7 TINJAUAN TEORI Theory of Reasoned Action (TRA) Berbagai maksud dan tujuan yang sering kali dapat memperkirakan perilaku secara akurat, tidak menyediakan keterangan yang banyak tentang berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Fishbein dan Ajzen (1980. 116) menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut dipengaruhi oleh dua faktor penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang kedua berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa tindakan yang beralasan dirancang untuk menyelesaikan tujuan dengan tepat; yakni, teori yang berkaitan dengan sebab yang mendahului perilaku semaunya sendiri. Dalam upaya mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, secara tidak langsung, tindakan yang beralasan berdasarkan kepada anggapan bahwa manusia biasanya berperilaku dengan cara yang pantas; yakni mereka mengambil berbagai keterangan secara langsung maupun tidak mempertimbangkan berbagai akibat dari perilakunya. Sesuai dengan Theory of Reasoned Action, dan berbagai maksud dari sebuah tindakan adalah fungsi dari dua faktor dasar penentunya, yakni orang dalam sifat alaminya dan pancaran pengaruh sosial kepada orang tersebut menganggap bahwa, pentingnya sikap atas perilaku dan norma subyektif secara relatif, sebagian bergantung kepada maksud di balik penelitian yang dilakukan. Untuk beberapa maksud, berbagai pertimbangan atas sikap, lebih penting daripada pertimbangan normatif, sedangkan bagi sebagian lainnya pertimbangan normatif lebih penting. Sebagai tambahan, bobot relatif dari faktor pertimbangan atas sikap dapat bervariasi dari
13
Embed
Pengaruh Tekanan Etis, Kompetensi, Komitmen …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/7110/2/T2... · Auditor sebagai profesi yang dituntut memberikan opini audit dengan ... tinggi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
TINJAUAN TEORI
Theory of Reasoned Action (TRA)
Berbagai maksud dan tujuan yang sering kali dapat memperkirakan
perilaku secara akurat, tidak menyediakan keterangan yang banyak tentang
berbagai alasan yang melatarbelakanginya. Fishbein dan Ajzen (1980. 116)
menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu perilaku
menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku tersebut
dipengaruhi oleh dua faktor penentu dasar, yang pertama berhubungan
dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang kedua berhubungan
dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms). Lebih
lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa tindakan yang beralasan dirancang
untuk menyelesaikan tujuan dengan tepat; yakni, teori yang berkaitan dengan
sebab yang mendahului perilaku semaunya sendiri. Dalam upaya
mengungkapkan pengaruh sikap dan norma subjektif terhadap niat untuk
dilakukan atau tidak dilakukannya perilaku, secara tidak langsung, tindakan
yang beralasan berdasarkan kepada anggapan bahwa manusia biasanya
berperilaku dengan cara yang pantas; yakni mereka mengambil berbagai
keterangan secara langsung maupun tidak mempertimbangkan berbagai
akibat dari perilakunya.
Sesuai dengan Theory of Reasoned Action, dan berbagai maksud
dari sebuah tindakan adalah fungsi dari dua faktor dasar penentunya, yakni
orang dalam sifat alaminya dan pancaran pengaruh sosial kepada orang
tersebut menganggap bahwa, pentingnya sikap atas perilaku dan norma
subyektif secara relatif, sebagian bergantung kepada maksud di balik
penelitian yang dilakukan. Untuk beberapa maksud, berbagai pertimbangan
atas sikap, lebih penting daripada pertimbangan normatif, sedangkan bagi
sebagian lainnya pertimbangan normatif lebih penting. Sebagai tambahan,
bobot relatif dari faktor pertimbangan atas sikap dapat bervariasi dari
8
seseorang kepada orang lain. figure theory of reasoned action (Icek and
Ajzen, 1980. 117), yang mewakili teori tentang tindakan yang beralasan
sebagaimana yang dijabarkan di dalam bagian ini.
Berbagai maksud dari sebuah tindakan yang menyediakan
dukungan kuat bagi kaitan hipotesis di antara maksud sebagai variabel bebas
dengan sikap atas kebiasaan dan norma subyektif sebagai variabel tidak
bebas. Sebagian besar kajian tersebut, memiliki tata cara regresi linier ganda
untuk memperkirakan, dalam kerangka korelasi ganda, kekuatan perkiraan
secara terus menerus dari norma sikap dan subyektif, juga sumbangan relatif
dua unsur peramal di dalam lingkup koefisien regresi yang dibakukan. Oleh
karena itu pemilihan landasan teori ini dapat menjelaskan tekanan etis,
kompetensi, komitmen profesional, dan situasi konflik audit terhadap
skeptisisme profesional auditor.
Skeptisme Profesional Auditor
International Federation of Accountants (IFAC) mendefinisikan
profesional skeptisme dalam konteks evidence assessment atau penilaian atas
bukti audit (Tuanakota 2011, 78). IFAC mendefinisikan “skepticism means
the auditor makes a critical assessment, with a questioning mind, of the
validity of audit evidence obtained and is alert to audit evidence that
Attitude towart the
behavior
Subjective norm
Intention Behavior
Gambar -1. Theory Of Reasoned Action (Icek and Ajzen, 1980)
9
contradicts or brings into question the realibility of documents and
responses to inquiries and other information obtained from management and
those charged with governance” (ISA 200.16).
Di dalam SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik, 2011:230.06),
menyatakan skeptisme profesional auditor sebagai suatu sikap yang
mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi
secara kritis terhadap bukti audit. Shaub dan Lawrence (1996) dalam
Maghfirah et al. (2008) mengartikan skeptisisme profesional auditor sebagai
berikut “professional scepticism is a choice to fulfill the professional
auditor’s duty to prevent or reduce orharmful consequences of another
person’s behavior…”.
Kee dan Knox’s (1970) dalam Maghfirah et. al (2008) menyatakan
bahwa Skeptisme profesional auditor dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain, faktor kecondongan etika memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap skeptisme profesional auditor. The American Heritage Directory
menyatakan etika sebagai suatu aturan atau standar yang menentukan
tingkah laku para anggota dari suatu profesi. Pengembangan kesadaran etis
atau moral memainkan peranan kunci dalam semua area profesi akuntan
(Louwers, 1997), termasuk dalam melatih sikap skeptisme profesional
akuntan. Faktor situasi berperngaruh secara positif terhadap skeptisme
profesional auditor. Faktor situasi seperti situasi audit yang memiliki risiko
tinggi (situasi irregularities) mempengaruhi auditor untuk meningkatkan
sikap skeptisme profesionalnya. Pengalaman yang dimaksudkan disini
auditor dalam melakukan pemeriksaan laporan keuangan baik dari segi
lamanya waktu, maupun banyaknya penugasan yang pernah dilakukan. Butt
(1988) memperlihatkan auditor yang berpengalaman akan membuat
10
judgement yang relatif lebih baik dalam tugas-tugas profesionalnya, daripada
auditor yang kurang berpengalaman.
Berkaitan dengan skeptisme ini, penelitian yang dilakukan Kee dan
Knox’s (1970) yang menggambarkan skeptisme profesional auditor sebagai
fungsi dari disposisi etis, pengalaman dan faktor situasional. Shaub dan
Lawrence (1996) mengindikasikan bahwa auditor yang menguasai etika
situasi yang kurang lebih terkait dengan etika profesional dan kurang lebih
dapat melaksanakan skeptisme profesionalnya. Faktor situasional merupakan
faktor yang penting dalam melaksanakan skeptisme profesional auditor.
Tekanan Etis
Tekanan Etis merupakan “pressure to engage in unetical work
activity” (Peterson, 2003) dalam Utami et al. (2006). Perilaku pegawai
dipengaruhi faktor situasi dalam organisasi dan interaksi antara dua faktor
tersebut (Trevino, 1986). Beberapa faktor individual termasuk gender, usia,
pendidikan, personaliti, dan orientasi etis seseorang, sedangkan faktor
situasional termasuk iklim organisasi, kesempatan untuk melakukan tindakan
tidak etis, dan pengaruh dari atasannya (Peterson, 2003). Tekanan dari
manajemen atas perilaku etis merupakan sumber banyak konflik (Shafer,
2002) dalam Utami et al. (2006). Leicht dan Fennel (1997) dalam Utami et
al. (2006), menyatakan konflik etis selalu meliputi situasi di mana pegawai
merasa tertekan oleh atasan supervisor dan anggota lain dalam organisasi
untuk mengkompromikan nilai mereka dalam mencapai tujuan organisasi.
Kompetensi
Kompetensi dan independensi sangat menentukan kualitas audit
yang dihasilkan seperti yang dikemukakan oleh AAA Financial Accounting
Standard Committee (2000) yaitu;
11
“Good quality audits require both competence (expertise) and independence.
These qualities have direct effects on actual audit quality, as well as
potential interactive effects. In addition, financial statement users’
perception of audit quality are a function of their perceptions of both auditor
indepndence and expertise“
Kompetensi auditor diukur melalui banyaknya ijasah atau sertifikat
yang dimiliki serta jumlah atau banyaknya keikutsertaan yang bersangkutan
dalam pelatihan-pelatihan, seminar atau simposium. Semakain banyak
sertifikat yang dimiliki dan semakin sering mengikuti pelatihan diharapkan
auditor yang bersangkutan akan semakin cakap dalam melakukan tugasnya.
Untuk memenuhi persyaratan sebagai seorang profesional, auditor
harus menjalani pelatihan teknis yang cukup. Pelatihan ini harus secara
memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Dalam
penelitian juga disimpulkan bahwa program pelatihan mempunyai pengaruh
yang lebih besar dalam peningkatan keahlian auditor. Penelitian secara
empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemampuan auditor untuk
mengetahui kekeliruan yang ada di perusahaan yang menjadi kliennya.
Penelitian ini juga memberikan bukti bahwa pelatihan yang dilakukan oleh
auditor akan meningkatkan keahlian mereka untuk melakukan audit.
Keahlian audit dan kemampuan untuk mengetahui kekeliruan merupakan
salah satu bagian dari kompetensi seorang auditor.
Webster’s Ninth New Collegiate Dictionary (1983) dalam Lastanti
(2005;88) mendefinisikan kompetensi sebagai ketrampilan dari seorang ahli.
Dengan demikian ahli didefinisikan sebagai seseorang yang memiliki
pengetahuan yang tinggi dalam subyek tertentu dan tingkat ketrampilan
prosedural yang luas dari pelatihan dan pengalaman audit. Kompetensi
12
umum yang perlu dimiliki oleh auditor adalah pemahaman mengenai
akuntansi, khususnya akuntansi sektor publik dan pemerintahan termasuk
pemahaman terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan dan pemahaman
auditor mengenai sistem pengendalian intern, Cris (2009). Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kompetensi auditor adalah
pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan auditor untuk dapat
melakukan audit secara objektif, cermat dan seksama.
Komitmen Profesional
Komitmen profesional dapat diartikan sebagai intensitas identifikasi dan
keterlibatan individu dengan profesi tertentu yang membutuhkan beberapa
tingkat kesepakatan dengan tujuan dan nilai profesi termasuk nilai moral dan
etika Modway et al., (1979) dalam Intiyas et al. (2007). Aranya et al. (1981),
mendefinisikan komitmen sebagai suatu keyakinan akan penerimaan tujuan
dan nilai organisasi atau profesi, kemauan untuk memainkan upaya tertentu
atas nama organisasi atau profesi, dan gairah untuk mempertahankan
keanggotaan dalam profesi.
Ponemon (1992) dalam Utami et al. (2007) mengatakan komitmen
profesi bisa dihasilkan dari proses akulturasi dan asimilasi pada saat masuk
dan memilih untuk tetap dalam profesi yang bersangkutan dan juga
menyimpulkan bahwa perilaku etis akuntan publik berhubungan dengan
tingginya komitmen akuntan pada profesi. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa komitmen profesional mendasari perilaku, sikap, dan
orientasi profesional seseorang dalam menjalankan tugasnya. Jeffrey dan
Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen profesi, pemahaman
etika, dan sikap ketaatan pada peraturan. Hasilnya menunjukkan bahwa
akuntan publik dengan komitmen profesional yang kuat, perilakunya lebih
mengarah pada ketaatan terhadap aturan dibanding akuntan publik dengan
13
komitmen profesional yang rendah. Khomsiyah dan Indriantoro (1998) juga
mengungkapkan bahwa komitmen profesional mempengaruhi sensitivitas
etika auditor pemerintah.
Situasi Konflik Audit
Perilaku auditor dalam menghadapi situasi konflik audit, perlu
dipahami beberapa faktor, yaitu: etika, kompetensi, komitmen profesional,
situasi konflik audit dan skeptisme profesional auditor. Dalam penugasan
yang dilakukan atas klien, auditor seringkali dihadapkan pada dilema etis
yang menyebabkan terjadinya situasi konflik audit. Akuntan publik dengan
komitmen profesional yang tinggi akan memiliki kesadaran etis yang tinggi
dalam merespon situasi konflik audit dengan mengabaikan tekanan sosial
yang ada dibanding individu dengan komitmen profesional yang rendah.
Tsui dan Gul (1996) dalam Utami et al. (2007). Menetapkan pengalaman
berdasarkan kurun waktu empat tahun, karena dalam kurun waktu empat
tahun akuntan publik dianggap telah berpengalaman dalam menghadapi
situasi konflik audit.
Pada dasarnya manusia akan keluar dari situasi yang tidak nyaman
menuju situasi yang nyaman. Sikap tersebut akan mempengaruhi bagaimana
seseorang tersebut akan menanggapi dengan tindakan selanjutnya (Festinger,
1957). Auditor sebagai profesi yang dituntut memberikan opini audit dengan
tepat akan menghadapi serangkaian situasi-situasi yang mempengaruhi sikap
dan keputusan yang ditetapkannya. Situasi tersebut termasuk lingkungan di
mana auditor itu bekerja, situasi yang dialami oleh klien seperti klien yang
baru pertama kali diaudit, situasi kemungkinan adanya motivasi manajemen
untuk menarik investor diduga akan mempengaruhi auditor dalam
memberikan opini. Oleh karena itu, serangkaian situasi yang dialami auditor
14
membuat auditor akan berusaha mencapai keselarasan antara sikap dan
perilakunya agar selaras dengan perilaku yang seharusnya dilakukannya.
Kecurangan dapat disembunyikan dengan cara memalsukan
dokumentasi, termasuk pemalsuan tanda tangan. Sebagai contoh, manajemen
yang melakukan kecurangan dalam pelaporan keuangan dapat mencoba
menyembunyikan salah saji dengan menciptakan faktur fiktif, karyawan atau
manajemen yang memperlakukan kas secara tidak semestinya dapat
mencoba menyembunyikan tindakan pencurian mereka dengan mamalsukan
tanda tangan atau menciptakan pengesahan elektronik yang tidak sah diatas
dokumen otorisasi pengeluaran kas. Kecurangan juga disembunyikan melalui
kolusi diantara manajemen, karyawan atau pihak ketiga. Kolusi dapat
menyebabkan auditor percaya bahwa bukti dapat meyakinkan, meskipun