PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PENGENDALIAN GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS KEDELAI PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN A24110157 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
55
Embed
PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PENGENDALIAN … · Perlakuan pengolahan tanah meliputi bedengan 2 m tanpa olah tanah (L1), lebar bedeng 2 m dengan olah tanah (L2), lebar bedeng 4 m
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENGARUH PENGOLAHAN TANAH DAN PENGENDALIAN GULMA
TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS KEDELAI
PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN
A24110157
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Pengolahan
Tanah dan Pengendalian Gulma Terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Kedelai
pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut adalah benar karya saya dengan
arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan salam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor
Bogor, Agustus 2016
Robinhood Gerado Juniver Siahaan
A24110157
ii
ABSTRAK
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN. Pengaruh Pengolahan Tanah
dan Pengendalian Gulma terhadap Pertumbuhan dan Produktivitas Kedelai pada
Budidaya Januh Air di Lahan Pasang Surut. Dibimbing oleh MUNIF
GHULAMAHDI dan SOFYAN ZAMAN
Kedelai merupakan salah satu komoditas pertanian yang sangat dibutuhkan
masyarakat Indonesia. Namun produksi kedelai nasional hanya mampu memenuhi
60 % kebutuhan nasional. Rendahnya produktivitas dan menurunnya luas panen
merupakan salah satu faktor yang membuat kebutuhan kedelai tidak bisa dipenuhi.
Penggunaan lahan suboptimal merupakan salah satu alternatif yang dapat
digunakan. Lahan pasang surut merupakan lahan suboptimal yang cocok untuk
budidaya kedelai. Kendala pada lahan pasang surut dapat diatasi dengan teknik
budidaya jenuh air. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga September
2015 di Desa Muliasari, Banyuasin, Sumatra Selatan. Penelitian ini menggunakan
lahan pasang surut tipe B. Rancangan percobaan yang digunakan adalah split-plot
dua faktor. Perlakuan pengolahan tanah meliputi bedengan 2 m tanpa olah tanah
(L1), lebar bedeng 2 m dengan olah tanah (L2), lebar bedeng 4 m tanpa olah tanah
(L3), dan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah (L4). Perlakuan pengendalian gulma
meliputi tanpa pengendalian (C0), pengendalian manual (C1), pengendalian gulma
dengan herbisida sistemik berbahan aktif Glyfosat 3 minggu sebelum tanam +
herbisida kontak berbahan aktif paraquat 1 minggu sebelum tanam (C2). Hasil
penelitan ini menunjukkan bahwa perlakuan lebar bedeng 2 m dan 4 m dengan olah
tanah (L2 dan L4) menunjukkan pertumbuhan kedelai yang lebih baik.
Produktivitas tertinggi terdapat pada perlakuan lebar bedeng 4 m dengan olah tanah
yakni sebesar 3,23 ton ha-1. Perlakuan pengendalian manual menunjukkan hasil
pertumbuhan kedelai yang paling baik dibandingkan perlakuan lainnya, yakni
sebesar 3,22 ton ha-1. Namun produktivitas pada perlakuan pengendalian manual
tidak berbeda nyata dengan perlakuan pengendalian dengan herbisida sistemik
berbahan aktif glyfosat 3 minggu sebelum tanam + herbisida kontak berbahan aktif
paraquat 1 minggu sebelum tanam.
Kata kunci : kedelai, herbisida, lebar bedeng, pengolahan lahan
iii
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN. Effect of Soil Tillage and Weed
Control on the Growth and Productivity Soybean with Saturated Soil Cultur on
Tidal Swamp. Supervised by MUNIF GHULAMAHDI and SOFYAN ZAMAN
Soybean is one of the important agricultural commodities for Indonesian
people. However, the national soybean products only able to meet 60% of national
needs. Low productivity and a decreasing in harvested area is one factor that makes
soybean needs cannot be met. Sub-optimal land is one of alternative that can be
used. Tidal land are suboptimal land suitable for cultivation of soybean. Constraints
on the tidal land cultivation techniques can be overcome with water saturated. This
research was conducted in April to September 2015 in the Muliasari Village,
Banyuasin, South Sumatra. This research uses tidal area type b. Experimental
design used was a split-lot-2 factor. processing treatment beds 2 meters of land
covering no-tillage (L1), width of 2 meters plot with tillage (L2), plot 4 meters wide
no-tillage (L3), and a width of 4 meters plot with tillage (L4). Weed control
treatments include without control (C0), manual control (C1), control of weeds with
a systemic herbicide active ingredient gly-fosat 3 weeks before planting-contact
herbicide active ingredient paraquat one week before planting (C2). This research
was conducted in April to August 2015 at Muliasari Village, Banyuasin Distric,
South Sumatra Province with the type B tidal land. This experimental design used
a split-plot with two factor and three replications. This research result showed that
the soybean growth on the bed width 2 m and 4 m with soil tillage was better than
the other treatment. The highest productivity was obtained on the bed with 4 m with
soil tillage (3,23 ton ha-1). The weed treatment showed that manual weed control
has better result than other treatment. The best productivity showed in manual weed
control (3,23 ton ha-1), but this treatment is not significalny different with the
treatment using glyfosat 3 week before planting + contac herbicide with paraquat
as active substance 1 week before planting.
Keyword : soybean, herbicide, bed width, tillage
iv
PENGARUH PENGOLAHAN TANAH dan PENGENDALIAN
GULMA TERHADAP PERTUMBUHAN dan
PRODUKTIVITAS KEDELAI pada BUDIDAYA JENUH AIR di
LAHAN PASANG SURUT
ROBINHOOD GERALDO JUNIVER SIAHAAN
A24110157
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura
DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
vi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberi kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pengolahan Tanah dan Pengendalian Gulma Terhadap
Pertumbuhan dan Produktivitas Kedelai pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang
surut” mulai dilaksanakan sejak bulan April hingga September 2015 di Desa
Muliasari, Kec. Tanjung Lago, Kab. Banyuasin, Sumatera Selatan.
Terimakasih penulis ucapkan kepada bapak Prof. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi
M.S dan Ir. Sofyan Zaman, M.P selaku dosen pembimbing yang terlah memberikan
pengarahan, bimbingan, dan saran selama proses penyelesaian skipsi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Djoni Siahaan, Jeanny Makaenas
selaku orang tua dan saudara Rodriquez Siahaan atas seluruh kasih sayang,
motivasi, dan perhatian yang diberikan. Penulis juga menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Bapak Wakidi, Bu yati, Pak Muh, Pak Romlan, Mas Karman,
Pak Bandi, dan penduduk Desa Mulyasari yang sudah membantu selama proses
penelitian berlangsung. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Pak Danner
Sagala, Saudari Eka, Boanerges Bogor, Tiberias Plaza Jambu Dua, AVENGERS,
AGH 48, REBORN SW, beserta keluarga dan semua pihak yang sudah turut
membantu dalam pembuatan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Oktober 2016
Robinhood Geraldo Juniver Siahaan
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR TABEL viii DAFTAR LAMPIRAN viii PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1 Tujuan 2 Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2 Botani Kedelai 2 Lingkungan Hidup Kedelai 3 Lahan Pasang Surut 3 Budidaya Jenuh Air 4
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai 5 Herbisida 5 Glifosat 6
Paraquat 6 METODE 7
Tempat dan Waktu 7
Bahan dan Alat 7
Metode Penelitian 7 Pelaksanaan Percobaan 8 Pengamatan 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Kondisi Umum 10
Pertumbuhan Kedelai 11 Komponen Produksi 16 Pertumbuhan Gulma pada Lahan Percobaan 19 Analisis Usahatani Kedelai 21
KESIMPULAN DAN SARAN 22 Kesimpulan 22 Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 26 RIWAYAT HIDUP 43
viii
DAFTAR TABEL
1. Tinggi dan jumlah daun berbagai pengolahan tanah 12
2. Tinggi dan jumlah daun pada perlakuan pengendalian gulma 12
3. Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi 13
4. Interaksi pengaruh pengolahan tanah dan pengendalian gulma pada tinggi 14
5. Bobot kering tanaman pada pengaruh perlakuan pengolahan tanah 14
6. Bobot kering tanaman pada pengaruh perlakuan pengendalian gulma 15
7. Luas daun pada perlakuan pengolahan tanah 15
8. Luas daun pada perlakuan pengendalian gulma 16
9. Komponen Produksi pada perlakuan pengolahan tanah 17
10. Komponen Produksi pada perlakuan pengendalian gulma 18
11. Gulma dominan sebelum tanam 20
12. Pengaruh cara pengendalian gulma terhadap komposisi gulma dominan 20
13. Pengaruh pengolahan tanah terhadap komposisi gulma dominan 21
14. Perbandingan Analisis Usahatani/ha untuk setiap perlakuan 22
DAFTAR GAMBAR
1. Struktur kimia Glifosat 6
2. Struktur kimia paraquat 7
DAFTAR LAMPIRAN
1. Denah petak percobaan 26
2. Teknik pengambilan ubinan 27
3. Data Analisis Tanah Sebelum Tanam 28
4. Data BMKG bulan April hingga Oktober 2015 (BMKG 2015) 29
5. Uji beda nyata perlakuan pengolahan tanah dan pegendalian gulma
terhadap berbagai peubah yang diamati 30
6. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 31
7. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 32
8. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 33
9. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 34
ix
10. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 35
11. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 2 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 36
12. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 37
13. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 38
14. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
tanpa olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 39
15. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan tanpa pengendalian gulma 40
16. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma secara manual 41
17. Analisis usahatani ha-1 untuk interaksi perlakuan lebar bedeng 4 m
dengan olah tanah dengan pengendalian gulma menggunakan herbisida 42
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kedelai (Glycine max (L) Merril) merupakan salah satu komoditas pertanian
yang sangat dibutuhkan masyarakat di Indonesia, kebutuhan kedelai terus
meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Namun, hal ini tidak
diikuti dengan jumlah produksi kedelai di Indonesia sehingga Indonesia harus
melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelainya. Menurut BPS (2015),
produksi kedelai tahun 2012, dan 2013 berturut- turut sebanyak 843.153 ton, dan
779.992 ton. Selain itu, luas lahan yang digunakan untuk memproduksi kedelai
selalu mengalami penurunan. Luas panen pada tahun 2012 dan 2013 sebesar
567.624 dan 554.132 ha.
Penggunaan lahan – lahan yang berpotensi seperti lahan rawa merupakan
salah satu alternatif yang dapat digunakan. Menurut BBSDL (2006) Luas lahan
pasang surut di Indonesia diperkirakan sebesar 20,13 juta ha. Lahan pasang surut
yang siap digunakan untuk lahan pertanian sebesar 9,53 juta ha. Persebaran lahan
rawa di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua, serta
sebagian kecil di Pulau Sulawesi.
Lahan pasang surut merupakan lahan yang berpotensi menjadi lahan
pertanian. Namun budidaya kedelai dengan menggunakan lahan pasang surut
memiliki beberapa kendala. Menurut Suastika dan Sutriadi (2001) rendahnya
produktivitas kedelai di lahan pasang surut disebabkan oleh tingginya kadar pirit,
Al, Fe, dan Mn serta rendahnya ketersediaan hara P dan K. Selain itu juga menurut
Noor (2004), lahan pasang surut yang dikeringkan akan membuat pirit yang ada
menjadi teroksidasi. Pada saat pirit teroksidasi menyebabkan lahan tersebut
memiliki pH kurang dari tiga. Hal ini disebabkan karena reaksi pirit teroksidasi
menghasilkan banyak ion H+.
Permasalahan lahan pasang surut dapat ditangani dengan menggunakan
teknik budidaya jenuh air. Teknik budidaya ini merupakan teknik penanaman
dimana air diberikan secara terus – menerus melalui parit – parit disekitar petak
pertanaman. Menurut Ghulamahdi (2011), budidaya kedelai di lahan pasang surut
dengan menggunakan sistem budidaya jenuh air mampu meningkatkan
produktivitas kedelai varietas Tanggamus mencapai 4,8 ton ha-1.
Perbaikan – perbaikan teknik penanaman seperti pengaturan lebar bedeng
dan pengolahan tanah juga dapat dilakukan untuk membuat budidaya kedelai di
lahan pasang surut menjadi lebih efisien sehingga dapat meningkatkan produksi
kedelai. Pengaturan lebar bedengan perlu dilakukan untuk mengurangi penggunaan
tenaga kerja dalam pembuatan parit. Namun perlu diperhatikan juga kemampuan
air meresap dari parit ke seluruh bagian bedengan. Menurut penelitian Sahuri
(2011) penggunaan bedengan dengan lebar 2 m dan 4 m masih memberikan hasil
yang baik dibandingkan lebar bedengan yang lain. Pengaturan pengolahan tanah
perlu diperhitungkan agar teknik budidaya tanaman menjadi lebih efisien.
Menurut Moenandir (1988) gulma merupakan tanaman penggangu yang
mampu mempengaruhi tanaman budidaya. Adanya persaingan dengan gulma akan
membuat pertumbuhan maupun hasil akhir tanaman budidaya mengalami
penurunan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap gulma. Salah
2
satu kendala yang dihadapi dalam mengendalikan gulma di lahan pasang surut
adalah masih tingginya biaya dan tenaga kerja yang diperlukan. Penentuan teknik
dan cara pengendalian yang tepat mampu membuat budidaya kedelai di lahan
pasang surut menjadi lebih efisien.
Tujuan
Tujuan penelitian ini diadakan adalah untuk mengetahui pengaruh
pengolahan tanah dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas
kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Pengaruh pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai
2. Pengaruh pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan produktivitas kedelai
3. Interaksi pengolahan tanah dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan
produktivitas kedelai
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Kedelai
Kedelai (Glycine max (L) Merril) merupakan tanaman pangan yang
termasuk dalam famili Leguminoceae. Kedalaman perakaran dapat mencapai 2 m,
sedangkan penyebaran kesamping sejauh 1,5 m. Akar tanaman kedelai memiliki
ciri khusus yaitu adanya interaksi simbiosis antara bakteri nodul akar (Rhizobium
Japonicum) dengan akar tanaman kedelai yang menyebabkan terbentuknya bintil
akar. Bintil akar ini memiliki peranan yang sangat penting dalam proses fiksasi N2
yang sangat dibutuhkan oleh tanaman kedelai. Interaksi simbiosis ini yang
membuat kedelai tidak memerlukan banyak pupuk nitrogen pada masa awal
pertumbuhannya (Adisarwanto, 2014).
Kedelai juga merupakan tanaman herba yang tumbuh tegak. Batang kedelai
memiliki buku yang akan menjadi tempat tumbuhnya bunga. Jumlah buku pada
tanaman ini berkisar 15 – 20 buku dengan jarak berkisar 2 – 9 cm. Pada batang
tanaman tersebut biasaya akan muncul cabang. Bentuk daun kedelai ada dua yaitu
bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Kedelai memiliki daun yang bersifat majemuk
berdaun tiga (Trifoliat) pada tangkai daun (Purwono dan Purnamawati, 2007).
Warna bunga kedelai biasanya putih dan ungu. Setelah 7 – 10 hari sejak bunga
pertama muncul, polong kedelai akan terbentuk untuk pertama kalinya. Polongnya
berwarna hijau saat masih muda dan akan berubah menjadi kuning kecoklatan saat
masak (Purwono dan Purnamawati, 2007).
3
Lingkungan Hidup Kedelai
Tanaman kedelai juga mampu tumbuh pada tanah dengan tekstur gembur,
lembab, tidak tergenang air dan pH 6 – 6,8. Tanaman kedelai yang ditanam pada
pH dibawah 5,0 membuat pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi berjalan
kurang baik. Hal ini akan menghambat pertumbuhan tanaman kedelai karena
keracunan aluminium (Deptan, 2013). Tanah yang cocok untuk pertumbuhan
kedelai yaitu, alluvial, regosol, grumosol, latsol dan andosol.
Suhu yang optimal untuk pertumbuhan kedelai sekitar 20 – 30 0C.
Kelembapan udara yang optimal untuk tanaman kedelai berkisar 75 – 90 %.
Kelembapan tanah juga perlu diperhatikan, penurunan kelembapan tanah dari 90 %
menjadi 50 % dapat menurunkan hasil biji kedelai sekitar 30 – 40 %. Ketinggian
tempat yang baik untuk kedelai berbiji sekitar 0,5 – 300 m di permukaan laut
(Deptan, 2013).
Tanaman kedelai juga memerlukan curah hujan optimal sebesar 100- 200
mm/bulan. Kekurangan atau kelebihan air akan berpengaruh terhadap produksi
kedelai. Saluran drainase yang baik merupakan cara untuk mengurangi pengaruh
negatif dari kelebihan air. Tanaman kedelai memerlukan air yang banyak pada
tahap awal vegetatif, tahap pembungaan, dan pengisian polong. Namun perlu
diperhatikan dengan baik bahwa curah hujan yang tinggi pada tahap pengisian
polong dapat mengakibatkan polong menjadi busuk (Adisarwanto, 2014).
Lahan Pasang Surut
Lahan pasang surut merupakan daerah rawa yang mendapat pengaruh
langsung atau tidak langsung oleh pasang surut air laut atau sungai sekitarnya.
Pasang surut air laut atau sungai dapat terjadi secara langsung pada saat pasang
tunggal atau pasang ganda. Lahan pasang surut memiliki beberapa pembagian tipe
lahan berdasarkan tipe luapan airnya. Lahan tipe A adalah lahan pasang surut yang
selalu terluapi oleh air pada saat pasang besar ataupun pasang kecil. Lahan tipe B
adalah lahan pasang surut surut yang hanya terluapi air saat terjadi pasang besar
saja. Tipe lahan C adalah lahan pasang surut yang tidak terluapi oleh air walaupun
terjadi pasang besar dan kedalaman muka air tanah < 50 cm dari permukaan tanah.
Tipe lahan D adalah lahan pasang surut yang tidak terluapi air saat terjadi pasang
besar dan pasang kecil dan memiliki kedalaman muka air > 50 cm dari permukaan
tanah (Noor, 2004).
Menurut Noor (2004), lahan pasang surut dapat menjadi sumber
pertumbuhan baru dalam produksi pertanian karena memiliki keuntungan antara
lain: 1) ketersediaan air yang melimpah, 2) topografi nisbi datar, 3) letak yang tidak
jauh dengan sungai, dan 4) lahan yang masih luas. Namun lahan pasang surut
memiliki beberapa kendala yang harus diperhatikan yaitu: 1) sifat fisika yang jelek,
2) sifat kimia dengan kemasaman yang tinggi, 3) kandungan pirit tinggi, 4) kahat
hara makro dan mikro. Menurut Suriadikarta (2005), kendala – kendala yang ada
dilahan pasang surut dapat diatasi dengan menggunakan teknologi seperti
pengelolaan tanah, tata air mikro, ameliorasi tanah dan pemupukan, penggunaan
varietas yang adaptif, pengendalian hama dan penyakit, dan model usaha tani.
Lahan sulfat masam termasuk salah satu bagian dari lahan rawa pasang
surut. Tanah ini mengandung pirit dengan kedalaman > 50 cm. Kandungan pirit ini
4
bila terbuka ke udara akan teroksidasi membentuk asam sulfat dan oksida besi
sehingga tanah menjadi beracun. Pirit adalah mineral berkristal oktahedral,
termasuk sistem kubus, dari senyawa besi-sulfida (FeS2) yang terbentuk di dalam
endapan marin kaya bahan organik, dalam lingkungan air laut/payau yang
mengandung senyawa sulfat (SO4) larut (BBSDL, 2006). Adanya lapisan pirit
dicirikan dengan adanya warna kuning jerami pada bongkahan tanah, adanya warna
reduksi kelabu atau kelabu kehijauan, dan adanya bau H2S pada tanah yang diolah
(Barchia, 2006). Reaksi oksidasi pirit menurut Noor (2004) adalah sebagai berikut:
FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O → Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+
FeS2 + 14Fe3+ 8H2O → 15Fe2+ 2SO42- + 16H+
Menurut Noor (2004), setiap 1 mol pirit apabila teroksidasi akan
membebaskan 4 mol ion H+, dan apabila ferri (Fe3+) terbentuk akan menjadi
oksidator sehingga membebaskan 16 mol H+ ke dalam tanah. Hal inilah yang
membuat tanah menjadi sangat masam. Tanah yang memiliki pH rendah akan
membuat senyawa Al3+, Fe2+, dan Mn2+ terlarut dalam tanah dan menjadi racun bagi
tanaman. Menurut Barchia (2006) Laju oksidasi pirit dipengaruhi oleh pH,
konsentrasi oksigen, suhu, kelembaban tanah, dan keseimbangan Fe(II) dan Fe(III)
di dalam sistem. Menurut Widjaja-Adhi (1986) di dalam Suriadikarta (2005) pirit
yang berada di dalam lumpur anaerob tidak akan membahayakan karena pirit dalam
kondisi stabil. Namun pada saat lumpur mengering akan membuat pirit dalam
keadaan tidak stabil.
Budidaya Jenuh Air
Budidaya jenuh air merupakan teknik budidaya dimana tanaman diberikan
irigasi secara terus menerus dan membuat tinggi muka airnya tetap. Hal ini
membuat lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Air diberikan sejak tanaman
kedelai berumur 14 hari sampai polong kedelai berwarna cokelat (Hunter, 1980
dalam Ghulamahdi et al., 2006). Menurut Ghulamahdi (2011) teknik budidaya
kedelai di lahan pasang surut yang menggunakan teknik budidaya jenuh air dapat
meningkatkan produktivitas kedelai dibandingkan dengan budidaya biasa.
Indradewa (2004) juga menyatakan pemberian genangan air di saluran mampu
meningkatkan hasil biji kedelai 20% sampai 80%. BBSDL (2006) menyatakan
muka air tanah yang dipertahankan di atas lapiran pirit merupakan salah satu
strategi pengelolaan air di lahan pasang surut.
Budidaya jenuh air dapat mengatasi kendala yang ada di lahan pasang surut
karena tinggi muka air tanah yang tepat membuat lapisan pirit pada lahan pasang
surut dalam kondisi anaerob dan tidak bisa teroksidasi. Menurut Ghulamahdi
(2011) kedalaman muka air 20 cm dengan lebar saluran air 30 cm dan dalam saluran
25 cm untuk Variestas Tanggamus mampu menghasilkan kedelai dengan
produktivitas 4,8 ton/ha.
Kedalaman muka air yang tetap mampu menghilangkan dampak negatif
pada tanaman kadelai karena kedelai merupakan tanaman yang tidak tahan
tergenang. Menurut Troedson (1983) dalam Ghulamahdi (2011) muka air yang
tetap membuat tanaman kedelai akan beraklimatisasi dan kemudian akan
memperbaiki pertumbuhannya. Tahapan aklimatisasi ini terjadi selama 2 minggu
5
sejak pemberian irigasi. Pada tahap ini hasil fotosintesis akan dialokasikan ke
bagian akar tanaman untuk pembentukan akar baru. Adanya pembentukan akar baru
ini akan meningkatkan aktivitas bakteri penambat N. Menurut Ghulamahdi et al.
(2006) budidaya jenuh air mampu meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N,
P, K daun, bobor kering bintil, akar, batang, daun, polong serta biji dibandingkan
budidaya kering.
Pengendalian Gulma pada Tanaman Kedelai
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh tidak pada tempat yang
dikehendaki. Gulma juga termasuk dalam oraganisme pengganggu tanaman (OPT)
selain hama dan penyakit. Persyaratan tumbuh yang sama seperti tanaman lainnya
mengakibatkan terjadinya asosiasi gulma di daerah sekitar tanaman budidaya.
Gulma yang berasosiasi ini akan memperebutkan bahan – bahan yang dibutuhkan
untuk tumbuh (Moenandir, 1988). Kemampuan reproduksi yang tinggi,
pertumbuhan awal yang cepat, dan siklus hidup yang lama membuat gulma menjadi
kompetitor yang tangguh. Gulma ini akan bersaing dengan tanaman untuk
memperebutkan hara di tanah, air, cahaya, karbondioksida, dan ruang tumbuh
(Ashton and Monaco, 1991).
Gulma perlu dikendalikan agar tidak mengganggu tanaman yang
dibudidayakan. Gulma yang berasosiasi dengan tanaman budidaya mampu
menurunkan jumlah hasil (kuantitas), menurunkan mutu hasil (kualitas), mampu
meracuni tanaman dengan alelopati, mampu menurunkan nilai tanah, dan merusak
dan menghambat penggunaan alat – alat mekanik (Semobodo, 2010; Sastroutomo,
1990). Hal ini membuat diperlukan adanya tindakan pengendalian gulma pada
praktek budidaya pertanian. Pengendalian gulma adalah adanya populasi gulma
yang dimatikan pada stadia perioda kristis dalam siklus hidup tanaman yang
dibudidayakan. Pengendalian gulma ini bertujuan untuk mengendalikan gulma di
waktu gulma benar – benar memberi pengaruh yang buruk bagi tanaman. Beberapa
cara untuk mengendalikan gulma adalah pengendalian secara preventif atau
pencegahan, pengendalian secara mekanik, kultur teknik, hayati, kimia, dan terpadu
(Moenandir, 2010).
Pengendalian gulma secara kimiawi ialah pengendalian gulma dengan
menggunakan bahan kimiawi yang dapat menekan bahkan mematikan gulma.
Bahan kimiawi itu biasa disebut herbisida. Keuntungan yang diperoleh dengan cara
pengendalian ini adalah mampu menekan gulma yang peka, dapat mengendalikan
gulma sejak awal, mengurangi resiko kerusakan akar saat penyiangan gulma secara
manual, dapat dilakukan pada waktu yang singkat dan tenaga kerja yang dibutuhkan
sedikit (Moenandir, 2010).
Herbisida
Herbisida adalah bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau
mematikan tumbuhan. Herbisida mampu mempengaruhi satu atau lebih proses –
proses yang sangat diperlukan tumbuhan dalam kelangsungan hidupnya. Herbisida
bukan hanya bersifat racun terhadap gulma tetapi terhadap tanaman juga (Sembodo,
2010). Herbisida berdasarkan waktu aplikasinya dibedakan menjadi herbisida
preplanting (sebelum tanam), pre emergence (sebelum tumbuh), dan post
6
emergence. Herbisida preplanting merupakan herbisida yang diaplikasikan sebelum
tanaman ditanam. Herbisida pre-emergence merupakan herbisida yang diaplikasi
setelah tanaman ditanam dan sebelum gulma tumbuh. Herbisida post-emergence
merupakan herbisida yang diaplikasikan setelah tanaman dan gulma tumbuh
(Ashton and Monaco, 1991).
Herbisida berdasarkan tipe translokasi herbisida dalam tumbuhan dibagi
menjadi dua yaitu herbisida selektif dan herbisida kontak. Herbisida sistemik
merupakan herbisida yang dialirkan dari tempat terjadinya kontak pertama ke
bagian lainnya. Herbisida ini akan dibawa pada titik tumbuh. Herbisida ini biasanya
diaplikasikan melalu tajuk. Herbisida kontak mengendalikan gulma dengan
mematikan gulma yang terkena oleh herbisida ini. Herbisida ini tidak
ditranslokasikan ke bagian tubuh gulma yang lain (Sembodo, 2010). Translokasi
herbisida dalam tumbuhan dapat melalui simplastik dan apoplastik.
Glifosat
Glifosat memiliki nama kimiawi N-(phosphonomethyl) glycine. Herbisida
ini termasuk herbisida yang non selektif dan mempunyai kemampuan untuk
memerantas tumbuhan yang sangat luas (Ashton and Monaco, 1991). Herbisida
berdasarkan bahan aktifnya tergolong dalam senyawa organofosforus. Herbisida ini
tidak aktif ketika diaplikasikan ditanah karena mudah terikat dengan koloid tanah
(Sembodo, 2010).
Glifosat sangat efektif bila diaplikasikan melalui daun. Herbisida ini bekerja
pada saat daun aktif sehingga daun dapat menyerap herbisida. Setelah herbisida ini
diserap, herbisida ini akan ditranslokasikan keseluruh jaringan tanaman. Herbisida
ditranslokasi secara simplastik dan bisa juga secara apoplastik (Ashton and
Monaco, 1991). Herbisida ini akan terdegradasi dengan cepat di tanah. Herbisida
ini berkerja dengan menghambat biosintesis dari asam amino fenil alanin dan asam
amino aromatik. (Klingman et al., 1975). Herbisida ini akan menunjukkan gejala
umum klorosis yang diikuti dengan nekrosis pada tumbuhan yang diberi herbisida
ini. Herbisida ini bekerja dalam tumbuhan dengan cara menghambat proses sintesa
protein. Herbisida ini menghentikan penggabungan asam amno aromatic (Ashton
and Monaco, 1991). Gejala keracunan yang ditunjukan berkembang secara perlahan
dan baru bisa diamati pada 1 – 3 minggu setelah aplikasi (Klingman et al., 1975).
Gambar 1. Struktur kimia glifosat
Paraquat
Paraquat merupakan herbisida yang tergolong dalam herbisida berbahan
aktif bipiridilium. Herbisida ini termasuk dalam golongan herbisida pasca tumbuh.
Herbisida ini tidak aktif apabila diaplikasikan melalui tanah dan bersifat tidak
selektif. (Sembodo, 2010). Gejala umum setelah tumbuhan diaplikasikan herbisida
7
ini adalah adanya efek bakar dalam waktu yang relative singkat dan diikuti dengan
layu daun. Layunya daun pada tanaman diakibatkan karena herbisida ini mampu
merusak membran pada sel dan kloroplas. Cahaya, oksigen dan klorofil merupakan
prasarana yang diperlukan untuk menunjukkan efek racun tersebut. (Asthon and
Crafts, 1973). Paraquat memiliki nama umum yaitu 1,1-dimethyl-4, 4-
bipyridynium. Herbisida ini menghasilkan hydrogen peroksida yang bekerja untuk
merusak dinding sel (Ashton and Monaco, 1991).
Gambar 2. Struktur kimia paraquat
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Muliasari Kecamatan Tanjung Lago,
Kabupaten Banyuasin Palembang Sumatera Selatan pada bulan April sampai
September 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Tanggamus, herbisida sistemik berbahan aktif Glifosat pada volume semprot 550
kg ha-1, herbisida kontak berbahan aktif Paraquat pada volume semprot 400 l ha-1,
insektisida berbahan aktif klorantraniliprol 50 g l-1 dan fipronil 50 g l-1, Rhizobium
5 g kg-1 benih, dolomit 1 ton ha-1, 200 kg ha-1 SP-36, 100 kg ha-1 KCl, dan Urea 10
g l-1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu ajir, label, mesin pompa air,
knap sack sprayer, nozzle T-jet warna biru, alat pertanian umum, alat tulis, dan alat
ukur.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan rancangan split-plot dua faktor. Perlakuan
pengolahan tanah sebagai petak utama yaitu: 1) Bedengan 2 m tanpa olah tanah
(L1), 2) Bedengan 2 m dengan olah tanah (L2), 3) Bedengan 4 m tanpa olah tanah
(L3), 4) Bedengan 4 m dengan olah tanah (L4). Anak petak adalah 3 taraf
perlakuan pengendalian gulma yaitu: 1) Tanpa pengendalian gulma (C0), 2)
Pengendalian secara Manual (C1), 3) Aplikasi herbisida sistemik berbahan aktif
Glyfosat 3 minggu sebelum tanam + herbisida kontak berbahan aktif paraquat 1
minggu sebelum tanam (C2). Kombinasi antara perlakuan pengolahan tanah dan