67 DOI: https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2021.01401.4 PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI MODEL CO-MANAGEMENT Josef Mario Monteiro, Jimmy Pello Fakultas Hukum, Universitas Nusa Cendana Email: [email protected]Abstract This research examines the Lamaholot customary law as an idea or unwritten customary idea but contain ethics and morals, in the form of a belief system, rituals, abstinence, and sanctions, which are then accommodated into a co-model management. This research becomes important to assist the top law enforcement fisheries management violations committed by traditional fishermen in the district East Flores and Lembata Regency, East Nusa Tenggara Province. This empirical legal research uses a statutory approach, the concept of legal anthropology with a socio-legal perspective, and cases. The results shows the number of cases of violations of fisheries management by traditional fishermen still high in the last few years. This proves that law enforcement has not been effective both from the structure, legal substance and culture. To overcome this, it is necessary to re-institutionalize customary law through a co-management model, namely the local government and law enforcement agencies forming a partnership model with customary stakeholders or functionaries to function re-belief systems, rituals, customary sanctions and mechanisms in the enforcement process law against traditional fishermen who exploit fishery resources illegally. Key words: fisherman, fishery, custom, management Abstrak Penelitian ini mengkaji hukum adat Lamaholot sebagai ide atau gagasan adat yang tidak tertulis tetapi mengandung etika dan moral berupa sistem kepercayaan, ritual, pantangan, dan sanksi, yang selanjutnya diakomodir ke dalam sebuah model co-management. Penelitian ini penting dilakukan untuk membantu penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep antropologi hukum dengan perspektif sosio-legal, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan beberapa tahun terakhir jumlah kasus pelanggaran pengelolaan perikanan oleh nelayan tradisional masih tinggi. Hal ini membuktikan penegakan hukumnya belum efektif baik dari struktur, substansi dan budaya hukum. Untuk mengatasinya perlu pelembagaan kembali hukum adat melalui model co-management dimana pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum membentuk model kemitraan dengan pemangku atau fungsionaris adat untuk memfungsikan kembali sistem kepercayaan, ritual, sanksi adat dan mekanisme dalam proses penegakan hukum terhadap nelayan tradisional yang memanfaatkan sumber daya perikanan secara ilegal Kata kunci: nelayan, perikanan, adat, pengelolaan
17
Embed
PENGELOLAAN PERIKANAN BERBASIS HUKUM ADAT MELALUI …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
This research examines the Lamaholot customary law as an idea or unwritten customary idea but contain ethics and morals, in the form of a belief system, rituals, abstinence, and sanctions, which are then accommodated into a co-model management. This research becomes important to assist the top law enforcement fisheries management violations committed by traditional fishermen in the district East Flores and Lembata Regency, East Nusa Tenggara Province. This empirical legal research uses a statutory approach, the concept of legal anthropology with a socio-legal perspective, and cases. The results shows the number of cases of violations of fisheries management by traditional fishermen still high in the last few years. This proves that law enforcement has not been effective both from the structure, legal substance and culture. To overcome this, it is necessary to re-institutionalize customary law through a co-management model, namely the local government and law enforcement agencies forming a partnership model with customary stakeholders or functionaries to function re-belief systems, rituals, customary sanctions and mechanisms in the enforcement process law against traditional fishermen who exploit fishery resources illegally.Key words: fisherman, fishery, custom, management
Abstrak
Penelitian ini mengkaji hukum adat Lamaholot sebagai ide atau gagasan adat yang tidak tertulis tetapi mengandung etika dan moral berupa sistem kepercayaan, ritual, pantangan, dan sanksi, yang selanjutnya diakomodir ke dalam sebuah model co-management. Penelitian ini penting dilakukan untuk membantu penegakan hukum atas pelanggaran pengelolaan perikanan yang dilakukan oleh nelayan tradisional di Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian hukum empiris ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan, konsep antropologi hukum dengan perspektif sosio-legal, dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan beberapa tahun terakhir jumlah kasus pelanggaran pengelolaan perikanan oleh nelayan tradisional masih tinggi. Hal ini membuktikan penegakan hukumnya belum efektif baik dari struktur, substansi dan budaya hukum. Untuk mengatasinya perlu pelembagaan kembali hukum adat melalui model co-management dimana pemerintah daerah dan lembaga penegak hukum membentuk model kemitraan dengan pemangku atau fungsionaris adat untuk memfungsikan kembali sistem kepercayaan, ritual, sanksi adat dan mekanisme dalam proses penegakan hukum terhadap nelayan tradisional yang memanfaatkan sumber daya perikanan secara ilegalKata kunci: nelayan, perikanan, adat, pengelolaan
68 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
Latar Belakang
Sumber daya perikanan merupakan salah
satu sumber sumber daya alam1 yang penting
bagi hajat hidup masyarakat dan memiliki
potensi untuk dijadikan sebagai penggerak
utama (prime mover) ekonomi masyarakat.
Akan tetapi, di Kabupaten Flores Timur dan
Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, dalam kenyataannya masih terdapat
permasalahan hukum berupa pelanggaran
pengelolaan perikanan yang dilakukan
oleh nelayan tradisional2 dalam bentuk
penangkapan ikan secara ilegal sehingga
merusak ekosistem laut seperti terumbu
karang.
Pada dasarnya terdapat beberapa
kegiatan manusia yang menyebabkan
kerusakan ekosistem terumbu karang, yakni
penambangan atau pengambilan karang,
penangkapan ikan dengan penggunaan bahan
peledak, racun, bubu, jaring, pancing, dan
pencemaran (minyak bumi, limbah industri
dan rumah tangga, pengembangan daerah
wisata, dan sedimentasi.3 Sehubungan dengan
keadaan itu, khusus di perairan laut Kabupaten
Flores Timur dan Kabupaten Lembata, nelayan
tradisional sering melakukan penangkapan
ikan menggunakan bom ikan, bius ikan,
potasium, dan alat tangkap pursene. Akibatnya
mengancam kelestarian ekosistem pesisir
dan perairan di Kabupaten Flores Timur dan
Lembata terutama terumbu karang.4
Jika disimak pelaku pelanggaran
pengelolaan perikanan yakni nelayan
tradisional, ada hal yang menarik bahwa
para nelayan tradisional di kedua kabupaten
tersebut adalah bagian dari masyarakat
adat Lamaholot, sehingga perilaku nelayan
tradisional dipengaruhi juga oleh hukum adat
Lamaholot. Hukum adat Lamaholot pada
hakikatnya merupakan idea atau gagasan
yang mengadung norma atau kaidah tidak
tertulis, yang bentuknya sistem kepercayaan,
pantangan, ritual, dan sanksi adat. Oleh
karena itu, dilihat dari kenyataan bahwa
penangkapan ikan menggunakan bom ikan,
bius ikan, potassium oleh nelayan tradisional,
dari perspektif hukum adat Lamholot
merupakan perbuatan yang tercela yang
dapat menimbulkan bencana berupa kutukan
roh penjaga laut bagi masyarakat, dalam
wujud tidak diperolehnya hasil tangkapan
1 Definisisumberdayaalamadalahunsurlingkunganhidupyangterdiriatassumberdayahayatidannonhayatiyang secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup).
2 Definisi nelayan tradisional adalah nelayan yangmenggunakan kapal tanpamesin, dilakukan secara turunmenurun, memiliki daerah penangkapan ikan yang tetap dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
3 Haruddin A, Edi Purwanto, Sri Budiastuti, “Dampak Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Hasil Penangkapan Ikan oleh Nelayan secara Tradisional di Pulau Siompu Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara”, Jurnal Ekosains Lingkungan Hidup Vol. III, No. 3, (November 2011): 33.
4 Bandingkan dengan laporan LIPI 2017 dalam harian umum Kompas, 7 Juni 2017 yang menyebutkan bahwa dari 2,5, juta hektar luas terumbu karang di Indonesia, terdapat 35,15 persen terumbu karang dalam kondisi rusak, sedangkan WWF Solar Alor Project Nusa Tenggara Timur dalam penelitiannya tahun 2012 menyebutkan bahwakondisikesehatanterumbukarangdiperairanlautKabupatenFloresTimurteridentifikasidalamkondisiyang buruk (< 50%), dengan rata-rata 21% yang tersisa masih dalam kondisi sehat
Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 69
ikan dalam jumlah yang cukup. Akan tetapi,
hukum adat Lamaholot ini belum difungsikan
oleh pemerintah daerah kabupaten dan aparat
penegak hukum dalam mendukung upaya
mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan
yang dilakukan oleh nelayan tradisional.
Salah satu contoh adalah Peraturan Bupati
Kabupaten Flores Timur Nomor 6 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
di Perairan Kabupaten Flores Timur.
Sistematika dari Perbup tersebut terdiri atas 9
bab dan 23 pasal. Adapun aspek-aspek yang
diatur, yakni: ketentuan umum; maksud dan
tujuan; ruang lingkup; kelembagaan; master
plan pengelolaan perikanan berkelanjutan;
pengawasan dan evaluasi; peran serta
masyarakat; pembiayaan; dan penutup.5
Berdasarkan beberapa aspek tersebut,
belum menunjukan hukum adat Lamaholot
dilembagakan dalam pengaturan pengelolaan
perikanan. Hal ini seperti pada aspek
kelembagaan, yang mengatur tim pengelolaan
perikanan berkelanjutan terdiri atas Dinas
Perikanan Flores Timur, Instansi terkait di
Kabupaten Flores Timur, Lembaga Swadaya
Masyarakat Perikanan, Akademisi, Kelompok
Nelayan, dan Asosiasi perikanan. Dengan
demikian, tidak ada unsur pemangku atau
fungsionaris adat yang dilibatkan dalam tim
pengelolaan perikanan.
Oleh karena itu perlu melibatkan
partisipasi pemangku atau fungsionaris adat
Lamaholot yang memahami alam seperti
gunung, laut, ikan, dan sebagainya, hidup
Nitun yaitu roh penjaga alam dan Lera Wulan
Tana Ekan sebagai wujud tertinggi. Alam yang
dilihat sebagai penjelmaan wujud tertinggi
atau roh-roh halus itu untuk melestarikannya
dibuatlah ritus-ritus persembahan seperti
ritus menanam, ritus berburu, ritus untuk
menangkap ikan, dan lain sebagainya. Ritus-
ritus mengungkapkan pemujaan bahwa segala
sesuatu yang ada didunia adalah kepunyaan
wujud tertinggi yang nampak dalam ungkapan
Lera Wulan Tanah Ekan Guti Na-en: Tuhan
mengambil pulang miliknya.7 Adanya ritus-
ritus termasuk ritus penangkapan ikan
tersebut menunjukan karateristik hukum adat
Lamaholot yakni perilaku masyarakat adat
yang mematuhi perintah dan larangan tentang
baik buruknya perilaku manusia serta sanksi
adat apabila merusak sumber daya alam laut
dan ikan.
Kekhasan tersebut menjadikan hukum
adat Lamaholot sebagai pranata, artinya
hukum adat Lamaholot menjadi pola dalam
5 Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014 didasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan; Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.29/MEN/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Perikanan di bidang Penangkapan Ikan; Peraturan Daerah Kabupaten Flores Timur Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Flores Timur Tahun 2012-2016
6 Wawancara dengan Ahmad Daud sebagai salah satu pemangku adat Lamaholot yang berasal dari desa Lamahala Jaya di kecamatan Adonara Timur kabupaten Flores Timur, 26 Juli 2018
7 Ibid.,
70 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
perilaku masyarakat nelayan tradisional.
Contoh masyarakat nelayan tradisional di
Kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata,
yang melakukan pola kepercayaan ritual untuk
mendapatkan hasil ikan dan keselamatan
selama melaut. Masyarakat nelayan tradisional
di desa Pantai Harapan memiliki kebiasaan
untuk melakukan ritual, yakni: (a) Bito Berue,
yakni ritual yang dilakukan oleh nelayan
tradisional sebelum menggunakan sampan/
juku baru. Acara ini biasanya dilakukan di
pantai dengan menggunakan bahan-bahan
seperti ayam jantan yang jenggernya masih
utuh. Jengger ayam dipotong oleh tua adat laut
(Aho Male), lalu darahnya dioles disekeling
sampan/juku baru; (b) Lepa Nua Dewe,
ritual ini dilakukan untuk melepas pukat yang
ukurannya kecil yang dalam bahasa setempat
disebut noro. Jenis pukat ini merupakan alat
tangkap tradisional nelayan setempat untuk
menangkap ikan serdin dan tembang biasanya
pada musim-musim tertentu selalu muncul
di perairan laut setempat dalam jumlah yang
sangat banyak; (c) Bruhu Brito, merupakan
suatu tradisi oleh nelayan tradisional sebelum
melepas pukat baru untuk menangkap jenis
ikan selain tembang; dan (d) Tula Lou Wate,
upacara ini merupakan tradisi dalam memberi
makan kepada ”leluhur di laut” dengan
maksud memanggil ikan agar ikan dapat
berkumpul dan memberikan hasil tangkapan
yang banyak. Semua jenis ritual tersebut di
atas dilakukan oleh pemangku adat yang
dalam bahasa masyarakat setempat disebut
Aho Male. Masyarakat setempat tampaknya
sangat patuh dan taat terhadap sistem
kepercayaan ritual. Hal yang menarik di sini
adalah meskipun sistim kepercayaan ritual
lebih banyak pada usaha penangkapan ikan,
namun dalam ritual tersebut diwanti-wanti
oleh Aho Male bahwa tidak boleh menangkap
ikan dalam jumlah yang sangat banyak.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dengan
melakukan pengkajian terhadap kekhasan
hukum adat Lamaholot yang mempengaruhi
perilaku masyarakat nelayan tradisional,
dapat dibangun suatu gagasan konstruksi
struktur legal yang monodualistik yaitu
menyatukan pemerintah, penegak hukum,
dan masyarakat adat. Konstruksi struktur legal
yang didasarkan sistem budaya Lamaholot ini
diharapkan dapat mengejewantahkan norma
hukum adat yang telah hidup dalam alam
pikiran sebagian besar warga masyarakat
adat dan telah diwariskan serta dipraktekkan
dari satu generasi ke generasi lainnya. Sistem
budaya tersebut memandang manusia dan
alam termasuk laut dan sumber daya ikan
harus dijaga keselarasannya, sebab jika tidak
dijaga akan menimbulkan kesulitan bagi
masyarakat dalam memperoleh sumber mata
pencaharian.
Permasalahan
Sebagai permasalahan dalam tulisan
ini adalah: (1) ketidakefektivan penegakan
hukum terhadap pelanggaran pengelolaan
perikanan; (2) keberadaan hukum adat
Lamaholot mengatur pengelolaan perikanan
yang belum difungsikan; dan (3) hukum
Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 71
adat Lamaholot dilembagakan dalam model
co-management guna membantu penegakan
hukum pengelolaan perikanan.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum
empiris dengan kajian dari antropologi
hukum dengan perspektif sosio- legal. Kajian
antroplogi hukum bertolak dari konsep
pluralisme hukum sebagai sistem hukum
dimana unsur-unsur hukumnya berasal dari
sumber yang berbeda, salah satunya adalah
hukum adat yang diakui oleh sistem hukum
negara serta diterapkan dalam sebuah
masyarakat.8 Terkait dengan hal itu, penelitian
ini dilakukan terhadap pranata adat dan
hukum adat Lamaholot sebagai suatu sistem
nilai budaya yang dianggap bernilai dalam
kehidupan.9 Selanjutnya, pendekatan sosio
legal yaitu mengkaji ide atau gagasan hukum
adat dalam suatu sistem sosial. Realitas hukum
adat sebagai norma atau kaidah hukum tidak
tertulis eksis dalam alam pikiran masyarakat
adat yang sarat dengan makna simbolik.
Karena itu penelitian terhadap konteks
hukum, dan bukannya teks hukum sebab jika
meneliti teks hukum akan sulit “ditangkap”
lewat pengamatan dan pengukuran.10
Sumber data yang digunakan adalah
data primer dan sekunder. Pengumpulan
data primer diperoleh dari populasi yakni
nelayan tradisional sebagai anggota kesatuan
masyarakat hukum adat Lamaholot di
Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten
Lembata, sedangkan sampel adalah nelayan
tradisional di Desa Lamahala Jaya Kecamatan
Adonara Timur Kabupaten Flores Timur dan
di Desa Lamalera Bawah (B) di Kecamatan
Wulandoni Kabupaten Lembata. Teknik
yang digunakan adalah pengamatan terhadap
perilaku masyarakat adat dalam melakukan
ritual, dan wawancara secara semi-terstruktur
(semi structured interview), yaitu wawancara
yang menggunakan pertanyaan-pertanyaan
terbuka yang diikuti dengan pertanyaan
lanjutan untuk lebih menggali informasi secara
lebih mendalam. Kemudian dikumpulkan juga
data sekunder melalui studi kepustakaan yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Data yang telah diperoleh dianalisis secara
deskripsi kualitatif berdasarkan penalaran
yang bersifat deduktif-induktif.
PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Pengelolaan Perikanan
Penegakan hukum (law enforcement)
secara konsepsional diartikan kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
8 Ade Saptomo, Penyelesaian Sengketa Tanah Berjenjang Naik Bertangga Turun dalam Masyarakat Minangkabau (Sebuah Penelitian Antroplogi Hukum dengan Perspektif Socio-Legal), Penelitian Hukum Interdisipliner sebuah Pengantar menuju sosio-legal, (Yogyakarta: Thefa Media, 2016), hlm. 33.
9 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm. 4 dan 6.10 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Konsep dan Metode, (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 127.
72 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
mantap dan mengejawantah serta sikap
tindak sebagai rangkain penjabaran nilai
tahap akhir untuk menciptakan, memelihara,
dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.11 Sehubungan dengan hal tersebut,
Lawrence.M.Friedman mengemukakan
tiga model yang harus diperhatikan dalam
penegakan hukum, yaitu struktur, substansi,
dan budaya hukum. Pendekatan ketiga
model tersebut dimaksudkan agar hukum
dapat bekerja dengan baik dan efektif dalam
masyarakat yang diaturnya. Adapun unsur
struktural menurut Lawrence M.Friedman
menyatakan bahwa The structure of a system
is its skeletal frame work it is the permanent
shape, the institutional body of the system,
sedangkan unsur substansi dikatakannya
Substance is composed substantive rules
and rules about how institution should
behave.12 Selanjutnya faktor budaya atau
kultur dimaksudkan adanya kesadaran
hukum (keinsyafan) anggota masyarakat
untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang
dilanggar, melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai warga masyarakat, dan mengerti
akibat-akibat hukumnya jika melanggar
hukum.13 Model pendekatan yang sama
juga dikemukakan oleh Robert B.Seidman14
bahwa bekerjanya hukum dalam masyarakat
melibatkan beberapa unsur atau aspek yang
saling memiliki keterkaitan sebagai suatu
sistem. Beberapa aspek tersebut yaitu lembaga
pembuat hukum (law making institutions);
lembaga sanksi (sanction activity institution);
pemegang peran (role occupant); kekuatan
societal personal (societal personal force);
budaya hukum (legal cultural); serta unsur-
unsur hukum yang sedang berjalan.
Berkaitan dengan penegakan hukum
dalam pengelolaan perikanan, dapat
dijelaskan dengan menggunakan pendekatan
dari kedua pendapat tersebut; Aspek pertama,
yakni struktur hukum yakni lembaga yang
berwenang melakukan penegakan hukum.
Berdasarkan penelusuran ditemukan operasi
pengamanan oleh Polisi Air Nusa Tenggara
Timur, dan Dinas Perikanan di perairan
laut daerah di Kabupaten Flores Timur dan
Kabupaten Lembata sering dilakukan. Hal ini
didukung juga dengan kebijakan pemerintah
daerah untuk menindak tegas pelaku
pengeboman ikan, seperti yang dilakukan
pemerintah daerah Kabupaten Flores Timur
dengan membakar kapal pengeboman ikan
11 Dadin E. Saputra, “Hubungan Antara Equality Before the Law dalam Penegakan Hukum di Indonesia dengan HarmonisasiKonflikAntarLembagaPenegakHukum”,Syariah Jurnal IlmuHukumVol. 15,No. 1, (Juni2015): 6
12 Edi Warman, “Paradoks Penegakan Hukum Pidana dalam Perspektif Kriminologi di Indonesia”, Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 8, No. 1, (Mei 2012): 47.
13 Didiek Sukriono, “Penguatan Budaya Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran Vol. 1, No. 2, (2014): 234.
14 Gunarto, “Optimalisasi Kepemilikan Saham Perusahaan oleh Serikat Pekerja untuk Meningkatkan KesejahteraanPekerjadiPT.FiscousSouthPasific”,JurnalIlmiahSultanAgungVol.49,No.125,(November,2011): 8
Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 73
berdasarkan putusan pengadilan.15 Akan tetapi,
upaya tersebut dinilai masih belum efektif,
karena di beberapa lokasi perairan laut daerah
Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten
Lembata masih marak terjadi bom ikan dan
sebagainya. Berikut ini dipaparkan data kasus
pelanggaran pengelolaan perikanan:
a. Kabupaten Flores Timur
Kasus penangkapan ikan secara ilegal
telah menjadi ancaman bagi kelestarian
lingkungan laut terutama ekosistem terumbu
karang di wilayah perairan laut Kabupaten
Flores Timur. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa nelayan tradisional pada
umumnya menggunakan potasium dan bahan
peledak (bom ikan) dalam penangkapan ikan
di beberapa wilayah perairan laut Kabupaten
Flores Timur.16 Bahkan menurut Paul L.
Kedang selaku Ketua Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HNSI) cabang Flores
Timur, menjelaskan bahwa penggunaan
potasium dan bom ikan banyak beroperasi di
daerah pesisir perairan laut Flores Timur. Pada
tahun 2018 terdapat kasus nelayan tradisional
di perairan laut Likotuden yang membawa 8
(delapan) karung potasium. Jika satu karung
beratnya 25 kg, maka totalnya 200 karung,
akibat potasium merusak terumbu karang dan
biota laut.17 Keluhan lainnya dikemukakan
oleh Benediktus Basa Jawan sebagai Kepala
Desa Bubu Atagamu, Kecamatan Solor
Selatan, yang mengatakan bahwa aksi
pengeboman ikan marak terjadi di perairan
Solor Selatan, sehingga mengakibatkan
rusaknya keanekaragaman hayati di sekitar
perairan Solor Selatan.18
b. Kabupaten Lembata
Beberapa kasus dapat dikemukakan antara
lain belasan kapal nelayan yang beroperasi di
perairan laut Lewoleba tanpa mengantongi
izin dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
Lembata.19 Selanjutnya kasus penangkapan
ikan dengan menggunakan racun yang
mematikan ikan dan biota laut lainnya oleh 15
nelayan asal Bima (15 Juli 2016). Modus yang
digunakan para nelayan itu yakni menebarkan
racun pada beberapa titik berkumpulnya ikan.
Seusai menyiram racun mereka menyelam
secara bergantian mengambil ikan, lobster,
teripang dan lainnya yang pingsan atau mabuk
racun20 selain itu, ditemukan juga kasus
penangkapan ikan menggunakan alat bantu
kompresor (9 Mei 2017) yang dilakukan oleh
enam orang warga dari Desa Bajo Pulau,
Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Mereka menangkap
15 Dokumentasi Semiloka tentang Menjaga Keanekaragaman Hayati Perairan Solor Selatan, Flores Timur yang digelar Yayasan Tanah Ile Boleng (YTIB) bersama Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial dan Pemda Flotim, di Desa Bubu Atagamu, 13 Juni 2017, Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, diambil 24 Juli 2018
16 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, diambil 25 Juli 2018
17 Ibid.18 Ibid.19 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, diambil 25 Juli
201820 Ibid.
74 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
ikan dengan menggunakan kompresor di
perairan laut Desa Jontona, Kecamatan Ile
Ape Kabupaten Lembata.21 Ada juga kasus
pemboman ikan seperti terjadi di pantai Bobu
Kecamatan Lebatukan yang dilakukan oleh
nelayan tradisional dari Ende, Maumere, Alor,
dan Flores Timur. Aksi pemboman ikan selalu
disaksikan warga setempat, namun warga tidak
dapat berbuat apa-apa menghadapinya karena
tidak memiliki fasilitas untuk mengejar atau
membatasi aksi nelayan liar dari luar Lembata
itu. Berdasarkan laporan masyarakat, setelah
melakukan pemboman, para oknum pelaku
biasanya memacu perahu motornya menuju
perairan Alor karena jarak dari pantai Bobu
ke perairan laut Kabupaten Alor lebih dekat,
dibandingkan dengan jarak ke daerah lain.22
Aspek Kedua, yakni substansi hukum,
yaitu aturan hukum yang mengatur perilaku
nelayan mengelola perikanan. Berdasarkan
penelusuran terhadap produk hukum daerah di
bidang perikanan tidak ditemukan peraturan
daerah atau peraturan bupati di Kabupaten
Flores Timur dan Kabupaten Lembata yang
mengatur pengelolaan perikanan oleh nelayan,
seperti: (1) zona penangkapan ikan bagi para
nelayan, misalnya nelayan Pole dan Line;
(2) ukuran kapal yang digunakan nelayan
seperti 3 GT; (3) zona bagan dan rumpon; (4)
penggunaan alat tangkap ramah lingkungan;
(5) lalu lintas perdagangan di perairan laut agar
terpenuhinya kebutuhan ikan bagi masyarakat
dengan harga yang relatif terjangkau; dan (6)
perlindungan terumbu karang.23
Aspek Ketiga, yakni budaya hukum
sebagai sikap dan perilaku masyarakat
untuk menaati aturan hukum. Terdapat
kecenderungan nelayan tidak mempedulikan
peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, sehingga menunjukan rendahnya
kesadaran nelayan untuk menaati aturan
hukum. Padahal budaya hukum merupakan
suatu unsur esensial dalam mengubah
suatu struktur yang statis dan sekaligus
merupakan suatu kumpulan norma yang
menjadi hukum yang hidup (living law). Akan
tetapi, ada hal yang menarik bahwa nelayan
tradisonal dalam aktivitas menangkap ikan
lebih menaati hukum adat Lamaholot yang
mengandung kearifan lokal. Apabila disimak
kehidupan nelayan di desa-desa nelayan pada
kedua kabupaten, menunjukan hukum adat
Lamahlot memengaruhi perilaku nelayan
dalam mengelola sumber daya perikanan.
Dengan demikian, nelayan menjunjung tinggi
tradisi budaya berupa sistem kepercayaan,
ritual, pantangan, dan sanksi adat.
21 Berita dalam Dokumentasi dan Publikasi Sekretariat Dinas Perikanan Kabupaten Lembata, diambil 27 Juli 2018
22 Ibid. 23 Bandingkan dengan Peraturan Desa Birawan di Kecamatan Ilebura Kabupaten Flores Timur yang mengatur
perlindungan terumbu karang. Desa di pantai selatan Flores Timur ini melalui peraturan desa melarang masyarakatnya untuk: (1) berkarang; (2) menggunakan pola penangkapan ikan karang pakai besi tajam; (3) menangkap ikan dengan menggunakan racun akar kayu; dan (4) menangkap ikan di kawasan konservasi. Sumber berita: Harian Umum Pos Kupang, 8 September 2018
Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 75
B. Pengelolaan Perikanan Menurut Hukum Adat Lamaholot
1. Kabupaten Flores Timur
Pada hakikatnya hukum adat yang
mengandung kearifan lokal merupakan bagian
dari kebudayaan dan secara lebih spesifik
merupakan bagian dari sistem pengetahuan
tradisional. Kearifan lokal disebut juga local
genious, yang terdiri atas beberapa nilai
universal yaitu historis, sistem kepercayaan,
etika, estetika, sains, dan teknologi.24 Secara
substansi, pokok-pokok isi dari kearifan lokal
meliputi: konsep lokal, cerita rakyat, sistem
kepercayaan berupa ritual keagamaan, dan
berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud
sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik.
Berkaitan dengan pengelolaan perikanan
di Kecamatan Adonara Timur khususnya
di Desa Lamahala Jaya dan desa yang
berbatasan dengannya yaitu Desa Terong,
kearifan lokal dalam mengelola perikanan
menekankan harmonsasi, keseimbangan, dan
keberlanjutan. Hal ini tidak terlepas dari alam
pikir masyarakat nelayan tradisional yang
memandang bahwa hukum adat Lamaholot
bercorak religius magis, yang mengajarkan
bahwa tugas manusia adalah untuk menjaga
keseimbangan kehidupan alam semesta,
dan jika perilaku manusia menjadi serakah
dengan merusak keseimbangan alam, atau
tidak selaras dengan alam, maka akan terjadi
kegoncangan dalam alam semesta yang dapat
berupa bencana alam.
Sehubungan dengan sistim
kepercayan masyarakat nelayan tradisional
dalam mengelola perikanan dapatlah
dikatakan merupakan semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau
wawasan serta adat kebiasaan atau etika
yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Oleh
karenanya sistim kepercayaan bukan hanya
menyangkut pengetahuan atau pemahaman
masyarakat adat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik di antara manusia,
melainkan juga menyangkut pengetahuan,
pemahaman dan adat kebiasaan tentang
manusia, alam dan bagaimana relasi di antara
semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh
sistim kepercayaan ini dihayati, dipraktikan,
diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi lain yang sekaligus membentuk pola
perilaku manusia sehari-hari baik terhadap
sesama manusia maupun terhadap alam dan
yang gaib.
Melalui kajian terhadap hukum adat
Lamaholot yang berkembang dalam kehidupan
nelayan tradisional di Desa Lamahala Jaya
dan Desa Terong, diketahui bahwa dalam
sejarahnya nelayan tradisional memandang
kehidupan baik di darat maupun di laut
masing-masing memiliki Nitun yaitu roh
penjaga alam sebagai wujud tertinggi. Oleh
karenanya dalam memanfaatkan sumber daya
ikan di laut, nelayan tradisional harus meminta
izin atau memintah restu dari Nitun. Apabila
24 I Wayan Geriya, Konsep dan Strategi Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Penataan Lingkungan Hidup Daerah Bali, Makalah Seminar Nasional, (Denpasar: Lemlit Universitas Udayana, 2005), hlm. 3
76 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
para nelayan menangkap ikan tanpa meminta izin pada Nitun akan menimbulkan bencana pada nelayan tradisional. Keadaan yang sama juga terjadi pada nelayan tradisional apabila dalam menangkap ikan menggunakan bahan-bahan yang merusak ekosistem laut dan ikan, seperti bom ikan, dan lain sebagainya maka akan mendapat kutukan dari Nitun.
Pelaksanaan ketentuan adat tersebut dilakukan melalui upacara adat yang ditujukan pada Nitun, dan dilengkapi dengan bahan-bahan sesajian seperti: telur, nasi kuning, kunyit, tembakau yang digulung dalam daun lontar, sirih dan pinang serta perahu yang di buat dari daun lontar. Semua bahan upacara adat tersebut berjumlah ganjil, dan pada saat dilakukan upacara, bahan sesajian di bungkus dengan daun koli dan diletakan di dalam perahu. Sebelum bahan-bahan sesajian dilepas ke laut, pemangku adat memanjatkan doa sambil wajahnya menghadap ke arah barat laut pada saat tengelamnya matahari. Penyampaian doa menggunakan bahasa setempat, seperti pada bahasa adat di desa Lamahala berikut ini:
lauha”ridepadaialapetanaheka go lodo go tutu tapanmari go oreoladoreko”onoto”u-To’umusipihakagetana, go lodolaukaimobu-kasi pita balikara, goi no go lolon mitewai-nabelauhodeumalamakmo, go kaiko’ori-buko’oratuh, olanoino”oraine, sihari here ileno’owaisilewaketekaika’agelekatlewotana. Go menu moene’Ika’ame, raeile di go
gelekatlauhari di go gelekatkodaka’arogohu, kirika’arowahaka.25
Berdasarkan fakta tersebut, maka tidak dapat dipungkiri bahwa hukum adat Lamaholot di kabupaten Flores Timur, erat kaitannya dengan komponen rasionalitas adat berupa kepercayaan, pantangan, dan anjuran yang dijunjung tinggi sebagai pedoman perilaku. 2. Kabupaten Lembata
Masyarakat nelayan tradisional di Kabupaten Lembata memiliki hukum adat Lamaholot yang mengadung potensi dan kekayaan sistim kepercayaan yang cukup banyak. Kepercayaan tersebut dianut sebagai suatu bentuk peradaban dan sistim nilai serta pranata yang berkaitan dengan usaha pengelolaan perikanan. Kekayaan kepercayaan tersebut menuntun mereka untuk selalu hidup selaras, harmonis dengan alam lingkungannya. Lamalera merupakan sebuah wilayah terdapat di Kecamatan Wulandoni yang terletak disebelah selatan bagian barat pulau Lembata. Lamalera memiliki dua desa yang berdekatan yakni Desa Lamalera Atas (A) dan Desa Lamalera Bawah (B). Adapun suku Lamalera terdiri atas beberapa suku, antara lain: Ebang, Wujon, Tenaor, Tufaona, Lika Telo (3 suku pendiri Lamalera: (1) Blikololong (Puhuu); (2) Lewotuka (Levo Tuka); dan (3) Bataona (Batfor, Dediona. Sulaona)), Tapaoona, dan lain-lain.26 Masyarakat Lamalera merupakan masyarakat
25 Wawancara dengan Ahmad Daud sebagai Pemangku Adat desa Lamahala Jaya di kecamatan Adonara Timur Kabupaten Flores Timur, dikatakan bahwa ritual adat dengan menggunakan bahasa adat ini dilakukan beberapa tahun yang silam, saat itu nelayan tradisional melakukan kesalahan dalam mengelola lingkungan laut sehingga nelayan tidak mendapatkan ikan, 26 Juli 2018.
26 Ibid.,
Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 77
yang memandang laut dan darat mempunyai
hubungan pengaruh mempengaruhi secara
timbal balik. Hal ini senada dengan yang
dikatakan Barker bahwa perilaku dan
lingkungan merupakan dua hal yang saling
menentukan dan tidak dapat dipisahkan.
Apa yang dilakukan seseorang di darat akan
mempengaruhi apa yang akan terjadi di
laut, begitu pun sebaliknya. Pengetahuan
mereka terhadap hubungan laut dan alam
memunculkan persepsi bahwa prilaku yang
sesuai dengan norma yang dianut harus
selalu dilakukan agar ekosistem selalu stabil
dan dapat dimanfatkan secara berkelanjutan.
Keyakinan ini pula yang menjadikan prosesi
penangkapan paus yang merupakan mata
pencaharian utama di Lamalera mengandung
nilai dan norma yang khas. Masyarakat
Lamalera merupakan masyarakat dengan
tradisi yang dipengaruhi oleh ajaran Katolik.
Hal ini dimungkinkan karena daerah Lamalera
termasuk salahsatu daerah penyebaran Katolik
pertama di Indonesia yang dibawa oleh bangsa
Portugis pada abad ke 16 Masehi.27
Secara sosio-kultural peradaban
masyarakat nelayan tradisional di Desa
Lamalera A dan B tidak berbeda, karena pada
dasarnya berasal dari asal usul yang sama.
Masyarakat nelayan tradisional Lamalera
memiliki keunikan tersendiri terutama dalam
hubungan dengan aktivitas melaut. Sistim
kepercayaan yang sudah menjadi budaya di
Lamalera adalah budaya penangkapan ikan paus secara tradisional. Budaya ini sudah lama dimiliki dimulai sejak zaman nenek moyang dan tetap dipegang teguh oleh setiap anggota masyarakat nelayan dan berlangsung sampai sekarang.Dalam hal penangkapan ikan paus tradisi dan budaya ini terus diwariskan ke generasi berikutnya.
Sistim kepercayaan yang terdapat di desa lamalera adalah sistem kepercayaan dalam bentuk ritual dan upacara adat. Sistim kepercayaan tersebut merupakan suatu perpaduan yang sinergis dan harmonis antara adat dan religius serta harus dilakukan secara teliti, ketat, sempurna dan benar. Sistim kepercayaan berupa ritual dan upacara adat dimaksud dimulai dari proses pembuatan perahu tradisional khusus digunakan penagkapan ikan paus yang dalam bahasa setempat disebut peledang, penyiapan peralatan dan sarana penunjang, peralatan penangkapan ikan paus, proses turun ke laut, pantangan-pantangan dan larangan-larangan yang harus dihindari serta tatacara pembagian hasil tangkapan.
Aktvitas dan musim penangkapan ikan paus yang dikenal dengan istilah Leffa Nuang (musim turun ke laut), yang dilasanakan setiap tahun dan biasanya dimulai sejak bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Beberapa upacara adat dan tahapan penting yang dilakukan pada Leffa Nuang adalah sebagai
berikut:28 pertama, Upacara Tobu Nama Fatta,
27 Nendah Kurniasari dan Elly Reswati, “Kearifan Lokal Masyarakat Lamalera: sebuah Ekspresi Hubungan Manusia dengan Laut”, Buletin Riset Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 6, No.2, (2011): 31
28 Wawancara dengan A. Bataona sebagai Pemangku Adat desa Lamalera B kecamatan Wulandoni Kabupaten Lembata, 28 Juli 2018
78 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
para Tua Adat Lamalera berkumpul bersama
dengan semua nelayan di sebuah Kapel
(Kne’) sejenis gereja Katolik yang berukuran
kecil yang dibangun persis di pinggir pantai
Lamalera. Pada Tobu Nama Fatta dibicarakan
hal-hal yang prinsip yang berkaitan dengan
aturan melaut. Selain itu juga semacam
forum evaluasi terhadap berbagai kegiatan,
hambatan para nelayan Lamalera pada musim
penangkapan sebelumnya serta upaya-upaya
dan strategi yang harus diantisipasi dan
dihadapi nelayan pada musim penangkapan
sekarang. Setelah upacara ini para Tua Adat
akan menghadap Tuan Tanah Lamalera untuk
meminta restu sehingga Leffa Nuang dapat
dimulai.
C. Pelembagaan Hukum Adat Lamaholot Melalui Model Co-Management
Hukum adat Lamaholot memiliki peluang
untuk dihidupkan dan ditumbuh kembangkan
kembali sehingga dapat mengatur kehidupan
dan menjadi pranata, norma dan aturan yang
berkaitan dengan pengelolaan perikanan.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap
dokumentasi dan publikasi pada Sekretariat
Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur
dan Kabupaten Lembata, ditemukan adanya
persepsi nelayan tradisional untuk mematuhi
nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan
perikanan, baik itu pantangan, ritual adat
maupun sanksi adat. Cara pandang demikian
menurut hemat peneliti memberi makna
positif dalam menunjang program kebijakan
pengelolaan perikanan berkelanjutan Dinas
Perikanan dan penegakan hukum terhadap
pengelolaan perikanan di Kabupaten Flores
Timur dan Lembata.
Selain itu, dengan persepsi nelayan
tradisional seperti itu memperlihatkan
kesadaran nelayan akan pentingnya menjaga
kelestarian laut dan perikanan sebagai
penopang kehidupan mereka. Oleh karena
itu, cara pandang seperti ini hendaknya
menjadi salah satu instrumen penting dalam
memobilisasi kekuatan sosial nelayan
tradisional guna mendukung penegakan
hukum pengelolaan perikanan. Selain itu,
aspek tersebut dapat dijadikan juga pintu
masuk atau jembatan yang menghubungkan
antara program dan kegiatan pemerintah
daerah dengan apa yang menjadi kebutuhan
nelayan tradisional. Dengan demikian,
program yang direncanakan pemerintah
daerah (Dinas Perikanan) diyakini akan
dapat berjalan dengan cepat dan tepat sasaran
sehingga memberikan dampak terhadap
keberhasilan dan keberlanjutan program
kebijakan pengelolaan perikanan dan
penegakan hukum yang maksimal.29
Sehubungan dengan hal tersebut, hukum
adat Lamaholot perlu dilembagakan sebagai
29 Program pembangunan perikanan pada Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata antara lain, yaitu: (1) pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir seperti meningkatkan produksi perikanan laut, penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana pengawasan pengendalian sumber daya kelautan antara lain seperti gelar operasi pengamanan sumber daya laut wilayah perairan; dan (2) perlindungan dan konservasi sumber daya alam yaitu program pemberdayaan ekonomi masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan.
Monteiro, Pello, Pengelolaan Perikanan Berbasis Hukum Adat melalui... 79
pranata kebudayaan dalam hukum daerah yang mengatur pengelolaan perikanan. Masyarakat adat sebagai suatu organisasi persekutuan hukum, saling terkait dan menyatu bagaikan satu pribadi hukum yang berjiwa dan memiliki harta benda material maupun immaterial,30 keberadaannya telah diakui negara di dalam ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perekmbangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Terkait dengan pranata kebudayaan, menurut Koentjaraningrat adalah kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya. Wujud dari kebudayaan itu adalah: (a) wujud ideal;(b)wujudkelakuan;dan(c)wujudfisik.Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola (wujud kedua dari kebudayaan) beserta komponen-komponennya ialah sistem norma dan tata kelakuannya (wujud pertama dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud ketiga dari kebudayaan), ditambah dengan manusia dan personel yang melaksanakan kelakuan berpola, itulah yang merupakan suatu pranata atau institution.31 Terkait dengan hal itu, hukum adat Lamaholot secara konseptual dapat digolongkan ke dalam pranata kebudayaan
religious institutions, yakni pranata yang berkaitan dengan kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib.32
Adapun melembagakan hukum adat Lamholot menurut teori Bohanan yaitu “pelembagaan kembali” (reinstituonalization), dan “pelembagaan ganda” (double nstituonalization). Kedua teori model ini menjelaskan bagaimana keragaman hukum adat suku-suku lokal, dilembagakan kembali atau dilembagakan untuk kedua kalinya ke dalam sistem hukum negara nasional, sehingga berlaku sah dalam seluruh wilayah negara dan terhadap setiap warga negaranya.33 Pentingnya pelembagaan kembali hukum adat Lamaholot merupakan penegasan dari fungsinya sebagai religious law dan kebiasaan.
Bentuk hukum adat sebagai religious law dan kebiasaan yang dilembagakan adalah ritual adat, pantangan adat dan sanksi adat serta peranan fungsionaris adat dalam mengawasi perilaku nelayan tradisional dalam mematuhi norma adat. Pelembagaan kembali norma hukum adat yang dilakukan oleh fungsionaris adat menunjukan adanya penjiwaan hukum adat (volkgeist), yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat adat. Keadaan ini menurut teori realitas dari Van Vollenhoven dipengaruhi pula oleh kepercayaan masyarakat adat yang bercorak magis-religius.34 Dengan demikian, norma
31 Koenjtraningrat, Op.cit, hlm. 14-15 32 Koenjtraningrat, Op.cit, hlm. 1733 Herman Soesangobeng, Op.cit, hlm. 30234 Erman Rajagukguk, Ridwan Khairandy (Ed), Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia, 75Tahun Prof. Dr.
Koesnadi Hardjasoemantri, SH, ML, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001, hlm. 496
80 ARENA HUKUM Volume 14, Nomor 1, April 2021, Halaman 67-83
hukum adat yang dilembagakan kembali itu
diharapkan mendapatkan penyelesaian terbaik
dalam penanganan konflik (pelanggaran)
pemanfaatan sumber daya ikan.35
Gagasan pelembagaan kembali hukum
adat Lamaholot seyogianya membantu
pemerintah daerah, dan aparat penegak
hukum yang secara nyata belum efektif
mengatasi pelanggaran pengelolaan perikanan
daerah. Sebagai bukti regulasi daerah seperti
Peraturan Bupati Nomor 6 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan
di Perairan Kabupaten Flores Timur belum
efektif ditegakan karena pendekatan yang
digunakan sentralisitik artinya hanya terpusat
pada Tim Terpadu Pengelolaan Perikanan
yang dibentuk pemerintah daerah, dan
mengesampingan peran serta pemangku atau
fungsionaris adat.36
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka
penulis menggagas konsep co-management,
sebagai pendekatan partisipatif, artinya
melibatkan secara partisipatif masyarakat
adat sebagai bagian dari sistem integral
negara dalam mengelola sumber daya alam
seperti sumber daya air, hutan, perikanan, di
perairan darat maupun pesisir laut. Konsep
ini dimunculkan dari keprihatinan penulis
terhadap kelemahan pemerintah daerah
Kabupaten Flores Timur dan Lembata yang
selama ini hanya membentuk Tim Terpadu
yang terdiri dari unsur pemerintah, penegak
hukum, dan asosiasi nelayan, sedangkan
mengabaikan fungsionaris atau pemangku
adat. Akan tetapi pengawasan terhadap
pelanggaran pengelolaan perikanan oleh
Tim Terpadu belum efektif, yang disebabkan
koordinasinya kurang berjalan optimal.
Konsep co-management, digunakan
untuk menghindari peran yang dominan,
dan berlebihan dari salah satu pihak dalam
pengawasan pengelolaan perikanan yakni
pemerintah daerah, sehingga mengabaikan
pihak lain, yakni fungsionaris atau pemangku
adat. Co-management dapat menyatukan
stakeholder terkait dalam proses pengawasan
dan pengendalian terhadap pelanggaran
pengelolaan perikanan. Untuk itu, terdapat
beberapa aspek yang menjadi substansi
pengaturan dengan menggunakan model
co-management, yaitu: (1) ruang lingkup
pengawasan dan pengendalian dilakukan
melalui penyebaran informasi kepada
masyarakat nelayan tradisional tentang
pentingnya kelestarian sumber daya
perikanan; (2) pengawasan dan pengendalian
terhadap aktivitas dan pemanfaatan sumber
daya perikanan yang dilakukan oleh nelayan
tradisional dalam kawasan wilayah tangkap
dan budidaya perikanan; (3) kelembagaan
pengawasan dan pengendalian terdiri atas:
Dinas Perikanan, Satuan Pengawas PSDKP,
35 Bandingkan dengan Ni Made Jaya Senastri, “Fungsionalisasi Kearifan Lokal sebagai Wujud Pluralisme Hukum dalam Pelestarian Lingkungan di Desa Tenganan Pegringsingan”, Jurnal Konstitusi Vol. 1, No. 1, (November 2012): 88