-
PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP
STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan
Pendidikan Program Diploma III Kebidanan Bandung
Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
Disusun oleh:
ELLY NUMA ZAHROTI
P17324110009
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN KEBIDANAN
BANDUNG
2013
-
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
LEMBAR PENGESAHAN KARYA TULIS ILMIAH
KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP
STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
Disusun oleh :
ELLY NUMA ZAHROTI
NIM : P17324110009
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Pada Tanggal 29 Oktober 2013
SUSUNAN DEWAN PENGUJI
Ketua Penguji
Maria Olva, S. Kp., M.Kes.
NIP. 194902051968062001
Anggota Penguji
Cherly Marlina, SST., M. Kes.
NIP. 198004222002122001
Desi Hidayanti, SST., MPH.
NIP. 198012142002122001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kebidanan
Politeknik Kesehatan Bandung
Dewi Purwaningsih, S.SiT, M. Kes
NIP. 196705271988012001
-
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA TULIS ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Karya Tulis Ilmiah dengan judul
PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP
STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
Disusun oleh:
ELLY NUMA ZAHROTI
NIM. P17324110009
Telah diperiksa dan disetujui untuk dipertahankan pada sidang
akhir
hasil Karya Tulis Ilmiah
Pembimbing
Desi Hidayanti, SST., MPH.
NIP. 198012142002122001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kebidanan Bandung
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
Dewi Purwaningsih, S.SiT, M. Kes
NIP. 196705271988012001
-
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANDUNG
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Karya Tulis Ilmiah ini
tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu
Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya yang
pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu
dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.
Bandung, Oktober 2013
Elly Numa Zahroti P17324110009
-
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Data Pribadi
Nama : Elly Numa Zahroti
Tempat Tanggal Lahir : Bandung, 24 Mei 1992
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Sukajadi Aspol No. 75 Rt.04 Rw.09 Bandung
40162
II. Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri Sejahtera V Bandung Tahun 1998-2004
2. SMP Negeri 12 Bandung Tahun 2004-2007
3. SMA Negeri 27 Bandung Tahun 2007-2010
-
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat, hidayat, serta
kuasa-Nya
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah dengan judul
PENGARUH
WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP STATUS
HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN DITINJAU
BERDASARKAN TELAAH LITERATUR. Karya tulis ilmiah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan
Diploma III
jurusan Kebidanan Politeknik Kementerian Kesehatan Bandung.
Penyusunan karya tulis ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan
dan bantuan
berbagai pihak baik moril maupun materil, maka pada kesempatan
ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dewi Purwaningsih, S.SiT,. M.Kes, selaku Ketua Jurusan
Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung.
2. Yulinda SST,. MPH., selaku Sekretaris Jurusan Kebidanan
Bandung
Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung
3. Desi Hidayanti SST., MPH., selaku dosen pembimbing yang
dengan
sangat sabar dan rendah hati, juga dengan caranya yang cerdas,
selalu
memberikan bimbingan, dorongan dan semangat kepada penulis
dalam
penyusunan kaya tulis ilmiah ini. Ibu, terimakasih.
4. Seluruh dosen pengajar Jurusan Kebidanan Bandung
Politeknik
Kesehatan Kemenkes Bandung yang tidak dapat saya sebutkan
satu
-
persatu, karena telah memberikan ilmunya yang bermanfaat dan
luar
biasa, selama saya mengikuti pendidikan di sini.
5. Seluruh staf dan karyawan Jurusan Kebidanan Bandung
Politeknik
Kesehatan Kemenkes Bandung yang selalu mendukung
berlangsungnya
pendidikan penulis.
6. Bapak Muhtadi, ayah yang selalu jadi emas di setiap diamnya
dan
selalu jadi yang paling bijak di setiap katanya, apapun yang
telah ayah
lakukan, terimakasih karena selalu membuat saya merasa
berharga.
7. Mama, Iis Elisah, terimakasih karena selalu mendukung saya
dan tak
pernah mengizinkan saya untuk berhenti.
8. Saudara laki-lakiku, Ahmad Fazi Ghozi dan Marhab Musaid.
Terkadang kalian menyebalkan tapi harapan kalian untuk
melihat
saudaramu ini segera menyelesaikan pendidikannya, cukup
membuatku
termotivasi. Terimakasih.
9. Saudara perempuanku, Farhatu Mutiati, semangat! Sebentar
lagi
giliranmu, Dek!
10. Rekan-rekan angkatan 2010, dengan peran masing-masing dari
kalian
yang berbeda-beda, terimakasih telah sempat bersama dan
saling
membantu, mengingatkan, memberi masukan dan memberi dukungan
dalam suka maupun duka. Khususnya Chatrin Marinda, Nita
Novitawati, dan penghuni kamar 206 serta 207.
11. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak
bisa
disebutkan satu persatu, penulis sangat berterima kasih dari
lubuk hati
-
yang paling dalam dan mudah-mudahan mendapatkan balasan dari
Allah SWT.
Penulis menyadari dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih
jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis
menerima saran dan
kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah
ini.
Harapan penulis semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat
bagi
penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya serta semoga
segala
perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari
Allah SWT.
Amin.
Bandung, Oktober 2013
Penulis
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
.................................................................................
i
DAFTAR ISI
...............................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR
...................................................................................
vi
DAFTAR TABEL
.......................................................................................
vii
ABSTRAK
.................................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN
............................................................................
1
A. Latar Belakang
..................................................................................
1
B. Rumusan Masalah
.............................................................................
5
C. Tujuan
...............................................................................................
5
D. Manfaat
.............................................................................................
6
E. Ruang Lingkup
..................................................................................
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
.................................................................
7
A. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir
........................................ 7
1. Sirkulasi Darah Janin
..................................................................
7
2. Sirkulasi Darah
Peralihan............................................................
10
3. Sirkulasi Darah
Neonatus............................................................
12
B. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
........................................ 14
C. Waktu Pemotongan Tali Pusat
........................................................... 26
1. Pemotongan Tali Pusat Segera
.................................................... 26
2. Penundaan Pemotongan Tali
Pusat.............................................. 28
D. Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status
Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
........................................ 30
1. Hemoglobin
................................................................................
31
-
2.
Hematokrit..................................................................................
32
3. Zat Besi
......................................................................................
33
4. Bilirubin
.....................................................................................
35
BAB III PEMBAHASAN
...........................................................................
38
A. Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
.......................................... 38
B. Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
.......................................... 40
C. Status Zat Besi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
.......................................... 43
D. Status Bilirubin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
.......................................... 45
E. Waktu Pemotongan Tali Pusat yang Optimal
..................................... 48
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
........................................................... 51
A. Simpulan
...........................................................................................
51
B. Saran
.................................................................................................
52
DAFTAR PUSTAKA
..................................................................................
53
LAMPIRAN
-
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin
...................................................... 7
Gambar 2.2 Sirkulasi Janin
...........................................................................
9
Gambar 2.3 Krista Dividens
..........................................................................
10
Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular
.............................................. 12
Gambar 2.5 Tali Pusat yang Dibiarkan Selama 15 Menit
............................... 20
-
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nilai Hematologi Normal Pada Bayi Baru Lahir Cukup
Bulan....... 15
Tabel 2.2 Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat Dari
Berbagai
Sumber
.........................................................................................
30
Tabel 3.1 Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
..................................... 38
Tabel 3.2 Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
..................................... 42
Tabel 3.3 Kadar Feritin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
..................................... 43
Tabel 3.4 Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
..................................... 47
-
ABSTRAK
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANDUNG
JURUSAN KEBIDANAN BANDUNG
KARYA TULIS ILMIAH
ELLY NUMA ZAHROTI
NIM. P17324110009
PENGARUH WAKTU PEMOTONGAN TALI PUSAT TERHADAP
STATUS HEMATOLOGI BAYI BARU LAHIR CUKUP BULAN
DITINJAU BERDASARKAN TELAAH LITERATUR
viii, IV BAB, 52 halaman
Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami
peralihan pada
masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan. Selama
masa tersebut,
oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan darah masih
ditransfusikan ke
bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht),
menambah volume darah dan mencegah hipovolemi serta hipotensi
pada bayi
baru lahir. Adanya perbedaan waktu pemotongan tali pusat antara
penundaan
pemotongan tali pusat dan pemotongan tali pusat segera,
mempengaruhi
hematologi bayi baru lahir cukup bulan, namun waktu pemotongan
tali pusat yang
bermanfaat bagi bayi baru lahir masih diperdebatkan.
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui
pengaruh waktu
pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi baru lahir
cukup bulan
sehingga didapatkan manfaat yang optimal bagi bayi baru lahir
dengan meninjau
dari berbagai literatur.
Nilai hemoglobin pada bayi yang dilakukan penundaan pemotongan
tali pusat
lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang dilakukan pemotongan
tali pusat
segera, begitupun dengan nilai hematokrit dan zat besi.
Peningkatan nilai
hematokrit yang terjadi, tidak terbukti menimbulkan polisitemia
pada bayi baru
lahir cukup bulan, begitupun dengan peningkatan nilai bilirubin
serum yang tidak
menimbulkan ikterus patologi.
Berdasarkan telaah literatur mengenai pengaruh waktu pemotongan
tali pusat
terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan, didapat
bahwa waktu
pemotongan tali pusat yang optimal adalah penundaan pemotongan
tali pusat
hingga 2 menit yang ditandai dengan berhentinya pulsasi tali
pusat dan dengan
tetap mempertimbangkan kondisi ibu dan bayi. Hal tersebut dapat
meningkatkan
nilai hemoglobin, hematokrit dan zat besi yang dapat mencegah
anemia pada bayi
baru lahir, sehingga dapat menunjang pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
Kata Kunci : waktu pemotongan tali pusat, status hematologi
Daftar Pustaka : 54
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peran oksigenasi dari plasenta ke paru-paru bayi mengalami
peralihan
pada masa setelah bayi lahir dan sebelum plasenta dilahirkan.
Selama masa
tersebut, oksigenasi bayi melalui plasenta masih berjalan dan
darah masih
ditransfusikan ke bayi. Hal tersebut dapat mempengaruhi
hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), menambah volume darah atau eritrosit, serta
dapat mencegah
hipovolemi dan hipotensi pada bayi baru lahir (Santosa,
2008).
Perbedaan waktu pemotongan tali pusat dapat memberikan dampak
pada
bayi baru lahir. Disebutkan bahwa pemotongan tali pusat yang
segera,
menjadi penyebab utama anemia pada bayi baru lahir, sedangkan di
lain
pihak, beberapa peneliti mendapatkan efek berbeda jika dilakukan
penundaan
pemotongan tali pusat, diantaranya adalah kejadian ikterus dan
polisitemia
(Hutton, 2007).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan (Depkes) RI pada tahun 2001 menyatakan 61,3% bayi baru
lahir
sampai usia 6 bulan menderita anemia defisiensi besi.
Selanjutnya, hasil
penelitian terbaru mendapatkan bahwa 41 bayi baru lahir berusia
0-6 bulan
(39,4%) menderita anemia dan 40 bayi diantaranya (97,6%)
menderita
anemia karena defisiensi besi (Ringoringo, 2009).
-
Tingginya angka prevalensi anemia pada bayi baru lahir,
berhubungan
dengan tidak cukupnya penyimpanan cadangan zat besi pada bayi
(Artha,
2013). Penundaan pemotongan tali pusat ditemukan dapat mengatasi
hal
tersebut, karena bayi mendapat tambahan zat besi sebesar 40-50
mg/kg saat
lahir sehingga dapat mencegah kekurangan zat besi bahkan hingga
bayi
tersebut mencapai usia satu tahun (Committee on Obstetric
Practice of The
American Academy of Pediatric, 2012).
Penundaan pemotongan tali pusat juga dapat meningkatkan
kadar
hemoglobin pada bayi baru lahir cukup bulan. Ditemukan bahwa
kadar
hemoglobin pada bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan
segera
adalah 16,2 g/dL, sedangkan pada bayi yang dilakukan
penundaan
pemotongan tali pusat adalah 18,3 g/dL (Lubis, 2008). Perbedaan
kadar
hemoglobin tersebut terbukti signifikan dan dapat menurunkan
kejadian
anemia bayi baru lahir sebesar 47% (Hutton, 2007).
Penundaan pemotongan tali pusat, selain bermanfaat karena
meningkatkan kadar hemoglobin, hal tersebut juga memberikan efek
lain
berupa peningkatan kadar hematokrit yang jika kadarnya melebihi
65% akan
menyebabkan polisitemia (Lessaris, 2009). Hal tersebut terlihat
dari
penelitian berikut yang menemukan kadar hematokrit bayi yang
dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat lebih besar, yaitu 60,6%
dibandikan dengan
bayi yang dilakukan pemotongan tali pusat dengan kadar
hematokrit sebesar
54,7,% (Santosa, 2008).
-
Angka kejadian polisitemia di Rumah Sakit Hasan Sadikin
dilaporkan
sebesar 8,4%. Persentase kejadian tersebut terbilang tinggi dan
disimpulkan
sebagai akibat dari penambahan volume darah karena penundaan
pemotongan
tali pusat (Adilia, 2011). Sesuai dengan review Mc Donald (2013)
yang
meninjau dari beberapa penelitian yang berlangsung dari tahun
1989 hingga
tahun 2006, peningkatan risiko polisitemia memang terjadi pada
kelompok
penundaan pemotongan tali pusat. Salah satunya diambil dari
penelitian oleh
Aziz, dkk (2006) yang menemukan kejadian polisitemia pada
kelompok bayi
dengan penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 2 menit.
Efek samping lainnya dari penundaan pemotongan tali pusat
adalah
ditemukan lebih banyak bayi yang memerlukan fototerapi
akibat
hiperbilirubinemia dibandingkan dengan kelompok pemotongan tali
pusat
segera (Emhamed, 2004). Seperti pada penelitian Tanmoun (2013)
yang
menemukan peningkatan bilirubin serum hingga 15 mg/dL pada bayi
usia 48
jam yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan bayi
tersebut
memerlukan fototerapi.
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa penundaan
pemotongan
tali pusat berdampak pada kejadian ikterus dan polisitemia bayi
baru lahir,
namun Kohn (2013) menemukan bahwa risiko ikterus dan polisitemia
pada
bayi baru lahir tidak ditimbulkan akibat penundaan pemotongan
tali pusat,
melainkan lebih diakibatkan oleh kondisi maternal dan bayi
setelah lahir.
Kohn (2013) mengatakan penundaan pemotongan tali pusat yang
bermanfaat
-
dalam menurunkan anemia lebih terbukti akibat peningkatan
hemoglobin,
hematokrit dan zat besi saat bayi baru lahir.
Kejadian anemia, polisitemia dan ikterus pada bayi baru lahir,
merupakan
keadaan yang tidak diinginkan. Hal tersebut dapat dicegah
dengan
penatalaksanaan bayi baru lahir yang optimal, salah satunya
adalah dengan
memperhatikan waktu pemotongan tali pusat, sehingga diperlukan
kajian
untuk menentukan mana yang terbaik, antara pemotongan tali pusat
segera
atau penundaan pemotongan tali pusat.
Kebanyakan praktisi negara barat melakukan pemotongan tali
pusat
segera, sedangkan di negara lain masih bervariasi. Begitupun di
Indonesia,
banyak praktisi belum melakukan penundaan pemotongan tali
pusat
(BKKBN, 2011). Kebiasaan praktik pemotongan tali pusat segera
adalah
karena kekhawatiran terhadap ikterus (Varney, 2009). Padahal
kejadian
anemia pun tidak kalah penting untuk diwaspadai karena akan
mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan bayi tersebut, mengingat juga
bahwa
pemeriksaan rutin atas Hb, Ht dan zat besi pada bayi baru lahir
yang menjadi
indikator anemia jarang sekali dilakukan jika tanpa indikasi
(Santosa, 2008).
Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik melakukan studi
literatur
mengenai Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap
Status
Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan.
-
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam
penyusunan
Karya Tulis Ilmiah ini adalah:
Bagaimana pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap
status
hematologi bayi baru lahir cukup bulan ditinjau dari berbagai
literatur?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap
status
hematologi bayi baru lahir cukup bulan sehingga didapatkan
manfaat
yang optimal bagi bayi baru lahir.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya hematologi bayi baru lahir cukup bulan,
sirkulasi darah
peralihan janin ke bayi dan pengaruh waktu pemotongan tali
pusat.
b. Diketahuinya status hemoglobin bayi baru lahir cukup bulan
dilihat
dari perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
c. Diketahuinya status hematokrit bayi baru lahir cukup bulan
dilihat
dari perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
d. Diketahuinya status zat besi bayi baru lahir cukup bulan
dilihat dari
perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
e. Diketahuinya status bilirubin bayi baru lahir cukup bulan
dilihat dari
perbedaan waktu pemotongan tali pusat.
-
D. Manfaat
1. Bagi penulis
Penulis dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berguna
dari berbagai literatur mengenai pengaruh waktu pemotongan tali
pusat
terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan dapat mengaplikasikan waktu pemotongan tali
pusat yang optimal bagi bayi baru lahir cukup bulan, sehingga
dapat
mengurangi angka kesakitan bayi baru lahir.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan untuk menambah wawasan dan informasi bagi
mahasiswi kebidanan yang sedang belajar mengenai asuhan ibu
bersalin
dan bayi baru lahir.
E. Ruang Lingkup
Dalam karya tulis ilmiah ini, akan dibahas mengenai sirkulasi
darah
peralihan dari janin ke bayi baru lahir, hematologi bayi baru
lahir cukup bulan
dan pengaruh waktu pemotongan tali pusat terhadap status
hematologi bayi
baru lahir cukup bulan berupa hemoglobin, hematokrit, zat besi
serta bilirubin
bayi baru lahir cukup bulan.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sirkulasi Darah Janin dan Bayi Baru Lahir
1. Sirkulasi Darah Janin
Pada sirkulasi janin, ventrikel kanan dan kiri berada dalam
sirkuit
paralel yang berlawanan dengan sirkuit seri neonatus atau
dewasa. Pada
janin, pertukaran gas dan metabolit dilakukan oleh plasenta.
Paru-paru
tidak memberikan pertukaran gas dan pembuluh darah dalam
sirkulasi
paru-paru mengalami vasokontriksi. Ada tiga bangunan
kardiovaskuler
unik pada janin yang penting untuk mempertahankan sirkulasi
paralel ini:
duktus venosus, foramen ovale, dan duktus arteriosus.
Sumber: Yorkshire and Humber Congenital Cardiac Network
(2012)
Gambar 2.1 Sistem Kardiovaskuler Janin
-
Darah teroksigenasi yang kembali dari plasenta, dengan PO
(tekanan
oksigen) sekitar 30-35 mmHg mengalir ke janin melalui vena
umbilikalis.
Sekitar 50% darah vena umbilikalis masuk ke sirkulasi hepatis,
sedang
sisanya melintasi hati dan bergabung dengan vena kava inferior
melalui
duktus venosus, tempat ia sebagian bercampur dengan darah vena
kava
inferior yang kurang teroksigenasi yang berasal dari bagian
bawah tubuh
janin. Kombinasi tubuh bagian bawah ini ditambah dengan aliran
darah
vena umbilikalis (PO2 sekitar 26-18 mmHg) masuk atrium kanan
dan
diarahkan secara khusus melewati foramen ovale ke atrium kiri.
Kemudian
darah ini mengalir ke dalam ventrikel kiri dan dikeluarkan ke
dalam aorta
asendens. Darah vena kava superior janin yang sangat kurang
teroksigenasi (PO2 12-14 mmHg) masuk atrium kanan, secara
khusus
melintasi trikuspidalis bukannya foramen ovale, dan mengalir
terutama ke
ventrikel kanan.
Darah tersebut kemudian dipompa dari ventrikel kanan ke
dalam
arteria pulmonalis karena sirkulasi arteria pulmonalis
vasokontriksi dan
hanya sekitar 10% aliran keluar ventrikel kanan masuk
paru-paru.
Sebagian besar darah ini (yang mempunyai PO2, sekitar 18-22
mmHg)
melintasi paru-paru dan mengalir melalui duktus arteriosus ke
dalam aorta
desendens untuk terus ke bagian bawah tubuh janin juga untuk
kembali ke
plasenta melalui dua arteria umbilikalis, dengan demikian, tubuh
bagian
atas janin (termasuk arteria koronaria dan serebral, dan yang
ke
ekstremitas atas) dialiri hanya dari ventrikel kiri dengan darah
yang
-
mempunyai PO2 sedikit lebih tinggi daripada darah yang mengaliri
bagian
bawah tubuh janin, yang berasal sebagian terbesar dari ventrikel
kanan.
Hanya sedikit volume darah dari aorta asendens (10% dari curah
jantung
janin) mengalir melewati isthmus aorta ke aorta desendens.
Gambar 2.2 Sirkulasi Janin
Curah jantung janin total, yaitu gabungan curah ventrikel (CV)
baik
ventrikel kiri maupun kanan-berjumlah sekitar 450 ml/kg/men.
Sekitar
65% aliran darah aorta desendens kembali ke plasenta, sisanya
35%
mengaliri organ-organ dan jaringan janin. Pada janin, dengan
persentase
aliran darah lebih besar menuju otak, curah ventrikel kanan
mungkin lebih
mendekati 1,3 kali aliran ventrikel kiri, dengan demikian,
selama
kehidupan janin, ventrikel kanan tidak hanya memompa melewati
tekanan
-
darah sistemik tetapi melakukan kerja dengan volume yang lebih
besar
daripada ventrikel kiri (Nelson, 2000).
Perlu diketahui bahwa adanya krista dividens sebagai pembatas
pada
vena kava, memungkinkan sebagian besar darah bersih dari
duktus
venosus langsung mengalir ke arah foramen ovale. Sebaliknya
sebagian
kecil akan mengalir kearah ventrikel kanan (Prawirohardjo,
2010).
Sumber: Okymehtn (2012)
Gambar 2.3 Krista Dividens
2. Sirkulasi Darah Peralihan
Pada saat lahir, pengembangan mekanik paru-paru dan kenaikan
PO2
arterial menyebabkan penurunan tahanan vaskuler pulmonal cepat.
Secara
serentak penghentian sirkulasi plasenta bertahanan rendah
megakibatkan
penambahan tahanan vaskuler sistemik. Curah darah dari ventrikel
kanan
sekarang mengalir seluruhnya ke dalam sirkulasi pulmonal dan
karena
tahanan vaskuler pulmonal lebih rendah daripada tahanan
vaskuler
sistemik, shunt melalui duktus arteriosus berbalik dan menjadi
dari kiri ke
-
kanan. Selama perjalanan beberapa hari setelah lahir, PO2
arterial yang
tinggi mengkontriksi duktus arteriosus dan ia menutup, akhirnya
menjadi
ligamentum arteriosum. Kenaikan volume aliran darah pulmonal
yang
kembali ke atrium kiri menaikkan volume dan tahanan atrium kiri
cukup
untuk secara fungsional menutup foramen ovale, walaupun foramen
dapat
tetap terbuka dengan probe-paten selama bertahun-tahun.
Pengambilan plasenta dari sirkulasi juga menyebabkan
penutupan
duktus venosus, dengan demikian, dalam beberapa hari peralihan,
total
dari sirkulasi paralel (janin) ke seri (dewasa) hampir sempurna.
Ventrikel
kiri sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi sistemik tahanan
tinggi dan
ketebalan dinding dan massanya mulai bertambah. Sebaliknya
ventrikel
kanan sekarang dirangkaikan dengan sirkulasi pulmonal
bertahanan
rendah, dan ketebalan dinding dan massanya sedikit berkurang.
Ventrikel
kiri pada janin memompa darah hanya pada bagian atas tubuh dan
otak,
sekarang harus menghantarkan seluruh curah jantung sistemik
(sekitar
350 ml/kg/men), penambahan curah hampir 200%. Kenaikan yang
mencolok pada pekerjaan ventrikel kiri ini dicapai melalui
gabungan
isyarat hormonal dan metabolik, termasuk penambahan
katekolamin
(Nelson, 2000).
Aliran darah dari plasenta berhenti pada saat tali pusat
diklem.
Tindakan ini meniadakan suplai oksigen plasenta dan
menyebabkan
terjadinya serangkaian reaksi selanjutnya. Reaksi-reaksi ini
dilengkapi
-
oleh reaksi-reaksi yang terjadi dalam paru sebagai respon
terhadap tarikan
napas pertama (Varney, 2009).
Sebelum Lahir Setelah Lahir
Sumber: Fraser (2009)
Gambar 2.4 Skema Perubahan Kardiovaskular
3. Sirkulasi Darah Neonatus
Pada saat lahir, sirkulasi janin harus segera beradaptasi
dengan
kehidupan ekstrauterin seperti pertukaran gas dipindahkan dari
plasenta
ke paru-paru. Beberapa dari perubahan ini sebenarnya spontan
bersama
dengan pernapasan pertama dan yang lain dipengaruhi selama
beberapa
jam atau beberapa hari sesudah pada mulanya ada penurunan ringan
pada
tahanan darah sistemik, kemudian ada kenaikan progresif dengan
semakin
bertambahnya umur. Frekuensi jantung melambat akibat respon
baroreseptor pada kenaikan tahanan vaskuler sistemik bila
sirkulasi
plasenta dihilangkan. Rata-rata tekanan aorta sentral pada
neonatus cukup
bulan adalah 75/50 mmHg.
-
Penurunan tahanan vaskuler pulmonal mencolok terjadi karena
vasodilatasi aktif (terkait PO2) maupun pasif (terkait mekanik)
dengan
mulainya ventilasi. Pada neonatus normal, penutupan duktus
arteriosus
dan penurunan tahanan vaskuler pulmonal menyebabkan
penurunan
tekanan arteria pulmonalis dan ventrikel kanan. Penurunan
tahanan
pulmonal dari tingkat janin yang tinggi ke tingkat dewasa pada
bayi
biasanya terjadi pada hari 2-3 pertama tetapi dapat diperpanjang
selama 7
hari atau lebih. Lewat umur beberapa minggu pertama, tahanan
vaskuler
pulmonal bahkan menurun lebih lanjut akibat perubahan bentuk
vaskularisasi pulmonal, meliputi penipisan otot polos vaskuler
dan
penambahan pembuluh darah baru.
Curah jantung neonatus (sekitar 350 ml/kg/men) turun sesudah
umur
2 bulan pertama sampai 150 ml/kg/men, kemudian turun lagi
secara
perlahan-lahan sampai mencapai curah jantung sekitar 75
ml/kg/men.
Persentase hemoglobin janin yang tinggi yang ada pada
neonatus
sebenarnya dapat mengganggu penghantaran oksigen ke jaringan
neonatus, sehingga memerlukan penambahan curah jantung untuk
penghantaran oksigen yang cukup ke jaringan.
Pada neonatus cukup bulan, oksigen merupakan faktor
pengendali
penutupan duktus yang paling penting, bila PO2 darah yang lewat
melalui
duktus mencapai sekitar 50 mmHg, dinding duktus
berkontriksi,
mekanisme kontriksi duktus yang diaktifkan oksigen belum
sepenuhnya
dimengerti. Pengaruh oksigen pada otot polos duktus mungkin
langsung
-
diperantarai oleh pengaruhnya pada sintesis prostaglandin.
Umur
kehamilan juga tampak memainkan peran penting, duktus bayi
prematur
kurang tanggap terhadap oksigen walaupun otot-ototnya
berkembang
(Nelson, 2000).
B. Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
Hematologi adalah ilmu yang berkenaan dengan darah, jaringan
yang
menghasilkan darah, dan kelainan, penyakit, serta gangguan yang
berkaitan
dengan darah. Sistem hematologi terdiri dari semua sel-sel
darah, sumsum
tulang tempat sel tumbuh matang, dan jaringan lomfoid tempat sel
darah
disimpan jika tidak bersirkulasi (Corwin, 2009).
Komponen sel dan plasma darah mengalami perubahan yang
dramatis
dari janin ke bayi. Hal ini terutama berlaku di beberapa bulan
kehidupan
pertamanya sebagai bayi dalam masa transisi dari lingkungan
intrauterin ke
kehidupan ekstrauterin (Elzouki, 2012).
Nilai darah pada bayi baru lahir lebih bervariasi daripada nilai
pada orang
dewasa atau anak yang lebih tua. Bidan harus menyadari rentang
nilai untuk
keadaan normal terhadap perawatan bayi baru lahir (Varney,
2009).
-
Tabel 2.1 Nilai Hematologi Normal Pada Bayi Baru Lahir Cukup
Bulan
Parameter
Neonatus Cukup Bulan
1 hari 7 hari 2-3
minggu
5-6
minggu
8-9
minggu
11-12
minggu
Hemoglobin (g/dL)
Vena
Kapiler
17,1 + 1,7
19,3 + 2,2
17,9 + 2,5
15,6 + 2,6
11,9 + 1,5
10,7 + 0,9
11,3 + 0,9
Eritrosit (x 106/mm
3) 5,14 + 0,17 4,86 + 0,6 4,20 + 0,6 3,55 + 0,2 3,40 + 0,5 3,70
+ 0,3
Hematokrit (%) 61 + 7,4 56 + 9,4 46 + 7,3 36 + 6,2 31 + 2,5 33 +
3.3
Retikulosit (%) 3,2 + 1,4 0,5 + 0,4 0,8 + 0,6 1,0 + 0,7
Sumber: Hassan (1985)
1. Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu bahan yang penting sekali dalam
eritrosit
dan dibentuk dalam sumsum tulang. Hemoglobin ini dibentuk dari
hem
dan globin. Hem sendiri terdiri dari 4 struktur pirol dengan
atom Fe di
tengahnya, sedangkan globin terdiri dari 2 pasang rantai
polipeptida.
Jenis hemoglobin normal yang ditemukan pada manusia ialah
HbA
yang kadarnya kira-kira 98% dari keseluruhan hemoglobin, HbF
yang
kadarnya tidak lebih dari 2% pada anak berumur lebih dari 1
tahun dan
HbA2 yang kadarnya tidak lebih dari 3%. Pada bayi baru lahir
kadar HbF
masih sangat tinggi yaitu kira-kira 90% dari seluruh hemoglobin
bayi
tersebut. Pada perkembangan selanjutnya kadar HbF ini akan
berkurang
hingga pada umur 1 tahun dan kadarnya tidak lebih dari 2%
(Hassan,
1985).
-
Hem dibentuk dalam semua sel tubuh dan bukan saja merupakan
bagian penting dari hemoglobin tetapi juga merupakan bagian
dari
sitokrom dan enzim pernafasan yang penting. Persenyawaannya
terdiri
dari cincin porifirin dengan atom Fe di tengahnya (Elzouki,
2012).
Hemoglobin dapat mengikat oksigen (O2) atau karbonmonoksida
(CO) dalam keadaan besi tereduksi (ferro), sedangkan dalam
bentuk
teroksidasi (ferri), hemoglobin tidak dapat mengikat oksigen,
tapi mudah
mengikat anion. Fungsi hemoglobin ialah mengangkut oksigen (O2)
ke
jaringan tubuh dan CO2 dari jaringan ke paru (Wahidiyat I,
2005).
Bayi baru lahir dilahirkan dengan nilai hemoglobin yang
tinggi.
Konsentrasi hemoglobin normal memiliki rentang dari 13,7 sampai
20,0
g/dL. Gomella (2004) memberikan batasan, pada saat lahir nilai
normal
Hb bayi baru lahir dengan usia kehamilan > 34 minggu adalah
14 20
g/dL, dengan nilai rata-rata 17 g/dL.
Hemoglobin janin memiliki afinitas yang tinggi terhadap
oksigen,
suatu efek yang menguntungkan bagi janin. Selama beberapa hari
pertama
kehidupan, nilai hemoglobin sedikit meningkat, sedangkan
volume
plasma menurun. Hemoglobin kemudian turun perlahan tetapi
terus-
menerus pada 7 sampai 9 minggu pertama setelah bayi lahir,
disebut
anemia fisiologis (Varney, 2009).
Nelson (2000) menyebutkan bahwa anemia fisiologis adalah
penurunan Hb hingga 9,5-11 g/dL pada bayi baru cukup bulan usia
2-3
bulan. Anemia fisiologis merupakan adaptasi dari bayi baru lahir
akibat
-
peningkatan tekanan O2 dari 25-30 mmHg saat janin menjadi
90-95
mmHg, yang menyebabkan serum eritropoitin menurun sehingga
produksi eritrosit juga menurun (Chapman, 2010).
Anemia fisiologis jika tidak diperhatikan dan diatasi, dengan
tidak
memberikan asupan nutrisi yang cukup, akan terus berlangsung
hingga
bayi usia 6 bulan dan bukan lagi menjadi hal yang fisiologis
(Chaparro,
2006). Sedangkan untuk anemia selama masa neonatus (0-28
hari
kehidupan) pada bayi dengan umur kehamilan > 34 minggu
ditentukan
berdasar kadar Hb < 13 g/dL (darah vena sentral) atau 14,5
g/dL (darah
arteri). Menurut Varney (2009) nilai hemoglobin awal pada bayi
baru
lahir sangat dipengaruhi oleh waktu pemotongan tali pusat dan
posisi bayi
baru lahir segera setelah lahir.
2. Hematokrit
Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan
persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003).
Berdasarkan beberapa penelitian nilai normal hematokrit bayi
baru lahir
berkisar antara 51,3-56,0% (Oski, 1996). Sumber lain menyebutkan
nilai
hematokrit bayi baru lahir antara 45 dan 65% (Linderkamp O,
2004).
Rata-rata hematokrit tali pusat 52,3%, kemudian pada hari
pertama
kehidupan menjadi 58,2%, sementara pada hari ketiga 54,5% dan
pada
akhir hari ke-7 sekitar 54,9%. Penelitian terhadap 629 bayi baru
lahir
normal, hematokrit (darah kapiler) hari pertama kehidupan adalah
62,9
3,2% (Oski, 1996). Kadar hematokrit darah vena pada tali pusat
40%
-
diartikan sebagai batas anemia pada neonatus, namun karena
kadar
hematokrit meningkat kurang lebih 10% pada jam-jam pertama
kehidupan, sehingga secara pendekatan klinis lebih tepat
mendefinisikan
anemia neonatus berdasar kadar hematokrit adalah pada batas 45%
pada 6
jam setelah lahir (Cernadas, 2006) dan bila kadar hematokrit
meningkat >
65%, disebut polisitemia.
Polisitemia pada bayi baru lahir didefinisikan sebagai
peningkatan
kadar hematokrit > 65%. Polisitemia dihubungkan dengan
peningkatan
jumlah eritrosit dalam pembuluh darah dan sering dihubungkan
dengan
kelainan/gangguan pada neonatus. Gangguan akibat polisitemia
yang
dihubungkan dengan peningkatan viskositas darah yaitu
terjadinya
gangguan kinetika aliran darah. Hal tersebut bermanifestasi
aliran darah
yang lambat dan terjadi endapan darah dan merupakan
predisposisi
terjadinya mikrotrombi dan penurunan oksigenasi jaringan
(Susilowati,
2009). Risiko polisitemia meningkat pada bayi-bayi yang
dilahirkan dari
ibu dengan diabetes dan bayi kembar serta yang mengalami twin to
twin
transfusi (Aziz, 2006).
Faktor faktor yang mempengaruhi hemoglobin dan hematokrit
bayi
baru lahir:
a. Asal sampel darah
Darah kapiler mempunyai hemoglobin lebih tinggi dibanding
dengan darah vena, namun antar peneliti tidak sama nilai
-
perbedaannya. Beberapa jam setelah lahir, terdapat perbedaan
5%
antara kadar Hb kapiler dibanding dengan darah vena (Oski,
1996).
b. Waktu pengambilan sampel darah
Selama beberapa jam pertama kehidupan terjadi peningkatan
konsentrasi Hb. Peningkatan ini terutama terjadi akibat
transfusi
plasental selama proses persalinan. Pada jam-jam pertama
kehidupan,
tampaknya plasma meninggalkan sirkulasi. Total volume darah
pada
bayi menyesuaikan segera setelah lahir, terjadi penurunan
volume
plasma, sementara eritrosit tetap. Sehingga sebagai hasil akhir,
terjadi
peningkatan jumlah eritrosit, Ht dan Hb (Oski, 1996). Gomella
(2004)
berpendapat, nilai hemoglobin bayi sehat aterm tidak berubah
secara
signifikan sampai minggu ke-3 kehidupan, kemudian turun sampai
11
g/dL pada usia 8 12 minggu.
c. Kadar hemoglobin ibu
Pengaruh ibu anemia pada kadar besi bayi tidak begitu besar.
Pada ibu hamil, besi ditransport melalui plasenta secara
efisien
sehingga bayi yang cukup bulan dan sehat mempunyai cadangan
besi
yang cukup. Telah banyak diketahui kekurangan besi pada ibu
hamil
hanya mempunyai efek yang ringan pada besi di dalam janin
dan
neonatus, sebab transfer besi dari ibu ke janin cukup baik,
kecuali ibu
hamil mengalami kekurangan besi yang berat.
-
d. Waktu pemotongan tali pusat
Di dalam plasenta diperkiraan mengandung sejumlah 75-125 cc
darah saat lahir, atau kurang lebih 1/4 sampai 1/3 volume darah
fetus.
Kurang lebih 1/3 darah plasenta ditransfusikan dalam waktu 15
detik
pertama setelah lahir dan setengahnya dalam 1 menit pertama
setelah
lahir (Oski, 1996). Sebagian besar bayi sehat mendapatkan
transfusi
plasental dengan jumlah yang besar dalam 45 detik setelah
lahir
(Philip 2004).
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali
pusat dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera.
Rata-rata
volume darah saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi
dengan
penjepitan dini 78 ml/kgBB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi
dengan penundaan pemotongan tali pusat.
Sumber: Sloan (2012)
Gambar 2.5 Tali Pusat yang Dibiarkan Selama 15 Menit
Gambar di atas memperlihatkan terjadinya aliran darah dari
plasenta sebelum dilahirkan ke bayi dan sebelum dilakukan
-
pemotongan tali pusat. Semakin lama pemotongan tali pusat
dilakukan
maka aliran darah yang terlihat semakin berkurang.
Penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 1 menit dapat
menambah volume darah bayi baru lahir sebesar 80 ml dan
sebesar
100 ml pada penundaan waktu pemotongan tali pusat selama 3
menit
(Varney, 2009).
e. Faktor lain
Faktor lain yang mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru
lahir
adalah umur kehamilan, kehamilan ganda, bayi dengan ibu
diabetes
melitus, berat lahir, bayi kecil masa kehamilan (KMK) (Philip,
2004),
hipertensi, pre-eklamsi/eklamsi (Prawirohardjo, 2010).
Setiap faktor yang mempengaruhi proses terjadinya transfusi
plasenta akan mempengaruhi kadar Hb dan Ht bayi baru lahir,
seperti
durasi respirasi, asfiksia intrauterin, pengaruh
gravitasi/posisi bayi,
kontraksi uterus dan kelainan plasenta lainnya seperti infark,
hematom
dan solutio plasenta (Santosa, 2008).
3. Fe (Zat Besi)
Jumlah Fe pada bayi kira kira 400 mg yang terbagi sebagai
berikut:
masa eritrosit 60%, feritin dan hemosiderin 30%, mioglobin
5-10%,
hemenzim 1% dan besi plasma 0,1%. Pengangkutan Fe dari rongga
usus
hingga menjadi transferin, yaitu suatu ikatan Fe dan protein di
dalam
darah terjadi di dalam beberapa tingkat.
-
Fe dalam makanan terikat pada molekul lain yang lebih besar.
Di
dalam lambung Fe akan dibebaskan menjadi ion feri oleh pengaruh
asam
lambung (HCL). Di dalam usus halus, ion feri diubah menjadi ion
fero
oleh pengaruh alkali. Ion fero inilah yang kemudian diabsorpsi
oleh sel
mukosa usus. Sebagian akan disimpan sebagai persenyawaan feritin
dan
sebagian masuk ke peredaran darah berikatan dengan protein yang
disebut
transferin. Selanjutnya transferin ini akan dipergunakan untuk
sintesis
hemoglobin. Sebagian dari transferin yang tidak terpakai akan
disimpan
sebagai labile iron pool. Ion fero diabsorpsi jauh lebih mudah
daripada
ion feri, terutama bila makanan mengandung Fe yang larut,
sedangkan
fosfat, oksalat dan fitrat menghambat absorpsi Fe (Hassan,
1985).
Eksresi Fe dari tubuh sangat sedikit. Fe yang dilepaksan
pada
pemecahan hemoglobin dari eritrosit yang sudah mati akan
masuk
kembali ke dalam iron pool dan akan dipergunakan lagi untuk
sintesa
hemoglobin, jadi di dalam tubuh yang normal kebutuhan akan Fe
sangat
sedikit, namun pada bayi baru lahir, dalam bulan-bulan
pertama
kehidupannya, bayi menggunakan Fe dalam jumlah besar dan cepat
untuk
mengimbangi kecepatan tumbuh dan bertambahnya volume darah
tubuh.
Menjelang usia 4 bulan cadangan Fe bayi berkurang 50% (Santosa,
2008).
Cadangan Fe tubuh dalam 2 bentuk, yaitu feritin dan
hemosiderin.
Cadangan Fe disimpan terutama di hepar, sel retikuloendotelial
dan
sumsum tulang. Di hepar sebagian besar Fe disimpan di
parenkim
(hepatosit) dan sebagian kecil di sel-sel retikuloendotelial
(sel Kupffer).
-
Di sumsum tulang dan limpa Fe disimpan terutama di sel-sel
retikuloendotelial. Cadangan Fe berfungsi sebagai reservoir
untuk
memberi Fe pada sel-sel yang sangat membutuhkan, terutama
pada
pembentukan hemoglobin (Fleming RE, 2005).
Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi normal lebih
tinggi
dibandingkan jumlah zat besi yang dimiliki ibu. Rata-rata
nilainya sekitar
150 g/dl. Bayi yang mendapatkan suplemen zat besi memiliki nilai
rata-
rata zat besi sebanyak 125 g/dl dalam 1 bulan pertama dan 75
g/dl
dalam usia 6 bulan. Kapasitas total penyimpanan zat besi
meningkat
selama 1 tahun pertama kehidupannya. Batas rata-rata penyebaran
zat ini
menurun hampir 65% dalam setengah bulan menjadi 25% dalam 1
tahun.
Anemia berdasarkan kadar zat besi adalah < 100 g/dl (Kee,
1995).
Nilai rata-rata serum feritin dalam kandungan zat besi yang
cukup
pada bayi sangat tinggi saat kelahiran, yaitu 160 g/dl dan
meningkat
selama 1 bulan pertama, kemudian menurun menjadi 30 g/dl dalam
1
tahun pertama kehidupannya (Segel, 2011).
4. Bilirubin
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi
hemoglobin pada sistem retikuloendotelial. Tingkat
penghancuran
hemoglobin pada neonatus lebih tinggi daripada pada bayi yang
lebih tua.
Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin
indirek.
Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung
dengan zat
warna diazo, yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut
dalam lemak.
-
Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama
besarnya
tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dan sirkulasi
sangat
terbatas. Begitupun dengan kesanggupannya untuk
mengkonjugasi
sehingga hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk
bilirubin
indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan
dieksresi oleh
hepar ibunya. Pada keadaan fisiologis tanpa gejala, hampir
semua
neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2
mg/dL. Hal
ini menunjukkan ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin
berlanjut
pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh
hepar
ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan
bilirubin
dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi
hepar belum
matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat
hipoksia,
asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil
transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat
meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung
pada kadar
albumin dalam serum. Inilah yang menjadi dasar pencegahan
kernicterus
dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin
indirek
mencapai 20 mg/dL pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan
bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal
telah
tercapai (Hassan, 1985).
Diketahui bahwa pada setiap bayi baru lahir akan terjadi
peningkatan
kadar bilirubin indirek dalam serum secara fisiologis, timbul
dalam
minggu pertama kehidupannya, biasanya dimulai pada hari kedua
atau
-
hari ketiga, dengan kadar puncak 5-6 mg/dL pada hari ke 4-5 dan
akan
menurun secara spontan.
Ikterus atau hiperbilirubinemia adalah peningkatan
konsentrasi
bilirubin 5 mg/dL atau lebih setiap 24 jam atau konsentrasi
bilirubin
serum sewaktu 12,5 mg/dL pada bayi cukup bulan (Prawirohardjo,
2010).
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir, disebabkan oleh
beberapa
faktor. Secara garis besar dapat dibagi sebagai berikut:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya,
misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas
darah
Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar,
kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim
glukoronil
transferase.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut
ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi
oleh obat
misalnya salisilat dan sulfafurazole. Defisiensi albumin
menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam
darah
yang mudah melekat ke sel otak.
-
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
di
luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan
hepar oleh penyebab lain (Hassan, 1985).
C. Waktu Pemotongan Tali Pusat
Tali pusat adalah tali yang menghubungkan janin ke plasenta
yang
berfungsi dalam menyalurkan nutrisi dari ibu ke janin. Tali
pusat mulai
terbentuk pada minggu kelima usia kehamilan dan terus berkembang
seiring
dengan perkembangan janin. Sampai pada usia matang janin (37-40
minggu),
ukuran tali pusat mencapai panjang 50 cm dan diameter 2 cm
(Benson, 2008).
Pemotongan tali pusat adalah suatu proses memisahkan bayi
dengan
plasenta. Sebelumnya, janin mendapat pasokan nutrisi dari ibu
melalui
plasenta dan disalurkan oleh tali pusat, namun setelah lahir dan
tali pusat
dipotong, bayi harus memenuhi kebutuhannya sendiri, seperti
misalnya
bernafas (Sodikin, 2008)
Waktu pemotongan tali pusat ialah waktu pemutusan aliran darah
dari
plasenta ke bayi baru lahir saat kelahiran seluruh tubuh bayi
baru lahir oleh
penolong bersalin dengan cara pemotongan tali pusat (Adilia,
2011).
Belum terdapat kesepakatan mengenai waktu pemotongan tali pusat
pada
bayi baru lahir, namun secara umum, waktu pemotongan tali pusat
dibagi
menjadi dua, yaitu waktu pemotongan tali pusat segera dan
penundaan waktu
-
pemotongan tali pusat. Mengenai definisi dari masing masing
tersebut
diantara para ahli masih belum ada kesepakatan (Rabe, 2004).
a. Pemotongan Tali Pusat Segera
Definisi pemotongan tali pusat segera tidak jelas dalam
kebanyakan studi kecuali pada McDonnell 1997 di mana waktu
yang
tepat untuk pemotongan tali pusat adalah lima detik dan
menurut
Ultee 2008 mencatat bahwa waktu pemotongan tali pusat segera
adalah pada 13,4 detik (Mc Donald, 2013).
Pemotongan tali pusat segera didefinisikan sebagai
pemotongan
tali pusat yang dilakukan segera setelah bayi baru lahir
hingga
sebelum satu menit untuk bayi baru lahir cukup bulan dan
pemotongan tali pusat yang dilakukan sesegera mungkin untuk
bayi
prematur (Wickham, 2006). Pemotongan tali pusat kurang dari
15
detik dikategorikan sebagai pemotongan tali pusat segera
(Setiawan,
2009).
b. Penundaan Pemotongan Tali Pusat
Definisi penundaan pemotongan tali pusat bervariasi, antara
studi
McDonnell (1997) yang memiliki rata-rata waktu penundaan 31
detik,
Rabe (2000), 45 detik, Hofmeyr (1988) dan Hofmeyr (1993), 60
dan
120 detik, Aladagandy (2006) dan Baezinger (2007), 60 sampai
90
detik, Kugelman (2007), Mercer (2003) dan Mercer (2006) 30
sampai
45 detik, dan 60 detik pada Strauss (2008). Ultee (2008)
memiliki
waktu terpanjang yaitu 180 detik (Mc Donald, 2012).
-
Penundaan pemotongan tali pusat adalah pemotongan yang
dilakukan setelah bayi baru lahir bernafas secara teratur,
yang
ditemukan rata-rata 94 detik setelah bayi lahir (Philip,
2004).
Sedangkan menurut Setiawan (2009), pemotongan tali pusat di
antara
waktu 30 detik sampai 5 menit adalah termasuk dalam kategori
penundaan pemotongan tali pusat.
Kebanyakan penelitian menyebutkan bahwa penundaan
pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat yang
dilakukan
setelah pulsasi tali pusat berhenti sampai 3 menit pertama
setelah
melahirkan (Hutton, 2007). Namun menurut Aziz (2006),
penundaan
pemotongan tali pusat adalah pemotongan tali pusat dalam 2
menit
pertama setelah bayi lahir karena transfusi darah dalam
jumlah
bermakna sudah terjadi dalam waktu tersebut.
Perdebatan mengenai waktu pemotongan tali pusat masih
berlangsung hingga kini (Tanmoun, 2013). Kebiasaan melakukan
pemotongan tali pusat segera berhubungan dengan praktik
obstetri
modern. Pendukung praktik tersebut mengkhawatirkan efek
samping
akibat transfusi plasenta termasuk gawat pernafasan,
polisitemia,
sindrom hiperviskositas, dan hiperbilirubinemia. Padahal jika
ingin
mendukung transfusi fisiologis setelah persalinan sebelum
plasenta
dilahirkan, bayi baru lahir akan mendapatkan volume darah
yang
mempengaruhi status hematologi bayi baru lahir terutama
hemoglobin
-
dan hematokrit dalam mencegah anemia bayi baru lahir
(Varney,
2009)
Di Indonesia, waktu pemotongan tali pusat awalnya dilakukan
segera setelah bayi lahir dan sebelum penyuntikan oksitosin
(JNPKR,
2004), kemudian mengalami perubahan yaitu menjadi 2 menit
setelah
bayi lahir dan setelah pemberian oksitosin (JNPKR, 2008).
Tabel 2.2 Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Dari Berbagai Sumber
Tahun Sumber/Peneliti Pemotongan Tali
Pusat Segera
Penundaan Pemotongan
Tali Pusat
2000 Nelson, dkk 60 detik Setelah pulsasi tali pusat
berhenti ( 2 menit)
2006 Chaparro, dkk 10 detik 2 menit
2006 Aziz, dkk 15 detik 2 menit
2006 Cernadas, dkk 15 detik 1 menit dan 3 menit
2007 Hutton, dkk Segera setelah bayi
lahir (10 detik)
2 menit
2008 Lubis, Muara P. Segera setelah bayi
lahir (10 detik)
2 menit
2008 Thawinkarn, dkk 10 detik 2 menit
2008 Santosa 15 detik 45 detik
2009 Kosim, dkk 15 detik 45 detik
2010 Prawirohardjo 10 detik 2 menit
2010 Shirvani, dkk < 15 detik > 15 detik
2011 Andersson, dkk 10 detik 3 menit
2011 Mathew < 30 detik > 30 detik
2012 Rasiyanti, dkk 15 detik 2 menit
2012 Astrianti, dkk 10 detik 2 menit
2012 Wennerholm, dkk 10 detik > 60 detik
2013 Tanmoun 10 detik 2 menit
2013 Mc Donald < 30 detik > 30 detik-3 menit Sumber:
Nelson (2000), Chaparro (2006), Aziz (2006), Cernadas (2006),
Hutton
(2007), Lubis (2008), Thawinkarn (2008), Santosa (2008), Kosim
(2009),
Prawirohardjo (2010), Shirvani (2010), Andersson (2011), Mathew
(2011), Rasiyanti
(2012), Astriani (2012), Wennerholm (2012), Tanmoun (2013), Mc
Donald (2013),
-
D. Pengaruh Waktu Pemotongan Tali Pusat Terhadap Status
Hematologi
Bayi Baru Lahir Cukup Bulan
Pada saat dalam kandungan janin berhubungan dengan ibunya
melalui
tali pusat yang merupakan bagian dari plasenta. Setelah bayi
lahir, sebelum
plasenta dilahirkan, darah plasenta selama masa tersebut masih
ditransfusikan
ke bayi (disebut transfusi palsenta) dan dapat menambah volume
darah bayi
baru lahir serta berpengaruh terhadap status hemoglobin dan
hematokrit bayi
baru lahir (Philip, 2004).
Volume darah bayi meningkat pada penundaan pemotongan tali
pusat
dibandingkan dengan pemotongan tali pusat segera. Rata-rata
volume darah
saat satu setengah jam setelah lahir pada bayi dengan penundaan
pemotongan
tali pusat adalah 78 ml/kg BB dibanding 98,6 ml/kgBB pada bayi
dengan
penundaan pemotongan tali pusat (Miller, 2005).
Perbedaan waktu pemotongan tali pusat sebagai intervensi
yang
dilakukan setelah bayi lahir memberikan dampak yang berbeda.
Berikut
adalah status hematologi bayi baru lahir cukup bulan dilihat
berdasarkan
perbedaan waktu pemotongan tali pusat:
1. Hemoglobin
Penundaan pemotongan tali pusat akan meningkatkan jumlah
eritrosit
yang ditransfusikan ke bayi, hal tersebut tercermin dalam
peningkatan
kadar hemoglobin bayi baru lahir (Susilowati, 2009).
Ditemukan bayi usia 7 jam yang dilakukan pemotongan tali
pusat
segera (kurang dari 1 menit) memiliki kadar hemoglobin lebih
sedikit
-
dibandingkan dengan bayi yang dilakukan penundaan pemotongan
tali
pusat. Begitupun saat pemeriksaan ulang pada bayi tersebut di
usia 2 dan
3 bulan (Hutton, 2007).
Penelitian lain menemukan bayi yang dilakukan pemotongan
tali
pusat segera setelah bayi baru lahir, dalam 48 jam memiliki
kadar
hemoglobin sebesar 16,1 g/dL sedangkan pada bayi yang
dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat, kadar hemoglobin lebih tinggi
yaitu
sebesar 17,8 g/dL (Tanmoun, 2013).
Studi kolaborasi Cochrane (2013) mengemukakan bahwa
peningkatan hemoglobin yang signifikan terjadi pada bayi yang
dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat dalam rentang waktu 1-3 menit
akibat
dari transfusi plasenta dan penambahan volume darah sebesar
30-50%.
Penelitian pada bayi saat berusia 72 jam, bayi dengan
penundaan
pemotongan tali pusat memiliki rerata volume darah sekitar 93
ml/kg dan
massa eritrosit 49 ml/kg, sedangkan pada pemotongan tali pusat
segera
bayi memiliki rerata volume darah 82 ml/kg, dan masa eritrosit
31 ml/kg
sehingga penundaan pemotongan tali pusat dapat meningkatkan
hemoglobin selama satu minggu pertama kelahiran (Susilowati,
2009).
2. Hematokrit
Pada penelitian terhadap bayi baru lahir cukup bulan yang
dilakukan
pemotongan tali pusat 5 menit setelah bayi lahir, didapat
penambahan
secara bermakna pada nilai hematokrit dan volume sel darah
merah. Hal
-
tersebut juga ditemukan pada pemotongan tali pusat 1 menit
setelah bayi
baru lahir (Adilia, 2011).
Kadar hematokrit pada bayi yang dilakukan pemotongan tali
pusat
dengan segera adalah sebesar 47,8% sedangkan pada bayi yang
dilakukan
penundaan pemotongan tali pusat memiliki kadar hematokrit
sebesar
53,5% (Lubis, 2008)
Bayi baru lahir usia 2 jam, didapat kadar hematokrit berkisar
0,44-
0,53 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera (kurang dari
15
detik) dan 0,58-0,70 pada bayi dengan penundaan pemotongan tali
pusat
(2 menit). Pada kelompok pemotongan tali pusat segera,
hematokrit
menurun secara signifikan setelah 24 jam, menjadi berkisar
antara 0,37-
0,48 pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera dan 0,54-0,67
pada
bayi dengan penundaan pemotongan tali pusat. (Aziz, 2006).
Peningkatan hematokrit pada kelompok penundaan pemotongan
tali
pusat juga ditemukan pada penelitian oleh Thawinkarn (2008)
dan
Santosa (2008). Pada penelitian tersebut ditemukan kadar
hematokrit pada
kelompok penundaan pemotongan tali pusat adalah 41,6-60,6%
sedangkan pada kelompok pemotongan tali pusat segera adalah
37,6-
54,7%
3. Zat Besi
Kadar Hb dan eritrosit yang cukup memungkinkan tingkat
oksigenasi
yang optimal dan dapat menyediakan sumber Fe yang sangat
bermanfaat
bagi bayi. Sumber Fe yang cukup, sangat penting untuk
kehidupan
-
selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan sel akan Fe, termasuk
produksi
eritrosit. Fe sebagai salah satu mikronutrien penting bagi sel.
Besi adalah
nutrien yang penting tidak hanya untuk pertumbuhan normal,
kesehatan
dan kelangsungan hidup anak, tetapi juga untuk perkembangan
mental,
motorik dan fungsi kognitif (Irsa, 2002).
Jika bayi setelah lahir diletakkan di bawah atau sejajar
introitus
vagina selama 3 menit dan sirkulasi fetoplasental tidak segera
diputus
dengan pemasangan klem, kurang lebih 80 ml darah mungkin
dapat
dialirkan dari plasenta ke bayi. Hal di atas menyediakan sekitar
50 mg
besi (Fe) sehingga dapat menurunkan frekuensi anemia defisiensi
besi
pada masa kehidupan bayi (Cunningham, 2005).
Beberapa peneliti menemukan bahwa penundaan pemotongan tali
pusat telah terbukti bermanfaat menghasilkan kadar ferritin dan
Hb yang
lebih tinggi serta menurunkan secara signifikan terjadinya
anemia pada
masa bayi (Mc Donald, 2013). Penundaan pemotongan tali pusat
merupakan strategi yang murah dan efektif untuk menurunkan
kejadian
anemia pada bayi terutama pada negara berkembang (WHO,
2012).
Penundaan pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit dapat
memberikan penambahan volume darah sekitar 25-35 ml/kgBB.
Dengan
asumsi konsentrasi besi dalam hemoglobin sekitar 3,4 mg/g,
kira-kira
pada bayi dengan berat 3 kg, akan menerima 46-60 mg zat besi.
Jika kita
memperkirakan bahwa bayi yang baru lahir membutuhkan sekitar 0,7
mg
zat besi per hari untuk pertumbuhan dan perkembangan,
pemeliharaan
-
kadar hemoglobin dan tingkat mioglobin serta enzim dalam otot
dan
jaringan lain. Kadar zat besi sebesar 46-60 mg akan bertahan
hingga 1-3
bulan pertama kehidupannya (Chaparro, 2011).
Penelitian lain pun menyebutkan bahwa bayi dengan berat 3,2
kg
yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat dan memiliki
hemoglobin darah sebesar 170 g/dL, akan menambahkan kadar zat
besi
sebesar 75 mg ke dalam penyimpanan zat besinya sehingga cukup
untuk
kebutuhan bayi hingga 3 bulan (Chaparro, 2006).
Untuk kadar zat besi bayi baru lahir yang dilihat berdasarkan
level
feritin dalam penyimpanan zat besi. Ditemukan pada usia 2 hingga
3
bulan, bayi dengan pemotongan tali pusat segera memiliki kadar
feritin
yang lebih rendah (
-
dimetabolisme. Muatan bilirubin yang berlebihan ini
menyebabkan
ikterus fisiologis yang terlihat pada bayi baru lahir (Varney,
2009).
Bagi bayi cukup bulan, dengan waktu pemotongan tali pusat 5
menit
setelah bayi baru lahir dengan waktu pemotongan tali pusat
kurang dari
15 detik didapat bilirubin serum bayi baru lahir rata-rata
adalah 7,7 mg/dL
dan 3,2 mg/dL. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan bayi
yang
memerlukan fototerapi pada usia lebih dari 3 hari (Adilia,
2011).
Pada bayi baru lahir cukup bulan, kejadian ikterus lebih
banyak
terjadi pada kelompok penundaan pemotongan tali pusat,akibat
penambahan sel darah merah dan ketika terjadi pemecahan
eritrosit, lebih
banyak bilirubin yang dihasilkan. Sedangkan pada bayi kurang
bulan
yang juga dilakukan penundaan pemotongan tali pusat, tidak
ditemukan
kejadian ikterus (Hutchon, 2012).
Kadar serum bilirubin total pada bayi baru lahir 48 jam
dengan
penundaan pemotongan tali pusat lebih tinggi dibandingkan dengan
bayi
yang dilakukan pemotongan tali pusat segera, yaitu sebesar 13,3
mg/dL
dan 12,7 mg/dL. Pada penelitian ini, indikator bayi dengan
hiperbilirubinemia adalah pada bayi yang membutuhkan fototerapi,
dan
hal tersebut ditemukan lebih banyak pada bayi yang dilakukan
penundaan
pemotongan tali pusat (Tanmoun, 2013). Hal tersebut sesuai
dengan
penemuan Aziz (2006), yang menemukan 3 bayi dari 15 bayi
memiliki
nilai bilirubin serum > 15 mg/dL pada kelompok penundaan
pemotongan
tali pusat, sedangkan pada kelompok pemotongan tali pusat
segera, tidak
-
ditemukan adanya peningkatan bilirubin abnormal yang
abnormal.
Namun, setelah dilihat perbedaannya secara bermakna,
peningkatan
bilirubin yang menyebabkan hiperbilirubinemia tidak terbukti
secara
signifikan.
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutton (2007),
tidak
terdapat perbedaan kadar bilirubin yang signifikan dari dua
kelompok
waktu pemotongan tali pusat bahkan hingga bayi berusia 72 jam
dan tidak
ditemukan bayi yang memerlukan fototerapi dari kelompok
penundaan
tali pusat.
-
BAB III
PEMBAHASAN
A. Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Nilai hemoglobin bayi ketika lahir dengan usia kehamilan > 34
minggu
adalah 14-20 g/dL, dengan nilai rata-rata sebesar 17 g/dL
(Gomella, 2004).
Nilai tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, salah
satunya yaitu
waktu pemotongan tali pusat (Santosa, 2008). Terdapat perbedaan
nilai yang
didapat dilihat berdasarkan perbedaan waktu pemotongan tali
pusat, yaitu
ditemukan nilai hemoglobin lebih tinggi pada bayi yang dilakukan
penundaan
pemotongan tali pusat dibandingkan dengan bayi yang dilakukan
pemotongan
tali pusat segera. Hal tersebut dibuktikan sejumlah
penelitian-penelitian
berikut;
Tabel 3.1 Status Hemoglobin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Peneliti Tahun
Penelitian
Hemoglobin (14-20 g/dL)
Pemotongan Tali
Pusat Segera (g/dL)
Penundaan Pemotongan
Tali Pusat (g/dL)
Lubis, Muara P 2008 16,2 18,3
Santosa, Qodri 2008 13,4-18,4 14,5-20,1
Thawinkarn, S. 2008 16.82 18,73
Kosim, dkk 2009 16,30 17, 34
Shirvani, dkk 2010 14,5 16,08
Astrianti, dkk 2012 14,33 15,77
Tanmoun, Nuanpun 2013 16,1 17,8 Sumber: Lubis (2008), Santosa
(2008), Thawinkarn ( 2008), Kosim (2009), Shirvani (2010),
Astrianti (2012), Tanmoun (2013).
-
Berdasarkan tabel di atas, nilai hemoglobin pada kedua kelompok
waktu
pemotongan tali pusat tidak kurang dari batas normal sehingga
tidak
ditemukan bayi yang mengalami anemia dalam penelitian tersebut.
Namun,
jika dilihat kembali, nilai hemoglobin pada kelompok penundaan
pemotongan
tali pusat lebih tinggi, dibandingkan dengan bayi yang dilakukan
pemotongan
tali pusat segera. Hal tersebut ditemukan dapat mencegah anemia
pada bayi
baru lahir cukup bulan hingga bayi tersebut berusia 6 bulan (Mc
Donald,
2013). Dalam hal ini, bayi tidak akan mengalami penurunan nilai
hemoglobin
secara drastis pada usia 6-8 minggu akibat dari adaptasi bayi
berupa anemia
fisiologis.
Penemuan tersebut mendukung penemuan-penemuan sebelumnya
oleh
Hutton, dkk (2007), Mercer, dkk (2001) dan juga oleh Grajeda,
dkk (1997)
yang menemukan bahwa penundaan pemotongan tali pusat dapat
meningkatkan kadar hemoglobin sehingga berpengaruh terhadap
status
hematologi bayi baru lahir cukup bulan dan dapat mencegah
terjadinya
anemia bayi baru lahir.
Menurut Mc Donald (2013), tidak ditemukan dampak buruk dari
peningkatan nilai hemoglobin akibat penundaan pemotongan tali
pusat,
karena dapat menghambat sirkulasi oksigen dalam darah bayi
sehingga
menyebabkan bayi dalam keadaan hipoksia. Peningkatan hemoglobin
akibat
penundaan pemotongan tali pusat lebih terbukti bermanfaat karena
dapat
menurunkan risiko anemia pada bayi sebesar 47% (Hutton,
2007).
-
Hemoglobin yang cukup juga dapat menyediakan sumber Fe bagi
bayi,
yang penting dalam produksi eritrosit dan merupakan mikronutrien
penting
bagi sel. Tidak hanya untuk pertumbuhan normal, kesehatan
dan
kelangsungan hidup anak, Fe juga dibutuhkan untuk perkembangan
mental,
motorik dan fungsi kognitif (Irsa, 2002).
B. Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Hematokrit pada prinsipnya dihitung berdasarkan perbandingan
persentase volume eritrosit/volume darah (Rachmawati, 2003).
Berdasarkan
beberapa penelitian, nilai normal hematokrit bayi baru lahir
berkisar antara
51,3-56,0%, dengan nilai rata-rata sebesar 52,3% (Oski, 1996).
Sumber lain
menyebutkan nilai hematorkit bayi baru lahir antara 45 dan 65%
(Linderkamp
O, 2004). Jika kurang dari 45% maka dapat terjadi anemia pada
bayi baru
lahir, sedangkan bayi yang memiliki nilai hematokrit lebih dari
65% akan
jatuh ke dalam keadaan yang disebut dengan polisitemia.
Dalam hal ini perbedaan waktu pemotongan tali pusat
memberikan
pengaruh yang berbeda terhadap nilai hemoglobin bayi baru lahir
yang
berpengaruh juga terhadap nilai hematokrit bayi. Penundaan
pemotongan tali
pusat memfasilitasi aliran darah berlebih ke bayi sehingga
jumlah eritrosit
yang masuk ke dalam tubuh bayi lebih banyak dan berisiko terjadi
polisitemia.
Azis (2006) menemukan bahwa, risiko kejadian polisitemia
meningkat
pada kelompok penundaan pemotongan tali pusat. Nilai hematokrit
bayi
-
tersebut pada usia 24 jam berada dalam rentang 50-67%. Hal
ini
menunjukkan bahwa dalam penelitian tersebut terdapat bayi yang
mengalami
polisitemia, namun, setelah dilakukan pemantauan ketat hingga
bayi berusia
48 jam dan nilai hematokrit bayi tersebut mengalami peningkatan,
keadaan
tersebut tidak membuat bayi mengalami gejala berupa gangguan
pernafasan.
Oleh karena itu, Azis (2006) kembali menyimpulkan bahwa
peningkatan
risiko memang terjadi namun tidak terbukti secara signifikan
dapat
menyebabkan polisitemia, selain itu, peningkatan nilai
hematokrit pada bayi
baru lahir juga merupakan adaptasi fisiologis dari bayi tersebut
akibat dari
peningkatan viskositas darah. Kesimpulan tersebut didukung oleh
Thawinkarn
(2008) yang menemukan 2 bayi dari kelompok penundaan pemotongan
tali
pusat memiliki kadar hematokrit >65% namun tidak disertai
dengan gejala.
Gemma (2010) menyebutkan bahwa pada kelompok penundaan
pemotongan tali pusat 2 hingga 3 menit, ditemukan risiko
polisitemia pada
neonatus usia 7, 24, dan 48 jam, namun risiko anemia akibat
kekurangan
hematokrit (
-
Tabel 3.2 Status Hematokrit Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari Perbedaan
Waktu Pemotongan Tali Pusat
Peneliti Tahun
Hematokrit (45-65%)
Pemotongan Tali
Pusat Segera (%)
Penundaan Pemotongan
Tali Pusat (%)
Cernadas, dkk 2006 53,5 59,4
Muara P. Lubis 2008 47,8 53,5
Qodri Santosa 2008 37,6-54,7 41,6-60,6
Thawinkarn, S. 2008 49,65 56,16
Kosim, dkk 2009 47,08 51,34
Shirvani, dkk 2010 42,8 47,6
Astrianti, dkk 2012 43,35 44,41
Nuanpun Tanmoun 2013 50,3 54,5 Sumber: Cernadas (2006), Lubis
(2008), Santosa (2008), Thawinkarn ( 2008), Kosim (2009),
Shirvani (2010), Astrianti (2012), Tanmoun (2013).
Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut di atas, terlihat
memang terjadi
peningkatan dalam nilai hematokrit pada kelompok penundaan
pemotongan
tali pusat, namun bahaya mengenai polisitemia tidak perlu
dikhawatirkan
karena tidak ditemukan gejalanya, terkecuali, pada bayi yang
memiliki risiko
polisitemia lebih tinggi yaitu pada bayi dari ibu dengan
diabetes, kelainan
transfusi plasenta dan pada kehamilan kembar, sehingga dalam hal
tersebut,
pemotongan tali pusat segera dapat menjadi alternatif (Nelson,
2000)
C. Status Zat Besi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan
Waktu Pemotongan Tali Pusat
Jumlah zat besi dalam darah tali pusat pada bayi baru lahir
cukup bulan
lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah zat besi yang dimiliki
ibu. Rata-rata
nilainya adalah sekitar 150 g/dl (Kee, 1995). Sumber zat besi
terdapat dapat
hemoglobin, konsentrasi hemoglobin bayi baru lahir cukup bulan
yang
-
menurun pada usia 2-3 bulan, membuat sejumlah besi disimpan
dalam bentuk
feritin dan hemosiderin (Fleming RE, 2005).
Chapparo (2006) menemukan bahwa bayi yang dilakukan
penundaan
pemotongan tali pusat dengan berat badan sebesar 3,2 kg,
memiliki kadar
hemoglobin tinggi sehingga 75 mg zat besi dapat ditambahkan ke
dalam
penyimpanan zat besi tubuhnya dan cukup untuk kebutuhan bayi
hingga usia
3 bulan. Penelitian tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh
Andersson (2011) yang menemukan bahwa bayi pada kelompok
penundaan
pemotongan tali pusat memiliki kadar zat besi sebesar 117 g/L,
lebih besar
dibandingkan 81 g/L zat besi yang ditemukan pada kelompok
pemotongan
tali pusat segera, sedangkan untuk kadar zat besi bayi yang
dapat dilihat
berdasarkan level feritin terdapat dalam tabel berikut;
Tabel 3.3 Kadar Feritin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan
Waktu Pemotongan Tali Pusat
Peneliti Tahun
Feritin (100-200g/dL)
Pemotongan Tali
Pusat Segera
Penundaan Pemotongan
Tali Pusat
Shirvani, F. 2010 173,6 214,7
Siregar, Olga R., dkk 2012 164 278
Sumber: Shirvani (2010) dan Siregar (2012)
Bayi dengan berat badan lahir normal memiliki simpanan Fe yang
dapat
dimanfaatkan kembali untuk pembentukan darah hingga bayi
tersebut berusia
9 bulan, sedangkan pada bayi dengan berat badan lahir rendah
atau pada bayi
dengan kehilangan darah perinatal, dapat menghabiskan cadangan
besi lebih
-
cepat, sehingga sumber makanan menjadi amat penting. Mengingat
bahwa
bayi hingga usia 6 bulan hanya dapat diberi ASI, (Sloan, 2012)
menyebutkan
bahwa tidak terdapat kandungan zat besi yang cukup dalam ASI
untuk
memenuhi kebutuhan zat besi bayi, sehingga pencegahan kekurangan
zat besi
dari sejak lahir diperlukan, salah satunya adalah dengan
mengoptimalkan
tranfusi darah pada penundaan pemotongan tali pusat yang
meningkatkan
kadar hemoglobin bayi sehingga Fe pun meningkat dan cadangan Fe
pada
bayi menjadi lebih banyak pula.
Penelitian yang mendukung bahwa penundaan pemotongan tali
pusat
dapat meningkatkan nilai Fe bayi baru lahir cukup bulan sehingga
bayi
tersebut memiliki cadangan Fe yang besar hingga usia 6 bulan,
dilakukan
oleh Chapparo (2011). Penelitiannya menemukan bahwa pada bayi
berusia 6
bulan yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat ketika dia
lahir
memiliki kadar Fe lebih tinggi daripada bayi yang dilakukan
pemotongan tali
pusat segera, ditunjukkan dengan level feritin bayi tersebut
lebih dari 12
g/dL dan level zat besi lebih dari 122 g/dL. Hasil yang sama,
ditemukan
oleh Siregar (2012) yang menemukan bahwa kadar feritin bayi usia
3 bulan
yang dilakukan penundaan pemotongan tali pusat lebih dari 50
g/dL,
begitupun saat bayi berusia 6 bulan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas diketahui bahwa
penundaan
pemotongan tali pusat dapat meningkatkan zat besi pada bayi baru
lahir
cukup bulan dan akan mempengaruhi penyimpanan zat besi untuk
dapat
dimanfaatkan hingga 6 bulan kehidupan pertamanya, karena
mengingat
-
bahwa defisiensi besi dapat mempengaruhi fungsi neurologis dan
intelektual,
sehingga pencegahan defisiensi besi penting terutama dalam
meningkatkan
penyimpanan zat besi dalam tubuh, yang dimulai dari bayi baru
lahir dengan
penundaan pemotongan tali pusat (Lubis, 2008).
D. Status Bilirubin Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat Dari
Perbedaan
Waktu Pemotongan Tali Pusat
Bilirubin serum bayi baru lahir cukup bulan yang dilakukan
penundaan
pemotongan tali pusat selama 5 menit adalah sebesar 7,7 mg%,
sedangkan
bilirubin serum pada bayi dengan pemotongan tali pusat segera
kurang dari
15 detik adalah sebesar 3,2 mg% (Adilia, 2011). Berdasarkan
hasil penelitian
tersebut tidak ditemukan kejadian ikterus pada kedua kelompok
pemotongan
tali pusat. Sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Cernadas
(2006) yang
menemukan perbedaan nilai bilirubin pada kedua kelompok
waktu
pemotongan tali pusat dan peningkatan nilai bilirubin pada
kelompok
penundaan pemotongan tali pusat yang tidak menyebabkan
ikterus.
Berbeda dengan penelitian tersebut di atas, Hutchon (2012)
menemukan
kejadian ikterus lebih banyak pada kelompok penundaan pemotongan
tali
pusat, begitupun dengan penelitian yang dilakukan oleh Rasiyanti
(2012),
yang menemukan peningkatan bilirubin terjadi pada kelompok
penundaan
pemotongan tali pusat sehingga perlu diwaspadai kejadian
ikterus.
Peningkatan kadar bilirubin serum pada bayi baru lahir cukup
bulan tersebut
-
ditemukan sebagai akibat dari penambahan sel darah merah
sehingga
produksi bilirubin pun meningkat.
Penelitian berikutnya, bayi yang memerlukan fototerapi
karena
mengalami hiperbilirubinemia memang ditemukan lebih banyak
pada
kelompok penundaan pemotongan tali pusat, namun, hasil tersebut
tidak
menunjukkan perbedaan bermakna karena kejadian
hiperbilirubinemia
ditemukan juga pada kelompok pemotongan tali pusat segera (Kohn,
2013).
Hal tersebut mendukung penelitian sebelumnya oleh Thawinkarn
(2008)
dan Andersson (2011) yang menemukan peningkatan kadar bilirubin
terjadi
pada kelompok pemotongan tali pusat segera dan banyak bayi
yang
memerlukan fototerapi pada kelompok tersebut, sehingga
disimpulkan bahwa
risiko kejadian ikterus pada kedua kelompok adalah sama.
Di Indonesia, belum terdapat kesepakatan mengenai waktu
pemotongan
tali pusat. Beberapa institusi melakukan pemotongan tali pusat
segera untuk
menghindari kejadian ikterus, karena jika penanganannya
terlambat atau tidak
sesuai, prognosanya akan buruk mengingat kejadian ikterus bayi
baru lahir
cukup bulan ditemukan cukup tinggi (Faridah, 2010), namun
berdasarkan
penelitian-penelitian yang disebutkan di atas, kekhawatiran
ikterus akibat
penundaan pemotongan tali pusat tidak seharusnya terjadi karena
tidak
terbukti bahwa penundaan pemotongan tali pusat meningkatkan
bilirubin
hingga menyebabkan ikterus. Hal tersebut didukung oleh
penelitian terbaru
Kohn (2013) yang mengemukakan bahwa peningkatan bilirubin
pada
-
kelompok penundaan pemotongan tali pusat tidak signifikan
menyebabkan
ikterus patologi yang membutuhkan fototerapi.
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir cenderung diakibatkan
oleh
penyakit hemolitik, salah satunya adalah diakibatkan oleh anemia
ringan yang
gejalanya tidak terlihat namun dapat disertai dengan
hepatomegali ringan dan
peningkatan bilirubin. Berdasarkan hal tersebut pencegahan
anemia dianggap
lebih penting.
Tabel berikut ini akan lebih menunjukkan status hematologi bayi
baru
lahir dilihat berdasarkan waktu pemotongan tali pusat.
Tabel 3.4 Status Hematologi Bayi Baru Lahir Cukup Bulan Dilihat
Dari
Perbedaan Waktu Pemotongan Tali Pusat
Status Hematologi
Waktu Pemotongan Tali Pusat
Pemotongan Tali Pusat
Segera
Penundaan Pemotongan
Tali Pusat
Hemoglobin (14-20 gr/dL) 16,3 19,9
Hematokrit (45-65%) 59 62
Zat Besi
- Level Feritin (100-
200 g/dL)
131
141
Bilirubin (12,5 mg/dL) 12,7 13,3
Sumber: Chaparro (2006) dan Tanmoun (2013)
Perbedaan waktu pemotongan tali pusat memberikan hasil yang
berbeda
pula terhadap status hematologi bayi baru lahir cukup bulan. Hal
tersebut
ditemukan signifikan dalam meningkatkan nilai hemoglobin,
hematokrit dan
zat besi yang bermanfaat bagi bayi tanpa perlu mengkhawatirkan
nilai
-
bilirubin bayi yang juga ikut meningkat. Dalam tabel berikut,
peningkatan
bilirubin terjadi pada kedua kelompok dan nilai bilirubin yang
lebih besar
ditemukan pada kelompok penundaan pemotongan tali pusat, namun
hal
tersebut tidak membuktikan bahwa penundaan pemotongan tali pusat
lebih
meningkatkan risiko hiperbilirubinemia. Dalam penelitian
tersebut, tidak
ditemukan bayi pada kedua kelompok waktu pemotongan tali pusat
yang
memerlukan fototerapi.
E. Waktu Pemotongan Tali Pusat Yang Optimal
Waktu pemotongan tali pusat ialah waktu pemutusan aliran darah
dari
plasenta ke bayi baru lahir saat kelahiran seluruh tubuh bayi
oleh penolong
bersalin dengan cara pemotongan tali pusat (Adilia, 2011). Belum
terdapat
kesepakatan mengenai waktu pemotongan tali pusat pada bayi baru
lahir,
namun secara umum, waktu pemotongan tali pusat dibagi menjadi
dua, yaitu
waktu pemotongan tali pusat segera dan penundaan waktu
pemotongan tali
pusat.
Pemotongan tali pusat segera didefinisikan sebagai pemotongan
tali pusat
yang dilakukan segera hingga sebelum satu menit setelah bayi
lahir
(Wickham, 2006), sedangkan definisi untuk penundaan pemotongan
tali pusat
adalah pemotongan yang dilakukan setelah bayi baru lahir
bernafas secara
teratur, yang ditemukan rata-rata 94 detik setelah bayi lahir
(Philip, 2004).
Hutton (2007) mengemukakan bahwa kebanyakan penelitian
menyebutkan bahwa penundaan pemotongan tali pusat adalah
pemotongan tali
-
pusat yang dilakukan setelah pulsasi tali pusat berhenti sampai
3 menit
pertama setelah melahirkan, hal tersebut didukung oleh
Prawirohardjo (2010)
yang menyebutkan bahwa transfusi optimal dari penundaan
pemotongan tali
pusat ada pada rentang 1-3 menit ditandai dengan berhentinya
pulsasi tali
pusat. Rata-rata pada menit ke dua.
Pendukung praktik pemotongan tali pusat segera menyebutkan
bahwa,
pemotongan tali pusat yang dilakukan sesegera mungkin akan
mengurangi
efek samping dari penambahan volume darah, yaitu
hiperbilirubinemia dan
polisitemia, namun setelah dilakukan studi literatur mengenai
pengaruh waktu
pemotongan tali pusat terhadap status hematologi bayi baru
lahir, waktu
pemotongan tali pusat yang ditemukan lebih bermanfaat adalah
penundaan
pemotongan tali pusat karena penambahan volume darah dari
plasenta ke bayi
(disebut transfusi plasenta) dapat meningkatkan nilai
hemoglobin, hematokrit
dan zat besi bayi. Penundaan pemotongan tali pusat selama 1
menit, akan
menambah volume darah sebanyak 80 ml dan 100 ml pada menit ke 3
(Philip
2004).
Di Indonesia, memang belum terdapat kesepakatan menganai
waktu
pemotongan tali pusat, namun pemotongan tali pusat bayi baru
lahir sudah
disosialisasikan dilakukan pada menit ke dua setelah bayi lahir
dan setelah
pemberian oksitosin sebagai menajeman aktif kala III pada menit
ke satu
(JNPKR, 2008). Hal tersebut sesuai dengan rekomendasi WHO
(2012)
mengenai manajemen aktif persalinan kala III yang meliputi
pemberian
uterotonika segera setelah bayi lahir, penundaan penjepitan tali
pusat,
-
melahirkan plasenta dengan pengendalian (kontrol) traksi tali
pusat, diikuti
dengan pemijatan uterus.
Berdasarkan rekomendasi tersebut di atas dan hasil dari
penelitian-
penelitian yang sudah dikemukakan, tenaga kesehatan dapat
mempertimbangkan untuk melakukan penundaan pemotongan tali
pusat
terutama pada bayi baru lahir normal yang tidak perlu
resusitasi, sehingga
pada saat lahir, bayi segera dikeringkan, diletakkan di atas
perut ibu dan
diselimuti kain kering dan hangat untuk mencegah kehilangan
panas lalu
melakukan penyuntikan oksitosin dan melakukan pemotongan tali
pusat.
-
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Transfusi plasenta yang terjadi pada saat bayi lahir dan
sebelum
plasenta dilahirkan memfasilitasi penambahan volume darah
bayi
sehingga berpengaruh terhadap status hematologi bayi baru lahir
cukup
bulan dan meningkatkan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit
(Ht),
serta zat besi.
2. Penundaan pemotongan tali pusat dapat meningkatkan
hemoglobin
bayi baru lahir cukup bulan. Hal tersebut dapat mencegah anemia
bayi
baru lahir karena kadar hemoglobin yang cukup dapat menjadi
sumber
Fe pada bayi.
3. Penundaan pemotongan tali pusat dapat meningkatkan hematokrit
bayi
baru lahir cukup bulan. Hal tersebut juga bermanfaat untuk
mencegah
anemia bayi baru ahir akibat kekurangan hematokrit. Adapun
risiko
polisitemia akibat peningkatan hematokrit tidak terbukti
signifikan
terjadi.
4. Penundaan pemotongan tali pusat pada bayi baru lahir
dapat
meningkatkan kadar zat besi pada bayi sehingga bayi memiliki
cadangan zat besi yang dapat digunakan untuk keperluan zat besi
bagi
tubuhnya selama satu tahun pertama kehidupannya.
-
5. Penundaan pemotongan tali pusat dapat meningkatkan kadar
bilirubin
pada bayi baru lahir cukup bulan. Namun peningkatan tersebut
tidak
terbukti memiliki perbedaan yang signifikan dengan pemotongan
tali
pusat segera dan tidak menyebabkan ikterus patologis pada bayi
baru
lahir.
6. Waktu optimal pemotongan tali pusat ditunda sampai 2 menit
ditandai
dengan berhentinya pulsasi tali pusat dengan
mempertimbangkan
kondisi bayi dan ibu.
B. Saran
Rekomendasi waktu penundaan pemotongan tali pusat pada bayi
baru lahir cukup bulan, dengan mempertimbangkan kondisi bayi dan
ibu,
adalah 2 menit setelah bayi lahir yang ditandai dengan
berhentinya pulsasi
tali pusat. Hal tersebut dapat meningkatkan kadar hemoglobin,
hematokrit,
dan zat besi pada bayi baru lahir yang bermanfaat untuk mencegah
dan
menurunkan risiko kejadian anemia bayi baru lahir, sehingga
tenaga
kesehatan diharapkan dapat mengaplikasikan penundaan pemotongan
tali
pusat.
-
DAFTAR PUSTAKA
Adilia, L., Tari, N. R., Primantara, D. (2011) Perbandingan Klem
Tali Pusat Dini
Dan Lambat Pada Bayi. Sari Pustaka, Universitas Padjajaran.
Andersson, O., Hellstrom, L., Andersson, D., & Domellof, M.
(2011) Effect Of
Delayed Versus Early Umbilical Cord Clamping On Neonatal
Outcomes
And Iron Status At 4 Months: A Randomised Controlled Trial. BMJ,
343
(10), pp 1-12.
Astrianti, L. R., Pangemanan, W. T., Bernolian, N., & Yakub,
K. (2012) Neonatal
Haemoglobin and Haematocrit Leve on Delayed Cord Clamping.
Indones J
Obstet Gynecol, 36 (1), pp 24-27.
Aziz, Samir F. (2006) Early Cord Clamping and Its Effect on some
Hematological
Determinants of Blood Viscosity in Neonatus [Internet]. Tersedia
di:
[Diakses 17
September 2013].
Benson, Ralph C. & Martin L. Pernoll (2008) Buku Saku
Obstetric Dan
Ginekologi Edisi 9. Jakarta: EGC
Beutler, Ernest. ed. (2007) Williams Hematology 6th Edition. New
York: Mc
Graw Hill Medical Publishing Division
Cernadas, J. M. C., Carroli, G., Pellegrini, L., Otano, L.,
Ferreira, M., Ricci, C.,
Casas, O., Giordano, D., & Lardizabal, J. (2006) The Effect
of Timing of
Cord Clamping on Neonatal Venous Hematocrit Values and
Clinical
Outcome at Term: A Randomized, Controlled Trial. Pediatrics, 117
(4), pp
e779-e786.
Chaparro, C. M., Neufeld, L. M., Alavez, G. T., Cedilo, R. E.,
& Dewey, K. G.
(2006) Effect Of Timing Of Umbilical Cord Clamping on Iron
Status in
Mexican Infants: a Randomised Controlled Trial. Lance