6 TINJAUAN PUSTAKA Vanili Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrek- anggrekan), yang merupakan famili terbesar dalam tanaman berbunga. Vanili mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al. 1981). Dari sekian banyak jenis, jenis yang mempunyai nilai ekonomi yaitu V. planifolia, V. pompona, dan V. tahitensis. Di antara ketiga jenis tersebut, V. planifolia atau dikenal pula dengan V. fragnans Salisba Mens. mempunyai produksi yang lebih tinggi dan lebih bermutu karena kadar vanillinnya yang lebih tinggi. V. planifolia juga paling banyak dijumpai di Indonesia (Hadisutrisno 2005). Kedudukan tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Orchidales Famili : Orchidaceae Genus : Vanili Species : Vanili spp. Keadaan iklim yang diperlukan oleh tanaman vanili adalah suhu udara 25- 38 o C, kelembaban udara sekitar 80%, dan hujan berulang-ulang tetapi tidak banyak. Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 6-7 dengan drainase yang baik. Di Indonesia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun pada ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut, tanaman vanili tumbuh dan berproduksi dengan baik (Salim 1993). Tanaman vanili mulai berbunga setelah dua tahun, mulai berbuah setelah 3 tahun dan mencapai hasil maksimal dalam 10- 12 tahun (Heath dan Reineccius 1986). Buah vanili berbentuk kapsul (polong), bersudut tiga, bertangkai pendek, panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm, dan permukaannya licin. Buah vanili akan cukup masak dalam waktu 8-9 bulan setelah pembuahan. Buah muda berwarna hijau, bila sudah masak warnanya menjadi kekuning-kuningan. Biji buahnya
22
Embed
Pengaruh Pengeringan Absorpsi Dan Microwave Oven Pada ... II... · pelayuan dapat dilakukan dengan cara penghamparan dan penggoresan (Suwandi dan Sudibyanto 2005). 2. Pemeraman ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
6
TINJAUAN PUSTAKA
Vanili
Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrek-
anggrekan), yang merupakan famili terbesar dalam tanaman berbunga. Vanili
mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al. 1981). Dari sekian
banyak jenis, jenis yang mempunyai nilai ekonomi yaitu V. planifolia, V.
pompona, dan V. tahitensis. Di antara ketiga jenis tersebut, V. planifolia atau
dikenal pula dengan V. fragnans Salisba Mens. mempunyai produksi yang lebih
tinggi dan lebih bermutu karena kadar vanillinnya yang lebih tinggi. V. planifolia
juga paling banyak dijumpai di Indonesia (Hadisutrisno 2005). Kedudukan
tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledoneae
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Vanili
Species : Vanili spp.
Keadaan iklim yang diperlukan oleh tanaman vanili adalah suhu udara 25-
38oC, kelembaban udara sekitar 80%, dan hujan berulang-ulang tetapi tidak
banyak. Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 6-7 dengan drainase yang
baik. Di Indonesia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun pada
ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut, tanaman vanili tumbuh dan
berproduksi dengan baik (Salim 1993). Tanaman vanili mulai berbunga setelah
dua tahun, mulai berbuah setelah 3 tahun dan mencapai hasil maksimal dalam 10-
12 tahun (Heath dan Reineccius 1986).
Buah vanili berbentuk kapsul (polong), bersudut tiga, bertangkai pendek,
panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm, dan permukaannya licin. Buah vanili akan
cukup masak dalam waktu 8-9 bulan setelah pembuahan. Buah muda berwarna
hijau, bila sudah masak warnanya menjadi kekuning-kuningan. Biji buahnya
7
banyak, berwarna hitam, dan berukuran rata-rata 0,2 mm (Rismunandar dan
Sukma 2003). Buah vanili segar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Buah vanili segar.
Richard (1991) menyatakan bahwa waktu panen adalah faktor penting
yang harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas vanili yang baik. Buah
hendaknya dipanen pada saat yang tepat (cukup masak), jangan terlalu awal
(kurang masak) atau terlalu masak. Buah yang dipanen tepat waktu, kandungan
vanillinnya di atas 2,2%, berwarna hitam, berminyak, dan mengkilat. Bila dipanen
kurang masak, buah terlalu kaku dan flavornya kurang sempurna karena kadar
vanillinnya rendah. Sedangkan bila dipetik terlalu masak, buah akan pecah,
sehingga harganya akan rendah. Buah vanili yang dipanen sekitar umur 240 hari
(8 bulan) setelah penyerbukan akan menghasilkan kadar vanillin tertinggi, yaitu
2,95% (Salim 1993). Komposisi kimia buah vanili segar dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Komposisi kimia buah vanili segar
Komposisi Kimia Kandungan (%) Air Karbohidrat Lemak Kalium Kalsium Klor Nitrogen Magnesium
selulosa dan mineral (Purseglove et al. 1981; Farrel 1990). Flavor vanili yang
kaya dan lengkap mengandung lebih dari 200 senyawa volatil dan sebagian besar
senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan, akan
tetapi hanya 26 senyawa yang ditemukan dalam konsentrasi lebih dari 1 ppm.
Senyawa yang paling besar adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehide (vanillin)
yaitu 2-2,8%, p-hydroxybenzaldehyde 0,2%, asam vanillat 0,2%, dan p-
hydroxybenzylmethyl eter 0,02% dan asam asetat sekitar 0.02% (Anklam 1993;
Klimes dan Lamparsky 1976, diacu dalam Anklam et al. 1997).
Vanillin hanya merupakan salah satu diantara sekian banyak komponen
yang menyusun karakter aroma, akan tetapi kadar vanillin masih menjadi
indikator/parameter penting untuk menilai kualitas cured vanili (Purseglove et al.
1981; Anklam et al. 1997). Beberapa komponen non-volatil kemungkinan juga
memegang peranan penting dalam memodifikasi persepsi flavor. Sebagai contoh,
resin tidak mempunyai aroma, akan tetapi mempunyai taste yang menyenangkan,
sehingga secara keseluruhan juga menguntungkan dalam memantapkan
komponen volatil aromatik dalam larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981).
Terdapat tiga jenis glukosida yang menghasilkan vanillin dan komponen-
komponen fenol lainnya sebagai hasil pemecahan hidrolitik. Glukosida terbanyak
diidentifikasi sebagai glukovanillin, sementara itu glucovanillyl alkohol
ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil. Glukosida ketiga adalah ptotocatechuic
acid (3,4-dihydroxy benzoic acid) (Heath dan Reineccius 1986). Vanillin
terbentuk dari prekursor glukovanillin yang kemudian terhidrolisis selama proses
curing dengan adanya enzim β-glukosidase endogenus (Purseglove et al. 1981;
13
Arana 1943, diacu dalam Ruiz-Teran et al. 2001). Hidrolisis dari glukosida-
glukosida lainnya menghasilkan komponen-komponen volatil lain yang
berkontribusi pada terbentuknya aroma dan flavor secara keseluruhan. Perubahan
lebih lanjut dari vanillin yang dibebaskan dan substrat-substrat lainnya terjadi
melalui aksi enzim-enzim oksidasi dan selama tahap conditioning perubahan non-
enzimatik memegang peranan penting dalam pembentukan aroma (Purseglove et
al. 1981).
Modifikasi Proses Curing Vanili
Modifikasi atau perbaikan dalam teknologi proses curing dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Setyaningsih et al. (2003)
telah melakukan modifikasi ini, yaitu dengan penambahan perlakuan sebelum
tahap killing (pelayuan). Perlakuan tersebut dilakukan dengan cara penyayatan
buah (straching) dan perendaman buah vanili dalam aktivator enzim β-
glukosidase untuk memacu dan meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase
endogenus. Penyayatan dimaksudkan untuk memudahkan masuknya aktivator
enzim β-glukosidase ke dalam jaringan vanili.
Perlakuan scratching (penyayatan) ini telah dilakukan pula pada metode
Guadeloupe (Purseglove et al. 1981). Adanya penyayatan memberikan hasil yang
lebih baik, dimana tingkat pecahnya buah menjadi rendah, waktu untuk sweating
dan drying menjadi lebih pendek, serta kandungan vanillin dapat ditingkatkan.
Akan tetapi, teknik ini menjadikan vanili lebih mudah terserang jamur dan
mempunyai fleksibilitas dan penampakan yang lebih rendah daripada teknik yang
umum dilakukan.
Pada modifikasi curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003),
aktivator enzim yang berhasil meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase
endogenus adalah butanol 0,3 M dan sistein 1 mM serta dithiotreinol 1 mM dan
sistein 1 mM, dengan waktu perendaman vanili berturut-turut selama dua jam dan
satu jam. Modifikasi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pelayuan pada
suhu 40oC selama 30 menit. Pada proses curing standar (metode Balitro II),
pelayuan dilakukan pada suhu 60oC selama 3 menit. Suhu 40oC pada tahap
14
pelayuan modifikasi proses curing Setyaningsih et al. (2003) dipilih karena pada
suhu tersebut enzim β-glukosidase menghasilkan aktivitas tertinggi.
Secara keseluruhan, pada proses modifikasi terdapat enam tahap
pengolahan, yaitu penyayatan (statching), perendaman dalam aktivator enzim β-
glukosidase, pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying) dan
conditioning. Modifikasi proses curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003)
ini menghasilkan peningkatan aktivitas enzim, kadar vanillin, dan kadar gula
dibandingkan metode curing standar (metode Balitro II).
Penggunaan butanol sebagai aktivator enzim β-glukosidase dikarenakan
enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan dengan air sebagai
penerima bagian glikosil sehingga dapat meningkatkan reaksi. Gugus hidroksil n-
butanol akan terikat pada enzim β-glukosidase melalui ikatan hidrogen. Gugus
hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air melalui sistem
kopelarut satu fase. Sistem kopelarut adalah sistem yang melarutkan pelarut
organik (butanol) pada larutan penyangga yaitu air dalam satu fase sehingga
enzim masih dapat mengikat air. Adanya air menyebabkan struktur enzim menjadi
lebih fleksibel sehingga lebih mudah berikatan dengan substrat (Setyaningsih
2006).
Adapun sistein termasuk asam amino non esensial dalam pertumbuhan sel
dan mempunyai karakter berupa kristal putih, bersifat higroskopis, larut dalam air
dan alkohol. Sistein mempunyai gugus SH yang membantu kestabilan struktur
enzim. Gugus SH adalah gugus yang mudah teroksidasi. Ketika ada reaksi
oksidasi, gugus SH akan diserang terlebih dahulu sehingga enzim dapat
terlindungi (Setyaningsih 2006).
Standar Mutu Vanili
Ekspor vanili Indonesia selama ini ditujukan ke pasar Amerika Serikat.
Namun, perkembangan sepuluh tahun terakhir, selain Amerika Serikat, vanili
Indonesia juga diekspor ke beberapa negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan
Perancis; Australia; dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea. Di pasar
Amerika Serikat, vanili yang berkadar air rendah (20-25%) lebih disukai karena
sebagian besar digunakan untuk keperluan industri ekstraksi. Untuk pasar
15
Perancis, Jerman, dan Jepang, dikehendaki vanili yang berpenampilan baik,
berkadar vanillin tinggi, dan beraroma tajam. Ini disebabkan sebagian vanili di
negara tersebut digunakan untuk konsumsi rumah tangga yang dipasarkan dalam
kemasan glass tube (Risfaheri et al. 1998; Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Untuk menyeragamkan mutu vanili, Organisasi Standar Internasional
(ISO) telah menetapkan spesifikasi komoditi vanili yang diperdagangkan di pasar
dunia dengan menggunakan ISO 5565-1982. Semua negara produsen (termasuk
Indonesia) maupun konsumen mengacu pada standar ISO tersebut (Suwandi dan
Sudibyanto 2005). Adapun di Indonesia, standar mutu vanili yang digunakan
adalah berdasarkan SNI 01-0010-2002 yang merupakan hasil revisi pada rapat
kaji ulang, prakonsensus dan konsensus nasional pada tanggal 17 Oktober 2002.
Standar ini mengacu pada acuan normatif ISO 948:1980, tentang Spices and
Condiments-Sampling.
Tabel 2 Syarat umum vanili
No Jenis Mutu Persyaratan 1 Bau Bau khas vanilla 2 Warna Hitam mengkilat, hitam kecoklatan mengkilap,
sampai coklat 3 Keadaan polong Penuh berisi sampai dengan kurang berisi,
berminyak, lentur sampai dengan kaku 4 Benda-benda asing Bebas 5 Kapang Bebas
Sumber : SNI 01-0010-2002
Tabel 3 Syarat mutu vanili Indonesia
Persyaratan Jenis Mutu Mutu 1A Mutu 1B Mutu II Mutu III
Bentuk Utuh Utuh Utuh/dipotong Utuh/dipotong Ukuran polong utuh (cm)
Min. 11 Min. 11 Min. 8 Min. 8
Ukuran polong dipotong-potong
Tidak ada Tidak ada Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan
%Polong utuh yang pecah dan terpotong
Maks. 5 Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan
% kadar air Maks. 38 Maks. 38 Maks. 30 Maks. 25 % kadar vanilin Min. 2,25 Min. 2,25 Min. 1,50 Min. 1,00 % kadar abu Maks. 8 Maks. 8 Maks. 9 Maks. 10 Sumber : SNI 01-0010-2002
16
Keterangan :
1. Buah polong vanili yang cukup tua adalah yang hijau kekuning-kuningan
dengan ujung yang menguning.
2. Polong utuh yang pecah adalah vanili yang disajikan dalam bentuk utuh,
tetapi pecah lebih dari 4 cm ukuran panjangnya.
3. Benda asing adalah bahan-bahan bukan vanili, misalnya ranting, batu,
tanah, bagian tubuh serangga dan lain-lainnya yang terikut dalam vanili.
4. Vanili yang ditumbuhi atau diserang oleh kapang dapat dilihat dengan
mata biasa
5. Polong utuh yang terpotong adalah polong vanili yang pada bagian
ujungnya terpotong sebagian tapi persyaratan panjang minimumnya masih
terpenuhi.
Pengeringan Vanili
Pengeringan didefinisikan sebagai proses pemberian panas di bawah
kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung
dalam bahan (Fellows 2000). Pengeringan merupakan metode tertua untuk tujuan
preservasi (pengawetan) bahan (Edmont et al. 1957; Singh dan Heldman 2001).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan diantaranya adalah kondisi
proses (temperatur dan kelembaban udara), jenis bahan pangan yang dikeringkan
dan desain alat pengering.
Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang
diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan
yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka
terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi karena
perbedaaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan luar bahan
(Fellows 2000). Pengeringan akan mengurangi massa dan volume produk dalam
jumlah yang signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk transportasi produk dan
penyimpanan (Singh dan Heldman 2001). Secara umum, produk-produk
hortikultura dikeringkan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami (sun-
drying) dan pengeringan buatan (Edmont et al. 1957).
17
Pengeringan vanili dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah
sinar matahari atau menggunakan pengering buatan. Pengeringan menggunakan
sinar matahari dilakukan dengan menghamparkan vanili di atas lembaran kain
hitam tebal berukuran kira-kira 1,5 m yang kurang lebih dapat membungkus 10-
15 kg buah vanili. Untuk memudahkan penjemuran, dapat dibuat para-para dari
bambu setinggi 0,9 m, lebar 1,5 m, dan panjang 10-12 m (untuk menjemur 10 kg
buah vanili). Di atas para-para ini dihamparkan kain katun sebagai alas vanili,
yang dijemur selama 2-2,5 jam (tergantung dari panas teriknya matahari). Selama
penjemuran ini, vanili tersebut dibungkus kembali menggunakan kain hitam dan
dipanaskan lagi selama 2 jam (Kantor Pusat BRI 1996).
Pengeringan buatan buah vanili telah banyak dipelajari untuk mengatasi
permasalahan yang sering muncul dalam pengeringan tradisional. Arana (1944)
diacu dalam Purseglove et al. (1981) membandingkan pengeringan tradisional
dengan matahari dengan oven pada suhu 45oC dimana kelembaban dijaga tetap
tinggi. Pemeraman dan pengeringan menggunakan oven dilaporkan menghasilkan
keuntungan dimana tumbuhnya jamur dapat dikurangi dan waktu proses menjadi
lebih singkat. Penggunaan lampu infra merah juga telah dipelajari oleh Cernuda
dan Loustalot (1948) diacu dalam Purseglove et al. (1981), akan tetapi metode
pengeringan ini dilaporkan tidak memberikan keuntungan (mahal) dan dapat
memacu oksidasi yang pada akhirnya merusak cured vanili.
Widodo (1988) melakukan percobaan pengeringan vanili menggunakan
alat pengering kabinet bertenaga listrik. Diperoleh hasil bahwa untuk menurunkan
kadar air vanili dari 70,06% bb sampai kadar air 35,80% bb dibutuhkan waktu 48
jam dengan suhu pengeringan rata-rata 67,8°C. Energi yang dibutuhkan adalah
sebesar 91.000 kJ. Percobaan ini juga memberikan informasi bahwa setelah
pengujian mutu secara organoleptik, vanili hasil pengeringan tersebut lebih baik
daripada mutu pengeringan hasil pengeringan dengan sinar matahari.
Pengeringan vanili menggunakan microwave oven dilakukan oleh Dewi
(2005). Penelitian tersebut menyatakan bahwa pengeringan microwave dengan
daya rendah yaitu 80 Watt menghasilkan kadar vanillin yang lebih baik daripada
daya lebih tinggi. Semakin lama waktu pengeringan maka proses penurunan kadar
air semakin cepat dan laju pengeringan semakin meningkat. Secara umum terjadi
18
penurunan kadar air dan peningkatan kadar vanillin selama proses pemeraman
tetapi terjadi penurunan kadar vanillin selama proses pengeringan sebagai akibat
suhu pemanasan yang tinggi sehingga merusak enzim.
Selama pengeringan, produk akan mengalami perubahan warna, tekstur,
flavor dan aroma. Dinyatakan oleh Mazza dan LeMaguer (1980) diacu dalam
Fellows (2000), bahwa panas tidak hanya menguapkan air selama pengeringan,
akan tetapi juga menyebabkan hilangnya komponen volatil dari bahan pangan dan
sebagai akibatnya sebagian besar bahan pangan yang dikeringkan mempunyai
flavor yang lebih rendah daripada bahan asalnya. Tingkat hilangnya komponen
volatil bahan tergantung pada temperatur, kandungan air dalam bahan, tekanan
uap komponen volatil dan solubilitas komponen volatil tersebut dalam uap air.
Komponen volatil yang mempunyai volatilitas dan difusivitas relatif tinggi akan
hilang pada tahap awal pengeringan. Bahan pangan yang mempunyai kandungan
flavor dengan nilai ekonomi tinggi (misalnya herba dan rempah) hendaknya
dipanaskan pada suhu yang rendah.
Menurut Fellows (2000), struktur porous yang terbuka dari produk yang
dikeringkan kemungkinan akan terisi oleh oksigen, dan hal ini menjadi penyebab
kedua terpenting dari hilangnya aroma karena terjadinya oksidasi komponen-
komponen volatil dan lemak selama penyimpanan. Perubahan flavor dalam buah-
buahan sebagai akibat oksidasi atau aktivitas enzim hidrolitik dapat dicegah
dengan menggunakan sulfur dioksida, asam askorbat atau asam sitrat atau melalui
pasteurisasi pada susu atau jus buah dan blanching pada sayur-sayuran.
Pencegahan dapat pula dilakukan dengan penambahan enzim atau aktivasi enzim
yang secara alami terkandung dalam bahan yang dikeringkan yang dapat
menghasilkan flavor dari prekursor flavor dalam bahan pangan.
Anklam et al. (1997) melaporkan bahwa vanillin dapat teroksidasi menjadi
asam vanilat dan juga divanillin. Divanillin yaitu produk dimerik vanili terdeteksi
setelah vanillin mengalami oksidasi dalam larutan yang mengandung hidrogen
peroksida dan enzim peroksidase. Penambahan peroksida saja tidak menyebabkan
terbentuknya produk oksidasi vanillin. Adapun asam vanilat merupakan produk
oksidasi vanillin dengan adanya enzim xanthine oksidase. Kecepatan oksidasi
19
vanillin yang dihasilkan dari ekstrak vanili alami diketahui lebih rendah
dibandingkan vanillin sintetik.
Pengeringan Absorpsi
Pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan melalui penyerapan air di
dalam bahan pangan oleh material penghisap yang bersifat poros. Mekanisme
yang terjadi adalah proses penarikan air dari dalam bahan pangan dengan prinsip
kapiler oleh absorben. Air yang terhisap absorben tidak hanya pada bagian
permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata ke seluruh bagian
absorben (Hall 1957).
Dalam proses pengeringan absorpsi, sejumlah bahan dan absorben
diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Bahan pengisap yang
digunakan harus memiliki tekanan uap air yang lebih rendah dibandingkan dengan
bahan yang akan dikeringkan (Christensen 1974). Pengeringan absorpsi tidak
menggunakan aliran udara pengering dan suhu tinggi, sehingga faktor yang
mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara pengering.
Jenis Pengeringan Absorpsi
Sifat penyerapan air oleh bahan absorben telah banyak digunakan terutama
di dalam kemasan untuk mencegah penyerapan air oleh produk (dikenal sebagai
proses desikasi dalam kemasan). Menurut Samuel dan Vedamurthy (1984),
absorben atau desikan yang digunakan untuk pengurangan air dari udara yang
kontak dengan bahan pangan harus bersifat non korosif, tidak berbau, tidak
beracun, tidak mudah terbakar, secara kimiawi bersifat inert terhadap
ketidakmurnian udara, dan mudah didaur ulang. Selain itu, harganya juga harus
relatif murah. Untuk bahan pangan, desikan yang umum digunakan berupa silika
gel atau kalsium oksida (CaO), karena bahan-bahan ini merupakan bahan
pengering yang mudah diperoleh dan tidak berbahaya, sehingga bila terserap ke
dalam bahan pangan tidak membahayakan konsumen.
Kapur api (CaO) juga merupakan material penyerap air atau absorben
yang sangat baik untuk pengeringan secara absorpsi. Pengeringan absorpsi dengan
20
kapur api merupakan metode pengeringan yang sederhana dengan bahan absorben
yang relatif murah.
Prinsip Pengeringan Absorpsi dengan Kapur Api
Proses terjadinya pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api
(CaO) adalah terjadinya penyerapan uap air yang ada di udara (lingkungan)
pengering oleh absorben sehingga uap air udara pengering menjadi sangat rendah.
Rendahnya RH udara pengering mengakibatkan terjadinya penguapan air bahan
yang dikeringkan ke lingkungan udara pengering. Menurut Soekarto (2000),
prinsip pengeringan dengan kapur api atau CaO di dalam lemari pengering
absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap
dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air
melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang pengering; (3) energi panas
diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air
dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO. Proses
tersebut berlangsung secara terus-menerus sampai tercapai kondisi kesetimbangan
atau ekuilibrium.
Jadi dalam proses pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api
(CaO), pengeringan bahan disebabkan oleh adanya perbedaan RH udara
pengering karena diabsorpsi oleh absorben dengan aktivitas air (aw) bahan, karena
uap air yang ada di udara diserap oleh absorben.
Karakteristik Kapur Api
Kapur api atau disebut juga kapur gamping maupun kapur tohor
merupakan padatan berwarna putih yang berbentuk bongkahan dengan rumus
kimia CaO dan mempunyai titik cair 2570oC serta titik didih 2850oC. Kapur api
merupakan bahan pengering yang telah banyak digunakan dalam desikator dengan
kapasitas yang sedang dan meninggalkan udara yang cukup kering. CaO mudah
diperoleh sebagai kapur api dengan harga yang murah. CaO bersifat tidak
mencair, bereaksi dengan air membentuk basa, dengan menyisakan 3 x 10-3 mg
air/l udara yang dikeringkan (Harjadi 1990). Kapur api yang telah mati berupa
21
serbuk sehingga bila dipakai dalam desikator harus diusahakan agar debunya tidak
mengganggu, misalnya dengan memberi tutup kain halus.
Gaspary dan Bucher (1981) meyatakan bahwa CaO diproduksi dengan
memanaskan batu kapur pada suhu 800oC-1200oC. Kapur api dapat dikelaskan
berdasarkan derajat panas yang diberikan pada waktu pembentukannya, yaitu :
1. Soft burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu 800oC
dengan sifat produk yang sangat reaktif (berupa CaO).
2. Hard burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu sekitar
1200oC dan waktu yang lebih lama, sehingga terbentuk kristal dengan sifat
yang reaktivitasnya rendah (berupa Ca).
3. Medium burnt lime, dihasilkan melalui proses dengan waktu dan suhu di
antara kedua proses di atas.
Komposisi kimia kapur api dari Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat yaitu
dari Kajai dan Kemang Udik masing-masing mengandung CaO sebesar 93,6%
dan 94,2% (Gaspary dan Bucher 1981). Sedangkan kapur api produksi PD Djaja
Ciampea Bogor yang dianalisa oleh Sucofindo pada tahun 1998, mengandung
CaO sebesar 88,82%.
Energi Panas Dari Kapur Api
CaO disebut kapur api karena apabila material tersebut bereaksi dengan air
akan dihasilkan panas yang tinggi. Menurut Halim (1995), dibandingkan dengan
desikan atau absorben yang lain yang sering digunakan untuk pengeringan bahan
pangan, CaO memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi panas saat
bereaksi dengan air. Fenomena pelepasan energi dalam CaO ini dapat
dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengeringan di dalam bahan pangan.
Chang dan Tikkanen (1988) mengemukakan bahwa umur simpan kapur
api relatif singkat (sekitar 60 hari), karena kapur api ini cepat bereaksi secara
eksotermik dengan air untuk membentuk Ca(OH)2. Reaksi yang bersifat
eksotermik ini mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu akibat pelepasan
energi reaksi CaO dengan air sebagai berikut :
CaO (s) + H2O (l) Ca (OH)2 (s) ∆ Ho = -64,8 kJ
22
Reaksi yang bersifat eksotermik tersebut menghasilkan peningkatan suhu,
tetapi suhu bahan selama pengeringan berlangsung kurang lebih konstan karena
energi panas yang dilepaskan kapur (reaksi eksotermik) terus diserap bahan dan
segera digunakan untuk penguapan air yang dikandung bahan (reaksi endotermik),
dengan proses endotermik dan eksotermik yang kurang lebih setimbang (Soekarto
2000).
Aplikasi Pengeringan Absorpsi Dengan Kapur Api
Pemanfaatan kapur api sebagai absorben dalam proses pengeringan
absorpsi telah dicobakan pada beberapa produk yaitu pada pengeringan biji lada
(Halim 1995), pengeringan brem padat (Hersasi 1996), pengeringan fillet ikan