Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 3 (2019): 517-546 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no3.2186 PENGATURAN PERTANGGUNGJAWABAN MUTLAK WAJIB PAJAK DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KEADILAN DAN KEMANFAATAN UMUM Henry Dianto Pardamean Sinaga* * Pegawai Kanwil DJP Kalimantan Barat Korespondensi: [email protected]Naskah dikirim: 05 Juli 2017 Naskah diterima untuk diterbitkan: 2 Oktober 2018 Abstract The increasing of tax evasion and tax avoidance, due to lack of taxpayer’s liability regulation in tax legislation, has been very detrimental to state revenues. Based on normative juridical research with descriptive-comparative-prescriptive approach which has been done, it is concluded that the regulation of strict liability of taxpayers of Indonesia can: 1) fulfill the sense of justice in terms of equality and or fairness as long as it meets the condition that reflects of material justice and formal justice which must be regulated explicitly in tax legislation; and 2) provide public benefit to the state in handling the social welfare and regulation offences and or in handling the rise of abnormally dangerous behaviors that require a due care standard in the taxpayer’s business environment. It is recommended to be explicitly set about the criteria of strict liability and widening the defenition of any person, including individual and corporation, in tax legislation. Keywords: Strict Liability, taxpayer, justice, public benefit, regulation. Abstrak Maraknya penggelapan pajak dan penghindaran pajak akibat belum maksimalnya penerapan pertanggungjawaban Wajib Pajak dalam peraturan pajak telah merugikan penerimaan negara. Berdasarkan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan deskriptif – komparatif – preskriptif yang telah dilakukan disimpulkan bahwa pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia: 1) dapat memenuhi rasa keadilan dari segi kesamaan dan atau kewajaran sepanjang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan pajak, dan 2) dapat memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas maraknya pelanggaran peraturan kesejahteraan dan atau maraknya perilaku tertentu yang memerlukan suatu standar kehati-hatian dalam lingkungan bisnis Wajib Pajak. Disarankan agar diatur secara eksplisit tentang kriteria pertanggungjawaban mutlak dan tentang perluasan definisi setiap orang, termasuk manusia alami dan badan hukum, dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Kata Kunci: Pertanggungjawaban mutlak, wajib pajak, keadilan, kemanfaatan umum, pengaturan.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 3 (2019): 517-546
understanding-13042016 >, diakses tanggal 15 Juni 2017. 3 The International Consortium of Investigative Journalists, Panama Papers the Power Players,
<https://panamapapers.icij.org/the_power_players/>, diakses tanggal 15 Agustus 2016. 4 Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), 2015, “Explanatory
Statement, OECD/G20 Base Erosion and Profit Shifting Project”, <www.oecd.org/tax/beps-
explanatory-statement-2015.pdf>, hal. 4. 5 Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia Nomor 2239 K/PID.SUS/2012, 18
Desember 2012. 6 Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 156/PID/2014/PT. DKI tanggal 18 Agustus 2014. 7 Jahanzeb Naseer, “Tax Amnesty-the Process, Impact and Implications,” <https://plus.credit-
suisse.com/researchplus/ravDocView?docid=axcnwb, diakses pada tanggal>, diakses tanggal 11
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 519
Selain itu, terjadinya tax evasion dan tax avoidance ini disebabkan adanya
manfaat yang diterima oleh pihak-pihak tertentu WP yang dalam hubungan keagenan8
(agency relationship) dikenal sebagai pihak prinsipal 9 (principal). Manfaat yang
diterima oleh prinsipal ini tidak dapat terlepas dari dukungan dan atau bantuan
pegawainya atau dikenal dengan istilah agen 10 (agent) 11 yang merupakan
“gatekeeper”, pihak yang bertanggungjawab kepada prinsipal dalam mencegah
terjadinya pelanggaran dalam kegiatan usaha.12 Hal ini ditegaskan oleh Laffont dan
Tirole 13 dan Privileggi et.al 14 yang menyatakan bahwa “gatekeeper”, demi
kepentingan prinsipal, berperan dalam penghindaran pajak dengan melakukan
manipulasi akuntansi, kemudian Chyz dan White15 dan Desai dan Dharmapala16 juga
menegaskan bahwa terjadinya penghindaran pajak sangat berhubungan dengan kinerja
pembukuan dan tata kelola perusahaan yang merupakan upaya manajerial dalam
meningkatkan nilai perusahaan yang pada dasarnya akan dinikmati oleh para
pemegang saham.
2. Pokok Permasalahan
Mengingat berkembangnya tax evasion dan tax avoidance baik dalam skala
internasional maupun skala nasional yang manfaatnya dinikmati oleh prinsipal tertentu
dengan memanfaatkan agen, terdapatnya pengaturan pengenaan sanksi administrasi
pajak dan atau sanksi pidana pajak, dan adanya semangat untuk melakukan
penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara dari sektor
pajak melalui alternatif penerapan strict liability, maka sangat penting agar badan
yudikatif dan legislatif mempertimbangkan perluasan cakupan pertanggungjawaban
mutlak WP dengan tetap didasarkan pada perspektif keadilan dan kemanfaatan umum
di Indonesia. Terdapat 2 (dua) permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini.
Pertama, bagaimana pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam
perspektif keadilan hukum di Indonesia? Kedua, bagaimana pengaturan
pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak dalam perspektif kemanfaatan umum di
Indonesia?
II. METODE PENELITIAN
Penulisan ini menggunakan bentuk yuridis normatif, yakni menginventarisir dan
mengidentifikasi peraturan perundang-undangan, hukum in concreto, asas hukum, dan
8 Bryan A. Garner (Ed), Black’s Law Dictionary, (St. Paul, West Publishing Co., 2004), hal. 67.
Black’s Law Dictionary menegaskan definisi keagenan sebagai “a fiduciary relationship created by
express or implied contract or by law, in which one party (the agent) may act on behalf of another party
(the principal) and bind that other party by words or actions”. 9 Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 1230. Black’s Law Dictionary menegaskan definisi prinsipal
sebagai “one who authorizes another to act on his or her behalf as an agent”. 10 Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 68. Black’s Law Dictionary menegaskan definisi agen sebagai
“one who is authorized to act for or in place of another; a representative”. 11 Fabio Privileggi, Carla Marchese, dan Alberto Cassone, Agent’s Liability versus Principal’s
Liability when Attitudes Toward Risk Differ, “International Review of Law and Economics”, Vol. 21,
No. 2, 2001, 181-195, hal. 181 dan 182. 12 Reinier H. Kraakman, Gatekeepers: The Anatomy of a Third-Party Enforcement Strategy,
“Journal of Law, Economics, and Organization”, Vol. 2, No. 1, 1986, 53-104, hal. 53. 13 Jean-Jacques Laffont dan Jean Tirole, Cost Padding, Auditing and Collusion, “Annales
d’Economie et de Statistique”, No. 25/26, 1992, 205-226, hal. 206. 14 Fabio Privileggi, Carla Marchese, dan Alberto Cassone, Op.cit, hal. 182. 15 James A. Chyz dan Scott D. White, The Association between Agency Conflict and Tax
Avoidance: A Direct Approach, “Advances in Taxation”, Vol. 21, 2014, 107-138, hal. 133. 16 Mihir A. Desai dan Dhammika Dharmapala, Corporate Tax Avoidance and Firm Value, “The
Review of Economics and Statistics”, Vol. 91, No. 3, Agustus 2009, 537-546, hal. 546.
520 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
perbandingan hukum terkait pertanggungjawaban mutlak WP dalam perspektif
keadilan dan kemanfaatan hukum di Indonesia berdasarkan bahan pustaka (data
sekunder) yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.17 Bahan hukum
primer mencakup bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat berupa peraturan
perundang-undangan. Bahan hukum sekunder mengacu pada rancangan undang-
undang, textbooks, pendapat ahli hukum, artikel, hasil-hasil seminar, dan hasil
penelitian di bidang hukum dan perpajakan. Sedangkan bahan hukum tersier mengacu
pada bahan-bahan yang menunjang informasi bahan hukum primer dan sekunder
seperti sumber internet, kamus, encyclopedia, dan bahan- bahan hukum tersier lain.
Data sekunder yang diperoleh diteliti dengan pendekatan deskriptif – komparatif
- preskriptif18 dan dianalisis dengan kritis secara yuridis kualitatif, yaitu berdasarkan
perundang-undangan yang tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang
lain, dengan memperhatikan hierarki perundang-undangan, mewujudkan kepastian
hukum, mencari hukum yang hidup di dalam masyarakat, baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis.19 Untuk dapat memperoleh penyelesaian terhadap permasalahan
yang dihadapi, dilakukan penalaran hukum (legal reasoning) yang menurut Visser ‘t
Hooft harus berlangsung dalam kerangka tiga acuan dasar, yakni hukum yang
memiliki otoritas yang menjamin adanya kepastian hukum dan prediktabilitas
(positivitas), hukum yang mempunyai daya kerja yang dapat mencegah dan
menanggulangi adanya inkonsistensi dan kontradiksi internal dalam tata hukum
(koherensi), dan hukum yang dapat diterima oleh para pihak dan juga oleh masyarakat
(keadilan). 20 Kemudian data sekunder yang telah disusun secara sistematis akan
disimpulkan, dan diusulkan saran-saran yang membangun.
III. HASIL PENELITIAN
1. Pertanggungjawaban Mutlak dan Gambaran Umum Wajib Pajak di
Indonesia
Konsep pertanggungjawaban (liability) berhubungan dengan konsep kewajiban
hukum terhadap seseorang yang dikatakan secara hukum bertanggung jawab atas suatu
perbuatan tertentu sehingga terhadapnya dapat dikenakan sanksi tertentu bila
melakukan perbuatan yang melawan hukum21 yang tidak hanya dikenakan terhadap
yang melakukan pelanggaran tetapi juga terhadap setiap orang yang secara hukum
terkait dengannya.22
Tentang pertanggungjawaban, Hans Kelsen mengemukakan bahwa dalam teori
tradisional terdapat dua jenis tanggung jawab (atau pertanggungjawaban), yaitu
tanggung jawab berdasarkan kesalahan dan tanggung jawab mutlak,23dimana Jeremiah
Smith mengistilahkan pertanggungjawaban dalam hukum dengan causes of personal
action yang meliputi tiga perbuatan berikut: “1) breach of genuine contract, 2) tort in
the sense of fault, 3) a third class comprising cases of so called “absolute liability”,
17 Soerjono Soekanto et al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
PT. Rajagrafindo Persada, 2007), hal. 13 dan 14. 18 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2010), hal. 9 dan 10. 19 Ibid., hal. 52 dan 53. 20 Bernard Arief Sidharta, 2009, “Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal
dan Dogmatikal”, dalam Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed.), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi
dan Refleksi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, hal. 144 dan 145. 21 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2006), hal. 61. 22 Ibid., hal. 63. 23 Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, penerjemah Raisul Muttaqien
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 521
i.e., cases where there is neither breach of genuine contract or fault, and yet
liability”.24 Selanjutnya dalam menganalisis pertanggungjawaban, menurut George P.
Fletcher, diperlukan dua paradigma yang sangat berbeda, yaitu paradigma timbal balik
(the paradigm of reciprocity) dan paradigma kepatutan (the paradigm of
reasonableness) yang merepresentasikan suatu pandangan yang kompleks tentang (1)
standar pertanggungjawaban yang tepat, (2) ciri khas legal reasoning yang tepat, dan
(3) hubungan antara pemecahan permasalahan pertikaian individu dan kesejahteraan
masyarakat.25 Berdasarkan paradigma timbal balik, terdapat dua isu sentral dalam tort
law, yaitu bagaimana hak korban untuk mendapatkan ganti rugi dan bagaimana
kewajiban pelaku pelanggaran untuk memberikan ganti rugi, merupakan permasalahan
yang berbeda, yang masing-masing dapat diselesaikan tanpa melihat lebih jauh dari
kasus tersebut.26 Sedangkan paradigma kepatutan merepresentasikan suatu penolakan
dari nilai-nilai yang non-instrumentalist dan suatu komitmen kepada kesejahteraan
masyarakat sebagai kriteria dalam menetapkan siapa yang berhak untuk menerima dan
siapa yang harus membayar kompensasi. Kepatutan ditetapkan oleh keseimbangan
langsung dari biaya dan manfaat dimana jika risiko menghasilkan suatu manfaat
kemasyarakatan maka korban dianggap tidak berhak mendapatkan hak pemulihan
sedangkan jika risikonya menghasilkan suatu ketidakmanfaatan kemasyarakatan maka
korban berhak untuk mendapatkan pemulihan.27 Khusus perihal pertanggungjawaban
mutlak, berdasarkan beberapa literatur kepustakaan, juga dikenal dalam beberapa
istilah yang sudah umum yaitu “no-fault liability” atau “liability without fault” atau
“absolute liability” atau “strict liability” atau prinsip pertanggungjawaban tanpa harus
membuktikan adanya kesalahan.28
Terdapat pemikiran beberapa tokoh, baik yang berasal dari luar negeri maupun
dari Indonesia, yang menguraikan pendapatnya tentang pertanggungjawaban mutlak
berdasarkan masing-masing perspektif. Fleming James, dalam menangani pertanyaan
dalam hal bagaimana para pabrikan (manufacturers) seharusnya menjadi
bertanggungjawab tanpa kelalaian, memperluas jangkauan strict liability dalam tort
law, dengan menyatakan:
“strict liability is to be preferred over a system of liability based on fault
wherever you have an enterprise or activity, beneficial to many, which takes a
more or less inevitable accident toll of human life and limb. This is true at least
where the accident victims are as a class economically ill-equipped to carry the
burden of serious accident losses.”29
Richard A. Posner menjelaskan bahwa terdapat berbagai jenis konsep strict
liability yang digunakan untuk memecahkan permasalahan hukum terhadap
penggunaan sumber daya, namun pada intinya pertanggungjawaban ini merupakan
gagasan tentang seseorang yang merugikan orang lain yang harus dibebani tanggung
jawab walaupun pelaku lalai atau tidak merasa bersalah. 30 Kemudian Richard A.
24 Jeremiah Smith, Tort and Absolute Liability: Suggested Changes in Classification, “Harvard
Law Review”, Vol. 30, No. 3, Januari 1917, 241-262, hal. 256. 25 George P. Fletcher, Fairness and Utility in Tort Theory, “Harvard Law Review”, Vol. 85, No.
3, January 1972, 537-573, hal. 540 dan 542. 26 George P. Fletcher, Op.cit, hal. 540. 27 George P. Fletcher, Op.cit, hal. 542. 28 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana,
2010), hal. 107. 29 Fleming James, Jr., General Products-Should Manufacturers be Liable without Negligence?,
“Tennesse Law Review”, Vol. 24, No. 7, 1957, 923-927, hal. 923. 30 Richard A. Posner, Strict Liability: A Comment, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 2, No. 1,
Januari 1973, 205-221, hal. 205.
522 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
Posner menyimpulkan: (1) teori ekonomi tidak memberikan dasar, secara umumnya,
untuk lebih memilih strict liability terhadap kelalaian (negligence), atau negligence
terhadap strict liability, asalkan beberapa versi dari suatu pembelaan contributory
negligence diakui, (2) suatu standar strict liability tanpa suatu pembelaan contributory
negligence, kurang efisien dibandingkan standar kelalaian negligence-contributory.31
Steven Shavell menjelaskan bahwa strict liability merupakan salah satu contoh
yang terpenting dalam membantu menjelaskan ciri khas tertentu tort law, yang
diterapkan pada kegiatan-kegiatan yang sangat berbahaya. Hal ini disebabkan adanya
dua karakteristik strict liability, yakni:
“First, they are such that injurer activity has a distinctive aspect (which makes
the activity easy for the law to single out) and imposes nonnegligible risks on
victims (which make the activity worthwile controlling). And, second, they are
such that victim activity is usually not at all special - on the contrary, it is
typically entirely routine in nature, part of what it is to carry on a normal life
and is therefore activity that cannot and ought not be controlled.”32
Menurut Keith N. Hylton, strict liability merupakan pondasi kesejahteraan
(welfare) yang tepat karena yang melakukan perbuatan melawan hukum (tortfeasor)
yang berpotensi menerima lebih banyak risiko dibandingkan pelaku khasnya (yang
ternyata tidak menerima manfaat tambahan). Selanjutnya, Keith N. Hylton
mengaplikasikan aktivitas berbahaya yang tidak normal (abnormally dangerous
activities) dalam konteks strict liability yang telah dikodifikasi dalam Pasal 520
Restatement (Second) of Torts yang berbunyi: 33
“In determining whether an activity is abnormally dangerous, the following
factors are to be considered: (a) existence of a high degree of risk of some harm
to the person, land, or chattels of others; (b) likelihood that the harm that results
from it will be great; (c) inability to eliminate the risk by the exercise of
reasonable care; (d) extent to which the activity is not a matter of common
usage; (e) inappropriateness of the activity to the place where it is carried on
and; (f) extent to which its value to the community is outweighed by its
dangerous attributes”.
Kemudian Harvey Wallace dan Cliff Roberson menjelaskan bahwa secara
tradisional, kejahatan mala in se membutuhkan adanya maksud (intent) baik secara
umum maupun secara spesifik. Namun dalam kejahatan mala prohibita, tidak
dibutuhkan pembuktian adanya kesalahan, yang dikenal sebagai pelanggaran “strict
liability”, karena buktinya hanya semata-mata berupa perbuatan yang dilakukan
adalah memadai untuk menghukum seseorang. Selanjutnya, Harvey Wallace dan Cliff
Roberson menegaskan tentang strict liability dengan penjelasan berikut:
“No culpability or state of mind need be proven. Strict liability crimes often
involve one of the following types of conduct: selling impure or adulterated food,
selling prohibited beverages to minors, selling articles that are misbranded, and
driving without a license.”34
31 Ibid., hal. 221. 32 Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, “The Journal of Legal Studies”, Vol. 9, No.
1, Januari 1980, 1-25, hal. 24. 33 Keith N. Hylton, A Positive Theory of Strict Liability, “Review of Law and Economics”, Vol.
4, No. 1, 2008, 153-181, hal. 171. 34 Harvey Wallace dan Cliff Roberson, Principles of Criminal Law, (New Jersey: Pearson
Education, 2012), hal. 45.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 523
Dalam hubungan dengan tort law, Lucy Jones menguraikan pendapatnya tentang
strict liability sebagaimana dikutip pada uraian berikut:
“The Law of Torts covers a range of different civil wrongs including negligence,
trespass, nuisance, and defamation. Each tort has its own rules about liability
but most torts require an element of culpability, which means that liability is
only imposed on a person who intentionally or negligently acts or fails to act in
a particular manner. However, there are some torts, called strict liability torts,
that impose liability on a person even though they have not been at fault in any
way.” 35
Selain pendapat dari beberapa ahli dari luar negeri, beberapa ahli hukum di
Indonesia juga mengemukakan pendapatnya tentang strict liability. Etty Utju R.
Koesoemahatmadja berpendapat bahwa kemunculan doktrin strict liability adalah
merupakan salah satu alternatif dalam melakukan penanggulangan tindak pidana
badan hukum dimana tanggung jawab ini tidak memiliki keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan karena didasarkan alasan seperti untuk menjamin
dipatuhinya peraturan-peraturan penting tertentu untuk kesejahteraan sosial, sulitnya
membuktikan mens rea (niat melakukan) dalam pelanggaran-pelanggaran terkait
kesejahteraan sosial, dan tingginya bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan. 36 Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa doktrin
pertanggungjawaban mutlak merupakan pertanggungjawaban pidana badan hukum
yang semata-mata berdasarkan undang-undang (UU) yang pengenaannya adalah
terhadap badan hukum yang melanggar atau tidak memenuhi kewajiban/kondisi/situasi
tertentu sebagaimana telah ditentukan oleh UU.37 Chairul Huda berpendapat bahwa
walaupun strict liability merupakan pertanggungjawaban terhadap pembuat tindak
pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya, namun
pertanggungjawaban pidana tetap berdasar kesalahan karena kesalahan dipandang
tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik namun tidak harus dibuktikan.38
Selanjutnya Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa, pada umumnya baik pada hukum
pidana di Inggris dan di sebagian negara bagian di Amerika Serikat,
pertanggungjawaban pidana mutlak diberlakukan terhadap pelanggaran yang termasuk
“welfare offences” atau “regulatory offences” dimana ketentuan untuk dapat
diberlakukannya mencakup: a). tidak untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman
berat, b). ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan; b). adanya “mens rea” yang
akan menghambat tujuan perundangan sehingga menurut UU yang berlaku, “mens-
rea” secara kasuistis tidak perlu dibuktikan, c) merupakan kejahatan yang dilakukan
secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-hak orang lain.39
Selain berperan pentingnya pertanggungjawaban dalam mereduksi bahaya
ataupun kerugian dimana yang melakukan pelanggaran dituntut harus membayar
kerugian yang terjadi, maka hal ini juga berhubungan dengan pajak, yang menurut A.
C. Pigou, dapat dipergunakan sebagai sarana mengawasi aktivitas yang berpotensi
35 Lucy Jones, Introduction to Business Law, (Oxford: Oxford University Press, 2013), hal. 344. 36 Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi: Penegakan Hukum Terhadap Pelaku
Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hal. 66
dan 67. 37 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, 2010), hal. 251. 38 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 86 dan 87. 39 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, (Jakarta: Penerbit Fikahati
Aneska, 2009), hal. 102 dan 103.
524 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
menghasilkan bahaya, seperti terjadinya polusi. 40 Pendapat ini kemudian
dikembangkan oleh Steven Shavell dengan menggabungkan perbaikan pajak
(corrective taxes) dan liability, namun tetap harus memperhatikan dua poin yang harus
menjadi catatan dalam pelaksanaannya. Pertama, terdapat suatu manfaat umum akan
penggabungan corrective taxes dan liability, karena masing-masing kebijakan ini
dapat mengkompensasi permasalahan-permasalahan yang terdapat satu sama lain.
Kedua, terdapatnya dua kali pengenaan pembayaran kerugian yang timbul jika
corrective taxes dan liability dikenakan bersamaan.41 Khusus dalam hal menekankan
hubungan strict liability dengan corrective tax, Steven Shavell menyatakan:
“The argument regarding the efficiency of strict liability is similar to that
regarding the efficiency of the corrective tax. Namely, if potential injurers face a
choice about any dimension of their behavior, they will make this choice taking
into account its influence on the expected harm, because they will have to pay
for the actual harm.”42
Lebih lanjut dalam hal ketentuan perpajakan di Indonesia, posisi
pertanggungjawaban pajak identik dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan
yang penyebutannya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan perpajakan
terkait. UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP) menegaskan dengan sebutan WP,43 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh) menegaskan dengan sebutan subjek pajak,44 UU No. 42 Tahun
2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah (UU PPN) menegaskan dengan sebutan PKP,45 dan UU No. 19 Tahun
2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU PPSP) menyebutkan
Penanggung Pajak. 46 Dalam hal setiap WP, baik WP Orang Pribadi maupun WP
Badan, telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif 47 sebagai WP wajib
mengisi, menandatangani dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan
benar, lengkap, dan jelas.48 WP dapat menunjuk seorang kuasa khusus dengan surat
kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT.49 Dalam hal WP Badan, SPT
harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi50 atau seorang kuasa dengan surat
kuasa khusus. Adapun yang menjadi wakil WP, yaitu pengurus dalam hal WP Badan,
bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang
40 Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability, “The American Economic Review”, Vol.
101, No. 3, Mei 2011, 273-276, hal. 273. 41 Steven Shavell, Corrective Taxation versus Liability as a Solution to the Problem of Harmful
Externalities, “The Journal of Law and Economics”, Vol. 54, No. 4, Markets, Firms, and Property
Rights: A Celebration of the Research of Ronald Coase, Nopember 2011, S249-S266, hal. S263 dan
S264. 42 Steven Shavell, Op.cit, S249-S266, hal. S258. 43 Pasal 1 angka (2) UU KUP mendefenisikan Wajib Pajak sebagai orang pribadi atau badan
yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. 44 Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa subjek pajak terdiri dari subjek
pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri yang meliputi orang pribadi, warisan yang belum
terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap (BUT). 45 Pasal 1 angka (15) UU PPN mendefenisikan PKP sebagai Pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak
berdasarkan UU PPN. 46 Pasal 1 angka (28) UU KUP dan Pasal 1 angka (3) UU PPSP mendefenisikan Penanggung
Pajak sebagai orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk
wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban WP sesuai dengan ketentuan perpajakan. 47 Pasal 2 ayat (1) UU KUP. 48 Pasal 4 ayat (1) UU KUP. 49 Pasal 4 ayat (3) UU KUP. 50 Pasal 4 ayat (2) UU KUP.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 525
terutang.51 Namun tanggung jawab renteng tersebut dapat dikecualikan apabila wakil
WP tersebut dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya,
menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.52
Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng
Wakil WP tersebut atas pembayaran pajak yang terutang menunjukkan bahwa
pertanggungjawaban atas pembayaran pajak dapat dipertanggungjawabkan kepada
pihak lain yang tidak melakukan perbuatan melanggar hukum secara langsung, yang
berhubungan erat dengan WP Badan tersebut, seperti komisaris dan atau pemegang
saham mayoritas atau pengendali dan atau orang yang berwenang menentukan
kebijakan dan atau mengambil keputusan dalam perusahaan dan atau berwenang
menandatangani kontrak/perjanjian dan atau cek/giro korporasi.53
2. Nilai-Nilai Hukum dalam Pengaturan Pertanggungjawaban Pajak
Pertanggungjawaban pajak merupakan salah satu pokok persoalan dalam hukum
pajak yang harus dipahami setiap WP dalam menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya karena berhubungan erat dengan sanksi yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 54 Peraturan perundang-
undangan perpajakan yang dimaksud, idealnya adalah merupakan perwujudan
rumusan kaidah-kaidah hukum yang sangat berhubungan dengan kecenderungan-
kecenderungan yang ada pada masyarakat. 55 Sehingga, agar peraturan
pertanggungjawaban pajak tetap memiliki validitas dalam masyarakat atau WP
melalui adanya kekuasaan (power) dari negara untuk memberlakukannya, maka
pengaturan tersebut harus mengandung nilai-nilai hukum, sebagaimana menurut
Gustav Radbruch, yang harus mencakup kemanfaatan umum (public benefit),
kepastian hukum (legal certainty), dan keadilan (justice). 56
Perlunya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan adalah merupakan salah satu perwujudan dari positivisme
hukum yang dapat menciptakan kepastian hukum, yang juga harus sejalan dengan
nilai-nilai hukum lainnya yaitu kemanfaatan dan keadilan. Hal ini ditegaskan Gustav
Radbruch dengan menyatakan:
“Obligation and legal validity must be based, rather, on a value inherent in the
statute. To be sure, one values come with every positive-law statute without
reference to its content: Any statutes is always better than no statute at all, since
it at least creates legal certainty. But legal certainty is not the only value that
law must effectuate, nor is it the decisive value. Alongside legal certainty, there
are two other values: purposiveness and justice.”57
Bahkan di negara yang menganut tradisi common law seperti Amerika Serikat,
pengaturan secara tertulis suatu hukum tetap dibutuhkan, sebagaimana Langdell, yang
dikutip dalam Jeremiah Smith, menyatakan:
51 Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP 52 Penjelasan Pasal 32 ayat (2) UU KUP. 53 Penjelasan Pasal 32 ayat (4) UU KUP. 54 V. Lee Hamilton, Who is Responsible? Toward a Social Psychology of Responsibility, “Social
Publishing, 2009), hal. 1 dan 31. 56 Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, penerjemah Bonnie Litschewski Paulson
dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006, 13-15, hal. 13 dan 14. 57 Gustav Radbruch, Statutory Lawlesness and Supra-Statutory Law (1946), penerjemah Bonnie
Litschewski Paulson dan Stanley L. Paulson, “Oxford Journal of Legal Studies”, Vol. 26, No. 1, 2006,
1-11, hal. 6.
526 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
“Strictly, every obligation is created by the law. When it is said that a contract
creates an obligation, it is only meant that the law annexes an obligation to
every contract. A contract may be well enough defined as an agreement to which
the law annexes an obligation”, 58
dan Corbin menyatakan “All enforcible obligations are created by law”.59 Kemudian
Gilbert Sandler, dalam kaitannya dengan implikasi pada perusahaan industri, juga
menegaskan:
“The proposed legislation would be a major improvement over the present strict
liability scheme. A wider distribution of losses would be accomplished, and the
harsh secondary effects of strict liability in competitive industries would be
alleviated by the proposed scheme of recouping losses either directly from
consumers or from society as a whole”.60
Dalam tradisi civil law, adanya pengaturan pertanggungjawaban pajak dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan adalah merupakan mekanisme yang sudah
umum yang memang dengan tegas memformalkan prosedur-prosedur hukumnya untuk
menjamin keakurasian keadilan dan untuk mencegah terjadinya subversi terhadap
keadilan, serta dapat meminimalisasi diskresi yang dilakukan aparatur pemerintahan
dan pengadilan pada saat penegakan peraturan perundang-undangan tersebut.61 Begitu
juga dengan pengaturan pertanggungjawaban pajak terkait strict liability,
pengadopsian nilai-nilai hukum Gustav Radbruch sejalan dengan dua asas pajak dari
empat asas yang dikemukakan oleh Adam Smith62 yakni, asas kesamaan (equality) dan
asas kepastian (certainty).63 Asas equality menekankan bahwa pengenaan pajak harus
bersikap adil, tidak diskriminatif, serta pengenaannya harus seimbang sesuai dengan
kemampuan subjeknya, sedangkan asas certainty menegaskan bahwa semua
pemungutan pajak harus terang/pasti baik mengenai subjek pajak, objek pajak, tarif
pajak, waktu pembayaran pajak, dan sebagainya.64
3. Prinsip Keadilan Dan Kemanfaatan Umum Dalam Pertanggungjawaban
Pajak
Pengaturan merupakan salah satu perwujudan dari positivisme hukum yang
dapat menciptakan kepastian hukum. Namun pengaturan pertanggungjawaban pajak
dalam suatu negara, khususnya di Indonesia, dapat menimbulkan potensi untuk saling
bertentangan antara keadilan dengan kemanfaatan karena adanya tuntutan dan atau
muatan yang berlainan di dalam pelaksanaanya. Sehingga sangat dibutuhkan alternatif
penyelesaian yang berhubungan erat dengan pendalaman yang mendasar terhadap
nilai-nilai hukum berupa keadilan dan kemanfaatan umum yang diterapkan di bidang
perpajakan yang dapat menjawab permasalahan pengaturan pertanggungjawaban
mutlak WP sebagai salah satu pondasi kepatuhan pajak yang memperkuat sistim
perpajakan di Indonesia
58 Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 257. 59 Jeremiah Smith, Loc.cit. 60 Gilbert Sandler, Strict Liability and the Need for Legislation, “Virginia Law Review”, Vol. 53,
4, 2005, 439-451, hal. 445. 62 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, (Hampshire,
UK: Harriman House Ltd, 2007), hal. 535. 63 Ibid., hal. 536-537. 64 Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2010), hal.
27 dan 28.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 527
Keadilan merupakan kebajikan yang paling utama dari suatu institusi sosial,65
termasuk otoritas pajak, yang hanya dapat dipahami jika diposisikan sebagai situasi
yang harus direalisasikan oleh hukum melalui proses yang dinamis. 66 Terdapat
beberapa pendapat tokoh penting tentang keadilan yang perlu untuk lebih dipahami
dalam kaitannya dengan pengaturan pertanggungjawaban.
Socrates berpendapat bahwa hukum merupakan tatanan yang mengutamakan
kebajikan dan keadilan umum dalam konteks mutu pribadi individu warga polis
(negara). Hukum bukanlah aturan yang dibuat untuk melanggengkan nafsu orang kuat,
bukan pula aturan untuk memenuhi naluri hedonisme diri. Hukum, sejatinya adalah
tatanan obyektif untuk mencapai kebajikan dan keadilan umum.67
Aristoteles menegaskan bahwa hukum tidak akan pernah dapat menjadi sangat
adil68 sehingga permasalahan keadilan hukum harus dipahami dari segi kesamaan yang
terdiri dari tiga keadilan yaitu keadilan berbasis kesamaan (cummulative), keadilan
distributif (distributive), dan keadilan korektif (remedial). 69 Keadilan kumulatif
mencakup dua kesamaan yaitu kesamaan numerik, yang melahirkan prinsip “semua
orang sederajat di depan hukum”, dan kesamaan proporsional, yang melahirkan
prinsip: “memberi tiap orang apa yang menjadi haknya”. Keadilan distributif identik
dengan keadilan atas dasar kesamaan proporsional. Sedangkan keadilan korektif
bertugas membangun kembali kesetaraan dengan berfokus pada pembetulan sesuatu
yang salah. 70 Ketidakmampuan hukum untuk berlaku adil juga disikapi oleh John
Rawls dengan mengkonsepsikan keadilan dari sisi fairness dengan menegaskannya
dalam dua prinsip yang mengekspresikan keadilan berdasarkan tiga pemikiran
kompleks berupa kebebasan (liberty), persamaan (equality), dan penghargaan (reward)
atas kontribusi pelayanan untuk kebaikan umum. Kedua prinsip tersebut mencakup:
“First, each person participating in a practice, or affected by it, has an equal
right to the most extensive liberty compatible with a like liberty for all; and
second, inequalities are arbitrary unless it is reasonable to expect that they will
work out for everyone's advantage, and provided the positions and offices to
which they attach, or from which they may be gained, are open to all”.71
Lebih lanjut tentang kemanfaatan, Paul W. Taylor menyatakan bahwa
kemanfaatan dapat digabungkan dengan keadilan untuk menegakkan suatu kondisi
yang memadai untuk dapat membenarkan suatu aturan kemasyarakatan ketika
kemanfaatan dan keadilan tersebut dapat beroperasi sebagai kriteria yang independen
dan walaupun tetap memperlihatkan hasil yang tidak konsisten.72 Namun, bilamana
dalam suatu peraturan terdapat konflik antara keadilan dengan kemanfaatan, keadilan
semestinya lebih terprioritaskan dari kemanfaatan karena begitu suatu aturan atau
suatu tindakan tidak dapat memenuhi suatu kondisi yang mencerminkan keadilan
materiil dan atau keadilan formal, maka setidaknya seseorang tidak akan mempunyai
alasan untuk menjalankan aturan tersebut sebagai suatu peraturan, ataupun
65 John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts: Harvard University Press, 1999), hal. 3. 66 Gustav Radbruch, Five Minutes of Legal Philosophy, Op.cit, hal. 14. 67 Bernard L. Tanya, et. al, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
1998), hal 82. 69 John Rawls, Op.cit, hal. 45. 70 Bernard L. Tanya, et. al, Op.cit, hal. 45. 71 John Rawls, Justice as Fairness, “The Philosophical Review”, Vol. 67, No. 2, April 1958, 164-
194, hal. 165. 72 Paul W. Taylor, Justice and Utility, “Canadian Journal of Philosophy”, Vol. I, No. 3, Maret
1972, 327-350, hal. 334.
528 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
membiarkan tindakan tersebut dilakukan. Sehingga, tak ada serangkaian peraturan
yang pelaksanaannya melanggar keadilan dapat dibenarkan terhadap setiap orang, dan
karenanya tak ada rangkaian tersebut yang dapat dibenarkan secara mutlak.73 Untuk
selanjutnya Paul W. Taylor mendefenisikan kemanfaatan sebagai “a necessary
condition for the justifiability of social rules because the concept of utility is built into
the very notion of an individual’s having good reasons for committing himself to
social rules.” 74
Kemudian untuk lebih memahami prinsip kemanfaatan umum dalam pengaturan
pertanggungjawaban, penting untuk mengadopsi pemikiran Jeremy Bentham dalam
the principle of utility yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.
Jeremy Bentham berpandangan bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan
jaminan kebahagiaan pada individu-individu, pandangan ini dimulai dengan
menekankan bahwa umat manusia menurut kodratnya ditempatkan di bawah
pemerintahan 2 (dua) penguasa yang berdaulat: ketidaksenangan dan kesenangan.
Sesuai dengan kodratnya, manusia selalu berusaha menghindari ketidaksenangan dan
berusaha mencari kesenangan. Karena kodratnya selalu terarah kepada kebahagiaan,
maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat meningkatkan atau
mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Moralitas suatu tindakan harus
ditentukan dengan menimbang kegunaan untuk mencapai kebahagiaan umat
manusia.75 Pemikiran Jeremy Bentham ini kemudian diperdalam lagi oleh John Stuart
Mill dengan menyatakan bahwa ukuran baik buruknya suatu perbuatan harus diukur
dari segi manfaat yang dihasilkan karena kebaikan yang tertinggi adalah manfaat
(utility). Manfaat merupakan suatu kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar-
besarnya.76
4. Tinjauan Literatur Pertanggungjawaban Mutlak
Dalam perkembangannya sampai dengan saat ini, strict liability tetap diteliti
oleh beberapa kalangan, termasuk aplikasi dan implikasinya pada berbagai kegiatan
atau bidang berdasarkan beberapa sudut pandang atau aspek. Ernest J. Weinreb yang
mengadopsi ide keadilan korektif Aristoteles menyatakan bahwa pertanggungjawaban,
yang merupakan respon hukum terhadap suatu ketidakadilan yang dilakukan pelaku
pelanggaran, adalah berkorelasi dengan kerugian yang tidak adil yang ditanggung oleh
korban. Karena trasansaksi yang tidak adil telah menyebabkan apa yang diperoleh
pelaku pelanggaran adalah apa yang merupakan kerugian yang diderita korban, maka
diperlukan keadilan korektif yang dapat menghubungkan para pihak tersebut.77
Kemudian berdasarkan penelitian Harry A. Newman dan David W. Wright
terhadap principal-agent model, analisisnya mendemonstrasikan bahwa keperdulian
dengan mempergunakan strict liability ketika terdapat moral hazard adalah berbeda
dibanding keperdulian tanpa adanya moral hazard. Mereka menyimpulkan bahwa
strict liability dapat memotivasi prinsipal untuk menawarkan suatu kontrak yang
secara sosial menimbulkan suatu tingkat keperdulian yang optimal, dimana tingkat
optimal keperdulian secara sosial tersebut dapat lebih tinggi atau lebih rendah ketika
73 Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 348 dan 349. 74 Paul W. Taylor, Op.cit, hal. 347. 75 Muhammad Erwin dan Amrullah Arpan, Filsafat Hukum: Mencari Hakikat Hukum,
(Palembang: Penerbit Universitas Sriwijaya, 2008), hal. 41 dan 42. 76 Astim Riyanto, Filsafat Hukum, (Bandung: Penerbit Yapemdo Bandung, 2010), hal. 716 dan
717. 77 Ernest J. Weinrib, The Gains and Losses of Corrective Justice, “Duke Law Journal”, Vol. 44,
No. 2, Nopember 1994, 277-297, hal. 277.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 529
terdapat moral hazard dibandingkan dengan ketika tanpa adanya moral hazard.78
Kemudian dalam yang membandingkan antara negligence dan strict liability dalam
suatu principal-agent model, Harry A. Newman dan David W. Wright menghasilkan
penelitian bahwa pemilihan bentuk peraturan pertanggungjawaban kemungkinan
menyebabkan tingkat keperdulian yang dilakukan oleh agen dimana atas adanya
kontrak optimal yang ditawarkan dalam negligence rule dapat lebih memotivasi
pegawai dibandingkan dengan yang ditawarkan dalam strict liability.79
Penelitian Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner menyarankan agar didapat motivasi
yang efisien terhadap kehati-hatian yang tidak teramati (unobservable care) maka
lebih baik dilakukan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan
pertanggunggungjawaban dibandingkan hanya penggunaan pertanggungjawaban saja.
Namun terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict
liability dapat juga diberikan terhadap care atas penggunaan secara bersama-sama
peraturan dan negligence ketika terdapat care yang multidimensional, care dalam
dimensi yang berbeda yaitu yang dapat diamati, tetapi care dalam beberapa dimensi
tidak diatur. Sehingga dalam hal ini, negligence rule bersama dengan regulation akan
menghasilkan insentif yang lebih baik dibandingkan hanya negligence rule saja, sama
halnya dengan penggunaan secara bersama-sama peraturan dan strict liability.80
Dalam perkembangannya, khususnya dalam prakteknya, di beberapa negara,
baik yang telah dan atau bermaksud menerapkannya dalam peraturan perundang-
undangan perpajakannya, strict liability masih menimbulkan reaksi pro dan kontra
sampai dengan saat ini. Menurut Kathleen DeLaney Thomas, dukungan terhadap
penerapan strict liability dalam ketentuan perpajakan didasarkan pada argumen untuk
mengantisipasi adanya pelanggaran doktrin substansi ekonomis81 (economic substance
doctrine), sehingga bermanfaat dalam hal: 82 (a). deterrence, dengan menerapkan
sanksi yang tegas terhadap transaksi yang tidak atau kurang didukung dengan
substansi ekonomis akan menjerakan WP sehingga dapat meningkatkan kepatuhan
WP; dan (b). complexity, adanya kesengajaan WP dalam doktrin substansi ekonomis
membuat struktur transaksi yang rumit yang hanya bisa diakses dan dipahami WP
sehingga hanya ahli-ahli tertentu yang dapat mengungkap permasalahan tersebut.
Selain argumen yang mendukung strict liability, terdapat juga argumen yang
mendebat pengaturan strict liability di bidang perpajakan. Mik Shin-Li dan Richard A.
Wasserstrom berpendapat bahwa strict liability seharusnya tidak diadopsi dalam
78 Harry A. Newman dan David W. Wright, Strict Liability in a Principal-Agent Model,
“International Review of Law and Economics”, Vol. 10, 1990, 219-231, hal. 227. 79 Harry A. Newman dan David W. Wright, Negligence Versus Strict Liability in a Principal-
Agent Model, “Journal of Economics and Business”, Vol. 44, 1992, 265-281, hal. 278. 80 Bharat Bhole dan Jeffrey Wagner, The Joint Use of Regulation and Strict Liability with
Multidimensional Care and Uncertain Conviction, “International Review of Law and Economics”, Vol.
28, Issue 2, 2008, 123-132, hal. 131. 81 Legal Information Institute of Cornell Law School, 26 U.S. Code § 7701 – Definitions,
<https://www.law.cornell.edu/uscode/text/26/7701>, diakses tanggal 1 Juni 2017. Lebih lanjut tentang
penggunaan doktrin substansi ekonomis di Amerika Serikat secara tegas diatur dalam Pasal 7701 (o)
Internal Revenue Code (IRC) Amerika Serikat dimana pada Ayat 5 (A) didefenisikan sebagai “the
common law doctrine under which tax benefits under subtitle A with respect to a transaction are not
allowable if the transaction does not have economic substance or lacks a business purpose”. Kemudian
pada Ayat 1 disebutkan perlakuan yang dianggap memiliki substansi ekonomis bilamana: “(A) the
transaction changes in a meaningful way (apart from Federal income tax effects) the taxpayer’s
economic position, and (B) the taxpayer has a substantial purpose (apart from Federal income tax
effects) for entering into such transaction.” 82Kathleen DeLaney Thomas, The Case Against A Strict Liability Economic Substance Penalty,
“University of Pennsylvania Journal of Business Law”, Vol. 13, No. 2, 2011, 445-497, hal. 462-464.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 535
(conduit company atau SPV) yang didirikan atau bertempat kedudukan di tax haven
country yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau
bertempat kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia yang dapat ditetapkan
sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia atau BUT di Indonesia. Kemudian Pasal 18 ayat (3d) UU PPh
mengatur tentang besarnya penghasilan yang diperoleh WP orang pribadi dalam negeri
dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat ditentukan
kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan WP
orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya
yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia tersebut.
2. Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia Dalam
Perspektif Keadilan
Pertentangan paling utama atas penerapan pertanggungjawaban mutlak dalam
suatu peraturan perundang-undangan adalah anggapan adanya ketidakadilan berupa
pengenaan sanksi terhadap suatu subjek hukum yang bukan merupakan pelaku
pelanggaran atas suatu hukum tertentu tanpa harus membuktikan adanya kesalahan.
Hal ini semakin kompleks dalam lapangan hukum pajak karena adanya kesamaan
anggapan bahwa pemungutan pajak terhadap masyarakat tidak akan pernah bisa
mencerminkan keadilan yang hakiki dimana pengertian dari pajak itu sendiri, di
Indonesia, merupakan kontribusi wajib kepada negara dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.103
Dalam hal anggapan adanya ketidakadilan terhadap pengenaan strict liability
terhadap yang bukan pelaku pelanggaran adalah sepenuhnya tidak benar karena
konsep pertanggungjawaban hukum sangat berhubungan dengan konsep kewajiban
hukum karena terhadap “setiap orang” yang dianggap cakap maka secara hukum harus
bertanggung jawab atas suatu perbuatan tertentu. Sehingga terhadap setiap
pelanggaran hukum yang terjadi dapat menimbulkan konsekuensi, baik terhadap yang
melakukan pelanggaran langsung maupun terhadap setiap orang yang secara hukum
terkait dengannya. Salah satu segi keadilan strict liability ini dapat dilihat dari
maraknya pelanggaran pajak yang dilakukan dalam konteks hubungan keagenan
dimana dalam hal terjadinya tax evasion dan tax avoidance, yang menjadi korban
adalah negara, yang melakukan langsung pelanggaran adalah pegawai atau agen yang
dalam hal ini dapat meliputi pegawai tetap dan atau pegawai tidak tetap dan atau
dewan direksi dan atau dewan komisaris sesuai dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing, sedangkan yang menerima manfaat, pada umumnya, adalah prinsipal
yang dalam hal ini dapat meliputi pemegang saham dan atau top management seperti
direksi dan atau komisaris.
Dalam hal anggapan tentang adanya ketidakadilan terkait pengenaan strict
liability terhadap suatu subjek hukum tanpa harus membuktikan adanya kesalahan,
adalah merupakan salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap pengertian strict
liability itu saja. Selain itu, pengenaan sanksi tanpa adanya kesalahan sangat
bertentangan dengan asas legalitas yang dianut dalam hukum pidana di Indonesia.
Strict liability adalah merupakan pertanggungjawaban yang tetap berdasarkan
kesalahan karena kesalahan dipandang tetap ada sepanjang telah dipenuhinya unsur
delik namun tidak harus dibuktikan. Dalam hal terjadinya pelanggaran yang berkenaan
103 Pasal 1 angka (1) UU KUP.
536 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
dengan keuangan negara, dalam hal ini yang berkenaan dengan penerimaan negara
dari sektor pajak, maka “fault”, sebagaimana dikemukakan oleh Jeremiah Smith, dapat
mengacu pada eksistensi kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan, atau dengan kata
lain, perbuatan pelaku pelanggaran telah menyebabkan adanya kerusakan atau
kerugian terhadap korban dimana jenis pelanggaran tersebut merupakan perhatian
hukum. Atas kerusakan atau kerugian tersebut maka hukum akan berusaha
memperbaiki dengan mengatur bahwa sewaktu-waktu “person” yang menimbulkan
kerusakan atau kerugian tersebut dapat dianggap sebagai pelaku pelanggaran.104
Selain pemahaman yang menganggap bahwa pertanggungjawaban mutlak tidak
adil untuk diterapkan, F. E. Devine menganggap bahwa berdasarkan penyesuaian yang
telah dilakukan pada beberapa negara, strict liability diperlukan dan memang
memenuhi rasa keadilan untuk diterapkan, khususnya yang menyangkut tiga areanya
yang fleksibel. Pertama, elemen batin yang dapat didefenisikan dengan jangkauan
yang lebih luas dari fakta yang berdasarkan kesalahan yang masuk akal, melalui
pengabaiannya terhadap fakta, menjadi penerimaan semua kehati-hatian (care) yang
masuk akal. Kedua, tingkat pembebanan kepada pelaku pelanggaran dapat terbentang
dari pembuktian sikap batin yang diklaim oleh bukti yang berpengaruh lebih besar
menjadi semata-mata perolehannya untuk meningkatkan suatu keraguan yang masuk
akal yang mesti disanggah oleh pihak penuntut. Ketiga, tingkat pertanggungjawaban
mutlak yang dapat dibuat dapat bervariasi dari menerimanya ketika badan legislatif
dengan jelas menginginkannya, menjadi membatasinya ke peraturan perundang-
undangan yang dapat menghukum hanya melalui denda.105 Lebih dalam tentang care
dalam strict liability, sebagai bagian dari tort law di negara yang menganut tradisi
common law dimana salah satu bagian fundamental dari analisis ekonomi modern tort
law adalah adanya perbedaan care dan tingkatan kegiatan (activity levels),106 Steven
Shavell berpendapat bahwa the level of activity, biasanya, tidak dipertimbangkan
dalam merumuskan suatu standar kehati-hatian (a due care standard) karena adanya
kesulitan pada saat proses peradilan, dimana peradilan, yang akan memformulasikan
suatu standar kehati-hatian yang diperluas melalui defenisinya, akan kesulitan dalam
memutuskan tingkat aktivitas yang tepat, dan kompetensi peradilan untuk
melakukannya.107
Dalam hal keadilan di bidang perpajakan, pengaturan pertanggungjawaban
mutlak, menurut LeFevre, secara analitis dapat ditelusuri kembali dari 4 (empat)
maksim Adam Smith dan yang saat ini diwujudkan dalam bentuk kesamaan horisontal,
sebagai kesamaan perlakuan dalam perpajakan seperti kesamaan pembayaran pajak
yang dilakukan oleh 2 (dua) WP yang berada dalam yurisdiksi pajak yang sama
dengan jenis dan jumlah penghasilan yang sama, dan kesamaan vertikal, sebagai
kesamaan terhadap para WP yang berada dalam keadaan yang berbeda yang harus
diperlakukan berbeda dalam tingkatan yang sesuai.108 Kemudian, Bărbuţă-Mişu109
menyarankan bahwa kerangka konseptual yang mengacu pada tax system fairness
tidak dapat dipisahkan dari keadilan distribusi, keadilan prosedural, dan keadilan
retribusi yang masing-masing diartikan sebagai berikut:
104 Jeremiah Smith, Op.cit, hal. 258. 105 F. E. Devine, Moderating Strict Liability Crimes in Common Law Tradition Countries,
“International Journal of Comparative and Applied Criminal Justice”, Vol. 20, No. 1, 1996, 117-128,
hal. 126. 106 Keith N. Hylton, Op.cit, hal. 153. 107 Steven Shavell, Strict Liability versus Negligence, Op.cit, hal. 22. 108 Tyler Antone LeFevre, “Justice in Taxation”, <https://ssrn.com/abstract=2792393>, direvisi
terakhir bulan Agustus 2016, diakses tanggal 17 Januari 2017, 1-30, hal. 7. 109 Nicoleta Bărbuţă-Mişu, A Review of Factors for Tax Compliance, “Economics and Applied
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 537
“Distributive justice is related to the fairness of taxpayers' outcomes and the
desire of taxpayers to be treated relative to their merits, efforts and needs.
Procedural justice is related to the neutrality of the procedure, trustworthiness of
the tax authorities and polite, dignified, and respectful treatment. Retributive
justice is related to the perceived appropriateness of sanctions in the case of
norm-breaking toward the tax office and taxes in general.”
Selain itu, pengaturan strict liability di bidang perpajakan dalam suatu hubungan
keagenan sangat berhubungan dengan konsep keadilan distributif dan keadilan
korektif yang pelaksanaannya dapat dipahami secara hukum melalui proses yang
dinamis. Pemahaman ini dapat dilihat pada praktek sehari-hari suatu hubungan
keagenan tertentu, dimana prinsipal berusaha bekerjasama dengan agennya untuk
melepaskan tanggung jawab atas terjadinya tax evasion dan atau tax avoidance dengan
berargumen bahwa pelanggaran dilakukan oleh agen dengan tanpa sepengetahuan
prinsipal. Bahkan proses perwujudan keadilan terhadap agen menjadi semakin
kompleks bilamana prinsipal yang dimaksud bukan berwujud manusia alami
melainkan dalam bentuk badan hukum sehingga terjadi kesulitan dalam membuktikan
mens rea karena adanya argument yang menyatakan bahwa pelanggaran, baik berupa
kelalaian, kesengajaan atau kesalahan, hanya dapat dilaksanakan oleh manusia, bukan
oleh badan hukum (dalam hal ini WP Badan) yang keberadaannya seolah-olah masih
dipertanyakan dalam hukum apakah nyata atau fiksi atau hanya berupa kumpulan
manusia yang terikat kontrak.110
Sehubungan dengan terjadinya permasalahan keadilan dalam praktek hubungan
keagenan sebagaimana diuraikan sebelumnya, adalah dapat diselesaikan sepanjang
adanya pengaturan strict liability dalam suatu peraturan perundang-undangan
perpajakan dimana secara alami contract liability telah melekat dalam setiap
perjanjian keagenan yang dilakukan sesuai dengan hukum kontrak yang berlaku di
Indonesia. Hal dapat dilihat dari ide utama teori keagenan yang selalu menekankan
hubungan kontraktual antara prinsipal dengan agen yang harus merefleksikan
organisasi yang efisien yang dapat menyelesaikan permasalahan asimetri informasi
dalam hubungan keagenan, seperti: (a) adanya konflik tujuan antara prinsipal dengan
agen, dan (b) adanya kesulitan dan timbulnya biaya yang tidak sedikit yang dialami
prinsipal dalam mengawasi tindakan para agen. 111 Hubungan kontraktual ini juga
ditegaskan oleh Robert E. Scott yang menekankan bahwa inti dari setiap kewajiban
kontraktual adalah melekatnya strict liability di dalamnya, dan setiap bisnis komersial
akan mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault- based rules dalam
menilai kinerja dan merespon yang tidak berkinerja. 112Dengan adanya pengaturan
strict liability, mekanisme keadilan hukum melalui proses yang dinamis terwujud
melalui tingkat pembebanan sanksi yang tepat kepada prinsipal dan agen yang
berorientasi pada pemulihan kerugian terhadap korban, dalam hal ini adalah negara
atas kerugian dari sektor pajak, yang walaupun dilakukan oleh agen namun karena
perbuatan tersebut dilakukan sebagai gatekeeper yang semata-mata untuk kepentingan
prinsipal maka tidak adil jika pertanggungjawaban (pidana) pajak tersebut hanya
dibebankan kepada agen yang juga belum tentu memiliki kemampuan untuk
menanggulangi kerugian negara yang terjadi. Bahkan sepanjang agen dapat
110 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, (Jakarta: Penerbit Kencana,
2013), hal. 185. 111 Kathleen M. Eisenhardt, Agency Theory: An Assessment and Review, “Academy of
Management Review”, Vol. 14, No. 1, Januari 1989, 57-74, hal. 57-59. 112 Robert E. Scott, In (Partial) Defense of Strict Liability in Contract, “Michigan Law Review”,
Vol. 107, No. 8, Symposium: Fault in American Contract Law, June 2009, 1381-1396, hal. 1396.
538 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
membuktikan tindakan pelanggaran yang dilakukannya tersebut telah melalui proses
due diligence yang patut secara hukum dan tidak ada manfaat timbal balik yang
diterima agen dari prinsipal atas tax evasion dan atau tax avoidance yang terjadi maka
sewajarnya penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada pendapatan negara
tersebut dibebankan kepada prinsipal.
Selain itu, sehubungan dengan adanya pertanggungjawaban pidana pajak yang
belum mengatur secara tegas WP Badan sebagai bagian dari unsur setiap orang dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku saat ini, dapat menciptakan
ketidakadilan bagi agen sebagai pelaku pelanggaran karena prinsipal dalam bentuk
WP Badan dianggap tidak pernah melakukan pelanggaran pidana pajak, baik secara
lalai atau sengaja, dan hal ini juga dikhawatirkan dapat menyuburkan praktek tax
evasion dan tax avoidance melalui WP Badan. Padahal beberapa peraturan di
Indonesia telah menyatakan bahwa badan hukum merupakan subjek hukum di
Indonesia, seperti dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
yang menegaskan bahwa Perseroan merupakan badan hukum,113 yang pendiriannya
wajib didirikan dua orang114 atau lebih, yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum
sebagai subyek hukum dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi
pengurusnya,115 Peraturan MA (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 yang menegaskan
bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana,116 dan Peraturan Jaksa
Agung Nomor PER-028/A/JA/10/2014 yang menegaskan bahwa Jaksa berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan pidana terhadap korporasi.117
Bahkan mengingat pentingnya pertanggungjawaban pidana badan hukum, pada
Rancangan KUHP 2015-2016118 ditegaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan suatu
korporasi dapat dipertanggungjawabkan bersama-sama pengurus apabila pengurus
yang memiliki jabatan penting dan atau orang-orang yang mempunyai kedudukan
fungsional dalam struktur organisasi yang bertindak baik secara individual atau atas
nama badan hukum untuk dan atas nama badan hukum, berdasarkan hubungan kerja
atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup badan hukum tersebut, dan pada Pasal
118 ayat (2) RUU KUP119 diatur tentang adanya pemidanaan pajak terhadap Badan
dalam hal: (a) dilakukan atau diperintahkan oleh pengurus; (b) dilakukan dalam
rangka pemenuhan maksud dan tujuan Badan; (c) dilakukan sesuai dengan tugas dan
fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan (d) dilakukan dengan maksud memberikan
manfaat bagi Badan.
3. Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak di Indonesia
Dalam Perspektif Kemanfaatan Umum
113 Pasal 7 ayat (6) UU PT menyatakan bahwa status badan hukum suatu Perseroan hanya dapat
diperoleh setelah akta pendiriannya mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. 114 Penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU PT menegaskan kata “orang” sebagai orang perseorangan,
baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. 115 Pasal 1 angka (1) UU PT. 116 Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tanggal 21
Desember 2016 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. 117 Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung Nomor
PER-028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 Tentang Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan
Subjek Hukum Korporasi. 118 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, Op.cit, hlm 35. 119 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia,
“Laporan Akhir Penyelarasan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan”, <http://www.bphn.go.id/data/documents/Penyelarasan-NA-RUU-
Ttg-Ketentuan-Umum-&-Tata-Cara-Perpajakan.PDF>, diakses tanggal 29 Maret 2017.
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 539
Banyak negara, termasuk Indonesia, menerapkan pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan dan kelalaian sebagai rezim pertanggungjawabannya. Padahal
terdapat banyak kegiatan yang mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau sangat
berbahaya dan atau perilaku tertentu dalam kemasyarakatan dan atau sulitnya
membuktikan mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan dan atau berdasarkan kelalaian tersebut, sementara potensi
pelanggaran mencakup bidang-bidang yang berhubungan dengan kesejahteraan
kemasyarakatan yang membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat sebagai wujud
tugas dan tanggung jawab negara. Sehingga sangat diperlukan pengaturan khusus oleh
hukum tertentu terhadap solusi atas permasalahan yang ada tersebut, yaitu pengaturan
pertanggungjawaban mutlak yang dapat memberi kemanfaatan umum tanpa
mengabaikan rasa keadilan.
Pentingnya kemanfaatan atas pengaturan pertanggungjawaban mutlak
menunjukkan bahwa dengan dapat menginterpretasikan keberadaan kemanfaatan
secara baik dan benar, berdasarkan preferensi berupa urutan-urutan opsi-opsi dari
manfaat yang diharapkan (expected utility), 120 diharapkan dapat menghasilkan
keputusan yang berhasil,121 khususnya dalam pengaturan pertanggungjawaban mutlak.
Hal ini ditegaskan oleh Kangoh Lee dengan mengemukakan bahwa strict liability
merupakan salah satu aturan pertanggungjawaban yang terbaik dan efisien dalam tort
law, sebagaimana penjelasannya lebih lanjut berbunyi:
“Under strict liability, an injurer is liable for the loss when an accident occurs
and causes a loss to a victim. The probability of an accident depends on the level
of precaution or care taken by the injurer, and the injurer has an incentive to
take care. The key question concerns the efficiency of the injurer’s incentive to
take care.”122
Selanjutnya, Martin Nell dan Andreas Richter menegaskan bahwa strict liability
sangat bermanfaat diatur untuk aktivitas yang mengandung risiko yang sangat tinggi,
sebagaimana pernyataannya berbunyi:
“Highly risky activities, however, are often by strict liability. The reason usually
given for applying strict liability to these areas is that not only efficient care is
supposed to be induced, but also an efficient level of the risky activity itself. It is
argued that, in the case of no market relationship between injurers and victims,
this could only be achieved through strict liability but not via negligence”.123
Adanya pengecualian tanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng
menunjukkan bahwa strict liability dapat berperan dalam hal pengenaan sanksi
terhadap WP dan atau pihak-pihak yang menerima manfaat atas timbulnya kerugian
negara dari sektor pajak tersebut. Hal ini disebabkan bilamana strict liability telah
diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan maka ketidakpastian hukum
dapat dihindari dan atau diskresi pada saat pelaksanaan hukum pajak dapat
diminimalisasi, sehingga aparatur pajak (fiskus) dan atau hakim (pidana) pajak dapat
lebih mudah mengelola proses penegakan hukum di bidang perpajakan melalui adanya
informasi yang diperoleh atas tingkat kerugian negara yang telah ditimbulkan.
Secara sanksi administrasi perpajakan, manfaat strict liability tersebut melekat
pada sanksi administrasi denda pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU
120 Paul Weirich, Utility and Framing, “Synthese”, Vol. 176, Issue 1, 2010, 83-103, hal. 84. 121 Paul Weirich, Op.cit, hal. 86. 122 Kangoh Lee, Risk Aversion, the Hand Rule, and Comparison between Strict Liability and the
Negligence Rule, “Review of Law & Economics”, Vol. 12, Issue 2, Juli 2016, 261-274, hal. 261. 123 Martin Nell dan Andreas Richter, Op.cit, hal. 44.
540 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.3 Juli-September 2019
KUP terhadap SPT yang tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah diatur
dalam UU KUP, dan dapat melekat pada sanksi administrasi atau pidana pajak dalam
hal pelanggaran Pasal 16F UU PPN juncto Pasal 39A UU KUP yang mengenakan
tanggung jawab renteng kepada pembeli BKP atau penerima JKP atas pembayaran
PPN yang terutang yang tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan
pembeli BKP atau penerima JKP tidak dapat memberikan bukti yang sah bahwa atas
faktur pajak telah sesuai dengan transaksi yang sebenarnya. Hal ini diharapkan dapat
memberikan efek jera terhadap WP sehingga dapat semakin mengatur perilaku WP
agar tertib dalam melaporkan SPT serta tidak dengan sengaja berusaha membuat
struktur transaksi yang rumit yang disengaja untuk tujuan tax evasion dan atau tax
avoidance.
Walaupun manfaat strict liability sudah melekat pada sanksi administrasi denda
pajak di Indonesia, namun kemanfaatan langsung dalam bentuk sanksi pidana pajak
belum didapat karena belum adanya pengaturan secara eksplisit saat ini, terutama
dalam ketentuan formal (UU KUP). Sebagaimana strict liability sangat tepat
dikategorikan sebagai mala prohibita untuk diaplikasikan pada abnormally dangerous
activities, yang dalam bidang perpajakan meliputi pelanggaran yang berkenaan dengan
pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and welfare offences) berupa timbulnya
kerugian pada pendapatan negara, dimana mens rea secara kasuistis tidak perlu
dibuktikan karena dapat menghambat tujuan perundang-undangan perpajakan itu
sendiri, maka pengaturan strict liability dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan di Indonesia layak untuk dipertimbangkan. Pertimbangan ini tidak dapat
terlepas dari pesatnya globalisasi dan promosi investasi dari banyak negara di dunia
sehingga diperlukan upaya maksimal dari pemerintah atau negara untuk
meminimalisasi terjadinya tax evasion dan tax avoidance terutama yang berkenaan
dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di negara-negara
offshore, sebagaimana Inggris telah mengaturnya di UK Finance Bill 2016, dan
transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik secara langsung maupun secara tidak
langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi substansi ekonomisnya, sebagaimana
Amerika Serikat telah mengantisipasimya dalam Internal Revenue Code –nya.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Tulisan ini menghasilkan dua kesimpulan. Pertama, pengaturan
pertanggungjawaban mutlak WP di Indonesia dapat memenuhi rasa keadilan dalam
pelaksanaannya karena berkenaan dengan terjadinya pelanggaran hukum pajak yang
menyebabkan timbulnya kerugian pada pendapatan negara dari sektor pajak dan
sekaligus menimbulkan konsekuensi terhadap masing-masing pihak yang saling
terkait. Walaupun hukum tidak akan pernah menjadi sangat adil, tetapi rasa keadilan
dari segi equality dan atau fairness harus diwujudkan terhadap tiga pihak yang saling
terkait, yaitu terhadap negara sebagai korban (adanya kerugian pada pendapatan
negara dari sektor pajak), terhadap pelaku langsung (dalam hubungan keagenan
disebut agen), dan terhadap penerima manfaat (dalam hubungan keagenan disebut
prinsipal), yang akan dapat tercapai sepanjang pertanggungjawaban mutlak pada setiap
orang memenuhi kondisi yang mencerminkan keadilan materiil dan keadilan formal
yang harus diatur secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Kedua, pengaturan pertanggungjawaban mutlak Wajib Pajak di Indonesia dapat
memberikan kemanfaatan umum bagi negara berupa solusi atas permasalahan
terhadap maraknya pelanggaran di bidang-bidang kesejahteraan kemasyarakatan yang
mengandung risiko yang sangat tinggi dan atau maraknya perilaku tertentu yang
Pengaturan Pertanggungjawaban Mutlak Wajib Pajak, Henry Dianto P. Sinaga 541
memerlukan a due care standard dalam kemasyarakatan yang pada pelaksanaannya
harus lebih mengutamakan strict liability rules dibandingkan fault-based rules.
Pelanggaran yang berkenaan dengan pengaturan dan kesejahteraan (regulatory and
welfare offences) tersebut telah menimbulkan kerugian pada pendapatan negara di
sektor pajak dalam bentuk tax evasion dan tax avoidance dimana pajak yang
seharusnya dipungut dari masyarakat yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif untuk dikelola negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat
menjadi lebih kecil dari yang seharusnya.
2. Saran
Berkembangnya tax evasion dan tax avoidance yang dalam praktek sehari-hari
berkenaan dengan penghasilan, asset-aset, dan aktivitas-aktivitas WP Indonesia di
negara-negara offshore maupun maraknya transaksi-transaksi WP Indonesia yang baik
secara langsung maupun secara tidak langsung dibuat rumit sehingga tidak memenuhi
substansi ekonomisnya ternyata sangat menimbulkan kerugian pada pendapatan
negara dari sektor pajak dimana dalam hal hubungan keagenan, manfaatnya dinikmati
oleh prinsipal tertentu dengan memanfaatkan agen, dan agen memanfaatkan
kompleksitas pembuktian mens rea yang belum tentu dapat dijangkau oleh
pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan atau berdasarkan kelalaian. Sehingga,
sangat penting agar dalam kerangka pembaharuan hukum pajak di Indonesia yang
berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak yang tetap didasarkan pada rasa
keadilan dan untuk kemanfaatan umum, agar:
a. Pertanggungjawaban mutlak dan kriterianya diatur secara eksplisit dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan,
b. Diatur secara tegas perluasan definisi setiap orang dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, khususnya delik pidana pajak, yang bukan hanya
mencakup manusia alami saja tetapi juga termasuk badan hukum. Hal ini
diperlukan dalam rangka penanggulangan dan atau pemulihan kerugian pada
pendapatan negara dari sektor pajak, yang dalam hal ini yang menjadi korban
adalah negara, yang walaupun dilakukan agen dalam wujud manusia alami
ternyata kemanfaatannya diterima oleh prinsipal dalam wujud Wajib Pajak
Badan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Penerbit PT. Citra