1 PENGELOLAAN AIR DI TINGKAT PETANI PADA LAHAN GAMBUT BERBASIS MASYARAKAT KASUS : UPT LAMUNTI, KAWASAN PLG KALIMANTAN TENGAH Muhammad Noor Makalah disampaikanpada Lokakarya “Sistem Pengelolaan Air Lahan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat” 4-6Januari 2011, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sustainable Lowland Use Through Innovative Community Based Environment System (SLUICES) Project 2010
21
Embed
Pengelolaan Air Di Tingkat Petani Pada Lahan Gambut Balittra
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENGELOLAAN AIR DI TINGKAT PETANI PADA LAHAN GAMBUT BERBASIS MASYARAKAT
KASUS : UPT LAMUNTI, KAWASAN PLG KALIMANTAN TENGAH
Muhammad Noor
Makalah disampaikanpada Lokakarya “Sistem Pengelolaan Air Lahan Rawa Gambut Berbasis Masyarakat”
4-6Januari 2011, Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
Sustainable Lowland Use Through Innovative Community Based Environment System (SLUICES) Project
2010
2
PENGELOLAAN AIR DI TINGKAT PETANI PADA LAHAN GAMBUT BERBASIS MASYARAKAT
KASUS : UPT LAMUNTI, KAWASAN PLG KALIMANTAN TENGAH
Muhammad Noor
Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jl. Ke bun Karet, Lokatabat. Banjarbaru 70712
secara berkelanjutan. Dalam konteks, Pengembangan Lahan Gambut (PLG)
Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah (1995-1999) yang mengalami hambatan dan
kendala, khususnya dalam pemanfaatan dan pengembangan untuk pertanian
memerlukan banyak perhatian yang tidak hanya konsep, tetapi juga aksi atau
intervensi dalam upaya revitalisasi pertanian di kawasan tersebut. Kawasan PLG
Sejuta Hektar dibagi dalam 6 (enam) wilayah pengembangan, yaitu (1) Lamuntl,
(2) Dadahup, (3) Palingkau, (4) Jenamas, (5) Kapuas Hulu, dan (6) Sebangau-
Palangka Raya (Team MP-EMRP. 2008). Wilayah Lamunti sendiri terdiri atas 15
UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) dan beberapa desa masyarakat, yang
sebagian wilayahnya menitik beratkan pada pengembangan pertanian.
Pengembangan pertanian di desa-desa wilayah Lamunti ini sangat beragam.
Berdasarkan tingkat kemajuan pertanian dan tingkat pendapatan
masyarakatnya wilayah Lamunti dapat dipilah atas 3 (tiga) kelompok, yaitu (1)
kelompok yang relative maju berkembang , (2) kelompok sedang berkembang ,
dan (3) kelompok kurang berkembang. Dengan pembagian di atas maka upaya
pengembangan lebih lanjut dapat didasarkan pada kondisi kendala dan potensi
yang dihadapi pada masing-masing kelompok, khususnya berkenaan dengan
infrastruktur pengelolaan air dalam mendukung pengembangan pertanian pada
masing-masing kelompok. Perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi
nasional strategis juga patut diperhitungkan dalam pembinaan dan intervensi.
Dalam konteks, alih fungsi lahan atau pergeseran komoditas yang menunjukkan
perkembangan baru yaitu semakin luasnya intenvensi pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang merambah ke wilayah lahan pertanian yang diperuntukan untuk
tanaman pangan.
Uraian berikut mengemukakan tentang (1) kondisi pertanian lahan rawa
Kalimantan secara umum sebagai pembelajaran, (2) kondisi pertanian UPT
Lamunti kawasan PLG Kalimantan Tengah sebagai percontohan kasus khusus,
dan (3) proyeksi pengaruh pengaturan tinggi muka air terhadap peningkatan
produktivitas pertanian sebagai upaya intenvensi pada demplot SLUICES.
4
II. KONDISI PERTANIAN LAHAN RAWA KALIMANTAN
Berdasarkan hidrotopografi wilayahnya sebagai cerminan dari pengaruh
luapan pasang sungai/laut, maka wilayah pasang surut dibagi dalam 4 (empat)
tipe luapan, yaitu tipe A, B, C, dan D. Kementerian Pekerjaan Umum
menggunakan istilah lahan katogori I untuk tipe A, selanjutnya kategori II, III dan IV
untuk tipe B, C dan D. Batasan yang dimaksudkan dengan tipe luapan A, B, C
dan D adalah sebagai berikut :
Tipe A : wilayah pasang surut yang selalu mendapat luapan pasang baik pasang tunggal (purnama) maupun pasang ganda (perbani) serta mengalami pengatusan secara harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi pesisir pantai dan sepanjang tepian sungai.
Tipe B: wilayah pasang surut yang mendapat luapan hanya saat pasang tunggal (purnama), tetapi mengalami pengatusan secara harian. Wilayah tipe luapan ini meliputi wilayah ke pedalaman sejauh < 50-100 km dari tepian sungai.
Tipe C: wilayah pasang surut yang tidak mendapat luapan pasang dan mengalami pengatusan secara permanen. Pengaruh ayunan pasang diperoleh hanya melalui resapan (seepage) dan mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50 cm dari permukaan tanah.
Tipe D : wilayah pasang surut yang tidak mendapat pengaruh ayunan pasang samasekali dan mengalami pengatusan secara terbatas. Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm dari permukaan tanah.
Pasang tunggal bertahan dengan ketinggian pasang optimal yang dapat
meluapi lahan hanya sekitar 3-4 hari dan lamanya antara 3-4 jam saja, khususnya
pada lahan-lahan tipe B. Pada musim kemarau, pasang ganda adakalanya tidak
dapat meluapi lahan karena debit air yang kurang atau menurun. Jadi kemampuan
pengairan untuk lahan tipe B hanya pada saat pasang tinggi yang mempunyai
permukaan pasang nisbi lebih tinggi. Pasang tunggal pada musim hujan lebih
tinggi daripada musim kemarau. Selisih tinggi permukaan pasang tunggal antara
musim hujan dengan musim kemarau pada lahan sulfat masam tipe A mencapai
30 cm, pada tipe B mencapai 40 cm. Selisih pasang ganda antara musim hujan
dengan musim kemarau pada lahan tipe B mencapai 70 cm (Kselik, 1992).
Ketinggian permukaan air pada musim hujan di lahan tipe C mencapai 65 cm,
5
tetapi pada musim kemarau terjadi kekeringan dengan muka air tanah mencapai
> 70 cm di bawah permukaan tanah (Aribawa et al, 1990).
Reklamasi telah merubah kondisi tata air dan fluktuasi ketinggian air pasang
sebagaimana yang ditunjukkan hasil pengamatan pada UPT Unit Tatas
(Kabupaten Kapuas, Kalteng), Barambai dan Tabunganen (keduanya termasuk
Kabupaten Batola, Kalsel), yang semuanya merupakan wilayah pengembangan
pasang surut dengan sistem Garpu. Ketinggian pasang tunggal di ujung saluran
sekunder (kolam) pada UPT Unit Tatas (yang berjarak 5,5 km dari muara sungai
Kapuas Murung) hanya mencapai 70 cm, sementara di muara sungai Kapuas
Murung ketinggian air mencapai 200 cm (Vermulst, 1990). Berarti selisih
ketinggian pasang antara muara sungai Kapuas Murung dengan ujung saluran
sekunder (jarak 5,5 km) pada sistem reklamasi Garpu Unit Tatas ini berkisar 130
cm. Ketinggian pasang tunggal di muara sungai Barito mencapai 165 cm,
sementara di ujung sekunder (jarak 8 km) pada sistem reklamasi Garpu Barambai
mencapai 150 cm (Roelse et al. 1986).
Fluktuasi harian pasang pada saluran tersier (berjarak 200 m dari saluran
sekunder dan 3 km dari muara saluran primer) pada UPT Unit Tatas berkisar 40
cm. Tinggi muka air tanah berada pada 54 cm di bawah permukaan tanah
(Aribawa, et al., 1990). Lahan rawa pada UPT Unit Tatas ini dapat digolongkan
sebagai tipe B. Selisih ketinggian pasang tinggi pada UPT Barambai antara
saluran tersier ke 5 dengan muara sungai (berjarak 700 m dari saluran sekunder, 8
km dari muara sungai Barito, atau 60 km dari laut) hanya 165 cm. Fluktuasi harian
pasang mencapai 40 cm (Beek, 1990; Aribawa et al., 1990). Pada saluran tersier
yang sejajar saluran sekunder pada UPT Barambai (berjarak 3 km sebelah Barat
dari sungai Barito) selisih ketinggian pasang mencapai 10 cm. Muka air tanah
maksimum 22 cm, tetapi turun pada musim kemarau mencapai 100 cm di bawah
permukaan tanah (Aribawa et al., 1990). Lahan rawa pada lokasi UPT Barambai
ini, termasuk tipe luapan C. Pasang tunggal maupun pasang ganda dapat
meluapi lahan UPT Tabunganen sampai di lokasi saluran tersier (berjarak 600 m
sebelah utara saluran sekunder dan 10 km dari sungai Barito). Ketinggian
6
genangan atau muka air sekitar 27 cm di atas tanah (genangan) dan paling rendah
3 cm di bawah permukaan tanah. Lahan rawa pada UPT Tabunganen ini termasuk
tipe A. Menurut Kselik (1990) perbedaan permukaan air antara ujung saluran
pengatusan (kolam) dari muara primer/sungai (berjarak 8-10 km) pada reklamasi
Sistem Garpu rata-rata 80 cm.
Perbedaan tipe luapan di atas memberikan konsekuensi diperlukannya
sistem penataan air dan penggunaan lahan atau pola tanam yang spesifik sesuai
dengan kondisi biofisik lingkungan, termasuk kemampuan masyarakatnya.
Misalnya untuk tipe luapan A dan B sesuai atau cocok untuk tanaman pangan
(padi, palawija dan hortikultura), tipe luapan C sesuai untuk tanaman
perkebunan, dan tipe luapan D sesuai untuk tanaman perkebunan terbatas atau
hutan sebagai wilayah konservasi.
III. KONDISI PERTANIAN LAHAN UPT LAMUNTI
3.1. Kondisi Tata Air Makro
Wilayah UPT Lamunti berada dalam sistim tata air yang pada awalnya
ditata dalam sistem satu arah (one way flow system), tetapi akibat infrastruktur
jaringan tata air dan pintu-pintu air yang belum lengkap dan sebagian rusak maka
operasional tata air belum berjalan sepenuhnya (Gambar 1). Jaringan utama
berdasarkan konsep rancangan awal, saluran irigasi dipasok dari SSP (Saluran
Sekunder Pembantu) dari utara ke selatan, dimensi lebar 15 m dalam 3 m. Tegak
lurus SSP terdapat Saluran Sekunder setiap jarak 600-625 m, yakni O1-O2, P1-
P2, Q1-Q2, R1-R2, S1-S2, T1-T2, U1-U2, V1-V2. Saluran sekunder ini berselang-
seling berupa saluran sekunder pemberi (warna biru) dan saluran sekunder
pembuang (warna kuning), dilengkapi dengan pintu air di pangkal Sungai Kapuas
(Gambar 2). Dimensi saluran primer lebar atas 15 m, lebar bawah 10 m, dan
dalam 3 m. Saluran sekunder arah Barat-Timur, terdiri dari sekunder pemberi
(biru) di bagian tanggulnya dibuat untuk jalan diperkeras, sedangkan sekunder
pembuang (kuning) tanggulnya tidak dibuat untuk jalan. Jarak antar saluran
7
sekunder pemberi dengan saluran sekunder pembuang sekitar 2.500 m. Kondisi
sekarang aliran pasang-surut bebas terjadi karena bangunan kontrol pintu air baik
di sekunder maupun di tersier tidak berfungsi. Sistim one way flow dengan
membuat saluran pemberi dan saluran pembuang terpisah tidak berjalan. Usaha
perbaikannya memerlukan waktu lama dan biaya besar. Kesempatan perbaikan
dalam jangka pendek hanya ada di tingkat tersier (Tata Air Mikro).
Kondisi sekarang ketiga pintu air utama tersebut di atas sudah tidak
berfungsi sesuai dengan rancangan awal, karena semua pintu air sudah dirusak,
bahan materialnya berupa besi, plat baja dan kayu ulin dicuri orang. Hal ini
menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam memelihara infrastruktur yang
dibangun sangat rendah. Tipe luapan pasang termasuk pasang ganda dimana
setiap hari terjadi pasang ganda dan pasang tunggal (dua kali pasang dalam 24
jam) . Hasil pengukuran yang dilakukan oleh Tim IPB (2009) menunjukkan rata-
rata muka air maksimum pada musim hujan (MH) lebih tinggi sekitar 50 cm
daripada musim kemarau (MK). Rata-rata muka air minimum pada MH relatif sama
dengan MK. Beda elevasi muka air maksimum dan minimum (amplitudo) sekitar
226 cm pada MK (Agustus-September), sedangkan pada MH sekitar 264 cm
(Desember-Januari). Kondisi ini memperlihatkan bahwa dari segi drainase pada
MK dan terutama pada MH outlet pembuang tidak menjadi penghambat. Beberapa
kasus yang terjadi di blok tersier, pada saat MH air masam masuk ke lahan dan
mematikan tanaman disebabkan oleh tidak lancarnya aliran di saluran tersier
akibat dari tidak terpeliharanya saluran tersebut dari rumput sepanjang saluran
karena lahan sekitarnya masih semak belukar (tak diusahakan). Menahan air di
tersier dengan mengoperasikan pintu air pada saluran tersier berpeluang berhasil
karena beda muka air antara tinggi maksimum dengan minimum pada MK di
sungai Kapuas Murung sekitar 230 cm.
8
Gambar 1. Sistem tata air di daerah Lamunti dan Dadahup (Blok A) Kawasan PLG Sejuta Hektar, Kab. Kapuas, Kalimantan Tengah
Lamunti
Dadahup
9
(saluran sekunder pemberi = biru; saluran sekunder pembuang = kuning)
Gambar 2. Sketsa sistem tata air di Lamunti, Kawasan PLG Sejuta Hektar, Kab Kapuas, Kalimantan Tengah
10
3.2. Kondisi Tata Air Mikro Sebelum Intervensi
Saluran tersier dibuat tegak lurus saluran sekunder juga terdiri dari saluran
tersier pemberi dan saluran tersier pembuang. Pangkal saluran tersier pemberi
bersambung dengan sekunder pemberi dilengkapi dengan pintu air tersier, tetapi
ujungnya tidak bersambung dengan sekunder pembuang. Saluran tersier
pembuang bersambung dengan sekunder pembuang yang dilengkapi dengan
pintu air tersier pembuang, tetapi tidak bersambung dengan sekunder pemberi.
Setiap unit saluran tersier pemberi melayani areal sekitar 325 hektar (kotor) atau
sekitar 300 hektar (bersih). Demikian pula untuk saluran tersier pembuang
melayani areal sekitar 325 hektar kotor atau sekitar 300 hektar bersih. Lahan
usaha antar saluran tersier disebut dengan blok dari Barat ke Timur urut A, B, C,
D, E dan F.. Misal Desa A1 terdiri dari enam blok A, B, C, D, E, dan F. Saluran
kwater dibuat tegak lurus tersier arah Barat-Timur. Satu blok kuarter luas 15
hektar (kotor) atau 14 hektar (bersih), terdiri dari 7 petani. Sebagai contoh di desa
A1 Lamunti Permai, blok F terdiri dari 10 blok kwarter utara F1 – F10, dan 8 blok
kwarter selatan F11 – F18. Dimensi saluran tersier dan kuarter disajikan pada
Tabel.1.
Tabel 1. Dimensi saluran tersier dan kuarter pada UPT Lamunti, Kalteng
Jenis saluran Dimensi dan Jarak Saluran (m)
Lebar Atas
Lebar Bawah Dalam Jarak Antar
saluran Panjang
Saluran tersier 3,5 1,0 1,5 600-625 2.500
Saluran kuarter 1,5 0,5 0,5 200-240 600-625
Pintu air terpasang di ujung atau pangkal saluran tersier terdiri dari tiga tipe.
Tipe-1 berupa pasangan beton dengan pintu sorong ulir vertikal plat baja aliran
underflow, ada jembatan di atasnya. Tipe-2 berupa pasangan beton dengan pintu
skot balok ulin aliran overflow, pintu skot baloknya sudah hilang dicuri orang, tanpa
11
jembatan di atasnya. Tipe-3 badan bangunan precast beton, pintu sorong plat baja
underflow. Hanya saja pintu-pintu air di atas banyak tidak berfungsi dan sebagian
badan bangunan rusak berat. Fungsi pintu air di saluran tersier diharapkan mampu
membuang kelebihan air hujan dan air masam (pH 3-3.5) pada MH di saluran
tersier terbuang ke Sungai. Kapuas Murung. Pada MK menahan air setinggi
mungkin supaya kedalaman air tanah di lahan tidak lebih dari 1 m untuk mencegah
kebakaran lahan. Dengan demikian pintu harus dilengkapi baik di pangkal maupun
di ujung saluran tersier. Pada pintu yang sudah ada dalam kondisi tubuh bangunan
masih baik, dilakukan pergantian daun pintu menjadi overflow precast (tabat),
sedangkan di lokasi yang belum ada atau ada tetapi tubuh bangunannya rusak
berat dibuat pintu baru.
Pengaruh masuknya air pasang ke saluran tersier tergantung pada tipe
hidro-topografi lahan dan jauh-dekat lokasinya ke sungai utama. Umumnya aliran
pasang terjadi lemah di saluran tersier, kecuali di lokasi desa A3. Di lokasi desa ini
aliran air pasang cukup kuat di saluran tersier, tetapi tidak meluap ke permukaan
tanah. Pada musim hujan diharapkan drainase penuh untuk membuang air masam
hasil oksidasi pirit yang terjadi pada musim kemarau, elevasi muka air di saluran
tersier harus dirancang serendah mungkin. Untuk itu di pangkal saluran tersier
harus dilengkapi dengan pintu air otomatik yang menutup pada waktu pasang dan
membuka waktu surut.
Pengelolaan air di tingkat lahan usaha tani (TAM) merupakan faktor kunci
dalam menentukan keberhasilan pengembangan lahan rawa. Tujuannya
mencakup pelayanan pemenuhan kebutuhan air tanaman maupun drainase , dan
kebutuhan pencucian tanah . Termasuk pula diantaranya adalah untuk memacu
proses pematangan tanah, perbaikan atau pelindian (leaching) terhadap asam dan
bahan-bahan beracun serta untuk pengembangan lahan dalam jangka panjang
.Pertumbuhan tanaman yang kurang berhasil sering diakibatkan oleh pengaruh
yang ditimbulkan dari air yang tergenang di lahan dalam waktu yang lama akibat
kurang memadainya sarana untuk proses pelindian maupun tidak adanya
penyegaran air secara periodik . Bagi tanah yang kaya akan kandungan bahan
12
organik kondisi yang demikian itu akan mengarah kepada kondisi anaerobik,
keracunan tanah dan rendahnya kualitas kandungan bahan organik sehingga
kurang sesuai untuk pertumbuhan tanaman yang produktif. Tidak adanya
pengelolaan air di lahan usaha tani yang dilakukan dengan baik disertai dengan
buruknya pengoperasian bangunan-bangunan pintu air maka waktu proses
pematangan untuk mencapai sebagaimana yang diharapkan menjadi semakin
lama.
3.3. Kondisi Lahan Usaha Tani
Kondisi lahan usaha tani UPT Lamunti dapat dipilah dalam kategori (1)
lahan yang terluapi langsung dan (2) tidak terluapi langsung. Pada lahan yang
lebih sering terkena irigasi pasang sasarannya adalah pertanaman padi dua kali
dalam setahun, pada musim kemarau ada kemungkinan perlu menggunakan
pompa agar bisa mencapai hasil pertanian yang optimal. Kondisi yang ada untuk
keperluan pemasukan (supply) air tidak perlu diadakan perubahan. Kalau ada
penambahan hubungan antara saluran tersier dan sub-tersier dengan saluran
sekunder, maka perlu diperhatikan agar semua drainase benar-benar dapat
dikendalikan oleh para petani. Pada lahan yang tidak terkena luapan pasang
(tadah hujan) Sasarannya adalah tanam padi sekali setahun di musim hujan dan
tanaman palawija di musim kemarau
Untuk maksud itu drainase lahan perlu penyempunaan untuk tanaman
palawija di musim kemarau. Pada musim hujan perlu adanya keseimbangan
antara keperluan pelindian (leaching) kandungan racun dari dalam lapisan tanah
dengan keperluan mempertahankan permukaan air d iatas lahan untuk budidaya
tanaman padi. Lahan diusahakan yang tidak ditanami atau menjadi semak
belukar sangat merugikan bagi petani rajin karena rawan terhadap hama dan
bahaya kebakaran pada MK. Kondisi ini menjadi faktor penghambat utama
keberhasilan usahatani di daerah ini. Banyak petani yang telah membuka lahan 2
(dua) hektar untuk kebun karet tetapi habis terbakar pada MK dengan sumber api
berasal dari sekeliling belukar kering lahan yang tidak diusahakan. Beberapa
13
kasus yang terjadi di blok tersier saat MH air masam masuk ke lahan dan
mematikan tanaman disebabkan oleh tidak lancarnya aliran di beberapa ruas
saluran tersier akibat dari tidak terpeliharanya ruas saluran tersebut dari rumput
sepanjang saluran karena lahan sekitarnya masih semak belukar (tak diusahakan).
Total lahan yang dibudidayakan di sembilan desa luasnya 2.050 hektar, dari
total luas lahan yang tersedia 10.133 hektar, persentase lahan yang
dibudidayakan sekitar 20.2%, atau sekitar 79.8% masih semak belukar. Berbagai
alasan yang menyebabkan kecilnya lahan yang dibudidayakan adalah: (a) banyak
transmigran lokal yang tidak tahan dengan kondisi setempat, kemudian
meninggalkan lokasi kembali ke kampung asalnya, mereka hanya datang jika
pohon buah-buahan di kebun pekarangan (rambutan, mangga, cempedak, petai,
kelapa) sedang panen; (b) transmigran daerah asal yang tidak tahan atau betah
dengan kondisi setempat, banyak yang pulang ke daerah asal nya atau bekerja di
kota, umumnya mereka sudah menjual tanahnya (sertifikat hak pakai) ke
transmigran yang masih bertahan di daerah ini atau ke pihak lain; (c) transmigran
yang masih bertahan tidak berani membuka lahannya karena resiko kebakaran
dari semak belukar lahan yang tidak digarap di sekelilingnya. Pola usaha tani dan
penataan lahan dari demplot pada delapan desa yang dipantau disajikan pada
Tabel 2
14
Tabel 2. Pola tanam dan penataan lahan usaha tani desa terpilih, Lamunti,
2009.
No Lokasi UPT/Desa Komoditas Utama dan Pola Tanam Penataan lahan
1 A1- Desa Lamunti Permai
Semangka, jagung manis, nenas, dan singkong – sayuran
Sugihan Kanan, Kab Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Tabel 3).
19
Tabel 3. Hasil penerapan sistem tata air satu arah dan dua arah, Delta Telang, Delta Saleh dan Delta Upang, Sumatera Selatan
Paramter STA Satu Arah STA Dua Arah
pH tanah 5,59 4,33
Daya Hantar Listrik (uS) 159,2 231
Fe (ppm) 23 31
Hasil padi (t GKG/ha) 5,59 2,39
Sumber : Harsono (2010)
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan dan implikasi kebijakan berikut :
1. Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah (1995-1999) yang mengalami hambatan dan kendala, khususnya dalam pemanfaatan dan pengembangan untuk pertanian memerlukan banyak perhatian yang tidak hanya konsep, tetapi juga aksi atau intervensi dalam upaya revitalisasi pertanian di kawasan tersebut.
2. Perbedaan tipe luapan di atas memberikan konsekuensi diperlukannya sistem penataan air dan penggunaan lahan atau pola tanam yang spesifik sesuai dengan kondisi biofisik lingkungan dan kemampuan sosial ekonomi petani. Pemanfaatan lahan pada Sembilan desa masih rendah yang belum termanfaatkan mencapai 79.8% dari luas 10 133 hektar.
3. Pertanian utama adalah tanaman karet yang dikombinasi dengan tanaman sayuran. Hanya ada dua dari sembilan desa yang menanam padi (Menyahi A2 dan Sekata Makmur C3). Hasil usaha tani, khususnya sayuran dan padi umumnya sar hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga, kecuali hasil tanaman karet dan semangka yang dikembangkan cukup luas.
4. Hasil intervensi pintu-pintu air belum menunjukkan dalam peningkatan produktivitas lahan mengingat intensitas hujan yang tinggi pada musim tanam 2009-2010, sementara pintu-pintu air baru terpasang. Oleh karena itu maka diperlukan pemantauan selanjutnya.
hydrology and redox status of acid sulphate soils in Pulau Petak, Indonesia. In AARD-LAWOO. Papers Workshop on Acid Sulphate Soils in The Tropics. p. 88-109.
Balittra. 2001. 40 Tahun Balittra 1961-2001: Perkembangan dan Program Penelitian ke Depan. Balitrtra. Banjarbaru. 84 hlm.
Beek, K.J., Blokhois, W.A., Driessen, P.M., Breemen, N. V. dan Pons, L.J. 1980. Problem Soils: Reclamatiuon and management. In Land Reclmation and Water Management. ILRI Publ. 27. Wageningen. The Netherland. P. 43-72.
Ismail, G.I., Alihamsyah, T., Widjaja Adhi, IPG., Suwarno, Herawati, T., Tahir, R. dan Sianturi, D.E. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa 1985-1993. Proyek SWAMPS II. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor/Jakarta. 128 hlm.
Harsono, E, 2010. Optimalisasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut. Seminar Sehari, 12 Juni 2010 Studi Magister Sains Teeknik Sipil, UNLAM, Banjarmasin
Kosman, E. dan Jumberi, A. 1996. Tampilan potensi usahatani di lahan rawa lebak. Dalam B. Prayudi et al. (eds). Pros. Seminar Teknologi Sistem Usahatani Lahan Rawa dan Lahan Kering. Buku I. Balittra. Banjarbaru. Hlm : 75-90.
Kselik, R.A.L. 1990. Water management on acid sulphate soils at Pulau Petak, Kalimantan. In AARD-LAWOO. Paper Workshop on Acid Sulphate Soils in The Humid Tropics, November, 20-22, 1990. AARD-LAWOO. Bogor/Jakarta. p. 249-276.
Noor, M. 2004. Lahan Rawa: Sifat dan Pengelolaan Tanah Bermasalah Sulfat Masam. Rajawali Pers. Jakarta. 241 hlm.
Noorsyamsi, H. dan Hidayat, M. 1976. The tidal swamp rice culture in South Kalimantan. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor 10:1-18.
Pons, L. J., Breemen, N. V., and P.M. Driessen. 1986. Physiography of coastal sediment and development of potential soil acidity. In Acid Sulphate Weathering. SSSA Special Publ. No. 10. Madison. Wisconsin. USA. p. 1-18.
Roelse, K., Verwey, S.A., Stuip, J., Vries de., Kerssens, PJM., dan Suryadi. 1986. Water quantity and quality aspect of kolam systems in Kalimantan. In Symp. on Lowland Development in Indonesia: Research Paper, 24-31 August 1986. Jakarta. p. 35-54..
Vermulst. H. 1990. Hydrolic survey in the kolam system Unit Tatas, Sci. Report No. 27. LAWOO-AARD, ILRI,. Wageningen. the Netherland. 163 p.
Widjaja Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.