PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Erika Rovita Maharani NIM. E0006016 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
104
Embed
PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM … · sangat banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus kepada persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN
RULE OF REASON
(Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN
RULE OF REASON
(Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
Oleh
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 5 April 2010
Dosen Pembimbing
Hernawan Hadi, S.H., M.Hum.
NIP. 19600520 198601 1 001
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA
TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON
(Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha)
Oleh
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada :
Erika Rovita Maharani, E0006016. 2010. PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode pendekatan rule of reason yang diterapkan dalam menangani persekongkolan tender sudah tepat baik peraturan maupun praktek karena peran Komisi Pengawas Persaingan Usaha sangat penting dalam penegakan persaingan usaha.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, menemukan hukum in concreto dalam hal pengaturan dalam undang-undang yang seharusnya lebih memudahkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menangani perkara dan pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan tender. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan cyber media. Kemudian bahan hukum tersebut disesuaikan satu sama lain untuk memperoleh alur yang tepat dalam mengkaji pengaturan dan penegakan hukum terhadap persekongkolan tender yang selama ini sudah berlangsung. Analisis bahan hukum yang dilaksanakan dengan menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum yaitu pengaturan mengenai persekongkolan tender secara umum pada kasus individual konkret yang dihadapi oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk dijadikan peristiwa hukum. Untuk menjawab permasalahan atas pengatura hukum yang ada, maka digunakan silogisme deduksi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa alasan yang mendasari dominasinya perkara persekongkolan tender adalah adanya celah dalam pengaturan undang-undang dengan pendekatan rule of reason dalam menegakkan persekongkolan tender secara praktek. Hal ini memberikan kesulitan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk melakukan penyelidikan dari taraf laporan atau monitoring sampai Sidang Majelis Komisi yang mana seharusnya tidak diperlukan ketika persekongkolan tender sudah mempunyai indikasi negatif. Indikasi negatif tersebut sudah ada pada hambatan memasuki persaingan (barrier to entry) ke pasar. Jadi, ketidakadilan pada dasarnya sudah terjadi pada kesempatan yang dibatasi terhadap pelaku usaha yang dirugikan serta adanya celah untuk melakukan korupsi karena hakekatnya persaingan fair banyak memberi manfaat terutama kesejahteraan rakyat.
Kata kunci : Persekongkolan Tender, Rule of Reason.
ABSTRACT
Erika Rovita Maharani, E0006016. 2010. THE REGULATION OF TENDER CONSPIRACY IN THE ACT NO. 5 OF 1999 CONCERNING PROHIBITION OF MONOPOLISTIC PRACTICES AND UNFAIR BUSINESS COMPETITIONABOUT THE RULE OF REASON APPROACH (A Review On The Weakness Of Law Enforcement By The Commission for the Supervision of Business Competition). Law Faculty of Sebelas Maret University.
This research aims to find out the rule of reason approach method applied in handling the tender conspiracy has been appropriate, either the regulation or practice, because the role of The Commission for the Supervision of Business Competition is very important in the business competition enforcement.
This study belongs to a normative law research that is prescriptive in nature finding the law in concreto in the term of regulation in the act facilitates the The Commission for the Supervision of Business Competition in coping with the case and parties involved in tender conspiracy. The type of data employed was secondary data. The data secondary source employed included primary and secondary law materials. Technique of collecting law material employed was literary study and cyber media. Then, those law materials are adjusted each other for obtaining the proper flow in studying law regulation and enforcement over the tender conspiracy proceeding so far. An analysis on law material implemented by drawing conclusion from the general thing, namely, the regulation of tender conspiracy in the individual concrete case encountered by The Commission for the Supervision of Business Competition for becoming the law event. In order to answer the problem of law regulation existing, the deduction syllogism was used.
Considering the result of research and discussion, it can be concluded, that the premise of tender conspiracy case dominance is the niche in the law and regulation using rule of reason approach by enforcing the tender conspiracy practically. It makes The Commission for the Supervision of Business Competition difficult in undertaking the investigation from the reporting or monitoring stage to Commission Chamber Trial that is not necessary when the tender conspiracy has had negative indication. The negative indication has resided in the barrier to entry the market. So, injustice has basically occurred in the opportunity limited to the disadvantageous businessmen as well as the presence of niche to undertake the corruption because the fair competition essentially gives considerable benefits, particularly to the people’s well-fare.
Keywords: Tender conspiracy, rule of reason.
PERNYATAAN
Nama : Erika Rovita Maharani
NIM : E0006016
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum(skripsi) berjudul :
PENGATURAN PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-
UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN
PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan
Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha) adalah betul-
betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 5 April 2010
Yang membuat pernyataan,
Erika Rovita Maharani
NIM. E0006016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan
rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)
dalam rangka memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana. Penulisan
hukum ini membahas mengenai pengaturan persekongkolan tender yang terdapat
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 beserta penerapan terhadap
penegakannya oleh KPPU. Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis
bermaksud menyampaikan ucapan terimakasih kepada segenap pihak yang telah
memberi bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupu
imateriil selama penyusunan penulisan hukum ini terutama kepada :
1. ALLAH SWT yang senantiasa menjaga dan melindungi penulis dalam
setiap langkah dan mencari ridho-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW junjungan dan suri tauladan yang baik untuk
penulis dalam menjalani kehidupan.
3. Ibunda, ayahanda serta ketiga adik tersayang yang menjadi sumber
inspirasi, kebanggaan dan pengabdian diri penulis.
4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Bapak Prof. Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing
Akademik penulis.
6. Ibu Ambar Budi Sulistyowati, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum
Bagan 7. Tata Cara Penanganan Perkara...............................................................56
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Laporan Perkara Masuk..........................................................................74
Grafik 2. Variasi Dugaan Pelanggaran...................................................................77
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disingkat Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999) perlu disambut secara positif karena sebelumnya
praktek monopoli oleh perusahaan-perusahaan besar seakan-akan berlangsung
tanpa aturan. Di masa pemerintahan Orde Baru Soeharto misalnya, di masa itu
sangat banyak terjadi monopoli, oligopoli dan perbuatan lain yang menjurus
kepada persaingan curang. Misalnya monopoli tepung terigu, monopoli
cengkeh, monopoli jeruk di Kalimantan, monopoli pengedaran film dan masih
banyak lagi. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan beberapa
konglomerat besar di Indonesia juga bermula dari tindakan monopoli dan
persaingan curang lainnya yang dibiarkan saja bahkan didorong oleh
pemerintah kala itu. Karena itu tidak mengherankan jika cukup banyak para
praktisi maupun teoretisi hukum dan ekonomi kala itu yang menyerukan agar
segera dibuat sebuah Undang-Undang Anti Monopoli. Seruan-seruan tersebut
terasa tidak bergeming sampai dengan lengsernya rezim mantan Presiden
Soeharto, di mana baru di masa reformasi tersebut diundangkan sebuah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 (Munir Fuady, 2002: 41). Undang-Undang
ini menumbuhkan harapan atas persamaan hak berusaha dan persaingan yang
fair. Usaha untuk menegakkan hukum di bidang anti monopoli ini merupakan
conditio sine qua non menuju perkembangan usaha atau bisnis yang semakin
pesat.
Sutan Remy Sjahdeini mengemukakan beberapa alasan yang
menyebabkan Undang-undang Persaingan Usaha untuk lahir pada masa Orde
Baru, yaitu antara lain : Pertama, adalah karena pemerintah menganut konsep
bahwa perusahaan-perusahaan besar perlu ditumbuhkan untuk berfungsi
menjadi lokomotif pembangunan apabila perusahaan-perusahaan tersebut
diberikan perlakuan khusus. Perlakuan khusus itu ada dalam bentuk proteksi
yang dapat menghalangi perusahaan lain dalam bidang usaha tersebut atau
dengan kata lain memberikan posisi monopoli. Kedua, adalah pemberian
fasilitas monopoli perlu ditempuh karena perusahaan itu telah bersedia menjadi
pioner di sektor yang bersangkutan. Tanpa fasilitas monopoli dan proteksi,
sulit bagi pemerintah untuk mendapatkan kesediaan insvestor menanamkan
modal disektor tersebut. Ketiga, adalah untuk menjaga berlangsungnya praktek
KKN demi kepentingan kroni-kroni mantan presiden Soeharto dan pejabat-
pejabat yang berkuasa pada waktu itu ( Ditha Wiradiputra, 2004: 8-9).
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat serta merta membuat orang yang bergerak di
bidang hukum dan bisnis merasa sedikit lega, karena yang dinanti-nanti selama
beberapa dasawarsa akhirnya terwujud juga. Hal ini tentunya tidak terlepas
dari semangat reformasi yang sedang melanda Indonesia saat undang-undang
tersebut dibuat dan diundangkan. Akan tetapi kegembiraan atas undang-
undang tersebut patut ditahan dulu sebab pembuatan undang-undang adalah
suatu hal. Sedangkan pelaksanaan dari undang-undang tersebut (law
enforcement) merupakan hal lain lagi yang membutuhkan perjuangan tidak
mudah.
Hukum persaingan dalam hukum ekonomi lebih mencerminkan ideologi
atau filsafat suatu perekonomian. Hukum ini merupakan filsafat perekonomian
yang sekarang diterima secara meluas di seluruh dunia yang merupakan
pendukung utama sistem perencanaan perekonomian pusat. Filsafat berbunyi :
“banyak orang yang memberi argumentasi bahwa persaingan yang hidup menurunkan harga barang dan meningkatkan pengalokasian sumber daya secara efisien. Persaingan juga membatasi kekuasaan bisnis dalam suatu pasar yang bersaing, orang tidak dapat mengambil keuntungan dari orang dengan siapa mengadakan transaksi. Bila seorang penjual menetapkan harga yang terlalu tinggi untuk perangkat barangnya, pembeli dapat membeli barang tersebut dari orang lain. Banyak orang menganggap alternatif ini memberikan hasil yang lebih adil daripada keputusan yang dibuat pemerintah tentang apa dan berapa banyak yang harus diproduksi. Secara beralasan persaingan juga membantu bisnis kecil dan membuka
peluang bagi setiap orang dan untuk mendistribusikan uang ke seluruh lapisan masyarakat dan bukan hanya pada segelintir orang kuat saja”
Oleh karena itu, hukum persaingan mempunyai relevansi yang kuat dengan
hukum ekonomi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat juga
(John W. Head, 1997: 9).
Kelahiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada
setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktek-
praktek monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan
harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, dimana setiap pelaku
usaha dapat bersaing secara wajar dan sehat. Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
membuat tiga kategori tindakan-tindakan yang dilarang, yaitu perjanjian yang
dilarang (Bab III), kegiatan yang dilarang (Bab IV) dan posisi dominan (Bab
V). Di dalam kategori perjanjian yang dilarang ditentukan ada sepuluh
tindakan yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan untuk
kategori kegiatan yang dilarang dan posisi dominan masing-masing ditentukan
ada empat atau tiga tindakan yang tidak diperbolehkan. Dua kategori yang
pertama (perjanjian yang dilarang dan kegiatan yang dilarang) tampak lebih
ditekankan pada pengaturan perilaku (behavior) yang mengarah pada akibat
yang tidak dikehendaki, sedangkan kategori posisi dominan lebih
dititikberatkan pada larangan penggunaan struktur tertentu (posisi dominan)
untuk bersaing secara tidak fair (Arie Siswanto, 2002: 81).
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang jelas maksudnya untuk melarang
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dapat digambarkan secara
umum seperti berikut:
No.
Kategori
Tindakan yang
dilarang
Jenis-jenis Pendekatan
1. Perjanjian yang
dilarang
(Bab III)
Pasal 4 : Oligopoli
Pasal 5-Pasal 8 : Penetapan
Harga
Pasal 9 : Pembagian
Wilayah
Pasal 10 : Pemboikotan
Pasal 11 : Kartel
Pasal 12 : Trust
Pasal 13 : Oligopsoni
Pasal 14 : Integrasi Vertikal
Pasal 15 : Perjanjian
Tertutup
Pasal 16 : Perjanjian dengan
Luar Negeri
Rule of Reason
Per se Illegal
Rule of Reason
Per se Illegal
Rule of Reason
Rule of Reason
Rule of Reason
Rule of Reason
Per se Illegal
Rule of Reason
2. Kegiatan yang
dilarang
(Bab IV)
Pasal 17 : Monopoli
Pasal 18 : Monopsoni
Pasal 19 – Pasal 21 :
Penguasaan Pasar
Pasal 22 – Pasal 24 :
Persekongkolan
Rule of Reason
Rule of Reason
Rule of Reason
Rule of Reason &
Per se Illegal
3. Posisi Dominan
(Bab V)
Pasal 25 : Umum
Pasal 26 : Jabatan Rangkap
Pasal 27 : Pemilikan Saham
Pasal 28 : Penggabungan,
peleburan, pengambilalihan
Per se Illegal
Rule of Reason
Per se Illegal
Rule of Reason
Tabel 1. Kategori Tindakan yang dilarang UU No. 5 Tahun 1999
Salah satu bagian kegiatan yang dilarang adalah ketentuan yang mengatur
mengenai persekongkolan. Persekongkolan itu sendiri mencakup
persekongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender atau
tindakan bidrigging, mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaing yang
dapat diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan, menghambat produksi dan
atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan
agar barang dan atau jasa itu berkurang kualitas maupun kuantitasnya serta
terganggunya ketepatan waktu yang dipersyaratkan. Dan salah satu substansi
dari kegiatan persekongkolan itu adalah persekongkolan tender yang diatur
dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dan merupakan ketentuan yang
lebih khusus sifatnya dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif
guna mendukung dan menumbuh kembangkan kegiatan penyediaan barang
dan atau jasa yang berkualitas serta harga yang bersaing di tanah air.
Persekongkolan tender menjadi salah satu substansi yang menarik untuk
diteliti karena sebagian besar kasus yang ditangani oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) adalah praktek persekongkolan tender.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan bagian yang paling
banyak dijangkiti oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penyakit ini sangat
merugikan keuangan negara, sekaligus dapat berakibat menurunnya kualitas
pelayanan publik dan berkurangnya jumlah pelayanan yang seharusnya
diberikan pemerintah kepada masyarakat. Tidak heran kalau begawan
ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo, mengidentifikasi adanya kebocoran
30%-50% pada dana pengadaan barang dan jasa pemerintah. Indikasi
kebocoran dapat dilihat dari banyaknya proyek pemerintah yang tidak tepat
waktu, tidak tepat sasaran, tidak tepat kualitas, dan tidak efisien. Akibatnya
banyak alat yang dibeli tidak bisa dipakai, ambruknya bangunan gedung dan
pendeknya umur konstruksi jalan raya karena banyak proyek pemerintah yang
masa pakainya hanya mencapai 30-40% dari seharusnya akibat tidak sesuai
atau lebih rendah dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam spesifikasi teknis.
Berdasarkan jumlah perkara yang ditangani oleh KPPU sejak tahun 2000
hingga saat ini, sebagian besar masih didominasi oleh kasus tender yakni
sebesar 70%.
Putusan Tahun
Tender Non Tender
2000 1 1
2001 3 1
2002 1 3
2003 1 6
2004 3 4
2005 10 8
2006 8 4
2007 22 4
2008 34 6
2009 0 0
TOTAL 83 38
Tabel 2. Perbandingan Putusan KPPU
Temuan yang diperoleh KPPU bahwa persekongkolan dalam tender sudah
terjadi semenjak perencanaan pengadaan yaitu tahap awal dalam kegiatan
pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perencanaan pengadaan
mencantumkan secara rinci mengenai target, lingkup kerja, SDM, waktu,
mutu, biaya dan manfaat yang akan menjadi acuan utama dalam pelaksanaan
pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam bentuk paket pekerjaan yang
dibiayai dari dana APBN/APBD maupun Bantuan Luar Negeri.
Persekongkolan bisa terjadi antara pelaku usaha dengan sesama pelaku usaha
(penyedia barang dan jasa pesaing) yaitu dengan menciptakan persaingan semu
diantara peserta tender. Ini lebih dikenal dengan tender arisan dimana
pemenangnya sudah ditentukan terlebih dahulu. Persekongkolan juga dapat
terjadi antara satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia tender atau
panitia lelang misalnya rencana pengadaan yang diarahkan untuk pelaku usaha
tertentu dengan menentukan persyaratan kualifikasi dan spesifikasi teknis yang
mengarah pada suatu merek sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk
ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh penawaran harga yang
paling menguntungkan tidak terjadi. Pemaketan pengadaan yang seharusnya
dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektifitas,
namun pada prakteknya banyak yang direkayasa untuk kepentingan KKN.
Panitia pengadaan bekerja secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan
yang sama diantara para peserta tender. Tender dilakukan hanya untuk
memenuhi persyaratan formal sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan
jasa. Hal ini terjadi karena calon pemenang biasanya sudah ditunjuk terlebih
dahulu pada saat tender berlangsung yaitu karena adanya unsur suap kepada
panitia atau pejabat yang mempunyai pengaruh. Disamping itu penentuan
Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau owner’s estimate (OE) biasanya sudah
direkayasa untuk mempunyai margin tertentu yang bisa disisihkan untuk
dibagi-bagi (rente ekonomi atau laba abnormal). Bermacam-macam cara
digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya memasang iklan
palsu di Koran. Padahal hal inilah yang merangsang terjadinya mark-up dan
korupsi ((Nuzul Qur’aini Madya, 2009: 8-9). Pemerintah dalam pengadaan
barang dan jasa haruslah terbuka, transparan dan tidak diskriminatif, karena
menyembunyikan proyek melanggar Keppres Nomor 80 Tahun 2003 yang
mensyaratkan adanya pengumuman kepada masyarakat luas baik di awal
pengadaan maupun hasil akhirnya.
Penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) terhadap praktek persekongkolan tender adalah dengan
menggunakan pendekatan rule of reason. Secara eksplisit dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat tidak menyebutkan prinsip rule of reason dan per se illegal.
Penafsiran yang dilakukan oleh KPPU untuk menentukan suatu perjanjian atau
kegiatan yang dilarang termasuk dalam kategori rule of reason dan per se
illegal didasarkan pada analisis redaksional atau kalimat yang terdapat dalam
setiap pasal dari undang-undang. Hal tersebut nampak ketika membandingkan
diantara pasal-pasal tertentu yang termasuk dalam kategori rule of reason
maupun per se illegal. Bahwa penafsiran yang dilakukan KPPU dalam hal
menentukan suatu perbuatan (perjanjian atau kegiatan) yang dilarang
didasarkan pada:
a. Perjanjian atau kegiatan yang dilarang ditentukan sebagai rule of reason
apabila karakterisitik bunyi pasal mempunyai tujuan yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat.
b. Sedangkan dalam perjanjian atau kegiatan yang dilarang yang termasuk
kategori per se illegal ditentukan sebagai perbuatan (perjanjian dan
kegiatan) yang dilarang dan tujuan dari perbuatan tersebut tanpa
memperhatikan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan tersebut.
Dengan demikian maka terhadap perbuatan tersebut dapat dinyatakan
melanggar hukum (prinsip per se illegal).
Mengkaji dari sisi pengertiannya rule of reason yang mempunyai karakteristik
“mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat” dalam praktek terhadap persekongkolan tender akan sangat
menyulitkan KPPU sendiri. Pembuktian yang sulit terdapat pada risiko
persekongkolan tender terhadap kerugian. Oleh karena itu, penulis
mengangkat prinsip pendekatan rule of reason dalam menangani
persekongkolan tender dalam penulisan berjudul “PENGATURAN
PERSEKONGKOLAN TENDER DALAM UNDANG-UNDANG
NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK
MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN
PENDEKATAN RULE OF REASON (Suatu Tinjauan Kelemahan
Penegakan Hukum Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
merumuskan permasalahan yang akan dibahas adalah
1. Apakah pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat?
2. Apakah kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender
dengan pendekatan rule of reason?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang
hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan
arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah
tepat atau belum.
b. Untuk mengetahui kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan
tender dengan pendekatan rule of reason.
2. Tujuan Subyektif
a. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan
dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
b. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis
dalam mengkaji masalah di bidang hukum perdata khususnya hukum
bisnis dan persaingan usaha.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini
akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat
diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum persaingan usaha pada khususnya.
b. Menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang berwenang dalam
penegakan persaingan usaha dan sebagai referensi keilmiahan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
sekaligus mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu
yang diperoleh.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum dimulai dengan melakukan penelusuran terhadap bahan-
bahan hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal
decision making) terhadap kasus-kasus hukum yang konkret. Pada sisi lainnya,
penelitian hukum juga merupakan kegiatan ilmiah untuk memberikan refleksi
dan penilaian terhadap keputusan-keputusan hukum yang telah dibuat terhadap
kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau akan terjadi (Johnny Ibrahim,
2006: 299). Metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg, dalam penelitian hukum
normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu
hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri
(Johnny Ibrahim, 2006: 57). Sebagai konsekuensi pemilihan topik
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah
permasalahan hukum, maka tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif (Johnny Ibrahim, 2006: 295).
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Dari hasil
telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat
hukum yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskipsi.
Begitu juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di
litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna
praktik penelitian hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 37). Berdasarkan
definisi tersebut karakter preskriptif akan dikaji pada penegakan hukum
terhadap persekongkolan tender melalui pendekatan rule of reason yang
diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Suatu penelitian hukum
normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan
karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi
fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian (Johnny Ibrahim, 2006: 302).
Dalam penelitian ini, pendekatan perundang-undangan dilakukan terhadap
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Konsep dalam pengertian yang relevan
adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam
bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang
diabstrasikan dari hal-hal yang partikular dan fungsi dari konsep itu sendiri
ialah memunculkan objek-objek yang menarik perhatian dari sudut
pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut-atibut
tertentu (Johnny Ibrahim, 2006: 306). Konsep-konsep yang digunakan
adalah konsep tentang penegakan hukum terkhusus dalam persaingan
usaha.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada
dalam penelitian hukum adalah bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan berdasarkan hierarkinya. Bahan hukum sekunder
adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-
jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi,
dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain (Johnny
Ibrahim, 2006: 295-296).
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun
2003 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,
dan Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penanganan
Perkara. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini
adalah jurnal, buku, artikel internet dan artikel media massa.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer,
dan bahan hukum sekunder diinventarisasi dan diklasiikasi dengan
menyesuaikan masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan
dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian
dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku (Johnny
Ibrahim, 2006: 296).
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis yang digunakan adalah metode penalaran hukum.
Metode penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap
bahan-bahan hukum yang dianalisis dapat menggunakan penalaran
deduksi, induksi dan abduksi. Metode ini menitikberatkan pada logika,
logika mengajarkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menghindarkan
kesalahan dalam rangka mencapai kebenaran, namun ia belum
mengajarkan kebenaran materi pemikiran. Penalaran deduktif digunakan
untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus
yang individual, penalaran ini bertolak dari aturan hukum yang berlaku
umum pada kasus individual konkret yang dihadapi. Penalaran induktif
dengan merumuskan fakta, mencari hubungan sebab akibat, serta
mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang telah
diputus kemudian membandingkan kasus faktual yang dihadapi yang
menghasilkan temuan dan kesimpulan. Sedangkan penalaran abduktif
adalah penalarn hukum yang mengandung unsur induksi dan deduksi
secara bersamaan (Johnny Ibrahim, 2006: 249-251). Dalam penelitian ini,
analisis bahan hukum yang digunakan adalah penalaran deduktif.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun
susunannya adalah sebagai berikut:
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan hukum.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memaparkan landasan teori dari para pakar maupun
doktrin hukum berdasarkan literatur yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian. Landasan teoritik tersebut meliputi tinjauan umum mengenai
persekongkolan tender, pendekatan hukum persaingan usaha, penegakan
hukum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan hasil yang
diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan masalah yang diteliti,
terdapat dua pokok permasalahan yang dibahas dalam bab ini yaitu
apakah pengaturan persekongkolan tender dalam Undang-Undang No. 5
Tahun 1999 dengan pendekatan rule of reason sudah tepat dan apakah
kelemahan penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) terhadap persekongkolan tender dengan
pendekatan rule of reason.
BAB IV. PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai simpulan yang dapat
diperoleh dari kesimpulan hasil pembahasan dan proses meneliti, serta
saran-saran yang dapat penulis kemukakan pada para pihak yang terkait
dengan bahasan penulisan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Persekongkolaan Tender
Persekongkolan Tender diatur pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat,“ pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur
dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat”.
a. Pengertian Persekongkolan
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
memberikan definisi persekongkolan atau konspirasi adalah bentuk kerja
sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol. Persekongkolan selalu melibatkan dua pihak
atau lebih untuk melakukan kerjasama. Pembentuk Undang-undang
memberikan tujuan persekongkolan secara limitatif untuk menguasai pasar
bagi kepentingan pihak-pihak yang bersekongkol. Penguasaan pasar
merupakan perbuatan yang diantisipasi dalam persekongkolan termasuk
dalam tender. Kiranya sulit untuk menentukan bahwa dalam
persekongkolan (tender) mengarah pada penguasaan pasar apabila
mengacu pada pengertian pasar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yaitu lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan
barang/jasa.
Menurut Black’ Law Dictionary (1968:382) mendefinisikan
persekongkolan (conspiracy), a combination or confederacy between two
or persons formed for the purpose of committing, by their joint efforts,
some unlawful or criminal act, or some act which is innocent in itself, but
becomes unlawful when done concerted action of the conspirators, or for
the purpose of using criminal or unlawful means to the commission of an
act not in it self unlawful. Definisi diatas menegaskan bahwa
persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan
untuk melakukan tindakan/kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku
kriminal atau melawan hukum. Terdapat dua unsur persekongkolan yaitu
pertama, adanya dua pihak atau lebih secara bersama-sama (in concert)
melakukan perbuatan tertentu dan kedua, perbuatan yang disekongkolkan
merupakan perbuatan yang melawan atau melanggar hukum (Yakub Adi
Krisanto, 2002: 105). Yang perlu digaris bawahi adalah pertama, bahwa
terjadi persekongkolan apabila ada tindakan bersama yang melawan
hukum. Kedua, suatu tindakan apabila dilakukan oleh satu pihak maka
bukan merupakan perbuatan melawan hukum (unlawful) tetapi ketika
dilakukan bersama (concerted action) merupakan perbuatan melawan
hukum.
Berkaitan dengan definisi persekongkolan muncul permasalahan
yaitu apabila terjadi kerjasama antara dua pelaku usaha, tetapi yang
melakukan perbuatan hanya salah satu pihak dari pihak yang bekerjasama.
Padahal dengan melakukan sendirian suatu perbuatan pihak tersebut dapat
menguasai pasar atau mempengaruhi proses tender. Apakah situasi
demikian dapat dikatakan telah terjadi persekongkolan?. Situasi tersebut
sangat mungkin terjadi dalam pelaksanaan tender karena kerjasama yang
dibangun dilakukan tidak pada saat proses tender berlangsung. Sehingga
pada saat tender, salah satu pihak mengikuti proses tender dan dapat
menguasai pasar karena kekuatan modal atau pengaruh pada pasar
tertentu. Salah satu indikator terjadi persekongkolan yaitu apakah terdapat
tujuan untuk menguasai pasar ketika melakukan kerjasama.
b. Pengertian Tender
Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur
bahwa “ tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu
pekerjaan untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan
jasa”. Dalam hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penawaran
(oleh beberapa atau oleh satu pelaku usaha dalam hal penunjukan atau
pemilihan langsung). Pengertian tender dalam tersebut mencakup tawaran
mengajukan harga untuk:
a) memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan.
b) mengadakan barang dan atau jasa.
c) membeli suatu barang dan atau jasa.
d) menjual suatu barang dan atau jasa. Berdasarkan definisi tersebut, maka cakupan dari penerapan Pasal 22
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah tender atau tawaran
mengajukan harga yang dapat dilakukan melalui:
a) tender terbuka,
b) tender terbatas,
c) pelelangan umum,
d) pelelangan terbatas (KPPU, 2006: 7).
Pengertian tender termasuk dalam ruang lingkup tender antara lain
pertama, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk memborong suatu
pekerjaan. Kedua, tawaran mengajukan harga (terendah) untuk
mengadakan barang-barang. Ketiga, tawaran mengajukan harga (terendah)
untuk menyediakan jasa. Terdapat tiga terminologi berbeda untuk
menjelaskan pengertian tender yaitu pemborongan, pengadaan, dan
penyediaan. Tiga terminologi tersebut menjadi pengertian dasar dari
tender, artinya dalam tender suatu pekerjaan meliputi pemborongan,
pengadaan, dan penyediaan. Suatu pekerjaan/proyek ditenderkan maka
pelaku usaha yang menang dalam proses tender akan memborong,
mengadakan atau menyediakan barang/jasa yang dikehendaki oleh pemilik
pekerjaan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian antara pemenang tender
dengan pemilik pekerjaan (Yakub Adi Krisanto, 2005: 40-50).
Para pihak dalam tender terdiri dari pemilik pekerjaan/proyek yang
melakukan tender dan pelaku usaha yang ingin melaksanakan proyek yang
ditenderkan (peserta tender). Tender yang bertujuan untuk memperoleh
pemenang tender dalam suatu iklim tender yang kompetitif harus terdiri
dari dua atau lebih pelaku usaha peserta tender. Dua atau lebih pelaku
usaha akan berkompetisi dalam mengajukan harga dari suatu proyek yang
ditawarkan, sehingga apabila peserta tender hanya satu maka pilihan
pemilik pekerjaan menjadi lebih terbatas. Keterbatasan pilihan sangat
tidak menguntungkan bagi pemilik pekerjaan karena ide dasar dari
pelaksanaan tender adalah mendapatkan harga terendah dengan kualitas
terbaik. Sehingga dengan keberadaan lebih dari dua peserta tender akan
terjadi persaingan dalam pengajuan harga untuk memborong, mengadakan
atau menyediakan barang/jasa.
c. Pengertian Persekongkolan Tender
Persekongkolan tender adalah perbuatan pelaku usaha yang
melakukan kerjasama dengan pelaku usaha lain untuk menguasai pasar
dengan cara mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga
dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Sacker dan Lohse
mengatakan bahwa konspirasi (persekongkolan) tender adalah hambatan
persaingan yang dilakukan apabila hasil pengumuman tender
menguntungkan salah satu peserta tender.
United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD) menyatakan bahwa persekongkolan tender terjadi dalam
berbagai bentuk, yaitu perjanjian yang menentukan siapa yang
mengajukan penawaran termurah, perjanjian mengenai cover bid
(penawaran secara sukarela terlalu mahal), perjanjian tidak akan bersaing
satu sama lain dalam mengajukan penawaran, perjanjian standar umum
untuk menentukan harga atau kondisi tender, perjanjian ‘memeras’ peserta
tender luar, perjanjian yang sebelumnya mengatur pemenang tender atas
dasar rotasi, atau alokasi geografis, atau alokasi pelanggan (Krisanto,
2006: 107). United States Departement of Justice menentukan bahwa
persekongkolan tender (bid rigging) adalah the way that conspiring
competitors effectively raise prices where purchasers – often federal,
state, or local goverments – acquired goods or services by soliciting
competing bids. Persekongkolan tender terjadi ketika para pesaing
bersekongkol untuk menaikkan harga agar salah satu pesaing yang
disepakati dapat memenangkan tender. Ari Siswanto bahkan secara tegas
menyatakan bahwa persekongkolan tender mengartikan persekongkolan
yang dilakukan oleh peserta tender untuk mengatur dan menentukan siapa
yang menjadi pemenang tender. Senada dengan pengertian
persekongkolan tender diatas, Naoaki Okatani menyatakan bahwa
persekongkolan tender terjadi apabila para penawar akan menentukan
perusahaan mana yang harus mendapat order dengan harga kontrak yang
ditawarkan. Persekongkolan tender terjadi sebelum diumumkan pemenang
tender dan bersarnya harga kontrak, masing-masing peserta tender
melakukan penawaran dengan harga yang telah direncanakan sebelumnya
Pemikiran filosofis tujuan penegakan hukum terutama keadilan
yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran
John Rawls mengungkapkan tiga faktor utama yaitu :
a. perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit)
b. kepastian hukum (Rechtessisherkeit)
c. kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit) (Soetandyo, 2002: 18).
Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak
yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya
yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu
gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah
filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk
memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman (R.Arry Mth. Soekowathy,
2003: 291).
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud
dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang
dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit
maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam
setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan
kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-
norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan penegakan hukum
dapat ditentukan sendiri batas-batasnya. Dalam penulisan ini pembahasan
mengenai penegakan hukum yang digunakan adalah penegakan dalam arti
sempit yaitu penegakan peraturan, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Dan penegakan hukum formal yang menekankan pada sanksi
untuk mencapai tujuan berupa keadilan, kemanfaatan dan kepastian
hukum.
4. Tinjauan Umum tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur
bahwa Komisi Pengawas Persaingan Usaha (yang selanjutnya disebut KPPU)
adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat. Komisi ini dibentuk sebagai wujud nyata
penegakan hukum terhadap upaya praktek monopoli maupun persaingan usaha
tidak sehat yang dilakukan oleh pelaku usaha. Pasal yang mengatur mengenai
Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Pasal 30 sampai 37 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pembentukan Komisi serta susunan organisasi,
tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, status
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meliputi:
(1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi. (2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. (3) Komisi bertanggung jawab kepada Presiden.
Menurut Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, keanggotaan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, meliputi:
(1) Komisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.
Menurut Pasal 32 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, persyaratan
anggota Komisi antara lain:
a. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan; b. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; c. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; d. jujur, adil, dan berkelakuan baik; e. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; f. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi; g. tidak pernah dipidana; h. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan i. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha.
Sebagai lembaga independen maka persyaratan anggota Komisi
Pengawas Persaingan Usaha tersebut cukup fair terlebih syarat terakhir
dimana tidak terafiliasi dengan badan usaha tersebut memang dibutuhkan
dalam pengawasan. Yang dimaksud tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha
adalah bahwa sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi tidak menjadi
: anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan;
anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi; pihak yang
memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan seperti konsultan, akuntan
publik, dan penilai; dan pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.
Pemberhentian keanggotaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
berakhir ketika meninggal dunia; mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; sakit jasmani
atau rohani terus menerus; berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi;
atau diberhentikan. Persyaratan berakhirnya keanggotaan karena diberhentikan
belum diatur secara detail untuk alasan seperti apa, misalnya melakukan
tindak pidana atau perbuatan melawan hukum lainnya. Sedangkan dalam
kinerjanya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dibantu oleh sekretariat ntuk
kelancaran pelaksanaan tugas dan Komisi dapat membentuk kelompok kerja.
Kelompok kerja adalah tim profesional yang ditunjuk oleh Komisi untuk
membantu pelaksanaan tugas tertentu dalam waktu tertentu.
Tugas Komisi menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, meliputi:
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28; d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36; e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini; g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sedangkan Wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, meliputi:
a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya; d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Seperti Komisi independen pada umumnya, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha juga memerlukan pembiayaan dalam melaksanakan fungsi,
tugas ataupun wewenangnya. Menurut Pasal 37 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 diatur bahwa “Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber
lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Pada dasarnya Negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan
tugas Komisi dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, mengingat ruang lingkup dan
cakupan tugas Komisi yang demikian luas dan sangat beragam, maka Komisi
dapat memperoleh dana dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang sifatnya tidak mengikat
serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi.
B. Kerangka Pemikiran
Bagan 6. Kerangka Pemikiran
Pengaturan Persekongkolan Tender dalam UU
No. 5 Tahun 1999 dengan Rule of Reason
Penanganan KPPU sulit :
- Pendekatan Hukum - Pendekatan Ekonomi - Pembuktian Kerugian
APBN (korupsi) - Dominasi Perkara Tender
Dengan pendekatan Per se Illegal :
- Indikasi larangan dengan adanya barrier to entry
- Pembuktian terhadap perjanjian yang sifatnya kolusif atau sekongkol
Persaingan Sehat yang
Menyejahterakan Rakyat
Keterangan :
Persekongkolan tender yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat menggunakan pendekatan rule of reason. Perkara persekongkolan tender
mendominasi perkara di KPPU karena banyaknya celah atau peluang untuk
melakukan persekongkolan tersebut. Prakteknya, KPPU menggunakan
pendekatan rule of reason seperti ketentuan normatifya. Tetapi pendekatan rule of
reason yang digunakan menjadi kesulitan tersendiri bagi KPPU karena harus
melakukan prosedur penyidikan melalui pendekatan hukum, pendekatan ekonomi,
pembuktian terhadap unsur korupsi yang mengakibatkan pada kerugian APBN.
Prosedur yang ditempuh sangat rumit dengan pendekatan rule of reason sekalipun
secara logika kegiatan persekongkolan tender yang jelas-jelas menghambat
terwujudnya persaingan yang sehat karena adanya barrier to entry atau hambatan
masuk pasar dalam persaingan, padahal prinsipnya persaingan membuka
kesempatan yang sama dalam tender antar pelaku usaha. Akan tetapi, apabila
sejak awal sudah ada indikasi kecurangan dalam tender akan membatasi
persaingan karena pemenang tender sudah ditentukan, alangkah baiknya apabila
persekongkolan tender diklasifikasikan pada per se illegal karena secara langsung
sudah terdapat unsur ilegal, sehingga pembuktian ditujukan pada perjanjian atau
unsur bersekongkol saja dan apabila terbukti adanya perjanjian tersebut dapat
langsung diperkarakan seperti ketentuan per se Illegal lainnya. Hal ini juga akan
memberi dampak pada jumlahnya perkara persekongkolan tender yang ada di
KPPU karena celah persekongkolan otomatis akan ditekan dengan ketentuan per
se illegal persekongkolan tender dan memudahkan pembuktian yang digunakan
untuk mewujudkan persaingan yang sehat yang otomatis menyejahterakan rakyat.
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Persekongkolan Tender dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 dengan Pendekatan Rule of Reason
Beberapa ahli yang concern terhadap hukum persaingan usaha
Indonesia yang mengatakan bahwa dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
terdapat prinsip rule of reason dan per se illegal. Namun pendapat tersebut
tidak mempunyai landasan normatif dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1999 karena memang Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak secara
eksplisit menyinggung prinsip rule of reason dan per se illegal. Berbagai
literatur tentang hukum persaingan usaha sering disinggung mengenai rule of
reason dan per se illegal tersebut. Dalam literatur tersebut rule of reason dan
per se illegal dibahas serba sedikit untuk memberikan pemahaman dan
perbandingan hukum persaingan usaha (competition law) yang berlaku di
Amerika. Dikemukakan dalam literatur tersebut bahwa kedua prinsip tersebut
merupakan pendekatan untuk melakukan penilaian terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilarang oleh Sherman Act, Clayton Act, Federal Trade
Commission Act Antitrust Law. Hal ini juga dimplikasikan pada pelaksanaan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang merupakan peraturan untuk
awal yang cukup, maka kesimpulan disusun dalam bentuk Laporan Hasil
Pemeriksaan Pendahuluan yang berisi dugaan pelanggaran yang dilakukan
oleh terlapor, pengakuannya dan rekomendasi perlu tidaknya pemeriksaan
lanjutan. Selanjutnya ditentukan dalam Rapat Komisi terkait status
Terlapor. Apabila Terlapor tidak bersedia mengakhiri perjanjian dan/atau
kegiatannya, Tim Pemeriksa Pendahuluan memberikan kesempatan untuk
mengajukan pembelaan diri dalam pemeriksaan lanjutan dengan
memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, menyampaikan bukti
pendukung dan/atau mengajukan saksi dan ahli. Pemeriksaan pendahuluan
dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan.
Komisi dapat menetapkan tidak perlu dilakukan Pemeriksaan Lnjutan
meskipun terdapat dugaan pelanggaran apabila terlapor menyatakan
bersedia melakukan perubahan perilaku. Perubahan perilaku dapat
dilakukan dengan membatalkan perjanjian dan/atau menghentikan
kegiatan yang diduga melakukan pelanggaran dan/atau membayar
kerugian akibat dari pelanggaran yang dilakukan. Perubahan perilaku
dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari dan Komisi melakukan
monitoring terhadap perubahan perilaku.
f. Pemeriksaan Lanjutan
Pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh Tim Pemeriksa Lanjutan yang terdiri
dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) anggota Komisi. Pemeriksa Lanjutan
dilakukan untuk menemukan ada tidaknya bukti pelanggaran. Untuk
menemukan ada tidaknya bukti pelanggaran dilakukan serangkaian
kegiatan antara lain : memeriksa dan meminta keterangan Terlapor;
memeriksa dan meminta keterangan dari Saksi, Ahli dan Instansi
Pemerintah; meminta, mendapatkan dan menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain; dan melakukan penyelidikan terhadap kegiatan Terlapor atau
pihak lain terkait dengan dugaan pelanggaran. Penyelidikan dilakukan di
lokasi dimana keterangan dan/atau bukti terkait dugaan pelanggaran dapat
ditemukan. Sebelum pemeriksaan lanjutan berakhir, Tim Pemeriksa
Lanjutan menyimpulkan ada tidaknya bukti telah terjadi pelanggaran.
Pemeriksaan Lanjutan dilakukan dalam jangka waktu 60 (enam puluh)
hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak ditetapkannya penetapan pemeriksaan lanjutan.
g. Sidang Majelis Komisi
Majelis Komisi dibentuk sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang
Anggota Komisi yang dipimpin oleh seorang Ketua Majelis dan 2 (dua)
orang Anggota Majelis untuk memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi.
Sidang Majelis Komisi dilakukan untuk menilai, menyimpulkan dan
memutuskan perkara berdasarkan bukti yang cukup tentang telah terjadi
atau tidak terjadinya pelanggaran. Pada Sidang pertama Majelis Komisi
memberikan kesempatan kepada Terlapor untuk menyampaikan pendapat
atau pembelaannya terkait dengan dugaan pelanggaran yang dituduhkan.
Pendapat atau pembelaan Terlapor dapat disampaikan secara tertulis atau
lisan dan dapat menyampaikan bukti tambahan dalam sidang Majelis.
Majelis Komisi memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran
berdasarkan penilaian Hasil Pemeriksaan Lanjutan dan seluruh surat
dan/atau dokumen atau alat bukti lain yang disertakan di dalamnya
termasuk pendapat atau pembelaan Terlapor. Keputusan Majelis Komisi
disusun dalam bentuk Putusan Komisi dan apabila telah terbukti terjadi
pelanggaran, Majelis Komisi dalam putusannya menyatakan Terlapor telah
melanggar ketentuan undang-undang dan menjatuhkan sanksi administratif
sesuai dengan ketentuan undang-undang. Putusan Komisi dibacakan dalam
suatu Sidang Majelis Komisi yang terbuka untuk umum dengan
memberitahukan kepada Terlapor tentang waktu dan tempatnya. Putusan
Komisi dibacakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu pemeriksaan lanjutan.
Dari prosedur yang dilakukan untuk mengetahui perjanjian atau
kegiatan yang dilarang dalam persaingan usaha apalagi dari proses laporan
atau monitoring sampai Sidang Majelis membutuhkan waktu maksimal 494
hari efektif. Apabila hari kerja KPPU dalam 1 (satu) bulan maksimal 20 (dua
puluh) hari, maka perhitungan terhadap prosedur yang ada adalah 24 (dua
puluh empat) bulan 14 (empat belas) hari. Hampir 2 (dua) tahun lebih KPPU
berkutat untuk memperjuangkan penegakan terhadap persekongkolan tender.
Hal ini menimbulkan ketimpangan terhadap kecenderungan kasus
persekongkolan tender padahal kasus persekongkolan tender mendominasi
perkara di KPPU. Jangka waktu tersebut belum termasuk upaya hukum
setelah adanya Putusan Komisi. Berikut ini skema tata cara penanganan
perkara oleh KPPU secara umum yang diterapkan juga dalam perkara
persekongkolan tender.
Tidak
Tidak
Bagan 7. Tata Cara Penanganan Perkara
Monitoring Laporan
Pemberkasan
Klarifikasi
Pemeriksaan Pendahuluan
Gelar Laporan
Pengadilan Negeri
Sidang Majelis
Pemeriksaan Lanjutan
Mahkamah Agung
Putusan KPPU
Putusan PN
Menerima
Terbukti
Monitoring Perubahan
Perilaku
Perilaku Berubah
Berhenti
Selain pada pembuktian secara prosedural, KPPU harus dapat melihat
indikasi-indikasi terjadinya persekongkolan tender yang meliputi :
1. Indikasi persekongkolan pada saat perencanaan, meliputi : a. pemilihan metode pengadaan yang menghindari pelaksanaan
tender secara terbuka. b. pencantuman spesifikasi teknik, jumlah, mutu dan/atau Waktu
penyerahan barang yang akan ditawarkan atau dijual atau dilelang yang hanya dapat disuplai oleh satu pelaku usaha tertentu.
c. tender dibuat dalam paket yang hanya satu atau dua peserta tertentu yang dapat mengikuti/melaksanakannya.
d. ada keterkaitan antara sumber pendanaan dan asal barang/jasa. e. nilai uang jaminan lelang ditetapkan jauh lebih tinggi daripada
nilai dasar tender. f. penetapan tempat dan waktu lelang yang sulit dicapai dan diikuti.
2. Indikasi persekongkolan pada saat pembentukan Panitia, antara lain meliputi :
a. Panitia yang dipilih tidak memiliki kualifikasi yang dibutuhkan sehingga mudah dipengaruhi.
b. panitia terafiliasi dengan pelaku usaha tertentu. c. Susunan dan kinerja Panitia tidak diumumkan atau cenderung
ditutup-tutupi. 3. Indikasi persekongkolan pada saat prakualifikasi perusahaan atau pra
tender, antara lain meliputi : a. persyaratan untuk mengikuti prakualifikasi membatasi dan/atau
mengarah kepada pelaku usaha tertentu. b. adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai
spesifikasi, merek, jumlah, tempat dan/atau waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditender atau dielangkan.
c. adanya kesepakatan mengenai cara, tempat dan/atau waktu pengumuman tender.
d. Adanya pelaku usaha yang diluluskan dalam prakualifikasi walaupun tidak atau kurang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
e. Panitia memberikan perlakuan khusus/istimewa kepada pelaku usaha tertentu.
f. adanya persyaratan tambahan yang dibuat setelah prakualifikasi dan tidak diberitahukan kepada semua peserta.
g. adanya pemegang saham yang sama di antara peserta atau Panitia atau pemberi pekerjaan maupun pihak lain yang terkait langsung dengan tender (benturan/kepentingan).
4. Indikasi persekongkolan pada saat pembuatan persyaratan untuk mengikuti tender maupun pada saat penyusunan dokumen tender antara lain meliputi adanya persyaratan tender/lelang yang mengarah kepada
pelaku usaha tertentu terkait dengan sertiikasi barang, mutu, kapasitas dan waktu penyerahan yang harus dipenuhi.
5. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman tender, antara lain meliputi :
a. Jangka waktu pengumuman tender yang sangat terbatas. b. Informasi dalam pengumuman tender dengan sengaja dibuat tidak
lengkap dan tidak memadai. Sementara informasi yang lebih lengkap diberikan hanya kepada pelaku usaha tertentu.
c. Pengumuman tender dilakukan melalui media dengan jangkauan yang sangat terbatas, misalnya pada surat kabar yang tidak dikenal ataupun pada papa pengumuman yang jarang dilihat publik atau pada surat kabar dengan jumlah eksemplar yang tidak menjangkau sebagian besar target yang diinginkan.
d. Pengumuman tender dimuat pada surat kabar dengan ukuran iklan yang sangat kecil atau pada bagian/lay-out surat kabar yang seringkali dilewatkan oleh pembaca yang menjadi target tender.
6. Indikasi persekongkolan pada saat pengembalian dokumen tender antara lain meliputi :
a. Dokumen tender yang diberikan tidak sama bagi seluruh calon peserta tender.
b. Waktu pengambilan dokumen tender yang diberikan sangat terbatas.
c. Alamat atau tempat pengambilan dokumen tender sulit ditemukan oleh calon peserta tender.
d. Panitia memindahkan tempat pengambilan dokumen tender secara tiba-tiba menjelang penutupan waktu pengambilan dan perubahan tersebut tidak diumumkan secara terbuka.
7. Indikasi persekongkolan pada saat penentuan Harga Perkiraan Sendiri atau harga dasar tender, antara lain meliputi :
a. Adanya dua atau lebih harga perkiraan sendiri atau harga dasar atas satu produk atau jasa yang ditender.
b. Harga perkiraan sendiri atau harga dasar ditentukan berdasarkan pertimbangan yang tidak jelas dan tidak wajar.
8. Indikasi persekongkolan pada saat penjelasan tender atau open house, antara lain meliputi :
a. informasi atas barang/jasa yang ditender tidak jelas dan cenderung ditutupi.
b. penjelasan tender dapat diterima oleh pelaku usaha yang terbatas sementara sebagian besar calon peserta lainnya tidak dapat menyetujuinya.
c. Panitia bekerja secara tertutup dan tidak memberi layanan atau informasi yang seharusnya diberikan secara terbuka.
d. Salah satu calon peserta tender melakukan pertemuan tertutup dengan Panitia.
9. Indikasi persekongkolan pada saat penyerahan dan pembukaan dokumen atau kotak penawaran tender, antara lain meliputi :
a. adanya dokumen penawaran yang diterima setelah batas waktu. b. adanya dokumen yang dimasukkan dalam satu amplop bersama-
sama dengan penawaran peserta tender yang lain. c. adanya penawaran yang diterima oleh Panitia dari pelaku usaha
yang tidak mengikuti atau tidak lulus dalam proses kualifikasi atau proses administrasi.
d. terdapat penyesuaian harga penawaran pada saat-saat akhir sebelum memasukkan penawaran.
e. adanya pemindahan lokasi/tempat penyerahan dokumen penawaran secara tiba-tiba tanpa pengumuman.
10. Indikasi persekongkolan pada saat evaluasi dan penetapan pemenang tender, antara lain meliputi :
a. jumlah peserta tender yang lebih sedikit dari jumlah peserta tender dalam tender sebelumnya.
b. harga yang dimenangkan jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari harga tender sebelumnya oleh perusahaan atau pelaku usaha yang sama.
c. para peserta tender memasukkan harga penawaran yang hampir sama.
d. peserta tender yang sama, dalam tender yang berbeda mengajukan harga yang berbeda untuk barang yang sama tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.
e. Panitia cenderung untuk memberi keistimewaan pada peserta tender tertentu.
f. adanya beberapa dokumen penawaran tender yang mirip. g. adanya dokumen penawaran yang ditukar atau dimodifikasi oleh
Panitia. h. Proses evaluasi dilakukan di tempat yang terpencil atau
tersembunyi. i. perilaku dan penawaran para peserta tender dalam memasukkan
penawaran mengikuti pola yang sama dengan beberapa tender sebelumnya.
11. Indikasi persekongkolan pada saat pengumuman calon pemenang, antara lain meliputi :
a. Pengumuman diumumkan secara terbatas sehingga pengumuman tersebut tidak diketahui secara optimal oleh pelaku usaha yang memenuhi persyaratan, misalnya diumumkan pada media massa yang tidak jelas atau diumumkan melalui faksimili dengan nama pengirim yang jelas.
b. Tanggal pengumuman tender ditunda dengan alasan yang tidak jelas.
c. Peserta tender memenangkan tender cenderung berdasarkan giliran yang tetap.
d. Ada peserta tender yang memenangkan tender secara teru-menerus di wilayah tertentu.
e. Ada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang tender dengan harga penawaran peserta lainnya dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan.
12. Indikasi persekongkolan pada saat pengajuan sanggahan, antara lain meliputi :
a. Panitia tidak menanggapi sanggahan peserta tender. b. Panitia cenderung menutup-nutupi proses dan hasil evaluasi.
13. Indikasi persekongkolan pada saat penunjukan pemenang tender dan penandatanganan kontrak, antara lain meliputi :
a. Surat penunjukan pemenang tender telah dikeluarkan sebelum proses sanggahan diselesaikan.
b. Penerbitan surat penunjukan pemenang tender mengalami penundaan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Surat penunjukan pemenang tender tidak lengkap. d. Konsep kontrak dibuat dengan menghilangkan hal-hal penting
yang seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kontrak.
e. Penandatanganan kontrak dilakukan secara tertutup. f. Penandatanganan kontrak mengalami penundaan tanpa alasan yang
tidak dapat dijelaskan. 14. Indikasi persekongkolan pada saat pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan,
antara lain meliputi : a. Pemenang tender mensub-kontrakkan pekerjaan kepada
perusahaan lain atau peserta tender yang kalah dalam tender tersebut.
b. Volume atau nilai proyek yang diserahkan tidak sesuai dengan ketentuan awal tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Hasil pengerjaan tidak sesuai atau lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam spesifikasi teknis tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan (KPPU, 2008: 12-16).
Dari penjabaran di atas perlu diperhatikan bahwa hal-hal tersebut
merupakan indikasi persekongkolan yang terbatas pada muara adanya
persekongkolan tender yang menciptakan persaingan usaha tidak sehat.
Sedangkan bentuk atau perilaku persekongkolan maupun ada tidaknya
persekongkolan tersebut harus dibuktikan melalui pemeriksaan oleh Tim
Pemeriksa atau Majelis KPPU. Hal ini dapat berakibat pada penelitan,
pengkajian bahkan persidangan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Selain dari indikasi-indikasi terjadinya persekongkolan tender,
terdapat juga modus-modus beroperasinya persekongkolan tender yang dapat
dianalisis meliputi :
1. Tekanan terhadap penawaran (Bid Suppression) artinya bahwa satu atau
lebih penawar setuju untuk tidak mengikuti pelelangan atau menarik
penawaran yang telah diajukan sebelumnya dan memberi kesempatan
agar penawar lain dapat memenangkan pelelangan tersebut. Berdasarkan
metode ini persekongkolan dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih
pelaku usaha dan di dalamnya terjadi pemaksaan yang dilakukan di
antara para peserta tender agar yang lain bersedia menahan diri bahkan
dipaksa untuk menarik diri dari persaingan penawaran harga.
2. Penawaran yang Saling Melengkapi (Complementary Bidding) yaitu
kesepakatan di antara para penawar dimana dua atau lebih penawar
setuju terhadap siapa yang akan memenangkan penawaran dengan
mengatakan harga yang direncanakan sehingga penawar lain akan
melakukan penawaran dengan harga yang lebih tinggidi tingkat harga
yang ditentukan. Tindakan tersebut menciptakan seolah-olah terdapat
persaingan yang sesungguhnya di antara mereka.
3. Perputaran Penawaran atau Arisan Tender (Bid Rotation) adalah pola
penawaran tender dimana satu dari penawar setuju untuk kembali sebagai
penawar yang paling rendah. Dalam hal ini penawar tender (selain
pemenang yang sudah ditentukan sebelumnya) secara bersama-sama
akan menawar setinggi-tingginya, sebelum sampai pada gilirannya untuk
memenangkan tender. Seringkali perputaran ini menetapkan adanya
jaminan bahwa mereka akan mendapat giliran untuk memenangkan
tender.
4. Pembagian Pasar (Market Division) adalah pola penawaran tender yang
terdiri dari beberapa cara untuk memenangkan tender melalui pembagian
pasar. Melalui metode ini, para penawar dapat merancang wilayah
geografis maupun pelanggan tertentu sehingga jika terdapat kontrak di
wilayah tertent, seluruh penawar sudah mengetahui penawar mana yang
akan memenangkan tender (http://www.oecd.org/competition).
Modus-modus tersebut menjadi cara-cara memuluskan pelaku usaha
yang bersekongkol dalam penawaran tender. Selain harus pandai mendeteksi
indikasi maupun modus-modusnya, rule of reason diterapkan juga melalui
pendekatan ekonomi.
2. Pendekatan Ekonomi
Pendekatan ekonomi dilakukan dengan menggunakan keahlian ekonomi dan
melihat peluang-peluang seperti :
a. Relevant Market yang erat kaitannya dengan pengukuran pasar dan ini
merupakan salah satu tugas penting dalam menganalisis adanya tingkat
persaingan pasar yang bersangkutan.
b. Market power (kekuatan pasar) yang sangat berkaitan dengan pangsa
karena pelaku usaha dalam kekuatan pasar yang ditentukan berdasarkan
pada pangsa pasar yang dikuasainya. Pangsa pasar di sini mencerminkan
kekuatan pasar dari sisi pelaku usaha dan kekuatan pasar tersebut
digunakan untuk mengatur harga supra kompetitif atau untuk
meenghambat adanya persaingan.
c. Barrier to entry (hambatan masuk pasar yang bersangkutan) bagi pelaku
usaha merupakan persoalan serius dalam rangka melakukan kegiatan
usahanya lancar. Salah satu cara yang ditempuh oleh pelaku usaha adalah
mengurangi hambatan untuk masuk ke pasar yang bersangkutan dan ini
merupakan metode yang baik atau dapat pula dikatakan sebagai hal
bermanfaat bagi persaingan usaha.
d. Strategi harga, dalam pendekatan perilaku, harga merupakan salah satu
tolok ukur untuk mengamati apakah terdapat dugaan pelanggaran terhadap
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 atau tidak. Diperlukan suatu
pengetahuan yang memadai mengenai bagimana proses terjadinya
pembentukan harga pasar, pertimbangan serta strategi yang sekiranya
dapat digunakan oleh pelaku usaha untuk menentukan harga dan tingkat
harga yang ada pada pasar tertentu.
Menurut ilmu ekonomi, pasar yang paling ideal adalah pasar yang
bersaing sempurna (perfect competition market), pasar dikatakan mempunyai
sifat persaingan sempurna apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. barang yang diperjualbelikan homogen;
2. jumlah penjual dan pembeli sangat banyak;
3. tidak ada hambatan bagi setiap penjual untuk masuk atau keluar pasar;
4. penjual dan pembeli mengetahui seluruh informasi pasar secara
sempurna.
Hukum harus mampu berpartisipasi agar idealisme pasar dapat tercapai dan
tidak merugikan para pelaku usaha. Pada dasarnya, persaingan dalam suatu
perekonomian modern adalah sesuatu yang penting dan wajar sehingga pelaku
usaha wajar sehingga pelaku usaha wajar juga apabila menginginkan
keuntungan. Yang mana sasaran utamanya adalah keseimbangan kepentingan
yang wajar dan jujur antara kelompok pelaku usaha dengan kepentingan
publik serta pelaksanaan etika bisnis dengan penuh kesadaran (Sri Redjeki
Hartono, 2007: 140-142).
Dalam hukum ekonomi, hukum persaingan usaha lebih mencerminkan
ideologi atau filsafat suatu perekonomian . Hukum ini merupakan filsafat
perekonomian yang sekarang diterima secara meluas di seluruh dunia yang
merupakan pendukung utama sistem perencanaan perekonomian pusat.
Penerapan rule of reason dalam persekongkolan tender dari norma yang diatur
dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang mana perangkat peraturan
yang diturunkan atau dihasilkan dalam asas-asas hukum ekonomi merupakan
perangkat hukum yang ideal secara filosofis, yuridis dan sosiologis karena
memberikan keadilan, kepastian dan pengaturan yang berlaku baik bagi
produsen maupun konsumen sebagai unsur pelaku ekonomi. Hukum ekonomi
yang bersumber dari asas-asas hukum publik dan asas-asas hukum perdata
sekaligus dapat mengakomodasi kebutuhan hukum yang ada. Perangkat
hukum yang diutamakan adalah perangkat peraturan antara lain tentang
legalitas berusaha dan legalitas kegiatan berusaha termasuk perizinan dan
pengawasan. Asas-asas utama hukum ekonomi, yaitu : asas campur tangan
negara terhadap kegiatan ekonomi pada umumnya, asas pengawasan publik
yang bertanggung jawab, asas keterbukaan dan bertanggung jawab, dan asas