Top Banner
PENGARUH SUHU DAN FREKUENSI PEMANASAN BERULANG TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA MINYAK KELAPA SAWIT KOMERSIAL SKRIPSI Oleh: NI PUTU SERI DIAN PERMANA DEWI NIM. 155100100111007 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2019
124

pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

Feb 22, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

PENGARUH SUHU DAN FREKUENSI PEMANASAN BERULANG

TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA MINYAK KELAPA SAWIT

KOMERSIAL

SKRIPSI

Oleh:

NI PUTU SERI DIAN PERMANA DEWI

NIM. 155100100111007

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

Page 2: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

ii

PENGARUH SUHU DAN FREKUENSI PEMANASAN BERULANG TERHADAP

KUALITAS FISIK DAN KIMIA MINYAK KELAPA SAWIT KOMERSIAL

Oleh:

NI PUTU SERI DIAN PERMANA DEWI

NIM. 155100100111007

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Teknologi Pertanian

LEMBAR PERSETUJUAN

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2019

Page 3: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

iii

Page 4: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

iv

Page 5: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

v

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ni Putu Seri Dian Permana Dewi

NIM : 155100100111007

Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian

Fakultas : Teknologi Pertanian

Judul Skripsi : Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Berulang

Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Minyak Kelapa Sawit

Komersial

Menyatakan bahwa,

Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis tersebut di atas. Apabila di

kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar saya bersedia dituntut sesuai hukum

yang berlaku.

Topik penelitian ini adalah sebagai salah satu bagian dari penelitian Dr. Siti Narsito

Wulan, S.TP., M.P yang berjudul “ Efek Fisiologi Kombinasi Polisakarida Larut Air

(PLA) dan Senyawa Fenolik dalam Alga Coklat Sargassum sp. pada Tikus Wistar

yang Diinduksi Stress Oksidatif dengan Konsumsi Berlebih Minyak Goreng Sawit

Pemanasan Berulang”.

Malang, 15 Juli 2019

Pembuat Pernyataan

Ni Putu Seri Dian Permana Dewi

NIM 155100100111007

Page 6: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan dan dibesarkan di Denpasar, Bali,

pada tanggal 2 Juni 1997 dari ayah yang bernama Ni Made

Mertayasa dan Ibu yang bernama Ni Made Warmini. Penulis

merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis

memiliki satu adik perempuan yang bernama Ni Made Dian

Permana Sari.

Penulis memulai masa studinya sejak Taman Kanak-Kanak di TK Kumara

Sari, Denpasar. Kemudian melanjutkan masa studi sekolah dasar di SD No. 1 Buduk

dimulai tahun 2003 hingga tahun 2008. Setelah lulus dari sekolah dasar, penulis

melanjutkan masa studinya di SMP Negeri 3 Mengwi mulai tahun 2009 hingga tahun

2012. Kemudian, di tahun 2012 penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas

Negeri 2 Mengwi hingga tahun 2015.

Pada tahun 2019, penulis berhasil menyelesaikan pendidikannya di

Universitas Brawijaya Malang, di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian. Selama masa pendidikannya, penulis aktif sebagai aktif dalam

kepanitiaan Unikahida sebagai Seksi Acara Ormaba Unikahida, Kepala Divisi Acara

Ulang Tahun Unikahida pada tahun 2017. Selain itu, penulis juga berpengalaman

sebagai Anggota KMHDI Malang pada tahun 2017-2018.

Page 7: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

vii

Ni Putu Seri Dian Permana Dewi. 155100100111007. Pengaruh Suhu Dan

Frekuensi Pemanasan Berulang Terhadap Kualitas Fisik Dan Kimia Minyak

Kelapa Sawit Komersial. Skripsi. Pembimbing: Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP.,

MSc.

RINGKASAN

Minyak kelapa sawit sering digunakan di kalangan rumah tangga dengan menggunakan suhu tinggi. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas fisik-kimia minyak goreng. Minyak yang mengalami kerusakan akan berbahaya jika dikonsumsi. Tingkat kerusakan minyak goreng dapat diukur dengan penilaian kualitas fisik (berat jenis, viskositas, dan warna) dan kualitas kimia (bilangan asam, bilangan peroksida, dan bilangan TBA). Tujuan dari penelitian ini adalah efek suhu yaitu (180°C dan 200°C) dan frekuensi pemanasan pada kualitas fisiko-kimia minyak goreng sawit.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan 2 faktor yaitu: Suhu (180°C dan 200°C) dan Frekuensi Pemanasan (2, 5, dan 8 kali). Hasil dari penelitian ini adalah terjadi peningkatan angka peroksida (5,06 mek O2/kg menjadi 5,43 mek O2/kg), peningkatan angka TBA (1,86 mg malonaldehid/kg sampel menjadi 2,11 mg malonaldehid/kg sampel), peningkatan berat jenis (0,93 g/ml menjadi 0,95 g/ml), peningkatan viskositas (175,67cP menjadi 179,67 cP dan menurunkan tingkat kecerahan (L), warna kemerahan, dan warna kekuningan. Namun, bilangan asam hanya berpengaruh pada frekuensi pemanasan.

Kata kunci: Bilangan Asam, Bilangan Peroksida, Bobot Jenis, Minyak Kelapa Sawit,

Pemanasan Berulang

Page 8: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

viii

Ni Putu Seri Dian Permana Dewi. 155100100111007. Effect of Temperature and

Heating Frequency on Physical and Chemical Quality of Commercial Palm

Cooking Oil.Thesis. Supervisor: Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP., Msc

SUMMARY

The palm oil often used repeatedly with high temperature in household practices. This will reduce physico-chemical quality of the cooking oil. More importantly it will be harmfull to be consumed. Deterioration of cooking oil can be measured by assessment on physical quality (specific gravity, viscosity and color) and chemical quality (acid value, peroxide value and TBA value). The purpose of this study were the determine the effect of frying temperature ( i.e.180°C and 200°C) and the heating frequency on physico-chemical quality of palm cooking oil.

This study used Factorial Randomized Block Design (RBD) with 2 factors : namely : Temperature (180°C vs 200°C) and Heating Frequency ( 2, 5, and 8 times).

The results showed that the higher the temperature and the more the heating frequency increased peroxide value ( 5,06 to 5,43 mek O2/kg), increased TBA value ( 1,86 to 2,11 mg malonaldehid/kg sample), increased specific gravity ( 0,93 to 0,95 g/ml), increased viscosity ( 175,67 to 179,67 cP) and decreased brightness, redness, and yellowness. Whereas, Acid value was only determined by heating frequency.

Keywords: Acid value, Peroxide value, Specific gravity, Palm oil, Heating Frequency

Page 9: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat dan

anugerah-Nya, penulis dapat menyelesaikan proposal Tugas Akhir yang berjudul

“Pengaruh Suhu Dan Frekuensi Pemanasan Berulang Terhadap Kualitas Fisik Dan

Kimia Minyak Kelapa Sawit Komersial” dengan baik. Penulis ingin menyampaikan

terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan baik

secara moral maupun materiil

2. Ibu Dr. Siti Narsito Wulan, STP., MP selaku Dosen Pembimbing yang

senantiasa membimbing dan memberi arahan

3. Prof. Dr. Teti Estiasih, STP., MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil

Pertanian Universitas Brawijaya

4. Pande Nyoman Aditya atas semangat, dukungan, dan bantuan yang tiada

henti diberikan

5. Sahabat saya Regita Nurcahyani dan Intan Pradinasari atas semangat dan

bantuan yang tiada henti diberikan

6. Teman-temanku tercinta Melisa Soesilo, Atikah Faadhilah, Antonia Maria K.

Dewi, dan Poppy Sahara Kusuma atas semangat dan bantuan yang tiada henti

diberikan

7. Partner seperjuangan dan seperbimbingan Ngesti Eka, Nilla Ditariah, Afida

Nuzula, Kania, Elisa atas bantuan selama penelitian dan semangat yang

diberikan

8. Puri Dewata Squad yang sudah selalu menghibur saya selama pengerjaan

skripsi

9. Seluruh teman yang membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu

Penulis menyadari proposal tugas akhir ini jauh dari sempurna. Semoga tugas

akhir ini bermanfaat dan memberikan informasi bagi pembaca.

Malang, Juli 2019

Penulis

Page 10: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

x

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ................................................................. v

RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. vi

RINGKASAN......................................................................................................... vii

SUMMARY ............................................................................................................ viii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ix

DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. xiii

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv

I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................ 3

1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 3

1.5 Hipotesa .......................................................................................................... 3

II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4

2.1 Kelapa Sawit ................................................................................................... 4

2.2 Minyak Goreng ................................................................................................ 5

2.2.1 Standar Mutu Minyak Untuk Menggoreng ................................................. 6

2.2.2 Sifat Fisik dan Kimia Minyak Goreng ........................................................ 7

2.2.3 Minyak Kelapa Sawit ................................................................................. 8

2.2.4 Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit ..................................................... 14

2.2.5 Senyawa Non Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit.............................. 15

2.2.6 Sistem Penggorengan Bahan Pangan ...................................................... 17

2.2.7 Struktur Bahan Pangan yang Digoreng..................................................... 19

2.2.8 Kerusakan Minyak Goreng ........................................................................ 20

2.2.8.1 Aspek Keamanan Pangan ................................................................... 21

2.2.8.2 Kadar Asam Lemak Bebas .................................................................. 23

Page 11: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

xi

2.3 Minyak Jelantah .............................................................................................. 26

2.3.1 Akibat Penggunaan Minyak Jelantah ........................................................ 28

2.4 Identifikasi Minyak Jelantah ............................................................................ 29

2.4.1 Bilangan Peroksida .................................................................................... 29

2.4.2 Asam Lemak Bebas (ALB) ........................................................................ 34

2.4.3 Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) ........................................................... 35

2.5 Identifikasi Kualitas Fisik Minyak Goreng Pemanasan Berulang................... 35

2.5.1 Bobot Jenis ................................................................................................ 35

2.5.2 Viskositas ................................................................................................... 36

2.5.3 Warna ......................................................................................................... 36

III METODE PENELITIAN .................................................................................... 37

3.1 Tempat dan Waktu .......................................................................................... 37

3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 37

3.2.1 Alat Penelitian ............................................................................................ 37

3.2.2 Bahan Penelitian ........................................................................................ 37

3.3 Metode Penelitian ........................................................................................... 38

3.4 Pelaksanaan Penelitian .................................................................................. 39

3.4.1 Pemanasan Minyak Pemberian Frekuensi Pemanasan ........................... 39

3.4.2. Pengamatan .............................................................................................. 40

3.5 Diagam Alir Penelitian..................................................................................... 41

3.7 Analisa Data .................................................................................................... 42

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 43

4.1 Parameter Kualitas Awal Minyak Kelapa Sawit ............................................. 43

4.2 Parameter Kualitas Kimia Minyak Kelapa Sawit Akibat Pemanasan ............ 45

4.2.1 Bilangan Asam ........................................................................................... 45

4.2.2 Bilangan Peroksida .................................................................................... 48

4.2.3 Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) ........................................................... 50

4.3 Parameter Kualitas Fisik Minyak Kelapa Sawit Akibat Pemanasan .............. 53

4.3.1 Bobot Jenis ................................................................................................ 54

4.3.2 Viskositas ................................................................................................... 56

4.3.3 Warna ......................................................................................................... 59

4.4 Rekomendasi Pemanasan Minyak Goreng Kelapa Sawit ............................. 66

Page 12: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

xii

V PENUTUP .......................................................................................................... 69

5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 69

5.2 Saran ............................................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 70

Lampiran .............................................................................................................. 82

Page 13: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kelapa Sawit ..................................................................................... 4

Gambar 2.2 Reaksi Hidrolisis Trigliserida ............................................................ 5

Gambar 2.3 Reaksi Hidrolisis Trigliserida ............................................................ 14

Gambar 2.4 Ikatan Kimia Pada Asam Lemak ...................................................... 14

Gambar 2.5 Struktur Bahan Pangan .................................................................... 20

Gambar 2.6 Analisis Malonaldehid ....................................................................... 25

Gambar 2.7 Asam Lemak Penyusun Minyak Jelantah ........................................ 27

Gambar 2.8 Skema Terbentuknya Akrolein ......................................................... 28

Gambar 2.9 Mekanisme Pembentukan Peroksida ............................................... 30

Gambar 2.10 Penentuan Bilangan Peroksida ...................................................... 33

Gambar 4.1 Gafik Bilangan Asam Minyak Kelapa Sawit ..................................... 46

Gambar 4.2 Gafik Bilangan Peroksida Minyak Kelapa Sawit .............................. 48

Gambar 4.3 Gafik Bilangan TBA Minyak Kelapa Sawit ....................................... 51

Gambar 4.4 Gafik Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit........................................... 54

Gambar 4.5 Gafik Viskositas Minyak Kelapa Sawit ............................................. 57

Gambar 4.6 Gafik Tingkat Kecerahan (L) Minyak Kelapa Sawit ......................... 60

Gambar 4.7 Gafik Warna Kemerahan (a) Minyak Kelapa Sawit ......................... 62

Gambar4.8 Gafik Warna Kekuningan (b) Minyak Kelapa Sawit .......................... 64

Page 14: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Syarat Mutu Minyak Untuk Penggorengan .......................................... 7

Tabel 2.2 Nilai Sifat Fisik –Kimia dan Minyak Inti Sawit ...................................... 12

Tabel 2.3 Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit ................................................ 13

Tabel 2.4 Syarat Mutu Minyak Minyak Kelapa Sawit ........................................... 13

Tabel 2.5 Komposisi Trigliserida dalam Minyak Kelapa Sawit............................. 15

Tabel 2.6 Kandungan Komponen Minor Minyak Kelapa Sawit ............................ 16

Tabel 2.7 Pengaruh Suhu dan Pemanasan Berulang.......................................... 22

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan Antara Suhu dan Waktu Pemanasan ............... 38

Tabel 4.1 Rerata Parameter Kualitas Awal Minyak Sawit .................................... 43

Tabel 4.2 Angka Bilangan Asam Akibat Pemanasan Berulang ........................... 47

Tabel 4.3 Angka Bilangan Peroksida Akibat Pemanasan Berulang .................... 49

Tabel 4.4 Angka Bilangan TBA Akibat Pemanasan Berulang ............................ 52

Tabel 4.5 Angka Bobot Jenis Akibat Pemanasan Berulang ................................ 55

Tabel 4.6 Angka Viskositas Akibat Pemanasan Berulang ................................... 58

Tabel 4.7 Angka Kecerahan (L) Akibat Pemanasan Berulang ............................ 61

Tabel 4.8 Angka Kemerahan (a) Akibat Pemanasan Berulang ........................... 63

Tabel 4.9 Angka Kekuningan (b) Akibat Pemanasan Berulang ........................... 65

Page 15: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur Analisa ............................................................................... 81

Lampiran 2 Data Analisis Kimia ............................................................................ 83

Lampiran 3 Data Analisis Fisik ............................................................................. 90

Lampiran 4 Hasil Analisis ANOVA ........................................................................ 95

Lampiran 5 Uji Lanjut ............................................................................................ 99

Lampiran 6 Dokumentasi ...................................................................................... 107

Page 16: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

xvi

Page 17: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di negara berkembang, minyak goreng adalah salah satu kebutuhan pokok

masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari terutama sebagai sumber lemak

(fat). Hasil survei yang dilakukan oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia

(GIMNI) tahun 2017 menunjukkan bahwa produsen sekaligus konsumen minyak

goreng mencapai 8,144 juta ton. Minyak goreng dapat diproduksi dari berbagai bahan

mentah misalnya kelapa, kelapa sawit, kopra, kedelai, biji jagung, biji bunga matahari,

zaitun, dan lain-lain. Jenis minyak goreng yang paling banyak digunakan adalah

minyak sawit (>70%) (Winarno, 2012). Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian pada tahun 2017 konsumsi minyak sawit diprediksi mencapai 11,58, tahun

2018 diprediksi mencapai 12,17 liter/kapita/tahun dan pada tahun 2019 diprediksi

mencapai 12,79 liter/kapita/tahun (Susenas, 2017). Hal ini berarti konsumsi minyak

sawit mengalami peningkatan setiap tahun.

Peningkatan ini didukung oleh banyaknya ibu rumah tangga yang memiliki

kecenderungan untuk menggunakan minyak goreng. Akan tetapi, dikalangan ibu

rumah tangga kurang memperhatikan penggunaan minyak goreng seperti

memanaskan minyak goreng berulang kali. Minyak goreng yang digunakan lebih dari

dua kali akan mengalami oksidasi. Proses oksidasi tersebut akan membentuk gugus

peroksida, monomer siklik, asam lemak trans, dan asam lemak bebas (Amalia, 2010).

Berdasarkan syarat mutu bilangan peroksida pada minyak goreng menurut Standar

Nasional Indonesia (SNI) 01-3741-2013 maksimal sebesar 1 mg O2/ gam minyak (10

meq/1 kg minyak). Jika bilangan peroksida melebihi ketentuan SNI 01-3741-2013

maka dikatakan minyak goreng tersebut rusak dan tidak baik dikonsumsi.

Selain ketentuan SNI 01-3741-2013 untuk mengetahui kerusakan lemak pada

minyak goreng dapat dikerjakan dengan memeriksa kandungan peroksidanya atau

jumlah malonaldehid yang biasanya dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbutiric

acid) (Ketaren, 2008). Untuk mengatasi penurunan bilangan peroksida pada minyak

dapat dilakukan dengan menambahkan senyawa antioksidan dan memperhatikan

proses pemanasan sebab minyak goreng yang sudah digunakan berulang kali

Page 18: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

2

menyebabkan nilai gizinya (vitamin dan asam lemak essensial) sangat rendah akibat

oksidasi minyak pada suhu tinggi, sehingga tidak baik dikonsumsi (Rustika, 2012).

Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sartika (2009), yang

menghubungkan pengaruh suhu dan lama proses menggoreng (deep frying) terhadap

pembentukan asam lemak trans dengan cara memanaskan minyak goreng sawit

dengan frekuensi sebanyak 1, 2, 3, dan 4 kali dengan suhu 200°C. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa proses menggoreng dengan menggunakan suhu tinggi dan

waktu yang lama (deep frying) adanya hubungan terbalik antara kadar asam lemak

elaidat (trans) dan asam oleat (cis). Pembentukan asam lemak trans terjadi setelah

proses penggorengan minyak pada pengulangan kedua. Menurut Aminah (2010),

yang terkait bilangan peroksida minyak goreng curah kelapa sawit dan sifat

organoleptik tempe pada pengulangan penggorengan yang menggunakan suhu 160-

180°C dengan frekuensi pemanasan sebanyak 1, 5, 10, 15, hingga 20 kali

menunjukkan bahwa pengulangan penggorengan dilakukan maksimum 5 kali, karena

pengulangan penggorengan berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida dan

mempengaruhi kualitas dan karakteristik dari tempe yang dilakukan penggorengan

dengan menggunakan minyak goreng curah.

Berdasarkan permasalahan pada penelitian tersebut peneliti melakukan uji

untuk mengetahui pengaruh antara suhu pemanasan dan frekuensi pemanasan

terhadap sifat fisik dan kimia minyak kelapa sawit komersial. Penelitian ini

menggunakan frekuensi dengan kelipatan tiga yang dimulai dari 2, yaitu pemanasan

dengan frekuensi 2, 5, 8 kali dan penggunaan suhu 180°C dan 200°C yang ditentukan

berdasarkan hasil dari penelitian Sartika (2009), yang menunjukkan pemanasan lebih

dari 2 kali dan adanya penggunaan suhu yang memiliki pengaruh signifikan, sehingga

penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah sifat fisik dan kimia dari minyak

kelapa sawit memiliki pengaruh yang berbeda dari penelitian sebelumnya.

Page 19: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

3

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka diperoleh beberapa rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh suhu 180°C dan 200C terhadap kualitas fisik dan

kimia minyak goreng sawit?

2. Bagaimana pengaruh frekuensi pemanasan terhadap kualitas fisik dan

kimia minyak goreng sawit?

3. Bagimana pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan terhadap kualitas fisik

dan kimia minyak goreng sawit?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh suhu 180°C dan 200C terhadap kualitas fisik dan

kimia minyak goreng sawit.

2. Mengetahui pengaruh frekuensi pemanasan terhadap kualitas fisik dan

kimia minyak goreng sawit.

3. Mengetahui pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan terhadap kualitas

fisik dan kimia minyak goreng sawit

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat dan

pembaca mengenai pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan terhadap

kualitas minyak goreng sawit dan dampak negatif bagi kesehatan.

1.5. Hipotesa

Adapun hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Ha : Diduga suhu dan frekuensi pemanasan dapat menurunkan kualitas

fisik dan kimia minyak goreng sawit.

Ho : Diduga suhu dan frekuensi pemanasan tidak dapat menurunkan

kualitas fisik dan kimia minyak goreng sawit.

Page 20: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) berasal dari Nigeria, Afrika

Barat. Pada kenyataannya, tanaman kelapa sawit hidup subur di luar daerah asalnya,

seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini. Tanaman kelapa sawit

memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu

menciptakan kesempatan kerja dan mengarah kepada kesejahteraan masyarakat,

kelapa sawit merupakan sumber devisa negara dan Indonesia merupakan salah satu

produsen utama minyak kelapa sawit (Fauzi et al., 2008). Menurut Pahan (2008)

klasifikasi buah kelapa sawit adalah sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Palmales

Famili : Palmae

Sub Famili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis gueneensis Jacq

Gambar 2.1 Kelapa sawit Sumber : Pahan (2008)

Page 21: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

5

Kelapa sawit dapat dimanfaatkan di berbagai industri karena memiliki susunan

dan kandungan gizi yang cukup lengkap. Salah satu bagian kelapa sawit yang dapat

digunakan pada industri pangan dan memiliki ekonomis yang tinggi adalah pada

bagian buah kelapa sawit. Pada buah kelapa sawit mengandung kandungan minyak

yang tinggi sehingga dapat diolah menjadi minyak kelapa sawit (Pahan, 2008).

2.2. Minyak Goreng

Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan

yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya digunakan untuk

menggoreng bahan makanan. Minyak merupakan golongan lipida sederhana yang

berwujud cair pada suhu kamar (250C). Minyak adalah trigliserida (TG), yaitu hasil

kondensasi satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang membentuk

satu molekul TG dan tiga molekul air. TG alam mengandung lebih dari satu jenis asam

lemak (Angelina, 2012). Reaksi Hidrolisis Trigliserida dapat digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 2.2 Reaksi Hidrolisis Trigliserida

Sumber : Lai et al (2012)

Minyak dan lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingan

dengan karbohidrat dan protein. Minyak mengandung asam-asam lemak esensial

seperti asam linoleat, linolenat, dan arakidonat yang dapat mencegah penyempitan

pembuluh plasma akibat penumpukan kolesterol. Minyak atau lemak juga berfungsi

sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin A, D, E, dan K (Ketaren, 2008).

Minyak bisa didapatkan dari tanaman ataupun bersumber dari hewan. Jenis

minyak yang umumnya dipakai untuk menggoreng adalah minyak nabati seperti

Page 22: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

6

minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen, dan sebagainya. Minyak kelapa

sawit adalah salah satu bahan utama yang digunakan masyarakat Indonesia sebagai

minyak goreng baik skala rumah tangga maupun industri. Pada penelitian minyak

kelapa sawit dikarenakan mengandung vitamin E, tokoferol, dan tokotrienol yang

berperan sebagai antioksidan, yaitu suatu zat yang dapat mencegah terjadinya

oksidasi. Disamping itu minyak kelapa sawit lebih mudah dijumpai dipasaran dan lebih

ekonomis (Budijanto, 2010).

Minyak goreng yang berada di pasaran harus memenuhi standar nasional

Indonesia (SNI), yang dapat dikategorikan dari segi fisik dan kimia minyak goreng.

Jenis minyak goreng yang sering dijumpai adalah minyak goreng kelapa sawit.

Komponen serta reaksi yang menyertai dijelaskan oleh sub bab dibawah ini:

2.2.1. Standar Mutu Minyak untuk Penggorengan

Secara umum komponen utama minyak yang sangat menentukan mutu

minyak adalah asam lemaknya karena asam lemak menentukan sifat kimia dan

stabilitas minyak. Mutu minyak jelantah ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu

pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang menimbulkan rasa gatal pada

tenggorokan. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol. Titik asap suatu minyak

tergantung pada kadar gliserol bebasnya. Setiap minyak goreng tidak boleh berbau

dan sebaiknya beraroma netral. Suhu penggorengan yang dianjurkan biasanya

berkisar antara 177°C sampai 201°C (Budijanto, 2010). Menurut Winarno yang dikutip

dari Jonarson (2004) makin tinggi kadar gliserol makin rendah titik asapnya, artinya

minyak tersebut makin cepat berasap. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu

minyak tersebut. Adapun syarat mutu minyak yang baik untuk

penggorengan/memasak dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Page 23: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

7

Tabel 2.1. Syarat Mutu Minyak untuk Penggorengan

Kriteria Uji Satuan Syarat

Keadaan bau, warna, dan

rasa

- Normal

Kadar Air dan Bahan

Menguap

%b/b Maks 0.15

Asam Lemak Bebas

(dihitung sebagai asam

laurat)

%b/b Maks 2

Bahan Makanan

Tambahan

Sesuai SNI.022-M dan Permenkes N0.

722/Menkes/Per/IX/88

Cemaran Logam:

- Kadmium (Cd)

- Merkuri (Hg)

- Timbal (Pb)

- Timah (Sn)

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maks 0.2

Maks 0.05

Maks 0.1

Maks (40.0/250.0)*

Arsen (As) %b/b Maks 0.1

Angka Peroksida %mg 0.2/g Maks 1

Sumber : Departemen Perindustrian SNI-01-3741-2013 *) Dalam Kemasan Kaleng

2.2.2. Sifat Fisik dan Kimia Minyak Goreng

Parameter kualitas minyak meliputi sifat fisik dan sifat kimia. Sifat fisik minyak

meliputi warna, bau, kelarutan, titik cair, dan polymorphism, titik didih, titik pelunakan,

slipping point, shot melting point, bobot jenis, viskositas, indeks bias, titik kekeruhan

(turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api. Standar mutu merupakan hal yang

penting untuk menentukan minyak yang bermutu baik. Sifat fisik meliputi odor dan

flavor, terdapat secara alami dalam minyak dan juga terjadi karena pembentukan

asam-asam yang berantai sangat pendek. Pada kelarutannya, minyak tidak larut

dalam air kecuali minyak jarak (castor oil), dan minyak sedikit larut dalam alkohol, etil

eter, karbon disulfida, dan pelarut-pelarut halogen (Sutiah, dkk.,2008). Selain warna,

sifat fisik minyak dapat dilihat dari titik cair dan polymorphism, minyak tidak mencair

dengan tepat pada suatu nilai temperatur tertentu. Polymorphism adalah keadaan

dimana terdapat lebih dari satu bentuk kristal. Titik didih (boiling point), titik didih akan

semakin meningkat dengan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak

tersebut. Titik lunak (softening point), dimaksudkan untuk identifikasi minyak tersebut.

Sliping point, digunakan untuk pengenalan minyak serta pengaruh kehadiran

Page 24: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

8

komponen-komponennya. Shot melting point, yaitu temperatur pada saat terjadi

tetesan pertama dari minyak atau lemak. Bobot jenis, biasanya ditentukan pada

temperatur 25°C, dan juga perlu dilakukan pengukuran pada temperatur 40°C. Titik

asap, titik nyala dan titik api, dapat dilakukan apabila minyak dipanaskan. Merupakan

kriteria mutu yang penting dalam hubungannya dengan minyak yang akan digunakan

untuk menggoreng. Titik kekeruhan (turbidity point), ditetapkan dengan cara

mendinginkan campuran minyak dengan pelarut lemak.

Sifat-sifat kimia minyak terdiri dari atas reaksi hidrolisis, reaksi oksidasi, reaksi

hidrogenasi, reaksi esterfikasi, dan reaksi transesterifikasi. Berikut merupakan sifat-

sifat kimia minyak:

1. Hidrolisa, dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas

dan gliserol. Reaksi hidrolisa yang dapat menyebabkan kerusakan minyak atau

lemak terjadi karena terdapatnya sejumlah air dalam minyak tersebut.

2. Oksidasi, proses oksidasi berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen

dengan minyak. Terjadinya reaksi oksidasi akan mengakibatkan bau tengik pada

minyak dan lemak.

3. Hidrogenasi, proses hidrogenasi bertujuan untuk menumbuhkan ikatan rangkap

dari rantai karbon asam lemak pada minyak

4. Esterifikasi, proses esterifikasi bertujuan untuk mengubah asam-asam lemak dari

trigliserida dalam bentuk ester. Dengan menggunakan prinsip reaksi ini

hidrokarbon rantai pendek dalam asam lemak yang menyebabkan bau tidak

enak, dapat ditukar dengan rantai panjang yang bersifat tidak menguap.

2.2.3. Minyak Kelapa Sawit

Minyak kelapa sawit merupakan minyak yang diesktrak dari mesocarp matang

berwarna orange kemerahan dari buah pohon kelapa sawit (elaeis guineensis) dan

biasanya mengandung minyak sebanyak 45 hingga 55% (Tan and Nehdi, 2012). Buah

kelapa sawit yang diekstrak menghasilkan dua jenis minyak yakni crude palm oil

(CPO) dari bagian mesocarp dan palm kernel oil (PKO) dari biji (Gourichon, 2013).

Secara komersial, fraksinasi CPO dilakukan pada skala besar menghasilkan dua jenis

fraksi yakni fraksi cair dengan titik leleh rendah yakni palm olein (65-75%) dan fraksi

padatan dengan titik leleh tinggi yakni palm stearin (30-35%) (Mba et al., 2015). Palm

olein digunakan sebagai minyak untuk menggoreng dan memasak (Barriuso et al.,

Page 25: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

9

2013) sementara palm stearin digunakan pada aplikasi makanan yang membutuhkan

kandungan lemak padat yang lebih tinggi seperti shortening dan margarin (Kellens et

al., 2007). Sementara itu, biji buah kelapa sawit untuk pembuatan PKO merupakan

hasil sampingan dari proses pengolahan minyak kelapa sawit dan represents kira-kira

2-4% dari berat tandan buah kelapa sawit yang dipanen (Gascon et al., 1989).

Proses pengolahan CPO (crude palm oil) kelapa sawit menjadi minyak goreng

dilakukan proses refining (pemurnian), dan fractionation (fraksionasi). Proses

pemurnian terdiri dari proses degumming, proses netralisasi, proses bleaching, dan

proses deodorisasi. Minyak yang diperoleh dari proses refining terdiri dari olein

(minyak goreng) dan stearin, dalam proses fraksionasi stearin dipisahkan dari olein

(Gascoen et al., 1989). Alur proses pengolah minyak dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Proses Degumming

Pada proses degumming yang dilakukan pada minyak kelapa sawit CPO (crude

palm oil) bertujuan untuk menghilangkan zat-zat yang terlarut atau zat-zat yang

bersifat fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin serta partikel halus

tersuspensi dalam CPO (crude palm oil). Proses degumming yang paling banyak

digunakan selama ini adalah proses degumming dengan menggunakan asam fosfat.

Pengaruh yang ditimbulkan oleh asam fosfat tersebut adalah menggumpalkan dan

mengendapkan zat-zat seperti protein, fosfatida, gum, dan resin yang terdapat dalam

minyak mentah.

Proses minyak kelapa sawit mentah CPO yang pertama masuk dipanaskan

pada suhu sekitar 90°C-110°C sebelum ditambahkan asam fosfat. Pada dosis asam

fosfat biasanya digunakan kisaran 0,05-0,1% minyak berat dengan konsentrasi asam

sekitar 80-85% dari kapasitas pengolahan. Hal ini dimaksudkan untuk menguraikan

fosfatida non-hydratable serta mengentalkan fosfatida sehingga mempermudah pada

proses degumming dan pemutihan. Minyak yang diperoleh akan dilakukan

karakterisasi yang meliputi bilangan asam, kadar fosfor, dan beta karoten.

2. Proses Netralisasi

Proses netralisasi atau deasidifikasi pada pemurnian minyak mentah bertujuan

untuk menghilangkan asam lemak bebas yang terdapat dalam minyak mentah CPO

(crude palm oil). Asam lemak bebas (FFA) dapat menimbulkan bau yang tengik pada

Page 26: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

10

minyak mentah. Proses netralisasi yang paling sering digunakan dalam industri kimia

adalah proses netralisasi dengan soda kostik, dengan prinsip reaksi penyabunan

antara asam lemak bebas dengan larutan soda kostik, yang reaksi penyabunannya

sebagai berikut:

R-COOH-NaOH+H2O RCOONa

Kondisi reaksi yang optimum pada tekanan atmosfir adalah pada suhu 70°C,

dimana reaksinya merupakan reaksi kesetimbangan yang akan bergeser ke sebelah

kanan. Soda kostik yang direaksikan biasanya berlebihan, sekitar 5% dari kebutuhan

stoikiometris. Sabun yang terbentuk dipisahkan dengan cara pengendapan, soda

kostik disamping berfungsi sebagai penetralisir asam lemak bebas, juga memiliki sifat

penghilang warna (decolorization).

3. Proses Bleaching

Proses bleaching (pemucatan) bertujuan untuk mengurangi atau

menghilangkan zat-zat warna (pigmen) dalam minyak sawit mentah. Warna minyak

sawit mentah CPO (crude palm oil) dapat berasal dari warna bawaan minyak ataupun

warna yang timbul pada proses pengolahan TBS (Tandan Buah Segar) menjadi

minyak mentah CPO (crude palm oil). Pigmen yang terdapat dalam minyak mentah

adalah karotenoid yang berwarna merah atau kuning. Proses bleaching dengan

absorbsi. Proses ini menggunakan penyerapan (absorben) yang memiliki aktifitas

permukaan yang tinggi untuk menyerap zat warna yang terdapat dalam minyak

mentah.

Proses bleaching biasanya dilakukan dengan cara minyak sawit mentah CPO

(crude palm oil) di masukan kedalam bejana silinder dengan cara di vacuum dan

dipanaskan dengan uap sampai 90°C, dengan demikian terjadi kelembaban dari

minyak sawit mentah CPO (crude palm oil) sehingga menguap dan minyak menjadi

kering. Minyak kering yang telah diproses kemudian disaring melalui piring standar

untuk pemisahan hasil akhir pada proses bleaching.

4. Proses Deodorisasi

Proses deodorisasi bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan rasa dan

bau yang tidak dikehendaki dalam minyak untuk makanan. Senyawa-senyawa yang

menimbulkkan rasa dan bau yang tidak enak yang diakibatkan dari senyawa

Page 27: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

11

karbohidrat tak jenuh, asam lemak bebas dengan berat molekul rendah, senyawa-

senyawa aldehid dan keton serta senyawa-senyawa yang mempunyai volatilitas

tinggi. Proses deodorisasi yang banyak dilakukan adalah cara distilasi uap yang

didasarkan pada perbedaann volatilitas gliserida dengan senyawa-senyawa yang

menimbulkan rasa dan bau, dimana senyawa-senyawa tersebut lebih mudah

menguap dari pada gliserida.

Komponen yang bermanfaat pada minyak kelapa sawit antara lain triacylgliserol

(TAG) (lemak netral), vitamin E (tokoferol dan tokotrienol), karotenoid dan fitosterol.

CPO menjadi sumber alami yang kaya akan karotenoid yakni sebesar 500-700 ppm

(Ng et al., 2012). Karoten berkontribusi pada warna orange kemerahan pada CPO

dan bertindak sebagai antioksidan (Gunstone, 2011). Karoten akan melindungi

minyak dari oksidasi dengan cara mengoksidasi dirinya sendiri sebelum oksidasi

menyerang triacylgliserol. Selain itu, CPO juga mengandung tokoferol dan tokotrienol

sebesar 600-1000 ppm dimana keduanya merupakan antioksidan yang bertindak

sebagai penangkap radikal bebas yang berkontribusi pada stabilitas dari minyak

kelapa sawit (Ng et al., 2004). Komponen pengotornya antara lain asam lemak bebas,

fosfolipid atau gum dan produk oksidasi lemak dimana zat pengotor ini dihilangkan

selama proses pemurnian (Sambanthamurthi et al., 2000).

Meskipun CPO memiliki kualitas yang baik, industri makanan membutuhkan

minyak kelapa sawit dengan warna yang jernih dan terang sehingga diperlukan proses

pemurnian. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan metode kimia (perlakuan

asam atau basa) (Dunford, 2012) atau metode fisika (steam refining, inert gas

stripping, molecular distillation, membrane refining, dll) (Dunford, 2012; Gunstone,

2011). Minyak kelapa sawit dengan jumlah asam lemak bebas rendah, kandungan zat

pengotor rendah, dan bleaching yang bagus dianggap sebagai minyak berkualitas

tinggi dan digunakan pada industri minyak nabati, dan kebalikannya, minyak

berkualitas rendah digunakan pada industri selain pangan seperti biofuel, lilin, dan

produksi sabun (Henson, 2012). Minyak kelapa sawit kualitas tinggi akan terdiri dari

95% triacylgliserol (TAG atau trigliserida) dan kurang dari 0,5% asam lemak bebas

(Dunford, 2012; Gunstone, 2011).

Perbandingan minyak kelapa dengan minyak kelapa sawit dapat dilihat

berdasarkan kandungan asam lemaknya. Minyak kelapa mengandung asam lemak

laurat. Asam Laurat ini didalam tubuh akan di dalam tubuh akan diubah menjadi

Page 28: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

12

monolarium yang memiliki anti-virus, anti-bakteri, dan anti-protozoa, dimana zat ini

tidak ditemukan pada minyak kelapa sawit. Minyak kelapa juga merupakan sumber

terkaya asam lemak rantai sedang (MCT). Sedangkan minyak kelapa sawit adalah

satu-satunya minyak nabati dengan komposisi asam lemak yang hampir berimbang

yakni 50% asam lemak jenuh, 40% asam lemak tak jenuh rantai tunggal dan 10%

asam lemak tak jenuh rantai ganda (Tan and Nehdi, 2012). Keunggulan minyak kelapa

sawit jika dibandingkan dengan minyak kelapa adalah minyak kelapa sawit

mengadung senyawa aktif seperti karotenoid (precursor vitamin A), tokoferol dan

tokotrienol (vitamin E) dan asam lemak esensial (oleat, linoleat, dan linolenat) yang

berperan penting sebagai antioksidan dan mencegah beberapa penyakit generatif

pada manusia. Perbedaan utama antara minyak kelapa sawit dengan minyak lainnya

adalah proporsi asam palmitat yang tinggi yakni 45% (O’Brien, 2010). Asam lemak

utama lainnya adalah asam oleat, asam linoleat dan asam stearat. Beberapa sifat

fisika-kimia dari minyak sawit dan minyak inti sawit dapat dilihat dalam Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Nilai Sifat Fisika-Kimia Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit

Sifat Minyak Sawit Minyak Inti Sawit

Bobot Jenis 0,900 0,900-0,903

Indeks bias pada 400C 1,4565-1,4585 1,495-1,415

Bilangan Iod 46-48 14-20

Bilangan Penyabunan 196-206 244-254

Sumber : Ketaren (2005)

Minyak kelapa sawit merupakan lemak semi padat yang komposisi tetap.

Komposisi asam lemak dari minyak kelapa sawit dapat dilihat dalam Tabel 2.3.

Page 29: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

13

Tabel 2.3. Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit

Asam Lemak Persentase (%)

Asam Lemak Jenuh

Laurat (C12:0) 0,30

Miristat (C14:0) 1,10

Palmitat (C16:0) 45,20

Stearat (C18:0) 4,70

Arachidat (C20:0) 0,20

Asam Lemak Tak Jenuh

Oleat (Cis C18:1ω

:9) 38,80

Linolenat (C18:3ω

:3) 0,30

Sumber: O’Brien (2010)

Selain komposisi yang terkandung dalam minyak kelapa sawit. Hal yang harus

diperhatikan sebagai produsen sekaligus konsumen minyak kelapa sawit adalah

syarat mutu kandungan minyak kelapa sawit, Berikut merupakan syarat mutu minyak

kelapa sawit menurut SNI 3741-2013 yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Syarat Mutu Minyak Minyak Kelapa Sawit

Kriteria Uji Satuan Syarat

Keadaan bau, warna, dan

rasa

- Normal

Kadar Air dan Bahan

Menguap

%b/b Maks 0.15

Asam Lemak Bebas

Asam Linolenat (C18:3)

dalam komposisi asam

lemak minyak

mg KOH/kg

%

Maks 0,6

Maks 2

Bahan Makanan

Tambahan

Sesuai SNI.022-M dan Permenkes N0.

722/Menkes/Per/IX/88

Cemaran Logam:

- Kadmium (Cd)

- Merkuri (Hg)

- Timbal (Pb)

- Timah (Sn)

mg/kg

mg/kg

mg/kg

mg/kg

Maks 0.2

Maks 0.05

Maks 0.1

Maks (40.0/250.0)*

Arsen (As) %b/b Maks 0.1

Angka Peroksida Mek O2/kg Maks 10

Sumber : Departemen Perindustrian SNI-01-3741-2013 *) Dalam Kemasan Kaleng

Page 30: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

14

2.2.4. Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit

Seperti halnya lemak dan minyak lainnya, minyak kelapa sawit terdiri atas

trigliserida yang merupakan ester dari gliserol dengan tiga molekul asam lemak

menurut reaksi sebagai berikut :

Gambar 2.3 Reaksi Hidrolisis Trigliserida Sumber : Lai et al (2012)

Bila R, = R2=R3 atau ketiga asam lemak penyusunnya sama maka trigliserida

ini disebut trigliserida sederhana, dan apabila salah satu atau lebih asam lemak

penyusunnya tidak sama maka disebut trigliserida campuran.

Asam lemak merupakan rantai hidrokarbon, dimana setiap atom karbonnya

mengikat satu atau dua atom hydrogen kecuali atom karbon terminal lainnya mengikat

gugus karboksil. Asam lemak yang pada rantai hidrokarbonnya terdapat ikatan

rangkap disebut asam lemak tidak jenuh, dan apabila tidak terdapat ikatan rangkap

pada rantai hidrokarbonnya disebut dengan asam lemak jenuh dapat digambarkan

sebagai berikut :

Gambar 2.4 Ikatan Kimia Pada Asam Lemak Sumber : Nelms et al (2007)

Page 31: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

15

Makin jenuh molekul asam lemak dalam molekul trigliserida, makin tinggi titik

beku atau titik cair minyak tersebut. Trigliserida yang terdapat dalam jumlah yang

besar sedangkan komponen minor terdapat dalam jumlah yang relatif kecil, namun

keduanya memegang peranan dalam menentukan kualitas minyak sawit. Trigliserida

merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Trigliserida dapat

berfase padat atau cair pada suhu ruang tergantung pada komposisi asam lemak

penyusunnya. Berikut merupakan Tabel 2.5 dari komposisi trigliserida yang

terkandung dalam minyak kelapa sawit:

Tabel 2.5. Komposisi Trigliserida dalam Minyak Kelapa Sawit

Trigliserida Jumlah (%)

Tripalmitin 3-5

Dipalmito-Stearine 1-3

Oleo-Miristopalmitin 0-5

Oleo-Dipalmitin 21-43

Oleo-Palmitostearine 10-11

Palmito-Diolein 32-48

Stearo-Diolein 0-6

Linoleo-Diolein 3-12

Sumber: Ketaren (2005)

Selain senyawa trigliserida yang terkandung dalam minyak sawit terdapat juga

senyawa non-trigliserida pada minyak kelapa sawit.

2.2.5. Senyawa Non Trigliserida pada Minyak Kelapa Sawit

Pada minyak kelapa sawit terkandung senyawa non trigliserida dalam jumlah

kecil. Adapun senyawa non trigliserida pada minyak kelapa sawit adalah: digliserida,

fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, protein, beberapa bahan-bahan berlendir

atau getah (gum) serta zat-zat berwarna yang memberikan warna serta rasa dan bau

yang tidak diinginkan. Menurut Ketaren (2008), kandungan komponen minor atau non

trigliserida dari minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 2.6. Berikut merupakan tabel

kandungan minor minyak kelapa sawit:

Page 32: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

16

Tabel 2.6. Kandungan Komponen Minor Minyak Kelapa Sawit

No Komponen Kadar (ppm)

1. Karotenoida 500-700

2. Tokoferol 400-600

3. Tokoferol dan tocotrienol -

4. Sterol Mendekati 300

5. Phospatida 500

6. Besi (Fe) -

7. Tembaga (Cu) 10

8. Tembaga (Cu) 0,5

9. Air 0,07-0,18

10. Kotoran-kotoran 0,01

11. Triterpen Alkohol -

12. Squalen -

13. Alkohol alifatik -

14. Hidrokarbon alifatik -

Sumber : Ketaren (2008)

Tabel diatas menunjukkan bahwa komponen non trigliserida atau komponen

minor terbesar dalam minyak sawit adalah senyawa karotenoida, tokoferol dan

tokotrienol. Warna minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh kandungan karotenoida

dalam minyak tersebut. Karotenoida dikenal sebagai sumber vitamin A, sedangkan

tokoferol dan tokotrienol sebagai sumber vitamin E dan antioksidan. Tokoferol dapat

dibedakan atas α, β, θ tokoferol. Disamping senyawa karotenoida dan tokoferol

komponen minor lainnya dalam minyak sawit adalah senyawa sterol dan squalene.

Sterol adalah komponen karakteristik dari semua minyak dan sebagai sumber

vitamin D serta bahan obat-obatan atau farmasi. Senyawa ini merupakan senyawa

unsaponifiable. Senyawa sterol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan disebut

phytosterol. Dua senyawa phytosterol yang telah dapat diindentifikasi karakteristiknya

adalag β- sitosterol dan α-stigmasterol. Selain senyawa karotenoida, tokoferol dan

sterol minyak sawit masih memiliki komponen minor atau senyawa phospatida.

Senyawa ini dapat dianggap senyawa trigliserida yang salah satu asam lemaknya

digantikan oleh asam phosphoric (Ketaren, 2008).

Minyak kelapa sawit mengandung kontaminan logam besi (Fe) dan tembaga

(Cu) yang merupakan katalisator yang baik dalam proses oksidasi, walaupun dalam

jumlahnya yang sedikit. Sedangkan kotoran-kotoran dalam minyak kelapa sawit

Page 33: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

17

merupakan sumber makanan bagi pertumbuhan jamur lipolitik yang dapat

mengakibatkan terjadinya hidrolisis.

Air merupakan bahan perangsang tumbuhnya mikroorganisme lipolitik, karena

itu di dalam perdagangan, kadar air menentukan kualitas minyak. Jika kandungan air

dalam minyak tinggi, maka dapat menaikkan kandungan asam lemak bebas selama

penyimpanan. Akan tetapi minyak yang terlalu kering menyebabkan mudah

teroksidasi, sehingga nilai optimum kadar air dan bahan juga harus diuji (Ketaren,

2008).

2.2.6. Sistem Penggorengan Bahan Pangan

Proses menggoreng adalah suatu proses persiapan atau pengolahan

makanan dengan cara memanaskan bahan makanan ke dalam pan yang berisi

minyak. Tujuan dilakukannya penggorengan ini adalah untuk melakukan pengeringan

pada bahan. Dengan adanya teknologi penggorengan maka nilai Aw pada bahan

akan menurun sehingga pertumbuhan mikroorganisme semakin sedikit dan juga

mikroba serta enzim pada bahan menjadi inaktif. Berkurangnya kadar air dalam bahan

pangan akan memperpanjang daya simpan produk. Proses yang terjadi

selama penggorengan yaitu perpindahan panas dan massa, dimana minyak menjadi

media penghantar panas. Hasil dari penggorengan adalah bahan pangan yang

matang, renyah dan minyak goreng sisa proses. Pada umumnya, sistem

penggorengan dalam bahan pangan ada 3 macam yaitu pan frying, deep frying,

vacuum frying (Sartika, 2009) :

1. Pan frying (penggorengan dangkal), yaitu teknologi penggorengan yang hanya

menggunakan minyak dalam jumlah sedikit. Teknologi ini biasa dilakukan dalam

jumlah yang sedikit. Dalam penggorengan ini tidak memerlukan wadah yang

terlalu besar sehingga waktu yang di butuhkan dalam penggorengan sangat

lama.

2. Deep Friying (penggorengan rendam) yaitu minyak goreng yang digunakan lebih

banyak daripada pan frying. Teknologi ini sesuai untuk semua produk pangan,

seperti kerupuk, fried chicken dan lain-lain. Kelebihan metode ini adalah bahan

pangan terendam dalam minyak sehingga pemasakan menjadi merata dan hanya

memerlukan waktu yang singkat, akan tetapi metode ini akan memerlukan biaya

Page 34: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

18

yang besar karena jumlah minyak yang dibutuhkan banyak. Suhu yang digunakan

sekitar 200-205°C.

3. Vacuum Frying yaitu metode penggorengan yang dilakukan dengan menurunkan

tekanan udara pada alat penggoreng. Metode ini biasa digunakan untuk buah-

buahan dan sayuran seperti keripik nangka, keripik apel. Metode ini akan

menghasilkan produk yang lebih baik seperti produk yang lebih renyah dan tahan

lama.

Selama penggorengan terjadi perubahan pada minyak diantaranya perubahan

warna, aroma, viskositas, dan degadasi lemak. Semakin tinggi suhu penggorengan

maka terjadi degadasi minyak dan oksidasi minyak yang mengakibatkan bau tengik

pada minyak. Semakin tidak jenuh minyak maka tingkat oksidasi menjadi semakin

tinggi. Hal ini karena pada minyak yang tidak jenuh terdapat ikatan rangkap.

Sedangkan pada bahan akan terjadi perpindahan panas dan pelepasan uap air.

Perubahan bahan pangan akibat penggorengan antara lain pembentukan crust,

perubahan cita rasa, aroma, tekstur, warna, penurunan kadar air, kerusakan vitamin,

gelatinisasi pati, dan denaturasi protein. Selama penggorengan akan

mengubah bahan pangan menjadi renyah. Selama proses penggorengan akan

terjadi penguapan air dalam bahan pangan. Penguapan air terjadi karena minyak

dipanaskan dengan suhu diatas titik didih air. Sebagian minyak akan terserap dan

mengisi ruang kosong dalam bahan pangan yang semua diisi oleh air (Taufik dan

Seftiono, 2017). Disaat proses penggorengan jika terjadi perubahan bau dan rasa

maka hal tersebut disebabkan karena terjadinya dekomposisi dari minyak goreng.

Dekomposisi minyak goreng dapat disebabkan karena terbentuknya asap pada saat

penggorengan. Untuk menghindari hal tersebut, maka minyak yang digunakan untuk

menggoreng biasanya tidak boleh berbentuk emulsi dan harus mempunyai titik asap

diatas suhu penggorengan.

Didalam proses penggorengan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi,

faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Jenis bahan pangan yang digunakan, ada beberapa jenis bahan pangan yang

mudah rusak akibat panas maka harus dilakukan penggorengan dalam waktu

yang singkat seperti misalnya kerupuk atau telur dengan konduktivitas tinggi

maka waktu penggorengan perlu dikurangi.

Page 35: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

19

2. Kondisi minyak, minyak yang digunakan sudah dipanaskan terlebih dahulu atau

belum.

Suhu dan waktu penggorengan, bila terlalu tinggi suhu penggorengan dapat

mendukung terjadinya oksidasi dan hidrolisis. Semakin tinggi suhu penggorengan

maka semakin cepat penggorengan bahan pangan. Jumlah minyak yang terserap

dalam bahan pangan dipengaruhi oleh lama waktu dan suhu penggorengan. Semakin

lama waktu penggorengan maka minyak yang terserap semakin tinggi, semakin tinggi

suhu penggorengan maka bahan pangan lebih cepat matang. Semakin lama

penggorengan dan waktu maka penguapan air semakin tinggi sehingga minyak yang

terserap semakin tinggi dan mengisi ruang kosong pada bahan pangan. Minyak yang

terserap dalam bahan pangan akan melunakkan dan membasahi bahan pangan yang

digoreng sehingga bahan menjadi renyah.

2.2.7. Struktur Bahan Pangan yang Digoreng

Bahan pangan yang digoreng memperlihatkan potongan melintang yang terdiri

dari bagian inner zone, outer zone surface dan bagian outer zone. Inner zone atau

core zone merupakan bagian dalam dari bahan pangan berkadar air tinggi dan umum

terdapat pada bahan pangan yang digoreng. Permukaan lapisan luar (outer zone

surface) akan berwarna cokelat keemasan akibat penggorengan. Timbulnya warna

pada permukaan bahan disebabkan karena adanya reaksi browning atau reaksi

mailard. Bagian outer zone bahan pangan akan mengkerut ketika dipanaskan. Kulit

atau kerak tersebut diakibatkan karena adanya proses dehidrasi pada bagian lapisan

luar bahan pangan waktu digoreng. Terbentukya kerak ini hanya terjadi pada bahan

pangan tertentu. Pembentukan ini terjadi akibat panas dari lemak panas (3120F)

sehingga menguapkan air yang terdapat pada bagian luar bahan pangan. Pada

proses pemanasan bahan pangan terjadinya proses pemanasan berulang-ulang

dengan minyak yang sama sehingga sering disebut minyak jelantah. Struktur bahan

pangan yang digoreng dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Page 36: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

20

Gambar 2.5 Struktur bahan pangan Sumber : Ketaren (2005)

2.2.8. Kerusakan Minyak Goreng Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan

Kerusakan utama minyak adalah timbulnya bau dan rasa tengik, sedangkan

kerusakan lain meliputi peningkatan kadar asam lemak bebas (FFA), bilangan iodium,

angka peroksida, TBA, angka karbonil, timbulnya kekentalan minyak, terbentuknya

busa dan adanya kotoran dari bumbu yang digunakan dan dari bahan yang digoreng.

Semakin sering digunakan tingkat kerusakan minyak akan semakin tinggi.

Penggunaan minyak berkali-kali akan mengakibatkan minyak menjadi cepat berasap

atau berbusa dan meningkatkan warna coklat atau flavor yang tidak disukai pada

bahan makanan yang digoreng (Wijana dan Nur, 2005).

Proses pemanasan minyak pada suhu tinggi dengan adanya oksigen akan

mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh yang terdapat di dalam minyak,

seperti asam oleat dan asam linoleat. Kerusakan minyak akibat pemanasan dapat

diamati dari perubahan warna, kekentalan, peningkatan kandungan asam lemak

bebas, kenaikan bilangan peroksida, dan kenaikan kandungan urea adduct forming

esters. Selain itu, dapat pula dilihat terjadinya penurunan bilangan iod dan penurunan

kandungan asam lemak tak jenuh (Febriansyah, 2007).

Ketengikan (rancidity) merupakan kerusakan atau perubahan bau dan flavor

dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Kemungkinan kerusakan atau ketengikan

dalam lemak, dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu: absorpsi bau oleh lemak, aksi oleh

enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aksi mikroba dan oksidasi oleh

oksigen udara. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat terjadi karena adanya perubahan

perlakuan yang diberikan sehingga mengakibatkan timbulnya perubahan-perubahan

kimia, contohnya dalam perlakuan pemberian panas (Ketaren, 2008).

Proses penggorengan yang menggunakan panas menghasilkan komponen

flavor. Perubahan sifat fisikokimia akibat pemanasan ini mengakibatkan terjadinya

Page 37: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

21

kerusakan pada minyak dan menurunkan mutu produk gorengnya. Lebih jauh lagi

penurunan kualitas minyak ini berhubungan dengan masalah keamanan produk

goreng yang dihasilkan (Bluemthal, 1996). Disamping pengaruh pemanasan dengan

suhu tinggi, frekuensi pemanasan yang berulang juga mempengaruhi kualitas minyak

yang dihasilkan yang dapat dilihat dalam Tabel 2.7.

2.2.8.1. Aspek Keamanan Pangan dari Minyak Goreng Setelah Dipanaskan

Berulang

Pada masyarakat terutama pada kalangan ibu rumah tangga minyak kelapa

sawit yang dipakai berulang untuk menggoreng dapat menghasilkan radikal bebas

yang berbahaya bagi kesehatan (Leong et al., 2008). Praktik tersebut dilakukan untuk

memotong biaya memasak tanpa memperhatikan efeknya pada kesehatan.

Peningkatan konsumsi minyak tidak dianggap baik untuk kesehatan. Makanan yang

digoreng dengan minyak yang sudah diberi perlakuan pemanasan berulang umumnya

dianggap aman namun jika dilihat dari segi kualitas fisik maupun kimia akan menjadi

racun jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang (Tony et al., 2007).

Pemanasan berulang minyak mempercepat degradasi oksidatif lipid,

membentuk spesies oksigen reaktif yang berbahaya dan mengurangi kandungan

antioksidan alami dari minyak goreng. Konsumsi makanan jangka panjang yang

menggunakan minyak hasil pemanasan berulang sangat membahayakan sistem

kekebalan tubuh manusia yang menyebabkan penyakit hipertensi, diabetes dan

peradangan pembuluh darah. Oksidasi lipid menyebabkan risiko tinggi penyakit

jantung koroner (Goswami et al., 2015). Pemanasan berulang pada minyak goreng

menginisiasi beberapa reaksi kimia, mengubah konstituen lemak dari minyak goreng

melalui oksidasi, hidrolisis, polimerasi, dan isomerasi yang akan mengarah ke

peroksidasi lemak dan berujung pada stres oksidatif (Choe and Min, 2007).

Ketika minyak goreng yang sama digunakan kembali secara berlebih, reaksi

kimia akan menghasilkan komponen volatile dan non-volatile yang dapat

meningkatkan viskositas, warna minyak menjadi lebih gelap, meningkatkan foaming

dan off-flavor (Kalogeropoulus et al., 2007).

Page 38: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

22

Tabel 2.7. Pengaruh Suhu dan Pemanasan Berulang Terhadap Kualitas Minyak

Referensi Jenis Minyak Suhu

Pemanasan

Frekuensi Pemanasan Tingkat Kerusakan

Nita Dwi

Oktaviani

(2009)

Minyak Goreng

Curah

2000C

Menggunakan 21 perlakuan

yang kemudian dibagi menjadi

7 kelompok. Dimana masing-

masing kelompok diberi

perlakuan durasi waktu yang

berbeda yaitu: kontrol, 15

menit, 20 menit, 25 menit

Terdapat hubungan yang signifikan pada antara

lama pemanasan dengan kerusakan minyak.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini r=0,908

mendekati 1 yang artinya adanya hubungan kuat

antara lama pemanasan terhadap kenaikan

bilangan peroksida

Ratu Ayu Dewi

Sartika (2009)

Minyak Kelapa

Sawit

2000C 1,2,3,4 kali pemanasan Hasil analisa menunjukkan proses menggoreng

dengan cara deep frying (suhu tinggi dan waktu

yang lama) terlihat adanya hubungan terbalik

kadar asam lemak elaidat (trans) dan asam oleat

(cis). Dimana dalam penelitian ini kadar asam

lemak elaidat dan trans (p<0,05).

Andi Reski

Ariyani

Paramitha

(2012)

Minyak Goreng

Kelapa Sawit

1800C

selama 10

menit

5 kali pemanasan

Hasil analisa asam lemak bebas terhadap

kombinasi minyak dari makanan gorengan dan

durasi penggorengan menunjukkan kadar asam

lemak bebas semakin meningkat. Persentase

tertinggi yaitu 0,29%. Sedangkan hasil analisa

angka TBA menunjukkan angka TBA pada

minyak semakin meningkat berdasarkan

penggorengan yang berulang

Yusof Kamisah

et al

Minyak Kelapa

Sawit dan

Minyak Kedelai

180°C

selama 10

menit

1,2,3,4,5 pemanasan

Makanan dengan kadar minyak yang tinggi dan

diberi perlakuan frekuensi pemanasan yang

berulang dapat meningkatkan peroksida hingga

mencapai 14,26 mek O2/Kg

Page 39: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

23

2.2.8.2. Kadar Asam Lemak Bebas

Selama proses penggorengan, sejumlah besar minyak goreng di panaskan

pada suhu tinggi dan bahan pangan terendam di dalamnya. Minyak goreng akan

digunakan secara kontinyu selama periode yang cukup panjang. Suhu yang tinggi

pada operasi penggorengan yang kontinyu ini menghasilkan asam lemak bebas pada

minyak goreng. Keberadaan asam lemak bebas dalam minyak goreng menyebabkan

rasa yang tidak diinginkan pada produk akhir. Peningkatan kandungan asam lemak

bebas menyebabkan penurunan titik asap.

Kadar asam lemak bebas merupakan penentuan dari jumlah rantai asam

lemak hasil hidrolisis ikatan trigliserida yang belum didegadasi menjadi komponen tak

tertitrasi atau mungkin dibentuk melalui proses oksidasi. Penentuan kadar asam

lemak bebas pada minyak goreng digunakan metode titrasi asam basa dengan

menggunakan NaOH atau KOH sebagai titran. Jumlah asam lemak di dalam minyak

dinyatakan dengan persen. Semakin tinggi volume titran untuk titrasi maka semakin

tinggi bilangan asam, dan sebaliknya (Andarwulan dkk, 2011).

Asam lemak yang tidak jenuh dalam minyak mampu menyerap sejumlah iod

dan membentuk senyawa yang jenuh. Besarnya jumlah iod yang diserap

menunjukkan banyaknya ikatan rangkap atau ikatan tidak jenuh. Bilangan iod

dinyatakan sebagai jumlah gam iod yang diserap oleh 100 gam minyak yang mana

titik akhir titrasi dinyatakan dengan hilangnya warna biru dengan indikator amilum.

Bilangan iod dapat menyatakan derajat ketidakjenuhan dari minyak dan dapat

dipergunakan untuk meggolongkan jenis minyak pengering, setengah pengering, dan

minyak bukan pengering. Minyak pengering adalah minyak yang mempunyai sifat

dapat mengering jika terkena oksidasi dan berubah menjadi lapisan tebal, bersifat

kental dan membentuk sejenis selaput jika dibiarkan di udara terbuka. Minyak

pengering mempunyai bilangan iodin yang lebih dari 130. Minyak setengah pengering

adalah minyak yang mempunyai daya mengering lebih lambat dan bilangan iodnya

antara 100 sampai 130 (Ketaren, 2008).

Kerusakan lemak dapat terjadi karena oksidasi, baik secara enzimatis maupun

secara non enzimatik. Pemerikasaan kerusakan lemak dapat dikerjakan dengan

memeriksa kandungan peroksidanya atau jumlah malonaldehida yang biasanya

dinyatakan sebagai angka TBA (thiobarbutiric acid) (Ketaren, 2008). Menurut Winarno

Page 40: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

24

(2004), kerusakan minyak goreng dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu: penyerapan bau,

hidrolisis dan oksidasi serta ketengikan.

a. Penyerapan Bau

Lemak memiliki sifat mudah menyerap bau, Apabila bahan pembungkus mudah

menyerap lemak, maka lemak yag terserap akan teroksidasi oleh udara sehingga

rusak dan berbau. Bau dari bagian lemak yang rusak akan diserap oleh minyak

keseluruhan sehingga mengakibatkan seluruh lemak menjadi rusak.

b. Hidrolisis

Dengan adanya air, dapat terhidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak yang

dapat dilihat pada Gambar 2.2, Reaksi ini dipercepat oleh asam basa, dan enzim.

Dalam teknologi makanan, hidrolisis oleh enzim lipase sangat penting karena enzim

tersebut terdapat pada semua jaringan yang mengandung minyak. Dengan adanya

lipase, lemak akan diuraikan sehingga kadar asam lemak bebas lebih dari 10%.

Hidrolisis sangat mudah terjadi dalam lemak dengan asam lemak rendah (lebih kecil

dari C14) seperti pada mentega, minyak kelapa sawit, dan minyak kelapa. Hidrolisis

sangat menurunkan mutu minyak goreng. Minyak yang terhidrolisis, smoke point-nya

menurun, bahan-bahan menjadi coklat dan lebih banyak menyerap minyak.

c. Oksidasi dan Ketengikan

Kerusakan minyak yang utama adalah timbulnya bau dan rasa tengik yang

disebut proses ketengikan. Hal ini disebabkan oleh autooksidasi radikal asam lemak

tidak jenuh dalam lemak. Angka TBA menjadi parameter yang menggambarkan tahap

oksidasi sekunder yang menyebabkan ketengikan (Guillén-Sans and Guzmán-

Chozas, 1998). Jumlah aldehid yang tinggi dan komponen karbonil lain sebagai hasil

dari oksidasi sekunder akan menghasilkan dialdehid dengan 3 atom karbon yakni

malonaldehyde MDA (Patton, 1974).

Selama tahap sekunder dari autooksidasi, aldehid lain (alkanals, 2-alkenals,

dienals) akan terbentuk dan bereaksi dengan TBA dan bertanggung jawab dalam

terbentuknya off flavor (Frankel, 1982). Komponen lain seperti keton, ketosteroid,

asam, ester, gula, imida dan amida, asam amino, protein teroksidasi, piridin, pirimidin

dan vitamin juga dapat bereaksi dengan TBA; komponen tersebut disebut sebagai

TBARS (2-thiobarbituric acid reactive substances) (Guillén-Sans and Guzmán-

Page 41: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

25

Chozas, 1998). TBARS tersebut terbentuk terutama pada daging dan turunannya

(Hama et al., 1990).

2-Thiobarbituric acid (TBA) adalah komponen yang digunakan pada analisa ini

karena reaktivitasnya dengan senyawa karbonil (aldehid dan keton), asam, ester,

amida, gula dan pirimidin. kereaktifan TBA dengan gugus C=O meningkat sebagai

konsekuensi dari labilitas gugus metilen pada posisi C5 pada molekul. Produk yang

dihasilkan menunjukkan ikatan polar rangkap dan dianggap sebagai asam organik

Lewis. TBA dianggap sebagai reagen untuk aldehid karena fungsi utamanya dalam

pengenalan dari level autooksidasi lemak atau ketengikan lemak khususnya pada

lemak yang mengandung PUFA tinggi (Cheng et al., 2014). Warna merah akan

terbentuk akibat reaksi antara reagen TBA dengan MDA dengan absopsi maksimum

pada panjang gelombang 530-532 nm (Tarladgis et al., 1964). Reaksi pembentukan

MDA dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Analisis Malonaldehid Sumber : Setin et al. (2013)

Minyak yang tengik mengurangi kesukaan konsumen, namun jika dikonsumsi

secara tidak sengaja tidak akan berbahaya pada kesehatan dalam jangka waktu

pendek. Minyak tengik biasanya meliliki rasa yang tidak enak. Minyak tengik

mengandung radikal bebas yang dapat meningkatkan risiko terkena penyakit seperti

Page 42: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

26

kanker atau penyakit jantung. Minyak tengik dapat menghasilkan bahan kimia dan zat

perusak yang berefek buruk apabila dikonsumsi dalam jangka panjang. Bahan kimia

seperti peroksida dan aldehid dapat merusak sel dan berkontribusi terhadap

aterosklerosis. Radikal bebas yang diproduksi oleh minyak tengik juga dapat merusak

DNA dalam sel dan dapat menyebabkan kerusakan pada arteri dan juga bertindak

sebagai karsinogen, zat yang dapat menyebabkan kanker. Jika ketengikan oksidatif

hadir dalam jumlah yang tinggi, potensi bahaya kesehatan mungkin ada.

Malonaldehid tingkat tinggi ditemukan dalam makanan. Mengonsumsi minyak tengik

akan mengalami penuaan yang cepat, peningkatan kadar kolesterol, obesitas, dan

penambahan berat badan. Konsumsi harian meningkatkan risiko penyakit degeneratif

seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan aterosklerosis, suatu kondisi di mana dinding

arteri menebal karena penumpukan bahan lemak. Menurut sebuah studi dari

University of Basque Country, tingkat kerusakan dan pembentukan total senyawa

beracun tergantung pada jenis minyak dan suhu. Awalnya, minyak terurai menjadi

hidroperoksida, kemudian menjadi aldehida (Okparanta et al., 2018).

2.3. Minyak Jelantah

Minyak goreng berulang kali atau yang lebih dikenal dengan minyak jelantah

adalah minyak limbah yang bisa berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti halnya

minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak ini merupakan

minyak bekas pemakaian kebutuhan rumah tangga yang dapat digunakan kembali

untuk keperluan kuliner, akan tetapi bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak

jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi

selama proses penggorengan sehingga dapat menyebabkan penyakit kanker dalam

jangka waktu yang panjang (Tamrin, 2013).

Penggunaan yang lama dan berkali-kali dapat menyebabkan ikatan rangkap

teroksidasi, membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Awal dari kerusakan

minyak goreng adalah terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini

menyebabkan rasa gatal pada tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang

digoreng menggunakan minyak berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol

yang membetuk aldehida tidak jenuh atau akrolein (Winarno, 2004). Selama

pemanasan, minyak mengalami 3 perubahan kimia yaitu terbentuknya peroksida dan

asam lemak tidak jenuh, peroksida terdekomposisi menjadi persenyawaan karbonil,

Page 43: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

27

dan terjadinya polimerisasi. Jika minyak dipanaskan secara berulang-ulang, maka

proses destruksi minyak akan semakin cepat (Ketaren, 2005). Seperti halnya minyak

kelapa sawit, minyak jelantah juga mempunyai kandungan asam lemak diantaranya

adalah asam stearat, asam palmitat, dan asam linoleat. Berikut merupakan struktur

asam lemak penyusun minyak kelapa sawit yang dapat dilihat pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Asam Lemak Penyusun Minyak Kelapa Sawit Sumber: Mancini et al. (2015)

Berdasarkan asam lemak penyusunnya, minyak goreng sangat mudah

mengalami oksidasi, maka minyak goreng yang dilakukan pemanasan yang berulang

kali mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik asapnya turun drastis, dan

bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau tengik. Bau tengik dapat

terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu tertentu yang

mengakibatkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan FFA (free fatty acid)

atau asam lemak jenuh. Disamping terjadi penurunan kualitas minyak, minyak

jelantah juga memiliki dampak jika pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan

dapat merusak kesehatan manusia karena mengandung senyawa-senyawa

karsinogen yang berakibat dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya.

Penggunaan minyak jelantah yang sudah berulang kali mengandung zat radikal bebas

yang bersifat karsinogenik seperti peroksida, epioksida, dan lain-lain. Pada percobaan

terhadap binatang, konsumsi makanan yang kaya akan gugus peroksida

menimbulkan kanker usus.

Page 44: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

28

Sub bab berikut akan menjelaskan mengenai proses kimia dari komponen

minyak yang berlangsung akibat penggunaan minyak jelantah berulang, yaitu sebagai

berikut:

2.3.1. Akibat Penggunaan Minyak Jelantah

Menurut Ketaren (2005), tanda awal dari kerusakan minyak goreng adalah

terbentuknya akrolein pada minyak goreng. Akrolein ini menyebabkan rasa gatal pada

tenggorokan pada saat mengkonsumsi makanan yang digoreng menggunakan

minyak goreng berulang kali. Akrolein terbentuk dari hidrasi gliserol yang membentuk

aldehida tidak jenuh atau akrolein. Skema proses terbentuknya akrolein dapat dilihat

pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Skema Terbentuknya Akrolein Sumber : Ketaren (2005)

Minyak goreng sangat mudah untuk mengalami oksidasi (Ketaren, 2005).

Maka minyak jelantah telah mengalami penguraian molekul-molekul, sehingga titik

asapnya turun drastis, dan bila disimpan dapat menyebabkan minyak menjadi berbau

tengik. Bau tengik dapat terjadi karena penyimpanan yang salah dalam jangka waktu

tertentu menyebabkan pecahnya ikatan trigliserida menjadi gliserol dan free fatty acid

(FFA) atau asam lemak jenuh. Selain itu, minyak jelantah ini juga sangat disukai oleh

jamur aflatoksin. Jamur ini dapat menghasilkan racun aflatoksin yang dapat

menyebabkan penyakit pada hati. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Rukmini (2007) menunjukkan bahwa pemberian pakan mengandung

minyak jelantah yang sudah tidak layak pakai dapat menyebabkan kerusakan pada

sel hepar (liver), jantung, pembuluh darah maupun ginjal.

Page 45: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

29

2.4. Identifikasi Kualitas Kimia Minyak yang Dilakukan Pemanasan Berulang

Penyakit yang dihasilkan oleh minyak yang dilakukan pemanasan berulang

(minyak jelantah) ini diakibatkan karena adanya bilangan peroksida, asam lemak

bebas dan TBA. Berikut merupakan mekanisme pembentukan bilangan peroksida,

asam lemak bebas, dan TBA :

2.4.1. Bilangan Peroksida

Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa oksidasi

dan hodrolitik. Diantara kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan

karena autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang

diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid, dan keton.

Bau tengik disebabkan oleh aldehid dan keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan

minyak dinyatakan sebagai bilangan peroksida atau angka thiobarbitural (Ketaren,

2012).

a. Mekanisme Pembentukan Peroksida

Reaksi oksidasi oleh oksigen terhadap asam lemak tidak jenuh akan

menyebabkan terbentuknya peroksida, aldehid, keton serta asam-asam lemak

berantai pendek yang dapat menimbulkan perubahan organoleptik yang tidak disukai

seperti perubahan bau dan flavor (ketengikan). Oksidasi terjadi pada ikatan tidak

jenuh dalam asam lemak. Oksidasi dimulai dengan pembentukan peroksida dan

hidroperoksida dengan pengikat oksigen pada ikatan rangkap pada asam lemak tidak

jenuh. Mekanisme pembentukan peroksida dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Page 46: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

30

Gambar 2.9 Mekanisme Pembentukan Peroksida Sumber: Alaya et al. (2014)

Minyak mengalami oksidasi menjadi senyawa peroksida yang tidak stabil ketika

dipanaskan. Pemanasan minyak lebih lanjut akan merubah sebagian peroksida

volatile decomposition products (VDP) dan non volatile decomposition products

(NVDP). Senyawa-senyawa VDP dan NVDP yang dihasilkan oleh senyawa peroksida

seperti aldehid, keton, ester, alkohol, senyawa siklik, dan hidrokarbon, secara

keseluruhan membuat minyak menjadi polar dibandingkan minyak yang belum

dipanaskan (Raharjo, 2007).

Peroksidasi lemak adalah proses dimana oksidan seperti radikal bebas dan

senyawa non radikal menyerang lemak yang mengandung ikatan rangkap karbon-

karbon, terutama asam lemak tak jenuh rantai panjang atau polyunsaturated fatty acid

(PUFA) yang melibatkan abstraksi (pemisahan) hidrogen dari karbon dengan

penyisipan oksigen (Yin et al., 2011). Substrat utama dari peroksidasi lemak adalah

PUFA yang diklasifikasikan menjadi ω3 dan ω6 dimana asam arakidonat merupakan

asam lemak ω6 utamanya. Asam arakidonat berada di membran sel, otak, otot dan

hati serta mengandung ikatan rangkap yang menjadi sumber atom hidrogen untuk

radikal bebas. Produk primer utama dari peroksidasi lemak adalah lipid hydroperoxide

(LOOH) (Ayala et al., 2014). Diantara berbagai macam aldehid yang dibentuk sebagai

produk sekunder selama peroksidasi lemak, malondialdehid (MDA), propanal,

Page 47: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

31

hexanal dan 4-hydroxynonenal (4-HNE) telah dipelajari secera intensif (Esterbauer et

al., 1990). MDA menjadi produk yang paling mutagenik sementara 4-HNE menjadi

produk yang paling toksik.

Proses peroksidasi lemak tediri dari tiga tahap yakni inisiasi, propagasi dan

terminasi (Yin et al., 2011). Pada tahap inisiasi, prooksidan seperti hydroxyl radical

mengambil allylic hydrogen (atom hidrogen pada gugus metilen rantai asam lemak)

membentuk L• (carbon-centered lipid radical). Pada tahap propagasi, L• (lipid radical)

cepat bereaksi dengan oksigen membentuk LOO• (lipid peroxy radical) yang

mengambil atom hidrogen dari molekul lemak lain menghasilkan L• baru (melanjutkan

reaksi) dan lipid hydroperoxide (LOOH). Pada tahap termisasi, antioksidan seperti

vitamin E mendonorkan atom hidrogen pada senyawa LOO• dan membentuk radikal

vitamin E yang sesuai yang bereaksi dengan LOO• lain membentuk produk non

radikal. Setelah peroksidasi lemak terinisiasi, propagasi dari reaksi akan terjadi hingga

produk terminasi dihasilkan.

b. Faktor-faktor yang Mempercepat Pembentukan Peroksida

Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, panas, enzim

peroksida atau hiperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co, dan Mn, logam

porfirim seperti hematin, haemoglobin, myoglobin, clorofil, dan enzim-enzim

lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam lemak mengalami

oksidasi dan menjadi tengik. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan

bilangan peroksida pada minyak goreng :

1. Oksigen

Oksigen merupakan zat yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, dan

bersifat netral. Oksigen tidak dapat terbakar hampir semua unsur lain (Sumardjo,

2008). Oksigen adalah suatu diradikal yang stabil yang merupakan pereaksi (agent)

radikal bebas yang selektif. Senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hydrogen

benzilik atau tersier, rentan (susceptible) terhadap oksidasi oleh udara juga disebut

autoksidasi. Lemak dan minyak nabati seringkali mengandung ikatan rangkap.

Autooksidasi suatu lemak menghasilkan campuran produk yang mencakup asam

karboksilat berbobot molekul rendah dan berbau (Putri, 2015).

Page 48: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

32

2. Cahaya

Ketengikan pada minyak goreng ditimbulkan oleh cahaya yang merupakan

oksidator. Proses oksidasi dipercepat oleh adanya kombinasi dari oksigen dan cahaya.

Misalnya pada lemak yang disimpan tanpa udara (O2), tetapi lemak tersebut terkena

cahaya yang mengakibatkan ketengikan. Hal ini karena dekomposisi peroksida secara

alamiah telah terdapat dalam lemak atau minyak. Cahaya berpengaruh sebagai

akselerator, sedangkan sinar ultra violet dan sinar-sinar gelombang pendek berfungsi

sebagai fotolisis persenyawaan aldehida, sehingga menghasilkan radikal bebas.

Konstituen tidak jenuh dan jenuh serta molekul trigliserida yang terkena cahaya ultra

violet dalam jangka waktu yang lama akan menghasilkan aldehida dalam jumlah kecil

dan metal keton yang berbau tidak enak. Persenyawaan keton dengan asam-asam

dengan berat molekul rendah lebih cepat terbentuk dari senyawa tidak jenuh, terutama

lemak yang mengandung ikatan tidak jenuh (C12) atau lebih rendah, misalnya asam

palmitat. Gugus hidroksil bebas pada molekul mono dan digliserida akan teroksidasi

sehingga menghasilkan gugus aldehida (Ketaren, 2012).

3. Suhu Tinggi

Pada saat penggorengan makanan dapat terjadi perubahan-perubahan fisika-

kimiawi pada makanan yang digoreng dan juga minyak gorengnya. Apabila suhu

penggorengannya lebih tinggi dari suhu normal (168-196°C) akan menyebabkan

degadasi minyak goreng dengan cepat (antara lain titik asap menurun). Titik asap

adalah saat terbentuknya akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa

gatal pada tenggorokan (Devi, 2010).

Pengaruh suhu terhadap kerusakan minyak telah diselidiki dengan menggunakan

contoh minyak jagung yang dipanaskan selama 24 jam pada suhu 120°C,160°C, dan

200°C. Minyak dialiri udara pada 150 ml/menit Minyak yang dipanaskan pada suhu

160°C dan 200°C, menghasilkan bilangan peroksida lebih rendah dibandingkan dengan

pemanasan pada suhu 120°C. Hal ini merupakan suatu indikasi bahkan persenyawaan

peroksida bersifat tidak stabil terhadap panas. Bilangan iod berpengaruh kecil dalam

contoh yang dipanasi pada suhu 120°C. Penurunan bilangan iod dalam contoh tersebut

hampir sama dengan pemanasan pada suhu 160°C-200°C. Kenaikan nilai indeks bias

setara dengan pertambahan jumlah senyawa polimer yang dihasilkan akibat

pemanasan lemak atau oksidasi lemak. Kenaikan nilai kekentalan dan indeks bias

Page 49: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

33

paling besar pada suhu 200°C, karena pada suhu tersebut senyawa polimer yang

terbentuk relatif cukup besar (Ketaren, 2012).

c. Penetapan Bilangan Peroksida

Angka peroksida atau bilangan peroksida merupakan nilai terpenting untuk

menentukan derajat kerusakan pada minyak dan lemak. Asam lemak tidak jenuh

dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.

Adanya peroksida dapat ditentukan secara iodometri. Angka peroksida dinyatakan

sebagai banyaknya mili-ekivalen peroksida dalam setiap 1000 g (1 kg) minyak, lemak

dan senyawa-senyawa lain.

Cara yang sering digunakan untuk menentukan bilangan peroksida adalah

berdasarkan reaksi antara kalium iodida dengan peroksida dalam suasana asam.

Iodium yang dibebaskan selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat

menggunakan indikator amilum sampai warna biru tepat hilang.

Gambar 2.10 Penentuan Bilangan Peroksida Sumber : Ketaren (2012)

Prinsip dari penentuan bilangan peroksida adalah menentukan banyaknya/jumlah

(volume) larutan thiosulfat yang tepat bereaksi dengan iodium yang terlepas akibat

dari reaksi antara senyawa peroksida dan KI jenuh dalam suasana asam, yang mana

jumlah iodium yang terlepas dengan jumlah senyawa peroksida yang terkandung

dalam minyak atau lemak.

Hasil angka peroksida selain dinyatakan dalam mili-ekivalen per 1000 gram minyak

atau lemak, juga dapat dinyatakan milimol per 1000 gram minyak atau lemak, atau

milligam oksigen per 100 gram minyak atau lemak (Rohman, 2007).

Page 50: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

34

2.4.2. Asam Lemak Bebas (ALB)

Asam lemak bebas diperoleh dari adanya proses hidrolisa, yaitu penguraian

lemak atau trigliserida dengan molekul air yang menghasilkan gliserol dan asam lemak

bebas. Kerusakan minyak atau lemak dapat juga diakibatkan oleh proses oksidasi,

yaitu terjadinya kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak yang

biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Kemudian

asam-asam lemak bebas akan terurai yang disertai dengan hidroperoksida menjadi

aldehid, keton, dan asam-asam lemak (Ketaren, 2005).

Penentuan asam lemak dapat dipergunakan untuk mengetahui kualitas dari

minyak atau lemak, hal ini dikarenakan bilangan asam dapat dipergunakan untuk

mengukur dan mengetahui jumlah asam lemak bebas dalam suatu bahan atau

sampel. Semakin besar angka asam maka dapat diartikan kandungan asam lemak

bebas dalam sampel semakin tinggi, besarnya asam lemak bebas yang terkandung

dalam sampel dapat diakibatkan dari proses hidrolisis ataupun karena proses

pengolahan yang kurang baik (Marsigit et al., 2011).

Minyak goreng memiliki kandungan asam lemak bebas yang berbeda-beda.

Hal ini dapat terjadi karena proses dari pembuatan masing-masing minyak tidaklah

sama. Sebagai indikator besar kecilnya kandungan asam lemak bebas yang terdapat

pada minyak adalah berdasarkan jumlah NaOH atau KOH yang diperlukan untuk

titrasi. Sebelum memasuki proses titrasi, minyak dicampur terlebih dahulu dengan

etanol netral. Tujuannya adalah agar asam lemak bebas dapat terikat pada etanol

sehingga lebih mudah terdeteksi oleh NaOH atau KOH saat titrasi. Etanol bersifat

asam dan NaOH atau KOH bersifat basa. Penambahan indikator PP adalah untuk

mengetahui tingkat equivalen larutan tersebut atau larutan menjadi netral (Moigadean

et al., 2013).

Penentuan total asam lemak bebas dapat dilakukan menggunakan analisis

titrasi asam basa. Prinsip dari titrasi asam basa yaitu analisis jumlah asam lemak

bebas dalam suatu sampel ekuivalen dengan jumlah basa (NaOH) yang ditambahkan

dalam titrasi yang ditandai dengan berubahnya warna sampel menjadi warna merah

jambu (Goswami et al., 2015).

Page 51: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

35

Asam lemak dan bilangan peroksida yang dihasilkan oleh minyak kelapa sawit

yang telah di panaskan dengan frekuensi pemanasan yang berbeda-beda akan

menghasilkan minyak bekas, yang sering dijumpai pada minyak jelantah.

2.4.3. Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA)

Malonaldehida (MDA) merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid pada

jaringan dan asam lemak tak jenuh rangkap banyak (PUFA). Kadar MDA dapat

digunakan sebagai marker stress oksidatif lanjut akibat peroksidasi lipid (Wadhwa et

al., 2012). Pengukuran kadar MDA pada minyak dapat dilakukan melalui pengukuran

Thiobarbituric Acid (TBA). Bilangan TBA menunjukkan adanya oksidasi sekunder dan

pembentukan asam karboksilat (Akoh dan Min, 2016). Prinsip dalam menentukan

bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen berwarna

merah sebagai hasil reaksi kondensasi antara dua molekul TBA dengan satu molekul

malonaldehida. Persenyawaan malonaldehida secara teoritis dapat dihasilkan oleh

pembentukan di-peroksida pada gugus pentadiene yang disusul dengan pemutusan

rantai molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut 2-enol yang dihasilkan dari

penguraian monohidro peroksida. Menurut Hu dan Jacobsen (2016), Malonaldehida

terbentuk dari penguraian senyawa peroksida yang mempunyai lebih dari dua buah

ikatan rangkap. Malonaldehida tersebut dapat bereaksi dengan pereaksi TBA

membentuk persenyawaan berwarna merah. TBA digunakan untuk menguji kualitas

lemak dan minyak seperti lard, cooking fat, minyak kedelai, minyak jagung, minyak

bunga matahari, minyak kelapa sawit, dan minyak biji anggur.

2.5. Identifikasi Kualitas Fisik Minyak Goreng yang Dilakukan Pemanasan

Berulang

Identifikasi kualitias fisik minyak goreng yang dilakukan pemanasan berulang

dapat dilihat segi warna, bobot jenis, dan viskositas. Berikut merupakan identifikasi

kualitas fisik minyak goreng yang dilakukan pemanasan berulang :

2.5.1. Bobot jenis

Bobot jenis merupakan rasio bobot suatu zat terhadap bobot zat baku yang

volume dan suhunya sama dan dinyatakan dalam desimal.bobot jenis minyak dan

lemak ditentukan pada temperatur 25°C ,akan tetapi dalam hal ini dianggap penting

Page 52: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

36

juga untuk diukur pada temperatur 40°C atau 60°C untuk lemak yang titik cairnya

tinggi (Mujadin A., et all, 2014).

2.5.2. Viskositas

Viskositas merupakan sifat pokok dari semua jenis fluida. Ketika fluida

mengalir, fluida tersebut memiliki hambatan dalam untuk mengalir. Viskositas

merupakan ukuran hambatan untuk mengalir. Selain itu viskositas juga dapat diartikan

sebagai sebuah gaya geser dan ukuran gaya gesek dari fluida tersebut. Viskositas

dari fluida sangat dipengaruhi oleh suhu fluida tersebut (Mujadin A., et all, 2014).

Menurut Jurnal Internasional (Angaitkar & Shende, 2013), nilai viskositas kinematik

cairan akan menurun terhadap kenaikan suhu, sedangkan nilai viskositas kinematik

gas akan meningkat sebanding dengan kenaikan suhu. Untuk setiap derajat kenaikan

suhu, terdapat pengurangan nilai koefisien viskoitas secara kasar sebesar 2% untuk

hampir semua jenis cairan.

2.5.3. Warna

Terdiri dari 2 golongan, golongan pertama yaitu zat warna alamiah, yaitu

secara alamiah terdapat dalam bahan yang mengandung minyak dan ikut terekstrak

bersama minyak pada proses ekstraksi. Zat warna tersebut antara lain α dan β karoten

(berwarna kuning), xantofil (berwarna kuning kecoklatan), klorofil (berwarna

kehijauan) dan antosyanin (berwarna kemerahan). Golongan kedua yaitu zat warna

dari hasil degadasi zat warna alamiah, yaitu warna gelap disebabkan oleh proses

oksidasi terhadap tokoferol (vitamin E), warna cokelat disebabkan oleh bahan untuk

membuat minyak yang telah rusak, warna kuning umumnya terjadi pada minyak tidak

jenuh (Mujadin A., et all, 2014).

Page 53: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

37

III METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Labaratorium Kimia dan Biokimia di Jurusan

Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Laboratorium Nutrisi Pangan di

Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Laboratorium Fisika Dasar

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya dan Laboratorium Kimia Dasar

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya pada bulan Januari-April 2019.

3.2. Alat dan Bahan

a. Alat

Alat yang digunakan untuk pemanasan minyak kelapa sawit hot plate stirrer,

erlenmeyer, gelas beker, pengaduk kaca, thermometer, dan gelas ukur.

Alat yang digunakan untuk analisis bilangan peroksida, bilangan asam,

bilangan TBA serta sifat fisik pada minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan

pemanasan yang berulang-ulang adalah erlenmeyer, labu ukur, timbangan analitik,

gelas ukur, pipet tetes, buret, gelas beker, statif, kompor listrik, viskometer, dan

piknometer.

b. Bahan

Bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak kelapa sawit

yang bermerk Sania dengan kemasan berlabel SNI dan memiliki label khusus

terfortifikasi vitamin A dengan expired date 28 Oktober 2020.

Pada pengukuran bilangan peroksida, bahan yang dibutuhkan adalah reagen

asam asetat glasial: kloroform (3:2), larutan KI jenuh, aquades, pati 1%, dan natrium

tiosulfat pentahidrat. Pada pengukuran bilangan asam, bahan yang dibutuhkan

adalah etanol 95%, larutan KOH, dan indikator PP 1%. Pada pengukuran bilangan

TBA, bahan yang dibutuhkan adalah TCA 10%, bubuk TBA, dan asam asetat glasial

90%.

Page 54: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

38

3.3. Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAK (Rancangan Acak

Kelompok) yang disusun secara faktorial terdiri dari 2 faktor, dimana faktor I

merupakan frekuensi pemanasan yang terdiri dari 3 level yaitu 2 kali, 5 kali, dan 8 kali

dan faktor II yang merupakan suhu pemanasan terdiri dari 2 level yaitu suhu 180°C

dan 200°C dengan 3 kali ulangan sehingga didapatkan 18 satuan percobaan. Pada

penelitian dengan menggunakan waktu yang sama yaitu dipanaskan selama 30 menit

dan didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang.

Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah Frekuensi

pemanasan minyak kelapa sawit (K) dan Suhu pemanasasn (L).

Faktor I : Frekuensi pemanasan (K), terdiri dari tiga level, yaitu:

A1 : Frekuensi pemanasan 2 kali

A2 : Frekuensi pemanasan 5 kali

A3 : Frekuensi pemanasan 8 kali

Faktor II : Waktu pemanasan (L), yang terdiri dari dua level, yaitu :

B1 : Suhu pemanasan 180°C

B2 : Suhu pemanasan 200°C

Dari 2 faktor diatas diperoleh 6 kombinasi perlakuan dan masing-masing

dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali ulangan. Dapat dilihat pada Tabel 3.1:

Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan antara Perlakuan Suhu Pemanasan dan Waktu Pemanasan

Suhu Pemanasan

(B)

Frekuensi Pemanasan

A1 (2 kali) A2 (5 kali) A3 (8 kali)

B1 (180°C) A1B1 A2B1 A3B1

B2 (200°C) A1B2 A2B2 A3B2

Keterangan :

A1B1: Frekuensi Pemanasan (2 kali) dan Suhu Pemanasan (180°C)

A1B2: Frekuensi Pemanasan (2 kali) dan Suhu Pemanasan (200°C)

A2B1: Frekuensi Pemanasan (5 kali) dan Suhu Pemanasan (180°C)

A2B2: Frekuensi Pemanasan (5 kali) dan Suhu Pemanasan (200°C)

A3B1: Frekuensi Pemanasan (8 kali) dan Suhu Pemanasan (180°C)

A3B2: Frekuensi Pemanasan (8 kali) dan Suhu Pemanasan (2000C)

Page 55: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

39

Perlakuan Ulangan Total Rerata

1 2 3

A1B1

A1B2

A2B1

A2B2

A3B1

A3B2

Total

3.4. Pelaksanaan Penelitian

3.4.1. Pemanasan Minyak dengan Pemberian Frekuensi Pemanasan Berulang

Pada proses pemanasan minyak kelapa sawit dapat dilakukan dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Perlakuan awal pemanasan minyak kelapa sawit dengan suhu 180°C atau

200°C (SNI-013741-2013) selama 30 menit.

2. Setelah dilakukan pemanasan selama 30 menit, kemudian didiamkan

pada suhu ruang selama 60 menit.

3. Perlakuan selanjutnya dilakukan pemanasan minyak kelapa sawit

sebanyak 2, 5 atau 8 kali dengan suhu 180°C atau 200°C (SNI-013741-

2013) selama 30 menit sesuai dengan rancangan percobaan.

4. Pada setiap kali pemanasan minyak goreng sawit dipanaskan hingga 8

kali. Namun jika pemanasan tersebut tidak mencukupi waktu yang

ditentukan dalam satu hari, maka minyak yang telah di berikan perlakuan

didinginkan dengan suhu ruang, setelah itu disimpan didalam freezer

sebelum dilakukan pemanasan selanjutnya.

5. Keesokan harinya, sebelum dilakukan pemanasan minyak goreng

dikeluarkan dari dalam freezer, minyak tersebut di thawing pada suhu

ruang dan diletakkan pada ruangan gelap.

6. Setelah minyak tersebut mencair maka dilakukan pemanasan selanjutnya

hingga mencapai pemanasan 8 kali dengan suhu 180°C atau 200°C.

7. Setelah dilakukannya pemanasan sesuai faktor yang sudah ditentukan

maka sampel minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

Page 56: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

40

berulang dilakukan penyimpanan pada suhu beku sampai waktu analisis

pengujian secara kimia maupun fisik ditentukan.

8. Penyimpanan disuhu beku bertujuan untuk memastikan tidak ada reaksi

yang berkelanjutan setelah dilakukannya pemanasan.

3.4.2. Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan sifat kimia dan sifat fisik yang terdiri dari

pengujian minyak goreng sawit yang tidak diberi perlakuan pemanasan, pengujian

minyak goreng sawit yang diberi perlakuan pemanasan berulang, dan analisa

lanjutan.

1. Analisa Sifat Kimia Minyak Goreng dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Analisa minyak goreng sawit yang tidak diberi perlakuan pemanasan

- Analisa Bilangan Asam (SNI-0341-2013) (Lampiran 1)

- Analisa Peroksida (SNI-0341-2013) (Lampiran 1)

- Analisa TBA (Azizah dkk., 2016) (Lampiran 1)

b. Analisa minyak goreng sawit yang diberi perlakuan pemanasan berulang.

- Analisa Bilangan Asam (SNI-0341-2013) (Lampiran 1)

- Analisa Peroksida (SNI-0341-2013) (Lampiran 1)

- Analisa TBA (Azizah dkk., 2016) (Lampiran 1)

2. Analisa Sifat Fisik Minyak Goreng dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Analisa minyak goreng sawit yang tidak diberi perlakuan pemanasan

- Analisa Viskositas (Febriansyah, 2007)

- Analisa Bobot Jenis (Febriansyah, 2007)

- Analisa Warna (Febriansyah, 2007)

b. Analisa minyak goreng sawit yang diberi perlakuan pemanasan berulang.

- Analisa Viskositas (Febriansyah, 2007)

- Analisa Bobot Jenis (Febriansyah, 2007)

- Analisa Warna (Febriansyah, 2007)

Page 57: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

41

3.5. Diagam Alir Sampel yang Diberi Perlakuan Pemanasan dengan Suhu

180°C dan 200°C dengan Frekuensi Pemanasan Sebanyak 2, 5, 8 kali

Dipanaskan pada suhu 180°C (atau 200°C sesuai faktor perlakuan)

Selama 30 menit

Didiamkan selama 60 menit pada suhu ruang

Minyak Kelapa Sawit 500 ml

Diambiil 50 ml untuk

dilakukan pengujian awal

Diulang Langkah di atas

sebanyak 1 kali

Diulang langkah diatas

sebanyak 4 kali Diulang langkah ditas

sebanyak 7 kali

Minyak dengan 2 kali

pemanasan

Minyak dengan 5 kali

pemanasan

Minyak dengan 8 kali

pemanasan

Dilakukan Analisis

Analisis Fisik :

- Warna

- Viskositas

- Bobot Jenis

Analisis Kimia :

- Bilangan Asam

- Bilangan

Peroksida

- Bilangan TBA

Page 58: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

42

3.6. Analisa Data

Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan pada minyak kelapa sawit yang

dilakukan pemanasan berulang didapatkan hasil analisis bilangan asam, bilangan

peroksida, dan Thiobarbituric Acid (TBA). Pengamatan ini dapat dianalisa dengan

menggunakan ANOVA 2 arah dengan metode RAK faktorial pada sampel yang diberi

perlakuan. Dimana pengujian ini akan dianalisis menggunakan SPSS Versi 21. Jika

hasil uji menunjukkan ada pengaruh yang nyata, maka dilaksanakan uji lanjut dengan

uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata 1% dan 5%. Apabila

interaksi yang terjadi tidak berpengaruh nyata, namun pada salah satu faktornya

berpengaruh secara nyata, maka diuji lanjut dengan uji LSD (Least Significance

Different) atau BNT pada taraf nyata 1% dan 5%.

Page 59: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

43

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Parameter Kualitas Awal Minyak Kelapa Sawit

Minyak goreng memiliki sifat fisik dan kimia yang dapat digunakan sebagai

parameter untuk mengetahui terjadinya kerusakan akibat proses penggorengan.

Rerata parameter minyak goreng sawit sebelum dipanaskan dapat dilihat pada Tabel

4.1.

Tabel 4.1. Rerata Parameter Kualitas Awal Minyak Sawit Sebelum Dipanaskan

Parameter Analisa Nilai Literatur

Bilangan Asam (mg KOH/g) 0,63±0,02 0,6a

Bilangan Peroksida (mek O2/kg) 2,13±0,08 Maks 10b

Bilangan (Thiobarbituric Acid)

TBA (mg malonaldehid/kg

sampel)

0,43±0,03

0,1-02c

Bobot Jenis (g/ml) 0,83±0,01 0,90d

Viskositas (cP) 126,50±0,58

Warna

- Kecerahan (L) 31.07±0,30

- Warna Kemerahan (a) 3,57±0,38 Maks 5,0e

- Warna Kekuningan (b) 8,95±0,33 Maks 50f

Keterangan: a. SNI 3741-2013 b. SNI 3742-2013 c. Pkorny dan Dieffenbacher (1989) d. SNI 3741-1995 e. SNI 3741-2012

Berdasarkan data yang diperoleh pada Tabel 4.1 pengujian bilangan asam

dihasilkan nilai sebesar 0,63 mg KOH/g. Menurut SNI 3741-2013 syarat mutu untuk

bilangan asam pada minyak goreng kelapa sawit sebesar 0,6 mg KOH/g, sedangkan

pada penelitian ini bilangan asam yang terkandung dalam minyak goreng sawit yang

masih baru mengalami peningkatan. Menurut Kusnandar (2010) peningkatan bilangan

asam berbanding lurus dengan lamanya penyimpanan. Hal ini dikarenakan adanya

reaksi hidrolisis yang dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas pada minyak

goreng akibat mengalami pemanasan proses pemanasan berulang. Dalam reaksi

hidrolisis minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan glisero.

Hasil bilangan peroksida menunjukkan nilai sebesar 2,13 mek O2/kg. Pada

penelitian ini hasil bilangan peroksida lebih rendah jika dibandingkan dengan SNI

Page 60: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

44

3741-2013 yang menyatakan bahwa hasil maksimal bilangan peroksida pada minyak

goreng sawit maksimal sebesar 10 mek O2/kg. Menurut Paramitha (2012), minyak

segar yang didiamkan pada suhu ruang dan terpapar oleh cahaya dalam jangka waktu

yang lama akan mengalami reaksi oksidasi lipid tahap awal. Reaksi oksidasi yang

melibatkan cahaya sering disebut dengan reaksi autooksidasi. Reaksi ini akan

mengakibatkan minyak akan mengalami penurunan kualitas baik secara fisik maupun

secara kimia. Sedangkan hasil yang diperoleh untuk bilangan Thibarbituric Acid (TBA)

menunjukkan nilai bilangan Thibarbituric Acid (TBA) sebesar 0,43 mg

malonaldehid/kg sampel. Pada minyak segar yang didiamkan lebih lama pada suhu

ruang akan mengalami oksidasi lanjut. Menurut Shahidi dan Zhong (2005), MDA

terbentuk pada akhir oksidasi sehingga pada awal penyimpanan bilangan TBA masih

relatif kecil dan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya waktu

penyimpanan.

Pengujian kualitas fisik pada minyak goreng sawit sebelum dilakukan

pemanasan meliputi bobot jenis, viskositas, dan warna dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Dimana hasil bobot jenis yang diperoleh pada penelitian ini sebesar 0,83 g/ml.

Menurut SNI 3741-1995, bobot jenis pada minyak sawit yang disimpan pada suhu

kamar sebesar 0,90 g/ml. Pada penelitian ini hasil bobot jenis masih sesuai dengan

standar SNI 3741-1995. Sedangkan untuk uji viskositas hasil yang diperoleh sebesar

126,50 cP. Hasil uji warna dari segi kecerahan diperoleh hasil sebesar 31,07.

Sedangkan untuk hasil uji warna kemerahan diperoleh hasil sebesar 3,57 dan hasil uji

warna kekuningan sebesar 8,95. Menurut SNI 3741-2012 menyatakan bahwa syarat

mutu warna merah maksimal 5,0 sedangkan warna kuning maksimal sebesar 50. Hal

ini menunjukkan bahwa, hasil yang diperoleh dari penelitian ini dari segi warna masih

sesuai dengan standar.

Page 61: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

45

4.2. Parameter Kualitas Kimia Minyak Kelapa Sawit Komersial Akibat

Pemanasan Berulang

Selama proses penggorengan minyak berada dalam kondisi suhu tinggi,

adanya udara dan air yang terkandung dalam bahan menyebabkan minyak

mengalami kerusakan (Yuniarto & Sukmawaty, 2008). Salah satu kerusakan yang

terjadi adalah kerusakan secara kimia. Sifat kimia lemak adalah mudah mengalami

oksidasi dan hidrogenasi. Hal ini karena asam lemak tak jenuh mudah terhidrogenasi.

Menurut Nuraniza & Lapanporo (2013), proses penggorengan dapat menyebabkan

ikatan rangkap menjadi jenuh dan akan menyebabkan ikatan rangkap teroksidasi,

membentuk gugus peroksida dan monomer siklik. Faktor-faktor seperti suhu, adanya

logam berat, cahaya, tekanan udara, enzim dan adanya senyawa peroksida juga

semakin mempercepat berlangsungnya oksidasi dan dengan demikian semakin cepat

terjadi ketengikan.

Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kualitas kimia

pada minyak goreng sawit komersial ditentukan berdasarkan hasil pengujian yang

meliputi bilangan asam, bilangan peroksida, dan bilangan theobarbituric acid (TBA).

Dimana minyak goreng kelapa sawit akan diberi perlakuan pemanasan dengan

menggunakan suhu 180°C dan suhu 200°C. Kemudian setelah dilakukan pengujian

secara sekala laboratorium hasil uji akan dianalisis menggunakan Uji Anova dengan

aplikasi SPSS Versi 21. Selain itu hasil analisis akan didukung dengan trend gafik.

Berikut merupakan hasil uji anova dan trend gafik parameter kimia minyak sawit

komersial yang meliputi :

4.2.1. Bilangan Asam

Bilangan Asam merupakan salah satu indikator kualitas kimia. Asam Lemak

bebas dihasilkan melalui proses hidrolisis dan oksidasi yang biasanya bergabung

dengan lemak netral. Tingginya persentase asam lemak bebas biasanya dikarenakan

oleh waktu, frekuensi penggorengan, dan bahan yang digoreng (Nurhasnawati, 2015).

Kadar asam lemak bebas pada sampel minyak goreng yang telah dilakukan

pemanasan berulang dapat diketahui dengan cara melakukan penimbangan 10 gam

sampel minyak goreng kelapa sawit dari masing-masing perlakuan, kemudian

dilakukan penambahan indikator fenolftalein dan dititrasi dengan menggunakan basa

Page 62: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

46

KOH hingga terjadi perubahan warna. Data hasil penelitian bilangan asam minyak

kelapa sawit yang diberikan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

Gambar 4.1 Gafik Bilangan Asam Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu

180°C dan 200°C

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa bilangan asam pada minyak kelapa sawit

komersial ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan bilangan asam tertinggi terjadi

pada sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu

180°C dan 200°C.

Peningkatan ini disebabkan adanya proses hidrolisis yang didukung oleh

penelitian Yuarini & Wrasiati (2018) yang menyatakan bahwa proses hidrolisa juga

mempengaruhi peningkatan kadar asam lemak bebas pada minyak goreng akibat

kerusakan minyak yang terjadi karena terdapatnya jumlah air dalam minyak tersebut.

Dalam reaksi hidrolisa minyak akan diubah menjadi asam-asam lemak bebas dan

gliserol. Adanya pembentukan senyawa polimer dalam minyak juga mempengaruhi

kadar asam lemak bebas minyak. Polimer merupakan senyawa yang terbentuk di

dalam minyak goreng akibat pemanasan yang terus menerus.

Hasil analisa keragaman menunjukkan bahwa frekuensi pemanasan

berpengaruh nyata terhadap bilangan asam. Hasil uji lanjut terhadap frekuensi

pemanasan dapat dilihat pada Tabel 4.2.

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

0,90

1,00

2 5 8

Bila

ng

an

Asa

m m

g

KO

H/g

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Suhu 200°C

Page 63: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

47

Tabel 4.2. Bilangan Asam Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan Berulang

Frekuensi Pemanasan Bilangan Asam (mg KOH/g)*

2 kali 0,68±0,02 a

5 kali 0,72±0,04b

8 kali 0,83±0,02c

Sebelum dipanaskan 0,63±0,02 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)

Hasil pengukuran rerata nilai bilangan asam menunjukan nilai tertinggi pada

frekuensi pemanasan 8 kali dengan nilai sebesar 0,83 mg KOH/g, sedangkan nilai

terendah pada frekuensi pemanasan 2 kali dengan nilai sebesar 0,68 mg KOH/g.

Hal ini didukung oleh penelitian Manurung & Suaniti (2018) yang menunjukkan

bahwa semakin lama proses pemanasan menyebabkan jumlah kandungan asam

dalam minyak meningkat. Hal ini dikarenakan terjadinya reaksi hidolisis minyak

membentuk asam lemak bebas bertambah. Penggorengan minyak secara berulang

mengakibatkan rusaknya asam-asam lemak tak jenuh dalam minyak sehingga

kualitas minyak telah menurun (Ilmi, et al., 2015). Peningkatan bilangan asam erat

kaitannya dengan bertambahnya asam-asam lemak bebas (FFA) akibat hidrolisis

minyak menjadi asam lemak dan gliserol.

Berdasarkan penelitian ini, suhu tidak mempunyai pengaruh yang nyata

terhadap pembentukan bilangan asam. Hal ini dikarenakan asam lemak bebas yang

terbentuk dari proses penggorengan bahan pangan, dimana suhu penggorengan

berada pada kisaran suhu penggorengan yang rendah lebih cenderung disebabkan

oleh reaksi hidrolisis akibat air masih ada pada bahan pangan yang digoreng. Menurut

Serena (2013) yang menyatakan bahwa reaksi hidrolisis lebih cenderung terjadi bila

suhu penggorengan rendah, sehingga akibat dari reaksi tersebut akan dihasilkan

asam lemak bebas, mono dan digliserida serta gliserin yang terjadi karena adanya air

dalam bahan pangan yang digoreng.

Pembentukan asam lemak bebas yang terjadi pada suhu yang lebih tinggi

diduga lebih cenderung disebabkan oleh reaksi oksidasi, karena pada suhu yang lebih

tinggi air yang ada pada bahan pangan yang digoreng akan menguap lebih cepat,

minyak terkena panas berlebihan akibat suhu penggorengan yang tinggi dan minyak

banyak mengalami kontak dengan oskigen (Ilmi, et al. 2015).

Page 64: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

48

Pada penelitian ini didapatkan hasil tidak adanya interaksi antar suhu dan

frekuensi pemanasan terhadap bilangan asam. Hal ini juga didukung oleh penelitian

dari Salamah (2007) yang menunjukkan bahwa minyak goreng sawit yang digunakan

pada frekuensi pemanasan (1, 2, 4, 6 kali) dan suhu (160-180°C) tidak berpengaruh

nyata terhadap %FFA. Selain itu didukung adanya faktor lain yaitu jarak antar suhu

perlakuan dan frekuensi pemanasan yang terlalu dekat sehingga menyebabkan

peningkatan bilangan asam yang kurang signifikan.

4.4.2. Bilangan Peroksida

Oksidasi termal yakni oksidasi yang dikarenakan adanya pemanasan dan

adanya paparan udara, yang mengakibatkan terbentuknya peroksida (Mulasari, 2012).

Penentuan bilangan peroksida dapat dilakukan dengan metode iodometri. Pada

metode ini terjadinya titrasi tidak langsung, semua oksidator yang akan ditetapkan

kadarnya akan direaksikan terlebih dahulu dengan ion iodin berlebih (I-) sehinggan I2

dapat dibebaskan. Selanjutnya I2 yang dibebaskan akan dititrasi dengan larutan baku

sekunder Na2S2O3 dengan indikator amilum. Data hasil penelitian bilangan asam

minyak kelapa sawit yang diberikan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Gafik Bilangan Peroksida Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil

Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 180°C

dan 200°C

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

2 5 8

Bila

ng

an

Pe

roksid

a (

Me

k

O2/k

g)

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Suhu 200 °C

Page 65: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

49

Gambar 4.2 menunjukkan bahwa bilangan peroksida pada minyak kelapa

sawit komersial mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan bilangan peroksida tertinggi

terjadi pada sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada

suhu 180°C dan 200°C.

Menurut penelitian Suroso (2013) menyatakan bahwa bilangan peroksida

akan terus meningkat akibat bertambahnya suhu dan frekuensi penggorengan.

Seiring dengan suhu, frekuensi dan lamanya penggorengan, minyak akan teroksidasi

membentuk senyawa peroksida. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan

lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi. Oksidasi lemak oleh oksigen terjadi

secara spontan jika bahan berlemak dibiarkan kontak dengan udara, sedangkan

kecepatan proses oksidasinya tergantung pada tipe lemak dan kondisi

penyimpanannya.

Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan peroksida. Uji lanjut DMRT dapat dilihat

pada Lampiran 4. Hasil bilangan peroksida yang diperoleh dari pemanasan yang

berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Bilangan Peroksida Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Bilangan Peroksida

(Mek O2/kg)*

180°C 2 kali 2,60±0,20a

5 kali 3,16±0,15b

8 kali 5,06±0,12c

200°C 2 kali 3,16±0,10b

5 kali 5,43±0,25d

8 kali 6,89±0,10e

Sebelum dipanaskan 2,13±0,08 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)

Tabel 4.3 secara umum menunjukkan suhu 200°C meningkatkan angka

peroksida lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8 kali

meningkatkan bilangan peroksida paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi

pemanasan 2 kali dan 5 kali. Hasil rerata angka peroksida suhu 200°C dengan

Page 66: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

50

frekuensi pemanasan 8 kali sebesar 6,89 mek O2/kg lebih tinggi dibandingkan dengan

hasil rerata angka peroksida suhu 180°C dengan frekuensi pemanasan 8 kali sebesar

5,06 mek O2/kg. Hal ini berarti trend grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.

Minyak goreng kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan berulang

mengalami peningkatan nilai bilangan peroksida diduga pada minyak yang dilakukan

pemanasan berulang merupakan hasil oksidasi lipid primer yang sebagian besar

mengalami oksidasi lanjut sehingga menghasilkan oksidasi lipid sekunder. Hal ini

disebabkan pembentukan hidroperoksida (hasil oksidasi primer) tidak stabil, sehingga

pengukuran bilangan peroksida tahap awal oksidasi mengalami kenaikan (Pignitter

dan Somoza, 2012).

Oksidasi pada minyak disebabkan oleh reaksi pemanasan antara lemak

dengan oksigen (oksidasi termal). Proses ini terjadi pada waktu pemanasan, dimana

lapisan permukaan lemak panas yang kontak dengan oksigen di udara. Reaksi

oksidasi ini mendorong terbentuknya asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam

molekul trigliserid yaitu asam oleat, asam linoleat, dan asam linolenat. Asam tidak

jenuh ini jika dioksidasi masing-masing akan membentuk oleat hidroperoksida, linoleat

hidroperoksida, dan linolenat hidroperoksida yang bersifat reaktif (Ketaren, 2008).

Hasil penelitian ini juga dipengaruhi oleh jumlah asam lemak tak jenuh pada

minyak kelapa sawit jumlah asam lemak tidak jenuh tinggi sebesar 38,50% (Oleat),

dimana asam lemak tak jenuh yang tinggi akan mudah mengalami proses oksidasi

(Darlean, 2009). Selain itu, semakin banyaknya frekuensi pemanasan mengakibatkan

peroksida yang terbentuk semakin banyak karena pemanasan menyebabkan molekul

menjadi tidak stabil sehingga mengalami dekomposisi membentuk asam-asam rantai

pendek, aldehid, keton (Darlean, 2009).

4.2.2. Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA)

Bilangan Thiobarbituric Acid (TBA) didasarkan atas terbentuknya pigmen

berwarna merah sebagai hasil reaksi kondensasi antara dua molekul TBA dengan

satu molekul malonaldehida. Persenyawaan malonaldehida secara teoritis dapat

dihasilkan oleh pembentukan di-peroksida pada gugus pentadiene yang disusul

dengan pemutusan rantai molekul atau dengan cara oksidasi lebih lanjut 2-enol yang

dihasilkan dari penguraian monohidro peroksida. Menurut Hu dan Jacobsen (2016),

Malonaldehida terbentuk dari penguraian senyawa peroksida yang mempunyai lebih

Page 67: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

51

dari dua buah ikatan rangkap. Malonaldehida tersebut dapat bereaksi dengan

pereaksi TBA membentuk persenyawaan berwarna merah. Bilangan TBA ini dapat

meningkat seiring dengan pengaruh suhu dan pemberian perlakuan pemanasan yang

berulang. Data hasil bilangan thiobarbituric acid (TBA) minyak kelapa sawit yang telah

diberikan perlakuan pemanasan berulang dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.3. Gafik Bilangan TBA Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu

180°C dan 200°C

Gambar 4.3 menunjukkan bahwa bilangan thiobarbituric acid (TBA) pada

minyak kelapa sawit komersial ini mengalami peningkatan seiring dengan

bertambahnya frekuensi pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan

bilangan thiobarbituric acid (TBA) tertinggi terjadi pada sampel minyak kelapa sawit

dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.

Menurut penelitian Indrawanto (2015), menyatakan bahwa angka TBA

merupakan salah satu cara untuk mengukur oksidasi sekunder. Peningkatan bilangan

TBA seiring dengan peningkatan suhu dan frekuensi pemanasan.

Hasil analisa ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap bilangan TBA. Uji lanjut DMRT dapat dilihat pada

Lampiran 4. Hasil bilangan TBA yang diperoleh dari pemanasan yang berulang dapat

disajikan dalam Tabel 4.4.

0,00

0,50

1,00

1,50

2,00

2,50

2 5 8

Biln

ga

n T

BA

mg

M

alo

na

lde

hid

/kg

Sa

mp

el

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Page 68: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

52

Tabel 4.4. Bilangan TBA Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Bilangan TBA (mg

malonaldehid/kg

sampel)*

180°C 2 kali 1,20±0,04b

5 kali 1,52±0,02c

8 kali 1,86±0,05d

200°C 2 kali 1,09±0,06a

5 kali 1,60±0,01c

8 kali 2,11±0,08e

Sebelum dipanaskan 0,43±0,03 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)

Tabel 4.4 menunjukkan suhu 200°C meningkatkan angka Thiobarbituric Acid

(TBA) lebih besar dibandingkan suhu 180°C kecuali pada frekuensi pemanasan 2 kali.

Hasil rerata nilai angka TBA pada suhu 180°C dengan frekuensi pemanasan 2 kali

sebesar 1,20 mg malonaldehid/kg sampel lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

angka TBA pada suhu 200°C dengan frekuensi pemanasan 2 kali sebesar 1,09 mg

malonaldehid/kg sampel. Hal ini dikarenakan adanya faktor lain yaitu pada proses

penyimpanan minyak dan kemungkinan TBA pada suhu 180°C bereaksi dengan MDS

dari reaksi lain selain peroksidasi lemak, sehingga angka TBA pada suhu 180°C pada

frekuensi pemanasan 2 kali lebih tinggi dibandingkan pada suhu 200°C.

Menurut Shahidi dan Zhong (2005), MDA terbentuk pada akhir oksidasi

sehingga pada proses penyimpanan yang lebih lama akan dapat meningkatkan kadar

MDA pada minyak. Disisi lain, pengujian TBA pada penelitian ini merupakan pengujian

spektrofotometrik yang didasarkan pada reaksi kondensasi dari dua molekul TBA

dengan satu molekul MDA dimana kecepatan reaksi tergantung suhu, pH dan

konsentrasi TBA. Reaksi ini termasuk cepat, sederhana dan murah, namun disisi lain

uji ini tidak spesifik karena TBA juga dapat bereaksi dengan MDA dari reaksi lain

selain peroksidasi lemak (Khoubnasabjafari et al., 2015). Asam lemak plasma juga

dapat teroksidasi selama tahap pemanasan 95°C dengan TBA sehingga

menghasilkan nilai yang tinggi (Verbunt at al., 1996).

Page 69: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

53

Peningkatan nilai bilangan TBA pada minyak kelapa sawit yang diberi

perlakuan pemanasan berulang diakibatkan minyak kelapa sawit kandungan asam

lemak tidak jenuh yang cukup tinggi yaitu sekitar 49,2% (oleat dan linoleat) (Rival,

2010). Adanya kandungan asam lemak tidak jenuh pada minyak sawit dan juga proses

oksidasi termal terus menerus menyebabkan terbentuknya malonaldehida sehingga

terjadi peningkatan bilangan TBA selama pemanasan (Pricilia,2013).

Angka TBA merupakan salah satu cara untuk mengukur oksidasi sekunder.

Peningkatan bilangan TBA seiring dengan peningkatan suhu dan frekuensi

pemanasan (Indrawanto, 2015). Menurut Pkorny dan Dieffenbacher (1989)

menyatakan bahwa TBA biasanya berada dalam jumlah yang sangat kecil yaitu

sekitar 0,1-0,2 mg malonadehid/ kg sampel dapat menyebabkan ketengikan.

4.3. Parameter Kualitas Fisik Minyak Kelapa Sawit Komersial Akibat

Pemanasan Berulang

Penggorengan dapat didefinisikan sebagai proses pemasakan dan

pengeringan produk dengan media panas berupa minyak yang digunakan sebagai

media panas. Ketika bahan pangan digoreng menggunakan minyak panas, maka

akan banyak reaksi kompleks yang terjadi didalam minyak dan pada saat itu juga

minyak mengalami kerusakan (Zahra, 2013). Kerusakan yang terjadi pada minyak

yang dapat dilihat melalui panca indra manusia adalah dari segi warna, dan aroma.

Selain itu kerusakan minyak secara fisik dapat ditentukan melalui bobot jenis,

viskositas, warna, dan aroma.

Pada penelitian ini untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap kualitas fisik

pada minyak goreng sawit komersial ditentukan berdasarkan hasil pengujian yang

meliputi bobot jenis, viskositas, dan warna dimana minyak goreng kelapa sawit akan

diberi perlakuan pemanasan dengan menggunakan suhu 180°C dan suhu 200°C,

kemudian setelah dilakukan pengujian secara sekala laboratorium hasil uji akan

dianalisis menggunakan Uji Anova dengan aplikasi SPSS versi 21. Selain itu hasil

analisis akan didukung dengan trend gafik. Berikut merupakan hasil uji anova dan

trend gafik parameter fisik minyak sawit komersial yang meliputi:

Page 70: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

54

4.3.1. Bobot Jenis

Bobot jenis merupakan salah satu parameter kualitas fisik. Menurut SNI 3741-

1995 bobot jenis maksimal sebesar 0,921 g/ml. Bobot jenis ialah besarnya massa per-

satuan volume (Edwar, dkk, 2011). Pengujian bobot jenis dilakukan secara manual

dengan menggunakan piknometer dengan volume piknometer sebesar 25 ml yang

kemudian akan ditimbang menggunakan timbangan analitik. Bobot jenis ini dapat

meningkat seiring dengan pengaruh suhu dan pemberian perlakuan pemanasan yang

berulang. Data hasil penelitian bobot jenis yang telah diberikan perlakuan pemanasan

berulang dapat dilihat pada Gambar 4.4.

Gambar 4.4 Gafik Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu

180°C dan 200°C

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa bobot jenis pada minyak kelapa sawit

komersial ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan bobot jenis tertinggi terjadi

pada sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu

180°C dan 200°C.

Menurut penelitian Herlina, dkk (2017) massa zat akan mempengaruhi massa

yang besar sehingga bobot jenisnya menjadi lebih besar. Proses pemanasan minyak

yang berulang pada suhu tinggi dan waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

0,90

1,00

2 5 8

Bo

bo

t Je

nis

g/m

l

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Suhu 200°C

Page 71: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

55

dimerisasi dan polimerisasi yang dapat menimbulkan peningkatan berat molekul

(Mahmudan dkk, 2014).

Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap bobot jenis. Uji lanjut DMRT dapat dilihat pada

Lampiran 4. Hasil bobot jenis yang diperoleh dari pemanasan yang berulang dapat

disajikan dalam Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Bobot jenis (g/ml)*

180°C 2 kali 0,87±0,01a

5 kali 0,88±0,01b

8 kali 0,93±0,01c

200°C 2 kali 0,88±0,01ab

5 kali 0,92±0,01c

8 kali 0,95±0,01d

Sebelum dipanaskan 0,83±0,01 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,05)

Tabel 4.5 secara umum menunjukkan suhu 200°C meningkatkan bobot jenis

lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8 kali

meningkatkan bobot jenis paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemanasan 2

kali dan 5 kali. Hasil rerata bobot jenis suhu 200°C dengan frekuensi pemanasan 8

kali sebesar 0,95 g/ml lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rerata bobot jenis suhu

180°C dengan frekuensi pemanasan 8 kali sebesar 0,93 g/ml. Hal ini berarti trend

grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.

Pemanasan berlebih pada minyak selama proses penggorengan akan

menghasilkan komponen volatil dan non-volatil. Reaksi polimerisasi yang terjadi pada

minyak dalam proses penggorengan menghasilkan komponen polar non-volatil dimer

dan polimer. Polimer dapat terbentuk dari radikal bebas atau trigliserida.

Penggorengan berulang dan suhu yang tinggi dapat meningkatkan komponen polimer

(Wang & Schuman, 2013).

Sifat kimia polimer berhubungan dengan bobot jenis. Umumnya polimer

dengan bobot jenis tinggi memiliki sifat yang lebih kuat (Cowd, 1991). Asam lemak tak

Page 72: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

56

jenuh dengan bentuk isomer trans mempunyai bobot jenis yang relatif tinggi dibanding

asam lemak cis (Nayak, et al., 2015). Hal ini menyebabkan asam lemak cis dapat

berubah menjadi asam lemak tak jenuh (trans). Menurut Tuminah (2009) menjelaskan

bahwa pemanasan dengan temperatur tinggi dapat memicu perubahan asam lemak

cis menjadi asam lemak trans. Perubahan asam lemak menjadi trans terjadi setelah

pemanasan hingga 280°C. Jika dibawah suhu tersebut, lemak trans yang terbentuk

sebesar 3 – 6%.

Faktor yang mempengaruhi tingginya berat jenis: 1). Pada suhu yang tinggi

senyawa yang diukur berat jenisnya dapat menguap sehingga dapat mempengaruhi

berat jenisnya, demikian pula suhu yang rendah menyebabkan senyawa membeku

sehingga bobot jenis sulit untuk dihitung, 2). Massa zat, jika zat mempunyai massa

yang besar maka berat jenis juga semakin besar, 3). Volume zat, jika volume zat besar

maka berat jenisnya akan mempengaruhi ukuran partikel dari zat, berat molekulnya

serta kekentalan dari suatu zat dapat mempengaruhi berat jenisnya, 4). Kekentalan

atau viskositas suatu zat dapat mempengaruhi berat jenisnya, semakin besar

viskositas suatu zat maka makin besar pula berat jenisnya (Juniarti, 2009).

Berdasarkan penelitian Noedjeng & Fatimah (2005) menunjukkan bahwa

bobot jenis akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Hal ini dikarenakan

komponen asam lemak bebas yang meningkat yang dapat menaikan nilai bobot jenis.

Penelitian Noedjeng & Fatimah (2005) didukung secara statistik dimana nilai koefisien

korelasi (r) hubungan asam lemak bebas dengan bobot jenis sebesar 0,902. Jika

dikuadratkan maka didapatkan hasil berupa koefisien determinasi (𝑅2) sebesar 0,814

atau 81,4% (p-value 0,00). Hal ini berarti bahwa sebesar 81,4% bobot jenis dapat

berhubungan dengan asam lemak bebas dan sisanya sebesar 18,6% disebabkan

oleh faktor lain dari penelitian ini. Nilai koefisien korelasi dalam penelitian ini

menunjukkan angka positif yang berarti bahwa asam lemak bebas dengan bobot jenis

memiliki hubungan searah atau saling meningkatkan.

4.3.2. Viskositas

Viskositas merupakan ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau

fluida. Kekentalan pada minyak dapat berpengaruh pada mutu minyak. Kekentalan

minyak ini dipengaruhi dengan seiring dengan kenaikan penggorengan yang

berulang-ulang. Pengujian viskositas dapat diukur dengan menggunakan alat

Page 73: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

57

viskometer. Data hasil penelitian viskositas minyak kelapa sawit yang diberikan

perlakuan pemanasan berulang dapat dilihat pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Gafik Viskositas Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu

180°C dan 200°C

Gambar 4.5 menunjukkan bahwa viskositas pada minyak kelapa sawit

komersial ini mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend peningkatan viskositas tertinggi terjadi pada

sampel minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C

dan 200°C. Peningkatan nilai viskositas diakibatkan oleh peningkatan suhu dan

frekuensi pemanasan yang berulang. Penelitian sebelumnya oleh Yusibani (2017)

menunjukkan bahwa semakin banyak pengulangan pemanasan maka semakin tinggi

juga viskositasnya. Kenaikan viskositas selama penggorengan disebabkan oleh

adanya pembentukan senyawa polimer dalam minyak.

Penelitian sebelumnya oleh Yusibani (2017) menunjukkan bahwa semakin

banyak pengulangan pemanasan maka semakin tinggi juga viskositasnya. Kenaikan

viskositas selama penggorengan disebabkan oleh adanya pembentukan senyawa

polimer dalam minyak.

Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap viskositas. Uji lanjut DMRT dapat dilihat pada

0,0020,0040,0060,0080,00

100,00120,00140,00160,00180,00200,00

2 5 8

Vis

ko

sita

s C

p

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Suhu 200°C

Page 74: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

58

Lampiran 4. Hasil viskositas yang diperoleh dari pemanasan yang berulang dapat

disajikan dalam Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Viskositas Minyak Kelapa Sawit Akibat Suhu dan Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Viskositas (cP)*

180°C 2 kali 142,33±0,58a

5 kali 151,33±0,58c

8 kali 175,67±0,58e

200°C 2 kali 145,33±0,58b

5 kali 167,33±0,58d

8 kali 179,67±0,58f

Sebelum dipanaskan 126,50±0,58 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)

Tabel 4.6 secara umum menunjukkan suhu 200°C meningkatkan viskositas

lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8 kali

meningkatkan viskositas paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi pemanasan 2

kali dan 5 kali. Hasil rerata viskositas suhu 200°C dengan frekuensi pemanasan 8 kali

sebesar 179,67 cP lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rerata angka viskositas

suhu 180°C dengan frekuensi pemanasan 8 kali sebesar 175,67 Cp. Hal ini berarti

trend grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.

Polimer merupakan senyawa yang terbentuk didalam minyak goreng akibat

pemanasan yang terus menerus. Menurut penelitian Sheyla, et al., (2016) yang

menyatakan bahwa adanya perbedaan secara nyata antara pengaruh suhu dan

frekuensi pemanasan terhadap viskositas. Peningkatan suhu dan peningkatan

frekuensi pemanasan menyebabkan peningkatan nilai viskositas. Kenaikan viskositas

selama penggorengan disebabkan oleh adanya pembentukan senyawa polimer

dalam minyak. Kenaikan viskositas berbanding lurus dengan peningkatan bobot jenis.

Menurut Ketaren (2008) tingginya kekentalan minyak dapat disebabkan oleh tingginya

kandungan senyawa-senyawa polimer didalam minyak.

Penelitian Ketaren (2008) didukung secara statistik dimana nilai koefisien

korelasi (r) hubungan viskositas dengan bobot jenis sebesar 0,966. Jika dikuadratkan

maka didapatkan hasil berupa koefisien determinasi (𝑅2) sebesar 0,933 atau 93,3%

(p-value 0,00). Hal ini berarti bahwa sebesar 93,3% bobot jenis dapat berhubungan

dengan viskositas dan sisanya sebesar 6,7% disebabkan oleh faktor lain dari

Page 75: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

59

penelitian ini. Nilai koefisien korelasi dalam penelitian ini menunjukkan angka positif

yang berarti bahwa viskositas dengan bobot jenis memiliki hubungan searah. Semakin

tinggi viskositas maka dapat meningkatkan bobot jenis.

4.3.3. Warna

Warna merupakan indeks kualitas minyak. Pengujian warna pada minyak

dapat dilakukan dengan menggunakan color reader sebagai alat pengujian untuk

analisis warna. Analisis warna pada penelitian ini dikategorikan menjadi 3 indikator

yaitu: Kecerahan (L), Kemerahan (a), Kekuningan (b).

Pembacaan warna yang dilakukan oleh alat color reader menghasilkan tiga

nilai, yaitu nilai L, nilai a, nilai b. Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan dari sampel.

Nilai ini menyatakan pantulan cahaya yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-

abu, dan hitam. Apabila dalam pembacaan nilai L dengan menggunakan color reader

tinggi maka semakin cerah sampel yang diuji. Namun, jika pembacaan color reader

rendah maka semakin gelap sampel yang diuji. Sedangkan nilai a menyatakan

pantulan cahaya yang menghasilkan warna akromatik hijau dan merah. Nilai b

menunjukkan warna kromatik kuning dan biru.

Penelitian ini membahas mengenai perbedaan warna yang dihasilkan dari

perlakuan pemanasan yang berulang. Berikut merupakan warna yang dihasilkan

dapat dijabarkan dalam trend gafik dan hasil statistik sebagai berikut:

1. Kecerahan (L)

Kualitas warna yang dihasilkan selama pemanasan yang berulang menunjukkan

warna yang dihasilkan dari tingkat kecerahan semakin gelap. Hal ini dapat dilihat

berdasarkan trend hasil kecerahan (L) yang menunjukkan semakin lama pemanasan

maka semakin gelap warna yang dihasilkan. Data hasil derajat kecerahan (L) yang

dapat dilihat pada Gambar 4.6.

Page 76: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

60

Gambar 4.6. Gafik Kecerahan (L) Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 1800C

dan 2000C

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa kecerahan (L) pada minyak kelapa sawit

komersial ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend penurunan terendah terjadi pada sampel

minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.

Hal ini diakibatkan karena adanya faktor suhu yang meningkat dan faktor pemanasan

yang berulang sehingga mengakibatkan warna minyak kelapa sawit semakin gelap.

Menurut penelitian Yulia (2012) yang menyatakan bahwa semakin

meningkatnya suhu pemanasan dan frekuensi pemanasan yang berulang

menyebabkan warna minyak semakin gelap. Hal ini terjadi karena vitamin yang

terkandung pada minyak teroksidasi baik karotenoid yang bersifat larut dalam minyak

akibat oksidasi maupun oksidasi tokoferol (vitamin E), selain itu semakin tinggi suhu

asam lemak, sterol, hidrokarbon yang dihasilkan dari hidrolisa trigliserid dapat terurai

dan larut atau tercampur dalam minyak sehingga warna minyak merah dan

kecoklatan.

Hasil analisa ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, faktor suhu dan frekuensi pemanasan serta

interaksinya berpengaruh sangat nyata terhadap kecerahan (L). Uji lanjut DMRT

dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil kecerahan (L) yang diperoleh dari pemanasan

yang berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.7.

0,00

5,00

10,00

15,00

20,00

25,00

30,00

35,00

2 5 8

Ke

ce

rah

an

(L)

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Suhu 200°C

Page 77: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

61

Tabel 4.7. Kecerahan (L) Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Kecerahan (L)*

180°C 2 kali 27,47±0,42b

5 kali 27,17±0,06ab

8 kali 26,73±0,15a

200°C 2 kali 28,53±0,32c

5 kali 28,60±0,10c

8 kali 27,30±0,26b

Sebelum dipanaskan 31.07±0,30 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,05)

Tabel 4.7 secara umum menunjukkan suhu 200°C dapat menurunkan

kecerahan (L) lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8

kali mengalami penurunan lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi pemanasan

2 kali dan 5 kali. Hal ini berarti trend grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.

Penurunan tingkat kecerahan (L) diakibat adanya reaksi oksidasi dan

degadasi dapat menyebabkan warna minyak menjadi gelap, coklat, dan kuning.

Perubahan warna minyak juga dapat disebabkan oleh terjadinya pelarutan zat warna

dari bahan yang digoreng maupun pelarutan komponen lemak dari bahan ke minyak

(Bahri, 2014).

Penurunan kecerahan (L) pada minyak kelapa sawit yang dilakukan

pemanasan berulang diakibatkan degradasi warna minyak. Kecerahan (L) ini

berhubungan dengan reaksi oksidasi yang diakibatkan karena pemanasan berulang.

Peroksidasi lemak adalah proses dimana oksidan seperti radikal bebas dan senyawa

non radikal menyerang lemak yang mengandung ikatan rangkap karbon-karbon,

terutama asam lemak tak jenuh rantai panjang atau polyunsaturated fatty acid (PUFA)

yang melibatkan abstraksi (pemisahan) hidrogen dari karbon dengan penyisipan

oksigen (Yin et al., 2011). Produk primer utama dari peroksidasi lemak adalah lipid

hydroperoxide (LOOH) (Ayala et al., 2014). Sebagai hasil, radikal lemak terbentuk.

Radikal lemak teroksidasi oleh O2 untuk membentuk peroxyl radical. Peroxyl radical

baru yang terbentuk bereaksi dengan PUFA lain dengan menghilangkan hidrogen

menghasilkan lipid hydroperoxide dan lipid radical lainnya. Proses ini secara terus-

menerus terpropagasi. Lipid hydroperoxide adalah komponen yang tidak stabil dan

ketika fragmentasi terjadi akan menghasilkan MDA. Setelah terbentuk, peroxyl radical

Page 78: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

62

(ROO•) dapat disusun kembali melalui reaksi siklikasi menjadi endoperoxide

(precursor MDA) dengan MDA sebagai produk akhir dari proses peroksidasi (Marnett,

1999).

Oksidasi sekunder ini menunjukkan bahwa kecerahan (L) berhubungan

dengan bilangan TBA. Nilai koefisien korelasi (r) hubungan TBA dengan kecerahan

(L) sebesar - 0,499 dan nilai koefisien determinasi (𝑅2) sebesar 0,249 atau 24,9% (p-

value 0,03). Hal ini berarti bahwa sebesar 24,9% TBA dapat berhubungan dengan

kecerahan (L) dan sisanya sebesar 75,1% disebabkan oleh faktor lain dari penelitian

ini. Nilai koefisien korelasi bilangan TBA dengan kecerahan (L) memiliki hubungan

berkebalikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi bilangan TBA maka

dapat menurunkan kecerahan minyak atau sebaliknya.

Pengukuran faktor lain selain kecerahan (L) adalah pengukuran intensitas

warna kemerahan (a) pada minyak kelapa sawit yang telah diberi perlakuan

pemanasan berulang.

2. Kemerahan (a)

Kualitas warna yang dihasilkan selama pemanasan yang berulang

menunjukkan warna kemerahan (a) yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini dapat

dilihat berdasarkan trend hasil warna kemerahan (a) yang menunjukkan semakin lama

pemanasan maka semakin gelap warna kemerahan yang dihasilkan. Data hasil

derajat warna kemerahan (a) dapat dilihat pada Gambar 4.7

Gambar 4.7. Gafik Kemerahan (a) Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil

Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 180°C

dan 200°C

-2,00

-1,50

-1,00

-0,50

0,00

0,50

1,00

2 5 8

Ke

me

rah

an

(a

)

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 200°C Suhu 180°C

Page 79: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

63

Gambar 4.7 menunjukkan bahwa warna kemerahan (a) pada minyak kelapa

sawit komersial ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend penurunan terendah terjadi pada sampel

minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.

Hal ini diakibatkan karena adanya faktor suhu yang meningkat dan faktor pemanasan

yang berulang sehingga mengakibatkan warna kemerahan minyak kelapa sawit

semakin menurun. Nilai negatif pada hasil uji menunjukkan warna hijau, sedangkan

nilai positif menunjukkan warna merah jika warna hijau semakin meningkat maka

warna kemerahan yang dihasilkan semakin kusam. Begitu pula sebaliknya, jika nilai

positif semakin tinggi, warna kemerahan semakin gelap (Febriansyah, 2007).

Perubahan warna kemerahan pada minyak goreng kelapa sawit disebabkan

adanya reaksi oksidasi dan degadasi warna menjadi coklap dan gelap. Suhu dan lama

pemanasan menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen

sehingga warna yang dihasilkan semakin gelap.

Hasil analisis ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap warna kemerahan (a). Uji lanjut DMRT dapat

dilihat pada Lampiran 4. Hasil warna kemerahan (a) yang diperoleh dari pemanasan

yang berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Warna Kemerahan (a) Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Kemerahan (a)*

180°C 2 kali -1,43 ±0,12a

5 kali -1,34±0,07a

8 kali -1,40±0,10a

200°C 2 kali 0,65±0,05c

5 kali 0,55±0,05c

8 kali -0,32±0,03b

Sebelum dipanaskan 3,57±0,38 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)

Tabel 4.8 secara umum menunjukkan suhu 200°C menurunkan warna

kemerahan (a) lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8

kali warna kemerahan (a) lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi pemanasan 2

kali dan 5 kali. Hal ini berarti trend grafik sesuai dengan hasil analisis ragam.

Page 80: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

64

Perubahan warna kemerahan disebabkan adanya karotenoid yang dapat

menghasilkan warna merah pada minyak. Senyawa karotenoid pada minyak dapat

terdegadasi pada suhu dan frekuensi pemanasan yang tinggi. Suhu dan lama

pemanasan menyebabkan terjadinya dekomposisi dan perubahan struktur pigmen

sehingga terjadi perubahan warna menjadi merah gelap. Kerusakan karotenoid tidak

akan terjadi selama produk tidak mengalami oksidasi lemak, karena karotenoid

merupakan pigmen yang terikat pada lemak sebagai ester asam lemak (Mahmudan,

dkk, 2014).

Pengukuran faktor lain selain intensitas warna kemerahan (a) adalah

pengukuran intensitas warna kekuningan (b) pada minyak kelapa sawit yang telah

diberi perlakuan pemanasan berulang.

3. Kekuningan (b)

Kualitas warna yang dihasilkan selama pemanasan yang berulang

menunjukkan warna kekuningan (b) yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini dapat

dilihat berdasarkan trend hasil warna kekuningan (b) yang menunjukkan semakin

lama pemanasan maka semakin gelap warna kekuningan yang dihasilkan. Data hasil

derajat kekuningan (b) yang dapat dilihat pada Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Gafik Kekuningan (b) Minyak Kelapa Sawit Komersial Hasil

Pemanasan Berulang dengan Frekuensi Pemanasan 2, 5, 8 Kali pada Suhu 180°C

dan 200°C

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

2 5 8

Ke

ku

nin

ga

n (

b)

Frekuensi Pemanasan (Kali)

Suhu 180°C

Suhu 200°C

Page 81: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

65

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa warna kekuningan (b) pada minyak kelapa

sawit komersial ini mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya frekuensi

pemanasan dan suhu pemanasan. Trend penurunan terendah terjadi pada sampel

minyak kelapa sawit dengan frekuensi pemanasan 8 kali pada suhu 180°C dan 200°C.

Hal ini diakibatkan karena adanya faktor suhu yang meningkat dan faktor pemanasan

yang berulang sehingga mengakibatkan warna kekuningan minyak kelapa sawit

semakin menurun. Perubahan warna dari kuning ke merah terjadi karena reaksi dari

sisa reaktan dengan pembuatan crude glycerol seperti asam fosfat dan adanya

pigmen karoten yang membuat warna kuning berubah menjadi warna merah (Aufari,

2013).

Hasil analisa ragam minyak kelapa sawit yang diberi perlakuan pemanasan

berulang menunjukkan bahwa, suhu dan frekuensi pemanasan serta interaksinya

berpengaruh sangat nyata terhadap warna kekuningan (b). Uji lanjut DMRT dapat

dilihat pada Lampiran 4. Hasil warna kekuningan (b) yang diperoleh dari pemanasan

yang berulang dapat disajikan dalam Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Warna Kekuningan (b) Minyak Kelapa Sawit Akibat Frekuensi Pemanasan Berulang

Suhu Frekuensi Pemanasan Kekuningan (b)*

180°C 2 kali 5,60±0,35b

5 kali 5,03±0,21a

8 kali 4,83±0,15a

200°C 2 kali 8,77±0,15e

5 kali 7,47±0,40d

8 kali 6,47±0,21c

Sebelum dipanaskan 8,95±0,33 *) Hasil rerata tiga kali ulangan ± standar deviasi, huruf yang berbeda menunjukkan

perbedaan yang signifikan antarperlakuan (nilai p<0,01)

Tabel 4.9 secara umum menunjukkan suhu 200°C dapat menurunkan warna

kekuningan (b) lebih besar dibandingkan suhu 180°C. Pada frekuensi pemanasan 8

kali dapat menurunkan warna kekuningan (b) lebih rendah dibandingkan dengan

frekuensi pemanasan 2 kali dan 5 kali. Hal ini berarti trend grafik sesuai dengan hasil

analisis ragam.

Minyak kelapa sawit yang mengalami perubahan warna kekuningan pada

minyak biasanya terjadi karena adanya kandungan karotenoid pada minyak yang

terhidrogenasi dan dapat terjadi akibat proses absorbsi dalam minyak tidak jenuh

Page 82: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

66

sehingga minyak dapat terdegadasi menghasilkan senyawa keton, aldehid, polimer,

dan terjadinya dekomposisi asam lemak. Warna kekuningan yang timbul akibat

degadasi zat warna alamiah amat sulit dihilangkan, timbulnya warna ini dapat

diidentifikasikan bahwa telah terjadi kerusakan pada minyak. Karotenoid bersifat tidak

stabil pada suhu tinggi, sehingga apabila senyawa karotenoid terkena panas secara

terus menerus maka warna kuning akan hilang (Mahmudan, dkk, 2014). Reaksi

oksidasi lemak akan membentuk senyawa peroksida. Hubungan yang erat tantara

proses absorpsi dan timbulnya warna kuning dalam minyak terutama terjadi pada

lemak tak jenuh. Warna ini timbul diakibatkan karena penyimpanan dan pemanasan

berulang.

4.4. Rekomendasi Pemanasan Minyak Goreng Kelapa Sawit Dalam

Penggorengan

Pada hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanasan minyak yang berulang

berpengaruh siginifikan terhadap kualitas kimia maupun kualitas fisik seiring

peningkatan suhu dan frekuensi pemanasan yang berulang. Kualitas kimia yang

ditinjau dari bilangan asam, menurut SNI 3741-2013 bilangan asam pada minyak

kelapa sawit sebesar 0,6 mg KOH/g, sedangkan pada penelitian ini nilai bilangan

asam yang masih sesuai dengan standar yaitu pada frekuensi pemanasan 2 kali

sebesar 0,66 mg KOH/g. Pada frekuensi pemanasan 5 kali dan 8 kali nilai bilangan

asam sudah melebihi standar. Pemanasan dengan suhu yang tinggi dan pemanasan

yang berulang berdampak negatif pada komposisi asam lemak. Adanya ikatan tak

jenuh mengakibatkan terbentuknya radikal bebas. Lemak dengan kandungan ikatan

tak jenuh yang tinggi rentan terhadap oksidasi. Minyak yang dilakukan pemanasan

lebih dari 2 kali akan mengakibatkan peningkatan nilai bilangan asam, peroksida, dan

jumlah malonaldehid yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas.

Pemanasan dengan suhu yang tinggi dan pemanasan yang berulang pada

minyak kelapa sawit masih sesuai dengan standar terhadap nilai bilangan peroksida.

Menurut SNI 3741-2013 bilangan peroksida maksimal 10 mek O2/kg, kesesuain ini

dikarenakan minyak kelapa sawit pada penelitian ini tidak adanya bahan pangan yang

digoreng. Penggorengan bahan pangan pada minyak menyebabkan peningkatan nilai

bilangan peroksida yang signifikan. Angka peroksida baru lebih kecil dibandingkan

Page 83: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

67

dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat

mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Aminah, 2010).

Pada nilai TBA yang dihasilkan pada penelitian ini tidak sesuai dengan

standar. Menurut Pkorny dan Dieffenbacter (1989) nilai TBA untuk minyak kelapa

sawit sebesar 0,1-0,2 mg. Ketidak sesuaian ini dikarenakan pada pemanasan yang

berulang, minyak kelapa sawit sudah mengalami reaksi oksidasi lebih lanjut yang

mengakibatkan terbentuknya senyawa malonaldehida, jika ketengikan oksidatif hadir

dalam jumlah yang tinggi, potensi bahaya kesehatan mungkin ada. Malonaldehid

tinggi ditemukan dalam makanan tengik. Malonaldehid adalah produk penguraian

asam lemak tak jenuh ganda yang bersifat karsinogenik. Minyak tengik yang

dikonsumsi dalam jangka panjang akan mempercepat penuaan, meningkatkan kadar

kolesterol, dan obesitas. Konsumsi harian meningkatkan risiko penyakit degenerasi

seperti kanker, diabetes, alzheimer, dan aterosklerosis yaitu suatu kondisi di mana

dinding arteri menebal karena penumpukan bahan lemak. Menurut sebuah studi dari

University of Basque Country, tingkat kerusakan dan pembentukan total senyawa

beracun tergantung pada jenis minyak dan suhu. Awalnya, minyak terurai menjadi

hidroperoksida, kemudian menjadi aldehida (Okpranta, 2018).

Pada penelitian ini suhu yang direkomendasikan untuk proses penggorengan

dengan menggunakan minyak kelapa sawit adalah pada suhu 180°C, dikarenakan

jika penggorengan yang dilakukan melebihi dari suhu 180°C akan menyebabkan

kerusakan minyak lebih cepat dan akan menyebabkan penurunan nilai gizi pada

bahan pangan yang digoreng akibat bahan tersebut tidak tahan panas dan suhu

terlalu tinggi. Menurut penelitian Ahmad (2013) pada perlakuan penggorengan

dengan suhu terendah 180°C terjadi dekomposisi senyawa dengan berat molekul

rendah seperti FFA dan senyawa volatil diminyak berkontribusi pada pembentukan

asap (Azmil & Razali 2008). Titik asap didefinisikan sebagai yang suhu terendah

minyak atau lemak yang dipanaskan di mana asap terus-menerus dan tampak

berkembang di permukaan bisa jadi karena adanya jumlah tinggi asam lemak tak

jenuh ganda. Semakin besar derajat tidak jenuh, semakin cepat minyak cenderung

teroksidasi terutama selama penggorengan lemak dalam (Azmil & Lin 2008).

Berdasarkan penelitian ini kualitas fisik minyak yang telah dipanaskan pada

suhu 180°C dengan frekuensi 2 kali pemanasan menunjukan sesuai dengan standar

SNI 3741-2012 dari segi warna yang meliputi kecerahan (L), kemerahan (a), dan

Page 84: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

68

kekuningan (b). Rekomendasi penggunaan minyak goreng kelapa sawit pada proses

penggorengan sebaiknya dilakukan pemanasan tidak lebih dari suhu 180°C dengan

frekuensi 2 kali pemanasan. Hal ini dikarenakan jika minyak dilakukan pemanasan

lebih dari suhu 180°C dengan frekuensi 2 kali maka minyak tersebut sudah mengalami

reaksi oksidasi lebih lanjut yang akan berdampak negatif bagi kesehatan.

Page 85: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

69

V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemanasan dengan suhu 180°C dan 200°C dapat berpengaruh signifikan

terhadap kualitas fisik (bobot jenis, viskositas, dan warna) dan kualitas

kimia (bilangan peroksida, bilangan TBA kecuali bilangan asam).

2. Frekuensi pemanasan 2, 5, dan 8 kali dapat berpengaruh siginifikan

terhadap kualitas fisik (bobot jenis, viskositas, dan warna) dan kualitas

kimia (bilangan asam, bilangan peroksida, dan bilangan TBA).

3. Interaksi antar suhu dan frekuensi pemanasan berpengaruh signifikan

terhadap kualitas fisik (bobot jenis, viskositas, dan warna) dan kualitas

kimia (bilangan peroksida, bilangan TBA kecuali bilangan asam). Dari segi

kualitas fisik semakin tinggi suhu dan frekuensi pemanasan maka dapat

meningkatkan bobot jenis dan viskositas, sedangkan untuk warna

(kecerahan, kemerahan, dan kekuningan) mengalami penurunan. Dari

segi kualitas kimia semakin tinggi suhu dan frekuensi pemanasan maka

dapat meningkatkan bilangan peroksida, dan TBA.

5.2. Saran

1. Rekomendasi penggunaan minyak goreng kelapa sawit pada proses

penggorengan sebaiknya dilakukan pemanasan tidak lebih dari suhu

180°C dengan frekuensi 2 kali pemanasan.

2. Diharapkan dilakukan pengujian pada hewan coba agar dapat mengetahui

dampak minyak goreng kelapa sawit yang dilakukan pemanasan berulang

terhadap penyakit degeneratif.

Page 86: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

70

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, K. 2013. Availability of Different Types of Palm Olein and Their

Performance During Deep Frying. Journal of International Scintific

Publications: Agriculture and Food. Vol. 2

Aminah, S. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat

Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan

dan Gizi Vol. 01. No.01

Angaitkar, J.N., AT Shende. 2013. Temperature Dependent Dynamic (Absolute)

Scosity of Oil. International Journal of Engineering and Innovative

Technology (IJEIT). Vol.3. No.4. Hlm.449-454

Angelina. 2012. Evaluasi Sifat Fisika – Kimia Minyak Goreng yang Digunakan

Oleh Pedangang Makanan Di Kecamatan Tampan Kota Pekan Baru.

Jurnal Pertanian Universitas Riau. Vol.9 No 1 : 8-9

Akoh, C.C. and D.B. Min. 2008. Food Lipids: Chemistry, Nutrition, and

Biotechnology. Boca Raton: CRC Press

Amalia, F., Retnaningsih, Jphan, I.R. 2010. Perilaku Penggunaan Minyak Goreng

Serta Pengaruhnya Terhadap Keikutsertaan Progam Pengumpulan

Minyak Jelantah di Kota Bogor. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol 03:

02

Andarwulan, N., Kusnandar, F. dan Herawati, D. 2011. Analisis Pangan. Dian

Rakyat. Jakarta. Hal 193-194

Aufari, M. A., Robianto, S., dan Manurung, R. 2013. Pemurnian Crude Glycerine

melalui Proses Bleaching dengan Menggunakan Karbon Aktif. Jurnal

Teknik Kimia Vol 02 No. 01

Ayala, A., Muñoz, M. F,, and Argüelles, S. 2014. Lipid Peroxidation: Production,

Metabolism, and Signaling Mechanisms of Malondialdehid and 4-Hydroxy-

2-Nonenal. Oxidative Medicine and Cellular Longevity 14:1-31

Azizah, Z., Rasyid, R. dan D. Kartina. 2016. Pengaruh Minyak Goreng Curah dan

Sifat Organoleptik Tempe Pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal

Pangan dan Gizi 1(1): 7-14

Page 87: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

71

Azmil, Hat& Lin, SW. 2008. Quality Assessment of Palm Products Upon

Prolonged Heat Treatment. Japan Oil Chemists’Society. Vol. 57. No. 12, pp.

639-48

Badan Pusat Statistik. 2017. Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Beberapa

Macam Bahan Makanan Penting. https://www.bps.go.id

Bahri, S. 2014. Pengaruh Adsorben Bentonit Terhadap Kualitas Pemucatan

Minyak Inti Sawit. Jurnal Dinamika Penelitian Industri 25(1):63-69

Blumenthal, M.M. 1996. Frying Technology. Di dalam: Bailey’s Industrial Oil and

Fat Technology; Edible Oil and Fat Product: Product and Application

Technology (4th ed., Vol 3). Wiley-Interscience Publication. New York

Barriuso, B., Astiasaran, I., and Ansorena, D. 2013. A review of analytical methods

measuring lipid oxidation status in foods: A challenging task. European

Food Research and Technology, 236 (1), 1–15

Budijanto, S., Sitanggang A. 2010. Kajian Keamanan Pangan dan Kesehatab

Minyak Goreng. Fakultas Teknologi Pertanian, Departemen Ilmu dan

Teknologi Pangan : IPB

Budiyanto, Silsia, D., Efendi, Z., Rasie. 2010. Perubahan Kandungan β-Karoten,

Asam Lemak Bebas dan Bilangan Peroksida Minyak Sawit Merah Selama

Pemanasan. Jurnal Teknologi Pertanian Vol.20, No.2. Bengkulu. Universitas

Bengkulu

Choe, E., And Min, B.D. 2007. Chemistry of Deep-Fat Frying Oils. Journal Of Food

Science Vol.72, Nr.5, 2007. Institute Of Food Technologists

Cowd, M.A. 1991. Kimia Polimer. Bandung:Penerbit ITB

Darlean, A. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Pemanasan Terhadap Kerusakan

Minyak Kelapa. Jurnal Bimafika, Vol.1, No.19

Devi, N. 2010. Nutrition and Food Gizi untuk Keluarga. PT Kompas Media

Nusantara. Jakarta

Page 88: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

72

Dunford, N.T. 2012. Advancements in oil and oilseed processing. In

FoodandIndustrial Bioproducts and Bioprocessing. John Wiley and Sons

Inc.: Ames, IA, USA; pp. 115–143

Edwar Zulkarnain, Heldrian Suyuthie, Ety Yerizal dan Delmi Sulatri, 2011. Pengaruh

Pemanasan Terhadap Kejenuhan Asam Lemak Minyak Goreng Sawit dan

Minyak Goreng Jagung. Journal Med Assoc Vol. 61 No. 6. hal. 248 – 252

Esterbauer H, Koller E, Slee RG, Koster JF. 1984. Possible involvement of the lipid-

peroxidation product 4- hydroxynonenal in the formation of fluorescent

chromolipids. Biochem. J. 239:405–409

Fauzi, Y., Yustina, EW., Satyawibawa, I., Paeru, RH., 2008. Kelapa Sawit Budidaya

dan Pemanfaatan Hasil dan Limbah Analisis Usaha dan Pemasara.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Jakarta

Febriansyah, Reza. 2007. Mempelajari Pengaruh Penggunaan Berulang dan

Aplikasi Adsorben Terhadap Kualitas Minyak dan Tingkat Penyerapan

Minyak Pada Kacang Sulut. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian

Bogor. Bogor

Frankel, E. N. 1982. Volatile lipid oxidation products, Prog. Lipid Res., 22, 1

Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). 2017. Konsumsi Minyak

Goreng di Indonesia. Retrieved Februari 15, 2018. from www.gimni.org

Gascon, J.P., Noiret, J. M., Meunier, J. 1989. Oil palm. In Oil Crops of the World,

Robbelen, G., Downey, R.K., Ashri, A., Eds.; McGraw-Hill: New York; pp. 475–

495

Goswami, G., Bora Rajni, Rathore, M.S. 2015. Oxidation of Cooking Oil Due To

Repeated Frying and Human Health. Conference Center, University of Delhi

(DU). India

Gunstone, F.D. 2011. Vegetable oils in food technology: Composition, properties

and uses (2nd ed.). West Sussex,UK :Blackwell Publishing Ltd. pp. 25–133

Hama, Y., Maeda, H., and Nakamura, T. 1990. Determination Of Conjugated

Carbonyls With A Prostaglandin Like Ring Structure In Autoxidized Lipids.

Nippon Suisan Gakkaishi, 56, 147

Page 89: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

73

Henson, I.E. A brief history of the palm oil. In Palm Oil: Production, Processing,

Characterization and Uses; Lai, O.-M., Tan, C.-P., Akoh, C.C., Eds.; AOCS

Press: Urbana, IL, USA, 2012

Herlina, H., Astiyaningsih, E., Windarti, W. 2017. Tingkat Kerusakan Minyak Kelapa

Selama Penggorengan pada Pembuatan Ripe Banana Chips (RBC). Jurnal

Agoteknologi. Vol.11.No.02

Ilmi, I. M. B., Khomsan, A., Marliyati, S. A., 2015, Kualitas Minyak Goreng dan

Produk Gorengan Selama Penggorengan di Rumah Tangga Indonesia.

Jurnal Aplikasi Pangan, 4 (2): 61-65

Indriwanto, S. 2015. Perubahan Mutu Minyak Kelapa dan Minyak Sawit Selama

Penggorengan Pattern of Cononut Oil dan Palm Oil Quality During

Frying. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol .16. No.1

Jacobson, G. A. 2016. Evaluation of Oxidized Lipid in Food. Journal of Technology

4 (7) : 811-819

Jonarson.2004. Analisa Kadar Asam Lemak Minyak Goreng yang Digunakan

Penjual Makanan Jajanan Gorengan di Padang Bulan Medan Tahun 2004.

S1 Undergaduate, Universitas Sumatera Utara

Kalogeropoulos, N., Salta, F.N., Chiou, A. And Andrikopoulos, N.K. 2007. Formation

and distribution of oxidized fatty acids during deep- and pan-frying of

potatoes. Eur. J. Lipid Sci. Technol. 109, 1111–1123

Kellens, M., Gibon, V., Hendrix, M., and DeGreyt, W. 2007. Palm oil fractionation.

European Journal of Lipid Science and Technology, 109(4), 336–349

Ketaren, S. 2005. Minyak dan Lemak Pangan. Edisi Pertama Jakarta : Penerbit UI

Universitas Indonesia. Jakarta

Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas

Indonesia. Jakarta

Ketaren, S. 2012. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press.

Jakarta

Kusnandar, F. 2010.Kimia Pangan Komponen Mikro. PT Dian Rakyat. Jakarta

Page 90: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

74

Lai, O., Tan-Chin, Akoh. 2012. Palm Oil Production, Processimg,

Characterization, and uses. AOCS-Press.United States of America

Liang, T. 2009. Seluk Beluk Kelapa Sawit- Bab VIII. Produk dan Standarisasi. PT.

Harapan Sawit Lestari, Kab. Ketapang. Kalimantan Barat. 15 hlm

Mahmudan, A. 2014. Efek Penggorengan Kentang dengan Oven Microwave

Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Minyak Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis). Jurnal Pangan dan Agoindustri. Vol.2. No.3.p.151-160

Maulaningum, P. 2008. Pengaruh Frekuensi Pemanasan Terhadap Kejenuhan

Lemak Minyak Goreng Curah dan Minyak Goreng Bermerek di Pasar

Tradisional Kota Semarang. http://www.eprints.undip. ac.id/7150/3497.pdf.

[20 April 2019]

Mancini, A., Imperlini, Nigor, E., Montagnese, C. 2015. Biological and Nutritional

Properties of Palm Oil and Palmitic Acid : Effects on Health. Journal

Molecules, Vol. 20

Manurung, M., Suaniti. N. 2018. Perubahan Kualitas Minyak Goreng Akibat

Lamanya Pemanasan. Jurnal Kimia 12(1) Universitas Udayana

Marsigit, W., Budiyanto, dan Mukhsin. 2011. Analisis Penurunan Kualitas Minyak

Goreng Curah Selama Penggorengan Kerupuk Jalin. Jurnal Agoindustri

Vol.1 Nomor 2

Mariod A, Matthaus B, Eichner K, Hussein IH. 2006. Frying Quality and Oxidative

Stability of Two Unconventional Oils. Journal of the American Oils

Chemists’ Society 83(6): 529-538

Moigadean, D., Mariana-Atena Polana, Alda, Maria L., Gogoasa. 2013. Quantitative

Identification of Fatty Acids from Walnut nd Coconut Oil Using GC-MS

Method. Journal of Agoallmentary Process and Technologies. 19(4): 459-463

Muchtadi, T.R. 2009. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Fakultas Teknologi

Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mujadin, A., Syafitri, J., Puspitasari. 2014. Pengujian Kualitas Minyak Goreng

Berulang Menggunakan Metoda Uji Viskositas dan Perubahan Fisis.

Page 91: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

75

Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi. Vol.2. No.4. Halm: 229-

233

Mulasari, S., dan Utami, R. 2012. Kandungan Peroksida pada Minyak Goreng.

Jurnal Biomedika 1 (2): 121

Marnett, L. J. Lipid peroxidation — DNA damage by malondialdehyde, Mut. Res.-

Fund. Mol. Mech. Mutagen. 424 (1999) 83–95

Nayak, P., Uma, D., Rayaguru, K. 2015. Physio-Chemical Changes During

Repeated Frying of Cooked Oil. Journal of Food Biochemistry. Sambalpur

University. India

Nelms, M., Sucher,P., Lacey, K. 2007. Nutrition Therapy & Pathophysiology.

Brooks/Cole Cengage Learning. Belmont

Ng, T. K. W., Low, C. X., Kong, J. P., and Cho, Y. L. 2012. Use of red palm oil in

local snacks can increase intake of pro vitamin A carotenoids in young

aborigines children: A Malaysian experience. Malaysian Journal of

Nutrition, 18(3), 393–397

Nodjeng, M.,& Fatimah, F.2015. kUalitas Virgin Coconut Oil (VCO) yang Dibuat

pada Metode Pemanasan Bertahap Sebagai Minyak Goreng dengan

Penambahan Wortel (Daucus carrota L.). Jurnal Ilmiah Sains Vol.13. No.2

Nuraniza., B.P. Lapanporo., dan A. Yudha. 2013. Uji Kualitas Minyak Goreng

Berdasarkan Perubahan Sudut Polaritas Cahaya Menggunakan Alat

Semiautomatic Polarymeter. Prisma Fisika Vol.1 No.2

Nurhasnawati, H. 2015. Penetapan Kadar Asam Lemak Bebas dan Bilangan

Peroksida Pada Minyak Goreng yang Digunakan Pedagang Gorengan di

JL. A.W Sjahranie Samarinda. Jurnal Ilmiah Manuntung 1(1). Hal.25-30

O’Brien, R. D. 2010. Fats and oils: Formulating and processing for applications

(3rd ed.). Boca Raton, Florida: CRC Press

Oeji, Adhika A., Atmadja W.L., Achamd T.A. 2012. Gambaran Anatomi

Miksroskopik dan Kadar Malondialdehida pada Hati Mencit Setelah

Pemberian Minyak Kelapa Sawit Bekas Menggoreng. JKM. 7 (1):15-25

Page 92: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

76

Okparanta, S., Daminabo, V., Leera. 2018. Assessment of Rancidity and Other

Physicochemical Properties of Edible Oils (Mustard and Corn Oils)

Stores at Room Temperature. Journal of Food and Nutrition Sciences. 6(3).

70-75

Oktaviani, N,. Dwi. 2009. Hubungan Lamanya Pemanasan dengan Kerusakan

Minyak Goreng Curah Ditinjau dari Bilangan Peroksida. Jurnal Biomedika

Vol.1 No.1

Pahan, I. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agibisnis dari Hulu

Hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta

Paramitha, A., Reski. 2012. Studi Kualitas Minyak Makanan Gorengan Pada

Penggunaan Minyak Goreng Berulang. Skripsi. Universitas Hasanuddin

Makasar. Makasar

Pignitter, Marc. 2012. Critical Evaluation of Methods For The Measurement of

Oxidative Rancidity in Vegetable Oils. Journal of Food and Drug

AnalysisDepartment of Nutritional and Physiological Chemistry. University of

Vienna. Austria. Vol.20, No.4 : 772-777

Pokorny J, Dieffenbacher A. 1989. Determination of 2-Thiobarbituric Acid Value:

Direct Method. International Union of Pure and Applied Chemistry 61(6):

1165-1170

Pricilia. 2013. Korelasi Metode Spektroskopi FTIR Dengan Metode Konvensional

Dalam Pengujian Stabilitas Pemanasan Minyak Sawit Komersial. Skripsi.

Institut Pertanian Bogor. Bogor

Putri, Sarah. 2015. Efek Lama Pemanasan Terhadap Perubahan Bilangan

Peroksida Minyak Goreng yang Berpotensi Karsinogenik pada Pedagang

Gorengan di Kelurahan Pasar Minggu Tahun 2015. Skripsi. Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta

Raharjo, S. 2007. Kerusakan Oksidatif pada Makanan. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta

Page 93: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

77

Rival, A. 2010. Oil Palm. Biotechnology in Agricultural and Forestry: Transgenic Crops

VI. [e-book] Berlin: Springer Berlin Heidelberg

Rohman, Abdul dan Soemantri. 2007. Analisis Makanan. UGM Press. Yogyakarta

Rohan, A., 2005. Pengaruh Penambahan Al2O3-Montmorillonit Sebelum Reaksi

Tranesterifikasi Jelantah Minyak Sawit Terhadap Konversi Biodiesel

Total. Skripsi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Rukmini A. 2007. Regenerasi Minyak Goreng Bekas Dengan Arang Sekam

Menekan Kerusakan Organ Tubuh. Seminar Nasional Teknologi; 24

November 2007. Yogyakarta

Rustika. 2012. Asupan Asam Lemak Jenuh dari Makanan Gorengan dan

Resikonya Terhadap Kadar Profil Lipid Plasma padaa Kelompok Usia

Dewasa. FKM UI: Disertasi

Salamah, U. 2007. Hubungan Kualitas Minyak Goreng yang Digunakan Secara

Berulang Terhadap Umur Simpan Keripik Sosis Ayam. Thesis. Institut

Pertanian Bogor. Bogor

Sambanthamurthi, R., Sundram, K., and Tan, Y. A. 2000. Chemistry and

biochemistry of palm oil. Progress in Lipid Research, 39(6), 507–558

Sartika, Ratu A.D. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Proses Menggoreng (Deep

Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Makara Sains 13 (1)

: 23-28

Serena. 2013. Pengaruh Suhu dan Lama Penggorengan Terhadap Kerusakan

Minyak Goreng Komersil. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Shahidi, F., & Zhong, Y. 2005. Antioxidantas: Regulatory Status. In F. Shahidi

(ED), Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. John Wiley & Sons, Inc. New

York

Sheyla, N., Raga., Herianus, J. 2016. Studi Penggorengan dan Mutu Minyak

Goreng Pada Usaha Jajan Gorengan di Kota Kupang. Seminar Nasional

Laboratorium Riset Terpadu. Universitas Nusa Cendana. Kupang

Page 94: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

78

Standar Nasional Indonesia. 2002. SNI-01-3741-2002. Minyak Goreng. Badan

Standarisasi Nasional. Jakarta

Standar Nasional Indonesia. 2013. SNI-013741-2013. Minyak Goreng. Badan

Standarisasi Nasional. Jakarta

Sumardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia : Buku Panduan Kuliah Mahasiswa

Kedokteran dan Progam Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta : EGC

Sunarko, 2009. Budidaya dan Pengolahan Kebun Kelapa Sawit Dengan Sistem

Kemitraan. Jakarta. Agomedia Pustaka

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). 2017. Statistik Konsumsi Pangan.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Jakarta

Suroso, A. S. 2013. Kualitas Minyak Goreng Habis Pakai Ditinjau dari Bilangan

Peroksida, Bilangan Asam dan Kadar Air. Jurnal Kefarmasian Indonesia.

Vol. 3.2.2013: 77-88

Sutiah, Firdausi K, Budi, W. 2008. Studi Kualitas Minyak Goreng dengan

Parameter Viskositas dan Indeks Bias. Laporan Penelitian, Fakultas MIPA

Universitas Diponegoro. Semarang

Tan, Chin-Ping and Nehdi, Imededdine Arbi. 2012. Palm Oil: Production,

Processing, Characterization, and Uses: The Physicochemical Properties

of Palm Oil and Its Components. Urbana: AOCS Press

Taufik. M, Seftiono, H. 2017. Karakteristik Fisik dan Kimia Minyak Goreng Sawit

Hasil Proses Penggorengan Dengan Meode Deep Fat-Frying. Jurnal

Teknologi Muhammadiyah Jakarta. Vol. 10 No. 2

Takeoka G, Full GH, Dao LT. 2011. Effect of Heating On The Characteristics and

Chemical Composition of Selected Frying Oil adan Fat. Journal of

Agiculture Food Chemistry. 45:3244-9

Tamrin. 2013. Gasifikasi Minyak Jelantah Pada Kompor Bertekanan. Jurnal Teknik

Pertanian Universitas Lampung Vol. 2 No. 2: 115-122

Tony, N. 2007. Local Repeatedly-Used Deep Frying Oils Are Generally Safe.

International Journal Science 1(2): 55-60

Page 95: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

79

Tuminah, S. 2009. Efek Asam Lemak Jenuh dan Asam Lemak Tak Jenuh "Trans"

Terhadap Kesehatan. Media Peneliti dan Pengembang Kesehatan, S13-S19

Verbunt RJ, Egas JM, Van der Laarse A. Risk of overestimation of free

malondialdehyde in perfused rat hearts due to homogenization artifacts.

Cardiovasc Res 1996; 31: 603-6

Wadhwa,N., Mathew, B.B. Jatawa, S.K., dan Archana Tiwari. 2012. Lipid

Peroxidation: Mechanism, Models and Significance. Int. Curr. Sci. 3:29-38

Wang, R., Schuman, T.P. 2013. Vegetable Oil-Derived Epoxy Monomers and

Polymer Blends: A Comperative Study With Review. Express Polymers

Letters Vol.7 No.3: 272-292

Wijana, S. Arif, H. &Nur H. 2005. Teknopangan: Mengolah Minyak Goreng Bekas.

Penerbit Trubus Agisarana. Surabaya

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Gamedia Pustaka Utama. Jakarta

Winarno, F.G. 2012. Minyak Goreng dalam Menu Masyarakat. IPB Press. Bogor

Yin, H., L. Xu, and N. A. Porter. Free radical lipid peroxidation: mechanisms and

analysis. Chemical Reviews, vol. 111, no. 10, pp. 5944–5972, 2011

Yuarini. A., & Wrasiasti. Pt. 2018. Karakteristik Minyak Goreng Bekas yang

dihasilkan Dikota Denpasar. Scientific Journal of Food Technology. Vol.5,

No.1, Hal. 49-55

Yuniarto, Kurniawan & Sukmawaty. 2008. Penentuan Susut Mutu Fisik Minyak

Goreng Dalam Operasi Penggorengan Hampa. Seminar Nasional Pulang

Kampus Alumni Fakultas Pertanian Universitas Mataram . Mataram

Yusibani, E., Nagahama, Y., Shinzato, K., Fujii, M., Kohno, M., Takata, T., Woodfield,

P.L. 2017. A Capillary Tube Viscometer Designed For Measurements Of

Hydrogen Gas Viscosity At High Pressure And High Temperature.

International Journal of Thermophys. Vol. 32, no. 6. pp. 1111-1124

Yulia E, Mulyati AH, Farida N (2012). Kualitas Minyak Goreng Curah yang Berada

di Pasar Tradisional di Daerah Jabodetabek pada Berbagai

Penyimpanan. Jurnal Ilmiah Vol. 24

Page 96: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

80

Yusibani, Elin, dkk.2017. Pengukran Viskositas Beberapa Produk Minyak Goreng

Sawit Setelah Pemanasan. Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia

Yusof, K., Shamil, S., Nabillah, M., Kong, S., Hamizah, A. 2012. Deep-Fried Keropok

Lekors Increase Oxidative Instability in Cooking Oils. Malays Journal

Medical Science 19 (4).57-62

Zahra SL, Dwiloka B, Mulyani S.2013. Pengaruh Penggunaan Minyak Goreng

Berulang Terhadap Perubahan Nilai Gizi dan Mutu Hedonik pada Ayam

Goreng. Animal Agicultural Journal ; 2(1): 253-260

Zappi, M., Hernandez, M., Spark, D., Home, J., Brough, M., 2003. A Review of The

Engineering Aspects of the Biodiesel Industry. Msu Environmental

Technology Research and Applications Laboratory Dave C. Swalm Scholl of

Chemical Engineering Mississippi State University. Mississippi

Page 97: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

81

Lampiran 1. Prosedur Analisa

a. Prosedur Analisa Bilangan Peroksida (SNI-0341-2013)

1. Ditimbang sampel minyak sebanyak 5 gam dalam erlenmeyer tertutup.

2. Ditambahkan 30 ml larutan asam asetat glasial : kloroform (3:2) dan

dikocok hingga larut

3. Ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh, lalu dikocok selama 1 menit

4. Ditambahkan 30 ml aquades

5. Dititrasi dengan Na2S203 0,01 N hingga warna kuning hampir hilang

6. Ditambahkan 0,5 ml larutan pati 1%, lalu dititrasi hingga warna biru hilang

7. Bilangan peroksida dihitung menggunakan rumus :

Bilangan Peroksida (mek/kg) = 𝑉Na2S203 ×𝑁 Na2S203 ×1000

𝑀 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

Keterangan :

V Na2S203 = Volume Na2S203 (ml)

N Na2S203 = Normalitas Na2S203 (ml)

M sampel = Berat sampel (gam)

b. Analisa Bilangan Asam (SNI-0341-2013)

1. Ditimbang sampel minyak sebanyak 10 gam dalam Erlenmeyer

2. Larutkan dengan 50 ml etanol 95% hangat dan tambahkan 5 tetes larutan

fenolftalein 1% dalam etanol 95% sebagai indikator

3. Titrasi larutan dengan KOH 0,1 N sampai terbentuk warna merah muda

(warna merah muda bertahan selama 30 detik)

4. Lakukan pengadukan dengan cara menggoyangkan Erlenmeyer selama

titrasi

5. Catat larutan KOH yang diperlukan

6. Dilakukan perhitung :

Bilangan Asam = 𝑚𝑔 𝐾𝑂𝐻

𝑔 =

56,1 𝑥 𝑉 𝑥 𝑁

𝑊

Page 98: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

82

Keterangan :

V = Volume Larutan KOH yang diperlukan(ml)

N = Normalitas Larutan KOH (ml)

W = Bobot contoh yang diuji (gam)

c. Analisa TBA (Azizah dkk., 2016)

1. Ditimbang sampel minyak sebanyak 10 gam dalam erlenmeyer 250

ml

2. Tambahkan 10 ml TCA dan panaskan selama 2 menit

3. Dinginkan, kemudia disaring dan diambil 5 ml filtrat dan dimasukkan

ke dalam tabung reaksi

4. Tambahkan 5 ml pereaksi TBA ke dalam tabung reaksi, kemudian

panaskan selama 30 menit

5. Sampel didinginkan

6. Diukur absorbansi sampel pada panjang gelombang 528 nm

7. Dilakukan perhitungan menggunakan rumus :

Biilangan TBA = 3 𝑥 𝐴 x 7.8

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)

Page 99: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

83

Lampiran 2. Data Hasil Analisis Kimia Minyak Goreng Sawit

4. Data Hasil Bilangan Asam Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat

Sampel (g)

Volume Titrasi (ml)

Kontrol I 10,0085 1,1 II 10,0090 1,2 III 10,0070 1,15

2 Kali Pemanasan I 10,0017 1,25 II 10,0010 1,2 III 10,0067 1,0

5 Kali Pemanasan I 10,0057 1,2 II 10,0037 1,25 III 10,0058 1,3

8 Kali Pemanasan I 10,0072 1,4 II 10,0086 1,45 III 10,0080 1,55

Rumus Perhitungan Bilangan Asam = 𝑚𝑔 𝐾𝑂𝐻

𝑔 =

56,1 𝑥 𝑉 𝑥 𝑁

𝑊

5. Hasil Perhitungan Bilangan Asam Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak

Kelapa Sawit Ulangan

Hasil (mg

KOH/g)

Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 0,62

0,63 0,02 2,49 II 0,62 III 0,64

2 Kali Pemanasan

I 0,70 0,69 0,01 2,12 II 0,69

III 0,67

5 Kali Pemanasan

I 0,67 0,70 0,03 3,99 II 0,70

III 0,73

8 Kali Pemanasan

I 0,79 0,81 0,03 3,44 II 0,81

III 0,84

Page 100: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

84

6. Data Hasil Bilangan Asam Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat

Sampel (g) Volume Titrasi

(ml)

Kontrol I 10,0094 1,1 II 10,0085 1,15 III 10,0074 1,15

2 Kali Pemanasan I 10,0039 1,2 II 10,0069 1,15 III 10,0068 1,2

5 Kali Pemanasan I 10,0060 1,25 II 10,0079 1,3 III 10,0074 1,4

8 Kali Pemanasan I 10,0019 1,55 II 10,0019 1,5 III 10,0076 1,5

Rumus Perhitungan Bilangan Asam = 𝑚𝑔 𝐾𝑂𝐻

𝑔 =

56,1 𝑥 𝑉 𝑥 𝑁

𝑊

7. Hasil Perhitungan Bilangan Asam

Perlakuan Minyak

Kelapa Sawit Ulangan

Hasil (mg

KOH/g)

Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 0,62

0,64 0,02 2,59 II 0,64 III 0,65

2 Kali Pemanasan

I 0,67 0,66 0,02 2,44 II 0,65

III 0,67

5 Kali Pemanasan

I 0,70 0,74 0,04 5,79 II 0,73

III 0,79

8 Kali Pemanasan

I 0,87 0,85 0,02 1,90 II 0,84

III 0,84

Page 101: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

85

8. Data Hasil Bilangan Peroksida Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat

Sampel (g) Volume Titrasi

(ml)

Kontrol I 5,0036 0,8 II 5,0078 0,7 III 5,0041 0,9

2 Kali Pemanasan I 5,0069 1,2 II 5,0037 1,4 III 5,0077 1,3

5 Kali Pemanasan I 5,0072 1,5 II 5,0073 1,6 III 5,0066 1,65

8 Kali Pemanasan I 5,0062 2,5 II 5,0083 2,5 III 5,0025 2,6

Bilangan Peroksida (mek/kg) = 𝑉Na2S203 ×0,01 ×1000

𝑀 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

9. Hasil Perhitungan Bilangan Peroksida

Perlakuan Minyak

Kelapa Sawit Ulangan

Hasil (mek

O2/kg) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 1,40

1,50 0,10 6,71 II 1,50 III 1,60

2 Kali Pemanasan

I 2,40 2,60 0,20 7,77 II 2,80

III 2,60

5 Kali Pemanasan

I 3,00 3,16 0,15 4,83 II 3,20

III 3,30

8 Kali Pemanasan

I 4,99 5,06 0,12 2,34 II 4,99

III 5,20

Page 102: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

86

10. Data Hasil Bilangan Peroksida Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat

Sampel (g) Volume Titrasi

(ml)

Kontrol I 5,0069 1,4 II 5,0040 1,4 III 5,0074 1,35

2 Kali Pemanasan I 5,0064 1,5 II 5,0040 1,55 III 5,0040 1,60

5 Kali Pemanasan I 5,0067 2,6 II 5,0029 2,7 III 5,0047 2,85

8 Kali Pemanasan I 5,0057 3,45 II 5,0061 3,5 III 5,0062 3,4

Bilangan Peroksida (mek/kg) = 𝑉Na2S203 ×0,01 ×1000

𝑀 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙

11. Hasil Perhitungan Bilangan Peroksida

Perlakuan Minyak

Kelapa Sawit Ulangan

Hasil (mek

O2/kg)

Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 2,80

2,76 0,06 2,12 II 2,80 III 2,70

2 Kali Pemanasan

I 3,00 3,10 0,10 3,25 II 3,10

III 3,20

5 Kali Pemanasan

I 5,19 5,43 0,25 4,65 II 5,40

III 5,70

8 Kali Pemanasan

I 6,89 6,89 0,10 1,44 II 6,99

III 6,79

Page 103: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

87

12. Data Hasil Bilangan TBA Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat

Sampel (g) Absorbansi

(nm)

Kontrol I 10,042 0,128 II 10,050 0,119 III 10,051 0,140

2 Kali Pemanasan I 10,019 0,528 II 10,016 0,517 III 10,011 0,497

5 Kali Pemanasan I 10,026 0,641 II 10,026 0,660 III 10,036 0,659

8 Kali Pemanasan I 10,024 0,807 II 10,023 0,773 III 10,021 0,809

Biilangan TBA = 3 𝑥 𝐴 x 7.8

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)

13. Hasil Perhitungan Bilangan TBA

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Hasil (mg

malonaldehid/ kg Sampel)

Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 0,30

0,30 0,02 6,71 II 0,28 III 0,32

2 Kali Pemanasan

I 1,23 1,20 0,20 7,77 II 1,16

III 1,21

5 Kali Pemanasan

I 1,50 1,52 0,15 4,83 II 1,54

III 1,54

8 Kali Pemanasan

I 1,88 1,86 0,12 2,34 II 1,81

III 1,89

Page 104: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

88

14. Data Hasil Bilangan TBA Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat Sampel (g) Absorbansi

(nm)

Kontrol I 10,038 0,225 II 10,055 0,246 III 10,057 0,275

2 Kali Pemanasan I 10,089 0,492 II 10,090 0,458 III 10,058 0,446

5 Kali Pemanasan I 10,011 0,678 II 10,052 0,686 III 10,072 0,690

8 Kali Pemanasan I 10,062 0,846 II 10,069 0,890 III 10,056 0,940

Biilangan TBA = 3 𝑥 𝐴 x 7.8

𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔𝑟𝑎𝑚)

15. Hasil Perhitungan Bilangan TBA

Perlakuan Minyak

Kelapa Sawit Ulangan

Hasil (mg malonaldehid/

kg Sampel)

Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 0,53

0,57 0,04 6,71 II 0,58 III 0,60

2 Kali Pemanasan

I 1,15 1,09 0,06 5,12 II 1,07

III 1,04

5 Kali Pemanasan

I 1,59 1,60 0,01 0,69 II 1,60

III 1,61 8 Kali

Pemanasan I 2,05

2,11 0,08 3,74 II 2,08

III 2,20

Page 105: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

89

Lampiran 3. Data Analisis Fisik Minyak Goreng Kelapa Sawit Komersial

1. Data Hasil Uji Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat Sampel (g) Berat Piknometer

Awal

Kontrol I 42,9416

22,1834 II 42,9635 III 42,9720

2 Kali Pemanasan I 43,4605

21,9728 II 43,4718 III 43,4712

5 Kali Pemanasan I 42,6066

20,3869 II 42,7019 III 42,6014

8 Kali Pemanasan I 43,8303

20,4880 II 43,2388 III 43,8308

2. Hasil Perhitungan Bobot Jenis

Perla kuan

Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Hasil (g/ml) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 0,83

0,82 0,01 0,63 II 0,82 III 0,82

2 Kali Pemanasan

I 0,86 0,87 0,01 0,69 II 0,87

III 0,87

5 Kali Pemanasan

I 0,88 0,88 0,01 0,65 II 0,88

III 0,89 8 Kali

Pemanasan I 0,93

0,93 0,01 1,46 II 0,91

III 0,93

Page 106: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

90

3. Data Hasil Uji Bobot Jenis Minyak Kelapa Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Berat Sampel (g) Berat Piknometer

Awal

Kontrol I 41,7259

20,9508 II 41,7205 III 41,7134

2 Kali Pemanasan I 43,6764

21,6200 II 43,6764 III 43,6748

5 Kali Pemanasan I 43,6801

20,8400 II 43,6896 III 43,6804

8 Kali Pemanasan I 44,0492

20,4383 II 44,0494 III 44,0491

4. Hasil Perhitungan Bobot Jenis

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Hasil (g/ml) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 0,83

0,83 0,01 0,66 II 0,82 III 0,82

2 Kali Pemanasan

I 0,88 0,88 0,01 0,66 II 0,87

III 0,87

5 Kali Pemanasan

I 0,91 0,92 0,01 0,62 II 0,92

III 0,92 8 Kali

Pemanasan I 0,94

0,95 0,01 0,59 II 0,95

0,95

Page 107: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

91

5. Data Hasil Perhitungan Viskositas Pada Minyak Goreng Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Hasil (cP)

Rata-Rata Standar Deviasi

CV

Kontrol I 134,00 133,33 0,58 0,43 II 133,00 III 133,00

2 Kali Pemanasan

I 143,00 142,33 0,58 0,41 II 142,00 III 142,00

5 Kali Pemanasan

I 152,00 151,33 0,58 0,38 II 151,00 III 151,00

8 Kali Pemanasan

I 176,00 175,67 0,58 0,33 II 176,00

III 175,00

6. Data Hasil Perhitungan Viskositas Pada Minyak Goreng Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Hasil (cP) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 120,00

119,67 0,58 0,48 II 120,00 III 119,00

2 Kali Pemanasan

I 146,00 145,33 0,58 0,40 II 145,00

III 145,00

5 Kali Pemanasan

I 168,00 167,33 0,58 0,35 II 167,00

III 167,00 8 Kali

Pemanasan I 180,00

179,67 0,58 0,32 II 180,00

III 179,00

Page 108: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

92

7. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkat Kecerahan (L) Pada Minyak Goreng

Sawit Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Kecerahan (L) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 32,80

32,53 0,31 0,94 II 32,60 III 32,20

2 Kali Pemanasan

I 27,80 27,47 0,42 1,52 II 27,60

III 27,00

5 Kali Pemanasan

I 27,20 27,17 0,06 0,21 II 27,20

III 27,10 8 Kali

Pemanasan I 26,90

26,73 0,15 0,57 II 26,70

III 26,60

8. Data Hasil Perhitungan Warna Kemerahan (a) Pada Minyak Goreng Sawit

Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Kemerahan

(a) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 3,20

3,57 0,32 9,01 II 3,70 III 3,80

2 Kali Pemanasan

I -1,50 -1,43 0,12 -8,06 II -1,30

III -1,50

5 Kali Pemanasan

I -1,42 -1,34 0,07 -5,17 II -1,30

III -1,30 8 Kali

Pemanasan I -1,30

-1,40 0,10 -7,14 II -1,40

III -1,50

Page 109: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

93

9. Data Hasil Perhitungan Warna Kekuningan (b) Pada Minyak Goreng Sawit

Suhu 180°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Kekuningan

(b) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 8,80

8,53 0,25 2,95 II 8,30 III 8,50

2 Kali Pemanasan

I 5,40 5,60 0,35 6,19 II 6,00

III 5,40

5 Kali Pemanasan

I 5,20 5,03 0,21 4,14 II 5,10

III 4,80 8 Kali

Pemanasan I 5,00

4,83 0,15 3,16 II 4,80

III 4,70

10. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkah Kecerahan (L) Pada Minyak Goreng

Sawit Suhu 200°C

Perlakuan

Minyak

Kelapa

Sawit

Ulangan Kecerahan (L) Rata-

Rata

Standar

Deviasi CV

Kontrol

I 29,30

29,60 0,30 1,01 II 29,90

III 29,60

2 Kali

Pemanasan

I 28,40

28,53 0,32 1,13 II 28,90

III 28,30

5 Kali

Pemanasan

I 28,50

28,60 0,10 0,35 II 28,70

III 28,60

8 Kali

Pemanasan

I 27,20 27,30 0,26 0,97

II 27,60

III 27,30

Page 110: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

94

11. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkah Kemerahan (a) Pada Minyak Goreng

Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Kemerahan

(a) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 4,70

4,50 0,44 9,69 II 4,80 III 4,00

2 Kali Pemanasan

I 0,60 0,65 0,05 7,69 II 0,70

III 0,65

5 Kali Pemanasan

I 0,50 0,55 0,05 8,25 II 0,59

III 0,55 8 Kali

Pemanasan I -0,35

-0,32 0,03 -7,78 II -0,30

III -,032

12. Data Hasil Perhitungan Warna Tingkah Kekuningan (b) Pada Minyak Goreng

Sawit Suhu 200°C

Perlakuan Minyak Kelapa Sawit

Ulangan Kekuningan

(b) Rata-Rata

Standar Deviasi

CV

Kontrol I 9,00

9,37 0,40 4,31 II 9,80 III 9,30

2 Kali Pemanasan

I 8,60 8,77 0,15 1,74 II 8,90

III 8,80

5 Kali Pemanasan

I 7,10 7,47 0,40 5,41 II 7,40

III 7,90 8 Kali

Pemanasan I 6,70

6,47 0,21 3,22 II 6,40

III 6,30

Page 111: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

95

Lampiran 4. Hasil Analisis ANOVA Menggunakan Progam SPSS Versi 21

1. Tabel Hasil Analisis ANOVA Bilangan Asam Menggunakan Progam SPSS

Versi 21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model .083a 5 .017 23.250 .000

Intercept 9.916 1 9.916 13836.403 .000

Suhu .001 1 .001 1.984 .184

Frekuensi_pemanasan .078 2 .039 54.473 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan .004 2 .002 2.659 .111

Error .009 12 .001

Total 10.008 18

Corrected Total .092 17

Keterangan : R Squared=.906 (Adjusted R Squared= .867)

2. Tabel Hasil Analisis ANOVA Bilangan Peroksida Menggunakan Progam

SPSS Versi 21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model 42.431a 5 8.486 310.979 .000

Intercept 344.444 1 344.444 12622.125 .000

Suhu 10.549 1 10.549 386.581 .000

Frekuensi_pemanasan 29.349 2 14.675 537.747 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan 2.533 2 1.267 46.411 .000

Error .327 12 .027

Total 387.203 18

Corrected Total 42.759 17

Keterangan : R Squared=.992 (Adjusted R Squared= .989)

Page 112: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

96

3. Tabel Hasil Analisis ANOVA Bilangan TBA Menggunakan Progam SPSS

Versi 21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model 2.246a 5 .449 201.662 .000

Intercept 44.023 1 44.023 19761.160 .000

Suhu .022 1 .022 9.898 .000

Frekuensi_pemanasan 2.125 2 1.063 479.980 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan .099 2 .050 22.227 .000

Error .027 12 .002

Total 46.297 18

Corrected Total 2.273 17

Keterangan : R Squared=.988 (Adjusted R Squared= .983)

4. Tabel Hasil Analisis ANOVA Bobot Jenis Menggunakan Progam SPSS

Versi 21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model .015a 5 .003 61.000 .000

Intercept 14.634 1 14.634 292681.000 .000

Suhu .002 1 .002 40.111 .000

Frekuensi_pemanasan .013 2 .006 127.000 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan .001 2 .000 5.444 .021

Error .001 12 5.000E-

005

Total 14.650 18

Corrected Total .016 17

Keterangan : R Squared=.962 (Adjusted R Squared= .946)

Page 113: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

97

5. Tabel Hasil Analisis ANOVA Viskositas Menggunakan Progam SPSS Versi

21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model .3863.611a 5 772.772 2318.167 .000

Intercept 462401.389 1 462401.389 1387204.167 .000

Suhu 264.500 1 264.500 793.500 .000

Frekuensi_pemanasan 3442.111 2 1721.056 5163.167 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan 157.000 2 78.500 235.500 .000

Error 4.000 12 .333

Total 466269.000 18

Corrected Total 3867.661 17

Keterangan : R Squared=.999 (Adjusted R Squared= .999)

6. Tabel Hasil Analisis ANOVA Warna Tingkat Kecerahan (L) Menggunakan

Progam SPSS Versi 21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model 8.733a 5 1.747 27.339 .000

Intercept 13744.820 1 13744.820 215136.313 .000

Suhu 4.702 1 4.702 73.600 .000

Frekuensi_pemanasan 3.463 2 1.732 27.104 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan .568 2 .284 4.443 .036

Error .767 12 .064

Total 13754.320 18

Corrected Total 9.500 17

Keterangan : R Squared=.919 (Adjusted R Squared= .886)

Page 114: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

98

7. Tabel Hasil Analisis ANOVA Warna Kemerahan (a) Menggunakan Progam

SPSS Versi 21

Source

Type III

Sum of

Squares

df Mean

Square F Sig.

Corrected Model 14.463a 5 2.893 521.182 .000

Intercept 5.445 1 5.445 981.081 .000

Suhu 12.734 1 12.734 2294.490 .000

Frekuensi_pemanasan .874 2 .437 78.766 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan .854 2 .427 76.944 .000

Error .067 12 .006

Total 19.974 18

Corrected Total 14.529 17

Keterangan : R Squared=.995 (Adjusted R Squared= .994)

8. Tabel Hasil Analisis ANOVA Warna Kekuningan (b) Menggunakan Progam

SPSS Versi 21

Source Type III Sum of

Squares df

Mean Square

F Sig.

Corrected Model 35.089a 5 7.018 101.058 .000 Intercept 728.347 1 728.347 10488.200 .000

Suhu 26.161 1 26.161 376.712 .000 Frekuensi_pemanasan 7.164 2 3.582 51.584 .000

Suhu*frekuensi_pemanasan 1764 2 .882 12.704 .001 Error .833 12 .069 Total 764.270 18

Corrected Total 35.923 17

Keterangan : R Squared=.977(Adjusted R Squared= .964)

Page 115: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

99

Lampiran 5. Uji Lanjut BNT atau DMRT Menggunakan Progam SPSS Versi 21

1. Uji Lanjut LSD atau BNT Pengaruh Frekuensi Pemanasan Terhadap

Bilangan Asam

Df KT Galat T (α df galat) BNT

12 0,001 2,681 0,069

Page 116: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

100

2. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Bilangan Peroksida

df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,027

4,32 0,40

4,55 0,42

4,68 0,43

4,76 0,44

4,84 0,45

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A1B1 2,60 a

A1B2 3,10 b

A2B1 3,17 b

A3B1 5,06 c

A2B2 5,43 d

A3B2 6,89 e

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 117: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

101

3. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Bilangan TBA

df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,002

4,32 0,10

4,55 0,10

4,68 0,11

4,76 0,11

4,84 0,11

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A2B1 1,08 a

A1B1 1,20 b

A1B2 1,52 c

A2B2 1,60 c

A1B3 1,86 d

A2B3 2,11 e

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 118: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

102

4. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Bobot Jenis

Df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,00001

3,08 0.030

3,23 0,0032

3,33 0,0034

3,36 0,0036

3,40 0,0034

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A1B1 0,86 a

A2B1 0,87 ab

A1B2 0,88 b

A2B2 0,91 c

A1B3 0,92 c

A2B3 0,94 d

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 119: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

103

5. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Viskositas

Df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,33

4,32 1,43

4,55 1,51

4,68 1,55

4,76 1,58

4,84 1,61

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A1B1 142,33 a

A2B2 145,33 b

A2B1 151,33 c

A2B2 167,33 d

A3B1 175,33 e

A3B2 179,66 f

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 120: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

104

6. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Warna Tingkat Kecerahan (L)

Df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,064

3,08 0,054

3,23 0,465

3,33 0,479

3,36 0,483

3,40 0,489

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A3B1 26,73 a

A2B1 27,16 Ab

A3B2 27,30 B

A1B1 27,46 B

A1B2 28,53 C

A2B2 28,60 C

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 121: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

105

7. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Warna Kemerahan (a)

df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,006

4,32 0.19

4,55 0,20

4,68 0,20

4,76 0,21

4,84 0,21

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A1B1 -1,43 A

A3B1 -1,40 A

A2B1 -1,34 A

A3B2 -0,32 B

A2B2 0,54 C

A1B2 0,65 C

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 122: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

106

8. Uji Lanjut DMRT Pengaruh Suhu dan Frekuensi Pemanasan Terhadap

Warna Kekuningan (b)

df Kata Galat R(p,v,a) DMRTα

12 0,069

4,32 0,65

4,55 0,68

4,68 0,70

4,76 0,71

4,84 0,73

Perlakuan Rata-Rata Notasi

A3B1 4,83 A

A2B1 5,03 A

A1B1 5,60 B

A3B2 6,46 C

A2B2 7,46 D

A1B2 8,76 E

Keterangan: Nilai rerata diurutkan berdasarkan nilai terkecil ke nilai terbesar

Page 123: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

107

Lampiran 6. Dokumentasi

Minyak Kelapa Sawit Diberi Perlakuan

Pemanasan dengan Suhu 1800C dan 200

0C

Pengujian Bilangan Asam Minyak

Goreng Kelapa Sawit yang Sudah

Diberi Perlakuan

Pengujian Bilangan Peroksida Minyak

Goreng Kelapa Sawit yang Sudah Diberi

Perlakuan

Pengujian Bilangan TBA Minyak

Goreng Kelapa Sawit yang Sudah

Diberi Perlakuan

Page 124: pengaruh suhu dan frekuensi pemanasan berulang

108

Bobot Jenis Minyak Goreng Kelapa

Sawit yang Sudah Diberi Perlakuan

Pengujian Viskositas Minyak

Goreng Kelapa Sawit yang Sudah

Diberi Perlakuan

Hasil Perbandingan Perlakuan

Pemanasan Minyak Kelapa Sawit

dengan Frekuensi Pemanasan 2 Kali, 5

Kali, dan 8 Kali

Pengujian Warna Minyak Goreng

Kelapa Sawit yang Sudah Diberi

Perlakuan dengan Menggunakan

Color Reader