261 Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi) PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA Oleh : Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestari merupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah (Departemen Kehutanan) untuk menyongsong era globalisasi. Kenyataan di lapangan menunjukkan betapa tingginya tingkat pemborosan pemanfaatan hutan dan kerusakan tegakan tinggal yang terjadi sebagai akibat tidak adanya kegiatan pengelolaan hutan serta kurangnya perhatian terhadap kerusakan lingkungan. Dalam pengelolaan hutan lestari, praktek pemanenan hutan dikendalikan dan dikaitkan dengan praktek silvikultur untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai tegakan secara berkelanjutan. Di samping itu, ada kesenjangan antara ketersediaan kayu dari hutan produksi alam dengan kebutuhan industri pengolahan yang menuntut pasokan kayu dari hutan alam yang lebih besar. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang pengelolaan hutan produksi alam. Kajian ini bertujuan mendapatkan informasi sebagai bahan untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan hutan produksi. Sedangkan sasarannya adalah bentuk pengelolaan hutan produksi yang dapat mendukung perkembangan industri hasil hutan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pengurusan hutan yang selama ini dilakukan bukanlah pengelolaan hutan sehingga belum dapat memberikan kelestarian hutan. Untuk memperbaikinya diperlukan adanya kepastian hukum dalam pengelolaan hutan agar pemanenan hasil hutan hanya dapat berlangsung dari hutan yang dikelola secara lestari. Para pemilik perusahaan masih kurang berminat untuk mengelola hutan dan hanya berminat dalam pemanenan hasil hutan terutama kayu. Berdasarkan kenyataan dan pengalaman ini pengelolaan hutan lebih mungkin dilakukan dengan sistem swakelola. Sistem swakelola diharapkan akan memberikan produksi yang lebih lestari karena tujuan pengelolaan bukan hanya untuk memaksimumkan profit tetapi juga untuk melestarikan hutan serta menjaga lingkungan hidup. Swakelola dapat dilakukan oleh Unit Pengelolaan Hutan (UPH) yang menurut UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 17 adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. UPH dapat menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Mengingat sistem HPH yang merupakan sistem kontrol yang sudah berjalan, maka penerapan sistem swakelola harus dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal swakelola hanya dilakukan pada hutan yang tidak diberikan ijin usaha pemanfaatannya pada pihak lain atau areal yang sudah habis masa berlakunya, kemudian pada tahap berikutnya dilakukan swakelola pada areal hutan yang telah habis dan atau tidak diperpanjang lagi Apul Sianturi ABSTRAK 1) 1) Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan
23
Embed
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DENGAN …puspijak.org/uploads/info/Apul Sian.pdfJika pada tahun 1997 Rencana Karya Tahunan (RKT) mencapai 15,6 juta m maka pada tahun 1998 menjadi 10,2
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
261Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSIDENGAN SWAKELOLA DI INDONESIA
Oleh :
Adanya isu sentral tentang pengelolaan hutan produksi alam yang lestarimerupakan bukti semakin tingginya tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah(Departemen Kehutanan) untuk menyongsong era globalisasi. Kenyataan di lapanganmenunjukkan betapa tingginya tingkat pemborosan pemanfaatan hutan dankerusakan tegakan tinggal yang terjadi sebagai akibat tidak adanya kegiatanpengelolaan hutan serta kurangnya perhatian terhadap kerusakan lingkungan. Dalampengelolaan hutan lestari, praktek pemanenan hutan dikendalikan dan dikaitkandengan praktek silvikultur untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai tegakansecara berkelanjutan. Di samping itu, ada kesenjangan antara ketersediaan kayu darihutan produksi alam dengan kebutuhan industri pengolahan yang menuntut pasokankayu dari hutan alam yang lebih besar. Pemerintah telah mengeluarkan beberapakebijakan tentang pengelolaan hutan produksi alam.
Kajian ini bertujuan mendapatkan informasi sebagai bahan untuk mengambilkebijakan dalam pengelolaan hutan produksi. Sedangkan sasarannya adalah bentukpengelolaan hutan produksi yang dapat mendukung perkembangan industri hasilhutan.
Hasil kajian menunjukkan bahwa pengurusan hutan yang selama ini dilakukanbukanlah pengelolaan hutan sehingga belum dapat memberikan kelestarian hutan.Untuk memperbaikinya diperlukan adanya kepastian hukum dalam pengelolaan hutanagar pemanenan hasil hutan hanya dapat berlangsung dari hutan yang dikelola secaralestari. Para pemilik perusahaan masih kurang berminat untuk mengelola hutan danhanya berminat dalam pemanenan hasil hutan terutama kayu. Berdasarkan kenyataandan pengalaman ini pengelolaan hutan lebih mungkin dilakukan dengan sistemswakelola. Sistem swakelola diharapkan akan memberikan produksi yang lebih lestarikarena tujuan pengelolaan bukan hanya untuk memaksimumkan profit tetapi jugauntuk melestarikan hutan serta menjaga lingkungan hidup.
Swakelola dapat dilakukan oleh Unit Pengelolaan Hutan (UPH) yang menurutUU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 17 adalah kesatuan pengelolaanhutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secaraefisien dan lestari. UPH dapat menggunakan sistem silvikultur Tebang Pilih TanamIndonesia (TPTI) dan Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB). Mengingatsistem HPH yang merupakan sistem kontrol yang sudah berjalan, maka penerapansistem swakelola harus dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal swakelola hanyadilakukan pada hutan yang tidak diberikan ijin usaha pemanfaatannya pada pihak lainatau areal yang sudah habis masa berlakunya, kemudian pada tahap berikutnyadilakukan swakelola pada areal hutan yang telah habis dan atau tidak diperpanjang lagi
Apul Sianturi
ABSTRAK
1)
1)Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan
262
masa ijin usaha pemanfaatannya. Dengan kata lain IUPHHK alam dan tanamandianggap dan diperlakukan seperti UPH. Kegiatan tertentu seperti penebangan,penanaman, dan pemeliharaan hutan dapat dilakukan pihak lain sesuai kebutuhan,agar organisasi dan biaya UPH tidak menjadi terlalu besar.
Kata kunci: hutan produksi, hutan tanaman, pengelolaan, pemanfaatan, swakelola
Hutan merupakan sumber daya alam yang sangat penting dan bernilai baikdi Indonesia maupun di dunia. Hutan bukan saja merupakan sumber daya ekonomiyang besar dan belum dimanfaatkan, tetapi juga yang terpenting adalah merupakanpenopang kehidupan. Sejak zaman dahulu hutan merupakan sumber utama bahanmakanan, bahan bakar, dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Peran hutan akantetap seperti itu di masa yang akan datang walaupun dalam intensitas dan bentuk yangmungkin berbeda.
Walaupun sejarah hutan jati di Pulau Jawa dapat dilihat sejak abad XVI,pengelolaan hutan di Indonesia masih baru dikembangkan tiga dekade yang lalu. Padawaktu zaman orde baru, pemerintah mulai mengambil langkah-langkah yangpragmatis dan sistematis dalam membangun ekonomi melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Pemanfaatan ini dipercepat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 1Tahun 1967 tentang penanaman modal dalam negeri, UU No. 5 tahun 1967 tentangKetentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan UU No. 6 tahun 1968 tentangpenanaman modal asing.
Sejak itu berkembang pemanfaatan hasil hutan khususnya kayu melaluipemberian hak pengusahaan hutan (HPH) yang diatur dengan PP 21 tahun 1970 dandikelola dengan sistem tebang pilih Indonesia (TPI) yang ditetapkan tahun 1972.Banyak perusahaan nasional maupun internasional yang berlomba-lomba untukmendapatkan areal HPH dalam sekala luas. Hampir seluruh hutan produksi kemudiandiberikan hak pengusahaannya kepada para pengusaha. Produksi kayu meningkatdrastis sampai mencapai puncaknya pada tahun 80-an dan mulai menurun pada tahun90-an.
Penurunan produksi terjadi karena kurangnya pemahaman akan kemampuanhutan untuk berproduksi sehingga yang dipanen melebihi produktivitas hutan disamping kurangnya kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat tetapberproduksi dalam jangka panjang. Kurangnya kesadaran tersebut bukan saja padapara pengusaha tetapi juga pada petugas kehutanan yang mengawasi pelaksanaanpengusahaan hutan. Para pemilik HPH tidak berkeinginan untuk mengelola hutansecara lestari apalagi ijin yang diberikan adalah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil HutanKayu (IUPHHK) dalam waktu yang terbatas dan bukan ijin usaha pengelolaan hutan.Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan.
Pada tahun 90-an dicoba mengatasi kemunduran ini dengan pemberiankesempatan melaksanakan pemanenan hutan dengan sistem tebang jalur tanamIndonesia (TJTI) di samping penggunaan sistem TPTI. Namun hal ini tidak banyakmemperbaiki keadaan, bahkan hutan semakin rusak, terutama karena pelaksanaanTJTI dilakukan pada areal bekas tebangan dengan sistem TPTI yang sering disebut
I. PENDAHULUAN
Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
263
tebangan “cuci mangkuk”, serta kurangnya pengawasan pelaksanaan di lapangan.Melihat hal ini maka sistem TJTI dilarang pada tahun 2000.
Pada era reformasi tahun 1997 kerusakan hutan makin parah dengan makinmeningkatnya “kebebasan” dalam segala hal termasuk dalam pemanfaatan hasilhutan. Terjadi penebangan yang tidak terencana atau penebangan liar di mana-mana.Rakyat diperalat oleh oknum-oknum tertentu untuk mencari keuntungan sesaat tanpamemperhatikan kelestarian hutan. Otonomi daerah yang dilaksanakan tahun 2001yang memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memanfaatkansumberdaya hutan di daerah memperparah reformasi yang sudah salah arah.Akibatnya di samping produksi yang tidak tercatat meningkat yang berarti pemasukanuang ke negara menurun, hutan makin rusak yang terlihat dari terjadinya kekeringanyang diikuti kebakaran hutan pada musim kemarau, dan banjir pada musim hujan.Kerusakan hutan atau deforestasi tahun 1997 sebesar 1,7 juta ha meningkat menjadi2,5 juta ha per tahun dalam tiga tahun terakhir (Purnama, d.k.k. 2003). Kerusakanhutan yang demikian parahnya dapat kita rasakan dari banjir yang terjadi akhir-akhirini. Hampir seluruh daerah mengalami banjir hingga akhir bulan Juni 2007.
Jika pada tahun 1997 Rencana Karya Tahunan (RKT) mencapai 15,6 juta mmaka pada tahun 1998 menjadi 10,2 juta m , tahun 1999 menjadi 10,3 juta m , tahun2000 menjadi 3,4 juta m , dan tahun 2001 menjadi 1,8 juta m , sehingga dalam limatahun terakhir rata-rata menjadi 8,2 juta m . (Suhariyanto. 2003). Secara alami terjadipenurunan volume tebangan dari hutan alam. Kondisi ini sesuai dengan keadaan hutanyang telah mengalami kerusakan akibat dari kesalahan dalam pengelolaan hutanbahkan boleh dikatakan karena hutan tidak dikelola sama sekali khususnya bekas arealHPH yang telah ditinggalkan karena habis masa ijinnya atau karena kayunya telahhabis bahkan karena kesalahan lain-lain. Oleh karena itu kebijakan yang dikeluarkandalam usaha menyesuaikan tingkat tebangan ( ) sebesar 8,6 juta m3, 6,9 jutam3, dan 5,7 juta m3 pada tahun 2002, 2003, dan 2004 (Purnama, d.k.k. 2003) secaraberurutan seharusnya tidak berpengaruh banyak karena masih di atas RKT tahun2001.
Adanya kebijakan bukan menggambarkan adanya usaha menghemathutan melainkan memberikan indikasi bahwa kegiatan pemanenan hutan bersifatpenambangan hutan padahal hutan merupakan sumber daya alam yang terbaharui.Jika hutan dikelola dengan baik dan benar maka tebangan tahunan seharusnya tetapdan tidak menurun setiap tahun, bahkan seharusnya dapat meningkat bila pengelolaanhutan dilakukan dengan baik dan benar sebagai akibat dari peningkatan riap denganadanya penebangan (c ). Oleh karena itu perlu adanya kebijakan baru agarproduksi dari hutan dapat dipertahankan atau ditingkatkan sampai batas daya dukunghutan itu sendiri dengan melakukan pengelolaan hutan lestari.
Di atas sudah terlihat bahwa para pemilik HPH apalagi pemilik IUPPHHKkurang berminat jika tidak mau dikatakan tidak berminat untuk mengelola hutan.Dipihak lain pemerintah memerlukan hutan sebagai pengatur lingkungan dan sebagaifaktor produksi mengharapkan agar hutan dikelola secara lestari. Tulisan ini mencobamenganalisis kemungkinan dilaksanakannya pengelolaan hutan lestari denganswakelola. Dari beberapa unsur kegiatan pengelolaan hutan seperti reboisasi,penataan batas telah banyak dilakukan secara proyek tapi hasilnya tidakmenggembirakan. Semoga tulisan singkat ini dapat memberikan arah yang mungkindilakukan dalam menuju pengelolaan hutan lestari.
3
3 3
3 3
3
soft landing
soft landing
utting effect
Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
II. PENDEKATAN MASALAH
Masalah pengelolaan hutan produksi didekati dengan penelaahan hasilpenelitian pengelolaan hutan produksi yang telah ada. Alur pikir dari pendekatanmasalah adalah sebagai berikut: Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu yang telahberjalan lebih dari 30 tahun telah mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan yangbesar di samping pola konsumsi kayu yang meningkat terutama dengan adanyaindustri pengolahan kayu. Hal ini terlihat dari terjadinya kesenjangan antarapenawaran dan permintaan kayu dimana permintaan kayu meningkat sedangpenawaran kayu menurun. Untuk menjaga kelestarian jangka panjang perlu dilakukanrencana ulang pengelolaan hutan produksi agar dapat meningkatkan produktivitashutan produksi.
Hutan produksi yang terdiri dari hutan primer, hutan bekas tebangan (LOA),dan hutan terdegradasi tidak dapat dikelola hanya satu sistim silvikultur tetapi harusdengan kombinasi sistem silvikultur tebang pilih (TPTI) dan tebang habis (THPB).Tebang pilih digunakan pada hutan primer dan hutan bekas tebangan (LOA) yangrelatif masih baik, sedangkan tebang habis pada areal-areal hutan terdegradasi ataukurang produktif. LOA memerlukan jangka benah selama 35 tahun agar dapatditebang kembali. Hutan yang kurang produktif dan atau hutan terdegradasi dijadikanhutan tanaman (THPB) dengan komposisi 60% penghasil kayu pertukangan (PTK)dan 40% penghasil . Rotasi hutan tanaman ditentukan berdasarkan tujuanpenanaman dan jenis yang ditanam. Hutan penghasil kayu pertukangan misalnyadengan rotasi 35 tahun dan dan hutan penghasil kayu pulp misalnya dengan rotasi 8tahun. Komposisi ini dibuat agar pengelola tidak menunggu terlalu lama untukmendapat hasil. Dengan cara ini diharapkan produksi kayu dari hutan produksi akandiarahkan dari hutan tanaman yang produktivitasnya lebih tinggi, sedang dari hutanalam akan diarahkan untuk penghasil kayu mewah dan sebagai konservasi hutan.
Dalam 35 tahun pertama penebangan hanya dilakukan pada areal hutanprimer, sedang hutan bekas tebangan dipelihara dan dijaga, dan hutan yang kurangproduktif dijadikan hutan tanaman. Dengan demikian luas areal tebangan pertahundalam 35 tahun pertama adalah 1/35 dari hutan primer. Selanjutnya tahun ke IX danseterusnya dilakukan penebangan kayu dari areal hutan tanaman penghasil
. Kemudian setelah tahun ke XXXVI dan seterusnya dilakukan penebangan dariareal hutan tanaman penghasil kayu pertukangan. Setelah selesai 35 tahun pertamabila hutan tanaman telah mampu memenuhi kebutuhan kayu maka hutan primer(LOA yang telah dikelola selama 35 tahun) merupakan sumber penghasil kayumewah. Dengan kata lain penebangan dari hutan alam hanya dilakukan dengan hargakayu yang tinggi dengan luas tebangan maksimum per tahun menjadi 1/35 dari luasareal hutan alam.
Selama ini pemilik perusahaan tidak atau kurang tertarik dengan pengelolaanhutan lestari tapi lebih tertarik pada kegiatan pemanfaatan kayu dan ijin yang diberikanjuga hanya ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan ijin usaha pengelolaanhutan. Sehingga pemilik perusahaan hutan cenderung untuk tidak melakukan kegiatanlain di luar pemenfaatan kayu. Oleh karena itu perlu dicari pelaku yang mau danmampu melakukan pengelolaan hutan lestari. Salah satu yang mungkin adalah denganswakelola atau dengan perkataan lain pemerintah mengelola seluruh hutan produksi.Namun pekerjaan-pekerjaan tertentu seperti pemanenan kayu dapat diberikan pada
pulp
pulppulp
264Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
pihak lain atau swasta. Dalam kondisi pengelolaan demikian dapatlah dilakukan sistemlelang pekerjaan.
Dengan sistem ini, satu unit pengelolaan hutan (UPH) yang dapat dikeloladengan sistem silvikultur tebang pilih dan tebang habis akan memberikan hasil berupakayu dari hutan tanaman dan kayu dari hutan alam. Kayu dari hutan alam menjadi kayumewah yang harganya diharapkan lebih tinggi dari harga kayu dari hutan tanaman.Dengan kata lain nilai kayu (PSDH dan DR dijadikan satu) yang dijual dari hutanalam harus lebih tinggi daripada nilai kayu yang dijual dari hutan tanaman. Sedangkannilai kayu dari hutan tanaman ditentukan sesuai dengan rumus penentuan nilai kayu.
HUTANPRODUKSI
AREALBUMN/BUMD
AREALIUPHHK
AREAL BEBAS
DIKELOLABUMN/BUM
D
DIKELOLA BUMS
SWAKELOLAUPH/KPHP
PRODUK HHCUKUP?
BAIK &LESTARI?
HABISBAIK &LESTARI ?HABIS?
PRODUKSI KAYU
DARI TPTI JADI KAYU
MEWAH
DANPRODUKSI HASIL
HUTAN LESTARI
DARI
HUTAN TANAMAN
DIMINTAPERUSAHA
AN?
TPTI THPB
Gambar 1. Pola pikir pendekatan masalah
265Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
Dari Gambar 1 terlihat bahwa hutan produksi saat ini ada yang dikelola swasta,Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan arealyang tidak/belum ada pengelolanya. Areal yang sudah diberikan kepada perusahaandiatur agar pengelolaannya dilaksanakan oleh pemegang ijin sehingga tidak perlu lagidibentuk UPHnya. Tetapi untuk areal yang tidak dibebani hak pengusahaan perlu adapengelolanya. Areal yang saat ini belum/tidak ada pengelolanya tapi masih diminatioleh perusahaan atau BUMN/BUMD maka sebaiknya diberikan hak/ijinpengelolaannya dengan prosedur yang berlaku, namun bagi areal yang tidak diminatimaka pemerintah wajib melaksanakan pengelolaannya dengan membentuk UPH atauKPHP. Dengan demikian areal yang dikelola dengan swakelola relatif sedikit, sehinggabiaya yang diperlukan tidak terlalu besar pada tahap awal.
KPHP yang melakukan pengelolaan hutan produksi dapat melakukan TPTImaupun THPB sesuai dengan kondisi awal dari hutan yang dikelola dan tujuan daripengelolaan hutan tersebut. Bila di belakang hari produksi kayu dari hutan tanaman(THPB) telah mencukupi untuk keperluan permintaan kayu maka hutan alam hanya(TPTI) hanya menjadi penghasil kayu mahal.
Luas hutan produksi Indonesia pada 2006 adalah sekitar 58 juta ha yang terdiridari hutan produksi terbatas sebesar 23 juta ha dan hutan produksi tetap sebesar 35juta ha (Tabel 1). Dari luas tersebut lebih dari 41 juta hektar telah diberikan hakpengusahaannya pada pihak ketiga, yang terdiri dari jangka I lebih dari 27 juta hektar,dan jangka II lebih dari 14 juta hektar (Anonim, 2001). Hingga tahun 2006 perusahaanyang masih aktif ada sebanyak 322 perusahaan dengan luas 28.778.923 ha yaituswasta murni sebanyak 214 buah dengan luas areal 20.365.805 ha, BUMN murni 13buah dengan luas areal lebih dari 965.820 ha, penyertaan modal 87 buah dengan luas6.525.628 ha, dan patungan 8 buah dengan luas 821.870 ha.
Dengan asumsi riap hutan sebesar satu m /ha/tahun, dan faktor eksploitasisebesar 0,8 dan faktor keamanan sebesar 0,8 maka produksi kayu dari hutan produksisecara potensial dan lestari seharusnya sebesar 26,7 juta m pertahun, dan bila riaptanaman diasumsikan sebesar 1,5 m /ha/tahun maka produksi secara potensial darihutan produksi seharusnya menjadi 40 juta m /tahun. Oleh karena itu produksi hutanmasih dapat ditingkatkan di masa mendatang dengan perbaikan sistem pengelolaanhutan.
III. KONDISI PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN PASOKANKAYU SAAT INI
3
3
3
3
Produksi kayu bulat untuk dekade terakhir (1990/1991 - 2006) rata-rata sebesar24,8 juta m3/tahun dimana produksi terbesar terjadi pada tahun 1997/1998 sebesar29,5 juta m3 dan terkecil pada tahun 1998/1999 sebesar 19 juta m3 (Anonim, 2001).Produksi ini relatif masih lebih kecil dari yang seharusnya bila hutan dikelola denganbaik.
Penebangan liar yang sebelum adanya reformasi sudah ada, dan setelah adanyareformasi tahun 1997 kegiatan ini semakin marak, terutama dengan adanya anggapanbahwa rakyat yang berhak atas hutan di daerahnya. Hal ini diperparah lagi denganadanya otonomi daerah tahun 2001, dimana para kepala daerah merasa yang palingberhak untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam yang di daerah.
266Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
Tabel 1. Luas Hutan dan Kawasan Hutan Berdasarkan Keputusan MenteriKehutanan.
Sumber: Anonim 2007. Statistik Kehutanan Indonesia
Produksi kayu bulat untuk dekade terakhir (1990/1991 - 2006) rata-rata sebesar24,8 juta m /tahun dimana produksi terbesar terjadi pada tahun 1997/1998 sebesar29,5 juta m dan terkecil pada tahun 1998/1999 sebesar 19 juta m (Anonim, 2001).Produksi ini relatif masih lebih kecil dari yang seharusnya bila hutan dikelola denganbaik.
Penebangan liar yang sebelum adanya reformasi sudah ada, dan setelah adanyareformasi tahun 1997 kegiatan ini semakin marak, terutama dengan adanya anggapanbahwa rakyat yang berhak atas hutan di daerahnya. Hal ini diperparah lagi denganadanya otonomi daerah tahun 2001, dimana para kepala daerah merasa yang palingberhak untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam yang di daerah.
Dengan adanya reformasi dan otonomi daerah bukan saja pemerintah daerahyang merasa memiliki hutan, tetapi juga masyarakat yang tinggal di sekitar hutan,apalagi yang ada di dalam hutan. Setiap ada kegiatan penebangan maka masyarakatlangsung mengklaim bahwa tegakan atau pohon tersebut sebagi milik dari masyarakat.Oleh karena itu setiap usaha untuk menebang pohon baru dapat berlangsung bila yangmau menebang membayar harga pohon kepada masyarakat atau penduduk.
Pengusaha HPH tidak dapat mengatasi hal ini dan mau tidak mau harusmembayar harga pohon tersebut kepada masyarakat yang mengaku memiliki pohon-pohon yang akan ditebang. Dengan demikian para pengusaha HPH harus membayardua kali atas satu pohon yang ditebang yaitu PSDH dan DR kepada pemerintah pusatdan harga pohon pada masyarakat. Kondisi yang demikian merupakan salah satupenyebab para pengusaha tidak mampu untuk mengelola hutannya dengan baik danbenar di samping masalah-masalah lain .
Adanya penebangan liar, klaim masyarakat terhadap hutan, serta kurangnyapengelolaan hutan mengakibatkan makin meningkatnya deforestasi dewasa ini. Kalaupada tahun 1997 laju deforestasi baru 1,7 juta ha per tahun maka dewasa ini lajutersebut telah meningkat menjadi 2,5 juta ha per tahun. Akibat dari semuanya terjadilahan kritis dimana-mana. Luas lahan kritis disajikan pada Tabel 2.
3
3 3
Dalam pada itu pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan, namunsayangnya tidak dapat dilaksanakan di lapangan atau kebijakan tersebut hanyamenyelesaikan dan bukan menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkanmasalah baru. Masalah yang mendasar seharusnya adalah pengelolaan hutan.Sampai saat ini hutan belum dikelola secara baik dan benar dan hanya dieksploitasi
symptom
267Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
saja. Kalaupun ada pengelolaan hutan masih dilakukan di atas kertas dan bukan dilapangan atau hutan.
Tabel 2. Perkiraan Luas Lahan Kritis Selama Pelita VII
Luas Lahan Kritis (1.000 Ha)No PulauKawasan Hutan Non Kawasan Hutan
1. Sumatera 1.989 4. 3532. Jawa 367 1.7003. Kalimantan 2.613 4.566
4. Sulawesi 9.745 9485. Bali & Nusa Tenggara 363 1056. Maluku 180 5157. Irian Jaya 1.649 1.720
Jumlah 8.137 15.106
Sumber : Anonim 2000c
Pengelolaan hutan yang selama ini dilakukan dengan sistem tebang pilihdimaksudkan untuk menormalkan hutan dengan mengambil pohon-pohon yang tua,serta memelihara pohon-pohon muda, dan menanami areal yang kosong. Sayangnyayang dilakukan hanya menebang pohon-pohon tua tanpa memelihara pohon-pohonmuda apalagi menanami areal kosong. Sebagai akibatnya areal kosong bertambah luasdan pohon-pohon muda tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga riap tahunan tidakmencapai yang diharapkan. Dengan kata lain produksi dari hutan akan menurun secarapasti bila tidak ada tindakan nyata di lapangan/hutan.
Pengelolaan hutan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 41 tahun 1999tentang kehutanan, seharusnya dilakukan oleh unit pengelola hutan (UPH), namunsayangnya hal ini belum ditindak lanjuti. Sampai sekarang hutan-hutan belum dikelolasecara baik dan benar. Oleh karena itu perlu diprioritaskan pembentukan UPH yangakan mengelola hutan secara menyeluruh.
UPH yang akan dibentuk yang mengelola hutan secara mandiri atau otonomyang akan melaksanakan segala aktivitas pengelolaan hutan mulai dari perencanaan,penanaman atau rehabilitasi, pemeliharaan, perlindungan, dan pemanenan hutan.Dengan demikian semua target-target kegiatan ada pada UPH, sedangkan secaranasional target tersebut hanya merupakan penjumlahan dari target-target UPH.Departemen Kehutanan dengan demikian hanya bersifat memberikan pedoman-pedoman atau standard-standard pengelolaan hutan, dan bukan lagi menjadipelaksana kegiatan pengelolaan hutan.
Kawasan hutan dan pengelolaan hutan yang benar diasumsikan dimulai tahun2010, dengan kata lain mulai tahun 2010 tidak ada lagi penyimpangan dalampengelolaan hutan seperti tebangan liar dan tumpang tindih areal. Hal ini berlakuuntuk semua bentuk pengelolaan. Bentuk pengelolaan diasumsikan hanya adaswakelola dan hutan yang diberikan ijin usaha pada pihak swasta dikelola oleh pihakswasta sampai masa ijin habis.
268Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
IV. KONDISI INDUSTRI KAYU DAN PERMINTAAN KAYU SAAT INI
Permintaan dan konsumsi hasil hutan kayu dalam negeri sangat besar terutamakonsumsi kayu bakar melebihi 157 juta m pada tahun 1999. Walaupun kayu bakartidak seluruhnya dihasilkan dari hutan, tapi hal ini tidak dapat diabaikan dalamperencanaan produksi hasil hutan. Produksi kayu bulat industri tahun 1999 adalahsebesar 36,195 juta m dimana terdapat di dalamnya kayu bulat untuk dan kertas(Tabel 3).
Tabel 3. Produksi, Impor, Ekspor, dan Konsumsi Hasil Hutan Indonesia Tahun 1999
3
3pulp
No Jenis Produk Produksi Impor Ekspor Konsumsi1. Wood fuel (000 m3) 157.223 0 0 157.2232. Industrial round wood
5. Pulp for paper (000 ton) 1.895 797 1.368 1.3246. Paper and paperboard
(000 ton)5.487 131 1.538 4.080
Sumber: diolah dari FAO, 2001
Tabel 4 menunjukkan perkembangan produksi kayu bulat, kayu gergajian, dankayu lapis dua dekade terakhir. Produksi kayu bulat rata-rata 20,8 juta m yang lebihkecil dari produksi kayu bulat industri karena kayu bulat untuk dan kertas tidaktermasuk di dalamnya.
Dalam perencanaan kebutuhan kayu bulat untuk industri seharusnyakeseluruhan kebutuhan bahan baku industri hulu termasuk dan kertas harusdiperhitungkan. Oleh karena itu kemungkinan data dari FAO (Tabel 3) sebaiknyayang digunakan. Dari Tabel 3 tersebut terlihat bahwa produksi kayu gergajian sebesar2.545.000 m atau setara dengan 5,090 juta m kayu bulat, panels sebesar9.117 ribu m atau setara dengan 16,58 juta m kayu bulat, dan kertas sebesar 7.382ribu m atau setara dengan 36,91 juta m kayu bulat. Dengan demikian jumlah kayubulat yang dibutuhkan berdasarkan produksi tahun 1999 adalah sebesar 58,58 juta m .
3
3 3
3 3
3 3
3
pulp
pulp
wood based
pulp
Kalau bahan baku kayu industri tersebut didapatkan dari hutan tanamandengan riap 10 m3/ha/tahun untuk kayu gergajian dan dan daurtanaman 35 tahun maka diperlukan areal tanaman seluas 2,19 juta hektar. Demikianjuga untuk keperluan dan kertas dari hutan tanaman dengan riap sekitar 25m /ha/tahun dan daur 8 tahun maka luas areal hutan tanaman adalah sekitar 1,48 jutahektar. Bila dari luas areal hutan yang ditanami hanya 70 persen maka areal hutantanaman adalah sebesar 3,129 juta hektar untuk kebutuhan kayu gergajian dan
, serta 2,114 juta hektar untuk dan kertas. Pembangunan 5,5 juta hektarhutan tanaman telah mampu untuk mensuplai industri dengan kapasitas produksiseperti tahun 1999. Bila produksi tahun 1999 baru mencapai 60 persen kapasitasproduksi maka areal hutan tanaman yang diperlukan adalah sebesar 9,17 juta hektar.Dengan perbaikan sistem silvikultur dan pengelolaan hutan yang baik makaproduktivitas hutan atau riap hutan alam dan tanaman masih dapat ditingkatkan.
wood based panels
pulp
woodbased panels pulp
3
269Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
Tabel 4. Perkembangan Produksi Hasil Hutan Kayu 17 Tahun Terakhir
Dari uraian-uraian di atas terlihat adanya kesenjangan antara kemampuanhutan dalam menghasilkan kayu dan permintaan kayu oleh industri. Kebijakan-kebijakan yang selama ini dikeluarkan belum dapat menjawab masalah ini. Oleh karenaitu diperlukan adanya kebijakan yang mendasar yang mampu menjembatanikesenjangan tersebut. Salah satu kebijakan tersebut adalah dengan meningkatkanproduktivitas hutan melalui pengelolaan hutan yang baik dan benar serta dipatuhisemua pihak terkait.
Bila produksi kayu gergajian, kayu lapis, dan kertas disetarakan dengankayu bulat dengan asumsi rendemen sebesar 0,50; 0,55; dan 0,20 masing-masing secaraberurutan untuk kayu gergajian, kayu lapis, dan dan kertas maka jumlah kayubulat yang diperlukan adalah sebesar 51,194 juta m . Jumlah ini terdiri keperluan kayugergajian sebesar 5,090 juta m , kayu lapis sebesar 17,84 juta m , serta dan kertassebesar 28,265 m . Produksi tersebut belum dihasilkan oleh industri dengan kapasitaspenuh. Bila produksi tersebut baru dihasilkan dengan menggunakan kapasitas 60persen dari kapasitas masing-masing industri, maka kebutuhan bahan baku bilamengharapkan industri beroperasi secara optimal bulat adalah sebesar 85,33 m ataudibulatkan menjadi 86 juta m /tahun. Jumlah tersebut belum termasuk kayu bakaryang jumlahnya jauh lebih besar namun tidak seluruhnya didapatkan dari hutan.
V. PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI MASA DATANG
pulp
pulp
pulp
3
3 3
3
3
3
270Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
Hutan produksi yang ada saat ini serta kemungkinan berkurangnya di masadatang serta dengan pengelolaan yang berlaku dewasa ini tidak akan mampu untukmemenuhi kebutuhan industri. Oleh karena itu diperlukan pengelolaan baru yangdapat meningkatkan produktivitas hutan. Salah satu asumsi yang mendasar adalahpengelolaan hutan sudah harus dilakukan dengan benar dan baik. Areal hutan primermasih ditebang dengan sistem TPTI dengan daur tebangan 35 tahun. Areal bekastebangan saat ini tidak ditebang selama 35 tahun namun tetap dipelihara. Areal kritisdan lahan kosong dijadikan hutan tanaman dengan perbandingan 2 untuk penghasil
dan 3 untuk penghasil kayu pertukangan. Riap hutan tanaman adalah 10 dan 25m3/tahun masing-masing untuk penghasil kayu pertukangan dan kayu .
Hutan produksi yang saat ini tidak diberikan atau telah habis masa ijin usahapemanfaatan hasil hutan, dikelola negara secara swakelola dan dilakukan oleh UPH.Pada setiap areal unit pengelolaan akan dikelola dengan sistem tebang pilih dan tebanghabis. Tebang pilih dilakukan pada areal yang masih berhutan baik, sedang tebanghabis pada lahan kritis dan lahan kosong. Bila luas areal untuk UPH sekitar 100 000 hamaka untuk mengelola hutan produksi diperlukan sekitar 562 UPH. Areal seluas100.000 ha tersebut terdiri dari hutan alam, hutan bekas tebangan yang masih baik,hutan bekas tebangan yang sudah rusak, serta lahan hutan yang sudah kosong. Kalaumasing-masing areal UPH masih ada lahan kosong dan hutan bekas tebangan yangsudah rusak maka areal tersebut sebaiknya diperuntukkan jadi hutan tanaman,sedangkan hutan alam dan hutan bekas tebangan yang masih baik direncanakandipanen dengan tebang pilih yang benar kalau kondisi hutannya memungkinkanhingga hutan tanaman yang dibuat dapat memberi hasil.
Setelah hutan tanaman dapat dipanen maka sistem tebang pilih dihentikandengan progresif tergantung dari kebutuhan bahan baku industri sampai hutantanaman mampu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku secara lestari bagi industripengolahan kayu. Pengurangan tebangan dari tebang pilih dapat dilakukan denganmengenakan harga nilai kayu yang makin tinggi sampai suatu saat harga kayu dalamnegeri sama atau lebih tinggi dari harga impor kayu.
Dengan adanya pengenaan nilai tegakan yang tinggi maka industri yang kurangefisien akan keluar dari pasar sedangkan industri yang efisien masih dapat bersaingdalam mendapatkan bahan baku baik dari dalam negeri maupun impor. Pengenaannilai tegakan yang tinggi juga mendorong para pengusaha untuk berusahamembangun hutan tanaman.
pulppulp
Luas areal dan kondisi hutan produksi pada saat ini dapat dilihat pada Tabel 5.Dari Tabel ini terlihat bahwa hutan primer masih cukup luas yaitu sekitar 40% dariareal hutan produksi, sedang areal bekas tebangan baru mencapai 34%, dan lahan kritisatau kosong sekitar 26%. Oleh karena itu areal yang masih mungkin untuk dipanenmasih cukup luas. Untuk menghindari kesalahan dalam data maka ditambahkan 3kondisi baru yaitu: 1) kebenaran data hanya 60%, 2) kebenaran data 70%, dan 3)kebenaran data 80%.
Luas hutan primer, hutan bekas tebangan (LOA), dan hutan tanaman disajikanpada Tabel 6. Dari tabel ini terlihat bahwa hutan primer (alam) seluas 13,179 juta ha,hutan bekas tebangan (LOA) seluas 18,373 juta ha, dan hutan tanaman seluas 9,575juta ha. Hutan tanaman terdiri dari hutan penghasil kayu pertukangan seluas 5,723 juta
A. Kebenaran Data Luas Areal Hutan 60 Persen
271Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
ha dan hutan penghasil seluas 3,783 juta ha.pulp
Tabel 5. Luas Areal Hutan Produksi Alam (dalam ribuan ha)
Luas hutan produksi yang nyata di lapangan tidak diketahui dengan pasti makadalam skenario ini diasumsikan bahwa data yang ada terutama mengenai luas hutanprimer dan hutan tanah kosong. Riap hutan alam diasumsikan 1 dan 1,5 m3/ha/tahunyaitu asumsi yang digunakan dalam TPTI dan hasil penelitian riap hutan bila dipeliharadengan baik.
1. Riap hutan alam tetap 1m3/ha/tahunHutan bekas tebangan yang ada sebelum pengelolaan hutan yang baik dan
benar dilakukan pada tahun 2010 dibiarkan dan dipelihara serta dilindungi selama 35tahun untuk tumbuh, dan baru pada tahun 2045 diperbolehkan untuk dipungutkembali bila diperlukan dengan sistem tebang pilih yang baik dan benar. Sedangkanhutan primer mulai tahun 2010 ditebang dengan luas tebangan sebesar 1/35 dari luashutan primer dengan sistem tebang pilih yang dilakukan secara baik dan benar. Semuaareal bekas tebangan dipelihara sesuai dengan aturan yang berlaku dalam sistem tebang
272Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
pilih. Dengan cara ini diharapkan hutan primer atau hutan alam akan berproduksisecara lestari.
Pembuatan hutan tanaman pada lahan kosong dan semak belukar denganperbandingan 40 persen untuk hutan penghasil kayu pulp dan 60 persen untukpenghasil kayu pertukangan. Riap hutan tanaman adalah 25 m /ha/tahun untukdan 10 m / ha/tahun untuk kayu pertukangan serta daur tanaman 8 tahun untukdan 35 tahun untuk kayu pertukangan. Dengan demikian hutan tanaman penghasil
baru akan dipanen pada tahun 2018 dan hutan tanaman penghasil kayupertukangan tahun 2045.
Bila data luas hutan primer dan lahan kosong diasumsikan benar 60 persen danriap bekas tebangan tetap 1 m /ha/tahun maka pruduksi kayu bulat pada tahun 2010hanya dihasilkan dari hutan primer sebesar 10 juta m , dan pada tahun 2018 dari hutanprimer sebesar 10 juta m dan hutan tanaman sebesar 61 juta m , sehingga totalproduksi setelah tahun 2018 sampai 2044 sebesar 71 juta m . Hal ini akan tercapai bilahutan primer seluas 384 ribu ha ditebang setiap tahun dengan sistem tebang pilih danhutan tanaman yang seluas 436,8 ribu ha yang ditanam sejak tahun 2010 dapat dipanendan ditanam kembali tahun 2018 dan seterusnya (Gambar 2) Pada tahun 2045tebangan ditambah dari bekas tebangan yang lalu seluas 544 ribu ha dan hutantanaman kayu pertukangan seluas 249,6 ribu ha maka produksi menjadi 127,03 juta myang terdiri dari kayu pertukangan sebanyak 65,98 juta m dan kayu sebanyak61,05 juta m Gambar 2 ). Bila pada saat ini kebutuhan industri sudah dapat dipenuhidengan kayu dari hasil hutan tanaman maka tebangan dari hutan alam dapat dikurangidengan mengenakan nilai tegakan yang lebih tinggi, sehingga produksi kayupertukangan dari hutan tanaman menjadi 45,78 juta m dan hasil kayu dari hutantanaman menjadi 61,05 juta m pertahun setelah tahun 2045.
3
3
3
3
3 3
3
3
3
3
3
3
pulp
pulp
pulp
pulp
pulp
pulp
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
2055
2060
Tahun
Vo
lum
e(m
3)
H
primerH LOA
HT PTK
HT Pulp
Gambar 2. Produksi kayu bulat dari hutan produksi alam dan hutan tanaman (data 60% benar danriap hutan bekas tebang 1 m /ha/tahun)
2. Riap hutan alam meningkat menjadi 1,5 m /ha/tahunNamun bila data luas hutan primer dan lahan kosong tetap 60 persen benar
tetapi riap bekas tebangan meningkat menjadi 1,5 m /ha/tahun maka produksi kayu
3
3
3
273Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
pada tahun 2010 sampai 2044 masih sama dengan di atas, baru pada tahun 2045 danseterusnya menjadi 137 juta m yang terdiri dari kayu pertukangan sebesar 76 juta mdan kayu pulp sebesar 61 juta m3 (Gambar 3). Seandainya kebutuhan bahan bakuindustri sudah dapat dipenuhi dari hutan tanaman maka sejak tahun 2044 harga nilaitegakan dari hutan alam produksi dapat ditingkatkan sehingga penebangan hutan alamproduksi akan berkurang dan akan beralih ke hutan tanaman. Dengan demikianproduksi dari hutan tanaman akan sama dengan di atas yaitu 45,78 juta m /tahun untukkayu pertukangan dan 61,05 juta m /tahun untuk .
3 3
3
3pulp
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
2010
2014
2018
2022
2026
2030
2034
2038
2042
2046
2050
2054
2058
Tahun
Vo
lum
e(m
3) H Primer
H LOA
HT PTK
HT Pulp
Ky PTK
Ky Bulat
Gambar 3. Produksi kayu bulat hutan produksi alam dan hutan tanaman bila 60 %Data uas hutan benar dan riap bekas tebangan 1,5 m /ha/tahun
Bila data luas hutan primer dan lahan kosong disumsikan benar 70 persen makaluas hutan primer menjadi 15,38 juta ha, hutan bekas tebangan tetap 18,37 juta ha,sedangkan hutan tanaman menjadi 11,13 juta ha (Tabel 7).
Tabel 7. Luas Hutan Produksi Alam dan Tanaman Bila Data Luas Hutan 70% Benar
3
B. Kondisi Kebenaran Data Luas Areal Hutan 70 Persen
1. Riap hutan alam tetap 1 m /ha/tahun 556.38 190.77Bila riap hutan bekas tabangan tetap 1 m /ha/tahun maka pruduksi kayu bulat
pada tahun 2010 hanya dihasilkan dari hutan primer sebesar 11,83 juta m3, danpada tahun 2018 dari hutan primer sebesar 11,83 juta m dan hutan tanaman penghasilkayu pulp sebesar 71,22 juta m , sehingga total produksi setelah tahun 2018 sampai2044 sebesar 83,05 juta m . Hal ini akan tercapai bila hutan primer seluas
ha ditebang setiap tahun dengan sistem tebang pilih dan hutan tanaman yangseluas ha yang ditanam sejak tahun 2010 dapat dipanen dan ditanam kembalitahun 2018 dan seterusnya (Gambar 4). Pada tahun 2045 tebangan ditambah darihutan bekas tebangan yang lalu seluas ha dan hutan tanaman kayupertukangan seluas ha maka produksi menjadi 146,23 juta m yangterdiri dari kayu pertukangan sebanyak 75,01 juta m dan kayu sebanyak 71,22 jutam (Gambar 4). Dalam kondisi bahan baku industri dapat dipenuhi dari hutan tanamansaja, maka hutan produksi alam dapat dibatasi penebangannya dengan menaikkanharga nilai tegakan (PSDH dan DR), sehingga produksi hutan tanaman menjadi 53,42juta m untuk pertukangan dan 71,22 juta m untuk kayu .
Kemudian bila kebenaran data hutan primer dan lahan kosong hanya benar 70persen serta siap hutan bekas tebangan hanya 1 m /ha/tahun maka produksi padatahun 2005 menjadi 11,8 juta m pertahun dengan luas tebangan per tahun sebesar448.000 ha. Hutan tanaman penghasil pulp yang dibangun pertahun sejak tahun 2005adalah 509.600 ha yang akan dipanen pada tahun 2013, serta hutan tanaman penghasilkayu pertukangan seluas 174.720 ha pertahun dan mulai dipanen pada tahun 2040.Dengan demikian produksi kayu pada tahun 2013 sampai 2039 menjadi 83 juta myang terdiri dari kayu pertukangan sebanyak 11,8 juta m dan kayu sebanyak71,2 juta m . Pada tahun 2040 dan seterusnya produksi kayu bulat menjadi 146 juta myang terdiri dari kayu pertukangan sebesar 75 juta m dan kayu pulp sebesar 71 juta m(Gambar 4).
3
3
3
3
3
3
3
3
3 3
3
3
3
3
3 3
3 3
33,75RIBU
556,38
544 ribu190,778 ribu
pulp
pulp
pulp
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
20
10
20
14
20
18
20
22
20
26
20
30
20
34
20
38
20
42
20
46
20
50
20
54
20
58
Tahun
Vo
lum
e(m
3)
H Primer
H LOA
HT PTK
HT Pulp
Ky PTK
Ky Bulat
Gambar 4. Produksi kayu bulat dari hutan produksi alam dan hutan tanaman bila dataluas hutan 70 % benar dan riap hutan bekas tebangan 1 m3/ha/tahun
275Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
2. Riap hutan alam meningkat menjadi 1,5 m /ha/tahunDalam pada itu dengan asumsi yang sama namun riap hutan bekas tebangan
menjadi 1,5 m /ha/tahun maka produksi kayu dari hutan alam akan meningkat padatahun 2040. Kalau pada tahun 2010 sampai tahun 2044 produksi hutan alam hanyasebesar 11,8 juta m /tahun tetapi tahun 2045 dan seterusnya akan menjadi 32,4 jutam /tahun. Dengan demikian produksi kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanamanpada tahun 2018 sampai 2044 adalah sebesar 83 juta m /tahun yang terdiri dari kayupertukangan sebesar 11,8 juta m dan kayu sebesar 71,2 juta m , dan setelahtahun 2045 menjadi 157 juta m yang terdiri dari kayu pertukangan sebesar 85,8 juta mdan kayu sebesar 71,2 juta m (Gambar 5).
3
3
3
3
3
3 3
3 3
3
pulp
pulp
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
180,000,000
20
10
20
14
20
18
20
22
20
26
20
30
20
34
20
38
20
42
20
46
20
50
20
54
20
58
Tahun
Vo
lum
e(m
3)
H Primer
H LOA
HT PTK
HT Pulp
Ky PTK
Ky Bulat
Gambar 5. Produksi kayu bulat dari hutan produksi alam dan hutan tanaman bila dataluas hutan 70 % benar dan riap hutan bekas tebangan 1,5 m /ha/th
Bila data luas hutan primer dan lahan kosong diasumsikan benar 80 persenmaka luas areal hutan alam produksi menjadi 35,94 juta ha yang terdiri dari hutanprimer 17,57 juta ha dan bekas tebangan 18,37 juta serta hutan tanaman seluas 12,72juta ha yang terdiri dari hutan penghasil kayu pertukangan seluas 7,63 juta ha dan hutantanaman penghasil 5,09 juta ha. (Tabel 8).
3
3
3
3
3
3
C. Kebenaran Data Luas Areal Hutan 80 Persen
pulp
1. Riap hutan produksi alam 1 m /ha/tahunRiap hutan bekas tebangan tetap 1 m3/ha/tahun, dan ditebang setelah tahun
2045. Hutan tanaman penghasil pertukangan dan mempunyai riap sebesar 10 dan25 m /ha/tahun dengan daur tanaman 35 dan 8 tahun, Maka produksi kayu bulat padatahun 2010 hanya dihasilkan dari hutan primer sebesar 10 juta m , dan pada tahun 2018dan dari hutan tanaman penghasil kayu sebesar 61 juta m , sehingga totalproduksi setelah tahun 2018 sampai 2044 sebesar 71 juta m . Hal ini akan tercapai bilahutan primer seluas 384 ribu ha ditebang setiap tahun dengan sistem tebang pilih danhutan tanaman yang seluas 436,8 ribu ha yang ditanam sejak tahun 2010 dapat dipanendan ditanam kembali tahun 2018 dan seterusnya (Gambar 6). Pada tahun 2045
pulp
pulp
276Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
tebangan bertambah dari bekas tebangan yang lalu seluas 544 ribu ha dan dari hutantanaman penghasil kayu pertukangan seluas 249,6 ribu ha maka produksi menjadi 127juta m3 yang terdiri dari kayu pertukangan sebanyak 66 juta m dan kayu sebanyak61 juta m (Gambar 6).
3
3
pulp
Tabel 8. Luas hutan produksi alam dan tanaman bila data luas hutan 80% benar
Jumlah 17.572 18.373 35.945 7.631 5.087 12.718 48.663
Dengan asumsi riap hutan bekas tebangan 1 m /ha/tahun serta asumsi lainsama dengan di atas, maka produksi hutan primer pada tahun 2010 adalah sebesar 13,5juta m /tahun sampai tahun 2017. Tahun 2018 hutan tanaman penghasil kayuyang ditanam tahun 2010 mulai dipanen dengan produksi sebesar 81,40 juta m /tahun,sehingga total produksi tahun 2018 sampai tahun 2044 menjadi 94,92 m /tahun(Gambar 5). Tahun 2045 hutan bekas tebangan dan hutan tanaman penghasil kayupertukangan yang ditanam sejak tahun 2010 mulai ditebang dengan masing-masingproduksi sebesar 11,76 juta m dan 61,05 juta m , sehingga total produksi tahun 2045dan seterusnya menjadi 165,45 juta m /tahun (Gambar 6)
3
3
3
3
3 3
3
pulp
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
180,000,000
2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
2055
2060
Tahun
Vo
lum
e(m
3)
H Primer
H LOA
HT PTK
HT Pulp
Ky PTK
Ky Bulat
Gambar 6. Produksi kayu bulat dari hutan produksi alam dan hutan tanama bila datahutan 80 % benar dan riap hutan bekas tebangan 1 m /ha/tahun
3
277Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
2. Riap hutan produksi alam meningkat menjadi 1,5 m /ha/tahunBila riap hutan bekas tebangan menjadi 1,5 m /ha/tahun sedang asumsi lain
tetap maka produksi hutan primer tetap sebesar 13,52 juta m /tahun sampai tahun2044. Selanjutnya hutan tanaman penghasil yang ditanam pada tahun 2010 dapatdipanen dengan produksi sekitar 81,40 juta m /tahun. Baru pada tahun 2045 setelahhutan bekas tebangan dan hutan tanaman penghasil kayu pertukangan mulai ditebangproduksi meningkat menjadi 176,95 juta m /tahun yang terdiri kayu perkakas sebesar95,55 juta m /tahun dan kayu sebesar 81,40 juta m /tahun (Gambar 7 ).
3
3
3
3
3
3 3
pulp
pulp
0
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
180,000,000
200,000,000
2010
2015
2020
2025
2030
2035
2040
2045
2050
2055
2060
Tahun
Vo
lum
e(m
3)
H Primer
H LOA
HT PTK
HT Pulp
Ky PTK
Ky Bulat
Gambar 7. Produksi kayu bulat dari hutan produksi alam dan hutan tanaman bila datahutan 80 % benar dan riap hutan bekas tebangan 1,5 m /ha/thn.
Dari uraian-uraian di atas telah terlihat adanya tiga asumsi mengenai kebenarandata luas areal hutan produksi yang berbeda yaitu 60%, 70%, dan 80% serta dua asumsiperbedaan riap hutan alam yaitu 1 dan 1,5 m /ha/tahun. Perbedaan luas hutanproduksi serta perbedaan riap tahunan akan memberikan perbedaan tingkat produksihasil hutan kayu yang sangat nyata bila hutan dikelola dengan benar dan baik (Tabel 9).Asumsi kebenaran data areal hutan 100% tidak dimasukkan karena hutan produksitelah banyak dirambah terutama setelah habisnya masa ijin usaha pemanfaatan hasilhutan kayu atau habisnya masa HPH dimana hutan produksi seolah-olah tidak bertuanatau tidak dikelola.
3
3
Ketiga asumsi tersebut serta dengan skenario pengelolaan hutan yangdilakukan akan memberikan produksi kayu yang relatif cukup besar. Dengan luashutan produksi 41 juta ha sampai 49 juta ha akan memberikan produksi kayu antara127 juta m /tahun sampai 180 juta m /tahun. Oleh karena itu penentuan luas arealhutan produksi yang akan dikelola dengan benar sudah harus merupakan prioritasutama. Dengan demikian ada kepastian mengenai luas kawasan hutan produksi baik diatas kertas sama dengan di lapangan. Areal-areal yang sudah dirambah mungkinsebaiknya dikeluarkan dari kawasan hutan dan diberikan pada masyarakat yang akandimanfatkan sesuai dengan fungsinya.
3 3
278Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
Tabel 9. Areal dan produksi dari hutan produksi bila dikelola dengan baik dan Benar
Kebenaran
data
Uraian Areal (juta
ha)
Produksi A
(juta m3/th)
Produksi B
(juta m3/th)
Hutan produks 41,057 127,025 137,122
H Primer 13,179 10,144 10,144
H LOA 18,373 20,193 30,290
H T Penghasil PTK 5,723 45,785 45,785
60%
H T Penghasil Pulp 3,763 61,047 61,047
Hutan produks 44,877 146,236 157,036
H Primer 15,376 11,834 11,834
H LOA 18,373 21,599 32,398
H T Penghasil PTK 6.677 53,416 53,416
70%
H T Penghasil Pulp 4,451 71,221 71,221
Hutan produks 48,663 165,447 178,9 50
H Primer 17,572 13,525 13,525
H LOA 18,373 23,005 34,507
H T Penghasil PTK 7,631 61,047 61,047
80%
H T Penghasil Pulp 5,087 81,396 81,396
Pengelolaan hutan dengan swakelola akan berakibat seluruh hutan terkeloladengan baik dan kemungkinan produksi hutan akan meningkat, namun akanmemerlukan waktu dan biaya yang cukup besar karena seluruh pembiayaan mulai daribiaya organisasi, pengelolaan dan pembuatan hutan tanaman akan ditanggung olehpemerintah. Kalau alternatif ini dipilih maka sebaiknya dimulai dari kawasan hutanproduksi yang saat ini belum diberikan hak pengelolaannya pada pihak lain.
Pada kawasan hutan yang tidak diserahkan pada pihak ketiga dibentuk unitpengelola hutan (UPH) dengan areal seluas antara 50.000 - 100.000 ha setiap UPH.UPH akan membuat rencana induk pengelolaan hutan. Tergantung dari kondisikawasan maka pada satu UPH dapat dilakukan berbagai sistem silvikultur. Bila masihada hutan primer dapat ditebang dengan menggunakan aturan tebang pilih sedangkanhutan bekas tebangan yang masih baik dipelihara selama 35 tahun dan baru ditebangdengan menggunakan aturan tebang pilih. Hutan terdegradasi dan lahan kosongdijadikan hutan tanaman dengan menggunakan aturan tebang habis.
Hutan tanaman terdiri dari hutan tanaman penghasil kayu pertukangan danhutan tanaman penghasil kayu dengan perbandingan luas areal 3 banding 2dimana daur hutan tanaman penghasil kayu pertukangan 35 tahun dan hutan tanamanpenghasil hanya 8 tahun. Luas hutan tanaman yang dibangun dengan swakelolapada asumsi kebenaran data areal sebesar 60 persen, 70 persen dan 80 persen adalahseluas 9,505 juta ha, 11,128 juta ha, dan 12,718 juta ha Dengan cara ini diharapkansetiap UPH akan berproduksi sepanjang tahun paling tidak mulai tahun ke IX danmeningkat setelah tahun ke XXXVI dari hutan tanaman dan hutan bekas tebangan.
pulp
pulp
279Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
Dari hasil berbagai prediksi terlihat bahwa produksi kayu dengan swakelolaakan dapat melampaui permintaan industri setelah tahun 2045. Pada tahun 2010sampai 2044 produksi kayu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan industri terutamauntuk kayu pertukangan. Setelah tahun 2045 hutan produksi alam akan dapatdikurangi atau di stop karena hutan tanaman telah mampu memproduksi kebutuhankayu dalam negeri.
Pengurangan tebangan dari hutan produksi alam dapat dikurangi denganmenaikkan harga/nilai tegakan (PSDH dan DR) sampai tingkat yang lebih tinggidari harga tegakan hutan tanaman. Dapat juga dilakukan dengan ekstrim yaitu denganmelarang tebangan dari hutan produksi alam dan hanya membolehkan tebanganpada hutan produksi tanaman. Tetapi dengan cara ini fungsi hutan produksi sudahberubah jika kayunya tidak dimanfaatkan. Jadi supaya fungsinya dapat terpenuhi makaproduksi dari hutan produksi alam hanya diperbolehkan dengan membayar biayategakan yang tinggi, sehingga kayu dari hutan produksi alam dapat dianggap sebagaikayu mewah. Dengan cara ini biaya pengelolaan hutan produksi alam masih dapatdipenuhi dari hasil produksi hutan tersebut.
Pengelolaan hutan produksi alam dengan swakelola memerlukan UnitPengelola Hutan (UPH). Satu UPH mengelola hutan produksi seluas 100.000 ha.Dalam satu areal UPH dapat dilakukan tebang pilih dengan permudaan alam dan dapatdilakukan dengan tebang habis dengan permudaan buatan atau hutan tanaman.Dengan demikian diperlukan sekitar 560 UPH untuk mengelola seluruh hutanproduksi. Bila pegawai setiap UPH diperkirakan 30 orang, maka diperlukan sebanyak16.800 pegawai yang akan mengelola hutan yang terdiri dari para sarjana, dan SKMA.Seandainya gaji seorang pegawai rata-rata Rp 5.000.000,- per bulan maka diperlukanbiaya untuk pegawai saja sekitar Rp 1.008.000 juta per tahun. Biaya ini akan bertambahdengan biaya manajemen, biaya pembuatan hutan tanaman, dan biaya pengelolaanhutan.
Dengan adanya pengelolaan hutan oleh UPH maka Departemen Kehutanantentu sudah harus disesuaikan terutama dengan penyesuaian tugas dan fungsinya yanghanya membuat membuat kriteria dan standar serta prosedur. Dengan demikian makaDepartemen Kehutanan harus makin ramping bila masih diperlukan atau dapatberubah menjadi hanya setingkat esselon 1 (Direktur Jenderal). UPT pusat yangselama ini ada di daerah juga perlu ditiadakan karena merupakan pemborosan sajaserta tidak sesuai dengan adanya desentralisasi. Hal ini saja sudah cukup besarpenghematan yang dilakukan.
Lain dari pada itu proyek-proyek yang selama ini seperti penataan batas,reboisasi, gerhan, perlindungan hutan, dan lain-lain tidak lagi dilakukan olehDepartemen tetapi langsung oleh UPH. Kegiatan-kegiatan tersebut selama inimenghabiskan banyak dana namun hasilnya relatif tidak ada.
Dengan adanya pengelolaan hutan maka diharapkan akan tercapai adanyakepastian kawasan, adanya peningkatan produksi, terkelolanya hutan, serta adanyalingkungan hidup yang lebih baik.
Tanpa adanya kepastian kawasan dan kepastian hukum dalam pengelolaanhutan maka produksi hutan secara lestari tidak akan dapat tercapai. Oleh karena ituprogram kehutanan setelah pemilu 2009 adalah untuk meletakkan kondisi kepastiankawasan dan kepastian hukum dalam pengelolaan hutan. Dengan kata lainkepemilikan hutan sudah jelas mana yang hutan negara, mana yang hutan adat, mana
280Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
yang hutan milik, dan lain-lain. Terutama dengan berlakunya pemerintahandesentralisasi sejak tahun 2001, serta adanya pemekaran daerah pemerintahan provinsidan kabupaten maka kepastian kawasan hutan harus dilakukan dengan segera agardapat dikelola dengan lestari.
1. Produksi kayu bulat dari hutan produksi alam akan selalu makin berkurang bilapengelolaan hutan produksi alam tidak dilakukan dengan baik dan benar, apalagibila dilakukan tebangan ulang sebelum daur tebang tercapai atau terjadinya cucimangkok seperti yang terjadi selama ini.
2. Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola akan memberikan kelestarianhutan yang lebih terjamin.
3. Produksi dari hutan produksi alam pada tahun 2010 dan seterusnya, bila seluruhhutan produksi dikelola dengan swakelola dan kebenaran data hutan primeradalah 60 persen, 70 persen, dan 80 persen secara berurutan. adalah sebesar 10,1juta m , 11,8 juta m , dan 13,5 juta m per tahun
4. Bila hutan tidak dikelola dengan baik dan benar maka dengan produksi tersebutpada tahun 2044 tidak ada lagi produksi yang dapat diharapkan dari hutanproduksi alam.
5. Pengelolan hutan dengan baik dan benar sudah merupakan keharusan untukdilakukan segera dan jika mungkin paling tidak sejak tahun 2010 bilamenginginkan hutan produksi dapat berproduksi secara berkelanjutan yang dapatmemenuhi permintaan akan kayu dalam negeri.
6. Untuk memenuhi kebutuhan kayu setelah hutan produksi alam habis, perludibangun hutan tanaman paling sedikit seluas 11,128 juta ha dengan perbandingan2 untuk penghasil kayu dan 3 untuk penghasil kayu pertukangan yangdibangun sejak tahun 2010 dengan luas 556,42 ribu ha/tahun selama 8 tahununtuk kayu dan 190,8 ribu ha/tahun selama 35 tahun untuk kayu pertukanganbila pengelolaan dengan swakelola.
7. Kepastian luas kawasan hutan produksi agar ditentukan dan kawasan dapatdikelola agar tidak terjadi lagi perambahan.
8. Biaya yang ditanggung negara dengan swakelola akan sangat besar karena biayamanajemen dan biaya pengelolaan hutan ditanggung negara, namun denganefisiensi dan efektivitas dari Departemen kehutanan rasanya biaya tidak menjadimasalah.
9. Agar hutan produksi tidak bertambah rusak maka sistem pengelolaan ini harusdilakukan secepat mungkin dengan membuat aturan baru baik berupa PP maupunundang-undang.
10. Pembentukan KPHP kiranya dapat diarahkan ke dalam bentuk pengelolaan hutanproduksi yang diusulkan dalam tulisan ini khususnya untuk areal-areal yang tidakdiberikan kepada pihak lain.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
3 3 3
pulp
pulp
281Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)
Daftar Pustaka
Anonim. 2000a.. BP Dharmabakti. Jakarta.
________. 2000 b.. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
________. 2000 c. . Badan PlanologiKehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.Jakarta.
________. 2003. . Badan PlanologiKehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
............... 2007. Statistik Kehutanan Indonesia. Badan Planologi Kehutanan.Departemen Kehutanan. Jakarta.
Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia. 1999.. Makalah pada Seminar Pencapaian
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Ambang Abad 2000 (Progress TowardsYear 2000 Objective, belum diterbitkan).
Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia. 1999.. Makalah yang disajikan pada
Seminar Pencapaian Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Ambang Abad 21pada Tanggal 5 Oktober 1999 di Bogor.
Badan Litbang Kehutanan, 1991.
. Laporan Penelitian Kerjasama Badan Litbang Kehutanandengana PT Alas Helau . Bogor.
Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan dan Badan Litbang Kehutanan. 1989.
FAO. 2001. State of the World.s Forest. FAO, Rome.
Purnama, B.M., A.Justianto, R. Tjandrakirana, dan K.B. Prihatno. 2003.
.. 24 April 2003 Kerjasama Antara Pus litbangSosek, Badan Litbang Kehutanan-Departemen Kehutanan, ITTO Project PD85/01 Rev. 2(1), Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Bogor.
Sianturi, A. 1990.. Dissertation. Unoversity of Washington.
Not Published. Seattle. 150 p.
................ 2004. Hutan dan Produksi Kayu Bulat Indonesia Dari Tahun 1961 Sampai2001. Jurnal Sosial Ekonomi Kehutanan. Vol. 1 No. 1 Augustus Th 2004.Bogor. pp 45 - 54
Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesiadalam Sidang Umum MPR RI tanggal 1-21 Oktober 1999
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tentangKehutanan
Statistik Kehutanan dan Perkebunan Indonesia
Statistik Kehutanan dan Perkebunan Indonesia
Produksi dan Perdagangan Produk HasilHutan Indonesia Suatu Tantangan di Abad 21
Produksi dan Perdagangan Produk HasilHutan Indonesia Suatu Tantangan di Abad 21
Tebang Habis Cara Jalur, Intensitas Sampling, Tabel IsiPohon, Faktor Eksploitasi dan Angka Pengaman Serta Faktor konversi di Hutan AlamPinus Daerah Takengon di Provinsi Aceh yang Dikelola Secara Tebang Habis denganPermudaan Buatan
Studiidentifikasi pemanfaatan limbah pembalakan di DAS Mahakam, Provinsi KalimantanTimur (tidak diterbitkan).
Produksi Kayubulat Indonesia: Potensi dan Permasalahannya. Prosiding Diskusi Panel .MenyongsongIndustri Perkayuan Yang Lestari
An Optimal Harvesting Model to Evaluate The Indonesia Selective CuttingSystem For Secondary Dipterocarp Forests
282Vol. 7 No. 4 Desember Th. 2007, 261 - 283
............. 2005. Pengelolaan Hutan Produksi Alam Lestari Dengan Sistim HPH. JurnalPenelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 2 No. 1 April Th 2006. Bogor.Pp 1-16
Suhariyanto. 2003. Peranan Pemerintah dalam upaya Pembangunan IndustriKehutanan Secara Berkelanjutan.
.. 24 April 2003 Kerjasama Antara Pus litbang Sosek,Badan Litbang Kehutanan-Departemen Kehutanan, ITTO Project PD 85/01Rev. 2(1), Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). Bogor.
Toman, M. A. and P.M.S. Ashton. 1995... Forest Science 42 (3): 366 . 377.
WWF Indonesia,. 1999. . Makalah padaSeminar Pencapaian Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Ambang Abad 2000(Progress Towards Year 2000 Objective)(belum diterbitkan).
Prosiding Diskusi Panel .Menyongsong IndustriPerkayuan Yang Lestari
Sustainable Forest Acosystems and Management: AReview Article
Pengelolaan dan Pengusahaan Hutan Indonesia
283Pengelolaan hutan produksi dengan swakelola (Apul Sianturi)