1 PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM 1 Abdul Rokhim 2 (Dipublikasikan dalam Buku Kumpulan Makalah Berjudul “Ilmu Humaniora: Sebuah Antologi Pemikiran”, Cet. I, Penerbit Nirmana Media, Tangerang-Banten-Jakarta, ISBN 602-8298-15-8, Mei 2017, hlm. 207-219) Abstrak Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia dilakukan berdasarkan konsep Hak Penguasaan Negara (HPN). HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam (termasuk barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada badan swasta, meskipun negara tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya untuk mengusahakan sendiri untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi. Dalam hukum positif, HPN atas barang tambang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau bahkan bekerjasama dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk melakukan eksploitasi barang tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu sisi pemerintah belum mampu mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja sama dengan sektor swasta, namun di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum tidak dapat dialihkan kepada sektor swasta. Relasi antara pemerintah dengan badan swasta dalam pengusahaan pertambangan idealnya melalui izin pertambangan, bukan dalam bentuk kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu pihak, agar posisi pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan lebih tinggi dan dapat mengontrol sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam perspektif hukum Islam, menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam pengusahaan barang tambang yang merupakan hajat hidup orang banyak sejalan dengan prinsip maslahah ummat yang menurut syariat Islam bertujuan untuk menarik kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum. Kata Kunci: Pengelolaan; Barang Tambang; Hukum Positif; Hukum Islam A. Pengantar Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti secara ideologis, penguasaan negara atas sumber daya alam (termasuk barang tambang) harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan atau kemakmuran rakyat. Meskipun secara idiil Hak Penguasaan Negara (HPN) atas sumber daya alam harus digunakan sebagai sarana memperbesar kemakmuran rayat, namun dalam kenyataannya hal itu sangat bias karena beberapa sebab, antara lain: pertama, politik hukum negara 1 Makalah ini pernah dipresentasikan dalam National Conference dalam rangka Dies Natalis ke-36 Universitas Islam Malang pada tanggal 26 Maret 2017, dengan tema Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni (IPTEKS) untuk Kemaslahatan Umat, subtema “Tata Kelola Hukum, Pemerintahan dan Ekonomi dalam Perspektif Islam Menuju Indonesia Berkeadilan”. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENGELOLAAN BARANG TAMBANG: PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM1
Abdul Rokhim2
(Dipublikasikan dalam Buku Kumpulan Makalah Berjudul “Ilmu Humaniora: Sebuah
Antologi Pemikiran”, Cet. I, Penerbit Nirmana Media, Tangerang-Banten-Jakarta,
ISBN 602-8298-15-8, Mei 2017, hlm. 207-219)
Abstrak
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia dilakukan berdasarkan konsep
Hak Penguasaan Negara (HPN). HPN atas SDA mengandung makna bahwa negara
memegang kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya alam
(termasuk barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan
Indonesia. HPN atas barang tambang tidak dapat dialihkan dan didelegasikan kepada
badan swasta, meskipun negara tidak atau belum mempunyai kemampuan sepenuhnya
untuk mengusahakan sendiri untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat sesuai
amanat konstitusi. Dalam hukum positif, HPN atas barang tambang memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk mengusahakan sendiri atau memberikan izin atau
bahkan bekerjasama dengan sektor swasta melalui kontrak pertambangan untuk
melakukan eksploitasi barang tambang milik bangsa Indonesia. Muncul dilema, di satu
sisi pemerintah belum mampu mengusahakan sendiri dan karena itu itu perlu bekerja
sama dengan sektor swasta, namun di sisi lain HPN atas barang tambang secara hukum
tidak dapat dialihkan kepada sektor swasta. Relasi antara pemerintah dengan badan
swasta dalam pengusahaan pertambangan idealnya melalui izin pertambangan, bukan
dalam bentuk kontrak pertambangan yang menempatkan pemerintah sebagai salah satu
pihak, agar posisi pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara memiliki kedudukan
lebih tinggi dan dapat mengontrol sektor yang mendapatkan izin dari pemerintah. Dalam
perspektif hukum Islam, menempatkan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam
pengusahaan barang tambang yang merupakan hajat hidup orang banyak sejalan dengan
prinsip maslahah ummat yang menurut syariat Islam bertujuan untuk menarik
kemanfaatan dan mencegah bahaya untuk umum.
Kata Kunci: Pengelolaan; Barang Tambang; Hukum Positif; Hukum Islam
A. Pengantar
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”. Hal ini berarti secara ideologis, penguasaan negara atas sumber daya
alam (termasuk barang tambang) harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan atau
kemakmuran rakyat.
Meskipun secara idiil Hak Penguasaan Negara (HPN) atas sumber daya alam harus
digunakan sebagai sarana memperbesar kemakmuran rayat, namun dalam kenyataannya
hal itu sangat bias karena beberapa sebab, antara lain: pertama, politik hukum negara
1 Makalah ini pernah dipresentasikan dalam National Conference dalam rangka Dies Natalis ke-36
Universitas Islam Malang pada tanggal 26 Maret 2017, dengan tema Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni
(IPTEKS) untuk Kemaslahatan Umat, subtema “Tata Kelola Hukum, Pemerintahan dan Ekonomi dalam
Perspektif Islam Menuju Indonesia Berkeadilan”. 2 Dr. H. Abdul Rokhim, SH, MH adalah dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
2
sering diboncengi oleh sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatas-
namakan kepentingan umum, kepentingan negara, atau kepentingan pembangunan. Kedua,
dilihat dari substansi hukum, pengertian “dikuasai” oleh negara tidak mencerminkan
makna yang jelas dan lugas, sehingga mengandung banyak penafsiran (multi-interpretasi)
yang berimplikasi pada ketidakpastian hukum dalam implementasinya. Akibatnya, sering
terjadi benturan kepentingan dan konflik wewenang di antara departemen atau instansi
pemerintah sektoral dalam penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam di Indonesia.3
B. Konsep Penguasaan Negara atas Barang Tambang
Istilah “dikuasai oleh negara” mempunyai padanan arti “negara menguasai atau
penguasaan negara”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian kata
“menguasai” ialah berkuasa atas (sesuatu), memegang kekuasaan atas (sesuatu), sedangkan
pengertian kata “penguasaan” berarti proses, cara, perbuatan menguasai atau
mengusahakan”.4 Dengan demikian, pengertian kata penguasaan lebih luas dari pada kata
menguasai. Oleh karena itu, menurut Abrar Saleng, penyebutan yang tepat kekuasaan
negara atas sumber daya alam dalam rangka pasal 33 UUD 1945 adalah Hak Penguasaan
Negara (HPN).5
Pengertian “hak”, menurut Apeldoorn, adalah suatu kekuasaan (macht) yang teratur
oleh hukum yang berdasarkan kesusilaan (zakelijheid; moraal). Tetapi kekuasaan semata-
mata bukanlah hak. Hanya kekuasaan yang dibenarkan oleh hukum (het recht in zijn
veroorlovende gedaante) saja yang dijadikan dasar bagi adanya hak untuk mengatur oleh
negara.6
Apabila konsep penguasaan negara dikaitkan dengan pengertian hak, maka makna
HPN tertuju kepada negara sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.
Dengan demikian maka makna HPN di dalamnya terdapat sejumlah wewenang dan
tanggung jawab (kewajiban) yang bersifat publik. Hal ini berarti bahwa HPN harus dilihat
dan dipahami dalam konteks hak (wewenang) dan kewajiban negara sebagai subyek yang
memiliki kekuasaan atas sumber daya alam yang bersifat publik (publiekrechtelijk), bukan
bersifat privat (privaatrechtelijk) dalam arti negara sebagai pemilik (eigenaar).
Pemahaman yang demikian bermakna bahwa negara memiliki kewenangan sebagai
pengatur, perencana, pelaksana dan sekaligus sebagai pengawas dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam nasional.7
Mengacu pada pengertian HPN tersebut di atas, maka dalam kerangka penguasaan
negara atas barang tambang, HPN mengandung makna bahwa negara memegang
kekuasaan untuk menguasai dan mengusahakan segenap sumber daya bahan galian
(barang tambang) yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia. Konsep
yang demikian sejalan dengan maksud kata-kata dikuasai oleh negara yang tertuju kepada
obyek-obyek penguasaan yang tersebut dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945:
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai negara”.
3 Achmad Sodiki, “40 Tahun Masalah-masalah Dasar Hukum Agraria”, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Ilmu Hukum Unibraw, dalam Buku: 70 Tahun Prof. Abdul Gani, Malang, 2000, hlm. 164. 4 Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: