WORKING PAPER Sahminan Ginanjar Utama Robbi Nur Rakhman Idham WP/3/2016 2016 Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen Dampak Reformasi Struktural terhadap Perekonomian Indonesia Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan resmi Bank Indonesia.
36
Embed
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen Dampak Reformasi ... file2 Peneliti Ekonomi di DKEM, Bank Indonesia. ... pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan ... Pengeluaran pemerintah untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
WORKING PAPER
Sahminan
Ginanjar Utama
Robbi Nur Rakhman
Idham
WP/3/2016
LHP/ /DKEM/2015
2016
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen
Dampak Reformasi Struktural terhadap
Perekonomian Indonesia
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang d isampaikan o leh penul is dalam paper ini
merupakan kesimpulan, pendapat dan pandangan penul is dan bukan merupakan
kes impulan, pendapat dan pandangan resmi Bank Indones ia .
i
Pengembangan Model DSGE untuk Asesmen Dampak Reformasi
Struktural terhadap Perekonomian Indonesia1
Sahminan, Ginanjar Utama, Robbi Nur Rakman, Idham2
Abstrak
Salah satu program Pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi adalah
meningkatkan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas melalui peningkatan pengeluaran
Pemerintah untuk pembangunan infrastruktur.Dalam penelitian itu dibangun suatu model
DSGE perekonomian terbuka (small open economy) untuk memperkirakan dampak
pengeluaran Pemerintah terhadap output dan welfare di Indonesia. Model DSGE yang
dibangun menggunakan parameter yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian Indonesia.
Hasil simulasi menunjukkan bahwa kenaikan investasi pemerintah sebesar 1% mengakibatkan
peningkatan pertumbuhan output sebesar 0,05% dalam jangka pendek, dan output multiplier
sebesar 0,20. Kenaikan investasi pemerintah juga mengakibatkan kenaikan welfare dengan
multiplier sebesar 0,05. Sementara itu, dalam jangka pendek peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk konsumsi sebesar 1% berpotensi mendorong peningkatan pertumbuhan
ekonomi sebesar 0,04%, tetapi output multiplier hanya sebesar 0,03, jauh lebih kecil daripada
output multiplier dari pengeluaran pemerintah untuk investasi. Di sisi lain, peningkatan
pengeluaran pemerintah untuk konsumsi mengakibatkan penurunan welfare dengan multiplier
Salah satu masalah utama yang dihadapi perekonomian Indonesia adalah keterbatasan
infrastruktur, baik dari sisi ketersediaan maupun kualitas. Hal itu terlihat dari peringkat
infrastruktur Indonesia yang masih rendah. Data dari Global Competitiveness Index 2016-2017
menunjukkan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia hanya menduduki peringkat ke-80, jauh di
bawah Malaysia dan Thailand yang masing-masing menduduki peringkat ke-19 dan ke-49.
Rendahnya kondisi infrastruktur telah menjadi penghambat dalam upaya mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan serta dalam upaya meningkatkan
daya saing perekonomian Indonesia. Keterbatasan infrastruktur telah mengakibatkan biaya
logistik yang tinggi serta menurunkan daya saing perekonomian dan iklim investasi Indonesia.
Faktor utama di balik keterbatasan infrastruktur adalah pengeluaran pemerintah untuk
infrastruktur yang cukup terbatas, terutama sejak krisis finansial Asia tahun 1997/98.
Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur selama periode 2000-2014 secara rata-rata sekitar
2%dari PDB, jauh di bawah sebelum krisis yang mencapai 6% dari PDB (Tabor, 2015). Di
negara-negara peer di kawasan, rasio pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur terhadap
PDB dapat mencapai tiga kali lipat dari Indonesia. Pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
di Tiongkok dan India bahkan mencapai sekitar 10% dari PDB.3 Rendahnya pengeluaran
pemerintah Indonesia untuk infrastruktur terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber-
sumber pembiayaan dan beban pengeluaran yang tinggi untuk subsidi, fungsi administratif dan
belanja pegawai.
Untuk mendorong peningkatan kinerja perekonomian, pemerintahsaat itu telah
mengambil langkah-langkah reformasi struktural.4 Salah satu bagian dari reformasi
strukturaltersebut adalah memperbaiki kondisi infrastruktur melalui peningkatan pengeluaran
untuk investasi dan pengurangan subsidi. Sebagaimana dituangkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pemerintah telah menetapkan
target infrastruktur yang akan dicapai tahun 2015-2019. Proyek infrastruktur yang menjadi
proyek strategis nasional berjumlah 225 dengan cakupan yang cukup luas, yang terdiri atas
3http://www.indonesia-investments.com/business/risks/infrastructure/item381 4Reformasi struktural dapat diartikan sebagai upaya memperbaiki regulasi dan institusi agar pasar
menjadi lebih efisien (misalnya pasar tenaga kerja dan barang), atau upaya untuk mendorong
perekonomian tumbuh lebih tinggi dari kondisi potensialnya (Rodrik, 2015). Area kebijakan reformasi
struktural memiliki cakupan yang cukup luas, antara lain pembangunan infrastruktur, pengaturan pajak
dan subsidi, peningkatan kualitas SDM, pengaturan upah dan tenaga kerja serta perbaikan birokrasi.
3
infrastruktur dasar, konektivitas, kelistrikan, komunikasi, air, dan perumahan. Pembangunan
infrastruktur tersebut tidak hanya terbatas dilakukan oleh pemerintah tetapi juga dilakukan oleh
swasta melalui berbagai skema. Meskipun begitu, dalam upaya mencapai target pembangunan
infrastruktur tersebut, investasi pemerintah tetap memiliki porsi yang cukup besar.
Secara teoritis, kenaikan investasi pemerintah untuk infrastruktur dapat mendorong
perekonomian melalui dua jalur (IMF, 2014). Dalam jangka pendek, investasi pemerintah akan
meningkatkan permintaan agregat melalui fiscal multiplier. Besarnya dampak investasi
pemerintah untuk infrastruktur tergantung pada faktor-faktor, antara lain besarnya economic
slack dan monetary accomodation. Dalam jangka menengah-panjang, investasi pemerintah
dalam infrastruktur akan mempengaruhi output dari sisi penawaran melalui peningkatan
kapasitas perekonomian. Besarnya dampak sisi penawaran dari investasi pemerintah untuk
infrastruktur tergantung pada efisiensi dari investasi tersebut.
Dengan perkembangan di atas, serta karena pentingnya peranan infrastruktur dalam
mendorong perekonomian, analisis kuantitatif terhadap dampak kenaikan investasi infrastruktur
pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperkirakan dampakpeningkatan infrastruktur
terhadap output dan kesejahteraan (welfare). Secara sederhana, dampak kenaikan investasi
infrastruktur pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi pada dasarnya dapat dilakukan
dengan melihat output multiplier dari pengeluaran pemerintah. Namun, pendekatan tersebut
mempunyai kelemahan, seperti keterbatasan data time series yang cukup,terutama terkait
dengan adanya kebijakan yang bersifat struktural. Selain itu, pendekatan sederhana juga
mempunyai kekurangandalam landasan mikro perilaku agen-agen ekonomi serta keterbatasan
dalam menangkap keterkaitan antar variabel makro.
I.2 Tujuan dan Metodologi
Penelitian itu bertujuan untuk melakukan analisis kuantitatif terhadap dampak reformasi
struktural khususnya peningkatan investasi infrastruktur oleh pemerintah terhadap output
dan kesejahteraan di Indonesia dengan menggunakan model Dynamic Stochastic General
Equilbrium (DSGE). Dengan menggunakan model DSGE, perilaku agen-agen ekonomi dan
keterkaitan antar-pelaku ekonomi diformulasikan secara eksplisit. Selain itu, dengan
menggunakan model DSGE tidak hanya dampak terhadap output yang akan diperoleh, tetapi
juga dampak terhadap welfare. Model DSGE yang akan dikembangkan terdiri atas lima sektor,
yaitu rumah tangga, perusahaan, moneter, fiskal dan eksternal.
Model yang dibangun melengkapi model-model DSGE yang telah ada di Bank Indonesia
yang secara umum lebih memfokuskan pada pemodelan perbankan dan sektor keuangan, serta
yang bertujuan untuk analisis simulasi kebijakan moneter, makroprudensial, dan bauran
4
kebijakan moneter-makroprudensial. Model dalam studi itu juga melengkapi model Growth
Diagnosticyang digunakan Bank Indonesia untuk menganalisis hambatan utama pertumbuhan
dan dampak reformasi struktural dengan menggunakan model Computable General
Equilibrium (CGE)-INDOTERM (Anugrah et al, 2015). Model CGE yang digunakan dalam Growth
Diagnostic belum menangkap dinamika sektor moneter, fiskal, dan/atau eksternal. Di samping
itu, model CGE yang digunakan juga tidak memiliki keterkaitan antar waktu dalam hubungan
antar variabel.
I.3 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian itu disusun dengan sistematika sebagai berikut. Bagian I menjelaskan
latar belakang perlunya pengembangan model serta tujuan dari pengembangan tersebut.
Bagian II berisi tinjauan literatur. Bagian III menguraikan kondisi infrastruktur fisik di Indonesia.
Bagian IV menjelaskan struktur dan spesifikasi model. Bagian V menganalisis hasil simulasi
kebijakan dari model. Sementara itu, bagian VI berisi simpulan.
5
II. Tinjauan Pustaka
Paper itu mempunyai keterkaitan dengan beberapa studi yang terdapat dalam literatur.
Di satu sisi, paper itu merujuk pada studi-studi yang menganalisis dampak reformasi struktural
terhadap perekonomian di negara-negara lain, terutama yang menggunakan model-model
DSGE. Di sisi lain, dari sisi pemodelan di Bank Indonesia paper itu berhubungan dengan
beberapa studi di Bank Indonesia yang menggunakan model-model DSGE.
II.1 Model DSGE untuk Menganalisis Dampak Pengeluaran Pemerintah terhadap
Perekonomian
Salah satu model yang digunakan untuk menganalisis dampak reformasi struktural
berupa pengeluaran pemerintah adalah model DSGE. Ganelli dan Tervalla (2015) menganalisis
dampak pembangunan infrastruktur (public investment) terhadap output dan kesejahteraan
dengan menggunakan model DSGE New Keynesian dengan struktur model dua negara. Dalam
model itu, konsumsi pemerintah dimasukkan ke dalam fungsi utilitas rumah tangga.
Pengeluaran pemerintah terdiri atas dua jenis, yaitu pengeluaran konsumsi dan pengeluaran
investasi, sedangkan pendapatan pemerintah berasal dari pajak. Investasi pemerintah itu akan
mengakumulasi public capital good. Perusahaan memaksimalisasi profit dengan Calvo Pricing
berdasarkan fungsi produksi bergantung pada labor input dan juga bergantung pada stok
kapital infrastruktur publik. Hasil penelitian Ganeli dan Tervalla menunjukkan bahwa investasi
pemerintah meningkatkan output jangka menengah. Investasi pemerintah secara efisien
diperlukan untuk memastikan multiplier kesejahteraan yang positif.
Bom dan Ligthart (2014) melihat dampak pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur
terhadap output dan kesejahteraan untuk small open economy anggota OECD dengan
menggunakan model Real Business Cycle (RBC). Studi Bom dan Lighthart mencoba menjawab
pertanyaan apakah investasi pemerintah dapat secara efektif medorong output dan
meningkatkan kesejahteraan pada saat pemerintah harus terikat pada balanced-budget fiscal
rule. Selain itu, mereka juga melihat dinamika dari dampak investasi pemerintah tersebut.Salah
satu karakteristik dari spesifikasi model yang mereka bangun adalah preferensi yang
digambarkan dengan constant elasticity of substitution (CES), yaitu intratemporal susbstitution
effect dari labor supply dapat dipisahkan dari intertemporal substitution effect-nya. Dalam
modelnya, investasi pemerintah dibiayai dengan distortionary labor tax. Bom dan Lighthart
menemukan bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur mempunyai multiplier negatif
dalam jangka pendek, tetapi berdampak positif dalam jangka panjang dan kesejahteraan secara
keseluruhan. Dampak negatif dalam jangka pendek terjadi karena penurunan labor supply yang
disebabkan oleh distortionary labor tax.
6
Untuk Indonesia, studi terkait dampak pengeluaran pemerintah terhadap output telah
dilakukan antara lain oleh Jha et al (2010) dan Tang et al (2013). Kedua paper tersebut
difokuskan pada estimasi fiscal multiplier di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.5 Jha et
al menggunakan model SVAR untuk mengestimasi efektivitas kebijakan fiskal di 10 negara
berkembang di Asia. Hasil penelitian Jha et al menemukan bahwa peningkatan pengeluaran
Pemerintah dapat memberikan dampak yang positif terhadap PDB negaa masing-masing.
Sementara itu, kebijakan fiskal kontraktif melalui kenaikan pajak justru mendorong
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi untuk beberapa negara,antara lain Singapura dan
Taiwan. Hasil penelitian Jha et al menunjukkan bahwa cumulative fiscal multiplier dari
pengeluaran pemerintah di Indonesia adalah 0,19 lebih tinggi daripada fiscal multiplier akibat
penurunan pajak (0,18).
Tang et al (2013) melakukan estimasi fiscal multiplier untuk 5 negara ASEAN (Indonesia,
Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) dengan menggunakan model SVAR. Hasil estimasi
Tang et al menunjukkan bahwa kebijakan fiskal berupa penurunan pajak dapat memberikan
dampak yang positif untuk kelima negara ASEAN. Untuk Indonesia, fiscal multiplier dari
penurunan pajak dapat mencapai 0,43. Sebaliknya, kebijakan peningkatan pengeluaran
pemerintah dapat memberikan dampak multiplier negatif khususnya bagi Indonesia (-0,34),
Singapura (-0,16), dan Thailand (-0,27). Faktor utama yang diduga menjadi penyebab dampak
negatif adalah impor yang meningkat karena tergolong small dan highly open economy.
Berbeda dengan kedua studi di atas yang melihat dampak pengeluaran pemerintah
secara total terhadap output, dalam penelitian itu pengeluaran pemerintah yang dilihat bukan
secara agregat tetapi dari tiap-tiap komponen, yaitu pengeluaran untuk investasi dan
pengeluaran untuk konsumsi. Dengan demikian, dampak dari upaya pemerintah meningkatkan
pengeluaran investasi dapat dikuantifisir dengan model DSGE yang dibangun.Selain itu,
mengingat model DSGE adalah model yang berlandaskan pada ekonomi mikro (microfounded
model), besarnya dampak pengeluaran pemerintah tidak hanya dapat dilihat terhadap output,
tetapi juga terhadap besaran makro lainnya (seperti inflasi dan trade balance) serta
kesejahteraan.
5Fiscal multiplier merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur dampak kebijakan
fiskal terhadap kondisi perekonomian. Konsep multiplier pertama sekali diperkenalkan oleh Kahn
(1931) dan Keynes (1936). Fiscal multiplier dapat dihitung dari rasio perubahan pendapatan nasional
terhadap perubahan pengeluaran Pemerintah atau penerimaan pajak.
7
II.2 Model-model DSGE di Bank Indonesia
Sebagaimana banyak bank sentral lain, Bank Indonesia juga telah mengembangkan
model-model berbasis DSGE. Penelitian itu menambahkan penggunaan model DSGE yang telah
ada di Bank Indonesia. Pasca-krisis keuangan global, pemodelan DSGE di Bank Indonesia lebih
difokuskan pada penambahan sektor finansial. Tjahjono dan Waluyo (2010) mengembangkan
model DSGE dengan memasukkan faktor financial accelerator (efek procyclicality). Penelitian
tersebut bertujuan untuk menangkap financial accelerator dan dampaknya terhadap
makroekonomi ketika terjadi shock, menangkap keterkaitan antara sektor moneter dan
makroprudensial, melakukan simulasi dampak kenaikan harga BBM dan menganalisis bauran
kebijakan dalam menghadapi resesi ekonomi dan krisis perbankan. Hasil simulasinya
menunjukkan kekonsistenan jika dibandingkan dengan model VAR. Ketika terjadi monetary
shocks, model dengan financial accelerator memiliki dampak makroekonomi yang lebih besar
daripada tanpa financial accelerator. Kenaikan harga minyak berpotensi memberikan dampak
negatif berupa penurunan output, peningkatan inflasi, dan depresiasi rupiah. Dampak
kebijakan moneter tercatat lebih besar dari kebijakan perbankan berupa Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR). Namun, bauran kebijakan tetap diperlukan untuk menjaga besaran
rasio kecukupan modal dan menghindari risiko sistemik.
Harmanta et al (2012) mengembangkan model DSGE yang dilengkapi dengan sektor
perbankan dan menggunakan financial friction pada sektor rumah tangga, yaitu berupa
collateral constraints. Model itu dapat digunakan sebagai salah satu alat bantu dalam
melakukan formulasi bauran kebijakan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Hasil simulasinya
menunjukkan bahwa peningkatan BI rate akanmeningkatkan suku bunga retail perbankan,
mengurangi penyaluran pinjaman, dan meningkatkan risk-free aset, sehingga pada akhirnya
menurunkan PDB dan inflasi. Peningkatan rasio reserve requirement (GWM) tidak memiliki
dampak yang signifikan karena ekses likuiditas perbankan Indonesia. Peningkatan rasio loan to
value (LTV) untuk kredit rumah tangga/perusahaan dapat mendorong peningkatan output dan
inflasi.
Harmanta et al (2013) menyempurnakan model sebelumnya dengan menambah
financial frictions pada sisi entrepreneurs berupa financial accelerator, disamping frictions pada
sisi household berupa collateral constraints. Hasil simulasinya menunjukkan bahwa peningkatan
BI rate akan meningkatkan suku bunga retail perbankan, mengurangi penyaluran pinjaman,
dan meningkatkan risk-free aset, sehingga pada akhirnya menurunkan PDB dan inflasi. Bank
juga menanggung risiko akibat tergerusnya modal karena peningkatan non-performing loans
(NPL). Peningkatan rasio LTV rumah tangga akan meningkatkan pembelian aset, output, dan
inflasi. Peningkatan capital adequacy ratio (CAR) akan menurunkan loan to deposit ratio (LDR),
8
investasi, dan produksi, sehingga PDB dan inflasi mengalami penurunan. Bauran kebijakan
antara moneter dan makroprudensial akan menghasilkan PDB dan inflasi yang stabil
sertamengendalikan konsumsi dan permintaan impor.
Harmanta et al (2014) melengkapi model sebelumnya dengan mekanisme interbank
market sebagai financial frictions dari sisi supply, sedangkan dari sisi demand digunakan
financial frictions berupa collateral constraint dan financial accelerator. Hasil simulasinya
menunjukkan bahwa shock yang terjadi pada interbank market akan memengaruhi kondisi
bank secara umum, terutama pada modal bank, rasio kecukupan modal, dan LDR. Model
mereka mampu menangkap prosiklikalitas dan financial accelerator yang terjadi. Bauran
kebijakan moneter dan makroprudensial akan menghasilkan dinamika PDB dan inflasi yang
cenderung lebih stabil daripada menggunakan hanya satu instrumen kebijakan.
II.3 Kondisi Infrastruktur Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir kondisi infrastruktur Indonesia telah mengalami
perbaikan. Perbaikan tersebut tercermin dari indeks daya saing infrastruktur Indonesia yang
diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF) yang mengalami perbaikan selama lima tahun
terakhir, yaitu meningkat pesat dari peringkat 81 pada tahun 2015 menjadi peringkat 60 pada
tahun 2016 (Gambar 1a). Perbaikan menonjol terjadi pada kualitas rel kereta api, jalan, dan
pelabuhan (Gambar 1b).
Gambar 1(a) Gambar 1(b)
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2010-2016
Catatan: Indeks yang lebih kecil menunjukkan peringkat yang semakin baik sedangkan nilai menggunakan skala 1-7
dan semakin besar semakin baik.
Gambar 1.Indeks Infrastruktur Indonesia
Meskipun telah mengalami perbaikan, dalam beberapa aspek infrastruktur Indonesia
masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara peer di kawasan. Data dari The Global
Competitiveness Report tahun 2016-2017 yang dirilis oleh World Economic Forum
menunjukkan bahwa skor infrastruktur Indonesia secara keseluruhan sebesar 3,8 (peringkat 80)
9
masih jauh di bawah Malaysia dan Thailand, yang masing-masing memiliki skor 5,5, (peringkat
19) dan 4,0 (peringkat 72) (Gambar 2). Secara terperinci, untuk kualitas jalan raya Indonesia
mendapatkan skor 3,9 (peringkat 75 dunia), berada di bawah Malaysia dengan skor 5,5
(peringkat 20) dan Thailand dengan skor 4,4 (peringkat 60). Sementara itu, kualitas
infrastruktur rel kereta api Indonesia mendapat skor 3,8 (peringkat 39) juga berada di bawah
Malaysia sebesar 5,1 (peringkat 15). Skor kualitas infrastruktur pelabuhan Indonesia sebesar 3,9
(peringkat 75) juga di bawah Malaysia dengan skor 5,4 (peringkat 17) dan Thailand dengan
skor 4,2 (peringkat 65). Untuk kualitas infrastruktur bandara Indonesia mendapatkan skor 4,5
(peringkat 62), sementara Malaysia dan Thailand masing-masing telah mencapai skor 5,7
(peringkat 20) dan skor 5,0 (peringkat 42).
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2016-2017
Gambar 2. Indeks Infrastruktur Beberapa Negara ASEAN
Laporan WEF juga menyebutkan bahwa minimnya penyediaan infrastruktur menempati
urutan ketiga sebagai penghambat utama berkembangnya dunia usaha selama beberapa tahun
terakhir, setelah faktor korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah (Gambar 3).
0
20
40
60
80
100
120
140
Infrastruktur Jalan Kereta Api Pelabuhan Transportasiudara
Listrik Teleponbergerak
Telepontetap
Indonesia Malaysia Thailand Vietnam Philippines
10
Sumber: WEF The Global Competitiveness Report 2016-2017
Gambar 3. Problem Utama Dunia Usaha di Indonesia
Salah satu infrastruktur yang jadi perhatian Pemerintah adalah konektivitas antar
wilayah.Permasalahan infrastruktur terkait dengan konektivitas seperti keterbatasan pelabuhan
dan kualitas jalan yang rendah yang menyebabkan tingginya biaya logistik merupakan
permasalahan mendasar yang banyak ditemukan di Indonesia. Penyediaan infrastruktur itu akan
mendorong penurunan biaya transportasi dan biaya logistik sehingga dapat meningkatkan daya
saing produk, dan mempercepat daya gerak ekonomi. Hasil Indeks Kinerja Logistik atau
Logistics Performance Index (LPI) 2016 yang dirilis Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat ke-63 dari 160 negara yang dipantau, dengan skor 2,98 dan turun 10
peringkat jika dibandingkan pada LPI 2014.
Jika dibandingkan dengan negara-negara peer di kawasan, Indonesia masih berada di
bawah Malaysia dan Thailand dalam semua aspek LPI, yaitu bea cukai, infrastruktur, pengiriman
internasional, kompetensi logistik, pelacakan dan pencatatan, serta aktualitas waktu. Indonesia
mencatat nilai 2,69 untuk bea cukai, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki
skor 3,17 dan 3,11. Untuk infrastruktur, Indonesia mencatat skor 2.65, sedangkan Malaysia dan
Thailand masing-masing sebesar 3,45 dan 3,12.Sementara itu, dalam aspek pengiriman
internasional skor Indonesia adalah 2,90 juga di bawah Malaysia sebesar 3,48, dan Thailand
sebesar 3,37. Dalam aspek kompetensi logistik, Indonesia memperoleh nilai 3,00 sementara
Malaysia dan Thailand masing-masing memiliki skor 3,34, dan 3,14 (Gambar 4).
11
Sumber: World Bank
Gambar 4.Perbandingan Kinerja Logistik Dengan Negara Tetangga
II.4 Investasi Pemerintah untuk Infrastruktur
Salah satu penyebab utama keterbatasan infrastruktur Indonesia adalah relatif
rendahnya investasi pemerintah.Rasio investasi pemerintah terhadap PDB di Indonesia selama
2006-2014 secara rata-rata hanya sebesar 2%, jauh berada di bawah Malaysia dan Thailand
yang masing-masing mecapai 9.9% dan 6.4% (Gambar 5). Pada tahun 2015, investasi
Pemerintah telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu dari 2.41% PDB menjadi
3,23% PDB, sedikit melampaui investasi pemerintah di Filipina yang hanya sebesar 2,81%.
Namun, masih jauh lebih rendah dari Malaysia dan Thailand.
Sumber: World Bank
Gambar 5.Perbandingan Investasi Pemerintah dengan Negara Tetangga
Untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi dan berkesinambungan, Pemerintah
berkomitmen untuk memperbaiki ketersediaan dan kualitas infrastruktur. Hal itu terlihat dari
berbagai sasaran pembangunan infrastruktur yang akan dicapai akhir tahun 2019, sebagaimana
tertuang dalam RPJMN 2014-2019 (Tabel 1).
0
2
4
6
8
10
12
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
% t
hd
PD
B
Indonesia Malaysia Thailand Philippines
12
Tabel 1. Sasaran Infrastruktur dalam RPJMN (2015-2019)
INDIKATOR Kondisi 2014 Target Akhir 2019
KEDAULATAN ENERGI
Rasio Elektrifikasi (%) 84.1 96.6
Konsumsi listrik per kapita (kWh) 843 1200
Pembangunan FSRU (unit) 2 3
Jaringan pipa gas (km) 11,960 17,690
Pembangunan SPBG (unit) 40 118
Jaringan gas kota (sambungan
rumah)
102 ribu 1 jt
Pembangunan kilang baru (unit) - 2
INFRASTRUKTUR DASAR
Akses Air Minum layak 68.5% 100%
Akses Sanitasi Layak 60.5% 100%
Kawasan Kumuh Perkotaan 37.407 Ha 0 Ha
Backlog Kebutuhan Rumah 13.5 Juta 6.8 Juta
KONEKTIVITAS
Kemantapan Jalan Nasional 94% 100%
Biaya Logistik 23.5% 19.2 %
Pangsa Angkutan Umum 23% 32%
Kab/Kota yang dijangkau pitalebar 72% 100%
KETAHANAN AIR
Kapasitas Air Baku 51.4 M3/Detik 118.6M/Detik
Storage Per Kapita 62.3 M3/Kapita 78.36 M3/Kapita
Irigasi yang diairi waduk 11% 20%
Jaringan Irigasi Permukaan 7,145 Juta Ha 7,914 Juta Ha