahroni, M. Pd. dkk.
Kata kunci : pembinaan, karakter, mahasiswa
Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin padatingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat dipengaruhioleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan dapat pilakarena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara (Hanum,2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh besar terhadappembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya. Para pemimpinbesar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-dasar filosofi yangtidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun juga dapatditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi persoalanpembinaan karakter mahasiswa STAIN Salatiga, baik yang dipersepsikan olehpara mahasiswa sendiri, orang tua mahasiswa, pemilik kos, dan ketua RT sertamasyarakat di tempat kos mahasiswa, dan para dosen pembimbing; dan (2)merumuskan model yang efektif bagi pembinaan karakter mahasiswa STAINSalatiga melalui kolaborasi dosen pembimbing, pemilik kos, dan ketua RT tempatkos mahasiswa.
Kesimpulan penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) dari sisi aturan yangtertulis dalam tatatertib mahasiswa sebenarnya sudah cukup memadai, namunbelum ada kedisplinan dari lembaga dalam menegakkan aturan tersebut sehinggapelanggaran terhadap aturan yang ada cenderung dibiarkan dan tidak diberi sanksiyang terukur; (2) pembinaan mahasiswa sudah dilakukan melalui sejumlah UnitKegiatan Mahasiswa (UKM), namun ketika ada sebagian UKM yang justrukegiatannya dikesankan oleh banyak pihak melenceng dari visi dan missi STAINSalatiga, lembaga belum mengambil tindakan yang signifikan untukmemperbaikinya; (3) setiap kelompok mahasiswa sudah ada Dosen PembimbingAkademiknya, namun peran Dosen Pembimbing Akademik sebagian besar belumoptimal, masih sebatas berperan dalam hal-hal yang bersifat administratifakademik, belum menjangkau peran yang lebih esensial dalam hal pembinaankarakter mahasiswa; (4) pembinaan mahasiswa sebenarnya telah dimulai sejakmahasiswa baru mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik danKemahasiswaan (OPAK), namun momentum penting untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang baik ini belum dimanfaatkan oleh lembaga secara optimalkarena pelaksana kegiatan ini masih didominasi oleh mahasiswa. Ironisnya,sejumlah mahasiswa senior yang ”bermasalah” dalam bidang akademik dan etikajustru ikut menangani kegiatan penting ini. Oleh karena itu, wajar jika dari 800-anmahasiswa baru angkatan 2012, hampir 400 mahasiswa menyatakan bahwapelaksanaan OPAK 2012 kurang baik dan kurang Islami; dan (5) belum adanya
3
kekompakan dan komitmen yang kuat dari pimpinan, dosen, dan karyawan dalampembinaan karakter mahasiswa. Begitu pula belum ada sinergitas dan kerjasamayang baik antara warga kampus dengan orangtua/wali mahasiswa, pemilik kos,pemuka agama, dan ketua RT di sekitar STAIN Salatiga.
4
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
BAB III : METODE PENELITIAN
BAB IV : PAPARAN DATA PENELITIAN
BAB V : PEMBAHASAN
BAB VI : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karakter bangsa adalah ciri khas suatu bangsa yang tercermin pada
tingkah laku dan pribadi warga suatu negara. Sikap tersebut dapat
dipengaruhi oleh sesuatu yang given (sudah ada dari sananya atau kodrat) dan
dapat pila karena willed (yang diusahakan) demi kemajuan bangsa dan negara
(Hanum, 2009). Oleh sebab itu, pemerintah suatu negara memiliki pengaruh
besar terhadap pembentukan karakter bangsa, melalui visi pembangunannya.
Para pemimpin besar atau pendiri negara biasanya telah meletakkan dasar-
dasar filosofi yang tidak hanya menjadi landasan kehidupan bernegara, namun
juga dapat ditransformasikan dalam nilai-nilai kehidupan warga negara.
Rumusan fungsi dan tujuan pendidikan nasional dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) bab II pasal 3 adalah sebagai berikut: "Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).
Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan
pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk
6
warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah
swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang
berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan
paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya
dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa
semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara
Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas
pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan
model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan
tujuan utama tersebut. Dengan kata lain, pendidikan/pembinaan karakter
merupakan fungsi pokok dari pendidikan, baik yang dilaksanakan pada jalur
pendidikan informal, formal, maupun nonformal.
Dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010),
pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk member keputusan baik-buruk, memelihara
apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari
dengan sepenuh hati. Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan
karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tantang hal mana yang baik
sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan
salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya
(psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan
7
tetapi juga “ merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan
perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada
habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter
telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya,
dan tujuan pendidikan nasional, yaitu (1), Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4)
Disiplin, (5) Kerja Keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa
Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Khusus untuk peserta didik yang beragama Islam, penguatan
(intensifikasi) pendidikan keimanan/aqidah/tauhid pada pendidikan tingkat
dasar dan menengah merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.
Mengingat, keimanan/aqidah/tauhid yang benar dan kuat merupakan fondasi
yang sangat kokoh untuk menopang berkembangnya nilai-nilai
karakter/akhlaq terpuji dalam diri peserta didik. Oleh karena mengembangkan
nilai-nilai karakter/akhlaq terpuji tanpa didasari fondasi yang kokoh, ibarat
mendirikan gedung tanpa fondasi, tentu kondisinya sangat rapuh,
mengkwatirkan, dan membahayakan karena sedikit ada goncangan akan
segera roboh.
D. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Hasan (2010) mengatakan bahwa pendidkan karakter setidaknya
mempunyai lima tujuan, yaitu (1) mengembangkan potensi
kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai karakter bangsa, (2) mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan
tradisi budaya bangsa yang religius, (3) menanamkan jiwa kepemimpinan dan
tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, (4)
mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri,
kreatif, dan berwawasan kebangsaan, dan (5) mengembangkan lingkungan
kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh
33
kreativitas dan persahabatan, dan dengan rasa kebangsaan yang tinggi serta
penuh kekuatan.
Adapun menurut Zubaedi (2010), mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu (1) fungsi pembentukan dan pengembangan potensi, (2) fungsi perbaikan
dan penguatan, dan (3) fungsi penyaring. Pertama, fungsi pembentukan dan
pengembangan potensi. Pendidikan karakter berfungsi untuk membentuk dan
mengembangkan potensi peserta didik agar berpikiran baik, berhati baik, dan
berperilaku baik sesuai dengan nilai-nilai keagamaan, kemanusiaan, kesatuan
dan kebersamaan, mesyuwarah, dan solidaritas sosial sebagaimana terkandung
dalam falsafah hidup Pancasila.
Sejujurnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan pada
zaman Orde Baru yang tertuang dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) jika diamalkan secara sungguh-sungguh –yang
dalam zaman Orde Baru –disebut ”secara murni dan konsekuen”, tidak
sekedar sebagai slogan kampanye politik atau sekedar ”proyek” yang bertajuk
”Penataran P4”, sudah cukup memadai untuk membangun karakter bangsa.
Namun sayang, butir-butir nilai Pancasila yang telah dirumuskan secara baik
dan telah diterbitkan secara massal tersebut tidak dihayati apalagi diamalkan
oleh para pejabat publik waktu itu, sehingga sebagain besar rakyat juga ikut
meneladaninya: tidak mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Akibatnya, nilai-nilai Pancasila yang telah dirumuskan dengan sangat baik
tersebut, kini telah dimuseumkan, dilupakan, dan dicampakkan.
Kedua, fungsi perbaikan dan penguatan. Pendidikan karakter
berfungsi memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab
34
dalam pengembangan potensi warga negara dan pembangunan bangsa menuju
bangsa yang maju, mandiri, dan sejahtera. Terkait dengan fungsi pendidikan
karakter dalam memperbaiki dan memperkuat peran keluarga, atau sebaliknya:
peran keluarga sebagai pilar utama untuk kesuksesan pendidikan karakter,
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran yang terjemahannya sebagai berikut.
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yangtidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan" (Q.S. At-Tahrim: 6).
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah,yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar" (Q.S. An-Nisa’: 9).
Keluarga merupakan tempat untuk mempersiapkan generasi muda yang
akan meneruskan perjuangan dari para pendahulunya. Oleh karena itu, para
orang tua harus menciptakan kondisi keluarga yang harmonis, keluarga yang
tenteram yang penuh dengan cinta dan kasih sayang sehingga kondusif untuk
mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan akhlak mulia Jika keluarga
itu sangat kondusif, tentu saja akan menghasilkan generasi penerus yang
tangguh dan tanggap sehingga lebih siap menghadapi berbagai tantangan
kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya,
sebuah keluarga yang tidak kondusif untuk mendidik anak, bukan saja tidak
menghasilkan generasi penerus yang berkualitas, tetapi justru menghasilkan
generasi yang bermasalah yang menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan
masyarakatnya.
Di antara tugas keluarga terutama orang tua dalam pendidikan
karakter/akhlak adalah memberikan teladan yang baik bagi anak-anaknya
35
dalam berpegang teguh kepada akhlak mulia. Keteladanan merupakan faktor
terpenting untuk mencapai tujuan utama pendidikan yaitu tertanamnya akhlak
mulia pada anak-anaknya. Anak yang mendapatkan pendidikan agama dan
pendidikan karakter/akhlak yang baik serta keteladanan yang baik umumnya
akan baik pula karakter/akhlaknya. Namun sebaliknya kurangnya pendidikan
agama dan keteladanan dari orang tua akan berakibat pada buruknya
karakter/akhlak anak.
Ibarat angka, generasi yang bermasalah yang dihasilkan dari keluarga
yang tidak kondusif itu adalah angka minus. Agar menjadi angka plus, tentu
memerlukan perhatian dan perlakuan yang serius karena sebelum menjadi plus
harus melewati angka nol dulu. Pendek kata, perubahan dari generasi minus
menuju plus itu menyita perhatian dan waktu tersendiri yang semestinya
perhatian dan waktu itu sudah dapat dipergunakan untuk "menangkarkan
tunas-tunas muda yang berkualitas pada lahan yang lebih luas" sehinga "panen
raya" akan segera menjadi kenyataan.
Demikianlah gambaran betapa pentingnya menciptakan kondisi
keluarga yang harmonis, keluarga yang tenteram yang penuh dengan cinta dan
kasih sayang (sakinah, mawaddah, wa rahmah) sehingga kondusif untuk
mendidik anak-anak terutama dalam menanamkan karakter/akhlak mulia
kepada mereka, dimana karakter/akhlak mulia ini merupakan prasyarat yang
harus ada bagi tercapainya cita-cita: keluarga bahagia. Dampak positif dari
keluarga-keluarga bahagia itu, akan –secara karambol –berdampak luas bagi
terwujudnya ”lahan” dan lingkungan yang kondusif untuk menyemai benih-
benih karakter mulia. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa: jika banyak
36
keluarga yang baik, keadaan dusun akan baik, desa akan baik, selanjutnya:
kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara akan baik.
Ketiga, fungsi penyaring. Pendidikan karakter berfungsi memilah
budaya bangsa sendiri dan menyaring budaya bangsa lain yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat. Termasuk di
dalamnya adalah menyaring atau menyeleksi berbagai informasi yang semakin
”membanjir” dari media cetak, elektronik, dan online seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini. Fungsi ini
sejalan dengan salah satu fungsi pendidikan sebagaimana yang dinyatakan
Muhadjir (1993), yaitu untuk menumbuhkan kreativitas peserta didik. Di era
teknologi informasi yang canggih dewasa ini, informasi yang diterima
manusia sangat beragam, ada yang bermanfaat dan ada pula sampah informasi
yang beracun. Keragaman informasi menantang manusia untuk memilah,
memilih atau menyaring validitas (kebenaran) isinya, terpercaya salurannya,
dan sebagainya. Dalam menyaring informasi tersebut dibutuhkan kemampuan
kreatif untuk menggeneralisasikan, mengabstrakkan, menemukan hubungan
unuiknya untuk akhirnya menampilkan pendapat, sikap, dan wawasan yang
tepat, sehingga kita tidak hanyut bahkan tenggelam dalam sampah informasi.
Selain tiga fungsi yang telah dipaparkan di atas, pendidikan karater
juga berfungsi untuk menghancurkan penyakit mental block. Prihadi (2009)
menyatakan bahwa penyakit mental block adalah cara berpikir dan perasaan
yang terhalangi oleh ilusi-ilusi yang sebenarnya hanya membuat kita
terhambat untuk melangkah menuju kesuksesan. Di samping memiliki
37
penyakit fisik, manusia juga memilki penyakit mental (mental block), yang
sangat berbahaya untuk seseorang atau kelompok yang ingin sukses.
Penyakit mental ini dapat dideteksi dengan memperhatikan gejala-
gejala awal yang biasanya dialami si penderita seperti suka mengeluh, konflik
batin, tidak ada perubahan kehidupan, dan tidak mau mengambil resiko. Cara
mendeteksi penyakit mental block dapat dilakukan sendiri atau meminta
bantuan orang lain. Caranya dengan pasang target, perhatikan pola, tanya
oarang lain, dan tanya hati nurani. Beberapa penyebab penyakit mental block
adalah citra diri buruk, pengalaman buruk, lingkungan buruk, rujukan buruk,
dan pendidikan buruk. Adapun virus-viru penyebab penyakit ini adalah
banyak alasan, pembenaran, gengsi, malas, takut, menunggu, tidak percaya
diri, dan buruk sangka.
Orang yang terjangkit penyakit mental block perlu segera dilakukan
upaya pengobatan. Penyakit mental block dapat dicegah dengan optimisme,
selalu berpikir positif, antusias, dan terbuka, yang semuanya mencakup aspekn
pemikiran, perasaan, sikap, dan tindakan. Agar proses penyembuhan deangan
pengobatan menjadi lebih efektif, menurut Zubaedi (2011), maka diperlukan
pemahaman serta harus ada kemauan yang kuat, membangun diri,
menemukan, dan mengakui keadaan yang sebenarnya. Adapaun obat penawar
penyakit mental block adalah berani mengambil tanggung jawab, pembuktian
diri, memperjelas sasaran hidup, menaikkan level, dan sebagainya.
E. Nilai-niliai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mengemban misi untuk mengembangkan watak-
watak dasar yang seharusnya dimiliki oleh peserta didik. Pendidikan karakter
38
di Indonesia didasarkan pada sembilan pilar karakter dasar, yaitu (1) cinta
kepada Allah dan semesta beserta isinya; (2) tanggung jawab, disiplin, dan
mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli, dan
kerjasama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; (7)
keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati; serta (9) toleransi, cinta
damai, dan persatuan.
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia
diidentifikasi berasal dari empat sumber yaitu (1) agama, (2) Pancasila, (3)
budaya, dan (4) tujuan pendidikan nasional. Keempat sumber nilai tersebu
dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, agama. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu
didasari pada ajaran agama. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari
nilai-nilai yang berasal dari agama. Karenanya, nilai-nilai pendidikan karakter
harus didasasi nilai-nilai agama.
Kedua, Pancasila. Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut ke dalam pasal-pasal
dalam batang tubuh UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum,
ekonomi, sosial budaya, dan kemasyarakatan. Pendidikan karakter bangsa
bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik
yaitu warga negara yang memiliki kemampuan dan kemauan menerapkan
nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
39
Ketiga, budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia yang hidup
bermasyarakat senatiasab didasari nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat
tersebut. Nilai budaya ini dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap
suatu dalam interaksi dan komunikasi antaranggota masyarakat tersebut.
Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat
mengharuskan budaya sumber nilai dalam pendidikan karakter bangsa.
Dalam konteks dakwah Islamiyah di Indonesia misalnya, kewajiban
berjilbab bagi wanita muslimah telah tegas termuat dalam Al-Quran, namun
belum banyak ditaati oleh sebagian muslimah Indonesia. Sosialisasi kewajiban
berjilbab tersebut terbukti sangat efektif dengan seni-budaya. Sejak Bimbo
menebarkan lagu ”Aisyah Adinda Kita” dan Emha Ainun Nadjib
mempublikasikan puisi ”Lautan Jilbab” maka kini dari hari ke hari kesadaran
wanita muslimah untuk berjilbab nampak semakin meningkat. Kini, jilbab
sudah terasa menjadi ”pakaian resmi” dalam berbagai pertemuan atau acara
yang diadakan oleh instansi resmi maupun warga masyarakat. Pendek kata,
kini jilbab telah membudaya. Memang, menurut Fillah (2007: 331), untuk
menjdi peradaban, setiap proyek pemikiran harus disupport oleh proyek
budaya.
Keempat, tujuan pendidikan nasional. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahu 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU
Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU
Sisdiknas menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
40
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (Depag. RI, 2006).
Dalam UU Sisdiknas di atas dinyatakan secara eksplisit bahwa tujuan
pendidikan nasional yang menempati urutan pertama adalah untuk membentuk
warganegara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah
swt.), dan urutan yang kedua adalah membentuk warganegara Indonesia yang
berakhlak mulia. Penempatan kata "takwa" dan "akhlak mulia" di urutan
paling awal dalam rumusan tujuan pendidikan nasional ini seharusnya
dipahami oleh semua pakar dan praktisi pendidikan di negeri ini bahwa
semangat UU Sisdiknas tersebut adalah ingin mewujudkan warganegara
Indonesia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Artinya, semua aktivitas
pendidikan nasional, mulai dari filosofi, perencanaan, pelaksanaan, dan
model-model evaluasinya semestinya diarahkan dalam rangka mewujudkan
tujuan utama tersebut.
Berdasarkan keempat sumber nilai di atas, dapat diidentifikasi
sejumlah nilai untuk pendidikan karakter sebagai berikut.
NO. NILAI DESKRIPSI
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama. Mewarnai
kehidupan sehari-harinya dengan nilai-nilai
agama. Senantiasa berbuat baik dimana pun dan
41
kapan pun karena merasa selalu diawasi oleh
Allah (ihsan).
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan.
3 Toleransi Sikap dan perilaku yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dengan
dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
path pada berbagai ketentuan dan peraturan
yang baik.
5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baikya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimilikinya.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan problema
kehidupan.
8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
42
orang lain.
9 Rasa Ingin
Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar.
10 Semangat
Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11 Cinta Tanah
Air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan
politik bangsa.
12 Menghargai
Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat dan mengakui serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13 Bersahabat/
Komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan
orang lain.
14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadiran dirinya.
15 Gemar
Membaca
Kesediaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
16 Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
43
Lingkungan mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
18 Tanggung
Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dilakukan untuk diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara dan Allah SWT.
Sekolah dan para guru dapat menambah atau mengurangi nilai-nilai
tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani sekolah dan
hakikat materi Standar Kompetensi/Kompetensi Dasar dan materi bahasan
suatu mata pelajaran. Rumusan nilai-nilai yang menjadi muatan pendidikan
karakter ini memiliki sejumlah persamaan dengan dengan rumusan karakter
dasar yang dikembangkan di negara lain, dan karakter dasar yang
dikembangkan oleh Ary Ginanjar Agustian melalui ESQ-nya. Perbandingan
nilai-nilai karakter dasar tersebut adalah sebagai berikut.
KARAKTER DASAR
Heritage Foundation Character Counts USA Ary GinajarAgustian/ESQ
44
1. Cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya.
2. Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri.
3. Jujur
4. Hormat dan santun
5. Kasih sayang, peduli, dan kerjasama.
6. Percaya diri, kreatif, kerjakeras, dan pantang menyerah.
7. Keadilan dan kepemimpinan.
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan.
1. Dapat dipercaya
2. Rasa hormat danperhatian.
3. Peduli
4. Jujur
5. Tanggung jawab
6. Kewarganegaraan
7. Ketulusan
8. Berani
9. Tekun
10. Integritas
1. Jujur
2. Tanggung jawab
3. Disiplin
4. Visioner
5. Adil
6. Peduli
7. Kerjasama
Agustian (2009:v-xi) merumuskan tujuh nilai karakter dasar/utama
tersebut didasarkan atas kajian bahwa terjadinya krisis moral di tengah
masyarakat kita yang ia sebut sebagai krisis “Budi Utama”, yaitu (1)
hilangnya kejujuran, (2) hilangnya rasa tanggung jawab, (3) tidak berpikir
jauh ke depan, (4) rendahnya kedisiplinan, (5) kurangnya kerja sama, (6) tidak
adanya keadilan, dan (7) memudarnya kepedulian.
Nilai-nilai karakter tersebut sesungguhnya bagian dari 99 nilai Ilahi
yang ada dalam Asmaul Husna yang seharusnya menjadi nilai-nilai insani
yang diamalkan oleh manusia dalam hidup sehari-hari, yakni: (1) saya ingin
menjadi orang yang pengasih (bersifat umum), (2) saya ingin selalu bersifat
45
penyayang (bersifat khusus), (3) saya ingin menguasai diri, (4) saya ingin suci
dalam berpikir dan bertindak, (5) saya ingin hidup selamat/sejahtera, (6) saya
ingin selalu dipercaya, (7) saya ingin selalu memelihara dan merawat, (8) saya
ingin selalu gagah dan terhormat, (9) saya ingin menjadi orang yang perkasa,
(10) saya ingin memilki kebesaran hati dan jiwa, (11) saya ingin selalu
mencipta/berkreasi, (12) saya ingin merencanakan (visi), (13) saya ingin selalu
mendesain dan mewujudkan cita-cita, (14) saya ingin selalu mengampuni
orang lain, (15) saya ingin memiliki kekuatan untuk menopang kebaikan, (16)
saya ingin selalu menjadi orang yang suka memberi (sifat), (17) Saya ingin
selalu memberi (praktik), (18) saya ingin selalu membuka hati orang lain,
menjadi perintis dan pelopor orang lain, (19) saya ingin selalu belajar dan
berilmu, (20) saya ingin mengendalikan sesuatu (positif), (21) saya ingin
selalu melapangkan jalan orang lain, (22) saya ingin merendah demi keadilan,
(23) saya ingin selalu mengangkat demi keadilan, (24) saya ingin selalu
menjernihkan, (25) saya ingin selalu menghinakan orang-orang yang jahat
demi menuju keadilan, (26) saya ingin selalu mendengarkan dan memahami
orang lain (berempati), (27) saya ingin selalu melihat dan memperhatikan
orang lain, (28) saya ingin mengendalikan dan melakukan kontrol dengan
baik, (29) saya ingin selalu bersikap adil, (30) saya ingin selalu bersikap halus
dan merasakan perasaan orang lain, (31) saya ingin selalu berhati-hati, (32)
saya ingin selalu menjadi orang yang penyantun dan lembut hati, (33) saya
ingin bersifat agung, (34) saya ingin selalu menjadi pemaaf (watak), (35) saya
ingin selalu berterima kasih kepada orang lain yang berbuat baik, (36) saya
ingin menjadi orang yang bermartabat tinggi, (37) saya ingin memiliki
46
kebesaran, (38) saya ingin selalu menjaga dan memelihara, (39) saya ingin
memperhatikan dan merasakan pengaduan orang lain, (40) saya ingin selalu
teliti dan cermat dalam segala hal, (41) saya ingin memiliki pribadi yang
luhur, (42) saya ingin selalu dermawan, (43) saya ingin selalu mengawasi dan
memantau, (44) saya ingin selalu memperhatikan keinginan orang lain, (45)
saya ingin memiliki wawasan yang luas, (46) saya ingin selalu bersikap
bijaksana (sifat), (47) saya ingin selalu simpatik dan penyiram kesejukan, (48)
saya ingin selalu bersifat bajik kepada orang lain, (49) saya ingin selalu
membangkitkan motivasi, (50) saya ingin menyaksikan sendiri segala sesuatu,
(51) saya ingin selalu membela yang benar, (52) saya ingin dapat dipercaya
apabila diberi amanat, (53) saya ingin memiliki kekuatan dan semangat yang
tinggi, (54) saya ingin selalu bersikap teguh hati, (55) saya ingin selalu
melindungi, (56) saya ingin selalu bersikap terpuji, (57) saya ingin selalu
memperhatikan semua faktor dan semua sektor, (58) saya ingin selalu
memulai terlebih dahulu dalam berkreasi (berinisiatif), (59) saya ingin
mengembalikan sesuatu ke posisi yang tepat demi keadilan, (60) saya ingin
selalu menghidupkan semangat, (61) saya ingin mematikan pikiran jahat, (62)
saya ingin sering memberikan "kehidupan" kepada orang lain, (63) saya ingin
selalu bersikap tegar dan mandiri, (64) saya ingin melakukan sesuatu yang
baru (inovasi), (65) saya ingin bersifat mulia, (66) saya ingin menjadi orang
yang terbaik, (67) saya ingin selalu menyatukan berbagai hal, (68) saya ingin
selalu dibutuhkan orang lain, (69) saya ingin memliki kemampuan yang
memadai, (70) saya ingin selalu membina orang lain agar memiliki
kemampuan (71) saya ingin mendahulukan sesuatu demi kebenaran, (72) saya
47
ingin mengakhiri dan menghentikan sesuatu demi keadilan, (73) saya ingin
selalu menjadi orang pertama (inventer), (74) saya ingin selalu menjadi orang
terakhir (penutup) yang menentukan, (75) saya ingin memiliki integritas yang
nyata, (76) saya ingin selalu memperhatikan kondisi batiniah diri sendiri dan
orang lain, (77) saya ingin mendidik dan memberikan perlindungan kepada
orang lain, (78) saya ingin memiliki ketinggian pribadi, (79) saya ingin selalu
jauh dari keburukan, (80) saya ingin selalu mau menerima kesalahan orang
lain, (81) saya ingin memperingatkan orang yang salah/keliru demi menjaga
kebaikan, (82) saya ingin bersifat pemaaf, (83) saya ingin bersifat pengasih
kepada yang menderita, (84) saya ingin selalu berhasil, (85) saya ingin selalu
agung, mulia, dan terhormat, (86) saya ingin adil dalam menghukum, (87)
saya ingin selalu berkolaborasi dan bersatu, (88) saya ingin kaya lahir batin,
(89) saya ingin memajukan orang lain, (90) saya ingin selalu mencegah
sesuatu yang buruk, (91) saya ingin menghukum demi keadilan, (92) saya
ingin memberi manfaat kepada orang lain, (93) saya ingin selalu berilmu dan
mulia, (94) saya ingin selalu menjadi orang yang suka membimbing, (95) saya
ingin selalu tampak indah dan menciptakan keindahan, (96) saya ingin
memiliki segala sesuatu secara jangka panjang (memelihara), (97) saya ingin
mewasisi dan mendelegasikan, (98) saya ingin selalu pandai dan cerdas, dan
(99) saya ingin menjadi penyabar dan tidak tergesa-gesa.
F. Nilai-nilai Karakter dalam Sebuah Keutuhan
1. Karakter SAFT
48
Karakter SAFT adalah adalah singkatan dari empat karakter yang oleh para
ulama disebut sebagai karakter yang melekat pada diri pada nabi atau rasul,
yaitu (1) shidiq, (2) amanah, (3) fathonah, dan (4) tabligh.
a. Shidiq
Shidiq adalah sebuah kenyataan yang benar yang tercermin dalam
perkataan, perbuatan atau tindakan, dan keadaan batinnya. Pengertian
shidiq ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1) memiliki sistem
keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan; serta (2) memiliki
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, jujur, dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlaq mulia.
b. Amanah.
Amanah adalah sebuah kepercayaan yang harus diemban dalam
mewujudkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen,
kompeten, kerja keras, dan konsisten. Pengertian amanah ini dapat
dijabarkan sebagai berikut: (1) rasa memiliki/rasa hadarbeni; (2)
memiliki kemampuan mengembangkan potensi secara optimal; (3)
memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup;
dan (4) memilki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan
(silaturrahmi).
c. Fathonah
Fathonah adalah sebuah kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan
bidang-bidang tertentu yang kecerdasan intelektual, emosional, dan
spiritual. Rincian karakteristik jiwa fathonah menurut Toto Tasmara
49
dalam Hidayatullah (2010:62) meliputi: (1) arif dan bijaksana, (2)
intergritas tinggi, (3) kesadaran untuk belajar, (4) sikap proaktif, (5)
orientasi pada Allah, (6) terpercaya dan ternama, (7) menjadi yang
terbaik, (8) empati dan perasaan terharu, (9) kematangan emosi, (10)
keseimbangan, (11) jiwa penyampai misi, dan (12) jiwa kompetisi.
Pengertian fathonah ini dapat dijabarkan ke dalam butir-butir: (1)
memiliki kemampuan adaptif; (2) memiliki kompetensi yang unggul,
bermutu, dan berdaya saing; dan (3) memiliki kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual.
d. Tabligh.
Tabligh adalah sebuah upaya merealisasikan pesan atau misi tertentu
yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Pengertian
tabligh ini dapat dijabarkan dalam butir-butir: (1) memiliki kemampuan
merealisasikan pesan atau misi; (2) memiliki kemampuan berinteraksi
secara efektif; dan (3) memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan
metode dengan tepat.
2. Karakter Baik dan Karakter Buruk
Al-Jauziyah (2005:258) mengemukakan empat sedi karakter baik
dan karakter buruk. Karakter baik didasarkan pada:
a. Kesabaran. Kesabaran mendorong seseorang untuk menguasai
diri, menahan amarah, tidak mengganggu orang lain, lemah lembut, tidak
gegabah, dan tidak tergesa-tega.
50
b. Kehormatan diri. Kehormatan diri mendorong seseorang untuk
menjauhi hal-hal yang hina dan buruk, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, membuatnya memiliki rasa malu yang merupakan pangkal
segala kebaikan, mencegahnya dari kekejeian, bakhil, dusta, ghibah, dan
mengadu domba.
c. Keberanian. Keberanian mendorong seseorang pada kebesaran
jiwa, sifat-sifat yang luhur, rela berkorban, dan memberikan sesuatu yang
paling dicintai.
d. Keadilan. Keadilan membuat seseorang berada di jalan tengah,
tidak meremehkan, dan tidak berlebih-lebihan.
Selanjutnya, karakter buruk juga didasarkan pada empat sendi, yaitu:
a. Kebodohan, yang menampakkan kebaikan dalam rupa keburukan,
menampakkan keburukan dalam kebaikan. Artinya, kekurangan ilmu
menjadikan seseorang bisa tergelincir dalam kesesatan karena kesalahan
dalam memahami hakikat kebaikan dan keburukan, hakikat kebenaran
dan kebathilan, dan sebagainya.
b. Kedhaliman, yang membuat seseorang meletakkan sesuatu tidak pada
tempatnya, memarahi perkara yang semestinya diridhai, meridhai perkara
yang semestinya dimarahi. Kedhaliman menajadikan seseorang
bertindak tidak proporsional.
c. Syahwat, yang mendorong seseorang pada kekikiran, tidak menjaga
kehormatan, rakus, dan hina.
51
d. Kemarahan, yang mendorong seseorang bersikap takabur, dengki dan iri,
suka bermusuhan, dan menganggap orang lain bodoh.
3. Empat Elemen Utama “Excelence”
Empat elemen utama untuk pemahaman konsep “Excelence”, menurut
Michael Hermawan dalam Kertajaya (2010:8-9), yaitu (1) komitmen, (2)
membuka bakat anda, (3) menjadi terbaik, dan (4) perbaikan terus-menerus.
a. Komitmen.
Yang terpenting bukan hanya kesuksesan tetapi pola pikir untuk
sukses. Kita harus secara sadar ingin menjadi yang terbaik. Dalam hal ini
ditekankan mengenai keinginan untuk tidak hanya menjadi “biasa-biasa
saja”. Hasrat dan paradigma untuk sukses mutlak harus ada, baik secara
individu maupun organisasi. Tanpa komitmen ini, tidak mungkin ada
hasrat untuk mencapai “Excelence”.
b. Membuka Bakat Anda
Semua orang di dunia ini sebenarnya memiliki bakat untuk unggul
setidaknya dalam satu bidang. Temukan potensi diri Anda. Setelah
memiliki paradigma untuk sukses, perlu modal untuk mencapai
kesuksesan itu, yaitu kemampuan (ability). Setiap orang pasti
mendapatkan “anugrah” setidaknya satu kemampuan utama. Inilah yang
harus digali. Setelah menemukan bakat utama, selanjutnya harus
mengembangkannya terus-menerus sehingga benar-benar menjadi suatu
kemampuan yang dapat membawa kita menuju excelence. Oleh karena
52
itu, untuk mencapai excelence individu atau organisasi, harus memilih
bidang yang dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
c. Menjadi Terbaik
Yang lebih penting dari bakat adalah upaya memanfaatkan bakat
tersebut. Excelence tidak semata-mata mengenai talenta yang diberikan
Allah., tetapi juga mengenai motivasi untuk memaksimalkan apa yang
sudah dimiliki. Percuma memiliki talenta jika tidak pernah memiliki
keinginan untuk bekerja keras.
d. Perbaikan Terus-menerus.
Dengan semangat “inovasi tiada henti”, kita harus berusaha
meningkatkan standar kesuksesan kita sendiri maupun organisasi dari
waktu ke waktu.
G. Memanusiakan Manusia Melalui Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan nasional sebenarnya identik dengan tujuan
pendidikan Islam yaitu untuk memanusiakan manusia atau mewujudkan
manuasia seutuhnya (insan kamil). Kini, yang perlu dipertegas adalah konsep
manusia seutuhnya dan konsep pendidikan yang dapat mewujudkannya. Dalam
pandangan Islam, manusia merupakan (1) makhluk jasmani-ruhani yang paling
mulia, (2) makhluk yang suci sejak lahir, (3) makhluk etis religius, (4) makhluk
individu dan sosial, (5) makhluk mukallaf yang diberi amanat untuk memikul
tanggung jawab, dan (6) makhluk yang merupakan "gambar Tuhan" yang
diberi percikan sifat-sifat Allah dalam asmaul husna yang harus dikembangkan
53
dan diimplentasikan dalam kehidupannya di dunia ini sebagai wakil Allah di
muka bumi (khaifatullah fil ard) dalam rangka mengabdi atau beribadah
kepada-Nya.
Dengan hakikat wujud manusia yang semacam itu, maka untuk
mewujudkan manusia seutuhnya tentu dibutuhkan konsep pendidikan yang
sesuai. Konsep pendidikan yang paling ideal untuk mewujudkan manusia
seutuhnya adalah konsep yang dibawa Rasulullah SAW lewat madrasah Darul
Arqam, yaitu tempat Rasulullah SAW mentransformasikan nilai-nilai
ketuhanan kepada para di masa-masa kerasulan. Kepada peserta didik diajarkan
bahwa Allah SWT adalah pusat segalanya. Di sisi lain, Rasulullah SAW juga
mengajarkan bahwa manusia tidak bisa dibeli dengan materi karena manusia
tidak sama dengan hewan atau benda mati. Bila ada kesadaran bahwa memiliki
harga diri yang tidak sama dengan benda mati atau binatang, maka manusia
akan terdorong untuk memposisikan diri sebagai leader (khalifah), bukan
follower (budak materi).
Dengan konsep yang demikian itu, secara pelan namun pasti, manusia
yang sudah menyadari akan posisinya sebagai khalifah akan terus berupaya
untuk meningkatkan harkatnya menuju manusia seutuhnya. Bila mengacu pada
ajaran Rasulullah SAW, standar manusia seutuhnya adalah manusia yang
memilki sikap pengabdian total kepada Allah SWT. Merekalah yang akan
menjadi pemimpin yang mampu mentransformasikan nilai-nilai Al-Qur'an,
yang sebenarnya merupakan nilai-nilai kemanusiaan dan ke-Ilahi-an, kepada
seluruh masyarakat. Hanya dengan konsep pendidikan yang semacam ini
peserta didik dapat dientaskan dari keterpurukan moralitas akibat
54
kecenderungannya pada sikap materialistis, pragmatis, dan hedonis dengan
menghalalkan segala cara untuk memuaskan nafsunya yang sebenarnya sampai
kapan pun tidak akan dapat terpuaskan.
Untuk mewujudkan manusia seutuhnya melalui upaya pendidikan
tentunya tidak semudah membalik telapak tangan, namun harus ada upaya
yang serius dan konsisten menciptakan suasana yang kondusif. Di antara faktor
pendidikan yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya perbaikan
moralitas peserta didik melalui pendidikan karakter.
Adapun indikator-indikator manusia yang berkarakter baik dalam
perspektif Islam (ber-Islam secara kaffah) adalah sebagaimana terangkum pada
butir-butir berikut.
Pertama, salimul aqidah (aqidahnya selamat), yang meliputi antara
lain (1) tidak me-ruqyah kecuali dengan Al-Qur'an yang ma'tsur, (2) tidak
berhubungan dengan jin, (3) tidak meminta tolong kepada orang yang
berhubungan kepada jin, (4) tidak meramal nasib dengan melihat telapak
tangan, (5) tidak menghadiri majelis dukun dan peramal, (6) tidak meminta
berkah dengan mengusap-usap kuburan, (7) tidak meminta tolong kepada
orang yang telah dikubur (mati), (8) tidak bersumpah dengan selain Allah
SWT., (9) tidak tasya'um (merasa sial karena melihat atau mendengar sesuatu),
(10) mengikhlaskan amal hanya untuk Allah SWT., (11) mengimani rukun
iman, (12) beriman kepada adanya nikmat dan siksa kubur, (13) mensyukuri
nikmat Allah SWT saat mendapatkan nikmat, (14) menjadikan setan sebagai
musuh, (15) tidak mengikuti langkah-langkah setan, dan (16) menerima dan
55
tunduk secara penuh kepada Allah SWT dan tidak bertahkim/berhukum
kepada selain Allah.
Kedua, shahihul ibadah (ibadahnya benar) yang meliputi antara lain:
(1) tidak sungkan adzan, (2) ihsan dalam thaharah, (3) bersemanghat untuk
shalat berjama'ah, (4) besemangat untuk berjama'ah di masjid/mushalla, (5)
ihsan dalam shalat, (6) qiyamulail/bertahajjud minimal sekali sepekan, (7)
ini meliputi fenomena yang dapat dijangkau secara langsung oleh
pancaindra. Pengetahuan jenis ini dapat dikatakan bahwa sesuatu itu benar
jika pancaindra sanggup menjangkaunya. Batas pengetahuan ini adalah
segala sesuatu yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Kedua, pengetahuan
keilmuan (science). Pengetahuan ini meliputi semua fenimena yang dapat
diteliti dengan riset atau eksperimen, sehingga apa yang berada di balik
pengetahuan indrawi bisa terjangkau. Pengetahuan ini berpendapat bahwa
sesuatu dikatakan benar jika sesuatu itu dapat dibuktikan dan diuji secara
riset dan eksperimen. Batas pengetahuan ini adalah segala sesuatu yang
tidak terjangkau lagi oleh rasio, atau otak dan pancaindra. Ketiga,
pengetahuan falsafi. Pengetahuan ini mencakup segala fenomena yang tak
dapat diteliti, tetapi dapat dipikirkan. Pada pengetahuan tingkat falsafi,
sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan pikiran. Batas pengetahuan ini
adalah alam, bahkan juga bisa menembus apa yang ada diluar alam;
Tuhan.
Makrifat sesungguhnya tidak hanya meliputi pada pengetahuan
yang sesungguhnya terhadap Dzat dan sifat Allah, melainkan sudah pada
tingkat penyaksian secara langsung dengan mata hati kepada al-Haq tanpa
adanya hijab sedikit pun. Pada tingkat inilah seorang hamba benar-benar
akan mengetahui kebenaran tentang Tuhan-Nya.
Makrifat adalah sebuah anugerah pemberian langsung dari Allah
kepada para hamba yang Ia kehendaki. Tentunya Allah sendiri tahu dan
80
tentu akan lebih tahu daripada kita kepada siapa anugerah yang berupa
makrifat tersebut dianugerahkan. Sekali-kali Allah tidak akan pernah
memberi anugerah agung kepada seseorang yang barangkali dari segi apa
pun orang ini tidak pantas untuk menerimanya.
Sebagai suatu anugerah, Allah sesungguhnya memnukakan pintu
ikhtiar bagi hamba-hamba-Nya yang ingin mengenal lebih jauh tentang-
Nya. Pengenalan akan eksistensi manusia adalah merupakan suatu jalan
untuk menuju pengetahuan akan hakikat Tuhan. Artinya, untuk sampai
pada ma’rifatullah, maka terlebi dahulu seseorang harus mengenal hakikat
dirinya sendiri. Itulah sebuah jalan yang pertama-tama harus dilalui.
I. Perlunya Pengorbanan dan Keteladanan dalam Pendidikan Karakter
Husaini (2010) menulis sebuah artikel yang dimuat dalam Republika
dengan judul ”Pendidikan Karakter”. Dalam artikel tersebut, ia menggelorakan
kembali semangat Mohammad Natsir, salah satu pahlawan nasional, yang
sangat percaya bahwa: "Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara
bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya".
Dari pernyataan tersebut, ada dua kata kunci kemajuan bangsa yaitu 'guru' dan
'pengorbanan'. Maka itu, awal kebangkitan bangsa harus dimulai dengan
mencetak 'guru-guru yang suka berkorban'. Guru yang dimaksud Natsir bukan
sekadar 'guru pengajar dalam kelas formal'. Guru adalah para pemimpin, orang
tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. 'Guru' adalah digugu (ditaati) dan
ditiru (dicontoh). Guru bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab
soal Ujian Nasional, tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-
muridnya.
81
Mohammad Natsir adalah contoh guru sejati, meski tidak pernah
mengenyam pendidikan di fakultas keguruan dan pendidikan. Hidupnya
dipenuhi dengan idealisme tinggi untuk memajukan dunia pendidikan dan
bangsanya. Setamat AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung, dia
memilih terjun langsung ke dalam perjuangan dan pendidikan. Ia mendirikan
Pendis (Pendidikan Islam) di Bandung. Di sini, Natsir memimpin, mengajar,
serta mencari guru dan dana. Terkadang, ia keliling ke sejumlah kota mencari
dana untuk keberlangsungan pendidikannya. Kadangkala, perhiasan istrinya
pun digadaikan untuk menutup uang kontrak tempat sekolahnya.
Di samping itu, Natsir juga melakukan terobosan dengan memberikan
pelajaran agama kepada murid-murid HIS, MULO, dan Kweekschool (Sekolah
Guru). Ia mulai mengajar agama dalam bahasa Belanda. Kumpulan naskah
pengajarannya kemudian dibukukan atas permintaan Sukarno saat dibuang ke
Endeh, dan diberi judul Komt tot Gebeid (Marilah Shalat).
Pada 17 Agustus 1951, hanya enam tahun setelah kemerdekaan RI, M.
Natsir melalui sebuah artikelnya yang berjudul “Jangan Berhenti Tangan
Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”, ia mengingatkan bahaya besar
yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu mulai memudarnya semangat
pengorbanan. Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan betapa jauhnya
kondisi manusia Indonesia setelah kemerdekaan dengan prakemerdekaan.
Sebelum kemerdekaan, kata Natsir, bangsa Indonesia sangat mencintai
pengorbanan. Hanya enam tahun sesudah kemerdekaan, segalanya mulai
berubah. Natsir menulis: "Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya
habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini
82
mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang
merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus
tahun yang lampa. Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta
dihargai. Sekarang timbul penyakit bakhil (pelit). Bakhil keringat, bakhil
waktu, dan merajalela sifat serakah. Orang sudah mencari untuk dirinya
sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya.
Peringatan Natsir hampir 60 tahun lalu itu, menurut Husaini (2010) perlu
dicermati oleh para elite bangsa, khususnya para pejabat dan para pendidik.
Jika ingin bangsa Indonesia menjadi bangsa besar yang disegani di dunia,
wujudkanlah guru-guru yang mencintai pengorbanan dan bisa menjadi teladan
bagi bangsanya. Beberapa tahun menjelang wafatnya, Natsir juga menitipkan
pesan kepada sejumlah cendekiawan yang mewawancarainya, "Salah satu
penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan
dalam mencintai dunia."
Lebih jauh, kata Natsir: "Di negara kita, penyakit cinta dunia yang
berlebihan itu merupakan gejala yang 'baru', tidak kita jumpai pada masa
revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite
masyarakat). Tetapi, gejala yang 'baru' ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat
perkembangannya sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika
gejala ini dibiarkan berkembang terus, bukan saja umat Islam akan dapat
mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, melainkan bagi bangsa
kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius."
Dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang
sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program terobosan
83
sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia
pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul,
beriman, bertakwa, profesional, dan berkarakter.
Kini, yang dibutuhkan bangsa ini adalah 'guru-guru sejati' yang cinta berkorban
untuk bangsanya. Bagaimana murid akan berkarakter; jika setiap hari dia
melihat para pakar dan pejabat publik hanya gemar berteori dan berjanji, tanpa
amal nyata. Bagaimana anak didik akan mencintai gurunya, sedangkan mata
kepala mereka menonton guru dan sekolahnya materialis, mengeruk
keuntungan sebesar-besarnya melalui lembaga pendidikan. Misalnya, tidak
sedikit sekolah-sekolah tertentu –dengan dalih Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) –memungut dana yang relatif besar dari wali murid.
Pemungutan dana yang kadang tidak disertai pertanggungjawaban yang jelas
dan tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan yang signifikan,
agaknya tidak begitu salah jika ada orang yang sinis menyatakan bahwa
kepanjangan huruf B dari RSBI adalah bukan Bertaraf melainkan hanya
Bertarif. Artinya, yang meningkat hanya tarifnya, sementara tarafnya tidak
kunjung meningkat.
Pendidikan karakter adalah perkara besar. Ini masalah bangsa yang
sangat serius. Bukan urusan Kementerian Pendidikan semata. Presiden,
menteri, anggota DPR, para pejabat publik lainnya, para pendidik, dan para
orang tua harus memberi teladan.
J. Karakter Cermin Aqidah
Karakter/akhlaq merupakan cerminan keyakinan yang telah melekat kuat
dalam jiwa. Bukan karena bagusnya pemahaman, melainkan kuatnya
84
penghayatan. Ia menyandarkan diri pada nilai-nilai tertentu dan berusaha
secara sengajabertindak dan menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan
yang diyakini. Boleh jadi seseorang adakalanya tindakannya tidak sesuai
dengan keyakinannya, tetapi ia melakukannya tidak dengan ringan hati. Ia tetap
mengingkari perbuatannya dan berusaha agar sesuai dengan keyakinannya.
Ada yang perlu kita renungkan tentang pendidikan anak-anak kita. Ada
yang prlu kita kaji kembali apakah sekolah-sekolah kita sudah melaksanakan
proses penanaman karakter mulia secara sadar, sengaja, dan terencana? Ini
merupakan tanggung jawab seluruh unsur sekolah, terlebih guru yang setiap
hari bertemu anak-anak. Jika penanaman karakter/akhlaq hanya menjadi
tanggung jawab guru pengampu mata pelajaran yang terkait agama dan budi
pekerti, maka sesungguhnya di sekolah tersebut tidak ada pendidikan. Ia hanya
lembaga pengajaran atau kursus yang bernama sekolah, bukan pendidikan yang
sebenarnya (the real education). Mari kita perbaiki niat, persepsi, dan tindakan
kita untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang berkarakter kuat dan
mulia agar masa depan bangsa lebih baik.
Sebagai seorang pendidik, khususnya guru agama Islam, kita harus
menghayati dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip utama untuk membangun
karakter peserta didik yang akan melahirkan peradaban bangsa yang unggul
yang sesuai dengan fitrah manusia, sebagaimana telah diletakkan olen Nabi
Muhammdan saw. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dan tersurat dalam jawaban
Rasulullah saw ketika menjawab pertanyaan dari Ali bin Abi Thalib r.a.,
sebagai berikut.
Ma’rifat adalah modalku, akal pikiran adalah sumber agamaku,rindu kendaraanku, keteguhan perbendaharanku, duka adalah kawanku,
85
ilmu adalah senjataku, ketabahan adalah pakaianku, kerelaan sasaranku,faqir adalah kebanggaanku, menahan diri adalah pekerjaanku, keyakinanmakananku, kejujuran perantaraku, ketaatan adalah ukuranku, berjihadperangaiku, dan hiburanku adalah dalam sembahyang (Haekal, 200:214).
Prinsip-prinsip inilah yang merupakan kunci dari semua landasan
tentang kepemimpinan Rasulullah saw, sehingga Beliau sukses mencapai
puncak tertinggi kepemimpinannya: sukses membentuk karakter para sahabat
yang mulia, sukses membangun peradaban manusia yang manusiawi. Ya,
membangun karakter memang hanya akan sukses dilakukan oleh orang-orang
yang juga berkarakter!
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini berusaha menghasilkan sebuah model yang dilakukan
dengan peendekatan penelitian kualitatif. Taylor (dalam Meleong, 2002: 3)
86
mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-
orang atau periklaku yang diamati. Data deskriptif adalah data yang
dikumpulkan berupa kata-kata, gambar bukan angka. Semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap yang diteliti.
Pendekatan penelitian ini adalah induksi-konseptualisasi, yaitu dilakukaan
dengan Dari fakta/ informasi ke konsep dirubah kedalam bentuk yang lebih
abstrak. Data yang terakumulasi dibawah suatu label akhirnya dikembangkan
menjadi pernyataan-pernyataan tentang definisi nominal, makna teoritis, atau
konten substantif dari suatu konsep. Dengan demikian , akan diperoleh suatu
makna atas dasar interrelasi dalam sistem kategori yang lebih alamiah
sifatnya.
B. Desain dan Langkah Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah explanatory mixed methods
research design (Creswell, 2008), yaitu dengan memadukan antara
pendekatan kuantitatif dengan pendekatan kuantitatif secara terpadu dan
saling mendukung. Desain tersebut divisualisasikan pada bagan 1 berikut.
menindaklanjuti
Bagan 1 explanatory mixed methods research design ( diadaptasi dari
Creswell, 2008)
87
QUANTITATIVE(data dan hasil)
QUALITATIVE(data dan hasil)
Pendekatan kuantitatif digunakan untuk melakukan pendataan awal
terhadap prolematik yang dialami mahasiswa, sementara pendekatan kualitatif
digunakan selama proses pengembangan model yang melibatkan dosen mata
kuliah, dosen penasehat akademik, satuan keamanan kampus, karyawan, ketua
RT/RW, pemilik kos dan tokoh agama/tokoh masyarakat kota Salatiga.
Adapun tahap penelitian secara rinci akan dilakukan sebagai berikut:
1. Tahap persiapan : merupakan studi pendahuluan dan kajian pustaka yang
bertujuan mendapatkan konsep tentang pengembangan model pendidikan
karakter bagi mahasiswa
2. Tahap merancang model hipotetik : yaitu merancang model
pengembangan pendidikana karakter mahasiswa yang didasarkan hasil
studi literatur dan kondisi objektif karakter mahasiswa STAIN Salatiga
serta kondisi lingkungan kampus, dosen, karyawan dan lingkungan tempat
tinggal mahasiswa
3. Merancang model pembinaan karakter mahasiswa dengan berkolaborasi
dengan dosen pembimbing akademik (dosen PA), dosen senior, tokoh
masyarakat, tokoh agama, RT/RW lingkungan mahasiswa tinggal serta
pemilik kos
4. Tahap merancang model akhir melalui ferivikasi dengan dari para
kolaborator dan dua ahli dalam bidang pembinaan karakter.
5. Tahap perbaikan model hipotetik, dilakukan dengan terlebih dahulu
melakukan evaluasi hasil uji kelayakan model, memperbaiki model secara
kolaboratif dan menyusun kembali model pembinaan karakter mahasiswa.
6. Tahap uji lapangan, yaitu melakukan uji empirik model pembinaan
88
karakter mahasiswa melalui uji efektivitas model
7. Tahap merancang model akhir, disusun secara kolaboratif berdasar hasil
evaluasi uji empirik hingga tersusun model akhir
C. Penjelasan Istilah
1. Model
Kartadinata (2008) menyatakan bahwa model merupakan
seperangkat asumsi, proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara
empirik yang diorganisasikan ke dalam sebuah struktur untuk
menjelaskan, memprediksi dan mengendalikan perilaku atau tindakan.
Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir yang
diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya.
Mills et al (1989:4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk
representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang
atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang
terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya
merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep.
Berdasar pandangan para ahli tersebut, yang dimaksud model
dalam penelitian ini adalah konstruksi konkret dari suatu konsep, asumsi,
proposisi atau prinsip yang terverifikasi secara empirik yang
diorganisasikan ke dalam sebuah struktur untuk menjelaskan,
memprediksi dan mengendalikan perilaku atau tindakan
2. Kolaborasi
Frans & Bursuck (1994:76) yang mengatakan bahwa
“collaboration is a style professional chose to use in order to accomplish
89
a goal they share”. Kolaborasi merupakan proses interprofesional untuk
mengkomunikasikan dan pengambilan keputusan dari beberapa
pengetahuan dan ketrampilan yang terpisah-pisah menjadi lebih sinergi
(National Health and Medical Reseach Council, 2010 : 4). Sementara
Johnson & Johnson (1987) menyatakan bahwa kerjasama (cooperating,
collaborate, joining together) adalah keikutsertaan individu-individu
dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal antar
anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi
mempunyai arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus
melakukan perencanaan bersama dan melaksanakannya secara bersama
pula, sebagaimana diungkap oleh Idol & Baran (dalam Schmidt 1999)
bahwa : “ in collaboration, planning and implementing are joint effort”.
Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara
aktif dari anggota tim.
Berdasar uraian diatas, yang dimaksud kolaborasi dalam penelitian ini
kerjasama antara dosen penasehat akademik, dosen matakuliah, konselor
biro konsultasi, tokoh agama/tokoh masyarakat, RT/RW tempat mahasiswa
tinggal serta pemilik kos dalam merancang model pengembangan karakter
mahasiswa
3. Karakter Mahasiswa
Karakter mahasiswa merupakan serangkain kualitas pribadi
mahasiswa yang membedakannya dengan orang lain. Karakter menuntut
adanya pengahayatan nilai, proses mengidentifikasikan diri dengan nilai-
nilai yang diyakini sehingga ia senantiasa berusaha agar bersesuaian
90
dengan nilai yang diyakini sehingga pada akhirnya terjadi karakterisasi
diri.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini mahasiswa baru STAIN Salatiga tahun ajaran
2012/2013 sebanyak 700 orang
E. Teknik Pengumpul Data
1. Angket, digunakan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan untuk
mengetahui kondisi awal karakter mahasiswa STAIN Salatiga
2. Wawancara, ditujukan kepada mahasiswa, alumni, dosen dan karyawan
untuk menemukan data awal tentang kondisi mahasiswa STAIN Salatiga
3. Focus Group Discussion (FGD)
Fokus Grup Diskusi (FGD) merupakan salah satu teknik dalam
mengumpulkan data kualitatif di mana sekelompok orang berdiskusi
dengan pengarahan dari seorang moderator atau fasilitator mengenai suatu
topik. Irwanto (2006: 1-2) mendefinisikan FGD adalah suatu proses
pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu
permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
Tujuan FGD adalah untuk memperoleh informasi yang mendalam tentang
sesuatu aspek yang sedang dipelajari terutama yang berkaitan dengan
sikap dan tanggapan terhadap suatu program atau keadaan.
Karakteristik FGD meliputi beberapa hal sebagai berikut : Peserta
terdiri dari 6 – 12 orang, peserta sebaiknya tidak saling mengenal secara
akrab, merupakan proses pengumpulan data yang bersifat kualitatif,
menggunakan diskusi yang terfokus pada suatu topik atau teman tertentu.
91
Berdasar karakteristik tersebut pelaksaan FGD dalam penelitian ini sudah
sejalan dengan tuntutan pelaksanaan FGD, yaitu jumlah peserta masing-
masing kelompok 6 dan 7 orang.
FGD digunakan sebagai tehnik utama penelitian ini, yang
dilakukan untuk memperoleh model pengembangan karakter mahasiswa
secara kolaboratif. Tujuan FDG adalah untuk mendapatkan data tentang
kondisi mahasiwa serta untuk mendapatkan masukan secara komprehensif
bagi pengembangan model pembentukan karakter mahasiswa dari berbagai
perspektif.
Dalam penelitian ini, FGD melibatkan dosen pembimbing
akademik, dosen mata kuliah, pembina ma’had, pembina kemahasiswaan,
konselor Biro Konsultasi Tazkia, ketua RT/RW tempat mahasiswa tinggal,
pemilik kos dan tokoh agama/tokoh masyarakat kota Salatiga. FGD
dipandu oleh seorang fasilitator, seorang notulen serta seorang pengamat.
Data hasil FGD dianalisis secara elaborasi, reorientasi, mengamati
peserta yang dominan, mendeskripsikan peserta yang diam,
mendeskripsikan antusias peserta serta ekspresi peserta ketika
mengemukakan pendapatnya dan menyajikan foto pelaksanaan FGD.
4. Observasi, untuk mengamati perilaku mahasiswa baik di dalam maupun di
luar kampus sebagai cermin kondisi karakter mahasiswa. Aspek yang
diobservasi meliputi tatacara pergulan, gaya busana serta penampilan fisik
lainnya.
F. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data melalui empat cara sebagai berikut.
92
1. Kredibilitas
Kredibilitas data penelitian dipertahankan dengan cara menambah
lama penelitian, mengupayakan observasi secara detail, triangulasi, per
debriefing, dan member check. Juga dilakukan dengan menguji informasi
dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden
terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
Peneliti juga melakukan Peer debriefing (membicarakannya
dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang
diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
Langkah lain yang peneliti lakukan untuk mengecek keabsahan data
adalah dengan melakukan member check yaitu dengan menguji
kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan
pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan
mengaplikasikannya pada data, serta dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang data.
2. Transferabilitas
Transferabilitas data adalah merupakan kemampuan hasil
penelitian ini untuk diterapkan pada situasi yang lain. Data penelitian ini
dapat diterapkan dalam situasi yang berbeda.
3. Dependability
Dependability merupakan tingkat konsistensi peneliti dalam
mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep
ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan. Dependability
93
dibuktikan dengan adanya pengulangan data tetapi menunjukkan hasil
yang sama. Juga peneliti lakukan dengan memeriksa makna segala sesuatu
yang di luar, menggunakan kasus ekstern serta menyingkirkan hubungan
yang palsu
4. Konfirmabilitas
Konfirmabilitas menunjukkan hasil penelitian dapat dibuktikan
kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang
dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan
dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan
tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih
objektif. Untuk menjaga konfirmabilitas dilakukan dengan membentuk
rantai bukti (Chain Evidence), mencari penjelasan tandingan, memberi
bukti yang bertentangan, membuat replika dan berusaha mencari umpan
balikan dari informan.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data kualitatif menurut Patton (dalam Hasan, 2006:29) adalah
proses mengatur, mengurutkan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu
pola, kategori, dan uraian dasar. Terdapat tiga langkah dalam analisis
data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan
(Miles dan Huberman, 1992). Reduksi data adalah proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transforma
si data kasar yang muncul dari catatan tertulis di lapangan.
94
proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian
berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sebagaimana
terlihat dari kerangka konseptual penelitian, permsalah studi dan
pendekatan pengumpulan data yang terplih peneliti.
Reduksi data meliputi : Meringkas data, mengkode, nelusur tema,
membuat gugus-gugus. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang
menajamkan data, menggolongkan, mengarahkan, ,membuang yang tidak
perlu dan mengorgasisasikan data sedemikian rupa
sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Reduksi data adalah data yang
diperoleh dari lapangan ditulis dan diketik dalam bentuk urutan atau laporan
yang terperinci (Nasution, 2003:129).
Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi d
isusun, sehingga memberikan kemungkinan aakan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data penelitian ini dalam
bentuk teks naratif dari catatan lapangan baik hasil FGD, hasil observasi
maupun hasil wawancara.
Efektivitas model pembinaan karakter mahasiswa diuji menggunakan
t-tes untuk menguji perbedaan antara karakter sebelum menggunakan model
dengan karakter mahasiswa setelah diterapkannya model.
95
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN
A. Focus Group Discussion (FGD) dengan Dosen
1. Ihwal Busana
Banyak mahasiswa yang menggunakan levis yang sobek-sobek,
kaos oblong, sandal jepit, dan lainnya sebagai identitas sekaligus update
budaya yang ada. Unik nyentrik dan nyeni alasan mahasiswa
96
penggunanya. Untuk menambah aksen dan mengikuti budaya anak muda
secara umum tidak tanggung-tanggung terdapat bebrapa mahasiswa laki-
laki STAIN Salatiga yang memakai kalung, menindik cuping hidungnya
atau menindik daun telinganya tindik, atau aksesoris lainnya.
Selain mahasiswa, tidak sedikit karyawan dan dosen yang masih
menggunakan pakaian ketat, legging, jilbab yang tidak menutupi dada, dan
transparan. Ada kalimat yang sebetulnya terlalu cepat untuk mengatakan
bahwa rata-rata mahasiswi STAIN Salatiga menganut dan menggunakan
mode atau tata busana yang tidak mencerminkan muslim-muslimah.
2. Pergaulan Antarmahasiswa
Pergaulan laki-laki dan perempuan sebagian dari mahasiswa sangat
bebas kalau bukan kelewat batas. Kebiasaan ini memang berbeda tipis
dengan hubungann layaknya mahasiswa yang sangat intens dengan dunia
dialektis, ngobrol berdua berlainan jenis di kampus sebetulnya tak jadi
masalah, masih dalam dunia wajar, dan tidak perlu untuk berfikir negative,
karena bisa jadi apa yang mereka obrolkan berdua adalah tentang tugas
kuliah, tugas kelompok, atau masalah organisasi, tetapi semua berhak
untuk menilai dan menganggap bahwa itu bukan sekedar tugas kelompok,
diskusi, atau organisasi. Raut wajah mereka ketika berdua adalah raut
wajah hubungan special, intensitas mereka di tangga-tangga gedung, di
teras kelas, memang beraroma cinta kasih yang lupa akan kondisi, situasi,
dan lupa lagi berada di mana mereka lupa berlakunya etika di tempat
umum, lingkungan kampus seakan sirna, dan yang hadir adalah aroma
tempat mojok,, untuk mereka berdua, secara reflek memegang hidung, tiba
97
tiba memegang kepala dari mereka. Lain lagi dengan beberapa kebiasaan
mahasiswa dan mahasiswi yang boncengan dengan motornya, tanpa rasa
risih mereka terlalu cuek melakukannya.
Bahkan lupa atau karena terbiasa dengan kondisi yang sangat dekat
anatra mahasiswa dan mahasiswi, dalam berkomunikasi, sampai terbawa
ke ruang kelas, sehingga pada saat perkuliahan ada baiknya dipisahkan
antara lorong perempuan dan lorong laki-laki, hal ini harus dapat perhatian
khusus dan dapat diinstruksikan oleh dosen.
Kalau memang harus berlebihan, tidak terlalu nyaman rasanya
ketika melihat mahasiswa dan mahasiswi berdua atau pun berkelompok
menggunakan jaringan internet di sudut-sudut yang terutup, di tangga-
tangga gedung biasanya atau di emper kelas yang terhalang pagar lantai,
yang semuanya memungkinkan untuk mengantarkan pada sebuah
kesempatan. Untuk memutus kesempatan tadi, dapatkah diupayakan
daerah-daerah terbuka saja untuk mengakses internet.
Adalah salah satu yang selalu menjadi problem bersama, tidur di
kampus atau mahasiswa yang bukan saja menganggap bahwa kantor UKM
sebagai sekertariat, akan tetapi menggunakan UKM sebagai tempat tidurr,
kosan, atau mungkin hotel. Berbagai macam alasan yang dikeluarkan
mahasiswa untuk mempertahankan kebiasaan ini. Tapi menurut berbagai
pihak memang terasa tidak layak untuk bermalam di kampus. Kegiatan
mahasiswa di malam hari, mengindikasikan pergaulan mahasiswa yang
tidak mencerminkan nilai etika islami
3. Toilet Laki-laki dan Toilet Perempuan
98
Kurangnya fasilitas kamar mandi, bukan sebuah ungkapan tanpa
rasio. Memang bukan untuk mandi penyebutan kamar mandi ini, munkin
lebih pas kalau menggunakan toilet saja, karena hanya digunakan untuk
buang hajat dan kalau memungkinkan untuk mengambil air wudhu.
Kekurangan kamar mandi atau toilet ini memeng secara rasio
perbandingan dengan masyarakat yang ada di dalam kampus STAIN
Salatiga ini terbilang kurang cukup untuk memadai.
Persoalan ini juga merembas pada persoalan pembagian tempat
buang hajat tersebut, mana untuk laki-laki dan mana untuk toilet
perempuan. Melihat kampus umum yang dipandang kampus sekuler saja,
penempatan toilet antara tolilet perempuan dan toilet laki-laki bukan
sekedar kamar yang berada pada satu tempat melainkan pemisahan tempat
dalam satu gedung yang biasanya memiliki jarak yang cukup, paling tidak
dipisah oleh ruang-ruang, sehingga dapat digambarkan toilet laki-laki dan
toilet perempuan berada di ujung gedung berlawanan.
Untuk menambah dan mengikat karakter yang religious dan
mengedepankan akhlak al-karimah, dapat dilakukan ketika istirahat dapat
juga dihangatkan oleh musik-musik religious kalau bukan musik
instrumental classic, seperti Beethoven, Mozart, atau Sebastian Bach.
Dilanjutkan setelah shalat zhuhur berjamaah dengan disisipi tausiah-
tausiah yang diputar kembali di ruang-ruang dengan pararel IT.
Perlu perhatian khusus bagi perokok, kalau tidak berhak untuk
melarang merokok; melalui kesadaran membuang puntung, tempat
99
merokok, merokok dan membuang punting tidak boleh di setiap tempat,
harus ada tempat khusus.
4. Kebersihan
Kebersihan di lingkungan kampus dapat dipastikan menjadi
wilayah pemikiran dari seluruh civitas akademika STAIN Salatiga, baik
kebersihan lingkungan yang dapat langsung dilihat secara kasat mata,
misalnya halaman-halaman yang dimiliki oleh kampus STAIN belum
dilihat dari segi estetika, ruang halaman yang tidak begitu luas, plus
kesadaran masyarakatnya untuk memperhatikannya serta masih
menyerahkan pada OB-OB atau petugas kebersihan. Mahasiswa masih
membuang sampah sekenanya, karena dianggap tidak tersedianya tong-
tong sampah
Masih banyaknya sampah berserakan adalah bukti tidak
terbangunnya kesadaran dalam pribadi-pribadi masyarakat kampus.
Kebersihan harus menjadi wilayah tidak bisa dikesampingkan perannya,
karena dengan kondisi yang bersih dan nyaman semua proses pendidikan
perkuliahan akan kondusif.
5. Suasana Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan Kegiatan Perkuliahan
Sekertariat Ukm-ukm yang kumuh. Suasana kampung teater yang
tidak indah dan rapi. Ruang teater posisinya kurang tepat, mestinya
dilokasi yang tersembunyi.Terganggu oleh kegiatan atau latihan UKM
teater dan music di dekat ruang kuliah atau di lingkungan kampus pada
jam perkuliahan, bahkan waktu-waktu shalat. Sehingga seharusnya
kegiatan-kegiatan itu diupayakan pada waktu bukan jam perkuliahan.
100
Penataan tempat ukm yang kurang reresentatif, sehingga sering
mengganggu kegiatan perkuliahan. Karakter dan peranggan masyarakat
UKM kurang mendapat contoh dari senior dalam berakhlak, dan kegiatan
malam hari harus ditiadakan, lembur harus selesai jam 20.
6. Hubungan Mahasiswa dan Dosen
Hubungan sosial antara mahasiswa dan dosen kurang baik,
kebersihan kurang medapat perhatian baik kebersihan tempat maupun
pakaian. Sosialisasikan peraturan yang massif, bimbingan akhlak terkait
dengan mata kuliah, demonstrasikan dalam sosialisasi, adanya kampanye
hidup bersih. Hindari mahasiswa yang sering ijin dengan menggunakan
fasilitas sms
Masih adanya suasana dilingkungan karyawan dan dosen yang
kurang mendukung terciptanya suasana akhlakul karimah, misalnya
pelayanan kurang ramah yang terkesan angker di mata mahasiswa, dan
terdapat mahasiswa kurang rajin dalam mengikuti perkuliahan
7. Sosialisasi Shalat Berjamaah dan Kegiatan Perkuliahan
Masih ada perkuliahan yang berjalan sementara waktu shalat sudah
tiba, buat jadwal kuliah yang disesuaikan dengan jadwal shalat, jika tidak
buata jadwal yang meniadakan jamperkuliahan pada waktu-waktu shalat.
Kesadaran beribadah belum tumbuh pada sebagian mahasiswa dan civitas
akademik. Perlu adanya spiritual and social life skill melalui tadarus
alquran, pengajian, dll.
Beberapa dosen juga menyarankan untuk mengampanyekan shalat
berjamaah di masjid lingkungan kampus, buatkan peraturan khusus untuk
101
hari jumat, misalnya 15 menit sebelum masuk waktu jumat aktivitas
kampus sudah harus berhenti. Dan menghiasi ruangan-ruangan kelas
dengan kaligrafi ayat-ayat yang menekankan pada pemebentukan karakter
yang etis. Sehingga seluruh civitas dapat termotivasi.
8. Kebijakan
Beberapa harapan dan masukan dari beberapa sebagian besar dosen
untuk membuat kontrak atau peraturan kampus mengenai kegiatan
mahasiswa yang diadakan di malam hari. Masukan untuk adanya peratuan
tersebut misalnya; kgiatan malam hari harus selesai sekitar jam 22.00 dan
keadaan kampus harus kosong, kecuali mereka yang mempersiapkan
kegiatan esok harinya melalui ijin khusus dari lembaga. Dan ini sebetulnya
sudah berjalan beberapa waktu yang disosialisasikan oleh kemahasiswaan
baik Puket III bidang kemahasiswaan, UPK, dan mahasiswa sendiri
diberbagai kesempatan, karena sebenarnya peraturan tersebut juga sudah
dikeluarkan oleh ketua STAIN.
Mahasiswa juga memandang perlu terbentuknya dewan etika,
mengenai perilaku mahasiswa. Sebenarnya dewan etik sudah terbentuk
yang di dalamnya terdapat pejabat STAIN Salatiga, UPK, ketua Jurusan,
kaprodi, dan beberapa dosen yang pernah mengemban tugas di bidang
kemahasiswaan. Dewan etik ini memang belum terlalu banyak menyikapi
penyimpangan prilaku mahasiswa yang masih dalam katagori wajar,
artinya dewan etik hanya menyikapi dan bertugas masih terbatas pada
penanganan persoalan-persoalan yang sangat melewati batas kewajaran
atau penyimpangan perilaku yang berat. Misalnya kasus asusila hubungan
102
suami yang dilakukan oleh sepasang mahasiswa yang belum sah. Selain
itu kasus pencurian dan lain sebagainya yang itu merugikan pihak lain.
Adanya konsistensi dalam menjaga nilai-nilai akhlak atau karakter
antara pendidik dan terdidik. Pendekatan etika harus dibenahi melalui
dualmetode yaitu metode secara teoritis maupun praktis sehingga
mendekati ke holistik. Untuk merealisaikannya lebih ditekankan pada
peraktis pembiasaan. Sementara secara teoritis adakan kuliah-kuliah
tematik; tema etika berhubungan sosial, etika sopan antun, tata karma, dan
kajian budaya. Adanya sinergisitas antarcivitas akademik STAIN Salatiga
menjadi kunci utama untuk membentuk karakter manusia yang beretika.
Kampus terkesan tidak ada regulasi yang jelas dan terkesan tidak
berani untuk menjalankan regulasi kalaupun ada. Buat regulasi, tegakan
aturan, perkuat pengawasan, dan pembinaan berikan teladan yang baik.
Terbentuknya komitmen bersama yang mengarah pada akademik murni
bukan kepentingan golongan. Pejabat kampus yang sok bergaya humanis
terhadap mahasiswa tertentu sehingga kejorokan tetap tidak tersentuh, dan
tidak ada penghargaan atas mahasiswa yang berprestasi, hal ini harus
dikondisikan secra berkesinambungan, sinergisitas antara civitas
akademik.
Orientasi awal hendaknya ditekankan pada etiket, membentuk