PENGARUH TEPUNG UMBI Cyperus rotundus L. TERHADAP PERTUMBUHAN, KERAPATAN, DAN PERKECAMBAHAN SPORA Colletotrichum sp. IN VITRO (Skripsi) Oleh ERIZA KURNIA PUTRI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018
PENGARUH TEPUNG UMBI Cyperus rotundus L. TERHADAP
PERTUMBUHAN, KERAPATAN, DAN PERKECAMBAHAN
SPORA Colletotrichum sp. IN VITRO
(Skripsi)
Oleh
ERIZA KURNIA PUTRI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Eriza Kurnia Putri
ABSTRAK
PENGARUH TEPUNG UMBI Cyperus rotundus L. TERHADAP
PERTUMBUHAN, KERAPATAN, DAN PERKECAMBAHAN SPORA
Colletotrichum sp. IN VITRO
Oleh
Eriza Kurnia Putri
Penyakit antraknosa merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas cabai,
Produksi cabai pada tahun 2014 sebesar 32,26 ribu ton. Dibandingkan tahun 2013,
terjadi penurunan produksi sebesar 2,97 ribu ton (8,44 %). Pengendalian dengan
menggunakan fungisida nabati dengan bahan tepung umbi Cyperus rotundus L.
merupakan cara alternatif dalam mengendalikan penyakit antraknosa tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tepung umbi Cyperus
rotundus terhadap pertumbuhan, kerapatan, dan perkecambahan spora Colletotrichum
sp. secara in vitro, mengetahui pengaruh formulasi yang mengandung tepung umbi
Cyperus rotundus terhadap pertumbuhan, kerapatan, dan perkecambahan spora
Colletotrichum sp. secara in vitro. Percobaan disusun dalam rancangan acak
kelompok (RAK) dengan 13 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan terdiri atas kontrol
(0%), tepung umbi teki yang terlarut dalam aquades dengan konsentrasi suspensi
tepung umbi teki sebesar 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, tepung umbi teki + kaolin yang
Eriza Kurnia Putri
terlarut dalam aquades dengan konsentrasi suspensi tepung umbi teki + kaolin sebesar
5%, 10%, 15%, 20%, 25%, pestisida kimia berbahan aktif propineb 70%, dan bahan
perata Alkilaril poliglikol eter. Data hasil pengamatan dianalisis dengan pemisahan
nilai tengah uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%. Hasil penelitian
yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa fungisida nabati dari tepung umbi teki
efektif terhadap pertumbuhan, kerapatan dan perkecambahan spora colletotrichum sp
in vitro.
Kata Kunci : Antraknosa, colletotrichum sp., fungisida nabati.
PENGARUH TEPUNG UMBI Cyperus rotundus L. TERHADAP
PERTUMBUHAN, KERAPATAN, DAN PERKECAMBAHAN
SPORA Colletotrichum sp. IN VITRO
Oleh
ERIZA KURNIA PUTRI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 27 Januari 1995. Penulis
merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak April Ali dan Ibu
Asmawati. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK)
Dharmawanita yang diselesaikan pada tahun 2000. Kemudian melanjut ke
Sekolah Dasar (SD) Negeri 2 Harapan Jaya yang diselesaikan pada tahun 2006.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 21 Bandar Lampung yang diselesaikan
pada tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bandar Lampung
yang diselesaikan pada tahun 2012.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian
Universitas Lampung pada tahun 2012, melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pada bulan Juli – Agustus 2015 penulis
melaksanakan kegiatan Praktik Umum (PU) di Kelompok Tani Dirham Desa
Bunga Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Pada
bulan Januari-Maret 2016 penulis melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) Universitas Lampung di Desa Penggawa V Tengah, Kecamatan Karya
Penggawa, Kabupaten Pesisir Barat.
Alhamdulillahirobbil’alamin
Dengan penuh rasa syukur dan bangga,
ku persembahkan karya ini kepada:
Keluargaku tercinta
Bapak April Ali, Ibu Asmawati dan kakak-adikku sebagai wujud terima kasih dan
baktiku atas dukungan, kasih sayang dan doa yang tiada henti diberikan kepada
penulis hingga saat ini.
Ir. Muhammad Nurdin, M.Si. dan Dr. Ir. Suskandini Ratih D., M.P.
yang telah memberikan motivasi, saran dan bimbingan
serta
Almamater tercinta
Agroteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas segala rahmat, hidayah dan kemudahan yang
diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Skripsi dengan judul “PENGARUH TEPUNG UMBI Cyperus rotundus L.
TERHADAP PERTUMBUHAN, KERAPATAN, DAN PERKECAMBAHAN
SPORA Colletotrichum sp. IN VITRO” merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku Ketua Bidang Proteksi Tanaman
Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung atas
motivasi dan dukungannya.
4. Bapak Ir. Muhammad Nurdin, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Utama yang
telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan saran, gagasan,
bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat sampai penulisan skripsi ini selesai.
5. Ibu Dr. Ir. Suskandini Ratih D., M.P., selaku Dosen Pembimbing Kedua yang
telah menyisihkan waktu dan pikirannya untuk memberikan fasilitas, saran,
dukungan, serta bimbingan yang diberikan selama penelitian hingga
penulisan skripsi selesai.
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Dosen Penguji.
7. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Setiawan, M.Sc., selaku pembimbing akademik
yang telah memberikan saran dan nasihat kepada penulis selama menjalani
proses perkuliahan.
8. Mba Uum, Mas Jen dan Pak Pariyadi yang telah membantu melancarkan
pelaksanaan penelitian selama di Laboratorium Penyakit Tanaman.
9. Kedua orang tua penulis tercinta Bapak April Ali dan Ibu Asmawati, serta
kakak-adik terkasih Saede Nerotama dan Patria Killa Primadeza yang selalu
memberikan do’a, dukungan dan dorongan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
10. Teman- teman yang membantu penulis dalam penelitian, Mayuda, Dede,
Udin, Silvia Ciem, Riska, Kiki, Tyas, Jeca, Rachmat WD, serta teman teman
lainnya yang ikut serta, terimakasih atas bantuan dan dukungan selama
pelaksanaan penelitian.
11. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas semua kebaikan
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan
semoga skripsi ini bermanfaat. Amin.
Bandar Lampung, Desember 2018
Penulis,
Eriza Kurnia Putri
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. v
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah .............................................................. 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 3
1.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 4
1.4 Hipotesis ............................................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Antraknosa .......................................................................... 6
2.1.1 Gejala serangan ....................................................................... 7
2.1.2 Biologi penyebab penyakit ...................................................... 8
2.1.3 Daur penyakit .......................................................................... 9
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
Colletotrichum sp. ................................................................... 10
2.1.5 Pengendalian penyakit antraknosa cabai ................................. 10
2.2 Cyperus rotundus L ............................................................................ 11
2.2.1 Klasifikasi Cyperus rotundus L .............................................. 11
2.2.2 Ciri-ciri Cyperus rotundus L ................................................... 12
2.2.3 Kandungan Senyawa Kimia dan Manfaat
Cyperus rotundus L ................................................................. 14
2.3 Formulasi Wettable Powder (WP) ..................................................... 14
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 16
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 16
3.3 Rancangan Percobaan ........................................................................ 16
3.3.1 Penyiapan Isolate Colletotrichum sp. ...................................... 17
3.3.2 Penyiapan Media Tumbuh Jamur
Colletotrichum sp. PSA ........................................................... 17
3.3.3 Penyiapan Media Tumbuh yang Mengandung
Tepung Umbi Cyperus rotundus ............................................. 18
3.3.4 Pertumbuhan Koloni ............................................................... 18
3.3.5 Pengamatan dan Perhitungan Jumlah Spora ........................... 19
3.3.6 Viabilitas Spora ....................................................................... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 21
4.1.1 Diameter Koloni Colletotrichum sp. ....................................... 21
4.1.2 Kerapatan Spora ...................................................................... 24
4.1.3 Perkecambahan Spora ............................................................. 26
4.2 Pembahasan ........................................................................................ 27
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ............................................................................................ 30
5.2 Saran ................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Lampiran 1 ................................................................................................ 36
Lampiran 2 ................................................................................................ 44
iii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Rata-rata diameter koloni Colletotrichum sp. pada media PSA
setelah diberi perlakuan ................................................................................ 23
2. Kerapatan spora Colletotrichum sp. pada 6 hsi setelah
diberi perlakuan ........................................................................................... 25
3. Perkecambahan spora Colletotrichum sp. pada 6 jam
setelah diberi perlakuan ............................................................................... 26
4. Data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 1 hsi .......................................................................................... 36
5. Analisis ragam data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 1 hsi .......................................................................................... 36
6. Data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 2 hsi .......................................................................................... 37
7. Analisis ragam data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 2 hsi .......................................................................................... 37
8. Data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 3 hsi .......................................................................................... 38
9. Analisis ragam data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 3 hsi .......................................................................................... 38
10. Data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 4 hsi .......................................................................................... 39
11. Analisis ragam data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 4 hsi .......................................................................................... 39
iv
12. Data Pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 5 hsi .......................................................................................... 40
13. Analisis ragam data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 5 hsi .......................................................................................... 40
14. Data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 6 hsi .......................................................................................... 41
15. Analisis ragam data pertumbuhan diameter koloni Colletotrichum sp.
pengamatan 6 hsi .......................................................................................... 41
16. Data kerapatan spora Colletotrichum sp. ..................................................... 42
17. Analisis ragam data kerapatan spora Colletotrichum sp. ............................. 42
18. Data perkecambahan spora Colletotrichum sp. ............................................ 43
19. Analisis ragam data perkecambahan spora Colletotrichum sp. ................... 43
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Konidia Colletotrichum sp. penyebab penyakit
antraknosa cabai......................................................................................... 6
2. Gejala serangan patogen antraknosa pada buah cabai ............................... 8
3. Tumbuhan teki (Cyperus rotundus L.) ...................................................... 12
4. Ilustrasi pengukuran diameter koloni jamur
Colletotrichum sp....................................................................................... 19
5. Grafik perkembangan diameter koloni Colletotrichum sp. ....................... 24
6. Grafik pengamatan keparatan spora pada hari ke 6 setelah
Isolasi ......................................................................................................... 25
7. Grafik pengamatan perkecambahan spora ................................................. 27
8. Alat fraksinasi sederhana ........................................................................... 44
9. Penimbangan umbi teki ............................................................................. 44
10. Pencucian umbi teki ................................................................................... 44
11. Penghalusan umbi teki ............................................................................... 44
12. Penyaringan dan pemerasan ekstrak umbi teki .......................................... 44
13. Fraksinasi umbi teki ................................................................................... 44
14. Pengeringan hasil fraksinasi umbi teki ...................................................... 44
15. Penimbangan ekstrak umbi teki kering...................................................... 45
vi
16. Isolasi Colletotrichum sp. dari buah cabai yang terserang
Antraknosa ................................................................................................. 45
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang digemari
masyarakat. Ciri dari sayuran ini adalah rasa pedas dan aromanya yang khas,
sehingga bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan selera makan
(Setiawati, 2005). Cabai merah mengandung senyawa yang berguna bagi
kesehatan manusia. Kandungan vitamin yang ada pada buah cabai merah adalah
vitamin A dan C serta mengandung minyak atsiri, yang dapat memberikan
kehangatan bila kita gunakan sebagai rempah-rempah. Buah cabai merah
mengandung antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas
(Musdalifa, 2017).
Di Propinsi Lampung, cabai merah termasuk salah satu komoditas tanaman
sayuran unggulan. Komoditas tersebut banyak diusahakan di lahan kering dataran
tinggi maupun dataran rendah. Propinsi Lampung mempunyai potensi
sumberdaya alam khususnya lahan kering yang sesuai untuk pengembangan
tanaman pangan dan hortikultura (BPTP Lampung, 2008). Produksi cabai pada
tahun 2014 sebesar 32,26 ribu ton. Dibandingkan tahun 2013, terjadi penurunan
produksi sebesar 2,97 ribu ton (8,44 %). Penurunan ini disebabkan karena sifat
cabai merah yang rentan terhadap patogen jamur Colletotrichum sp. penyebab
penyakit antraknosa (Badan Pusat Statistik, 2015).
2
Salah satu kendala pada pertanaman budidaya cabai di Indonesia adalah serangan
penyakit antraknosa yang disebabkan infeksi C. capsici, yang merusak buah cabai
sejak di lapangan hingga pada periode penyimpanan. Gejala umum serangan
antraknosa pada cabai adalah busuk buah berbentuk lingkaran – lingkaran
konsentris dari pusat bercak. Serangan berat dari patogen ini mengakibatkan
seluruh buah mengering dan keriput (Crop Protection Compendium, 2002).
Pengendalian penyakit antraknosa biasanya dilakukan dengan menggunakan
fungisida sintetik. Namun demikian, dampak yang ditimbulkan akibat
penggunakan fungisida sintetik ini adalah terganggunya lingkungan seperti
timbulnya resistensi patogen, terbunuhnya organisme non-target, residu pada
makanan serta membahayakan bagi kesehatan manusia. Untuk mengurangi
dampak negatif dalam pengendalian penyakit antraknosa, salah satunya dengan
menggunakan fungisida nabati. Fungisida nabati relatif lebih aman bagi
lingkungan dan manusia dikarenakan terbuat dari bahan organik yang lebih
mudah terdekomposisi.
Cyperus rotundus mengandung 0,3-1 % minyak esensial. Minyak esensial
tersebut memiliki kandungan antara lain, golongan sesquiterpene ; α dan β-
cyperene, α dan β- cyperol, cyperotundone, isocyperol, cyperoone, cyperolone, β-
selinene, patchoulenone, kobusone, isokobusone, copadiene, epoxyquaine,
rotundone, mengandung pula alkaloid, glikosida jantung dan flavonoid. Cyperus
rotundus juga mengandung senyawa seperti sineol, minyak atsiri dan alkaloid,
yang berperan sebagai fungisida nabati (Jawetz et al., 2008). Oleh karena itu,
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh ekstrak umbi
3
Cyperus rotundus sebagai fungisida nabati dalam menekan pertumbuhan,
kerapatan, dan perkecambahan spora Colletotrichum sp. pada tanaman cabai.
Formulasi sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi
tertentu harus digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa
frekuensi dan interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida
dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi
pestisida juga menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan
diedarkan dalam banyak macam formulasi, salah satunya dalam bentuk Wettable
Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel beberapa
mikron) dengan kadar bahan aktif relatif tinggi (50 – 80%), yang jika dicampur
dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara
disemprotkan.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengaruh tepung umbi Cyperus rotundus terhadap pertumbuhan,
kerapatan, dan perkecambahan spora Colletotrichum sp. secara in vitro.
2. Mengetahui pengaruh formulasi yang mengandung tepung umbi Cyperus
rotundus terhadap pertumbuhan, kerapatan, dan perkecambahan spora
Colletotrichum sp. secara in vitro.
4
1.3 Kerangka Pemikiran
Penggunaan fungisida sintetik dalam pengendalian penyakit antraknosa pada buah
cabai perlu dikurangi karena menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan
manusia. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak negatif
penggunaan fungisida sintetik ini adalah penggunaan fungisida nabati.
Pada penelitian ini digunakan tepung umbi teki, karena menurut Nur, (2017) umbi
teki diduga efektif menghambat pertumbuhan patogen karena teki mengandung
senyawa seperti sineol, minyak atsiri dan alkaloid, yang berperan sebagai
fungisida nabati.
Bagian dari rumput teki yang dapat dimanfaatkan adalah rimpangnya. Komponen-
komponen kimia yang terkandung dalam rimpang rumput teki antara lain :
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, polifenol, resin, amilum tannin, triterpen, d-
glukosa, d-fruktosa, dan gula tak mereduksi (Murnah, 1995) dengan adanya
kandungan minyak atsiri yang bersifat analgetik (Pudjiastuti dkk., 1996).
Untuk campuran pestisida nabati digunakan kaolin sebagai bahan pembawa
karena bahan kimia terpenting dalam pestisida yang bekerja aktif terhadap
organisme sasaran disebut bahan aktif. Pada pembuatan pestisida, bahan aktif
tersebut tidak dibuat secara murni, tetapi ada campuran dengan bahan-bahan
pembawa lainnya (Kementan, 2007).
Kaolin berfungsi sebagai bahan pengeras dan pengikat dalam pembuatan
formulasi pestisida. Purwantisari et al. (2008) mengemukakan bahwa tanah
lempung seperti kaolin dapat digunakan sebagai bahan pembawa biomassa
Trichoderma sp. Kaolin (Aluminium Silikat /Al4Si4O10(OH)8) berasal dari mineral
5
lempung yang mampu menyerap air dengan kaolinit sebagai bahan utamanya
(Prasad & Rangeshwaran 2000). Menurut Tan, (1995) kaolin mengandung oksida-
oksida anorganik seperti SiO2 dan Al2O3 dalam jumlah besar serta Fe2O3, CaO,
MgO, TiO2, Na2O, dan lain sebagainya dalam jumlah kecil.
Pembanding dalam penelitian ini adalah pestisida kimia berbahan aktif propineb,
pestisida kimia berbahan aktif propineb mengganggu metabolisme pada jamur,
diantaranya mengganggu proses respirasi, metabolisme karbohidrat dan protein
pada membran sel. Wiyatiningsih dan Wuryandari (1998) melaporkan bahwa
fungisida sintetis berbahan aktif propineb dapat menekan pertumbuhan
Colletotrichum sp. dan mengurangi intensitas penyakit antraknosa.
Berdasarkan senyawa yang terkandung dalam umbi teki diduga tepung umbi teki
dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai, dan kaolin
yang digunakan sebagai bahan pembawa. Oleh karena itu pada penelitian ini
digunakan tepung umbi teki dan tepung umbi teki yang dicampur dengan kaolin.
1.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan maka peneliti
mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Tepung umbi Cyperus rotundus dapat menghambat pertumbuhan, kerapatan,
dan perkecambahan spora Colletotrichum sp. secara in vitro.
2. Formulasi yang mengandung tepung umbi Cyperus rotundus efektif
menghambat pertumbuhan, kerapatan, dan perkecambahan spora
Colletotrichum sp. secara in vitro.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Antraknosa
Penyakit antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum sp. (Gambar 1) dapat
ditemukan pada daun dan batang dan selanjutnya menginfeksi buah. Selain di
pertanaman penyakit antraknosa juga terdapat di penyimpanan (Setiadi, 2000).
Penyakit antraknosa sangat ditakuti karena dapat menghancurkan seluruh
pertanaman. Cabai segar yang disimpan 1-2 hari sebelum dipasarkan pun dapat
memperlihatkan gejala serangan penyakit ini karena antraknosa dapat terbawa,
tumbuh, dan bertahan di dalam biji selama sembilan bulan (Prajnanta, 2003).
Penyakit ini juga banyak terdapat di daerah transmigrasi Lampung, dan dianggap
sebagai penyakit yang merugikan (Semangun, 2004).
Gambar 1. Konidia Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa cabai
7
2.1.1 Gejala serangan
Gejala Serangan Jamur Colletotrichum sp. dapat menginfeksi cabang, ranting,
daun dan buah. Infeksi pada buah terjadi biasanya pada buah menjelang tua dan
sesudah tua. Gejala diawali berupa bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-
hitaman dan sedikit melekuk. Serangan yang lebih lanjut (Gambar 2)
mengakibatkan buah mengerut, kering, membusuk dan jatuh (Rusli dkk., 1997).
Buah cabai yang terinfeksi Colletotrichum sp. menunjukkan gejala berupa
bercakberwarna coklat kehitaman. Bercak berbentuk bundar atau cekung dan
berkembang pada buah yang belum dewasa/matang dari berbagai ukuran.
Biasanya bentuk bercak beragam pada satu buah cabai. Ketika diserang patogen,
bercak akan bersatu. Massa spora jamur berwarna merah jambu ke orange
terbentuk dalam cincin yang konsentris pada permukaan bercak. Bercak yang
sudah menua, aservuli akan kelihatan.
Dengan rabaan, akan terasa titik-titik hitam kecil, di bawah mikroskop akan
tampak rambut-rambut halus berwarna hitam. Spora terbentuk cepat dan
berlebihan dan memencar secara cepat pada hasil cabai, mengakibatkan
kehilangan sampai 100%. Bercak dapat sampai ke tangkai dan meninggalkan
bintik yang tidak beraturan berwarna merah tua dengan tepinya berwarna merah
tua gelap (Ivey and Miller, 2004).
8
Gambar 2. Gejala serangan patogen antraknosa pada buah cabai.
2.1.2 Biologi penyebab penyakit
Klasifikasi jamur Colletotrichum capsici menurut, Singh (1998) adalah
Divisio : Ascomycotina
Sub-divisio : Eumycota
Kelas : Pyrenomycetes
Ordo : Sphaeriales
Famili : Polystigmataceae
Genus : Colletotrichum
Spesies : Colletotrichum sp.
Miselium terdiri dari beberapa septa, inter dan intraseluler hifa. Aservulus dan
stroma pada batang berbentuk hemispirakel dan ukuran 70-120 µm. Seta
menyebar, berwarna coklat gelap sampai coklat muda, seta terdiri dari beberapa
septa dan ukuran +150µm. Konidiofor tidak bercabang, massa konidia nampak
berwarna kemerah-merahan. Konidia berada pada ujung konidiofor. Konidia
berbentuk hialin, uniseluler, ukuran 17-18 x 3-4 µm. Konidia dapat berkecambah
9
pada permukaan buah yang hijau atau merah tua. Tabung kecambah akan segera
membentuk apresorium (Singh, 1998).
Pertumbuhan awal jamur Colletotrichum sp. membentuk koloni miselium yang
berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian secara
perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus.
Aservulus ditutupi oleh warna merah muda sampai coklat muda yang sebetulnya
adalah massa konidia (Rusli dkk., 1997).
2.1.3 Daur penyakit
Jamur Colletotrichum membentuk koloni miselium yang berwarna putih dengan
miselium yang timbul di permukan. Kemudian perlahan-lahan berubah menjadi
hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus ditutupi oleh warna merah
muda sampai cokelat muda yang sebelumnya adalah massa koloni (Rusli dkk.,
1997).
Tahap awal dari infeksi Colletotrichum umumnya berupa konidia yang
berkecambah pada permukaan tanaman, menghasilkan tabung kecambah. Setelah
penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa. Hifa intra dan interseluler menyebar
melalui jaringan tanaman. Spora Colletotrichum dapat disebarkan oleh air hujan
dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman, 2000).
Infeksi terjadi setelah apresoria dihasilkan. Karena penurunan dinding secara
ekstensif, hifa mempenetrasi kutikula dan ditandai dengan tumbuh dibawah
dinding kutikula dan dinding periklinal dari sel epidermis. Kemudian, hifa tumbuh
dan menghancurkan dinding sel utama. Ini berhubungan dengan matinya sel yang
10
berdampingan secara ekstensif. Ketika jaringan membusuk, hifa masuk ke
pembuluh sklerenkium (sclerenchynatous) dengan langsung tumbuh menembus
dindingnya (Pring et al., 1995).
2.1.4 Faktor yang mempengaruhi Colletotrichum capsici
Untuk pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lingkungan, salah satunya adalah pH. pH sangat penting dalam mengatur
metabolisme dan sisitem-sistem enzim, bila terjadi penyimpangan pH, maka
proses metabolisme jamur dapat terhenti. Sehingga untuk pertumbuhan maksimal
jamur diperlukan pH yang optimum. pH optimal untuk pertumbuhan jamur
Colletotrichum capsici yang baik adalah pH 5-7 (Yulianty, 2006). Suhu optimum
untuk pertumbuhan jamur ini antara 24-30ºC dengan kelembaban relatif antara
80-92 % (Rompas, 2001). Penyakit kurang terdapat pada musim kemarau dan
lahan yang mempunyai drainase baik. Penyakit dapat dibantu oleh angin dan
hujan untuk penyebaran konidia (Semangun, 1991).
2.1.5 Pengendalian penyakit antraknosa cabai
Pestisida kimia dalam teknologi pertanian modern banyak digunakan, sangat
sedikit dipergunakan pestisida mikroba dan boleh dikatakan tidak dipergunakan
pestisida nabati atau botanik (Oka, 1994 dalam Sibarani, 2008).
Pada prinsipnya, konsep PHT adalah memadukan berbagai komponen
pengendalian dengan mengacu pada pelestarian lingkungan, ekonomi dan secara
sosial dapat diterima petani. Komponen yang dimaksud terdiri atas cara cocok
11
tanam, mekanis, fisik, biologis, kimiawi, genetik dan peraturan- peraturan.
Dengan pengertian tersebut berarti bahwa pemanfaatan pestisida nabati termasuk
dalam komponen kimiawi (Soehardjan, 1994 dalam Sibarani, 2008).
2.2 Cyperus rotundus L
Gulma yang dominan tumbuh pada lahan pertanaman cabai merah adalah teki.
Rumput teki telah lama dikenal masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Beberapa nama daerah yang diberikan kepada tanaman rumput teki ini antara lain
Jawa tengah (Teki), Madura (Mota), Nusa Tenggara (Karecha Wae), Sulawesi
(Rukut teki) (Sugati, 1991).
2.2.1 Klasifikasi Cyperus rotundus L
Rumput teki tumbuh di dataran rendah dengan ketinggian 1000 m di atas
permukaan laut. Umumnya rumput teki tumbuh liar di Afrika Selatan, Korea,
Cina, Jepang, Taiwan, Malaysia, Indonesia, dan Kawasan Asia Tenggara. Rumput
teki banyak tumbuh di tempat terbuka atau tidak terkena sinar matahari secara
langsung seperti tumbuh di lahan pertanian yang tidak terlalu kering, ladang,
kebun, tegalan, pinggir jalan, yang hidup sebagai gulma karena sangat susah
untuk diberantas (Gunawan,1998).
Rumput teki banyak ditemukan pada tempat yang menerima curah hujan lebih
dari 1000 mm pertahun yang memiliki kelembapan 60 – 85 %. Suhu terbaik untuk
pertumbuhan rumput teki adalah suhu dengan rata-rata 25˚C, pH tanah untuk
menumbuhkan rumput teki berkisar antara 4,0 – 7,5 (Lawal dkk., 2009).
12
Tanaman rumput teki dapat dilihat pada Gambar 3 Menurut Sugati (1991)
klasifikasi tanaman rumput teki sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Cyperales
Family : Cyperaceae
Genus : Cyperus
Species : Cyperus rotundus L.
Gambar 3. Tumbuhan teki (Cyperus rotundus L.)
2.2.2 Ciri – ciri Cyperus rotundus L
Rumput teki merupakan tanaman herba menahun yang banyak tumbuh di lahan
pertanian sebagai gulma. Tanaman ini sangat mudah ditemukan di Indonesia
karena beriklim tropis. Umbi batang merupakan mekanisme pertahanan yang ada
pada rumput teki, karena hal ini rumput teki dapat bertahan berbulan-bulan.
13
Rumput teki yang termasuk ke dalam famili Cyperaceae merupakan tanaman
gulma tahunan. Kulit umbi berwarna hitam dan berwarna putih kemerahan
dalamnya, serta memiliki bau yang khas. Bunga terletak pada ujung tangkai
memiliki tiga tunas kepala benang sari yang berwarna kuning jernih (Lawal dkk.,
2009).
Rumput teki termasuk rumput semu menahun, tetapi tidak termasuk Graminae
(keluarga rumput-rumputan). Batang berbentuk segitiga, helaian daun memiliki
bentuk garis dan warna permukaan berwarna hijau tua mengkilat dengan ujung
daun meruncing. Bunga rumput teki berbentuk bulir majemuk (Gunawan, 1998).
Gulma ini termasuk dalam famili Cyperaceae, Rumput teki mempunyai tinggi
sekitar 15 – 95 cm, dengan bentuk batang segitiga. Daun 4 – 10 helai terdapat
pada pangkal batang, dengan pelepah daun tertutup tanah. Helaian daun
menyerupai pita, pertulangan daun sejajar, tepi daun rata, permukaan atas
berwarna hijau mengkilap dengan panjang 10 – 60 cm, dan lebar 2 – 6 mm.
Perbungaan majemuk berbentuk bulir mempunyai 8 – 25 bunga yang berkumpul
berbentuk payung, berwarna kuning atau cokelat kuning. Umbi menjalar,
berbentuk kerucut yang besar pada pangkalnya, kadang – kadang melekuk,
berwarna cokelat, berambut halus berwarna cokelat atau cokelat kehitaman, keras,
wangi dan panjang 1,5 – 4,5 cm dengan diameter 5 – 10 mm (Khrisna, 2012).
Rumput teki tumbuh liar di tempat terbuka atau sedikit terlindung dari sinar
matahari pada lapangan rumput, pinggir jalan, tegalan, atau lahan pertanian yang
tumbuh sebagai gulma yang sukar diberantas. Rumput ini bisa tumbuh pada
14
bermacam – macam tanah dan terdapat dari 1 – 1000 meter dpl (Dalimartha,
2009).
2.2.3 Kandungan Senyawa Kimia dan Manfaat Cyperus rotundus L
Bagian dari rumput teki yang dapat dimanfaatkan adalah rimpangnya. Komponen-
komponen kimia yang terkandung dalam rimpang rumput teki antara lain :
minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, polifenol, resin, amilum tannin, triterpen,
d-glukosa, d-fruktosa, dan gula tak mereduksi (Murnah, 1995) dan adanya
kandungan minyak atsiri yang bersifat analgetik (Pudjiastuti dkk., 1996).
Senyawa flavonoid yang terdapat pada tumbuhan berperan sebagai antifungi,
antivirus, antimikroba, antikanker dan antiinsektisida (Kristanti, 2008). Flavonoid
yang berperan sebagai antijamur yaitu dengan cara denaturasi protein,
mengganggu lapisan lipid dan mengakibatkan kerusakan dinding sel (Gholib,
2009).
Manfaat Rumput Teki Khasiat dari umbi rumput teki secara farmakologi dan
biologi yaitu sebagai anti-candida, anti-inflamasi, antidiabetes, sitoprotektif,
antimutagenik, antimikroba, antibakteri, antioksidan, sitotoksik, dan apoptosis,
serta analgesik antipiretik untuk tanaman ini (Lawal dkk., 2009).
2.3 Formulasi Wettable Powder (WP)
Wettable Powder (WP) merupakan sediaan bentuk tepung dengan ukuran partikel
beberapa mikron yang memiliki aktifitas bahan aktif relatif tinggi (50 - 80%).
15
Bahan ini jika dicampur dengan air akan membentuk suspense. Pengaplikasian
Wettable Powder dengan cara disemprotkan (Djojosumarto, 2008).
Bahan terpenting dalam pestisida yang bekerja aktif terhadap hama disebut
sebagai bahan aktif. Produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan
aktif dan bahan tambahan dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan
bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, dosis
atau takaran bahan yang harus digunakan, frekuensi penggunaan, serta terhadap
jenis mikroba apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan secara
efektif (Djojosumarto, 2008).
16
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung. Penelitian berlangsung pada bulan April hingga
Agustus 2017.
3.2 Alat dan Bahan
Alat - alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi timbangan, cawan petri,
tabung reaksi, erlenmeyer, plastic wrapping, aluminium foil, bunsen, pinset, pisau,
mikropipet, jarum ose, bor gabus, gelas ukur, kaca preparat, haemocytometer,
autoclave, rotamixer, mikroskop, dan alat tulis.
Bahan -bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi buah cabai yang
terinfeksi penyakit antraknosa, tepung umbi Cyperus rotundus (Teki), media PSA
(Pottato Sucrose Agar), aquades, bahan perata Alkilaril poliglikol eter (APE),
propineb 70%, NaOCL 5%, asam laktat, dan alkohol 70%.
3.3 Rancangan Percobaan
Percobaan disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan tiga belas
perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan terdiri atas kontrol (0%), tepung umbi teki
yang terlarut dalam aquades dengan konsentrasi suspensi tepung umbi teki sebesar
17
5%, 10%, 15%, 20%, 25%, tepung umbi teki + kaolin yang terlarut dalam aquades
dengan konsentrasi suspensi tepung umbi teki + kaolin sebesar 5%, 10%, 15%,
20%, 25%, pestisida kimia propineb 70%, dan bahan perata Alkilaril poliglikol
eter (APE). Data hasil pengamatan dianalisis dengan pemisahan nilai tengah uji
Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
3.3.1 Penyiapan Isolat Colletotrichum sp.
Penyiapan isolat dilakukan di laboratorium dengan mengisolasi jamur
Colletotrichum sp. dari buah cabai yang menunjukan gejala terinfeksi. Jaringan
kulit buah yang bergejala dipotong pada bagian perbatasan antara bagian yang
sakit dan yang sehat (± 5 mm), kemudian potongan direndam dalam larutan
NaOCl5% selama 30 detik, dan dibilas dengan air steril. Selanjutnya potongan
kulit buah tersebut ditanam dalam cawan petri yang berisi media PSA dan
diinkubasi dalam suhu ruang selama 3 hari. Jamur yang tumbuh kemudian
direisolasi sehingga diperoleh isolate murni Colletotrichum sp.
3.3.2 Penyiapan Media Tumbuh Jamur Colletotrichum sp. PSA
Media PSA dibuat dengan campuran 200 g kentang, 20 g agar batang, 20 g gula
dan 1 liter aquades. Kentang yang telah dikupas, dipotong kecil - kecil kemudian
direbus dalam 1000 ml aquades hingga lunak. Sari kentang, agar batang, gula dan
aquades dimasukkan kedalam labu erlenmeyer dan diaduk hingga homogen.
Langkah selanjutnya adalah menutup mulut erlenmeyer menggunakan aluminium
foil dan diikat dengan karet. Setelah mulut erlenmeyer tertutup rapat, erlenmeyer
dimasukkan ke dalam autoklaf, kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf
18
selama 15 menit pada suhu 121°C dengan tekanan 1 atm. Media diangkat dan
didiamkan sampai media bersuhu ± 45 °C, lalu ditambahkan dengan asam laktat
sebanyak 1,4 ml.
3.3.3 Penyiapan Media Tumbuh yang Mengandung Tepung Umbi Cyperus
rotundus
Media tumbuh yang mengandung tepung umbi Cyperus rotundus dibuat dengan
cara menimbang terlebih dahulu bubuk umbi teki masing - masing sebanyak 0,5
g; 1 g; 1,5 g; 2 g; 2,5 g. Timbang juga bubuk umbi teki yang sudah dicampur
bubuk kaolin (10g : 10g) masing - masing sebanyak 0,5 g; 1 g; 1,5 g; 2 g; 2,5 g.
Kemudian masing - masing dibungkus menggunakan alumunium foil, lalu
dilakukan sterilisasi menggunakan alat autoklaf.
Sambil menunggu ekstrak yang sedang disterilisasi, panaskan media PSA dan
siapkan 12 tabung reaksi berisi 10ml air steril. Setelah ekstrak selesai disterilisasi,
dan media PSA sudah selesai dipanaskan, masukan masing - masing ekstrak
kedalam 12 tabung reaksi berisi air steril lalu dihomogenkan menggunakan
rotamixer, setelah itu masukan ekstrak ke masing - masing botol yang berisi
media PSA, lalu botol diberi label.
3.3.4 Pertumbuhan Koloni
Isolat jamur yang tumbuh selanjutnya dilakukan pengujian pertumbuhan koloni.
Pengamatan pertumbuhan koloni dilakukan pada umur 1 hsi (hari setelah
inokulasi) sampai salah satunya memenuhi cawan. Pengamatan dilakukan dengan
mengukur diameter koloni dari 4 sisi seperti pada Gambar 4 lalu dirata-ratakan.
19
Gambar 4. Ilustrasi pengukuran diameter koloni jamur Colletotrichum sp.
3.3.5 Pengamatan dan Penghitungan Jumlah Spora
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui jumlah spora pada tiap - tiap perlakuan.
Pengamatan ini diperlukan sebagai data pendukung dari data pengamatan
pertumbuhan spora Colletotrichum sp. Jumlah spora dihitung menggunakan
metode hitungan mikroskopis langsung, dimana sampel diletakkan pada
haemocytometer. Jumlah spora dapat dihitung dengan cara mengambil semua
spora yang tumbuh pada tiap cawan petri dalam tiap ulangan. Suspensi spora
Colletotrichum sp. kemudian dimasukkan kedalam 10 ml aquades steril di dalam
tabung reaksi, setelah itu dihomogenkan. Selanjutnya suspense spora
Colletotrichum sp. diteteskan pada ruang hitung haemocytometer dan ditutup
dengan kaca obyek, sehingga suspensi mengalir ke bawah kaca obyek mengisi
ruang hitung. Lalu jumlah spora dihitung dalam lima kotak sedang di bawah
mikroskop dan dilihat rata - ratanya. Jumlah spora dihitung dengan rumus
menurut Sudibyo (1994) dalam Surtikanti dan Juniarsih (2010):
K = Jumlah spora x 2,5 x 106
20
Dengan K adalah kerapatan spora per ml dan 2,5 x 106
adalah konstanta atau
faktor koreksi penggunaan kotak sampel pada haemocytometer. Uji kerapatan ini
dilakukan sebanyak tiga ulangan dari setiap perlakuan.
3.3.6 Viabilitas Spora
Viabilitas spora dihitung pada biakan umur 6 hsi dengan tingkat pengenceran 10-4
,
kemudian diteteskan di atas media dan ditutup menggunakan cover glass dan
diinkubasi dalam suhu ruang selama 6 jam. Setelah diinkubasi, kemudian diamati
di bawah mikroskop dan dihitung jumlah spora yang berkecambah dan jumlah
spora yang tidak berkecambah. Persentase perkecambahan spora dihitung dengan
menggunakan rumus (Gabriel dan Riyatno, 1989 dalam Ratna, 2004) :
Keterangan :
V = Perkecambahan spora
g = Jumlah spora yang berkecambah
u = Jumlah spora yang tidak berkecambah
30
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa, 1. Tepung umbi
Cyperus rotundus dapat menghambat pertumbuhan, kerapatan, dan perkecambahan
spora Colletotrichum sp. secara in vitro, 2. Formulasi yang mengandung tepung umbi
Cyperus rotundus efektif menghambat pertumbuhan, kerapatan, dan perkecambahan
spora Colletotrichum sp. secara in vitro.
5.2 Saran
Penulis menyarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk aplikasi fungisida
nabati dari tepung umbi teki dalam menekan penyakit antraknosa di lapang dan juga
perlunya penambahan penggunaan perekat ketika fungisida nabati akan diaplikasikan
di lapang.
31
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Cabai Besar, Cabai Rawit, dan Bawang
Merah Tahun 2014. https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1168. Tanggal 3
November 2017.
BPTP Lampung. 2008. Teknologi Budidaya Cabai Merah. Balai Pengkaji
Teknologi Pertanian. Bandar Lampung. 25 hlm.
Crop Protection Compendium. 2002. Database of Seedborne Diseases. Global
Module 2nd Edition.
Dalimartha Setiawan. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trobus Agriwidya.
Bogor. 124 hlm.
Dickman, M.B. 2000. Colletotrichum. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
393 hlm.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida Dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka. Jakarta.
344 hlm.
Gholib, D. 2009. Uji Daya Hambat Daun Senggani (Melastoma malabathricum
L.) terhadap Trichophyton mentagrophytees dan Candida albicans. Berita
Biologi Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor. hlm: 5.
Gunawan, D. 1998. Tumbuhan Obat Indonesia. Pusat Penelitian Obat Tradisional
UGM. Yogyakarta. hlm: 90-92.
Ivey, M.L.L., dan S. A. Miller. 2004. Anthracnose Fruit Rot of Pepper. Ohio State
University Extension Fact Sheet Plant Pathology. Columbus. hlm: 127-132.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2008. Mikrobiologi Kedokteran. Salemba
Medika. Jakarta. 862 hlm.
Mentri Pertanian. 2007. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
07/Permentan/SR.140/ 2/2007: tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran
Pestisida. Kementan R.I. Jakarta. 23 hlm.
32
Khrisna, S., dan S. Renu, 2012. Isolation and Identification Of Flavonoids From
Cyperus rotundus Linn (In Vivo and In Vitro). Journal of Drug Delivery &
Therapeutics. 3(2): 109 – 113.
Kristanti, dan A. Novi. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Airlangga University Press.
Surabaya. 174 hlm.
Kusumaningtyas, E., E. Astuti, dan Darmono. 2008. Sensitivitas Metode
Bioautografi Kontak dan Overlay dalam Penentuan Senyawa Antikapang.
Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 6(2): 75-79.
Lawal, O.A., dan O. Adebola. 2009. Chemical Composition of The Essential Oils
of Cyperus rotundus L. from South Africa. Journal Molecules. 14(150):
2909-2917.
Murnah. 1995. Pemeriksaan Kualitatif dan Kuantitatif Minyak Atsiri dan Tannin
dalam Umbi Teki. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 30(3 dan 4): 234- 238.
Musdalifa, A.A. Ambar, dan M.I. Putera. 2017. Pemanfaatan Agensi Hayati
dalam Mengendalikan Pertumbuhan Perakaran dan Penyakit Layu Fusarium
Cabai Besar (Capsicum annum L.). Jurnal Galung Tropika. 6(3): 224-223.
Nur, Y. M. 2017. Efektifitas Ekstrak Daun Krinyu (Chromolaena odorata) dan
Teki (Cyperus rotundus l.) Terhadap Pertumbuhan Colletotrichum musae
Patogen Antraknosa Pada Pisang (Musa paradisiaca l.). Skripsi Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 44hal.
Prajnanta, F. 2003. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. 162 hlm.
Prasad, R. D., dan R. Rangeshwaran. 2000. Shelf Life and Bioefficacy of
Trichoderma harzianum Formulated in Various Carrier Materials. Journal
Plant Disease Research. 15(1): 38-42.
Pring, F.J., C. Nash, M. Zakaria, J.A. Bailey. 1995. Infection Process and Host
Range of Colletotrichum capsici. Journal Physiological and Molecular
Plant Pathology 1995. 46(2): 137-152.
Pudjiastuti, B., Dzulkarnain, dan Y. Astuti. 1996. Uji analgetik infuse daun
sembung (Blumea balsamifera DC.) pada Mencit Putih. Jurnal Biofarmasi
1(2): 50-57.
Purwantisari, S., R.S. Ferniah dan B. Raharjo. 2008. Pengendalian Hayati
Penyakit Lodoh (Busuk Umbi Kentang) dengan Agens Hayati Jamur-jamur
Antagonis Isolat Lokal. Jurnal Bioma. 10(2): 13-19.
Ratna, Y. 2004. Kajian Kualitas Spora Beauveria bassiana pada Berbagai Jenis
Media dan Lama Penyimpanan. Jurnal Agronomi. 8(1): 59-62.
33
Rompas, J.Ph. 2001. Efek Isolasi Bertingkat Colletotrichum capsici Terhadap
Penyakit Antraknosa pada Cabai. Prosiding Kongres Nasional XVI dan
Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Bogor. 22-24 Agustus
2001. Hlm: 163-165.
Rusli, I., Mardinus, dan Zulpadli. 1997. Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai di
Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah.
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang. 27-29 Oktober 1997. Hlm
187-190.
Semangun, H. 2004. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia.
Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. 449 hlm.
Semangun, H. 1991. Penyakit – Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. 449 hlm.
Setiadi. 2000. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 183 hlm.
Setiawati, Y. 2005. Analisis Varietas dan Polybag Terhadap Pertumbuhan Serta
Hasil Cabai (Capsicum annuum L.) Sistem Hidroponik. Buletin Penelitian
No. 8. Tersedia : http://research. Mercubuana.ac.id [1 April 2016].
Sibarani, M. F. 2008. Uji Efektifitas Fungisida Nabati untuk Mengendalikan
Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici) pada Tanaman Cabai di
Lapangan. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
hlm: 22-25.
Singh, R. S. 1998. Plant Diseases 7th edition. Oxford Ibh Publishing Co. New
Delhi, India. 166 hlm.
Sugati, S. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Depkes RI, BPPK. Jakarta.
616 hlm.
Sumarsih, S. 2003. Diktat Kuliah Mikrobiologi Dasar. Fakultas Pertanian UPN
Veteran. Jakarta. 110 hlm.
Surtikanti dan Juniarsih. 2010. Pembuatan Formula Pestisida Hayati Beauveria
bassiana Vuill. dan Kemasannya. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan
Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 27 Mei 2010. Hlm: 257-260.
Tan, K. H. 1995. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Terjemahan D. H Goenadi dan B.
Radjagukguk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 295 hlm.
Wiyatiningsih, S., dan Y. Wuryandari. 1998. Pengaruh Ekstrak Rimpang Kencur
(Kaempferia galanga L.) terhadap Jamur Colletotrichum capsici Penyebab
Penyakit Antraknosa pada Buah Cabai. Jurnal MIP. UPN VETERAN. 7(17):
67-71.
34
Yulianty. 2006. Pengaruh pH Terhadap Pertumbuhan Jamur Colletotrichum
capsici Penyebab Penyakit Antraknosa pada Cabai (Capsicum annum L.)
Asal lampung, LAPTUNILAPP, diakses dari
http://digilib.unila.ac.id/go.php?id=laptunilapp-gdl-res-2006-yulianti ms-
328&node=19&start=33, tanggal 28 Januari 2016.