PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASI DI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU YONA AKSA LEWERISSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASIDI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU
PROVINSI MALUKU
YONA AKSA LEWERISSA
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DANSUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pengelolaan Teripang Berbasis
Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku” adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Yona Aksa LewerissaNRP C251060021
ABSTRACT
YONA AKSA LEWERISSA. “Sasi” Based Management of Sea Cucumbers inNegeri Porto and Warialau Village, Mollucas Province. Under direction ofSANTOSO RAHARDJO and AGUSTINUS M. SAMOSIR.
Sea cucumbers in Negeri Porto was indicated decrease in numbers orfishing capture size. Management of this resource was facing several problemssuch high fishing effort by contractor (fishers from Madura, East Java) or evenlocal fishers and minimum opportunity of sea cucumbers to regenerated becausethey was caught before mature periods. This study was done to descript seacucumbers condition and potency of sea cucumber resources, to analyzeenvironment factors, to analyze progress of “Sasi” of sea cucumbers in NegeriPorto compare to that in Warialau Village, Kepulauan Aru Municipal and at leastto recommend strategies on sea cucumber management.
The speciment was identify according Clark and Rowe (1971); Cannonand Silver (1987) and Birtles (1989). Result shows that there were eight species ofsea cucumbers found in Negeri Porto with potency 12.240 while in WarialauVillage, 10 species with potency 172.368. Habitat distribution in Negeri Porto andWarialau Village was vary started from sandy shores, seagrass zone, seaweedszone, gully and coral reef slope. The most numbers in species was found in gullyzone, each 87,5% in Negeri Porto and 90% in Warialau Village. Length frequentdistributions of some species of sea cucumbers in Negeri Porto wich have highestdensity, expensive, middle and cheapest price category, shows that Bohadschiamarmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris and Holothuria atra wascaught before mature periods. Thia quiet defferent with sea cucumbers inWarialau Village such Holothuria scabra, Actinopyga echinities, Actinopygamiliaris and Thelenota ananas, which still available through mature periodsbecause of zero fishing effort as an effect of closing status of “sasi”.
The result of environment factors analysis such temperature, pH, salinity,DO, brightness and current shows that Negeri Porto and Warialau Village wereavailable to do stock richment in nature and to develop marine culture. That factwas also support by sediment distribution in both sites (92,07% in Negeri Portoand 94,11% in Warialau Village). The result of “sasi” progress indicators analysissuch efficiency, social sustainability and even distribution shows Negeri Portowas in middle category while Warialau Village was on high category. In resourcessustainability indicators which is size and numbers of capture, size of seacucumbers that was caught in Negeri Porto was indicated to become smaller (atmiddle price category) while numbers of fishing capture was also becomedecrease about 33,34-50% each year. Species with high price category was alsodifficult to caught. While in Warialau Village, there were a little decrease of seacucumbers in numbers of capture as an impact of illegal fishing by modern fishersfrom outside the area. Management strategies formulating was done consideringof some aspects such bioecology, social economy, institutional, the aims ofmanagement and risk study. There were five strategies recommend to NegeriPorto while in Warialau Village, fourth strategies were recommend.
Keywords: sea cucumbers, sasi, management strategy.
RINGKASAN
YONA AKSA LEWERISSA. Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Portodan Desa Warialau Provinsi Maluku. Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJOdan AGUSTINUS M. SAMOSIR.
Negeri Porto telah terindikasi terjadi penurunan sumber daya teripang,namun dalam upaya pengelolaan diperhadapkan dengan beberapa permasalahanyaitu tingginya upaya penangkapan yang dilakukan baik oleh para pengontrak(nelayan Madura) maupun oleh masyarakat setempat dan rendahnya kesempatanteripang untuk beregenerasi karena ditangkap sebelum waktu matang gonad.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi dan potensi sumber dayateripang, menganalisis faktor-faktor lingkungan, menganalisis kinerja sasi diNegeri Porto yang dibandingkan dengan sasi teripang di Desa WarialauKabupaten Kepulauan Aru dan menyusun alternatif strategi pengelolaan teripang.
Spesimen diidentifikasi menurut Clark and Rowe (1971); Cannon andSilver (1987) dan Birtles (1989). Hasil penelitian menunjukan bahwa teripangyang ditemukan di Negeri Porto sebanyak 8 jenis, dengan potensi sebesar 12.240individu, sedangkan di desa Warialau terdiri dari 10 jenis dengan potensi 172.368individu. Sebaran habitat di negeri Porto dan desa Warialau bervariasi mulai darirataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng terumbu, namun jumlahjenis terbanyak 87,5% Negeri Porto dan 90 % di Desa Warialau ditemukan padazona tubir. Dari nilai sebaran frekuensi panjang beberapa jenis teripang di negeriPorto yang termasuk memiliki kepadatan tertinggi, nilai jual kategori mahal,sedang dan murah menunjukan bahwa Bohadschia marmorata, Holothuriafuscogilva, Actinopyga miliaris dan Holothuria atra telah ditangkap sebelumwaktu matang gonad untuk memijah. Hal ini cukup berbeda dengan beberapajenis teripang di Desa Warialau yaitu Holothuria scabra, Actinopyga echinities,Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas, yang tetap tersedia untuk melakukanpemijahan karena tidak ada upaya tangkap akibat masih dalam status “tutup sasi.”
Hasil analisa faktor-faktor lingkungan yaitu suhu, pH, salinitas, DO,kecerahan, arus menunjukan bahwa kondisi di negeri Porto dan Desa Warialaumemenuhi syarat untuk dilakukan pengayaan stok di habitat alami danpengembangan upaya budidaya. Hal tersebut juga didukung oleh sebaran sedimenyang menunjukan bahwa pada kedua lokasi substrat didominasi oleh sedimenberupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm). Sebaran sedimen berada padakisaran ukuran pasir yaitu sebesar 92.07% di negeri Porto dan 94.11% di desaWarialau. Sebaran sedimen ini merupakan habitat yang baik dari teripang sesuaisifat membenamkan diri, karena dengan ukuran pasir kasar yang ditambah denganpasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri untukmenghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955).
Hasil analisa indikator kinerja sasi yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial,dan pemerataan, menunjukan bahwa Negeri Porto berada dalam kategori sedangdan Desa Warialau berada dalam kategori tinggi. Untuk indikator keberlanjutansumberdaya yaitu ukuran teripang dan hasil tangkapan. Di negeri Porto ukuransemakin mengecil (kategori nilai jual sedang) dan hasil tangkapan mengalami
penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenisyang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadisedikit penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan dari luardaerah yang menggunakan peralatan modern.
Strategi pengelolaan dirumuskan dari berbagai pertimbangan yaitubioekologi, sosial ekonomi dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajianresiko. Strategi pengelolaan yang diusulkan untuk diterapkan dalam bentukaturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau.Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu: (1).Waktu “tutup” sasi setahunsekali, namun tetap memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkatkematangan gonad pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkanketersediaan stok karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karenapertumbuhan; (2). Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 25-50% dari potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering); (3). Pembatasanwaktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada bulan Juni danJuli; (4). Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifatmerusak, seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya; (5). Pengayaan stokteripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya budidaya teripang sertaperlindungan area tertentu untuk pemeliharaan individu teripang sebagaipenyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara pengolahan teripang sebagaibahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampakterhadap peningkatan pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatanasli daerah. Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalamaturan seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu:(1).Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentuuntuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih; (2).Penelitian carapengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga jualsemakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan,pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah; (3). Kerjasama dengan instansiterkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya mengatasi terjadinyapenangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara ilegal; (4). Perlu adanyapertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai salah satukawasan konservasi teripang di Maluku.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpamencantumkan atau menyebutkan sumbernya.a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik,atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGELOLAAN TERIPANG BERBASIS SASIDI NEGERI PORTO DAN DESA WARIALAU
PROVINSI MALUKU
YONA AKSA LEWERISSA
Tesissebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains padaProgram Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR2009
Judul Tesis : Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto danDesa Warialau Provinsi Maluku
Nama : Yona Aksa Lewerissa
NRP : C251060021
: Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto Pulau SaparuaKabupaten Maluku Tengah
Nama : Yona Aksa Lewerissa
NRP : C251060021
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ir. Santoso Rahardjo, MSc Ir. Agustinus M. Samosir, M.PhilKetua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah PascasarjanaSumberdaya Pesisir dan Laut
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian : 5 Agustus 2009 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Solagracia (hanya oleh Anugerah), sehingga janjiMu itu terwujud berupa
penyelesaian salah satu tahapan studi dalam hidupku. Untuk itu selayaklah
pujian, hormat dan kemuliaan dikembalikan kepada “DIA” Tuhan penguasa langit
bumi dan sumber segala hikmat serta pengetahuan yang atas pertolonganNya
penulisan tesis dengan judul “Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di Negeri Porto
dan Desa Warialau Provinsi Maluku” dapat terselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Santoso Rahardjo,M.Sc dan
Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pembimbing atas segala
kebijaksanaan dan kesabaran dalam pembimbingan, memberikan dorongan,
masukan, motivasi, serta meluangkan waktu, tenaga dan pemikiran mulai dari
rencana penelitian hingga penulisan tesis ini.
Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Pattimura dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melanjutkan
studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Laut (SPL) Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer,DEA dan Tenaga
Pengajar Pascasarjana Program Studi SPL serta Bagian kesekretarian
khususnya Pa Zainal dam Mas Didin atas kesempatan, ilmu, serta
pelayanan yang penuh kasih selama penulis menuntut ilmu.
3. Ir. Kiagus Abdul Aziz, M.Sc selaku Penguji Luar Komisi pada ujian tesis
yang telah memberikan banyak masukkan dalam penyempurnaan tesis ini.
Kiranya semua kebaikan hati bapak, diberkati oleh Tuhan.
4. Departemen Pendidikan Nasional khusus DIKTI yang memberikan
bantuan BPPS (Biasiswa Program Pascasarjana) selama studi
pascasarjana.
5. Permata hatiku, suami tercinta Karolis Iwamony dan anak-anak tersayang
Solagracia Christien, Svetlana Solascriptura dan my litle angel
”Raphael Theogracio (Alm).” Terima kasih buat cinta dan doa kalian,
sehingga Bapa di Sorga selalu memberikan kekuatan bagiku selama studi
di IPB, serta saat ”badai” itu terjadi dalam hidupku. Kalian tidak
tertandingi oleh apapun yang ada di dunia ini.
6. Orang tua yang kubanggakan dan kusayangi, Papa Agus, Mama Tin,
Papa Mozes, Mama Ade, serta saudara-saudaraku yang sangat kucintai
atas ketulusan hati dan motivasi yang diberikan yaitu Usi Nona, serta
Bu Boys, Usi Henny, Bu Roy, Usi Ivon, Bu Cahrly, Usi Pheppy, Oce,
Erni, Ina, Tine dan keponakan-keponakanku Dion, Henry, Laura, Eunike,
William, Richard, Cindy,Wina, Alin dan Gabby. Berkat doa kalian,
akhirnya ”pelangi” itu muncul juga, setelah awan kelabu itu berlalu.
7. Teman-teman S2 SPL angkatan ’06 atas semangat dan kebersamaan yang
terjalin selama studi khususnya Eddy, Nurul, Nico, Wilmy, Kholik, Adit,
Anchu, Prama, Yulius, Pa Rahman, dan Pa Sirajudin.
8. Keluarga Haji Rahmat yang dengan sepenuh hati menyediakan tempat
tinggal serta teman-teman kos Palem Merah yang memberikan nuansa
kekeluargaan meskipun berbeda daerah namun tetap kompak khususnya
kak Deiby, Mba Nana, Stany, Emma, Tin-tin, Alina, Delly, serta ibu Atje.
Juga buat sahabat-sahabatku yang selalu memberikan semangat dan
motivasi bagiku dalam menyelesaikan studi yaitu Usi Nona, Degen,
Pa Mon, Bu Ois, Max dan Ola.
9. Teman-teman pelayanan AM-GPM Ranting Maranatha Poka, PAK
Perkantas, PERMAMA, serta adik-adikku di Caleb House yang tetap setia
berdoa untuk kesuksesan studiku.
Akhirnya dalam semua kelemahanku, ada sebersit harapan kiranya tulisan
ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi pengembangan ilmu dan
pengetahuan khususnya di bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut.
Bogor, Agustus 2009
Yona Aksa Lewerissa
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Poka pada tanggal 4 Agustus 1977 dari ayah
Agustinus Lewerissa dan ibu Christina Lewerissa/Lappy. Penulis merupakan anak
ke-5 dari 6 bersaudara.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 3 Ambon dan pada tahun yang
sama melanjutkan studi pada Universitas Pattimura Ambon. Tahun 2000 penulis
menyelesaikam program sarjana pada Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan Universitas Pattimuara. Tahun 2003, penulis
diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan sebagai staf
pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura
Ambon sampai saat ini. Kemudian penulis mendapatkan bantuan BPPS (Biasiswa
Program Pascasarjana) dari DIKTI Departemen Pendidikan Nasional untuk
melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
dengan mengambil Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut pada
tahun 2006.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................ xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xviii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 5
1.4. Kerangka Pemikiran ................................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
2.1. Morfologi dan Anatomi................................................................. 7
2.2. Klasifikasi dan Distribusi Teripang............................................. 8
2.3. Penyebaran Populasi................................................................... 10
2.4. Habitat dan Tingkah Laku........................................................... 10
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan................................................. 11
2.6. Reproduksi.................................................................................. 11
2.7. Tingkat Kematangan Gonad....................................................... 12
2.8. Daur Hidup Teripang.................................................................. 12
2.9. Peranan Teripang......................................................................... 13
2.10. Faktor-Faktor Lingkungan......................................................... 14
2.11. Sasi di Maluku............................................................................ 16
III. METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 19
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 19
3.2. Peralatan dan Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan................ 22
3.3. Metode Pengumpulan Data ........................................................ 23
3.4. Metode Analisis Data ................................................................. 28
3.4.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sumber Daya Teripang...... 28
3.4.2. Analisis Faktor-Faktor Lingkungan.................................. 28
3.4.3. Analisis Hasil Tangkapan................................................. 29
3.4.4. Analisis Efisiensi Kinerja Sasi......................................... 29
3.5. Alternatif Strategi Pengelolaan.................................................... 30
IV. HASIL PENELITIAN.......................................................................... 31
4.1. Kondisi Iklim................................................................................ 31
4.2. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang................................. 32
4.2.1. Kompisisi Sumberdaya Teripang...................................... 32
4.2.2. Kepadatan Sumberdaya Teripang..................................... 33
4.2.3. Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang.................... 36
4.2.4. Habitat Sumberdaya Teripang......................................... 37
4.2.5. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang.. 41
4.3. Sebaran Frekuensi Panjang Sumberdaya Teripang..................... 44
4.4. Perikanan Teripang...................................................................... 46
4.5. Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan................................. 50
4.5.1. Sosial Ekonomi.................................................................. 50
4.5.2. Kelembagaan..................................................................... 51
V. PEMBAHASAN.................................................................................. 54
5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang................................. 54
5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang........................................... 54
5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil TangkapanTeripang............................................................................ 58
5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang…….... 63
5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan.................................... 63
5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan
Teripang.......................................................................... 65
5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi).................................. 65
5.3.1. Sosial Ekonomi................................................................ 65
5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan
Desa Warialau.................................................................. 70
5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau............. 72
5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko.............................. 78
5.5. Diskusi Umum........................................................................... 81
5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya
Teripang.............................................................................81
5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang...... 83
VI. KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 86
6.1. Kesimpulan................................................................................... 86
6.2. Saran............................................................................................. 87
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 88
LAMPIRAN......................................................................................... 94
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Impor Teripang di Hongkong, Januari-Maret 1996............................. 2
2. Produksi dan Nilai Produksi Teripang di Provinsi Maluku Tahun
2005-2007............................................................................................
3
3. Ukuran Panjang dan Bobot Beberapa Jenis Teripang di Indoneisa.... 7
4. Beberapa Jenis Teripang di Indonesia berdasarkan Publikasi Nasional.. 9
5. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian............................................. 22
6. Kategori Responden yang diwawancara.................................................. 27
7. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Negeri Porto........................... 33
8. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Desa Warialau........................ 33
9. Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan......................... 35
10. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Negeri Porto................. 36
11. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Desa Warialau............. 37
12. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Negeri Porto................ 38
13. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Desa Warialau.............. 40
14. Kelayakan Parameter Lingkungan untuk Budidaya Teripang............. 43
15. Persentase Rata-Rata Sedimen pada Stasiun Pengamatan.................. 44
16. Ukuran Panjang dan Frekuensi beberapa Jenis Teripang di Negeri
Porto..................................................................................................
45
17. Ukuran Panjang dan Frekuensi beberapa Jenis Teripang di Desa
Warialau...............................................................................................
46
18. Kategori Ukuran Beberapa Jenis Teripang.......................................... 50
19. Besar Pendapatan Masyarakat di Negeri Porto dan Desa Warialau.... 51
20. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri
Porto.....................................................................................................
67
21. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa
Warialau............................................................................................... 70
22 Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto dan
Desa Warialau...................................................................................... 78
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Diagram Alir Kerangka Pikir Pengelolaan Teripang Berbasis Sasi di
Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku............................. 6
2. Daur Hidup Teripang Pasir (Holothuria scabra)................................. 13
3. Peta Lokasi Penelitian di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi
Maluku.............................................................................................. 21
4. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Negeri Porto dengan
Metode Transek Kuadrat................................................................... 25
5. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Desa Warialau dengan
Metode Transek Kuadrat................................................................... 26
6. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di
Negeri Porto......................................................................................... 34
7. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripang di
Desa Warialau..................................................................................... 34
8. Jumlah Jenis Teripang yang ditemukan berdasarkan Petak
Pengamatan (secara Vertikal) di Negeri Porto.................................... 39
9. Jumlah Jenis Teripang yang ditemukan berdasarkan Petak
Pengamatan (secara Vertikal) di Desa Warialau.................................. 40
10. Sebaran Ukuran Panjang Bohadschia marmorata di Negeri Porto...... 45
11. Sebaran Ukuran Panjang Holothuria scabra di Desa Warialau........... 46
12. Hasil Tangkapan Teripang di Negeri Porto Tahun 2004-2007............ 47
13. Nilai Jual Teripang di Kota Ambon.................................................... 48
14. Nilai Jual Teripang di Dobo, Kepulauan Aru...................................... 49
15. Struktur Pemerintahan di Negeri Porto................................................ 52
16. Struktur Pemerintahan di Desa Warialau............................................. 53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Jumlah Individu per Transek di Negeri Porto dan Desa
Warialau............................................................................................... 94
2. Data Parameter Lingkungan di Negeri Porto dan Desa Warialau........ 99
3. Kriteria Penilaian Setiap Indikator Sasi............................................... 101
4. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Negeri Porto......................... 102
5. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Desa Warialau..................... 106
6. Perhitungan Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran,
Frekuensi Kehadiran Relatif dan Potensi............................................. 111
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari
17 ribu pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta wilayah laut seluas
5,8 juta km2, termasuk Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (Retraubun, 2007),
sesungguhnya memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat
besar dan beragam. Salah satu sumberdaya yang mempunyai nilai ekonomis yaitu
teripang. Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari
kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut
(marine) diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam
terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Jenis biota ini dikenal dengan
nama ketimun laut, suala, sea cucumber (Inggris), namako (Jepang), beche-de-
mer (Perancis) atau dalam istilah pasaran internasional dikenal dengan nama teat
fish (Sutaman, 1993; Martoyo et.al., 2002).
Menurut Hyman (1955) dalam Yusron (1992), teripang banyak menghuni
daerah litoral diperairan Indonesia dan merupakan komoditas perikanan yang
diperdagangkan baik di pasar lokal maupun internasional. Hal ini disebabkan
karena kandungan zat-zat obat, makanan ini berkasiat penyembuhan serta dari
analisa proksimat daging teripang diperoleh kompoisisi protein 43%, lemak 2%,
kadar air 17%, mineral 21% dan kadar abu 7% (James, 1989 dalam Yusron,
2004). Karena rendahnya kandungan lemak, direkomendasikan bagi orang yang
bermasalah dengan kolesterol. Di Jepang, Korea dan beberapa Negara Pasifik
Selatan, daging dan organ dalam teripang dimakan mentah, dimasak dan diasin
atau dalam bentuk kering (Shelley, 1985, Yanagisawa, 1996 dalam Darsono,
2002).
Data import di Hong Kong (Tabel 1) dapat memberikan angka-angka lebih
konkrit yang bisa dipakai untuk menaksir produksi teripang di Indonesia. Menurut
data ini, Indonesia sampai saat ini merupakan negara penghasil teripang terbesar
di dunia. Namun demikian produk teripang dari Indonesia dikategorikan sebagai
berkualitas rendah (Conand, 1998). Hal ini sangat ironis, karena akibat
perdagangan ini Indonesia mengalami penurunan sumberdaya teripang (depleting
resources), tapi tidak sebanding nilai dolar yang mungkin diperoleh.
Tabel 1. Impor teripang di Hongkong, Januari-Maret 1996
No. Negara Asal Kuantitas (ton) Harga (1.000 HK$)1.2.3.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.26.27.28.29.30.31.
USAKanadaPerancisMozambikTaiwanIndonesiaFilipinaKoreaJepangCinaVietnamSri LangkaMalaysiaSingapuraMadagaskarAfrika SelatanKenyaMauritiusTanzaniaUS OcaniaAustralia & OceaniaKiribatiTongaSamoa BaratAustraliaKepulauan SolomonFijiSelandia BaruVanuatuPapua New GuineaLain-lain
110.51.923
15.7452.9214.4
46.62.1
11.45.31.5
138.740.36.67.42.7
73.817.3
213.83.93.2
10.430.566.23.95.6
84.90.4
1 1351 441
256480597
17 7824 707
2516 6401 546
116778263
9 8944 242
285250448
1 6791 1322 964
765744180
2 4041 5287 279
460310
4 55918
Sumber : Infofish Trade News II/96, 17 Juni 1996
Provinsi Maluku yang dikenal sebagai Provinsi kepulauan memiliki luas
712,479.69 km yang terdiri dari luas laut 658,294.69 km (92.4%) dan luas
daratan 54,185 km (7,6%), terdapat potensi sumberdaya perikanan sebesar
1,640,160 ton / tahun sesuai dengan hasil kajian Badan Riset Kelautan dan
Perikanan bekerja sama dengan bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseonologi Lembaga Ilmu (LIPI) tahun 2001. Potensi
sumberdaya hayati perikanan dimaksud terdiri dari Pelagis, Demersal dan
biota laut lainnya yang perlu dieksploitasi secara optimal. Di perairan Maluku
teripang hampir dijumpai di seluruh perairan pantai mulai dari kedalaman 1 meter
sampai kedalaman 40 meter dan tersebar hampir di setiap pulau seperti Pulau
Buntal, Pulau Saparua, Kepulauan Seram Timur, Kepulauan Kei Kecil, Kepulauan
Banda, Pulau Buru, Aru dan Tanimbar. (Yusron, 1992).
Sumberdaya teripang di Maluku telah dieksploitasi untuk tujuan
komersial, hal ini didasarkan pada data produksi dan nilai produksi Dinas
Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku dari tahun 2005-2007 (Tabel 2). Dari
Tabel 2 ini terlihat bahwa pada tahun 2005-2006 terjadi penurunan produksi
sebesar 21,73% dan nilai produksi sebesar 33,03%, selanjutnya pada tahun 2006-
2007 penurunan produksi sebesar 5,68% dengan nilai produksi sebesar 1,83%.
Dari Tabel ini juga memperlihatkan bahwa meskipun terjadi penurunan produksi
yang berdampak terhadap nilai produksi, namun di sisi lain nilai jual teripang
meningkat pada 2007.
Tabel 2. Produksi dan Nilai Produksi Teripang di Provinsi MalukuTahun 2005-2007
Tahun Volume (ton) Nilai (Rp.1000)2005 667,6 79.345.0002006 522,7 53.137.2502007 493,0 52.162.800
Sumber : Data tahunan statistik Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku.
Permintaan teripang sebagai komoditi ekspor semakin meningkat, hal
tersebut juga ditunjang dengan harga yang semakin membaik. Dengan demikian
”perburuan” teripang juga meningkat dan bersifat multispesies dengan berbagai
ukuran. Perikanan teripang umumnya dan di Maluku khususnya, masih bersifat
tradisional artinya bahwa masyarakat mengumpulkan sedikit demi sedikit, sampai
pada jumlah tertentu baru dijual kepada pengumpul.
Negeri Porto merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Saparua,
yang termasuk daerah sebaran teripang. Dalam upaya pengelolaan sumberdaya
baik di darat maupun di laut, Negeri Porto telah menerapkan sistem sasi yang
merupakan kearifan lokal masyarakat negeri ini. Namun salah satu penyebab
sehingga sistem sasi di negeri ini mulai agak melemah karena adanya kebijakan
pemerintah negeri setempat untuk menyewakan daerah pesisir/menggunakan
sistem lelang bagi pedagang dari Madura yang menggunakan peralatan lengkap.
Pedagang yang menggunakan peralatan lengkap (compressor) menyelam di
dalam laut dalam jangka waktu yang lebih lama, bila dibandingkan dengan
nelayan setempat yang hanya menggunakan peralatan sederhana. Dengan
demikian maka sumberdaya yang dapat diambil oleh para penyewa tersebut
bukan hanya teripang namun juga lola dan jenis-jenis sumberdaya yang bernilai
ekonomis lainnya. Dengan adanya upaya tangkap yang tinggi oleh para penyewa
atau pengontrak, hal tersebut menyebabkan dalam waktu singkat terjadi
penurunan sumberdaya baik teripang maupun lola (Trochus niloticus), Tridacna
gigas serta sumberdaya lainnya. Selain itu, akibat penerapan kebijakan
Pemerintah Negeri (Raja) yang dianggap merugikan masyarakat serta penurunan
jumlah, ukuran sumberdaya laut termasuk didalammnya teripang, maka sebagai
pelampiasan dari rasa kekecewaan diwujudkan dengan cara melakukan
pelanggaran terhadap sasi yang berlaku yaitu dengan mengambil teripang sesuai
dengan keinginan mereka dan hal ini dapat terlaksana akibat lemahnya
pengawasan dari pemerintah adat setempat. Kelangkaan dan rendahnya jumlah
teripang di alam adalah sinyal kepunahan bila tidak diantisipasi dengan usaha
pelestariannya segera mungkin.
1.2. Perumusan Masalah
Secara alami stok populasi jenis-jenis teripang di daerah tropika adalah
relatif sedikit. Stok populasi yang kecil tersebut bila mendapat tekanan eksploitasi
intensif ditambah sifat regenerasi dan pertumbuhan yang lambat, akan terjadi
penurunan sumberdaya. Di Negeri Porto sendiri telah terindikasi terjadi
penurunan sumber daya teripang, hal ini disebabkan karena adanya kebijakan
Pemerintah Negeri (raja) untuk menyewakan/mengontrak daerah pasang surut
buat nelayan luar (Madura ) yang menggunakan peralatan modern serta adanya
aksi protes dari masyarakat berupa pelanggaran terhadap sasi dengan melakukan
penangkapan pada saat waktu tutup sasi. Permasalahan utama dalam pengelolaan
teripang di Negeri Porto yaitu :
1. Tingginya upaya penangkapan yang dilakukan baik oleh para pengontrak
(nelayan Madura) maupun oleh masyarakat setempat.
2. Rendahnya kesempatan teripang untuk beregenerasi karena ditangkap
sebelum waktu matang gonad.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. mendeskripsikan kondisi dan potensi teripang.
2. menganalisis habitat dan kesesuaian faktor-faktor lingkungan
3. menganalisis kinerja sasi di negeri Porto dibandingkan dengan sasi desa
Warialau kabupaten Kepulauan Aru.
4. menyusun alternatif strategi pengelolaan teripang.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan untuk pengelolaan
teripang yang berbasis sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau, sehingga
sumberdaya teripang terus lestari berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan,
penyediaan pangan dan lain sebagainya secara terus menerus.
1.4 Kerangka Pemikiran
Sumberdaya teripang mempunyai manfaat baik dari segi ekonomi sebagai
sumber protein dan mempunyai berbagai khasiat dalam menyembuhkan penyakit
serta mempunyai nilai jual yang tinggi baik dalam skala lokal maupun
internasional, sedangkan dari segi ekologi berperanan penting dalam rantai
makanan karena sebagai penyumbang pakan sekaligus penyubur substrat.
Dalam upaya pengelolaan sumberdaya teripang maka dilakukan
pertimbangan yang pertama yaitu Bioekologi yang bermanfaat dalam
mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif, sehingga diperlukan suatu
jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang matang reproduktif,
dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam daur hidupnya dapat
dilewati dengan baik serta pengaturan upaya tangkap untuk mengendalikan
mortalitas akibat penangkapan. Selanjutnya pertimbangan kedua tujuan
pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri yaitu menjamin kelestarian
sumberdaya teripang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Untuk pencapaian tujuan ini maka ketersediaan sumberdaya teripang merupakan
syarat utama, karena ketersediaan teripang menentukan manfaat yang akan
diterima secara terus menerus. Tujuan pengelolaan ini telah diterapkan oleh
pemerintah negeri melalui aturan sasi yang telah dilaksanakan sejak jaman dahulu
hingga sekarang, namun dengan adanya kebijakan yang dikeluarkan berupa sistem
lelang atau kontrak sehingga menimbulkan permasalahan tingginya upaya tangkap
yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya ini, sehingga perlu
dirumuskan strategi pengelolaan yang dapat menjawab tujuan pengelolaan yang
telah ditetapkan. Pertimbangan yang ketiga menyangkut sosial ekonomi dan
kelembagaan dimana diperhatikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
setempat serta kelembagaan yang ada dalam masyarakat yang mendukung sistem
sasi. Selanjutnya perlu juga dilakukan kajian resiko sehingga dapat menentukan
strategi pengelolaan yang tepat yang dapat diterapkan dalam bentuk aturan-aturan.
Dengan demikian maka disusun suatu kerangka pemikiran sederhana yang
ditampilkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Pengelolaan Teripang Berbasis Sasidi Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku
PENERAPANATURAN
(Sasi,Peraturan Negeri)
STRATEGIPENGELOLAANSUMBERDAYA
TERIPANG
SOSIAL EKONOMI& KELEMBAGAAN
TUJUANPENGELOLAAN
SUMBERDAYA TERIPANG DI NEGERI PORTODAN DESA WARIALAU PROVINSI MALUKU
BIOEKOLOGI
Ekologi(kondisi, potensi,
habitat,faktor-faktorlingkungan)
Biologi(Pengkajian Stok
teripang)Hasil Tangkap
per upaya
PENGKAJIANRESIKO
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi dan Anatomi
Teripang adalah salah satu hewan berkulit duri (Echinodermata) walaupun
tidak semua teripang mempunyai duri pada kulitnya. Duri-duri pada teripang
sebenarnya merupakan rangka yang tersusun dari zat kapur dan terdapat didalam
kulitnya. Rangka dari zat kapur tersebut tidak dapat dilihat dengan mata biasa
karena sangat kecil, sehingga untuk melihatnya diperlukan bantuan mikroskop
(Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 1995).
Tubuh teripang lunak, berdaging dan berbentuk silindris memanjang
seperti buah ketimun sehingga hewan ini dinamakan juga ketimun laut atau sea
cucumber, mulut dan anus terletak di ujung yang berlawanan (Darsono, 1998).
Gerakan teripang sangat lamban sehingga hampir seluruh hidupnya berada di
dasar laut. Warna teripang bermacam-macam mulai dari hitam, abu-abu, kecoklat-
coklatan, kemerahan, kekuning-kuningan bahkan ada yang berwarna putih.
Ukuran tubuh teripang berbeda-beda baik dari segi panjang maupun bobotnya
sesuai dengan jenisnya masing-masing (Tabel 3).
Tabel 3. Ukuran Panjang dan Bobot Beberapa Jenis Teripang di Indonesia
Jenis Teripang Panjang (cm) Bobot (kg)Holothuria atraActinopyga mauritianaThelenota ananasHolothuria scabra
± 60± 30
± 100± 25-35
± 2± 2.8
± 6± 0.25-0.35
Teripang mempunyai tubuh yang lunak, berotot melingkar dan terdiri atas
lima lapisan otot daging memanjang dari bagian oral ke bagian aboral yang
terletak dibawah dinding tubuhnya, serta membentuk rongga berisi organ-organ
dalam. Bagian organ dalam teripang dibagi menjadi sebelas bagian yaitu tentakel,
kulit luar, kerongkongan, perut atau lambung, usus kecil, usus halus, gonad,
sistem sirkulasi air, cabang-cabang saluran pernapasan, rumbai-rumbai pada
pangkal pengeluaran dan kloaka (Elifitrida,1994). Permukaan tubuh teripang
ditutupi oleh kutikula yang tipis (Hickman et al, 1974 dalam Elifitrida,1994).
2.2. Klasifikasi dan Distribusi Teripang
Teripang (holothurians) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari
kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut
(marine) diseluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut dalam
terutama di lautan India dan lautan Pasifik Barat. Tidak kurang sekitar 1250 jenis
teripang telah dideskripsikan, dibedakan dalam enam bangsa (ordo) yaitu
Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan
Elasipoda. Beberapa jenisnya hidup membenamkan diri dalam pasir dan hanya
menampakan tentakelnya, sedang jenis-jenis teripang komersil biasanya hidup
pada substrat pasir, substrat keras, substrat kricak karang dan substrat lumpur.
Produk teripang umumnya berasal dari jenis-jenis teripang yang hidup di perairan
dangkal, sampai kedalaman 50 meter. Semua jenis teripang komersil, khususnya
dari daerah tropika, termasuk dalam bangsa (ordo) Aspidochirotida dari suku
(family) Holothuriidae dan Stichopodidae, yang meliputi marga (genus)
Holothuria, Actinopyga, Bohadschia, Thelenota dan Stichopus. Sekitar 25 jenis
teripang berpotensi komersil diidentifikasikan berasal dari perairan karang di
Indonesia (Darsono,1995), sedangkan hasil koleksi P2O LIPI menyimpan 42 jenis
teripang dari seluruh perairan Indonesia. Menurut Purwati (2005), terdapat 26
jenis teripang yang pernah atau masih dieksploitasi di perairan Indonesia
berdasarkan publikasi nasional (Tabel 4).
Jenis teripang yang termasuk dalam katagori utama, relatif mahal, yaitu
teripang pasir atau teripang putih, Holothuria scabra, teripang susuan H. nobilis
dan H. fuscogilva, teripang nenas, Thelenota ananas. Jenis yang termasuk
kedalam kategori sedang yaitu teripang dari marga Actinopyga, antara lain
teripang lotong (A. miliaris), teripang batu (A. echinites), teripang bilalo (A.
lecanora dan A. mauritiana). Jenis-jenis lainnya termasuk dalam kategori rendah/
murah (Conand, 1990).
Tabel 4. Beberapa Jenis Teripang di Indonesia, Berdasarkan Publikasi Nasional
No. Nama Jenis Nama daerah Nama di pasar dunia1 Actinopyga echnities Kunyit, ladu-ladu,
kapok/kapuk, bilaloDeepwater redfish
2 A. lecanora Batu, balibi Stonefish3 A. mauritania Buntal Surf redfish4 A. miliaris Kapok/kapuk, lotong,
gamet, sepatuBlackfish
5 Bohadschia argus Ular mata, cempedak Leopard fish/tigerfish/spottedfish
6 B. marmorata Olol-olok, getah putih,pulut, benang, kridopolos
-
7 B. tenuissima * Karet -8 Holothruria atra Teripang hitam,
dara/darahLollyfish/black trepang
9 H.coluber Taikokong Snakefish10 H. edulis Dada merah, takling,
perut merah, cerak, batukeling
Pinkfish
11 H. fuscopunctata ? Elephant trunkfish12 H. fuscogilva Susu putih White teatfish, susufish13 H. hilla ? -14 H. impatiens Donga, babi, ular-ular,
tempulo-
15 H. leucospilota Salengko, talengko,getah
-
16 H. nobilis Susu hitam, lotong, koro,susuan
Black teatfish
17 H. ocelata Kacang goreng -18 H. pervicax ? Tiger spotted trepang19 H. scabra Pasir, buang kulit, gosok,
putih, kamboaSandfish
20 H. similes Krido, krido bintik Chalkfish/whitefish21 Pearsonothuria
graeffeiBintik merah Flowerfish
22 Stichopuschloronotus
Jepung, jepun Greenfish/squarefish
23 S. horrens Kacang goreng, kacang,susu
Dragonfish
24 S. variaegatus Gamet, kasur, taikokong,anjing, kapok, gama
Curryfish/yellow meat
25 Thelonata ananas Nanas/nenas Prickly redfish/plumflower trepang
26 T. anax duyung amberfish* jarang
Pulau Saparua merupakan salah satu pulau di Kabupaten Maluku Tengah,
yang merupakan wilayah sebaran teripang meskipun tidak sebanyak seperti di
Maluku Tenggara. Di pulau Saparua ini telah ada penelitian-penelitian tentang
teripang sebelumnya yaitu di Kulur, Saparua ditemukan 3 jenis teripang
sedangkan di pantai Waisisil Saparua ditemukan 4 jenis teripang (Darsono et al,
1998 dalam Darsono, 2003), sedangkan Negeri Porto ditemukan 15 jenis teripang
(Anonimous, 2005).
2.3. Penyebaran Populasi
Penyebaran populasi adalah gerakan individu kedalam, keluar atau ke
daerah populasi lain. Ada 3 pola dasar yaitu pola penyebaran acak, seragam dan
berkelompok. Pola penyebaran populasi sangat tergantung pada kondisi
lingkungan biotik maupun abiotik serta faktor psikologis lainnya yang berupa
interaksi antar populasi. Interaksi ini antara lain pemangsaan, parasitisme,
antibiotisme dan kerjasama mutualisme. Dalam hal ini interaksi antar populasi
merupakan faktor utama yang berperan besar dalam mengontrol pola penyebaran
organisme (Nybakken, 1992).
2.4. Habitat dan Tingkah Laku
Tempat hidup teripang adalah ekosistem terumbu karang, lamun, mulai
zona intertidal sampai dengan kedalaman 40 meter. Teripang dapat ditemukan
hampir di seluruh perairan pantai mulai dari daerah pasang surut yang dangkal
hingga perairan yang lebih dalam. Teripang menyukai dasar berpasir halus yang
banyak ditumbuhi tanaman pelindung seperti lamun dan sejenisnya serta bebas
dari hempasan ombak. Keberdaan teripang di alam juga dipengaruhi oleh
ketersediaan makanan dan musim pemijahannya, hal ini terbukti dengan
banyaknya jenis teripang yang mendekati garis pantai selama musim memijah.
Jenis teripang yang bernilai ekonomis penting biasanya menempati dasar
goba (lagoon) dengan kedalaman 5 sampai 30 meter. Sedangkan jenis teripang
yang bernilai ekonomis sedang dan rendah menempati daerah yang dangkal
seperti padang lamun, daerah pertumbuhan algae dan rataan terumbu karang
dengan kedalaman kurang dari 2 meter. Biasanya teripang akan muncul di
permukaan dasar perairan pada malam hari terutama pada waktu menjelang
pasang, yaitu untuk keperluan mencari makan. Pada siang hari teripang lebih suka
membenamkan diri di dalam pasir. Teripang umumnya hidup secara bergerombol,
jenis Holothuria scabra biasanya hidup berkelompok terdiri dari tiga sampai lima
ekor.
Pernafasan teripang dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penyerapan
pada permukaan tubuhnya dan menggunakan sistem pohon respirasi. Pernafasan
sistem pohon respirasi dilakukan dengan cara memompakan kloaka dan pohon
respirasi, sehingga kloaka akan mengembang dan terisi air laut. Selanjutnya otot
spincter anus akan tertutup karena kloaka berkontraksi dan air laut akan masuk ke
dalam pohon respirasi, disinilah oksigen diserap oleh teripang. Air akan keluar
tubuh sebagai akibat dari kontraksi tubula-tubula dan pemompaan kloaka (DKP,
2004).
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan
Makanan teripang terdiri dari mikroorganisme seperti bakteri dan
protozoa, jasad benthos, mikro algae dan detritus. Disamping itu, didalam sistem
pencernaan makanannya biasa didapatkan foraminifera, radiolaria, butir pasir dan
cangkang kekerangan. Teripang bersifat nokturnal yaitu kebisaan mencari makan
pada malam hari. Teripang memperoleh makanan dengan cara mengisap dan
menyaring makanan pada malam hari karena plankton akan berada di dasar
perairan dan juga untuk menghindari predator (Hartati et.al, 2002).
Teripang mempunyai dua cara makan yaitu menangkap plankton dengan
tentankelnya dan dengan menelan pasir kemudian diambil detritusnya dan pasir
dikeluarkan melalui anus (Canon dan Silver, 1987).
2.6 Reproduksi
Teripang pada umumnya bersifat diocious, tetapi secara morfologi
perbedaan antara hewan jantan dan betina tidak jelas. Pembuahan umumnya
terjadi secara eksternal. Teripang jantan mengeluarkan sperma berupa benang-
benang putih, yang oleh gerakan tentakelnya kemudian tersebar di perairan dan
membuahi telur yang dikeluarkan hewan betina di sekitarnya. Masa pemijahan
tidak diketahui pasti. Teripang-teripang yang hidup di daerah tropis diduga dapat
memijah sepanjang tahun karena tidak ada perubahan suhu (Darsono, 1994)
2.7 Tingkat Kematangan Gonad
Tingkat kematangan gonad teripang penting diketahui untuk keperluan
pemilihan induk yang siap memijah. Darsono et al. (1995b) mengemukakan
bahwa teripang yang memberi reaksi terhadap perlakukan rangsang pijah
hanyalah individu yang matang. Jika berdasar pada fase kematangan gonad
teripang famili Holothuroidea, maka induk yang baik untuk dipijahkan adalah fase
IV atau matang (Tuwo dan Conand, 1992). Menurut Connad (1990), tingkat
kematangan gonad untuk Holothuria fuscogilva, yaitu pada ukuran panjang 32
cm, Holothuria scabra ukuran panjang 16 cm, Actinopyga echinities pada
ukuran panjang 12 cm, Thelenota ananas pada ukuran panjang 30 cm dan
Actinopyga miliaris memiliki laju pertumbuhan 1 cm dan 5 gram per bulan.
Menurut James et al. (1994), Holothuria scabra diketahui mempunyai
panjang maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18
bulan, jenis ini mencapai kematangan seksual dan daya hidupnya diperkirakan
selama 10 tahun. Ukuran panjang pada akhir tahun pertama, kedua, ketiga,
keempat dan kelima berturut-turut 136 mm, 225 mm, 284 mm, 322 mm dan 384
mm. Ukuran individu induk bisa menjadi petunjuk kedewasaannya (Darsono et al,
1995a) diperoleh catatan bahwa individu dengan ukuran bobot total minimal 400
gram adalah potensial sebagai induk,meskipun tidak menutup kemungkinan
bahwa individu dengan ukuran lebih kecil ada yang sudah matang gonad.
2.8 Daur Hidup Teripang
Daur hidup teripang di alam terdiri atas dua periode yaitu : Planktonik dan
bentik. Pada fase planktonik teripang hidup melayang-layang di air, pada masa
larva yaitu stadia aurikularia dan doliolaria, sedangkan sebagai bentik, hidup
diatas substrat atau benda lain yakni stadia penctatula hingga menjadi teripang
dewasa, contohnya pada teripang pasir (Gambar 2).
Perkembangan larva teripang melalui beberapa fase. Telur yang dibuahi
akan membelah menjadi multisel dan terbentuklah blastula dalam waktu 12
jam. Kemudian berkembang menjadi Gastrula dalam beberapa jam berikutnya.
Fase gastrula ini akan berakhir sampai jam ke 32 dan metamorphose menjadi
auricularia awal. Bentuk atau fase auricularia ini akan berkembang dalam waktu
8 atau 10 hari, menjadi auricularia sedang dan akhir. Kemudian metamorphose
menjadi doliolaria, yang akan berkembang sampai hari ke 16 kemudian menjadi
pentacula dan berkembang sampai hari ke 50 atau sampai ke 60 untuk kemudian
berubah menjadi burayak muda. Diperlukan waktu 60 hari atau 2 bulan dari
perkembangan telur ikan menjadi burayak (Darsono, 1994).
Teripang dewasa
Larva
Auricularia (P)
Teripang muda/juvenil(B)
Penctatula (B)
Doliolaria (P)
Ket. (P) planktonik; B (Bentik)
Teripang dewasa
Larva
Auricularia (P)
Teripang muda/juvenil(B)
Penctatula (B)
Doliolaria (P)
Ket. (P) planktonik; B (Bentik)
Gambar 2. Daur Hidup Teripang Pasir (Holothuria scabra)
2.9 Peranan Teripang
Teripang merupakan komponen penting dalam rantai pakan (food chain) di
terumbu karang dan ekosistem asosiasinya pada berbagai tingkat struktur pakan
(trophic levels). Teripang berperan penting sebagai pemakan deposit (deposit
feeder) dan pemakan suspensi (suspension feeder). Di wilayah Indo-Pasifik, pada
daerah terumbu yang tidak mengalami tekanan eksploitasi, kepadatan teripang
bisa lebih dari 35 ekor per m2, dimana setiap individunya bisa memproses 80
gram berat kering sedimen setiap harinya (Bakus, 1973). Berkurangnya populasi
teripang secara cepat menimbulkan konsekuensi bagi kelangsungan hidup
berbagai jenis biota lain yang merupakan bagian dari kompleksitas lingkar pangan
(food web) yang sama.
Teripang dalam lingkar pangan ini berperan sebagai penyumbang pakan
berupa telur, larva dan juwana teripang, bagi organisma laut lain seperti berbagai
krustasea, moluska maupun ikan. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen,
yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi lapisan atas sedimen. Tingkah laku
teripang yang “mengaduk” dasar perairan dalam cara mendapatkan pakannya,
membantu menyuburkan substrat disekitarnya. Keadaan ini mirip seperti
dilakukan cacing tanah di darat. Proses tersebut mencegah terjadinya penumpukan
busukan benda organik dan sangat mungkin membantu mengontrol populasi hama
dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu. Tangkap lebih teripang bisa
berakibat terjadinya pengerasan dasar laut, sehingga tidak cocok sebagai habitat
bagi bentos lain dan organisma meliang (infaunal organism). Teripang
mempunyai kemampuan untuk melepas bagian organ dalam (eviserasi) apabila
terganggu, dan akan beregenerasi secara cepat.
2.10 Faktor-Faktor Lingkungan
1. Kedalaman Perairan
Teripang adalah organisme laut yang mendiami daerah pasang surut
hingga laut dalam (Hyman, 1955). Jenis yang bernilai ekonomis penting seperti
teripang pasir (Holothruia scabra), Teripang lotong (Holothuria nobilis) dan
Teripang nanas (Telonota ananas) biasanya menempati dasar gobah (lagoon) atau
di luar tubir dengan kedalaman antara 5-30 meter, sedangkan jenis teripang yang
kurang memiliki nilai ekonomis seperti Holothuria edulis, Holothuria atra berada
di daerah yang terdapat rumput laut atau disekitar terumbu karang dengan
kedalaman kurang dari 2 meter.
2. Kecepatan Arus
Menurut Bakus (1973), teripang adalah hewan-hewan yang seolah-olah
selalu dalam keadaan diam, karena sifat kurang bergerak inilah, maka biasanya
teripang berada ditempat-tempat yang airnya tenang.
Adanya pergerakan air, seperti arus akan mempengaruhi kehidupan
organisme dan faktor-faktor lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat
terbatas, sehingga pengadaan makanannya sangat ditentukan oleh arus. Arus yang
kuat akan menghanyutkan nutrien yang ada, sehingga mengakibatkan perairan
tidak subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).
3. Suhu
Kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan teripang adalah 27-300C.
Peningkatan suhu dari kisaran optimum akan mempengaruhi biologi reproduksi
dan kecepatan makan dari teripang itu sendiri bahkan teripang akan kehilangan
selera makan sama sekali, namun besarnya penyimpangan itu tidak disebutkan
secara pasti. Panggabean (1987) menyatakan kondisi suhu untuk teripang dewasa
adalah 26-300C sehingga pertumbuhan teripang dapat optimal.
4. Salinitas
Teripang dapat menyesuaikan diri pada salinitas 30-37‰, air laut
umumnya mempunyai salinitas antara 33-37 ‰ dan di perairan pantai berkisar
antara 32-35 ‰ (DKP, 2004).
5. Oksigen terlarut dan pH
Distribusi oksigen di laut dikendalikan melalui pertukaran dengan
atmosfer secara difusi, proses fotosintesis oleh fitoplankton dan tanaman air,
respirasi oleh organisme autotrof dan heterotrof serta proses perombakan bahan
organik (Levinton, 1982). Kandungan oksigen terlarut yang layak untuk
kehidupan teripang 4-8 ppm (Panggabean, 1987), sedangkan kandungan oksigen
terlarut pada saat ditemukannya teripang di perairan alami yaitu berkisar antara
5,67-6,34 ppm (Alwi, 1995). pH untuk usaha pembenihan adalah berkisar dari
6.5-8.5 (Panggabean, 1987).
6. Tekstur Sedimen
Substrat dibutuhkan sebagai tempat hidup bagi organisme bentik seperti
teripang. Pemilihan substrat senantiasa disesuaikan dengan kebiasaan individu
dewasa untuk mencari makan dari substrat (Levinton, 1982). Bahkan beberapa
laboran menyebutkan bahwa jenis Holothuria menyeleksi makanannya
berdasarkan ukuran partikel sedimen. Sedimen dasar perairan terutama terdiri dari
partikel yang berasal dari hasil batu-batuan dan hancuran cangkang kerang serta
rangka-rangka organisme laut. Berdasarkan tipe substrat dasar perairan, dapat
diketahui bahwa kombinasi dasar perairan yang terdiri dari pasir, kerang hidup
dan rumput laut merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan beberapa anggota
Holothuridae (Trijoko, 1991).
2.11. Sasi di Maluku
Pengertian Sasi
Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilaksanakan
oleh masyarakat pedesaan termasuk Pulau Saparua, Maluku Tengah yang
keberadaannya sudah ada sejak dulu dikenal dengan sebutan sasi. Sasi berasal dari
kata sanksi yang mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumber
daya alam tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis
bermanfaat bagi masyarakat (Bailey and Zerner, 1992). Sasi dapat diartikan
sebagai larangan untuk mengambil hasil sumberdaya alam tertentu sebagai upaya
pelestarian demi menjaga mutu dan populasi sumberdaya hayati alam tersebut
(Kissya, 1993). Makna sasi yaitu larangan bagi anak negeri (penduduk setempat)
dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber
daya alam baik darat maupun laut.
Bentuk dan Tujuan Sasi
Ada dua bentuk sasi yaitu sasi darat dan sasi laut. Sasi darat meliputi
semua jenis tanaman yang memiliki nilai ekonomi, seperti kelapa, pala cengkeh,
sagu, coklat dan jeruk. Demikian juga sasi laut, seperti : seperti lola, batu laga,
caping-caping, teripang, rumput laut, bakau, karang, kawanan ikan, ikan hias, batu
kerikil dan pasir. Menurut Nikijuluw (1994), tujuan adanya larangan ini supaya
sumberdaya (ikan) dapat berkembang biak, tumbuh mencapai ukuran tertentu,
tetap tersedia hingga dapat ditangkap dan dikonsumsi pada waktu yang lama.
Selain itu agar sumberdaya tersebut tetap lestari dan tetap dapat dimanfaatkan
dikemudian hari oleh generasi yang akan datang.
Lembaga Sasi
Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah
Sasi. Sasi adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui
proses musyawarah yang dilakukan dalam rumah adat, yaitu Baeleo. Kepala
Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis
keturunan dari marga tertentu atau yang disebut mata rumah, sedangkan anggota
Sasi atau pembantu sasi diangkat dari warga masyarakat yang ada dalam wilayah
soa. Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung
jawab serta memiliki peraturan-peraturan kewang sebagai dasar dan pedoman
dalam melaksankan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol
pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta daerah sasi
di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi
yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dan
pemerintah negeri.
Tujuan pengawasan dan pengontrolan kewang ini adalah supaya setiap
sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil
yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi
yang telah ditetapkan oleh kewang dengan persetujuan raja dan pemerintah negeri,
yaitu dalam melakukan pencurian ataupun pengrusakan terhadap sumberdaya
yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh kewang. Oleh karena itu, kewang
memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya
alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi ”hak ulayat
negeri” baik darat maupun laut terhadap pengaruh aktivitas dari luar.
Pelaksanaan Sasi
Pada sistem pemerintahan negeri, maka cara pelaksanaan sasi
dilaksanakan secara adat oleh raja sebagai kepala adat dan kewang sebagai
pengontrol dan pengawas sasi serta dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri
dan masyarakat. Oleh karena itu sebagai bagian dari ketentuan adat maka
pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu: acara tutup dan buka
sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi,
dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan
oleh masing-masing pemerintah negeri di Maluku
Pelaksanaan sasi dilakukan dengan cara menutup musim dan daerah
penangkapan. Untuk itu masyarakat desa tidak diizinkan menangkap selama
periode waktu tertentu di kawasan perairan tertentu. Periode penutupan
penangkapan dikenal dengan tutup sasi. Sementara itu periode musim
penangkapan dikenal dengan buka sasi. Selain itu sasi juga berkaitan dengan hak
eksklusif penangkapan oleh masyarakat desa. Dengan adanya hak eksklusif ini,
maka orang dari luar desa tidak diizinkan untuk menangkap, namun untuk
beberapa desa hak eksklusif ini dapat dilakukan oleh orang luar sejauh mereka
mau menggunakan alat tangkap yang sama digunakan oleh masyarakat setempat,
menggunakan alat yang tidak merusak lingkungan dan sumberdaya serta
membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang diberikan. Kawasan hak
eksklusif ini dikenal dengan nama petuanang desa, suatu kawasan perairan di
depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa, biasanya berupa perairan
dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw, 2002).
Uang yang harus dibayar orang luar untuk mendapatkan hak penangkapan
di daerah petuanan sering disebut ngase dan jumlahnya ngase bervariasi menurut
desa. Umumnya sekitar 10% dari nilai hasil tangkapan. Ngase dikumpulkan oleh
pemerintah negeri sebagai bagian dari pendapatan negeri. Selain ngase, orang luar
diwajibkan membagi sebagian hasil tangkapannya kepada pemimpin negeri dan
masyarakat lainnya yang kebetulan ada disekitar petuanang. Pemimpin dan
masyarakat bersama-sama menentukan jenis alat tangkap yang boleh digunakan,
yang tidak merusak lingkungan. (Nikijuluw, 1994)
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Mei 2008 di Negeri Porto
dan desa Warialau, sebagai desa pembanding pelaksanaan sasi. Negeri Porto
terletak di bagian selatan dan sebagian di bagian utara Pulau Saparua, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Negeri Porto merupakan salah satu dari
17 negeri/desa yang ada di Pulau Saparua. Luas wilayah Kecamatan Saparua
yaitu sebesar 970 km2 yang meliputi luas daratan sebesar 163 km2 dan luas laut
sebesar 807 km2 serta panjang garis pantai mencapai 99 km. Wilayah kecamatan
Saparua memiliki tiga (3) buah pulau yaitu Saparua, Molana dan Pombo Booi.
Pulau Saparua memiliki luas 161 km2 dengan panjang garis pantai 91 km.
Secara geografis, Kecamatan Saparua terletak antara 3º29'37"-3º39'3"
Lintang Selatan dan 128º33'25"-128º44'23" Bujur Timur, dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Selatan dengan Laut Banda;
- Sebelah Utara dengan Selat Seram;
- Sebelah Timur dengan Selat Saparua;
- Sebelah Barat dengan Laut Banda.
Desa Porto yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan
Saparua, secara geografis terletak pada 3º30'00"- 3º36'30" Lintang Selatan dan
128º35'08" - 128º37'18" Bujur Timur (Gambar 3) dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut:
- Sebelah Utara dengan Negeri Kulur;
- Sebelah Selatan dengan Negeri Haria;
- Sebelah Barat dengan Selat Saparua;
- Sebelah Timur dengan Negeri Tiow.
Negeri Porto memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah
pasang surut jaraknya berkisar antara 100-120 meter dengan kondisi substratnya
yang dapat dibedakan atas 6 bagian yaitu berpasir, pasir patahan karang, batu
berpasir, karang papan, patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai
yang ada pada daerah pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae.
Desa Warialau terletak di Pulau Warialau Kecamatan Pulau-Pulau Aru,
Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. Desa Warialau merupakan salah
satu dari 44 desa yang ada di Kecamatan Pulau-Pulau Aru. Luas wilayah
Kecamatan Pulau-Pulau Aru yaitu sebesar 1.893 km2, dengan panjang garis
pantainya adalah 1.045 km. Pulau terbesar dan berpenghuni di kecamatan Pulau-
Pulau Aru yaitu pulau Wokam, Kola, Warilau dan Wamar. Selain itu Kecamatan
Pulau-Pulau Aru juga memiliki beberapa pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Posisi geografis Kecamatan Pulau-Pulau Aru terletak sebagai berikut:
Sebelah Selatan berbatasan dengan : Aru Tengah
Sebelah Timur berbatasan dengan : Laut Aru dan Selatan Irian
Sebelah Utara berbatasan dengan : Selatan Pulau Irian
Sebelah Barat berbatasan dengan : Laut Banda dan Kei Besar Timur
Desa Warialau yang termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan
Pulau-Pulau Aru, secara geografis terletak pada 5º19'48"- 5º24'36" Lintang
Selatan dan 134º37'12" - 134º67'15" Bujur Timur (Gambar 3). dengan batas-batas
wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara dengan Selatan Pulau Irian;
- Sebelah Selatan dengan Selat Kolwatu;
- Sebelah Barat dengan Kei Besar Timur;
- Sebelah Timur dengan Kepulauan Jedan.
Desa Warialau memiliki topografi dasar perairan yang landai, pada daerah
pasang surut jaraknya berkisar antara 90-130 meter dengan kondisi substratnya
yang dapat dibedakan atas 5 bagian yaitu berlumpur, berpasir, karang papan,
patahan karang mati dan karang hidup. Ekosistem pantai yang ada pada daerah
pesisir berupa Mangrove, Lamun dan Algae.
Pulau Warialau
Kulur
Porto
Haria
TiowSelat Saparua
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di Negeri Porto dan Desa Warialau Provinsi Maluku
3.2. Peralatan dan Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini digunakan memiliki
spesifikasi yang berbeda-beda, yang disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian
No Jenis Peralatan Spesifikasi
1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pengukur Suhu dan pH
Perairan
Pengukur Kecepatan arus
Pengukur Salinitas
Pengukur DO
Pengukur Kecerahan
Pengukur Panjang
Pengukur bobot (gr)
Posisi
pH meter digital tipe HANA HI 9023;
ketepatan suhu :0,00-100,00 0C; pH (0,00-
14,00).
Current meter (m/det)
Hand Refraktometer
DO Meter digital Tipe Hanna
Secchi disk, bahan piringan, tali pemberat dan
pemberat
Penggaris, ketepatan 1 mm
Timbangan, ketepatan 10 gr
GPS
Pengukuran Faktor-Faktor Lingkungan
Pengukuran parameter lingkungan seperti Suhu, pH, DO, salinitas dan
kecepatan arus diukur di lapangan setiap hari selama 3 minggu (9 Maret-1 April
2008) di Negeri Porto dan 2 minggu (21 April-5 Mei 2008) di Desa Warialau.
Pengukuran dilakukan selama 3 kali dalam sehari yaitu pukul 06.00, 12.00 dan
18.00 WIT pada 3 titik transek kedua lokasi (transek 3,8, dan 13 untuk Negeri
Porto dan transek 2,5, 8 di Desa Warialau). Pengukuran suhu dan pH
menggunakan pH meter digital Hanna, dengan cara mengambil sampel air
permukaan dan kemudian menggunakan alat tersebut dan akan muncul nilai untuk
suhu, pH dan konduktivitas. Namun yang digunakan hanya data suhu dan pH.
Untuk mengukur DO (Dissolved Oxygen) digunakan DO meter digital Hanna.
Kecepatan arus diukur denggan menggunakan current meter, dan hand
refraktometer untuk mengukur salinitas serta secchi disk untuk kecerahan
perairan. Untuk mengukur kecerahan dilakukan pada setiap titik transek dengan
satu kali waktu pengukuran. Di Negeri Porto dari kelima belas titik transek
dilakukan pengukuran kecerahan pada waktu yang bervariasi yaitu pada pukul
07.00, 09.00, 10.00, 11.00 dan 12.00 WIT, sedangkan untuk Desa Warialau
dengan kedelapan transek dilakukan pengukuran pada waktu yang bervariasi juga
yaitu pukul 09.00, 10.00, 12.00 dan 15.00 WIT. Masing-masing parameter yang
diambil kemudian dibuat range untuk nilai terendah sampai tertinggi dan rata-
ratanya. Untuk penentuan lokasi penelitian menggunakan GPS.
Data-data sekunder lainnya yang ditelusuri seperti data faktor-faktor
lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, DO, dan arus permukaan yang diukur pada
malam hari (pukul 24.00 WIT) merujuk Leimena, (2004), selain itu data iklim
yang diperoleh dari laporan hasil-hasil kajian sebelumnya yang pernah dilakukan
oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan
Aru dan para peneliti lainnya
3.3. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan Contoh Teripang
Pengambilan contoh teripang menggunkan metode “Transek Kuadrat”
secara tegak lurus garis pantai dari batas surut ke arah laut (Smith,1980). Lokasi
transek ditentukan secara purposif pada tiap lokasi dengan memilih daerah rataan
terumbu yang relatif luas. Di negeri Porto, plot pengamatan digunakan rangka
berukuran 5x5 m2, titik plot pengamatan dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang
garis transek dan jarak antar tarnsek 100 meter (Gambar 4). Untuk desa Warialau,
plot pengamatan digunakan rangka berukuran 1x1 m2, titik plot pengamatan
dilakukan tiap jarak 10 meter sepanjang garis transek dan jarak antar tarnsek 100
meter (Gambar 5). Dari kedua lokasi terlihat bahwa adanya perbedaan ukuran
rangka, hal ini disebabkan karena di Negeri Porto pada saat survei awal digunakan
rangka 1x1 m2 tidak ditemukan speseis teripang, sehingga akhirnya rangkanya
diperbesar menjadi 5x5 m2, dan jumlah teripang tiap kuadrat yang lebih sering
ditemukan yaitu sekitar 1-2 individu.
Pengamatan diusahakan dilakukan pada saat atau menjelang surut dengan
menggunakan masker dan snorkel. Setiap teripang yang terkumpul diukur panjang
dan bobot basah yaitu dengan cara mendiamkan tanpa gangguan selama 15
menit dalam air laut dan kemudian diukur panjangnya dan ditimbang bobotnya.
Spesimen teripang yang belum teridentifikasi di lapangan kemudian diidentifikasi
menurut Clark and Rowe (1971); Cannon and Silver (1987) dan Birtles (1989).
Pada setiap transek dicatat jumlah dan komposisi jenis teripang, habitat, jenis
vegetasi dan yang berasosiasi dengan teripang.
Pengambilan contoh teripang di Negeri Porto dilakukan pada 15 transek
yang meliputi 168 petak pengamatan. Panjang lokasi penelitian 1500 meter dan
lebar 160 meter, sehingga luas keseluruhan area 240.000m2. Untuk Desa Warialau
pengambilan contoh pada 8 transek yang meliputi 91 petak pengamatan dengan
panjang 800 meter dan lebar 140 meter, sehingga luas keseluruhan area
112.000m2.
Pada setiap stasiun diambil contoh sedimen untuk mengetahui tekstur dan
komposisinya. Contoh sedimen tersebut kemudian dikeringkan dalam oven pada
temperatur 1100C selama 24 jam, setelah kering diayak dengan menggunakan
mesin penyaring otomatis yang bertingkat. Penggolongan ukuran butiran tanah
mengikuti skala Wentworth, dengan ukuran 4 mm (granules), 2 mm (very coarse
sand), 1 mm (coarse sand), 0.5 mm (medium sand), 0.25 mm (fine sand),
0.125 mm (very fine sand), 0.064 mm (silt) dan ≤ 0.038 mm (clay) (Morgan, 1958
dalam Yusron 1993).
5m
10 m
5m
Tr.1 Tr.2 Tr.3 Tr.4 Tr.5 Tr.6 Tr.7 Tr.8 Tr.9 Tr.10 Tr.11 Tr.12 Tr.13 Tr.14 Tr.15
T U B I R
P U L A U
Gambar 4. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Negeri Porto dengan Metode Transek Kuadrat
100 m
Tr.4 Tr.8Tr.7Tr.6Tr.5
T U B I R
P U L A U
Gambar 5. Skema Pengambilan Contoh Teripang di Desa Warialau dengan Metode Transek Kuadrat
10 m
1m
1m
Tr.1 Tr.2 Tr.3
100 m
Data Tangkapan dan Sosial Ekonomi
Untuk mengetahui data tangkapan per upaya maka diperoleh melalui metode
wawancara dengan pengambilan contoh secara sengaja, yaitu responden yang
memenuhi kriteria sebagai : (1) pedagang pengumpul dan; (2) nelayan
teripang. Dengan mengetahui data tangkapan per upaya maka dapat diketahui
indikator kelimpahan stok.
Untuk memperoleh hasil kinerja sasi yaitu dengan metode wawancara pada
responden yang diambil secara sengaja dengan kriteria yaitu (1). Staf
Pemerintah negeri; (2) Tokoh adat/ agama; (3) Nelayan teripang. Empat
indikator utama yang digunakan yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial,
keberlanjutan biologi dan pemerataan. Hasil analisa keempat indikator akan
dibandingkan antara Negeri Porto dan Desa Warialau.
Pengambilan data sosial ekonomi dilakukan melalui wawancara kepada
responden dan juga melalui penelusuran data sekunder. Data sekunder yang
berupa data sosial seperti kelembagaan dan aturan-aturan sasi serta data
ekonomi seperti pendapatan dan nilai jual teripang.
Responden yang dipilih sebagai narasumber terdiri dari 3 profesi yaitu:
Pemerintah Negeri dan Tokoh adat, Nelayan dan Pedagang Pengumpul
(Tabel 6).
Tabel 6. Kategori Responden yang di Wawancara
No. KategoriNelayan
Pemerintah danTokoh Adat
PedagangPengumpul
Porto Warialau Porto Warialau Porto Warialau
1.
2.
3.
4.
5.
Umur (tahun)
Pendapatan (Rp)
Jumlah
responden (jiwa)
Pendidikan
Jumlah Anggota
keluarga (jiwa)
33-65
500.000
-1jt
10
Tidak
tamat
SD-
tamat
SMA
5-8
27-54
<500.000
20
Tidak
tamat SD-
SMA
3-8
51-60
500.000
->1 jt
5
Tamat
SD-
sarjana
4-8
49-68
<500.000-
1 jt
5
Tidak
tamat SD-
tamat
SMA
1-2
50-55
> 1 jt
3
Tamat
SD-
tamat
SMA
2-5
48-65
> 1jt
3
Tamat
SD-tamat
SMA
4-6
3.4. Metode Analisis Data
3.4.1. Analisis Kondisi dan Potensi Sumber Daya Teripang
Analisa data kepadatan, kelimpahan dan frekuensi kehadiran digunakan
formula menurut Misra (1968) dalam Budiman dan Darnaedi (1982) sebagai
berikut :
Jumlah ind. suatu spesiesKepadatan (ind/m2) =
Luas total PP
Jumlah ind. suatu spesiesKepadatan Rel (%) =
Total ind. semua spesiesJumlah PP dimana suatu sp ditemukan
Frek. Kehadiran =Total petak pengamatan
Frek. Kehadiran suatu spesiesFrek. Keh. Rel (%) =
Total Frek. Keh semua spesies
ket : PP = petak pengamatanind. = individufrek = frekuensi
Untuk menghitung potensi sumberdaya teripang digunakan formula yang
dikemukakan oleh Sloan (1985) yang dihitung sebagai berikut :
Potensi (Ind) = Kepadatan (ind/m2) x Luas Area (m2)
3.4.2. Analisis Faktor-Faktor Lingkungan
Dari data pengukuran parameter lingkungan (Lampiran 2), kemudian
disesuaikan dengan persyaratan untuk budidaya dan pengayaan stok menurut
Martoyo et al, 2002 dan Wibowo, et,. 1997.
3.4.3. Analisis Hasil Tangkapan
Untuk mengestimasi hasil tangkapan setiap tahun di negeri Porto, dengan
rumus sederhana :
Hasil Tangkapan (kg/thn) = KN x JB x TB
Ket : KN = Jumlah Kelompok Nelayan (org), JB = Jumlah bulan aktifitas tangkap,
TB = tangkapan/bulan.
x 100
x 100
3.4.4. Analisis Efisiensi Kinerja Sasi
Untuk mengetahui kinerja sasi laut Negeri Porto perlu dilakukan melalui
tiga indikator sebagaimana yang dikemukakan oleh Novaczek et. el., 2001. yaitu :
1. Indikator Efisiensi
Bertujuan untuk menilai kinerja suatu rezim dengan melihat bersaran semakin
Tinggi efisiensi atau produktifitasnya, semakin baik atau suatu rezim.
Indikator kinerja efisiensi yang digunakan.
Pengambilan keputusan secara bersama.
Kemudahan ke sumberdaya
Pengawasan terhadap akses ke sumberdaya
Kepatuhan terhadap peraturan
Novaczek et. el. 2001 membagi kriteria keberlanjutan menjadi
keberlanjutan menjadi keberlanjutan sosial dan keberlanjutan biologi. Suatu rezim
dikatakan berkinerja baik secara sosial jika rezim tersebut dapat mempertahankan
tradisi aksi kolektif, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan pendapatan,
menjaga keharmonisan masyarakat serta memberikan ruang bagi
masalah- masalah lokal untuk dipecahkan secara bersama. Sementara itu rezim
dikatakan berlanjut secara biologi apabila kesehatan sumberdaya dan hasil
tangkapan ikan tetap baik.
2. Indikator Keberlanjutan sosial
Pendapatan
Kesejahteraan keluarga
Keharmonisan masyarakat
Tradisi aksi bersama
Pembahasan tentang masalah – masalah desa
3. Indikator Keberlanjutan biologi
Ukuran teripang
Hasil tangkapan teripang
4. Indikator Pemerataan
Pemerataan tidak berarti sama rata. Pemerataan dalam konteks
pemanfaatan sumberdaya perikanan ini lebih tepat diartikan keadilan. Artinya
setiap orang harus diperlakukan dengan adil sesuai dengan haknya dan tanggung
jawabnya. Semakin adil, semakin baik kinerja, semakin rendah tingkat
ketimpangan, semakin baik kinerja. Indikator Pemerataan terbagi atas :
Kesempatan memanfaatkan sumberdaya
Pemerataan hasil
Kesempatan bagi nelayan lokal
Komponen dalam tiap indikator kinerja di nilai dengan sistim skoring.
Sistem skoring diberikan dengan batasan. : Tinggi = 3; Sedang = 2; Rendah = 1.
Setiap hasil penilaian akan dikompilasikan secara tabular. Setiap nilai akan
dihitung kontribusinya secara proposional terhadap nilai efisiensi. Seluruh
komponen-komponen dalam tiap indikator kinerja akan dianalisis secara
deskriptif.
3.5 Alternatif Strategi Pengelolaan
Untuk mengkaji arah pengelolaan sumberdaya teripang di Negeri Porto,
Kabupaten Maluku Tengah, maka dilakukan berdasarkan hasil analisis kondisi
sumberdaya teripang, parameter lingkungan perairan, perikanan teripang dan data
sosial ekonomi kemudian dipadukan dengan hasil analisis efisiensi kinerja pada
lokasi ini yang dibandingkan dengan sasi pada desa Warialau Kabupaten
Kepulauan Aru. Hasil analisis tersebut dapat memberikan gambaran untuk
merumuskan strategi-strategi pengelolaan sumberdaya teripang pada daerah
intertidal di Negeri Porto yang juga disesuaikan dengan pendekatan teoritis.
IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Kondisi Iklim
Negeri Porto
Iklim yang terdapat di Kecamatan Saparua adalah iklim tropis dan iklim
musim. Oleh karena luasnya wilayah ini dimana pulau-pulau yang tersebar
dalam jarak yang berbeda-beda, sehingga iklim yang terjadi di Kecamatan
Saparua adalah iklim musiman. Keadaan musim teratur, musim Timur
berlangsung dari bulan Maret sampai Oktober. Musim ini adalah musim kemarau.
Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada
bulan April sampai bulan September dan yang paling deras terjadi pada bulan
Desember dan Pebruari. Musim Pancaroba dalam bulan Maret/April dan
Oktober/Nopember. Bulan April sampai Oktober bertiup angin Timur Tenggara.
Angin kencang bertiup pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras
dan laut bergelora. Bulan April sampai September bertiup angin Timur Tenggara
dan Selatan sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%. Bulan Oktober
sampai Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut
dominant 28%.
Keadaan curah hujan secara umum dapat digambarkan antara
3000 – 4500 mm pertahun terdapat di Kecamatan Saparua. Suhu rata-rata untuk
tahun 2008 sesuai data Stasiun Meterologi Amahai adalah 26,2 ºC dengan suhu
minimum absolute rata-rata 22,8ºC dan suhu maksimum absolute rata-rata 30.6ºC.
Rata-rata Kelembapan Udara relatif 83.3%; Penyinaran matahari rata-rata
64,7 %; dan tekanan udara rata-rata 1.013,3 milibar. Berdasarkan klasifikasi
agrklimate menurut Oldeman (1980), Maluku Tengah terbagi dalam empat zone
agroklimat dimana Kecamatan Saparua termasuk dalam kategori Zone III.1
yakni : bulan basah 5 – 6 bulan dan kering < 2 bulan.
Desa Warialau
Iklim yang terdapat di kepulauan Aru dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut
Arafura dan Samudera Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur
dan Benua Australia di bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi
perubahan. Keadaan musim teratur, musim Timur berlangsung dari bulan April
sampai Oktober . Musim ini adalah musim Kemarau. Musim Barat berlangsung
dari bulan Oktober sampai Pebruari. Musim hujan pada bulan Desember sampai
Pebruari dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Pebruari. Musim
Pancaroba berlangsung dalam bulan Maret/April dan Oktober/ Nopember. Bulan
April sampai Oktober, bertiup angin Timur Tenggara. Angin kencang bertiup
pada bulan Januari dan Pebruari diikuti dengan hujan deras dan laut bergelora.
Bulan April sampai September bertiup angin Timur Tenggara dan Selatan
sebanyak 91% dengan angin Tenggara dominan 61%. Bulan Oktober sampai
Maret bertiup angin Barat Laut sebanyak 50% dengan angin Barat Laut dominan
28%. Berdasarkan klasifikasi Agroklimat menurut Oldeman (1980), Kepulauan
Aru terbagi dalam dua Zona Agroklimat C2 bulan basah 5 - 6 bulan dan kering
2-3 bulan.
4.2. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang
4.2.1. Komposisi Sumberdaya Teripang
Dari hasil pengambilan contoh teripang di Negeri Porto, diperoleh 8 jenis
teripang yang tergolong ordo Aspidochirotida yang terdiri dari 2 famili dan
4 genera (Tabel 7). Kedelapan jenis tersebut yaitu Actinopyga miliaris,
A.lecanora, Bohadschia marmorata, Bohadschia sp, Holothuria edulis,
H.fuscogilva, H.atra dan Stichopus variagatus. Dari kedelapan jenis ini, 1 jenis
termasuk kategori mahal (utama), 2 jenis kategori sedang dan 5 jenis kategori
murah. Sebaliknya di Desa Warialau diperoleh 10 jenis teripang yaitu Actinopyga
miliaris, A.lecanora, A.echinities, Bohadschia marmorata, Bohadschia sp, B.argus
Holothuria edulis, H.scabra, Stichopus chloronotus dan Thelenota ananas.
Kesepuluh jenis tersebut terdiri dari kategori mahal (utama) 2 jenis, sedang 3
jenis dan 5 jenis murah (Tabel 8).
Tabel 7. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Negeri Porto
Kelas Ordo Famili Genera Spesies Kategori
Holothuroidea Aspidochirotida Holothuriidea Actinopyga
Bohadschia
Holothuria
A.miliaris
A.lecanora
B.marmorata
Bohadschia sp
H.edulis
H.fuscogilva
H.atra
Sedang
Sedang
Murah
Murah
Murah
Mahal
Murah
Stichopodidae Stichopus S.variagatus Murah
Tabel 8. Taksonomi dan Nilai Jual Teripang di Desa Warialau
Kelas Ordo Famili Genera SpesiesKategori
Holothuroidea Aspidochirotida Holothuriidea Actinopyga
Bohadschia
Holothuria
A.miliaris
A.lecanora
A.echinities
B.marmorata
Bohadschia sp
B.argus
H.edulis
H.scabra*
Sedang
Sedang
Sedang
Murah
Murah
Murah
Murah
Mahal
Stichopodidae Stichopus S.chloronotus Murah
Thelenota T.ananas* Mahal
4.2.2.Kepadatan Sumberdaya Teripang
Di Negeri Porto, Kepadatan tertinggi ditemukan pada Bohadschia
marmorata yaitu sebesar 0.0321 ind/m2 dengan kepadatan relatif 62.79%,
sedangkan kepadatan tertendah ditemukan pada Stichopus variagatus yaitu
sebesar 0.0005 ind/m2 (0.93%) (Gambar 6). Dari Gambar 6, terlihat bahwa
kepadatan relatif antara setiap jenis teripang yang ada di Negeri Porto mempunyai
perbedaan yang relatif jauh, yaitu Bohadschia marmorata 62.79%, sedangkan
ketujuh jenis lainnya mempunyai nilai kepadatan relatif dibawah 15%. Sebaliknya
di Desa Warialau kepadatan tertinggi ditemukan pada spesies Holothuria scabra
yaitu 1.000 ind/m2 (65.00%), sedangkan kepadatan terendah ditemukan pada
Actinopyga echinities sebesar 0.022 ind/m2 dengan kepadatan relatif 1.4286%
(Gambar 7). Dari Gambar 7, juga menunjukan hal yang sama yaitu kepadatan
relatif dari Holothuria scabra sangat tinggi yaitu 65% dan kesembilan jenis
lainnya mempunyai nilai kepadatan relatif dibawah 10%.
0.00000.0050
0.01000.01500.02000.0250
0.03000.0350
Bohadschia
marmora
ta
Bohadschia
sp
Actinopyga
miliaris
Actinopyga
lecanora
Holothuria
edulis
Holothuria
fuscogilv
a
Holothuria
atra
Stichopus va
riegates
Jenis Teripang
Kep
ad
ata
n(I
nd
/m
2 )
0.000010.0000
20.000030.000040.000050.0000
60.000070.0000
Kep
ad
ata
nR
ela
tif
(%)
Kepadatan Kepadatan relatif
Gambar 6. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripangdi Negeri Porto
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
Actinop
yga
miliar
is
Bohad
schia
mar
mor
ata
Actinop
yga
echin
ities
Holo
thuria
edulis
Bohad
schia
sp
Holo
thuria
scabr
a
Thelen
ota an
anas
Actinop
yga
lecan
ora
Bohad
schia
argus
Sticho
pus ch
loron
atus
Jenis Teripang
Kep
ad
ata
n(I
nd
/m
2)
0.0000
10.0000
20.0000
30.0000
40.0000
50.0000
60.0000
70.0000
Kep
ad
ata
nR
ela
tif
(%)
Kepadatan Kepadatan Relatif
Gambar 7. Grafik Kepadatan dan Kepadatan Relatif Sumberdaya Teripangdi Desa Warialau
Secara keseluruhan kepadatan sumberdaya teripang di Negeri Porto yang
terdiri dari 8 jenis yaitu 0.051 ind/m2, sedangkan di Desa Warialau yang terdiri
10 jenis yaitu sebesar 1.539 ind/m2. Teripang diberbagai wilayah Indonesia
memperlihatkan kepadatan yang sangat rendah, bervariasi antara 0.003-2.98
individu/m2 (Tabel 9). Tabel 9 menunjukan hasil pengamatan kepadatan teripang
di berbagai lokasi di Indonesia yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Dari
Tabel 9 ini terlihat bahwa untuk Provinsi Maluku, kepadatan teripang sangat
tinggi untuk Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Tanimbar Selatan), Maluku
Tenggara (Teluk Un) dan Kepulauan Aru (Desa Warialau) yaitu dengan
kepadatan berkisar antara 1.539-2.75 ind/m2, sebaliknya di Kabupaten Maluku
Tengah, kepadatan jenis teripang dibawah 1 ind/m2
Tabel 9. Kepadatan Teripang di Berbagai Lokasi Pengamatan
LokasiKepadatan(Ind/m2)
Referensi
Abubu, Nusalaut, MalukuSopura, Kolaka, Sulawesi
Waisisil, Saparua, Maluku
Bunaken, Sulawesi Utara
Yamdena, Tanimbar Selatan
Batunampar, Lombok
P.Pari, Kepulauan Seribu
Sapeken, Kangean, MaduraLembata, Flores TimurTeluk Un, Pulau Dulah, MalukuDesa Ihamahu & Kampung Mahu, SaparuaDesa Tuhaha, SaparuaDesa Ouw, SaparuaDesa Makariki, Pulau SeramDesa Rutong, Kota AmbonNegeri Porto, Saparua, Maluku*)Desa Warialau, Kep. Aru, Maluku*)
0.0790.003-0.4
0.88
2.98
2.75
0.19
0.24
300.612.34
0.0290.23
0.0240.3310.0240.0511.539
Matahurila, D (2001)Mangawe, A.G danR.Daud (1988)Andamari, R. et al(1989)Tamanampo,J.F.W.S.etal (1989)Rumahpurute Boedje(1990)Prahoro,P dan Suprapto(1991)Pralampita, W.A.et al(1992)Suprapto et al (1992)Nuraini, S.et al (1992)Radjab, A.W (1996)Berhitu, 2001Sahetapy, 2001Hutubessy, 2001Thenu, 2003Ayal & Souhoka, 2004Penelitian iniPenelitian ini
Untuk nilai potensi teripang di negeri Porto yaitu 12.240 individu,
sedangkan untuk desa Warialau yaitu 172.368 individu. Dari kedua nilai potensi
ini terlihat bahwa potensi teripang di Desa Warialau lebih tinggi sekitar 14 kali,
meskipun luas wilayah yang diijinkan untuk melakukan penelitian lebih kecil dari
Negeri Porto, karena desa Warialau sedang melakukan waktu “tutup sasi”
teripang.
4.2.3. Frekuensi Kehadiran Sumberdaya Teripang
Spesies yang memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi di Negeri Porto yaitu
Bohadschia marmorata dengan nilai frekuensi kehadiran sebesar 0.5357 dan
frekuensi kehadiran relatif sebesar 57.6923% dan disusul oleh Holothuria edulis
dengan nilai frekuensi kehadiran 0.1488 (16.0256%). Sementara spesies dengan
nilai frekuensi kehadiran yang terendah yaitu Stichopus variagatus dengan nilai
frekuensi kehadiran dibawah 0.0060 dan frekuensi kehadiran relatif 0.6410%
(Tabel 10). Di Desa Warialau, frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh
Holothuria scabra dengan nilai frekuensi kehadiran 0.6154 dan frekuensi
kehadiran relatif 54.3689%, sedangkan Actinopyga echinities merupakan jenis
dengan nilai frekuensi kehadiran terendah yaitu 0.0220 dan frekuensi kehadiran
relatif yaitu 1.9417% (Tabel 11).
Tabel 10. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Negeri Porto
JenisNilai
Frekuensi Kehadiran Frek.Kehadiran Relatif (%)
Bohadschia marmorata
Bohadschia sp
Actinopyga miliaris
Actinopyga lecanora
Holothuria edulis
Holothuria fuscogilva
Holothuria atra
Stichopus variagatus
0.5357
0.0234
0.0893
0.0417
0.1488
0.0476
0.0357
0.0060
57.6923
2.5641
9.6154
4.4872
16.0256
5.1282
3.8462
0.6410
Jumlah 0.9286 100
Tabel 11. Frekuensi dan Frekuensi Relatif Teripang di Desa Warialau
JenisNilai
Frek.Kehadiran Frek.Kehadiran Relatif (%)
Actinopyga miliaris
Bohadschia marmorata
Actinopyga echinities
Holothuria edulis
Bohadschia sp
Holothuria scabra
Thelenota ananas
Actinopyga lecanora
Bohadschia argus
Stichopus chloronotus
0.0549
0.0549
0.0220
0.0769
0.0549
0.6154
0.0989
0.0440
0.0769
0.0330
4.8544
4.8544
1.9417
6.7961
4.8544
54.3689
8.7379
3.8835
6.7961
2.9126
Jumlah 1.1319 100
4.2.4 Habitat Sumberdaya Teripang
Penyebaran teripang berdasarkan habitatnya terlihat begitu variasi mulai
dari rataan pasir, zona lamun, Zona Algae, Tubir dan Lereng (Tabel 12.) Zona
rataan pasir hanya ditemukan 3 jenis yaitu Bohadschia marmorata, Bohadschia sp
dan Actinopyga miliaris. Pada zona ini ketiga jenis harus beradaptasi pada
kondisi kekeringan saat surut terendah. Selanjutnya pada zona lamun dengan jenis
yang dominan yaitu Enhalus acioroides dan Thalassia hemprichii ditemukan
4 jenis teripang antara lain, Bohadschia marmorata, Actinopyga miliaris,
Holothuria edulis dan Holothuria atra. Keempat jenis teripang yang ada pada
zona ini harus dapat beradaptasi ketika air surut terendah, biasanya masih tersisa
air setinggi 20 cm. Untuk zona pertumbuhan algae, mempunyai substrat berupa
campuran pasir dan pecahan karang. Jenis Algae yang ditemukan teripang yaitu
jenis Sargassum sp dan Laminaria sp, sedangkan jenis teripang yang ada pada
zona ini adalah Bohadschia sp, Actinopyga miliaris dan Holothuria edulis.
Selanjutnya pada zona tubir, ditutupi oleh substrat keras berupa pecahan kerang,
karang mati dan bongkah karang. Teripang yang ditemukan pada zona ini adalah
Actinopyga lecanora, Bohadschia.marmorata, Bohadschia sp, Holothuria edulis,
H.fuscogilva H.atra dan Stichopus variagatus. Untuk zona lereng terumbu,
ditumbuhi oleh berbagai koloni karang batu, karang lunak dan spons. Substrat
pada zona ini, umumnya berupa substrat keras yang terdiri dari pecahan karang,
boulders dan diantara koloni karang masih terdapat pasir karang. Jenis teripang
yang ditemukan antara lain, Actinopyga lecanora, Bohadschia.marmorata,
Bohadschia sp, Holothuria edulis, H.fuscogilva, dan H.atra.
Penyebaran jenis-jenis teripang secara vertikal (per petak pengamatan)
di Negeri Porto terlihat bahwa tiap kuadrat pengamatan secara vertikal,
ditemukan 2-5 jenis teripang dengan jumlah total untuk semua area pengamatan
6-27 jenis (Gambar 8). Dari Gambar 8, terlihat bahwa semakin ke arah laut jenis
teripang semakin banyak dan jumlah per jenis semakin kecil.
Bohadschia marmorata dan Holothuria edulis merupakan dua jenis yang
ditemukan menyebar secara merata pada tiap kuadrat pengamatan, sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua jenis ini mempunyai habitat mulai dari perairan dangkal
sampai dalam. Bohadschia marmorata, dapat ditemukan pada rataan pasir, zona
lamun, tubir dan lereng terumbu, sedangkan Holothuria edulis menyebar mulai
dari habitat lamun, algae, tubir dan lereng terumbu. Stichopus variagatus
merupakan jenis yang penyebaran secara vertikal sangat terbatas, yaitu hanya
pada daerah tubir karang.
Tabel 12. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Negeri Porto
No Jenis Teripang
Zonasi
RataanPasir
ZonaLamun
Zona Algae Tubir Lereng
1. Bohadschia marmorata
2. Bohadschia sp
3. Actinopyga miliaris
4. Actinopyga lecanora
5. Holothuria edulis
6. Holothuria fuscogilva
7. Holothuria atra
8. Stichopus variagatus
0
5
10
15
20
25
Jum
lah
Ind
ivid
uy
an
gd
ite
mu
ka
n(e
ko
r)
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII
Kuadrat (Jarak Secara Vertikal)
Bohadschia marmorata
Bohadschia sp
Actinopyga miliaris
Actinopyga lecanora
Holothuria edulis
Holothuria fuscogilva
Holothuria atra
Stichopus variegates
Gambar 8. Jumlah individu dari masing-masing jenis teripang yang ditemukanberdasarkan petak pengamatan (secara vertikal) di Negeri Porto
Di Desa Warialau Penyebaran teripang berdasarkan habitat cukup
bervariasi yaitu dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng
(Tabel 13). Empat jenis ditemukan pada zonasi rataan pasir, tiga jenis pada zona
lamun, lima jenis pada zona algae, sembilan jenis di zonasi tubir serta tujuh jenis
di lereng terumbu. Pada zonasi lamun, jenis lamun yang dominan yaitu Thalassia
hemprichii, Cymodeocea rotundata dan Enhalus acoroides. Selanjutnya pada
zonasi algae, didominasi oleh algae jenis Gracilaria, Sargassum sp dan
Laminaria sp.
Penyebaran jenis-jenis teripang secara vertikal (per petak pengamatan)
di Desa Warialau terlihat bahwa tiap kuadrat pengamatan secara vertikal,
ditemukan 1-5 jenis teripang dengan jumlah total untuk semua area pengamatan
3-18 jenis (Gambar 9). Selain itu dari pengamatan secara vertikal dapat dilihat
juga bahwa semakin ke arah laut jumlah jenis yang ditemukan semakin banyak
dan jumlah untuk setiap jenis semakin rendah. Holothuria scabra merupakan jenis
yang daerah penyebarannya cukup luas yaitu mulai dari petak pengamatan
pertama sampai kesebelas, hal ini dimungkinkan karena dapat beradaptasi pada
habitat yang bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae dan tubir
terumbu. Selanjutnya jenis yang penyebarannya sempit yaitu Actinopyga lecanora
dan A.echinities, hal ini disebabkan karena adaptasi habitat tidak terlalu
bervariasi. Actinopyga lecanora mempunyai habitat hanya pada zonasi tubir dan
lereng terumbu dan Actinopyga echinities, habitatnya pada zona algae, hingga
tubir dan lereng terumbu.
Tabel 13. Penyebaran Teripang Berdasarkan Zonasi di Desa Warialau
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Jum
lah
Ind
ivid
uya
ng
dit
em
uka
n
(eko
r)
I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII XIII
Kuadrat (Jarak Secara Vertikal)
Actinopyga miliaris
Bohadschia marmorata
Actinopyga echinities
Holothuria edulis
Bohadschia sp
Holothuria scabra
Thelenota ananas
Actinopyga lecanora
Bohadschia argus
Stichopus chloronatus
Gambar 9. Jumlah individu dari masing-masing jenis teripang yang ditemukanberdasarkan petak pengamatan (secara vertikal) di Desa Warialau
4.2.5. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang
1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan
Dalam penelitian ini, parameter fisik-kimia perairan yang diukur karena
merupakan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan teripang
No Jenis Teripang
Zonasi
RataanPasir
ZonaLamun
Zona Algae Tubir Lereng
1. Actinopyga miliaris
2. Actinopyga echinities
3. Bohadschia marmorata
4. Holothuria edulis
5. Bohadschia sp
6. Holothuria scabra
7. Thelenota ananas
8. Actinopyga lecanora
9. Bohadschia argus
10. Stichopus chloronotus
yaitu suhu permukaan air laut, derajat keasaman, kadar garam, oksigen terlarut,
kecerahan dan arus.
a. Suhu
Dari hasil pengukuran suhu di lapangan terlihat bahwa kisaran suhu untuk
Negeri Porto yaitu berkisar antara 27-300C, dengan rerata 28.50C, serta untuk
Desa Warialau dengan kisaran 27-300C dengan rerata 28.80C. Menurut
Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, kisaran suhu untuk persyaratan
budidaya teripang yaitu 24-300C dan kedua lokasi memenuhi persyaratan tersebut.
b. Derajat Keasaman (pH)
pH perairan untuk Negeri Porto yaitu memiliki nilai kisaran 7.8-8.4
dengan nilai rerata 8.3. Selanjutnya untuk Desa Warialau mempunyai kisaran
pH 7.1-7.4 dengan rerata 7.2. Apabila mengacu pada persyaratan budidaya
teripang menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, dimana nilai pH
6.5-8.5, maka dapat diakatkan untuk persyaratan derajat keasaman (pH) maka
kedua lokasi memenuhi syarat.
c. Kadar Garam (Salinitas)
Distribusi salinitas di perairan pesisir dan laut juga merupakan salah satu
faktor oseanografi yang turut mempengaruhi eksistensi sumberdaya hayati di
perairan pesisir dan laut. Data tentang salinitas memberikan justifikasi tentang
kondisi kadar garam suatu perairan. Untuk Negeri Porto, kisaran nilai salinitas
30-34 ‰, dengan rerata 32.6‰. Selanjutnya untuk Desa Warialau salinitas
berkisar antara 33-35‰ dengan rerata 33.4‰. Menurut Martoyo, et al 2002 dan
Wibowo, et al, 1997, teripang dapat menyesuaikan diri pada kadar garam
(salinitas) 28-33‰. Air laut umumnya mempunyai salinitas antara 33-37 ‰ dan
di perairan pantai berkisar antara 32-35 ‰ (DKP, 2004). Dengan mengacu pada
persyaratan alami untuk pertumbuhan teripang, maka dapat dinyatakan bahwa
kisaran salinitas dari kedua lokasi yang memenuhi persyaratan untuk budidaya
teripang.
d. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) sangat dibutuhkan untuk kehidupan organisme
akuatik. Oksigen terlarut dapat berasal dari proses fotosintesa tanaman akuatik,
dimana jumlahnya tidak tetap karena tergantung dari jumlah tanamannya dan dari
atmosfer atau melalui difusi udara yang masuk ke dalam air dengan jumlah yang
terbatas. Konsentrasi DO pada lapisan kolom air permukaan di laut untuk Negeri
Porto berkisar 6-8.6, dengan nilai rerata 8.1, sedangkan untuk Desa Warialau
7.2-7.5 serta nilai rerata 7.3. Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al,
1997 oksigen terlarut untuk budidaya teripang berkisar antara 4-8. Dengan
demikian dapat terlihat bahwa kedua lokasi mempunyai nilai DO yang sesuai
untuk budidaya teripang.
e. Kecerahan
Hasil pengukuran kecerahan untuk dua lokasi yaitu Negeri Porto dan Desa
Warialau, menunjukan bahwa tingkat kecerahan kisarannya cukup berbeda, yaitu
16-27 m dengan rerata 21.6 meter untuk Negeri Porto dan 6-16 m dengan rerata
11 m untuk Desa Warialau. Jika disesuaikan dengan persyaratan untuk budidaya
teripang menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997, nilai kecerahan
lebih dari 5 meter. Dengan demikian maka kecerahan pada kedua lokasi
memenuhi persyaratan untuk budidaya teripang. Di lokasi perairan yang memilki
tingkat kecerahan yang tinggi maka penentrasi cahaya matahari kedalam kolom
perairan cukup baik sehingga proses fotosintesis tumbuhan akuatik dapat
berlangsung dengan baik untuk menghasilkan oksigen, guna menopang kehidupan
diperairan.
f. Arus
Dari hasil perhitungan kecepatan arus permukaan di Negeri Porto dan
Desa Warialau terlihat bahwa keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu 0.3 m/s
dengan rerata 0.3 m/s. Untuk budidaya teripang kecepatan arus berkisar antara
0.3-0.5 m/s (Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997). Dengan mengacu
pada nilai tersebut, maka untuk Negeri Porto dan Desa Warialau, budidaya
teripang dapat dilakukan karena mempunyai kecepatan arus yang masuk dalam
interval pertumbuhan optimal teripang.
Dari keenam faktor lingkungan yang diukur diatas terlihat bahwa budidaya
teripang untuk kedua lokasi dapat dilaksanakan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa
semua faktor-faktor utama yang menentukan budidaya teripang menurut Martoyo
et al, 2002 dan Wibowo et al, 1997, dapat terpenuhi baik di Negeri Porto maupun
Desa Warialau (Tabel 14).
Tabel 14. Kelayakan Parameter Lingkungan untuk Budidaya Teripang
ParameterPorto Warialau Persyaratan Budidaya
Kisaran Rerata Kisaran Rerata Martoyo, et al,2002
Wibowo, et al,1997
Suhu (0C)
pH
Salinitas (‰)
DO
Kecerahan (m)
Arus (m/s)
27-30
7.8-8.4
30-34
6-8.6
16-27
0.3
28.5
8.3
32.6
8.1
21.6
0.3
27-30
7.1-7.4
33-35
7.2-7.5
6-16
0.3
28.8
7.2
33.4
7.31
11
0.3
24-30
6.5-8.5
28-32
4-8
> 5m
0.3-0.5
27-30
6.5-8.5
29-33
4-8
> 5 m
0.3-0.5
2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang
Hasil analisis sedimen pada Negeri Porto dan Desa Warialau, dilakukan
pada beberapa lokasi (titik pengamatan) yang mewakili substrat yang dominan
yaitu rataan pasir, lamun dan rumput laut (algae), sedangkan untuk tubir dan
lereng terumbu, tidak diambil untuk analisa sedimen karena diwakili oleh substrat
yang keras.
Secara menyeluruh hasil analisis menunjukan bahwa pada kedua lokasi
substrat didominasi oleh sedimen berupa pasir kasar atau Coarse Sand (1 mm).
Sebaran sedimen berada pada kisaran ukuran pasir yaitu sebesar 92.07%
di negeri Porto dan 94.11% di desa Warialau. Untuk lokasi penelitian di Porto
dominasi pasir kasar berkisar antara 37.72 – 46.53 % (rerata 41.70%), sedangkan
lokasi Warialau antara 44.75 – 49.24 % (rerata 47.49%), selanjutnya diikuti oleh
pasir sedang pada negeri Porto dengan rerata 31.26% dan Desa Warialau 20.99%
(Tabel 15).
Tabel 15. Persentase Rata-Rata Kondisi Sedimen Pada Stasiun Pengamatan
ButiranUkuranButiran(mm)
Persentase Sedimen/Stasiun(%)
P1 P2 P3 W1 W2 W3
Granules
Very Coarse Sand
Coarse Sand
Medium Sand
Fine Sand
Very Fine Sand
Silt
Clay
4
2
1
0.5
0.25
0.125
0.064
≤0.038
7.40
15.44
37.72
29.30
6.86
3.05
0.22
0
3.97
11.26
40.85
40.86
2.98
0.09
0
0
12.21
17.57
46.53
23.62
0.07
0
0
0
4.02
20.68
44.75
20.69
0.00
4.44
5.42
0
3.92
20.97
49.24
21.53
2.67
1.66
0.01
0
4.30
22.16
48.48
20.74
3.27
1.06
0
0
Total 100 100 100 100 100 100
Keterangan : P= Porto, W=Warialau
4.3 Sebaran Frekuensi Panjang Sumberdaya Teripang
Sebaran panjang dari setiap teripang berbeda-beda baik di negeri Porto
maupun Desa Warialau. Data sebaran panjang merupakan data panjang setiap
jenis teripang yang ditemukan pada setiap kuadrat. Sebaran panjang digunakan
untuk membandingkan ukuran tingkat kematangan gonad beberapa jenis teripang
yang ditemukan di kedua lokasi penelitian. Keempat jenis teripang yang terwakili
dari kedua lokasi merupakan jenis dengan kategori mahal, sedang, murah dan
yang memiliki kepadatan tertinggi. Untuk negeri Porto diwakili oleh Bohadschia
marmorata, Holothuria fuscogilva, Actinopyga miliaris dan Holothuria atra
(Gambar 10, Tabel 16). Di Desa Warialau diwakili oleh Holothuria scabra,
Actinopyga echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas (Gambar 11,
Tabel 17).
0
10
20
30
40
50
60
0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350 351-400 401-450
Panjang Teripang (mm)
Fre
ku
en
si
(eko
r)
Gambar 10. Sebaran Ukuran Panjang Bohadschia marmorata di Negeri Porto
Tabel 16. Ukuran Panjang dan Frekuensi Beberapa Jenis Teripang di Negeri Porto
JenisUkuran Panjang
(mm)Frekuensi
(ekor)
Holothuria fuscogilva166-248
40481
Actinopyga miliaris74-90
264-38313
4
Holothuria atra183-205246-270
52
0
5
10
15
20
25
30
0-50 51-100 101-150 151-200 201-250 251-300 301-350
Panjang Teripang (mm)
Fre
ku
en
si
(eko
r)
Gambar 11. Sebaran Ukuran Panjang Holothuria scabra di Desa Warialau
Tabel 17. Ukuran Panjang dan Frekuensi Beberapa Jenis Teripang di Desa Warialau.
JenisUkuran Panjang
(mm)Frekuensi
(ekor)
Actinopyga echinities98-173 2
Actinopyga miliaris105-275 5
Thelenota ananas97-332 11
4.4 Perikanan Teripang
Hasil Tangkapan
Negeri Porto, yang terletak di pulau Saparua yang merupakan daerah
sebaran teripang, telah terjadi penurunan teripang akibat adanya upaya tangkap
yang tinggi. Tingginya upaya tangkap ini disebabkan karena adanya kebijakan
Pemerintah Negeri yang menerapkan sistem lelang atau kontrak, sehingga
menyebabkan pengontrak dapat mengambil sumberdaya yang ada sesuai
keinginan dan kemampuannya. Penurunan sumberdaya teripang ini terlihat di
tahun 2005. Data hasil tangkapan teripang di negeri Porto, tidak ada pencatatan
yang sistematis, namun jika diestimasi secara sederhana untuk data tangkapan
teripang tahun 2004-2007 terlihat bahwa terjadi penurunan hasil tangkap setiap
tahun berkisar antara 33.33%-50% bahkan jika diamati secara saksama maka
dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan di tahun 2007 hanya sekitar 10% dari hasil
tangkapan tahun 2004 (Gambar 12).
Upaya penangkapan terdiri dari dua kelompok nelayan dan masing-masing
berjumlah lima orang. Penangkapan biasanya tidak dilakukan pada bulan Juni-
Juli, karena kondisi laut yang tidak memungkinkan dengan ketinggian gelombang
tinggi 3-4 meter dengan intensitas curah hujan yang tinggi. Selain itu pada bulan
Desember juga aktifitas penangkapan sangat rendah bahkan hampir tidak ada
karena menjelang perayaan natal serta kondisi laut yang kurang bersahabat juga.
Penangkapan teripang oleh para nelayan teripang ini dilakukan dengan
cara sederhana yaitu diambil secara langsung dengan tangan dan menggunakan
alat penjepit yang terbuat dari bambu bulu dengan panjang 1,5-4 meter, sedangkan
mata penjepit terbuat dari besi. Perahu yang digunakan mempunyai ukuran
panjang 4-6 meter dan ada yang menggunakan motor tempel dan ada yang
menggunakan kekuatan nelayan dalam mendayung.
0
100
200300
400
500
600
700
800900
1000
1100
1200
2004 2005 2006 2007
Tahun
Hasil
Tan
gkap
an
(kg
keri
ng
)
Gambar 12. Hasil Tangkapan Teripang di Negeri Porto Tahun 2004-2007
Operasi penangkapan dilakukan biasanya pada saat air laut mulai surut,
baik pada pagi maupun malam hari, dengan lama operasi 4-6 jam. Untuk operasi
malam hari digunakan lampu petromak sebagai alat penerangan. Teripang
ditangkap dengan menggunakan alat penjepit, namun posisi nelayan tetap diatas
perahu. Ketajaman penglihatan sangat diperlukan pada saat operasi malam hari.
Karena biasanya teripang akan bersembunyi di bawah substrat tempat hidupnya
atau bersembunyi disekitar batu karang. Untuk perairan dangkal, langsung
ditangkap dengan tangan. Operasi tangkapan akan berhenti bila hasil tangkapan
dirasakan cukup banyak, air mulai pasang atau keadaan cuaca yang tidak
memungkinkan seperti hujan, ombak yang tidak memungkinkan lagi untuk
aktivitas penangkapan.
Untuk Desa Warialau, tidak ada pencatatan hasil tangkapan teripang, hal
ini disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur,
namun bisa mencapai 3-5 tahun sekali serta didasarkan pada kesepakatan bersama
antara masyarakat dengan pemerintah desa. Hasil tangkapan teripang tahun 2006,
pada saat buka sasi yaitu sebanyak 4.800 kg. Jumlah hasil tangkapan ini
didasarkan pada perhitungan dengan estimasi sederhana, yang didasarkan dengan
waktu buka sasi 2 minggu (12 hari, karena hari minggu dilarang beraktifitas)
masing-masing penduduk usia dewasa diberi kesempatan mengambil teripang
sebanyak 1 bakul (± 1 kg kering), jumlah penduduk dewasa sekitar 400 orang
(umumnya semua penduduk akan berkumpul ketika acara buka sasi). Aturan yang
sama tetap diberlakukan, sehingga diperkirakan jumlah tangkapan tidak berbeda
jauh setiap waktu buka sasi, yang kadang mengalami perubahan yaitu jumlah
penduduk yang terlibat dalam proses penangkapan teripang.
Nilai Jual Teripang
Hasil tangkapan teripang yang dihasilkan di Pulau Saparua termasuk
didalamnya Negeri Porto, biasanya dijual ke pedagang pengumpul di Saparua
maupun dijual langsung ke Kota Ambon. Teripang merupakan sumberdaya yang
sangat diminati sehingga permintaan terhadap sumberdaya ini cukup tinggi baik
jenis yang termasuk kategori tinggi, sedang maupun mahal. Untuk hasil tangkapn
teripang yang ada di Provinsi Maluku (contohnya Kota Ambon dan Dobo)
umumnya diekspor ke Surabaya, namun harga teripang di Kota Ambon lebih
rendah (Gambar 13). Dari Gambar 13 terlihat bahwa, harga teripang tertinggi
untuk kategori besar (ukuran 15-20 cm yang mencapai berat 1 kg) yaitu jenis
Actinopyga lecanora dengan harga Rp.200.000, sedangkan harga terendah untuk
ukuran kecil yaitu Rp.20.000.
-
50,000
100,000
150,000
200,000
250,000
Bohadsc
hia m
armora
ta
Actinopyg
a mili
aris
Holoth
uriaedul
is
Bohadsc
hia
sp
Actinopyg
a leca
nora
Holoth
uriafu
scogi
lva
Holoth
uriaatra
Stich
opus va
riaga
tus
Jenis Teripang
Nil
aiJu
al(R
p/k
gke
rin
g)
Besar
Sedang
Kecil
Gambar 13. Nilai Jual Sumberdaya Teripang di Kota AmbonHarga teripang yang tertinggi untuk Provinsi Maluku, yaitu di Kepulauan
Aru khususnya di Dobo. Meskipun harga juga bervariasi berdasarkan ukuran,
namun Holothuria scabra merupakan jenis yang mempunyai nilai jual tertinggi
yang mencapai harga Rp.750.000 untuk ukuran besar, sedangkan ukuran sedang
Rp.600.000 dan ukuran kecil Rp.500.000. Jenis dengan nilai jual terendah yaitu
Bohadschia argus dan Stichopus chloronatus yaitu dengan nilai jual untuk ukuran
besar Rp.100.000, sedangkan ukuran kecil Rp.25.000 (Gambar 14).
-
100,000
200,000
300,000
400,000
500,000
600,000
700,000
800,000
Holoth
uriasc
abra
Actin
opyga m
iliar
is
Actin
opyga ech
initi
es
Holoth
uriaedul
is
Bohadsc
hia
sp
Actin
opyga le
canora
Bohadsc
hia
marm
orata
Thele
nota
anan
as
Bohadsc
hia
argu
s
Stich
opus ch
loro
natus
Jenis Teripang
Nila
iJu
al(R
p/k
gke
rin
g)
Besar
Sedang
Keci l
Gambar 14. Nilai Jual Sumberdaya Teripang di Dobo, Kepulauan Aru
Dari Gambar 13 dan Gambar 14, terlihat bahwa teripang yang ada Negeri
Porto merupakan teripang dengan kategori sedang sampai murah dan teripang
yang bernilai tinggi atau mahal sudah sulit ditemukan dan juga jumlah teripang
yang ada mulai menurun, hal ini cukup berbeda jika dibandingkan dengan
teripang di desa Warialau. Setiap jenis teripang yang mempunyai nilai ekonomis,
mempunyai harga jual berbeda-beda sesuai dengan ukurannya yaitu besar, sedang
dan kecil. Biasanya penentuan kategori ukuran didasarkan pada ukuran (cm) yang
mencapai berat 1 kg kering ataupun jumlah individu teripang yang mencapai berat
1 kg kering (Tabel 18).
Tabel 18. Kategori Ukuran Beberapa Jenis Teripang
Jenis TeripangUkuran (1kg kering)
Besar Sedang Kecil
Holothuria scabra 3 ekor 4 ekor 6 ekorBohadschia marmorata 20 cm 15 cm 5 cmBohadschia sp 20 cm 15 cm 5 cmStichopus variagatus 15-20 cm Tidak ada ukuran sedang 2cmHolothuria atra Hanya ada satu ukuran sajaHolothuria edulis Hanya ada satu ukuran sajaActinopyga lecanora 15 cm 12 cm 7 cmHolothuria fuscogilva 15 cm 12 cm 7 cm
4.5 Kondisi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan
4.5.1. Sosial Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Negeri Porto mempunyai mata pencaharian
yang bervariasi yang dimulai dengan petani pemilik lahan dengan persentase
tetinggi serta disusul dengan PNS, Pensiunan, Pedagang, Nelayan, dan lainnya.
Dari pekerjaan yang bervariasi maka cukup juga mempengaruhi pendapatan
mereka. Tingkat pendapatan masyarakat Porto bervariasi yaitu antara kurang dari
Rp.250.000-lebih dari Rp.1.000.000 per bulan (Tabel 19). Dari Tabel 19, terlihat
bahwa besar pendapatan tertinggi masyarakat negeri Porto yaitu pada selang
Rp.400.000-Rp.499.000 (34.29%), sedangkan yang terendah yaitu pada besar
pendapatan kurang dari Rp.250.000 (5.43%). Jika kisaran besar pendapatan
diperkecil, maka dapat dijelaskan bahwa kisaran pendapatan kurang dari
Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan
Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
setengah dari penduduk bekerja pendapatannya dibawah Rp.500.000 dan hampir
sebagian penduduk lainnya pendapatannya lebih dari Rp.500.000 atau pendapatan
yang kurang dari sama dengan Rp.1.000.000 sebanyak 84.29%, sedangkan
pendapatan lebih dari Rp.1.000.000 sebanyak 15.71%. Untuk nelayan teripang di
negeri Porto, jika diestimasi pendapatannya secara sederhana, dari hasil tangkapan
pada tahun 2007 sebanyak 180 kg kering dan nilai jual teripang ukuran besar rata-
rata berkisar Rp.200.000-Rp.300.000/kg kering, dengan jumlah nelayan teripang
10 orang, maka pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000/bulan.
Tabel 19. Besar Pendapatan Masyarakat di Negeri Porto dan Desa Warialau
Besar Pendapatan (Bln)Negeri Porto Desa Warialau
Jiwa (%) Jiwa (%)< Rp.250.000Rp.250.000-Rp.299.000Rp.300.000-Rp.399.000Rp.400.000-Rp.499.000Rp.500.000-Rp.1.000.000>Rp.1.000.000
192541
1209055
5.437.14
11.7134.2925.7115.71
458034271810
21.0337.3815.8912.628.414.67
Jumlah 350 100 214 100
Untuk Desa Warialau, kisaran pendapatan tertinggi yaitu pada kisaran
Rp.250.000-Rp.299.000 (37.38%). Lebih singkat, dapat dijelaskan bahwa kisaran
pendapatan kurang dari Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedangkan besar pendapatan
sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan Rp.500.000 yaitu sebesar
13.08%. Dengan demikian terlihat bahwa besar pendapatan penduduk bekerja di
Desa Warialau sangat rendah. Jika diestimasi pendapatan penduduk desa Warialau
pada saat buka sasi, dengan jumlah tangkapan 4.800 kg kering dan harga rata-rata
Rp.750.000/kg, dengan jumlah penduduk ± 400 orang, maka besar pendapatan
yaitu Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya pendapatan yang ada, tidak menjadi
sumber pendapatan utama, karena tidak setiap tahun dilakukan penangkapan
karena sedang “tutup sasi”. Tingginya pendapatan penduduk pada saat “buka sasi”
karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun sedang serta dalam
jumlah dan ukuran yang besar.
4.5.2. Kelembagaan
Negeri Porto
Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU nomor
22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu
dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri. Nama wilayah administratif
berubah dari desa menjadi negeri demikian pula organisasi pemerintahannya.
Adapun struktur pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada Negeri
Porto (Gambar 21).
Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah memberikan
kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan sangat
mungkin sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal, dimana sistem
pemerintahan desa dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri. Supardal et al,
(2005) mengatakan bahwa UU No.22 Tahun 1999 dimungkinkan adanya
perbedaan menyangkut nama kelembagaan desa yang ada. Dengan demikian nilai-
nilai lokal, tradisi, adat istiadat dimunculkan kembali selama masyarakat
menganggap akan mendukung efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan
pembangunan desa. Dengan diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.32
Tahun 2004, maka semangat dan keinginan masyarakat untuk memberlakukan
sistem adat dapat terakomodasi. Pada rezim otonomi daerah dimana pelakasanaan
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yaitu pada Raja dan Kewang
diharapkan dapat berjalan dengan baik.
Gambar 15. Struktur Pemerintahan di Negeri Porto
Desa Warialau
Desa Warialau masih menganut sistem pemerintahan desentralisasi,
dimana Kepala Desa merupakan pemimpin tertinggi dalam desa (Gambar 22).
Meskipun telah terjadi perubahan sistem pemerintahan menjadi otonomisasi,
namun dalam kenyataannya Desa Warialau masih menganut sistem yang lama.
Keunikan dari model pemerintahan di Desa Warialau yaitu masih
mempertahankan adat istiadat dengan sangat teguh meskipun menganut sistem
desentralisasi.Struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa,
sekretaris desa, Badan Perwakilan Desa, Kepala-kepala urusan dan kepala dusun.
Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing yang
berbeda. Kepala desa merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur
pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa.
Sekretaris
BPD
Kaur UmumKaur PembangunanKaur Pemerintahan
Raja
Kep SoaWattimury
Kep SoaPolnaya
Kep SoaTetelepta
Kep SoaSahertian
Kep SoaAponno
Kep SoaLatuihamallo
Masyarakat
Gambar 16. Struktur Pemerintahan di Desa Warialau
Sekretaris
BPD
Kaur UmumKaur PembangunanKaurPemerintahan
Kepala Desa
KepalaDusun
KepalaDusun
KepalaDusun
KepalaDusun
KepalaDusun
Masyarakat
Keterangan : Garis Komando
Garis Koordinasi
V. PEMBAHASAN
5.1. Potensi dan Kondisi Sumberdaya Teripang
5.1.1. Potensi Sumberdaya Teripang
Tingginya spesies Bohadschia marmorata karena penyebarannya cukup
luas yaitu pada habitat karang, berpasir yang relatif kasar juga pada daerah
berlamun. Menonjolnya spesies ini karena ditemukan setengah dari jumlah petak
pengamatan. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Odum (1971), yang menyatakan
bahwa suatu perairan biasanya terdapat banyak jenis organisme tetapi hanya ada
beberapa jenis saja yang menonjol. Tingginya jenis Bohadschia marmorata juga
disebabkan karena termasuk dalam kategori rendah dan relatif murah dan sulit
dalam penangannya, sehingga intensitas penangkapan belum menjadi target
utama, jika dibandingkan dengan jenis yang termasuk dalam kategori mahal dan
sedang. Penyebab lain tingginya Bohadschia marmorata juga disebabkan karena
jenis-jenis dengan kategori mahal (utama) seperti Holothuria scabra dan
Thelenota ananas sudah sulit ditemukan, sehingga jenis-jenis kategori murah
semakin mendominasi dalam komunitas teripang di negeri Porto.
Secara keseluruhan kepadatan teripang di Negeri Porto yang terdiri dari
8 jenis yaitu 0,051 ind/m2. Rendahnya kepadatan teripang disebabkan karena pada
tahun 2005, adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri/Desa
setempat untuk melakukan sistem lelang (kontrak) daerah pasang surut kepada
nelayan teripang dari Madura. Dalam melakukan upaya penangkapan nelayan-
nelayan tersebut menyelam dengan menggunakan kompresor sehingga dapat
memudahkan dalam proses pengambilan teripang pada semua daerah
penangkapan teripang dengan jumlah yang teripang yang tinggi dan berbagai
ukuran untuk semua jenis. Dengan kebijakan yang dianggap merugikan
masyarakat, maka selanjutnya masyarakat tidak menerapkan aturan sasi lagi,
namun upaya penangkapan dilakukan secara terus menerus untuk mendapat hasil
tangkapan teripang, hal ini juga didukung karena permintaan teripang semakin
meningkat dengan harga yang semakin tinggi. Akibat tingginya upaya
penangkapan tersebut, maka dari hasil penelitian terlihat bahwa jumlah teripang
dengan kategori tinggi dan mahal hanya ada satu jenis yaitu
Holothuria fuscogilva, sedangkan ketujuh jenis lainnya termasuk kategori sedang
dan rendah (murah). Penurunan jumlah jenis juga terjadi dari 15 jenis menjadi
8 jenis (Anonimous, 2005).
Dari nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Bohadschia
marmorata, hal ini disebabkan karena Bohadschia marmorata mempunyai
kemampuan beradaptasi yang tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari
lingkungan habitat dimana spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa
jenis ini mempunyai penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua
habitat, sehingga dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang
khusus. Untuk keenam jenis teripang lainnya terlihat bahwa nilai frekuensi
kehadiran relatifnya kurang dari 10 persen dan hal itu juga turut mempengaruhi
nilai kepadatan dari spesies-spesies ini.
Tingginya Holothuria scabra diduga karena dapat mendiami habitat
karang mati/hidup serta perairan dengan substratnya pasir sampai pasir halus
maupun yang ditumbuhi lamun. Holothuria scabra merupakan jenis teripang
yang termasuk kategori utama, yang relatif mahal dan di lokasi yang lain sudah
sulit ditemukan, sedangkan masih ditemukan pada lokasi ini. Selain itu masih ada
juga jenis yang termasuk kategori utama dan relatif mahal yaitu Thelenota
ananas, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan sasi masih berjalan dengan
baik dan sangat mendukung upaya pelestarian. Hal itu juga diduga karena
pelaksanaan sasi yang cukup lama 3-5 tahun, dimana dapat memberikan peluang
untuk teripang melakukan beberapa kali pemijahan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan James et al (1994), bahwa Holothuria scabra mempunyai panjang
maksimal 400 mm dan bobot dalam kondisi hidup 500 gram. Dalam 18 bulan,
jenis ini mencapai kematangan gonad seksual dan mempunyai kemampuan hidup
diperkirakan selama sepuluh tahun.
Kepadatan 10 jenis teripang di Desa Warialau yaitu sebesar 1,539 ind/m2.
Dari kedua nilai kepadatan ini terlihat bahwa nilai kepadatan sumberdaya teripang
di desa Warialau sangat tinggi, karena adanya kemampuan bersaing dalam
menempati habitat. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Kekenusa (1994),
bahwa kecil atau rendahnya nilai kepadatan mungkin disebabkan oleh kurangnya
kemampuan bersaing dalam menempati habitat. Selain itu disebabkan pula oleh
adanya pengelolaan berbasis sasi, yang didukung oleh peraturan-peraturan adat
yang sangat ketat serta diawasi oleh seluruh masyarakat. Peraturan-peraturan sasi
di Desa Warialau, sudah mencakup waktu pengambilan teripang 2 minggu
(12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya dilakukan pada malam hari dan tidak boleh
melakukan penyelaman, jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg
kering) teripang per hari, ukuran yang diambil hanya yang berukuran besar dan
alat yang diijinkan yang masih termasuk tradisional.
Romimohtarto (1999) mengatakan bahwa suatu individu mempunyai nilai
kepadatan yang tinggi, umumnya karena habitat yang cocok dengannya sehingga
jumlah individu yang diperoleh pada saat pengambilan sampel akan besar.
Sehubungan dengan hal di atas, jenis substrat dasar perairan juga mempengaruhi
keberadaan dari suatu jenis biota laut untuk dapat hidup pada atau di dalam dasar
laut. Namun demikian faktor habitat bukan satu-satunya faktor yang
menyebabkan tinggi atau rendahnya suatu nilai kepadatan dari suatu spesies,
karena faktor lain juga turut pula mempengaruhi keberadaan spesies tersebut
seperti ketersediaan makanan, interaksi antar spesies dan kehadiran predator
(Nybakken, 1988). Kepadatan populasi teripang yang menurun dan akan berada
dibawah “normal” akan berpengaruh terhadap kemungkinan gagalnya fertilisasi.
Hal ini disebabkan karena teripang berkelamin terpisah, memijah dalam air (laut)
dan fertilisasi terjadi dalam kolom air. Teripang mempunyai karakter mobilitas
rendah dan kemungkinan ruang hidupnya sempit. Oleh karena itu untuk suksesnya
fertilisasi, populasi teripang harus dalam jumlah tertentu.
Nilai frekuensi kehadiran tertinggi diwakili oleh Holothuria scabra, hal ini
disebabkan karena Holothuria scabra mempunyai kemampuan beradaptasi yang
tinggi baik terhadap faktor biologi dan fisik dari lingkungan habitat dimana
spesies ini hidup. Dengan demikian terlihat bahwa jenis ini mempunyai
penyebaran yang luas serta dapat beradaptasi dengan semua habitat, sehingga
dalam pengelolaannya tidak memerlukan perlakuan yang khusus.
Dari kedua lokasi ini terlihat baik di Negeri Porto maupun Desa Warialau,
meskipun jumlah jenis berbeda dimana Desa Warialau memiliki jenis yang lebih
banyak, namun sumberdaya teripang yang ada di kedua lokasi ini tergolong dalam
satu ordo yaitu Aspidochirotida Hal ini sesuai dengan apa yang dipresentasikan
oleh Bakus (1973) bahwa ordo Aspidochirotida adalah hewan yang merupakan
karakteristik perairan tropis yang jernih dimana umumnya dijumpai pada daerah
terumbu karang, pantai berbatu, pasir atau pasir campuran lumpur (Nontji,1987).
Selanjutnya Hyman (1955) mengatakan bahwa di daerah Indo-Pasific Bagian
barat merupakan daerah yang terkaya akan teripang dari genus Holothuria,
Stichopus dan Actinopyga.
Tingginya nilai frekuensi kehadiran yang ada di Negeri Porto yaitu
Bohadschia marmorata dan Holothuria scabra di Desa Warialau karena
mempunyai kemampuan beradaptasi yang luas. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari Budiman dan Darnaedi (1982) bahwa spesies-spesies yang mampu bergerak
dan mudah menyesuaikan diri dan memiliki kemampuan toleransi yang luas
umumnya memiliki frekuensi kehadiran yang tinggi. Pendapat diatas juga
didukung oleh Nybakken (1988) yang menyatakan bahwa kehadiran komunitas
bentik sangat berkaitan dengan kemampuannya untuk beradaptasi terhadap
perubahan kondisi lingkungan dimana dia hidup.
Dari kelima variasi habitat yang ada, baik di Negeri Porto maupun Desa
Warialau dapat dijelaskan bahwa zona tubir dan lereng terumbu diminati oleh
banyak jenis teripang, kemudian diikuti oleh zona lamun dan algae. Hal ini
disebabkan karena teripang membutuhkan habitat yang dapat memberikan
perlindungan dari cahaya matahari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Hyman
(1955) yang mengemukakan bahwa teripang peka terhadap sinar matahari,
sehingga teripang lebih banyak yang bersifat fototaksis negatif. Selain itu pada
zonasi algae dan lamun, maka kebutuhan akan makanan bagi teripang tersedia.
Untuk zonasi rataan pasir, jenis teripang yang ditemukan lebih sedikit jika
dibandingkan dengan ketiga zona diatas, karena jenis-jenis teripang yang ada pada
zonasi ini harus mempunyai kemampuan adaptasi yang khusus untuk menghindari
cahaya matahari. Contohnya pada Holothuria scabra yang beradaptasi dengan
cara membenamkan diri dalam pasir, sedangkan Bohadschia marmorata dan
Holothuria atra dengan cara menempeli tubuhnya dengan butiran pasir halus. Hal
ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Bakus (1973), bahwa butiran pasir yang
menempel pada tubuh Holothuria atra memantulkan cahaya matahari dan
membuat suhu tubuhnya lebih rendah.
5.1.2. Sebaran Frekuensi Panjang dan Hasil Tangkapan Teripang
Sebaran Frekuensi Panjang
Dari hasil sebaran panjang pada Gambar 10, terlihat bahwa Bohadschia
marmorata yang merupakan jenis dengan kepadatan tertinggi memiliki sebaran
panjang dengan jumlah yang semakin meningkat dari ukuran 51-200 mm dan
kemudian mengalami penurunan sampai pada ukuran 450 mm dengan frekuensi
1 individu. Hal ini terlihat bahwa jumlah individu yang ada merupakan jumlah
dengan ukuran yang masih muda dan yang patut disesali bahwa meskipun jenis
ini termasuk kategori murah dan sulit dalam penangannya namun ukuran yang
besar (351-450 mm) mulai sulit ditemukan. Hal ini tentu saja menunjukan bahwa
jenis ini mulai ditangkap oleh nelayan teripang untuk dijual kepada pedagang
pengumpul. Jika dibandingkan ukuran panjang tubuh maksimum, maka
Bohadschia marmorata memiliki kesamaan dengan Holothuria fuscogilva,
Actinopyga miliaris dengan demikian dapat dikatakan keduanya memiliki
kecepatan tumbuh yang sama sehingga tingkat kematangan gonad juga akan sama
yaitu 320 mm. Dari ukuran panjang yang ada maka terlihat bahwa penangkapan
dilakukan sebelum masa memijah. Dengan demikian perlu dilakukan pembatasan
dalam hal jumlah tangkapan, ukuran yang diperbolehkan, dan waktu tangkapan.
Selanjutnya pada Tabel 16, Holothuria fuscogilva, jenis Holothuria
fuscogilva, dan Holothuria atra terlihat memiliki sebaran frekuensi panjang yang
berbeda. Holothuria fuscogilva yang termasuk kategori mahal, terlihat bahwa
ukuran sebaran panjang dengan frekuensi tertinggi ditemukan pada ukuran
166-248 mm, kemudian ditemukan satu individu ukuran 404 mm. Tentunya hal
ini masuk akal karena jenis ini merupakan jenis dengan kategori mahal, sehingga
upaya tangkap untuk ukuran besar sangat tinggi. Namun, permasalahannya bahwa
ukuran tingkat kematangan gonad pertama dari Holothuria fuscogilva yaitu pada
ukuran 320 mm. Hal tersebut tentu saja dapat memberikan gambaran bahwa
kedepan jenis ini akan musnah, jika waktu sasi tidak diperpanjang dan penerapan
sanksi bagi nelayan teripang harus dilaksanakan, sehingga teripang ukuran
panjang 166-248 mm dibiarkan tumbuh dan memijah dan ketersediaan stok dapat
terlaksana akibat adanya rekruitmen.
Untuk jenis Actinopyga miliaris, frekuensi tertinggi yaitu pada sebaran
panjang 74-90 mm, kemudian ditemukan pada ukuran 264-383 mm. Dengan
demikian terlihat bahwa karena jenis ini termasuk dalam nilai jual dengan
kategori sedang, maka diambil segala ukuran yang laku dijual dan kemungkinan
tangkapan terbesar pada ukuran 91-383 mm. Untuk Actinopyga miliaris belum
ada kajian mendalam tentang tingkat kematangan gonad dari jenis ini, namun
diketahui bahwa laju pertumbuhan jenis ini yaitu 1 cm dan 5 gram per bulan.
Dengan demikian diharapkan agar adanya penutupan waktu sasi yang lebih lama
sehingga ukuran yang masih ada dapat mencapai ukuran individu yang sudah sulit
bahkan tidak ada lagi yang mungkin saja merupakan ukuran matang dan gonad
serta memberikan peluang bertambahnya individu jenis ini dalam populasi
teripang.
Hal yang tidak berbeda jauh terlihat juga pada jenis Holothuria atra
dimana pada ukuran panjang 183-205 mm, kemudian muncul lagi pada ukuran
246-270 mm. Dengan demikian terlihat bahwa meskipun termasuk kategori
murah, namun jenis ini juga mulai ditangkap.
Dari keempat jenis yang terwakili dari jenis dengan kepadatan tertinggi,
dan yang termasuk kategori mahal, sedang, murah (rendah) terlihat bahwa telah
dilakukan upaya tangkap dengan berbagai ukuran. Hal ini dapat dikatakan
demikian karena meskipun dalam pengambilan contoh semua jenis dengan
sebaran panjang yang bervariasi ditemukan, namun semua jenis juga dijual ke
pedagang pengumpul setelah melalui proses pengolahan untuk mendapatkan
teripang yang dijual kering sesuai standar pedagang pengumpul. Dengan
demikian untuk negeri Porto dengan kepadatan teripang yang semakin menurun
perlu merevisi aturan sasi kembali dengan penutupan waktu penangkapan (tutup
sasi) yang diperpanjang, pengaturan ukuran teripang yang boleh ditangkap, serta
jumlah yang dapat diambil, sehingga dapat menyebabkan adanya pertumbuhan
dan rekruitmen serta menghindari hilangnya suatu plasma nuftah. Selain itu
sistem lelang (kontrak) perlu dihindari sehingga tidak menyebabkan terjadinya
penurunan sumberdaya serta kegiatan yang bersifat destruktif akibat kekecewaan
dan ketidakpuasan masyarakat.
Gambar 11, menunjukan Sebaran ukuran panjang Holothuria scabra
begitu merata mulai dari ukuran 51-250 mm dan memuncak pada ukuran
151-200 mm. Tingkat kematangan gonad pertama untuk jenis ini yaitu ukuran
160 mm, dengan demikian dapat dikemukakan bahwa ketersediaan stok dari jenis
ini sudah cukup tinggi dan memberikan peluang adanya pertumbuhan dan
rekruitmen. Untuk ukuran panjang 251-350 mm terjadinya penurunan jumlah
individu, hal ini mungkin berkaitan dengan adanya waktu buka sasi pada tahun
2006, dimana jenis-jenis dengan ukuran besar sudah diijinkan untuk ditangkap,
sehingga dalam selang waktu 2 tahun, ukuran panjang yang dewasa masih dalam
jumlah yang agak menurun.
Tabel 17 memperlihatkan sebaran frekuensi panjang dari Actinopyga
echinities, Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas. Actinopyga echinities
ditemukan dua jenis dalam penelitian, hal ini mungkin disebabkan karena daerah
sebaran dari jenis ini terbanyak pada habitat algae dan terumbu karang, sedangkan
pada saat penelitian tidak diijinkan untuk melakukan penyelaman di daerah
karang. Jenis ini meskipun termasuk dalam kategori sedang, namun terlihat bahwa
sebaran panjang cukup baik karena memiliki frekuensi yang sama pada ukuran
98-173 mm. Tingkat kematangan gonad dari jenis ini yaitu pada ukuran panjang
120 mm dan tentu saja dapat terlihat bahwa dengan adanya individu pada ukuran
tersebut maka memberikan peluang adanya penambahan individu baru dan hal ini
cukup didukung dengan pelaksanaan sasi yang sampai saat ini masih dalam status
waktu “tutup sasi.”
Actinopyga miliaris merupakan jenis dengan kategori murah, namun
sebaran panjangnya cukup merata yaitu pada ukuran 105-275 mm. Dari segi
ukuran terlihat bahwa di Negeri Porto ukurannya berkisar dari 74-383 mm.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di Desa Warialau Actinopyga miliaris
dengan ukuran kurang dari 105 mm dan lebih dari 275 mm tidak ditemukan, hal
ini mungkin disebabkan karena belum adanya rekruitmen untuk ukuran muda dan
dewasa. Untuk tingkat kematangan gonad dari jenis ini belum ada kajian ilmiah,
jadi diharapkan agar penentuan waktu tutup sasi tetap dipertahankan oleh
pemerintah negeri setempat, sehingga memberikan peluang adanya rekruitmen
pada kedua ukuran yang belum ditemukan di Desa Warialau.
Thelenota ananas merupakan jenis kedua kategori mahal yang ditemukan
di Desa Warialau. Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa ukuran
97-332 mm. Tingkat kematangan gonad pertama yaitu ukuran 300 mm dan telah
terjadi upaya tangkap pada ukuran tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan
perlindungan dengan pengaturan ukuran yang bisa ditangkap.
Dari frekuensi sebaran panjang terlihat bahwa jumlah teripang dengan
sebaran ukuran panjang yang ada menggambarkan bahwa ketersediaan stok
teripang masih sangat baik karena teripang dengan kategori belum matang bahkan
matang untuk memijah masih ditemukan dan tidak ada upaya tangkap karena
masih ada dalam status “tutup sasi.” Ketersediaan stok yang ada tentu saja
didukung oleh penerapan aturan sasi di lokasi ini sangat baik dari segi penentuan
waktu tangkap, ukuran yang dapat diambil serta jumlah tangkapan yang
diperbolehkan, selain itu adanya dukungan masyarakat yang tinggi untuk upaya
pengelolaan dengan ketersediaan teripang yang terus menerus yang dapat
memberikan manfaat bagi perairan maupun masyarakat.
Hasil Tangkapan Teripang
Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, hal ini menunjukan bahwa laju
penangkapan telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas
pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat
stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif
diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang
matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam
daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas
lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat
bervariasi.
Dari data sebaran panjang di negeri Porto juga terlihat bahwa upaya
tangkapan dilakukan tanpa memperhatikan ukuran matang gonad, sehingga
individu dewasa yang siap memijah juga ikut tertangkap, hal ini tentu saja akan
berdampak terhadap ketersediaan stok teripang. Ketidakpedulian terhadap hal ini
akan berakibat stok sumberdaya tersebut akan menipis dengan berjalannya waktu
dan menjurus ke hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan hasil tangkapan
dan keuntungan ekonomi rata-rata yang optimal. Jika tidak segera diambil langkah
perbaikan, risiko kehancuran biologi dan pemborosan ekonomi akan meningkat
hingga ke suatu tingkat yang dapat mengakibatkan berakhirnya aktivitas
perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai
pemasaran dan perdagangan. Dengan demikian akan berdampak terhadap
ketersediaan sumberdaya teripang secara terus-menerus, peningkatan
kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan, dan peluang kerja yang semakin
berkurang.
Dalam upaya menjaga ketersediaan stok teripang, maka diatur mortalitas
akibat penangkapan yaitu 25-50% dari potensi yang ada. Untuk Negeri Porto
potensi teripang sebesar 12.240 individu. Dengan demikian hasil tangkapan yang
diijinkan yaitu ± 3060-6120 individu per tahun. Dari hasil tangkapan nelayan
teripang yang masih bersifat tradisonal terlihat bahwa hasil tangkapan masih ada
dalam batas yang diijinkan yaitu ± 3870 ekor/tahun (10-20 kg kering).
Hasil tangkapan teripang di Desa Warialau, tidak tercatat karena hal ini
disebabkan karena pelaksanaan waktu tutup dan buka sasi, tidak secara teratur,
namun bisa mencapai 3-5 tahun, namun cenderung tidak terjadi penurunan hasil
tangkapan karena dibatasi dengan aturan-aturan sasi yang jelas seperti waktu
tangkapan selama 12 minggu (12 hari) hanya pada siang hari setiap 3-5 tahun,
jumlah tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) per hari, serta alat
yang digunakan khusus untuk yang masih bersifat tradisional serta dilarang
menyelam. Dengan demikian jika pengelolaan teripang dilakukan dengan tepat
maka akan memiliki manfaat yang terus-menerus karena ketersediaan teripang
yang terus menerus pula.
5.2. Faktor-Faktor Lingkungan bagi Pertumbuhan Teripang
5.2.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan
Dalam upaya pelestarian teripang melalui upaya budidaya maupun
pengayaan stok di Negeri Porto maupun Desa Warialau, maka faktor-faktor
lingkungan cukup berperan yaitu suhu, pH, salinitas, DO, Kecerahan dan Arus.
Dari hasil pengukuran di lapangan terlihat bahwa kedua lokasi ini memenuhi
kriteria budidaya Menurut Martoyo, et al 2002 dan Wibowo, et al, 1997.
a. Suhu
Dari data hasil pengukuran suhu (Lampiran 2), terlihat bahwa suhu
tertinggi pada saat pukul 12.00, dimana intensitas penyinaran matahari sangat
tinggi, sedangkan untuk pengukuran malam hari pukul 24.00, suhu yang ada
masih memenuhi standar untuk budidaya yaitu 27-29oC. Suhu merupakan
parameter fisika yang memegang peranan penting di dalam pertumbuhan dan
kelangsungan hidup sumberdaya akuatik, hal ini disebabkan karena suhu
berpengaruh langsung terhadap proses fotosintesa tumbuhan akuatik, proses
metabolisme dan siklus reproduksi. Kenaikan suhu air sebesar 10oC akan
menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen hewan akuatik menjadi dua kali
lipat (Wardojo, 1975). Selain itu peningkatan suhu juga akan menyebabkan kadar
oksigen terlarut rendah dan selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme, seperti
laju pernapasan dan meningkatkan konsentrasi karbon dioksida.
b. Derajat Keasaman (pH)
Air laut memiliki nilai pH yang relatif stabil dan biasanya berkisar 7,5-8,4.
Nilai pH dipengaruhi oleh laju fotosintesa, suhu air serta buangan industri dan
rumah tangga. pH rendah atau tinggi sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan kelangsungan hidup hewan akuatik. Perairan yang bersifat asam (pH<5) atau
bersifat alkali (pH>11) dapat menyebabkan kematian dan tidak terjadi reproduksi.
c. Kadar Garam (Salinitas)
Perairan laut mempunyai kestabilan salinitas yang relatif tinggi bila
dibandingkan dengan air payau. Perubahan salinitas lebih sering terjadi pada
perairan dekat pantai, hal ini disebabkan banyaknya air tawar yang masuk baik
melalui sungai maupun run off terutama pada musim penghujan. Untuk kedua
lokasi ini sungai tidak ditemukan, sehingga peluang terbesar yaitu pada saat
musim penghujan. Peningkatan salinitas selain berpengaruh pada daya hantar
listrik juga dapat meningkatkan tekanan osmotik yang selanjutnya akan
berpengaruh terhadap metabolisme terutama dalam proses osmoregulasi.
d. Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling kritis dalam
budidaya, karena oksigen dalam air berasal dari udara melalui difusi dan hasil
sampingan fotosintesa tumbuhan akuatik terutama dari fitoplankton. Kelarutan
oksigen dalam air dipengaruhi oleh suhu air, ketinggian lokasi, salinitas dan
tekanan udara. Peningkatan suhu air dan salinitas menyebabkan kelarutan oksigen
rendah dan begitu sebaliknya.
e. Kecerahan
Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus
lapisan air pada kedalaman tertentu. Menurut Birowo dan Uktolseja (1976),
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur,
plankton, zat organik, dan bahan-bahan lain yang terlarut atau tersuspensi dalam
air. Perairan yang memiliki nilai kecerahan renah pada cuaca normal (cerah)
memberikan suatu indikasi banyaknya partikel-partikel yang terlarut dan
tersuspensi didalamnya. Keadaan tersebut dapat mengurangi laju fotosintesa.
f. Arus
Arus adalah massa air baik horisontal maupun vertikal yang disebabkan
oleh angin dan gaya. Arus sangat berperan dalam sirkulasi air, pembawa bahan
terlarut dan tersuspensi, kelarutan oksigen serta dapat mengurangi organisme
penempel. Arus akan mempengaruhi kehidupan organisme dan faktor-faktor
lingkungan lainnya. Pergerakan teripang sangat terbatas, sehingga arus yang kuat
akan berperan dalam pengadaan nutrien, sehingga mengakibatkan perairan tidak
subur dan merugikan teripang (Nuraini dan Said, 1995).
5.2.2. Kondisi Substrat yang sesuai bagi Pertumbuhan Teripang
Dengan nilai persentase sedimen pada hasil penelitian, bisa dikatakan
bahwa dominasi pasir kasar hingga sedang sangat tinggi dan ini sangat
mempengaruhi karakter substrat secara menyeluruh. Kedua lokasi ini memiliki
karakter yang mirip dan merupakan habitat yang baik dari teripang sesuai sifat
membenamkan diri dari teripang tersebut, karena dengan ukuran pasir kasar yang
ditambah dengan pasir sedang, maka teripang dengan mudah membenamkan diri
untuk menghindarkan diri dari tekanan predator (Hyman, 1955). Dari dominasi
ukuran sedimen substrat bisa dikatakan bahwa tekanan dasar cukup kuat. Kondisi
ini dapat dipahami dengan memperhatikan areal penelitian yang merupakan
bagian dari daerah intertidal yang selalu mendapat tekanan dari pergerakan massa
air saat terjadi pasang surut. Kondisi sedimen sebagai habitat dari teripang baik di
Negeri Porto maupun Desa Warialau dapat mendukung pertumbuhan teripang
sekitar 3-5 jenis, khususnya yang mempunyai daerah sebaran di pasir hingga zona
algae.
5.3. Sosial Ekonomi dan Kelembagaan (Sasi)
5.3.1. Sosial Ekonomi
Penduduk Negeri Porto mempunyai kisaran pendapatan kurang dari
Rp.500.000 sebesar 58.57%, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama dengan
Rp.500.000 yaitu sebesar 41.43%. Untuk nelayan teripang di negeri Porto
pendapatan bisa mencapai Rp. 300.000 per bulan, sehingga dapat membantu
perekonomian keluarga. Hal ini juga didukung oleh adanya pekerjaan sampingan
dari nelayan yaitu sebagai petani pemilik kebun. Masih rendahnya pendapatan
nelayan teripang disebabkan karena jenis yang ditemukan merupakan kategori
yang sedang bahkan murah.
Untuk penduduk desa Warialau kisaran pendapatan kurang dari
Rp.500.000 sebesar 86.92%, sedang, sedangkan besar pendapatan lebih dari sama
dengan Rp.500.000 yaitu sebesar 13.08%. Pendapatan penduduk desa warialau
pada saat “buka sasi” mencapai Rp.750.000/bulan. Dalam kenyataannya
pendapatan yang ada, tidak menjadi sumber pendapatan utama, karena tidak setiap
tahun dilakukan penangkapan (tutup sasi). Tingginya pendapatan penduduk pada
saat “buka sasi” karena jenis yang ditemukan termasuk kategori mahal maupun
sedang serta dalam jumlah dan ukuran yang besar.
Dimensi sosial ekonomi mempertimbangkan pengaruh penduduk terhadap
sumberdaya teripang dan manfaat bagi penduduk, sehingga perlu upaya
bagaimana mengoptimalkan manfaat ketersediaan sumberdaya teripang untuk
pihak atau kelompok yang berkepentingan dan masyarakat secara umum. Yang
termasuk ke dalam kelompok yang berkepentingan adalah penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya teripang: menangkap mengolahnya dengan berbagai
cara; dan memasarkannya atau mendapatkan mata pencaharian dari sumberdaya
teripang, termasuk para konsumen dan kelompok lain yang secara tidak langsung
dipengaruhi oleh keputusan pengelolaan.
Jika melihat dimensi sosial ekonomi maka perlu dilakukan pengelolaan
teripang sehingga ketersediaan stok secara terus menerus dan dijual bukan dalam
bentuk bahan baku, namun dalam bentuk bahan olahan, sehingga akan memberi
manfaat bagi penduduk setempat karena rendahnya pendapatan. Dengan demikian
diharapkan ketersediaan stok secara terus menurus karena adanya aturan sasi yang
mengatur waktu tangkap, jumlah dan ukuran teripang yang boleh ditangkap,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk khususnya nelayan.
5.3.2. Proses dan Aturan-Aturan Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau
a). Proses Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau
Pengelolaan sumberdaya laut di Negeri Porto berbasis sasi, hal ini telah
ada sejak dahulu kala dan memiliki aturan-aturan yang jelas (Tabel 20).
Untuk Desa Warialau, sasi dilakukan secara turun-temurun berdasarkan
cerita orang tua dan tidak mempunyai peraturan tertulis. Namun proses
pelaksanaan sasi di Desa Warialau masih memegang prinsip adat-istiadat yang
berlaku, sehingga prosesnya terlihat lebih rumit (Tabel 21). Untuk desa Warialau
ini, meskipun peraturannya secara lisan namun ketaatan masyarakat terhadap
peraturan ini lebih tinggi, karena penegakan aturannya cukup tegas. Dengan
demikian membuat masyarakat takut untuk melakukan pelanggaran, serta timbul
juga kesadaran tentang pentingnya sasi untuk pelestarian sumberdaya bagi
generasi mendatang.
Tabel 20. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Negeri PortoNo. Variabel Aturan Pengelolaan1. Proses Pelaksanaan Sasi
Sejarah Sasi
Tujuan sasi
Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkancerita orang tua antar generasi. Adanya peraturan tentang kewang (Kewang
Reglement Van Negorij Porto) yang telah adasejak tahun 1870, pada zaman penjajahan Belanda
Melindungi sumberdaya baik darat maupun lautagar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan olehorang luar desa.
No. Variabel Aturan Pengelolaan
Jenis Sasi
Komoditas Sasi
Waktu pelaksanaan sasi
Proses Sasi
Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.
Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri danlembaga adat yang bertanggung jawab secaralangsung terhadap pelaksanaan sasi.
Teripang, lola, batu laga, bakau, karang, kawananikan, ikan hias, batu kerikil, dan pasir.
Buka sasi, dalam setahun hanya dilaksanakanpada bulan Oktober, yaitu selama 2 minggu,sedangkan 11 bulan merupakan waktu tutup sasi. Buka sasi akan dilaksanakan selain bulan
Oktober, apabila ada kebutuhan dalam masyarakatyang mendesak baik untuk urusan desa maupunkeagamaan.
Waktu buka sasi didahului dengan adanya laporandari masyarakat tentang keberadaan sumberdayayang sedang disasi, kemudian dilakukan rapatbersama oleh kewang dan diketahui oleh Raja.Kemudian diputuskan waktu buka sasi. Setelahditentukan waktu buka sasi, dan didahului denganpengumuman sekaligus doa di gereja olehPendeta.Setelah itu diberikan kebebasan kepadamasyarakat untuk mengambil sumberdaya yangdisasi sesuai dengan aturan yang berlaku. Setelahwaktu buka sasi selesai, maka dilakukan
Tanda Sasi
Sistem pelaksanaanSasi
penutupan sasi, yang ditandai dengan pemberiantanda pada area-area yang disasi. Panen padahari pertama dan kedua dilakukan oleh kewandan hasilnya diserahkan untuk kas kewan dannegeri serta diberikan bagi raja dan pendeta.
Tanda sasi berupa 3 buah kelapa kecil dan 4 buahkelapa besar yang diikat dengan daun kelapa darikiri ke kanan pada tiang atau disebut satu belo danditanam pada area-area sasi sesuai dengankebiasaan adat.Pada zaman dahulu, sistem sasimenggunakan sistem panen bersama baikpemerintah negeri, lembaga adat, tokoh agamadan masyarakat. Hasil yang dipanen sesuaikemampuan setiap orang dan diberikan kebebasanbaik dalam jumlah maupun cara pengambilan. Saat ini adanya kebijakan pemerintah negeri (raja)
yang tidak disetujui oleh masyarakat yaitu sistemlelang. Dalam sistem ini pengontrak mempunyaihak yang lebih besar daripada masyarakat,khususnya dalam proses pengambilan hasil(panen) Pada saat panen (buka sasi), masyarakat dapat
bebas mengambil teripang sesuai dengan
No. Variabel Aturan Pengelolaankemampuan serta dapat menggunakan semua alat.Kemampuan masyarakat yang menggunakanpenyelaman dengan alat sederhana (snorkel) hanyamampu sampai kedalaman lima (5) meter,sedangkan masyarakat luar (orangdagang/penyewa) yang menggunakan kompresor(tabung selam) dapat mencapai 40 meter
2. Kelembagaan Sasi Kewang sebagai penanggung jawab pelaksanaansasi Kepala Kewang diangkat melalui rapat bersama
di hadapan masyarakat, sesuai dengan pilihanrakyat dari masing-masing soa. Syarat-syarat menjadi kepala kewang : baik,
jujur, tenang, teratur, tahu baca dan tulis, rajin. Dalam menjalankan tugasnya kewang harus
lemah lembut, jujur dan dapat memberikanpetunjuk kepada anak buah (anggota) denganbaik. Kewan melakukan pengawasan (amese
hutan) satu kali seminggu, yaitu pada setiaphari rabu. Jumlah anggota kewan sebanyak48 orang dan pengawasan dilakukan untuksasi darat dan laut. Dalam kenyataannyatugas pengawasan semakin melemah dimanatidak lagi dilakukan pengawasan setiapminggu. Dalam peraturan ini terlihat fungsi kewan
dijelaskan sebagai berikut:1. Menjaga petuanan negeri agar tidak dimasuki
orang lain secara tidak sah. Tugas inidilaksanakan melalui Posita Hutan.
2. Menjaga hutan agar tetap lestari dan3. memberikan hasil yang maksimal. Tugas ini
dilaksanakan melalui tindakan Sasi untukjangka waktu tertentu, baik untuk daratanmaupun lautan.
4. Mengatur penggunaan hutan agar tidak sampaimenjadi sengketa antar anak negeri. Kewandapat diikut sertakan dalam penyelasaian padapengadilan negeri pada forum MahkemetNegeri.
5. Mengusahakan pemasukan keuangan bagi kasnegeri melalui denda-denda pelanggaran,pembayaran tanda masuk, serta ijinpengambilan hasil-hasil tertentu dalam hutanatau laut.
6. Selain fungsi diatas terdapat juga tugas-tugaslainnya, seperti:Menjaga anak-anak untukharus masuk sekolah minggu dan tidak bolehada dihutan pada hari minggu.
7. Mengawasi masyarakat untuk beribadah yang
No. Variabel Aturan Pengelolaandilaksanakan selain hari minggu yang dinamaikebaktian utusan injil, dan tidak boleh beradadihutan saat ada kebaktian Utusan Injil dinegeri (desa).
8. Menertibkan masyarakat dari “Sumpah-sumpah, maki – maki, dan ucapan kata – katakotor.
9. Mengawasi kegiatan kebersihan halaman,perapihan pagar dan lain-lain
3. Aturan Sasi (Larangan) Dilarang menangkap ikan hias di laut dan daerahintertidal. Dilarang menangkap ikan dengan bom, obat
bore dan yang dapat merusakan biota. Setiap anak negeri (penduduk setempat) dapat
mengambil hasil sasi untuk kebutuhan hidupnya,jika telah mendapat ijin dari raja dan kewang. Dilarang mengambil lola dan teripang, pada
ukuran yang dianggap masih muda. Dilarang mengambil pasir, karang dan bakau
tanpa seijin kewang dan Raja.4. Sanksi dan Hukuman Jika dilakukan oleh kewan dan anggotanya
maka akan diberikan denda maupunhukuman tiga (3) kali lipat. Bagimasyarakat, jika kedapatan melakukanpelanggaran, namun dianggap hanya untukmemenuhi keperluan keluarga, maka kewanakan memberikan nota sebagai ijin tertulisyang menyatakan bahwa yang bersangkutanbisa mengambil seperlunya. Jika melakukan pelanggaran dan ditemukan
secara langsung oleh kewan, maka alat yangdigunakan akan disita, kemudian kewanmelakukan Jamulou (rapat kewan) danpelanggar disuruh menghadap dandiputuskan besarnya denda atau hukumanyang harus dijalani. Namun jika pelanggarjujur dan mengakui kesalahannya, makadenda atau hukumannya bisa diturunkanatau malah bisa diampuni.
Denda bisa berupa hukuman dengan dirotani.Contohnya : Rp.100.000 = 5x dirotani.Besarnya denda setiap sumberdaya berbeda,contohnya untuk teripang, Rp.25.000/bh,Mangrove, Rp. 75.000/phn, sedangkan untukbore (meracuni ikan) Rp.250.000.
Tabel 21. Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Laut Berbasis Sasi di Desa Warialau
No. Variabel Aturan Pengelolaan1. Proses Pelaksanaan Sasi
Sejarah Sasi
Tujuan sasi
Jenis Sasi
Komoditas Sasi
Waktu pelaksanaan sasi
Sasi telah ada sejak jaman dahulu, berdasarkancerita orang tua antar generasi. Tidak memiliki aturan tertulis
Melindungi sumberdaya baik darat maupun lautagar tetap lestari dan mencegah pemanfaatan olehorang luar desa. Meningkatkan pendapatan desa/ negeri.
Sasi negeri, artinya bahwa pemerintah negeri danlembaga adat yang bertanggung jawab secaralangsung terhadap pelaksanaan sasi.
Teripang (utama), lola dan batu laga
Waktu buka sasi tidak pasti (3-5 tahun).Penentuan waktu buka sasi berdasarkanbanyaknya teripang (jumlah) dan ukuran yangbesar.
Buka sasi juga dapat dilaksanakan apabila adakebutuhan mendesak dalam masyarakat sepertipembangunan gereja atau kebutuhan dalam desa.
Proses Sasi Persiapan sasi diawali dengan pertemuan denganseluruh masyarakat untuk meminta persetujuanpelaksanaan sasi.
Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam(koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satudiletakan dalam piring. Kemudian pada malamhari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupaanyaman daun kelapa, selanjutnya semuamasyarakat berkumpul di tenda yang dibuatsecara gotong-royong dan dilakukan tambah roro(nyanyian adat).
Selanjutnya piring yang telah ditaruh bahan-bahantersebut, dipegang oleh keluarga Imloan dandibawa ke tenda, sedangkan tiangnya diletakandiatas tempat penjemuran (para-para) yangberbentuk segitiga yang sudah dikelilingi olehdaun kelapa. Posisi tempat penjemuran yaitudekat tenda yang dibuat untuk pelaksanaannyanyian adat (tamba roro).
Bahan-Bahan untukPelaksanaan sasi
Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam(koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satu
No. Variabel Aturan Pengelolaan
Sistem pelaksanaanSasi
Persiapan bahan seperti siri pinang, uang logam(koin), tembakau jawa, telur, cincin mas satudiletakan dalam piring. Kemudian pada malamhari dibuat tiang sasi dan lambangnya berupaanyaman daun kelapa.
Sistem sasi menggunakan sistem panen bersamabaik pemerintah negeri, lembaga adat, tokohagama dan masyarakat, namun disesuaikan denganaturan-aturan yang berlaku.
2. Kelembagaan Sasi Tokoh-tokoh adat merupakan penanggung jawabpelaksanaan sasi.Tokoh-tokoh adat ini berasaldari marga tertentu, yang dianggap sebagaipenduduk asli Desa Warialau. Tokoh-tokoh adapt ini terus berlanjut secara
garis keturunan, dimana marga-marga ini jugacukup disegani dalam masyarakat.
3. Aturan Sasi (Larangan)dan Sanksi
Waktu panen dilarang balik batu karenamerusakan bibit yang ada dibawah batu.
Dilarang menyelam malam, karena menurutmasyarakat, kehidupan dilaut itu berbeda denganmanusia sehingga dianggap bahwa malammerupakan siang bagi organisme laut.
5.3.3. Kinerja Sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau
Untuk menganalisa kinerja sasi di Negeri Porto dan Desa Warialau,
digunakan empat indikator yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, keberlanjutan
sumberdaya dan pemerataan.
a. Indikator Efisiensi
Efisiensi disebut juga produktifitas, sehingga semakin tinggi produktifitas
semakin baik suatu rezim. Untuk itu dalam proses penilaian efisiensi sasi teripang
di Negeri Porto dilihat dari 4 indikator kinerja efisiensi yaitu : pengambilan
keputusan secara bersama, kemudahan dalam menjangkau sumberdaya,
pengawasan terhadap sasi sekarang ini, kepatuhan terhadap peraturan.
Untuk indikator pertama yaitu keterlibatan pemerintah desa, kelembagaan adat
dan masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang sasi, terlihat bahwa untuk
Negeri Porto, termasuk dalam kategori sedang, karena masyarakat tidak dilibatkan
dalam proses pengambilan keputusan, hal ini terlihat dengan adanya kekecewaan
masyarakat ketika diterapkan sistem lelang/kontrak daerah pasang surut untuk
pemodal yang berasal dari luar desa/negeri Porto, sehingga masyarakat tidak
memiliki kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan baik.
Sebaliknya untuk Desa Warialau, termasuk dalam kategori tinggi, karena segala
keputusan tentang sasi, masyarakat dilibatkan sejak awal yaitu dalam pertemuan
antara pemerintah desa, lembaga adat dan masyarakat. Berbedanya indikator
pertama ini didasarkan juga karena dengan adanya perubahan sistem
pemerintahan, sehingga adanya pengurangan kewenangan lembaga adat pada saat
sistem sentralisasi dan Negeri Porto merupakan desa /negeri yang mengalami
sedikit perubahan tersebut, berbeda dengan Desa Warialau yang tetap
mempertahankan pranata adatnya yaitu sasi dengan baik, meskipun terjadi
perubahan sistem pemerintahan desa. Beberapa penyebab utama masyrakat Desa
Warialau masih mempertahankan sistem adatnya karena adanya anggapan bahwa
sasi merupakan amanat nenek moyang yang harus terus dijaga, dan sistem
pemerintah desa yang masih mengadopsi sistem pada saat rezim adat, dimana
marga-marga tertentu yang masih tetap dihormati dalam masyarakat yang
memegang pemerintahan di desa. Selain itu juga mobilitas dan pembangunan desa
masih rendah, sehingga pengaruh terhadap sistem adat ini masih rendah.
Untuk indikator efisiensi kedua yaitu kemudahan dalam menjangkau
sumberdaya, Negeri Porto termasuk dalam kategori rendah karena untuk
menjangkau sumberdaya dibutuhkan waktu lebih dari 20 menit dan sarana yang
dipakai yaitu motor tempel dan perahu sampan, sedangkan Desa Warialau
termasuk kategori sedang karena hanya ditempuh waktu kurang dari 20 menit,
sumberdaya teripang terdekat sudah dapat terjangkau (khususnya lokasi
penelitian). Sasi teripang di Desa Warialau merupakan sasi satu pulau, namun
untuk lokasi penelitian hanya berada di depan pemukiman penduduk, sehingga
tidak membutuhkan waktu yang relatif lama.
Indikator efisiensi ketiga yaitu pengawasan terhadap sasi sekarang ini di
Negeri Porto rendah, karena lebih dari satu minggu baru dilakukan pengawasan,
meskipun berdasarkan aturan kewan, bahwa satu minggu sekali, dilakukan
pengawasan , namun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal ini disebabkan
karena beberapa faktor yaitu, luasnya area pengawasan sedangkan sarana yang
dimiliki sangat minim serta kurang didukung oleh partisipasi masyarakat, selain
itu dengan meningkatnya kebutuhan ekonomi dalam keluarga maka tanggung
jawab untuk menambah penghasilan keluarga sehingga menyebabkan kepala
keluarga yang kadang berprofesi sebagai kewan dan keanggotaannya harus lebih
mengutamakan kepentingan keluarga daripada melakukan pengawasan dan
lainnya. Hal ini cukup berbeda dengan Desa Warialau karena pengawasan secara
tidak langsung juga dilakukan oleh masyarakat setempat, sehingga masih tetap
ada kontrol masyarakat, hal ini cukup membantu lembaga adat dalam
melaksanakan tugas pengawasan. Umumnya lembaga adat di Desa Warialau
masih tetap merasa tugas ini sebagai amanat dari nenek moyang, serta untuk
kelestarian sumberdaya sehingga ketaatan pelaksanaan pengawasan masih tinggi
yang dilakukan satu-tiga hari bersamaan dengan aktifitas yang dilakukan sebagai
nelayan. Yang menjadi kendala pengawasan yaitu luas area pengawasan, sehingga
tidak dapat mengontrol nelayan ilegal dari Sulawesi yang melakukan pencurian
dengan menggunakan peralatan yang modern.
Untuk indikator efisiensi keempat yaitu kepatuhan terhadap peraturan,
bagi Negeri Porto rendah, karena seluruh nelayan dan masyarakat dapat mencapai
daerah sasi atau dapat dikatakan bahwa aktifitas masyarakat tidak dibatasi
meskipun masih ada sasi. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem
pemerintahan dari adat menjadi sentralisasi, sehingga peran kewan dan lembaga
adat hilang sehingga menyebabkan sanksi yang mengikat tidak berlaku dan
kemudian diaktifkan kembali setelah adanya rezim otonomi daerah. Selain itu
adanya kekecewaan masyarakat terhadap sistem kontrak atau lelang yang
merupakan kebijakan pemerintah negeri dan terjadinya pembauran dan perubahan
sosial ekonomi karena masuknya pendatang dengan berbagai profesi serta
keluarnya anak-anak muda ke kota untuk melanjutkan pendidikan yang didukung
oleh kondisi dimana rendahnya sosialisasi/informasi tentang sasi kepada generasi
muda. Sebaliknya di Desa Warialau kepatuhan terhadap peraturan tinggi karena
pengawasan sangat ketat baik oleh lembaga adat, pemerintah negeri dan
masyarakat, sehingga tidak ada orang yang dapat mengakses daerah sasi.
Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien
salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional
di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi.
Semakin tinggi derajat kepatuhan masyarakat, berarti rezim itu semakin efisien
salah satu unsur pokok dalam ketaatan atau kepatuhan terhadap aturan tradisional
di dasari oleh kepercayaan dan ini penting dalam kelangsungan suatu tradisi.
Dengan berkurangnya kepercayaan akan mempengaruhi ketaatan terhadap aturan
yang berlaku. Secara keseluruhan rata-rata indikator efisiensi untuk Negeri Porto
termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.
b. Indikator Keberlanjutan Sosial
Indikator keberlanjutan sosial terdiri dari lima indikator, yaitu pendapatan
setelah adanya sasi, kesejahteraan keluarga, keharmonisan masyarakat, tradisi aksi
bersama, dan pembahasan tentang masalah-masalah desa. Untuk indikator
keberlanjutan yang pertama yaitu pendapatan setelah adanya sasi, keduanya
berada pada nilai sedang yaitu antara Rp.200.000-Rp.500.000/bulan. Untuk
penduduk desa Warialau meskipun pendapatannya pada tahun 2006, saat buka
sasi bisa mencapai Rp.750.000/bulan, namun bukan merupakan pendapatan tetap,
karena waktu buka sasi 3-5 tahun. Selain itu pendapatan penduduk negeri Porto
dan desa Warialai tidak seluruhnya berasal dari laut, artinya bahwa meskipun
termasuk masyarakat pesisir, namun belum semuanya melihat laut sebagai potensi
yang dapat dikelola untuk menambah pendapatan keluarga. Hal ini tergambarkan
dari jumlah nelayan di Porto sebesar 2,86% serta 15,42% untuk Desa Warialau.
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Novaczek et al (2001) bahwa keberlanjutan
ekonomi khususnya tingkat pendapatan masyarakat didesa-desa sasi tidaklah
lebih baik dari desa yang tidak disasi.
Indikator keberlanjutan yang kedua yaitu kesejahteraan keluarga berkaitan
dengan adanya sasi yaitu dilihat dari rumah yang dimiliki, sehingga dapat
dijelaskan bahwa Negeri Porto memiliki tingkat kesejahteraan tinggi karena
sebagian besar penduduk telah memiliki rumah permanen, hal ini juga didukung
dengan mata pencaharian yang bervariasi dengan pendapatan yang juga
bervariasi, sebaliknya di Desa Warialau masuk dalam nilai sedang karena
sebagian besar penduduk memiliki rumah semi permanen.
Tingkat keharmonisan masyarakat, merupakan indikator keberlanjutan
yang ketiga dimana untuk Negeri Porto termasuk dalam penilaian sedang, artinya
bahwa kadang-kadang terjadi perselisihan, sedangkan Desa Warialau penilaian
tinggi karena sangat sulit didapati perselisihan dalam masyarakat. Di Negeri
Porto, kadang terjadi perselisihan antar nelayan karena akibat persaingan
mendapatkan lokasi melaut karena dirasa semakin sempit dan adanya perbedaan
peralatan melaut yang dimiliki. Selain itu juga didukung dengan kebiasaan
masyarakat yang suka mengkonsumsi minuman keras sebelum melaut serta
lemahnya penegakan aturan oleh aparat desa akibat terjadi perubahan sistem
pemerintahan. Sebaliknya di Desa Warialau, sulit terjadinya perselisihan karena
masih luasnya daerah penangkapan yang didukung dengan melimpahnya hasil laut
dan belum adanya perbedaan peralatan melaut yang menyolok, serta penegakan
aturan yang tegas karena lembaga adat tetap melaksanakan fungsinya meskipun
terjadi perubahan sistem pemerintahan desa.
Selanjutnya yaitu tradisi aksi bersama, dimana pada Negeri Porto memiliki
nilai sedang, sedangkan Desa Warialau nilai tinggi. Perbedaannya terletak pada
keterlibatan masyarakat dimana pada Negeri Porto masyarakat tidak dilibatkan
sedangkan di Desa Warialau baik masyarakat, lembaga adat maupun pemerintah
merupakan satu kesatuan yang selalu dilibatkan bersama dalam semua
pengambilan keputusan seperti suatu tradisi atau adat istiadat. Tradisi aksi
bersama bisa terlihat dalam kegiatan perikanan seperti bameti (pemungutan
kerang), membuat perahu, menjahit jaring, menaikan dan menurunkan perahu
setelah melaut. Tradisi aksi bersama ini masih terlihat di Desa Warialau
sedangkan di Negeri Porto, setiap kegiatan sudah bersifat individu. Hal yang sama
juga terlihat untuk tradisi masohi (bekerja gotong royong) dalam membangun
baileo, tempat peribadatan, dan rumah. Kebersamaan pemerintah, tokoh adat,
tokoh agama dan masyarakat juga terlihat selama penelitian, dimana pada awal
diperkenalkan, diberi penjelasan tentang tujuan kedatangan, serta meminta
keputusan untuk mendapatkan ijin pelaksanaan penelitian dan akhir saat akan
meninggalkan lokasi, sebaliknya untuk Negeri Porto sulit untuk mengumpulkan
ketiga komponen ini secara bersama-sama, sehingga lebih sering dilakukan
pendekatan secara individu.
Nilai yang sama yaitu sedang untuk Negeri Porto dan tinggi untuk Desa
Warialau juga terlihat dari indikator keberlanjutan sosial yang kelima yaitu
pembahasan bersama masalah-masalah desa. Dalam melakukan pembahasan
masalah desa di Negeri Porto yaitu sekali sebulan dan yang terlibat lebih dominan
yaitu pemerintah dan lembaga adat, sedangkan untuk Desa Warialau pertemuan
diadakan sedikitnya sekali seminggu dan semua komponen masyarakat dilibatkan.
Secara keseluruhan rata-rata indikator keberlanjutan sosial untuk Negeri Porto
termasuk kategori sedang, sedangkan Desa Warialau termasuk kategori tinggi.
c. Indikator Keberlanjutan Biologi
Indikator keberlanjutan biologi pertama yaitu ukuran teripang, untuk
Negeri Porto ukuran teripang cenderung menurun, dimana sebelum tahun 2005,
ukuran yang didapatkan biasanya ukuran dengan nilai jual termasuk dalam
kategori besar, namun setelah tahun 2005, yang ukurannya menjadi ukuran
dengan kategori nilai jual sedang. Untuk Desa Warialau, ukuran relatif stabil.
Perbedaan ukuran teripang di kedua lokasi cukup berbeda, hal ini disebabkan
karena upaya tangkap di negeri Porto sangat tinggi dan semua ukuran teripang
bisa diambil dengan bebas. Sebaliknua di desa Warialau upaya tangkap sangat
rendah, karena dibatasi oleh waktu buka sasi, serta hanya ukuran tertentu saja
yang dapat diambil.
Indikator keberlanjutan biologi yang kedua yaitu hasil tangkapan
sumberdaya. Hasi tangkapan teripang di negeri Porto mengalami penurunan
sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit mendapatkan jenis-jenis yang termasuk
kategori tinggi atau relatif mahal. Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit
penurunan teripang karena penangkapan ilegal oleh nelayan luar daerah yang
menggunakan peralatan modern.
d. Indikator Pemerataan
Indikator pemerataan terdiri dari 3 indikator yaitu kesempatan
memanfaatkan sumberdaya, pemerataan hasil, dan kesempatan bagi nelayan lokal.
Dari indikator pemerataan yang pertama, terlihat bahwa Negeri Porto dan Desa
Warialau memiliki nilai yang tinggi, hal ini disebabkan karena seluruh masyarakat
dapat memanfatkan sumberdaya. Selanjutnya untuk indikator yang kedua yaitu
pemerataan hasil, Negeri Porto memiliki nilai sedang karena hasil sasi hanya
dibagi untuk pemerintah negeri dan lembaga adat, sedangkan Desa Warialau
dibagi untuk pemerintah negeri, lembaga adat dan gereja. Sedangkan indikator
pemerataan yang terakhir yaitu kesempatan bagi nelayan lokal kedua lokasi
mempunyai nilai yang sama yaitu tinggi, karena nelayan lokal bebas mengakses
area sasi, namun disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku, seperti untuk area
penangkapan ikan yaitu di laut dalam, hanya untuk memancing yang dapat
dilakukan di area pasang surut. Dari keseluruhan indikator pemerataan terlihat
bahwa kedua lokasi ini mempunyai nilai rata-rata dengan kategori tinggi.
Dari keempat indikator kinerja pelaksanaan sasi teripang di Negeri Porto
dan Desa Warialau menunjukan nilai yang berbeda, yaitu nilai sedang untuk
Negeri Porto dan tinggi untuk Desa Warialau ( Tabel 22). Dari Tabel 22 ini
terlihat bahwa nilai terendah untuk Negeri Porto yaitu kemudahan dalam
menjangkau sumberdaya dan pengawasan terhadap sasi sekarang ini. Kedua hal
ini mempunyai hubungan dimana salah satu penyebab lemahnya pengawasan juga
karena wilayah yang luas, sehingga sulit dipantau.
Tabel 22. Indikator Kinerja Pelaksanaan Sasi Teripang di Negeri Porto danDesa Warialau
Indikator-Indikator Negeri Porto Desa WarialauI. Indikator Efisiensi1. Pengambilan Keputusan secara bersama2. Kemudahan dalam menjangkau sumberdaya3. Pengawasan terhadap sasi sekarang ini4. Kepatuhan terhadap peraturanII. Indikator Keberlanjutan Sosial1. Pendapatan setelah adanya sasi2. Kesejahteraan keluarga berkaitan dengan sasi3. Keharmonisan masyarakat setelah adanya sasi4. Tradisi aksi bersama5. Pembahasan tentang masalah-masalah desaIII.Indikator Keberlanjutan Sumberdaya1. Ukuran teripang2. Hasil tangkapan teripangIV. Indikator Pemerataan1. Kesempatan memanfaatkan sumberdaya2. Pemerataan Hasil3. Kesempatan Bagi Nelayan Lokal
2112
23222
Ukuran mengecil
Menurun
323
3233
22333
Relatif stabilSedikit menurun
333
Jumlah 25 33Rata-Rata 2 3
Sumber : Data Lapangan, 2008Keterangani : 1= rendah, 2= sedang, 3= tinggi
5.4. Tujuan Pengelolaan dan Pengkajian Resiko
Tujuan pengelolaan yang ditetapkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala
Desa) di Negeri Porto dan Desa Warialau yaitu untuk menjamin kelestarian
sumberdaya laut dan teripang termasuk di dalamnya. Untuk tujuan tersebut maka
pengelolaan yang dilakukan yaitu berupa “sasi” dengan penerapan aturan-aturan
yang telah ditentukan sejak jaman dahulu kala dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Dengan adanya tujuan pengelolaan ini, maka terlihat adanya
pembatasan upaya tangkap, karena waktu tangkap yang diijinkan hanya sekali
setahun untuk Negeri Porto dan sekali untuk tiga sampai lima tahun di Desa
Warialau, sehingga diharapkan ketersediaan sumberdaya teripang akan terus
menerus. Jika diamati tujuan pengelolaan ini, maka keterlibatan tenaga kerja
(nelayan) tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan aktifitas perikanan
lainnya yang mempunyai tujuan untuk mendorong kesempatan dan peluang kerja.
Rendahnya jumlah tenaga kerja (nelayan) diakibatkan karena tujuan pengelolaan
yang lebih mementingkan aspek kelestarian sumberdaya teripang dan
diimplementasikan dengan aturan-aturan sasi, sehingga upaya tangkap juga
dibatasi dengan adanya waktu tangkap yang dikenal sebagai waktu buka dan tutup
sasi.
Penerapan tujuan pengelolaan dari kedua lokasi ini agak berbeda, hal ini
diakibatkan karena aturan sasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri (Kepala
Desa) dan tokoh adat setempat. Perbedaan itu dapat terlihat pada beberapa hal
yaitu untuk negeri Porto, hanya mengatur waktu buka sasi setahun sekali,
sedangkan ukuran dan jumlah teripang yang diperbolehkan untuk diambil serta
peralatan yang digunakan tidak diatur secara spesifik, padahal kenyataannya
negeri Porto memiliki aturan tertulis. Sebaliknya untuk Desa Warialau, tidak ada
aturan tertulis, namun dalam pengelolaan teripang berbasis sasi sudah diatur
waktu pengambilan teripang 2 minggu (12 hari) setiap 3-5 tahun dan hanya
dilakukan pada malam hari dan tidak boleh melakukan penyelaman, jumlah
tangkapan yang diperbolehkan 1 bakul (± 1 kg kering) teripang per hari, ukuran
yang diambil hanya yang berukuran besar dan alat yang diijinkan yang masih
termasuk tradisional. Dengan penerapan pengelolaan yang berbeda, maka akan
terlihat pula dari hasil tangkapan teripang yang akan mengalami penurunan
ataupun cenderung stabil.
Hasil tangkapan teripang di Negeri Porto, Kota Ambon bahkan Provinsi
Maluku mengalami penurunan setiap tahun. Hal ini menunjukan bahwa laju
penangkapan telah melebihi laju pertumbuhan sumberdaya itu sendiri. Batas
pertumbuhan ini ditentukan oleh ukuran populasi saat ini dan lingkungan tempat
stok itu berada. Dalam mempertahankan suatu stok pada tingkat produktif
diperlukan suatu jumlah yang cukup dari pemijah yaitu hewan dewasa yang
matang reproduktif, dan lingkungan yang sangat cocok agar setiap tahap dalam
daur hidupnya dapat dilewati dengan baik. Akan tetapi, akibat dari variabilitas
lingkungan, pertumbuhan suatu stok dari tahun ke tahun biasanya sangat
bervariasi.
Jika upaya tangkap terus melebihi laju pertumbuhan, maka jika dilihat dari
pertimbangan bioekologi, maka akan terjadi kepunahan teripang di habitat
alaminya dan akan merubah sistem alami yang ada. Hal ini disebabkan karena
teripang merupakan komponen penting dalam rantai makanan di daerah terumbu
karang dengan asosiasi ekosistemnya pada berbagai tingkat trofik, berperan
penting sebagai pemakan deposit dan pemakan suspensi. Penurunan populasi
teripang secara cepat akan menimbulkan konsekuensi serius bagi kehidupan jenis-
jenis lain yang merupakan bagian lingkat pangan yang sama. Telur-telur, larva
dan juwana teripang merupakan sumber pangan yang penting bagi beberapa jenis
biota laut yaitu ikan dan moluska. Teripang mencerna sejumlah besar sedimen,
sehingga terjadi pengadukan lapisan atas sedimen di tempat teripang itu berada,
yang memungkinkan terjadinya oksigenisasi, mirip seperti cacing tanah di darat.
Proses ini mencegah terjadinya penumpukan busukan benda organik dan sangat
mungkin mengontrol hama dan organisma patogen termasuk bakteri tertentu.
Tangkap lebih bisa mengakibatkan terjadinya pengerasan dasar laut tempat
populasi teripang berada dan berakibat ketidakcocokan habitat bagi bentos lain
dan organisma meliang.
Pertimbangan dari segi sosial ekonomi, jika terjadi penurunan sumberdaya
teripang maka akan berdampak secara langsung dengan berakhirnya aktivitas
perikanan di wilayah tersebut, mulai dari aktivitas penangkapan sampai
pemasaran dan perdagangan dan bukan saja pada sumberdaya teripang, namun
juga berdampak terhadap ketersediaan sumberdaya lainnya, seperti ikan dan
moluska, telah terjadi perubahan sistem alami yang ada. Hal ini tentu saja akan
merugikan baik nelayan dan pedagang pengumpul karena salah satu sumber
pendapatannya akan hilang dan tentu saja berpengaruh secara langsung terhadap
kesejahteraan keluarga, selain itu tidak tersedia lagi salah satu sumber pendapatan
negeri (desa) bahkan sampai ke daerah dan akan sangat merugikan daerah secara
umum, apalagi di tengah sistem otonomisasi dimana setiap daerah harus semakin
meningkatkan pendapatan asli daerah untuk kesejahteraan penduduk setempat.
Dengan kondisi yang demikian maka akan berdampak juga terhadap masalah
sosial yang akan ditimbulkan seperti semakin meningkatnya pengangguran dan
lain sebagainya yang akan menambah beban pemerintah daerah. Dengan
demikian untuk mengantisipasi semakin banyak masalah yang akan ditimbulkan,
maka perlu dilakukan upaya pengelolaan sumberdaya teripang dengan sebaik-
baiknya, sehingga ketersediaannya terus menerus dan akan memberikan banyak
manfaat dari berbagai aspek baik bioekologi, sosial dan ekonomi.
5.5. Diskusi Umum
5.5.1. Faktor-Faktor Penyebab Menurunnya Sumberdaya Teripang
Penurunan sumberdaya teripang di Negeri Porto, baik dari segi ukuran
maupun hasil tangkapan, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
1. Belum adanya aturan sasi yang lebih spesifik berkaitan dengan banyaknya
tangkapan yang diperbolehkan, ukuran yang dapat diambil, peralatan yang
digunakan serta penetapan waktu tangkap (buka sasi) yang disesuikan dengan
keberadaan teripang dewasa yang telah mencapai waktu matang gonad
(reproduktif) untuk memijah. Hal tersebut menyebabkan terjadi tangkapan
lebih serta pengambilan teripang tanpa memperhatikan waktu matang gonad,
hal tersebut berpengaruh terhadap ketersediaan stok teripang karena tidak
memberikan peluang adanya rekruitmen individu baru ke dalam populasi dan
pertumbuhan dari individu yang ada.
2. Adanya sistem lelang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Negeri Porto, yang
kurang disetujui oleh masyarakat karena tidak ada keterlibatan masyarakat.
Sebelum ada sistem lelang, pada waktu lampau masyarakat dibiarkan
mengambil hasil laut dengan batasan waktu tertentu (± 2 minggu) kemudian
ditutup lagi. Selain itu setiap keputusan penentuan buka sasi, masyarakat
dilibatkan dengan prosedur bahwa informasi yang didapat oleh kewan tentang
kondisi sumberdaya yang sudah dapat dipanen berasal dari masyarakat
khususnya nelayan dan kemudian pemerintah negeri dan kewan menentukan
waktu buka sasi dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan
negeri. Namun dengan adanya sistem lelang, maka pemenang lelang akan
memberikan sejumlah uang sesuai kesepakatan kepada pemerintah Negeri
serta dapat mengambil semua sumberdaya yang ada sesuai dengan luasan area
yang diberikan. Dampak yang ditimbulkan dari sistem ini yaitu bahwa:
1).tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta
rendahnya peluang masyarakat untuk menikmati sumberdaya yang ada;
2) adanya kecenderungan penggunaan alat modern oleh pemenang lelang,
sehingga sumberdaya tersebut dapat diambil tanpa memberikan kesempatan
bagi masyarakat dan untuk kelestarian lingkungan.3) kondisi area yang agak
jauh dari wilayah perkampungan, sehingga menyulitkan pemerintah dan
lembaga adat untuk memantau aktifitas dari pemenang lelang tersebut.
Dengan demikian sistem lelang ini juga menimbulkan dampak negatif
terhadap masyarakat setempat, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan
lingkungan. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Bandjar (1998) yang
menyatakan bahwa dengan perubahan aturan sasi yakni pemanfaatan oleh
masyarakat kepada pemanfaatan oleh pengontrak mengakibatkan terputusnya
akses masyarakat terhadap sumberdaya yang disasikan. Dinamika sasi
menunjukan bahwa lembaga-lembaga setempat dengan mudah dipengaruhi
oleh pemilik modal perseorangan/kelompok sehingga merubah peraturan-
peraturan sasi yang mengakibatkan tersingkirnya hak dan manfaat dari
penduduk setempat. Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat setempat,
baik dilihat dari aspek sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan.
3. Lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi atau hukuman dari lembaga adat
khususnya kewan yang menyebabkan terjadinya penangkapan teripang
sebelum waktu “buka sasi” baik oleh masyarakat setempat maupun oleh
penduduk luar desa/negeri setempat. Hal ini disebabkan karena adanya
perubahan sistem pemerintahan desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Pical
(2007), bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh
terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
pedesaan Maluku. Oleh karena itu maka sistem pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik
dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Selain itu terlihat bahwa kurangnya perhatian Pemerintah Negeri dalam
memberikan penghargaan terhadap masyarakat pendukung pelaksanaan sasi.
4. Kurangnya informasi ilmiah tentang kondisi sumberdaya teripang, serta
pengelolaannya. Hal tersebut menyebabkan timbulnya persepsi yang salah
tentang kondisi teripang yang masih dianggap melimpah, meskipun pada
kenyataannya terjadi penurunan sumberdaya.
Untuk desa Warialau, sumberdaya teripang dari segi jumlah dan
ukurannya relatif stabil, namun permasalahan utama yang dihadapi yaitu,
terjadinya pencurian teripang oleh nelayan dari Madura dan Bugis yang
menggunakan peralatan modern. Hal ini dapat terjadi karena letak pulau yang
rentan terhadap pencurian, serta hanya didiami oleh penduduk dengan jumlah
yang kecil serta tidak menyebar pada seluruh pulau, selain itu juga peralatan
transportasi yang dimiliki sangat minim, sehingga sulit dalam proses pengawasan.
5.5.2. Alternatif Strategi Pengelolaan Sumberdaya Teripang
Sumberdaya teripang mempunyai fungsi baik secara ekologis maupun
ekonomi, sehingga dalam menjamin kelangsungan produktivitasnnya dan
kesinambungan kegiatan perikanan maka diperlukan strategi pengelolaan yang
tepat. Dengan demikian dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan hasil
kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi dan
kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko. Strategi pengelolaan
diterapkan dalam bentuk aturan-aturan, diantaranya sasi baik di Negeri Porto
maupun Desa Warialau.
Strategi pengeloaan teripang di Negeri Porto yaitu:
a. Waktu “tutup” sasi diperpanjang menjadi setahun sekali, namun tetap
memperhatikan ukuran panjang sebagai penentuan tingkat kematangan gonad
pertama untuk memijah, sehingga dapat meningkatkan ketersediaan stok
karena adanya rekruitmen individu baru, maupun karena pertumbuhan.
Penentuan ukuran panjang teripang, dapat dilihat dari hasil kajian beberapa
teripang, yaitu Holothuria fuscogilva dan Bohadschia marmorata 320 mm,
Holothuria sacbra 160 mm, Actinopyga echinities 120 mm dan Thelenota
ananas 300 mm.
b. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan selama “buka sasi” 25-50% dari
potensi yaitu 3060-6120 individu(10-20 kg kering) Hal ini dimaksudkan agar
dapat mengurangi mortalitas penangkapan pada tahap kehidupan yang
dianggap memerlukan perlindungan khusus. Dari hasil tangkapan terjadi
penurunan setiap tahun, sehingga dapat berdampak/ menimbulkan resiko
terjadinya kepunahan, berakhirnya aktivitas perikanan dan berdampak
terhadap penurunan pendapatan nelayan, pedagang, bahkan daerah serta
munculnya berbagai masalah sosial lainnya. Dengan demikian jumlah
tangkapan yang diperbolehkan perlu dibatasi, sehingga tujuan pengelolaan
yang ditetapkan oleh pemerintah negeri dapat terwujud yaitu untuk
ketersediaan sumberdaya teripang secara terus menerus.
c. Pembatasan waktu tangkap pada saat musim memijah yang diperkirakan pada
bulan Juni dan Juli.
d. Perlindungan habitat teripang dari kegiatan manusia yang bersifat merusak,
seperti penggunaan bom ikan dan lain sebagainya.
e. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan dikembangkan upaya
budidaya teripang serta perlindungan area tertentu untuk pemeliharaan
individu teripang sebagai penyuplai benih. Selain itu dilakukan penelitian cara
pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan, sehingga harga
jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan pendapatan nelayan,
pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah.
Untuk Desa Warialau, strategi pengelolaan yang diterapkan dalam aturan
seperti sasi cukup baik, namun ada beberapa tambahan yaitu:
a. Pengayaan stok teripang di habitat alaminya dan perlindungan area tertentu
untuk pemeliharaan individu teripang sebagai penyuplai benih.
b. Penelitian cara pengolahan teripang sebagai bahan baku untuk obat-obatan,
sehingga harga jual semakin tinggi dan berdampak terhadap peningkatan
pendapatan nelayan, pedagang dan pemasukan pendapatan asli daerah.
c. Kerjasama dengan instansi terkait seperti TNI-AL dan Polisi Air, dalam upaya
mengatasi terjadinya penangkapan sumberdaya laut termasuk teripang secara
ilegal.
d. Perlu adanya pertimbangan PEMDA untuk penetapan desa Warialau sebagai
salah satu kawasan konservasi teripang di Maluku.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas maka beberapa hal yang dapat
disimpulkan antara lain:
1. Sumberdaya teripang di negeri Porto terdiri dari 8 jenis, dengan potensi
sebesar 12.240 individu, sedangkan di desa Warialau terdiri dari 10 jenis
dengan potensi 172.368. Sebaran habitat di negeri Porto dan desa Warialau
bervariasi mulai dari rataan pasir, zona lamun, zona algae, tubir dan lereng
terumbu, namun jumlah jenis terbanyak 87,5% Negeri Porto dan 90 % di
Desa Warialau ditemukan pada zona tubir. Dari nilai sebaran frekuensi
panjang beberapa jenis teripang di negeri Porto yang termasuk memiliki
kepadatan tertinggi, nilai jual kategori mahal, sedang dan murah
menunjukan bahwa Bohadschia marmorata, Holothuria fuscogilva,
Actinopyga miliaris dan Holothuria atra telah ditangkap sebelum waktu
matang gonad untuk memijah. Hal ini cukup berbeda dengan beberapa jenis
teripang di Desa Warialau yaitu Holothuria scabra, Actinopyga echinities,
Actinopyga miliaris dan Thelenota ananas, yang tetap tersedia untuk
melakukan pemijahan karena tidak ada upaya tangkap dan masih dalam
status “tutup sasi.”
2. Analisis faktor-faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, DO, kecerahan,
arus dan sebaran sedimen menunjukan bahwa di negeri Porto dan Desa
Warialau memenuhi syarat untuk dilakukan pengayaan stok di habitat alami
dan pengembangan upaya budidaya.
3. Hasil analisa indikator kinerja sasi yaitu efisiensi, keberlanjutan sosial, dan
pemerataan, menunjukan bahwa Negeri Porto berada dalam kategori sedang
dan Desa Warialau berada dalam kategori tinggi. Untuk indikator
keberlanjutan sumberdaya yaitu ukuran teripang dan hasil tangkapan. Di
negeri Porto ukuran semakin mengecil (kategori nilai jual sedang) dan hasil
tangkapan mengalami penurunan sekitar 33.34-50% setiap tahun serta sulit
mendapatkan jenis-jenis yang termasuk kategori tinggi atau relatif mahal.
Untuk Desa Warialau ada terjadi sedikit penurunan teripang karena
penangkapan ilegal oleh nelayan dari luar daerah yang menggunakan
peralatan modern.
4. Untuk menjamin kelangsungan produktivitas dan kesinambungan kegiatan
perikanan teripang, maka dirumuskan strategi pengelolaan yang merupakan
hasil kajian dari berbagai pertimbangan yaitu bioekologi, sosial ekonomi
dan kelembagaan, tujuan pengelolaan dan kajian resiko dan dihasilkan
5 strategi untuk negeri Porto dan 4 strategi untuk Desa Warialau.
6.2. Saran
Dalam upaya peningkatan kelestarian sumberdaya teripang khususnya
yang bernilai ekonomis, beberapa hal yang disarankan yaitu:
1. Penelitian untuk pengembangan budidaya teripang dan pengayaan stok di
habitat alaminya, khususnya jenis Holothuria scabra di Negeri Porto dan
Desa Warialau
2. Mempelajari aspek biologi dari jenis-jenis yang bernilai ekonomis seperti
siklus hidup, waktu memijah, dan kecepatan tumbuh dan lain sebagainya.
3. Monitoring hasil tangkapan setiap tahun untuk evaluasi strategi pengelolaan
yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2005. Perencanaan Pengelolaan dan Pengembangan Sumber DayaNegeri Porto. Yayasan Nusa Bahari.Ambon
Badan Riset Kelautan dan Perikanan, 1995. Bahan Makanan dari Laut. LembagaPenelitian Laut. Jakarta. Hal 46-55.
Bailey, C dan C.Zerner, 1992. Local Management of Fisheries Resources inIndonesia: Opportunities and constraints, in Pollnac,R.B.,C. Bailey andA. Poernomo (eds) Constribution to Fishery Development Policy inIndonesia Central Institute for Fisheries, Min.of Agriculture, Jakarta,Indonesia.
Bakus, G.J, 1973. The biology and ecology of tropical holotrurians. In : Biologyand Geology of Coral Reef (. Jones, O.A & R. Endean, eds.), Vol. II(Biology 1). Academic Press, London:325-367.
Bandjar, H.1998. Suatu Studi Tentang Peran Sasi Laut dalam Pengelolaan danPemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut Terhadap Masyarakat Pesisir diMaluku. Thesis. Bogor. Program Pascasarjana Institut PertanianBogor.118 hal.
Birowo, S dan H. Uktolseja, 1976. Sifat-sifat Oseanografis Perairan PantaiIndonesia. Makalah Simposium Pendekatan Ekologis untuk PengelolaanDaerah Pesisir. Pertemua II Bogor, tanggal 29-31 Maret 1976: 24 pp
Birtles,R.A.1989. Class Holothuroidea. Dalam Arnold, P.W & R.A.Birtles (eds.)1989. Soft-sediment marine invertebrates of Southeast Asia and Australia.A guide to identification. Australian Institute of Marine Scinece,Townsville:221-235.
Budiman, A dan Darnaedi, D., 1982. Struktur Komunitas Moluska di HutanMangrove Morowali, Sulawesi Tengah. Seminar II Ekosistem Mangrove.3 - 5 Agustus 1982. Batu Raden. Hal 175 – 182.
Canon, L.R.G dan H. Silver. 1987. Sea Cucumber of Northern Australia.Queensland Museum, South Brisbane:60 halaman.
Clark, A.M. dan F.W.E. Rowe.1971. Monograph of shallow water Indo WestPacific Echinoderms. Trustees of the British Museum (Nat.Hist),London:238 hal.
Conand, C. 1990. The Fishery Resources of Pacific Island Countries. Part 2,Holothurians. FAO Fisheries Technical Paper 272.2.
Conand, C. 1998. Overexploitation in the Present World Sea Cucumber FisheriesAnd Perspectives In Mariculture. Echinoderm (Mooi & Tellord Eds.),Balkema, Rotterdam: 449-454.
Darsono, P.1994. Usaha Pembenihan Untuk Pelestarian Sumberdaya Teripang.Oseana XIX (4) : 13-21.
Darsono, P. 1995. Sumberdaya Teripang Komersil Di Indonesia. Prosid. Sem.Kelautan Nasional Jakarta 15 - 16 Nopember I995. Bab II. 7: 1·- 10.
Darsono, P.1998. Pengenalan Secara Umum tentang Teripang (Holothurians).Oseana XXIII (1) : 1-7.
Darsono, P. 2002. Sumberdaya Teripang di Pulau-Pulau Derawan, KalimantanTimur. Oseana XXVII (1):9-18.
Darsono,P. 2003. Sumberdaya Teripang dan Pengelolaannya. Oseana XXVIII(2) 1-7.
Darsono, P., Notowinarto dan E.Widiastuti, 1995a. Pembenihan Teripang Pasir,Holothuria scabra Jaeger, di Indonesia. Makalah Penunjang dalamKongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS VI), Serpong 11-16September 1995.16 hal.
Darsono, P., Soekarno, Notowinarto dan Sutomo, 1995b. Perkembangan LarvaTeripang Pasir, Holothuria scabra Jaeger, pada Bak Pemeliharaan.Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Kelautan: Potensi Biota, Teknikbudidaya dan Kualitas Perairan. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. Hal51-61.
Departemen Kelautan Dan Perikanan, 2004. Pedoman Monitoring Teripang.Direktorat Konservasi Dan Taman Nasional Laut. Direktorat JenderalPesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan Dan Perikanan.Jakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan, 2007. Data Tahunan Statistik Tahun 2005-2007.Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku.
Elifitrida,1994. Bio-Ekologi Teripang (Holothuria) di Perairan PulauPersumpahan Propinsi Sumatera Barat. Tesis Program PascasarjanaInstitut Pertanian Bogor.
Hartati, S.T., I.S. Wahyuni dan E. Reswati, 2002. Perikanan Teripang di PerairanKepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Laut. 8(4) 55-64.
Hyman, L.H. 1955. The Invertebrates Echinodermata.The coelomate bilateria.Vol. IV. McGraw-Hill Book Company,Inc. New York. 763 hal.
James, D.B., A.D. Gandhi, N. Palaniswamy dan J.X. Rodrigo, 1994. HatcheryTechinique and Culture of Sea Cucumber Holothuria scabra. CMFRISpecial Publication. No 57. India. 41p.
Kekenusa, J.S.1994. Kepadatan, Pola Penyebaran, Keanekargaman dan Asosiasiantar Spesies Teripang di Pesisir Pantai Barat Pulau Nain SulawesiUtara. Jurnal Fakultas Perikanan UNSRAT, Volume II(p) 11-17.
Kissya, E.1993. Sasi Aman Haru-ukui. Tidak dipublikasi.
Leimena, H.2004. Struktur Populasi dan Pola Distribusi Keong Lola (Trochusniloticus-Gastropoda) di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah.Tesis. Bandung. Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.
Levinton, J.S. 1982. Marine Ecology. Prentice hall, Inc, Englewood cliffs, NewJersey.
Martoyo, J., N.Aji dan T. Winanto. 2002. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya.Jakarta. 75 pp
Nikijuluw, V.P. 1994. Sasi Sebagai Suatu Pengelolaan Sumberdaya BerdasarkanKomunitas Di Pulau Saparua Maluku. Jurnal Penelitian Perikanan Laut,93: . Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.hal 72-82
Nikijuluw, V.P.2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. PusatPemberdayaan dan Pembangunan Regional (P3R) dengan PT PustakaCidesindo, Jakarta.254 hal.
Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. 305 hal.
Novaczek, I.,I.H.T. Harkes, J. Sopacua,M.D.D. Tatuhey, 2001. An institutionalAnalysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. ICLARM-The World FishCenter. Penang,Malaysia.327 hal.
Nuraini,S dan M.Z.M.Said,1995. Beberapa catatan tentang taksonomi danekologi Stichopus variegates Semper (Holothuriidae) di Pulau Kapas,Laut Cina Selatan. Prosiding Seminar Kelautan Nasional. Jakarta, 15-16November:II.14:1-12.
Nybakken, J. W., 1988. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologi. PT. Gramedia,Jakarta. 459 hal.
Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. PT.GramediaPustaka Utama. Jakarta.
Odum, E. P., 1971. Fundamental of Ecology. 3rd Eds. W. B. Saunders Company,Philadelphia. 574 p
Panggabean, T.M. 1987. Membudidayakan Teripang/Ketimun Laut DalamRangka Meningkatkan Produksi Hasil Laut Di Indonesia. Ditjen PerikananBerkerjasama Dengan International Developed Research Central, INFISManual Seri 44.
Pical, V.J.2007. Dampak Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadapPengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku.Disertasi. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.191 hal.
Purwati, P. 2005. Teripang Indonesia : Komposisi Jenis dan Sejarah Perikanan.Oseana Volume XXX No 2, 11-18.
Retraubun, A.S.W. 2007. Isu Pulau kecil sebagai Dasar Pijak kebijakanpembangunan daerah Kepulauan. Orasi ilmiah Guru besar tetap bidangilmu kelautan FPIK. Universitas Pattimura. 33 hal.
Romimohtarto, K. dan Sri Juwana., 1999. Biologi Laut. Ilmu PengetahuanTentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. 183 hal.
Smith, R. L., 1980. Ecology and Field Biology. Third Edition. Harper and Row Publisher,New York. 664-670p.
Sloan, N.A. 1985. Echinoderm Fisheries of the World: Review in : Keegan andO’Connor (Eds). Echinodermata.A.A. Balkema, Rotterdam: 109-124.
Supardal , Parwo S. 2005. Pemaknaan Desa Terhadap Good Governanve di DesaWiladeg. Sosiosains 18(2) April. Jurnal Berkala Penelitian PascasarjanaIlmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Hal 341-358.
Sutaman, 1993. Petunjuk Praktis Budidaya Teripang. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. 68 pp.
Trijoko, 1991. Penyebaran Teripang (Holothrunidae) di Pulau Bawean. BuletinBudidaya Laut 2. hal 37-40.
Tuwo, A and C. Conand, 1992. Reproductive Biology of the HolothurianHolothuria forskali (Echinodermata). Jurnal Marine Biology. AssU.K.72:745-758.
Wardojo, S.T.H. 1975. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan MutuPerguruan Tinggi, Direktorat Pendidikan Tinggi. Bogor;80pp
Wibowo, S.,Yunizal, E. Setiabudi, M.D. Erlina dan Tazwir, 1997. TeknologiPenanganan dan Pengolahan Teripang (Holothuroidea). InstalasiPenelitian Perikanan Laut Slipi. Balai Penelitian Perikanan Laut. PusatPenelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.37 hal.
Yusron, E. 1992. Beberapa Catatan Tentang Teripang di Perairan Maluku.Lonawarta XV (2) 1992 : 12-17.
Yusron, E. 1993. Pengamatan Komunitas Teripang (Holothuroidea) di TanjungTiram, Teluk Ambon Bagian Dalam. Perairan Maluku dan Sekitarnya.Balai Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut. Pusat Penelitiandan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 67-72.
Yusron, E. 2004. Teknologi Pemijahan Teripang Pasir dengan Cara ManipulasiLingkungan. Oseana Volume XXIX, Nomor 4, Tahun 2004 ; 17-23.
Lampiran 1. Data Jumlah Individu per Transek di Negeri Porto dan Desa Warialau
Negeri Porto
Transek 1
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 3 1 1 2 2 0 3 0 1 0 0 13Bohadschia sp 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 1 1 2 5Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 3 2 2 2 2 1 3 0 2 1 2 20
Transek 2
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 1 4 1 4 1 1 0 0 14Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2Holothuria edulis 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 2 4Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 1 1 2 2 4 1 4 2 2 2 2 23
Transek 3
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 2 1 0 2 0 0 1 0 0 1 0 7Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1Actinopyga miliaris 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 1 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 1 2 2 1 2 0 1 1 1 0 2 1 14
Transek 4
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 0 0 2 2 1 1 0 2 0 10Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria edulis 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 3Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 2 1 0 2 2 2 1 3 2 1 18
Transek 5
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 0 2 2 0 0 0 1 1 1 0 7Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2Holothuria edulis 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 1 0 0 2 2 1 0 0 1 2 1 3 13
Transek 6
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 2 1 1 1 1 3 1 1 0 13Bohadschia sp 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 2Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria edulis 0 0 0 0 0 2 0 1 0 0 0 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 0 2 2 2 3 1 2 4 1 1 1 19
Transek 7
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 0 2 0 3 0 0 1 1 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 2 0 2 0 3 2 1 1 1 14
Transek 8
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 2 1 1 0 1 2 1 1 0 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 0 2 1 1 0 1 2 1 1 3 12
Transek 9
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 1 3 1 1 2 2 0 1 0 0 11Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 3 1 2 2 2 0 1 1 1 15
Transek 10
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 2 1 0 1 0 2 0 1 0 1 0 8Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 3 0 2 0 0 0 0 0 0 5Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 2 1 3 1 1 2 0 1 0 1 1 14
Transek 11
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 2 0 1 2 1 2 0 1 0 0 0 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 2JUMLAH 2 1 1 2 1 2 0 1 0 2 1 13
Transek 12
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 1 1 2 2 1 2 0 0 0 0 9Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 2 2 2 2 2 2 0 0 0 1 13
Transek 13
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 1 1 0 0 1 0 0 0 0 3Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 1 0 0 2 0 0 0 3Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 0 2 1 1 0 1 2 0 0 1 8
Transek 14
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 JUMLAHBohadschia marmorata 0 1 0 1 1 1 1 0 1 1 7Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 2Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 1 2 1 1 2 1 0 1 1 10
Transek 15
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAHBohadschia marmorata 0 0 0 0 2 0 0 2 1 0 1 6Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Actinopyga miliaris 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria edulis 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 2Holothuria fuscogilva 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Holothuria atra 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Stichopus variagatus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0JUMLAH 0 1 0 0 2 1 1 2 1 0 1 9
Desa Warialau
Transek 1
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria edulis 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 2
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Holothuria scabra 0 1 2 1 1 0 1 1 0 0 0 0 7
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 2 3
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
JUMLAH 0 1 2 1 2 1 2 1 1 2 1 2 16
Transek 2
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria scabra 0 2 1 2 1 2 0 2 2 0 0 0 0 12
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 2
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
JUMLAH 0 2 1 2 1 2 1 2 3 0 2 1 1 18
Transek 3
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria edulis 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1
Holothuria scabra 0 2 2 1 3 1 1 0 3 2 1 0 0 16
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Stichopus chloronotus 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 0 2 2 3 3 2 1 0 3 2 2 1 1 21
Transek 4
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria edulis 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
Bohadschia sp 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 2
Holothuria scabra 0 2 0 1 1 0 1 1 0 0 0 0 6
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 2
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 0 2 2 1 1 1 2 1 2 2 1 1 16
Transek 5
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
Holothuria scabra 2 2 1 3 2 2 1 0 0 0 0 13
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
JUMLAH 2 2 1 3 2 3 2 0 1 2 1 19
Transek 6
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Holothuria edulis 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria scabra 1 2 1 3 1 2 1 0 0 0 0 11
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1
JUMLAH 1 3 2 3 1 2 2 1 0 2 2 19
Transek 7
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria edulis 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria scabra 0 2 1 2 2 1 3 1 1 13
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 1 0 1 0 2
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
JUMLAH 0 2 1 2 2 2 3 2 1 15
Transek 8
Jenis K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 JUMLAH
Actinopyga miliaris 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia marmorata 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Actinopyga echinities 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria edulis 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
Bohadschia sp 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Holothuria scabra 0 0 2 3 2 2 2 0 0 2 13
Thelenota ananas 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Actinopyga lecanora 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Bohadschia argus 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1
Stichopus chloronotus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
JUMLAH 0 0 2 3 2 3 2 1 0 2 15
Lampiran 2. Data Parameter Lingkungan di Negeri Porto dan Desa Warialau
Lokasi : Negeri Porto
ParameterPkl.06.00 Pkl.12.00 Pkl.18.00 Pkl.24.00*
Range RerataRange Rerata Range Rerata Range Rerata Range Rerata
Suhu (oC) 27-29 27.9 28.5-30 29.6 27-30 28.5 27-29 28.1 27-30 28.5
pH 8-8.4 8.3 7.8-8.4 8.3 8.1-8.4 8.3 8.1-8.4 8.3 7.8-8.4 8.3
Salinitas (‰) 30-34 32.4 30-34 32.7 30-34 32.6 30-34 32.6 30-34 32.6
DO 8.5 8.5 8.6 8.6 8.5 8.5 6-7 6-7 6-8.6 8.1
Arus Permukaan (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
Kecerahan (m) 16-27 21.6
Lokasi : Desa Warialau
ParameterPkl.06.00 Pkl.12.00 Pkl.18.00
Range RerataRange Rerata Range Rerata Range Rerata
Suhu (oC) 27-29 28 29-30 28.9 27-30 28.9 27-30 28.8
pH 7.1.-7.4 7.2 7.1.-7.4 7.3 7.1.-7.4 7.2 7.1-7.4 7.2
Salinitas (‰) 33-34 33.2 33-35 33.5 33-34 33.4 33-35 33.4
DO 7.2-7.5 7.3 7.2-7.5 7.3 7.2-7.5 7.3 7.2-7.5 7.3
Arus Permukaan (m/s) 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
Kecerahan (m) 6-16 11
Nilai Kecerahan di Negeri Porto dan Desa Warialau
Negeri Porto Desa WarialauWaktu Pengukuran
(WIT)Nilai Kecerahan
m)Waktu Pengukuran
(WIT)Nilai Kecerahan
(m)
7.00 16 9.00 8
9.00 20 10.00 10
10.00 22 12.00 16
11.00 24 15.00 6
12.00 27
Lampiran 3. Kriteria penilaian setiap indikator sasi
No Indikator Tinggi Sedang Rendah
Indikator Efisiensi1 Pengambilan
keputusan secarabersama
Pemerintah desa,kelembagaan adat sertamasyarakat terlibat dalampengambilan keputusan
Pemerintah desa,kelembagaan adatsaja yang terlibatdalam pengambilankeputusan
Pemerintah desasaja yang terlibatdalampengambilankeputusan
2 Kemudahan kesumberdaya
Area sasi dapat di tempuhdengan waktu 10 menit
Area sasi dapat ditempuh dengan waktukurang dari 20 menit
Area sasi dapatditempuh denganwaktu lebih dari20 menit
3 Pengawasan Setiap 3 hari dilakukanpengawasan area sasi olehkewang
1 minggu sekalidilakukanpengawasan terhadaparea sasi
Lebih dari 1minggu dilakukanpengawasanterhadap area sasi
4 Kepatuhan terhadapperaturan
Tidak ada orang yang dapatmengakses pengangkapanke daerah sasi
Sebagian nelayanmengaksespenangkapan kedaerah sasi
Seluruh nelayandan masyarakatmengakses kedaerah
Indikator Keberlanjutan Sosial5 Pendapatan Lebih dari Rp.500 ribu
perbulanRp. 200-500 ribuperbulan
Dibawah Rp. 200ribu perbulan
6 Keharomonisanmasyarakat
Hamper tidak adaperselisihan
Kadang-kadang adaperselisihan
Sering terjadiperselisihan
7 Tradisi aksi bersama Pemerintah desa dankelembagaan adat sertamasyarakat telribat dalamtradisi
Pemerintah desa dankelembagaan adatyang terlibat dalamtradisi
Pemerintah desasaja yang terlibatdalam tradisi
8. KesejahteraanKeluarga
Memiliki rumah permanen Memiliki rumah semipermanen
Tidak mempunyairumah sendiri
9 Pembahasan tentangmasalah – masalahdesa
Paling sedikit 1 kali dalamseminggu
2 kali dalam 1 bulan 1 bulan satu kaliatau tidak samasekali
Indikator Keberlanjutan Biologi10 Kondisi sumberdaya Kisaran optimal populasi persatuan wilayah dan eksistensi ukuran teripang
yang optimal. Disini dilihat kondisi minimal yang ditemukan dilapanganbaik untuk populasi dan ukuran individu
11 Hasil tangkapansumberdaya
Perkembangan produksi teripang setiap waktu buka sasi dahulu dansekarang
Indikator Pemerataan12 Kesempatan
memanfaatkansumberdaya
Seluruh masyarakatmemanfaatkan sumberdaya
Sebagian warga desadalam hal inimasyarakat nelayanyang dapatmemanfaatkan
Orang tertentu sajayang telahditentukan olehpemerintah desa
13 Pemerataan hasil Hasil lelang di bagi untukpemerintah negeri, adat, dangereja
Pemerintah negeridan gereja
Pemerintah negeri
14 Kesempatan baginelayan lokal
Nelayan lokal bebasmengakses area sasi
Nelayan lokal dapatmengakses area sasitapi ditentukandengan peraturan –peraturan pemerintahnegeri
Nelayan lokaltidak diperkenankanmengakses areasasi
Lampiran 4. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Negeri Porto
Actinopyga lecanora
Actinopyga miliaris
Lampiran 5. Jenis-Jenis Teripang yang ditemukan di Desa Warialau
Actinopyga echinities
Actinopyga lecanora
Lampiran 6. Perhitungan Kepadatan, Kepadatan Relatif, Frekuensi kehadiran
Frekuensi Kehadiran Relatif dan Potensi
Jumlah ind. suatu spesies
Kepadatan (ind/m2) =
Luas total PP
Contoh : Jenis Bohadschia marmorata
Jumlah Individu = 135
Luas Total Petak Pengamatan = 168
Kepadatan (ind/m2) = 135/168
= 0.8035 ind/25m2
= 0.803/25
= 0.0321 ind/m2
Jumlah ind. suatu spesies
Kepadatan Rel (%) =
Total ind. semua spesies
Jumlah individu suatu spesies=135
Total individu semua spesies =215
Kepadatan relatif (%) = (135/215) x 100
= 62.7907%
Jumlah PP dimana suatu sp ditemukanFrek. Kehadiran =
Total petak pengamatan
x 100
Contoh : Jenis Bohadschia marmorata
Jumlah PP dimana suatu sp ditemukan = 90
Total Petak Pengamatan = 168
Frek. Kehadiran = 135/168
= 0,5357
Frek. Kehadiran suatu spesiesFrek. Keh. Rel (%) =
Total Frek. Keh semua spesies
Frek. Kehadiran suatu spesies= 0.5357
Total Frek. Kehadiran semua spesies = 0.92857
Kepadatan relatif (%) = (0.5357/0.92857) x 100
= 57.6923%
Potensi (Ind/Ha) = Kepadatan (ind/m2) x Luas Area (m2)
1. Negeri Porto
Potensi (Ind) = 0,051 x 240 000
= 12.240 individu
2. Desa Warialau
Potensi (Ind) = 1,539 x 112 000
= 172 368 individu
x 100
DAFTAR ISTILAH
Bameti : Cara melakukan pemanenan hasil laut oleh masyarakat desadengan menggunakan alat-alat sederhana atau tidakmenggunakan alat sama sekali di sepanjang daerah pasangsurut saat air surut.
Baeleo : Rumah adat, tempat musyawarah adat
Buka Sasi : Periode musim penangkapan (panen).
Kepala Soa : Pemimpin suatu bagian dalam negeri yang terdiri daribeberapa marga.
Kewang : Suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melaluiproses musyawarah pimpinan desa yang dilakukan dalamrumah adat, yang bertugas mengawasi dan mengamankanpetuanan negeri/desa.
Masohi : Suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan olehmasyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan dalam desa.
Mata rumah : Marga/famili.
Ngase : Pembayaran sewa oleh orang luar kepada pemerintah negeriagar dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Petuanan negeri : Suatu kawasan darat dan laut milik pemerintash negeri.
Sasi : Larangan pengambilan sumberdaya alam tertentu yangbernilai ekonomis baik darat maupun laut.
Tutup Sasi : Periode penutupan penangkapan sumberdaya laut.