PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL (Studi pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011) SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Oleh Taufik Akbar 084020216 PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2012
121
Embed
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan Dana Alokasi Umum (Dau) Terhadap Belanja Modal
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL (Studi pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN
DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP
BELANJA MODAL
(Studi pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Oleh
Taufik Akbar
084020216
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2012
i
PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM
TERHADAP BELANJA MODAL
(Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan
Bandung, Oktober 2012
Mengetahui,
Pembimbing,
Ifa Ratifah, SE., M.Si.
Dekan, Ketua Program Studi,
Dr. H. Abdul Maqin, SE., MP. H.. Sasa S. Suratman, SE., M.Sc.
ii
PERNYATAAN
(Program Studi Strata 1)
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Pasundan maupun di perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku.
Bandung, Oktober 2012
Yang membuat pernyataan,
( Taufik Akbar )
NRP: 084020216
Materai
Rp. 6000
iii
Motto:
“Seseungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(Q.S : 94 Al-Insyirah : 6)
Tanpa MelupakanMu Ya Allah...
Kupersembahkan karyaku ini bagi kedua orang tuaku
yang selalu mendoakan keberhasilanku.
iv
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara yang digunakan adalah studi dokumentasi, dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen Laporan Keuangan Pemerintah yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini.
Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan pendekatan purposive sampling. Adapun variabel-variabel yang diuji adalah Pendapatan Asli Daerah (X1) dan Dana Alokasi Umum (X2) sebagai variabel independen dan Belanja Modal (Y) sebagai variabel dependen. Data tersebut akan dianalisis melalui uji asumsi klasik untuk memakasimalkan keakuratan dalam hasil pengolahan data. Sedangkan untuk menguji hipotesis digunakan uji signifikansi dan analisis regresi linear berganda.
Hasil pengujian hipotesis secara parsial diperoleh kesimpulan bahwa PAD bepengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal begitu pula dengan DAU berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Pengujian hipotesis secara simultan disimpulkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Kata kunci : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Belanja Modal
v
ABSTRACT
This study aims to provide empirical evidence about the effect of the Local Own Revenue (PAD) and the General Allocation Fund (DAU) on the Capital Expenditure City of Bandung.
The method used in this research is descriptive method. To obtain the necessary data in this study, the means used is the study documentation, done by collecting documents relating to Government Financial Statements with the necessary data in this research activity.
Sampling technique used was non-probability sampling with a purposive sampling approach. The variables were tested Local Own Revenue (X1) and The General Allocation Fund (X2) as independent variables and Capital Expenditures (Y) as the dependent variable. Data will be analyzed through the classical asumption test for maximalize accuracy in the data processing. While the hypothesis used to test the significance test and multiple linear regression analysis.
Partial results of hypothesis testing concluded that PAD have a positive and significant effect on capital expenditure as well as the DAU has positive and significant effect on capital expenditure. Simultaneously hypothesis testing concluded that PAD and DAU significant effect on capital expenditure.
Keywords : Local Own Revenue, General Allocation Fund, Capital Expenditure
vi
KATA PENGANTAR
Assalammu’laikum Wr.Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul : “PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA
ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Pada Pemerintah Kota
Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar strata satu di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Pasundan
Bandung.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Dr. R. Abdul Maqin, SE., MP selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Pasundan Bandung.
2. Bapak H. Sasa Suratman, SE., M.Sc selaku Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.
3. Ibu Ifa Ratifah, SE., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini serta telah
memberikan banyak masukan kepada saya.
vii
4. Ibu Justinia Castellani, SE., Msi., Ak selaku dosen walii.
5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan yang
telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama proses
perkuliahan.
6. Kedua orang tua tercinta (A. Kamidjo dan Yety Megawati) yang penulis
sayangi. Penulis menghaturkan sembah sujud sebagai ucapan terima kasih
yang tentunya penulis belum mampu menbalas pengorbanan Ayahanda dan
Ibunda, yang telah membesarkan, mendidik dan akan selalu memberikan doa
restu, perhatian, kasih sayang, serta dukungan yang tidak ternilai harganya
demi kelancaran dan keberhasilan penulis dalam segala hal.
7. Kakak serta Adik (Rianti Megasari dan Rahayu Wandani) yang telah memberi
dukungan moral dan materiil. Terima kasih atas dukungannya.
8. Lilis Lisnawati SE. Terima kasih untuk semangat, doa, dan motivasi yang
diberikan dalam proses penyusunan skripsi hingga akhirnya skripsi
terselesaikan.
9. Teman-teman Akuntasi angkatan 2008. Moch. Zaky, Bingky Aresia Landarica
SE., dan Annisa Desty, Ihwan Hari, Yusuf Nursyamsudin SE., Muhammad
Ikhsan Al-fikri SE, Rachmawati Rahayu SE, Nikeu Martina Mugirahayu SE.,
Helena Mayer, Ferintina Rahayu SE., dan semua teman-teman yang tidak bisa
disebutkan satu persatu. Sukses selalu untuk kalian semua.
viii
10. Teman-teman kelembagaan, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Periode 2011-
2012, Mutdiyanti, Anita, Anggun, Fanny, Jovi, Sammy, Reni dan yang
lainnya. Terima kasih, sukses buat kalian semua.
11. Seluruh sahabat seperjuangan Adhnan, Dadan, Reyza, Ryan Eka, Irfan,
Agung, Egi, Kiki, Ardi, Indra, Dany Saddak, Abdul Rozak dan lainnya.
Terima kasih atas bantuan, semangat, dan doanya. Sukses buat kalian.
12. Seluruh karyawan SBAP yang telah membantu penulis dalam urusan
administrasi.
13. Bapak dan Ibu Bagian Dokumentasi dan Data BPK RI Perwakilan Jabar,
terima kasih atas bantuan datanya.
14. Perpustakaan FE UNPAS yang telah menyediakan materi-materi yang
diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk
semuanya.
Berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Semoga Alloh SWT, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta membalas segala
kebaikan semua pihak yang memberikan bantuan kepada penulis.
Wassalammu’alaikum Wr.Wb
Bandung, Oktober 2012
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………. i LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. ii MOTTO…………………………………………………………………….... iii ABSTRAK………………………………………………………………….... iv ABSTRACK…………………………………………………......................... v KATA PENGANTAR…………………………………………………......... vi DAFTAR ISI…………………………………………………........................ ix DAFTAR TABEL…………………………………………………................ xiv DAFTAR GAMBAR…………………………………………………........... xv DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………........ xvi BAB I PENDAHULUAN………………………………………………....... 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………......... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………........... 11
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian………………………………......... 12
1.3.1 Maksud Penelitian…………………………………...... 12
1.3.2 Tujuan Penelitian…………………………………........ 12
1.4 Kegunaan Penelitian…………………………………………........ 12
1.4.1 Kegunaan Teoritis…………………………………...... 12
1.4.2 Kegunaan Praktis............................................................ 13
Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi
suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini
menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi hal
penting dalam pengelolaan pemerintah termasuk di bidang pengelolaan keuangan
negara maupun daerah. Pengamat ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat
mulai memperhatikan setiap kebijakan dalam pengelolaan keuangan.
Pembiayaan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi
dilakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, daerah diberi
kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola sumber daya alam.
Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan
(DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah. Tiga sumber tersebut langsung
dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, melalui kerjasama dengan
Pemerintah Pusat ( Halim, 2009).
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah yang
2
berlaku di Indonesia didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 yang telah direvisi
menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
pemerintah daerah memisahkan fungsi eksekutif dengan fungsi legislatif.
Berdasarkan fungsinya, pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (legislatif) terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim &
Abdullah, 2006). Secara implisit, peraturan perundang-undangan merupakan
perjanjian antara eksekutif, legislatif, dan publik.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman
Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan publik. Di Indonesia, anggaran
daerah biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah baik dalam bentuk uang,
barang dan jasa pada tahun anggaran yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar
dkk. 2008). Menurut PP Nomor 58 tahun 2005 dalam Warsito Kawedar (2008),
APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda).
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 proses penyusunan anggaran melibatkan
pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) dan pihak legislatif (DPRD), dimana kedua
pihak tersebut melalui panitia anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana
operasionalisasi daerah yang berkewajiban membuat rancangan APBD. Sedangkan
legislatif bertugas mensahkan rancangan APBD dalam proses ratifikasi anggaran.
3
Proses penyusunan APBD dimulai dengan kedua belah pihak yaitu antara
eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan tentang kebijakan umum APBD yang
menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pihak
eksekutif bertugas membuat rancangan APBD yang sesuai kebijakan tersebut,
kemudian pihak legislatif menetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda) yang
sebelumnya dirapatkan. Dalam teori keagenan, peraturan daerah menjadi alat
legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran yang dijalankan oleh pihak
eksekutif.
Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan
diberbagai sektor terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan
dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah.
Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya pemerintah dengan
memberikan berbagai fasilitas untuk investasi. Konsekuensinya, pemerintah perlu
memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Desentralisasi fiskal
disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah,
tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal
daerah yang berbeda-beda (Harianto dan Adi, 2007).
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan
manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimalisasi
kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan harapan konsumen (Bastian, 2006).
Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan belanja modal
dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah
4
Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Darwanto dan Yustikasari
(2007) menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan
untuk hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah
daerah seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua
pendapat tersebut menyatakan bahwa belanja modal untuk kepentingan publik
sangatlah penting.
Belanja modal disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan
prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik
(Halim & Abdullah,2006:19). Menurut Halim (2002:72) bahwa dengan melakukan
belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang
bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan.
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan
pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik.
Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap,
yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi
tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik,
karena asset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan
prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah,
khususnya di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Permasalahan yang terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Bandung saat ini
yaitu seiring bertambahnya anggaran belanja daerah Kota Bandung namun tidak
diikuti dengan bertambahnya belanja modal. Dampak yang dialami Pemerintah Kota
5
Bandung sebagai fasilitator dan katalisator tidak berjalan dengan optimal, karena
masih banyak infrastrukur, serta fasilitas pelayanan publik yang belum memadai.
Pemerintah Kota Bandung lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektor-
sektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin,
dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% anggaran
belanja daerah rata-rata hanya 11,32% yang digunakan untuk belanja modal dalam
rangka pengadaan asset untuk investasi dalam meningkatkan pelayanan publik (Duta-
kita.com, 7 Maret 2012).
Adapun beberapa permasalahan mengenai belanja modal di Kota Bandung
selama kurun waktu tujuh tahun terakhir dapat dilihat secara ringkas dari tabel berikut
ini:
Tahun Permasalahan Sumber
2005 Pembangunan infrastruktur jalan serta
perbaikannya tidak merata di Kota Bandung.
Tribun News
2006 Perbaikan jalan secara bertahap, yang
semestinya dapat diselesaikan selama tahun
2006.
Tribun News
2007 Perbaikan tanggul sungai citarum 1,2M
terbukti sia-sia
Karawangnews
2008 Pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota
Bandung tidak diikuti perbaikan jalan.
Pikiran Rakyat Online
6
2009 Penyimpangan pembangunan selter Trans
Metro Bandung (TMB)
Pikiran Rakyat Online
2010 Dana perbaikan jalan hanya sebesar Rp.54M,
tak cukup.
Penelusurankorankaskus
Tabel 1.1
Ringkasan Permasalahan Belanja Modal Kota Bandung
Sejalan dengan Saragih (2003) yang menyatakan bahwa pemanfaatan belanja
hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas
pembangunan. Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya
lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat tersebut
menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik.
Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu
diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap belanja modal, seperti
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
Dalam pengelolaan anggaran, asas kemandirian dijadikan dasar Pemerintah
Daerah untuk mengoptimalkan penerimaaan dari daerahnya sendiri yaitu sektor
PendapatanAsli Daerah (PAD). Menurut UU No. 32 tahun 2004, Pendapatan Asli
daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah
itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki.
Pajak daerah dan retribusi daerah selama ini merupakan sumber pendapatan
daerah yang dominan, oleh karena itu perlu ditingkatkan penerimaannya. Berdasarkan
7
alur pikir teori keuangan daerah, penerimaan pajak pada umumnya digunakan untuk
membiayai jasa layanan yang bersifat murni publik (public goods), sedangkan
penerimaan retribusi umumnya digunakan untuk membiayai jasa pelayanan yang
bersifat semi publik (semi public goods) di mana komponen manfaat individunya
relatif lebih besar.
Anggiat (2009:4) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif
dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi
untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tetapi alokasi untuk belanja
modal justru mengalami penurunan. Abdullah dan Halim (2004:10) menemukan
bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh
terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya
sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian
angaran cukup besar.
Pemerintah Kota Bandung berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) melalui pajak daerah, sebagai sumber pendapatan daerah dalam meningkatkan
belanja modal. Kontribusi pajak daerah sangat berpengaruh terhadap pendapatan
daerah, hal ini menyimpulkan bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah mampu
meningkatkan belanja modal. Tetapi kenyataannya kontribusi Pendapatan Asli
Daerah terhadap pendapatan dan belanja daerah masih kecil, terutama belanja modal.
Selama ini dominasi sumbangan pemerintah pusat kepada daerah masih besar. Oleh
karenanya untuk mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat, pemerintah
8
daerah perlu berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang salah
satunya dengan penggalian potensi daerah.
PAD Kota Bandung sebagian besar dihasilkan dari pajak dan retribusi daerah,
seperti Parkir dan Pajak Restoran. Namun kenyataanya hasil pajak dan retribusi
daerah tersebut tidak mampu dikoleksi secara keseluruhan oleh Pemerintah Kota
Bandung. Hal tersebut diakibatkan pengelolaan lahan parkir potensial yang banyak
dikelola oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan sepihak dengan
cara menggelapkan uang yang seharusnya masuk kas daerah. Penggelapan-
pengelapan hasil pajak dan retribusi tersebut mengakibatkan Pemerintah Kota
Bandung berpotensi kehilangan PAD dari sektor pajak dan retribusi daerah sebesar
Rp 1,5 Miliar/bulan (Bisnis Jabar, 5 April 2012).
Adapun beberapa permasalahan mengenai PAD di Kota Bandung selama
kurun waktu tujuh tahun terakhir dapat dilihat secara ringkas dari tabel berikut ini:
Tahun Permasalahan Sumber
2005 Perpakiran di Kota Bandung dan kontribusinya
terhadap PAD Kota Bandung.
Tribun Jabar
2006 Penyimpangan Pajak pada pelaksanaan Perda
Pengelolaan Pasar di Kota Bandung.
Tribun News
2007 Masalah Perparkiran kota Bandung yang tak kunjung
selesai.
Pikiran Rakyat
Online
9
2008 Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Bandung:
kecurigaan, pajak yang belum disetor, terindikasi
penyimpangan.
Pelita. or.id
2009 Peningkatan pajak parker tidak sebanding dengan
penambahan lahan parker yang terus bertambah.
Pikiran Rakyat
Online
2010 Pajak parkiraan di Kota Bandung semakin
membengkak kebocorannya.
Pikiran Rakat
Online
Tabel 1.2 Ringkasan Permasalahan PAD Kota Bandung
Dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah dalam upaya
pembangunan, Pemerintah Pusat akan mentransfer dan perimbangan yang tediri dari
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil
(DBH). Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah
Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat digunakan secara efektif dan efisien oleh
pemerintah Daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada publik.
Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai
kegiatan operasional didaerahnya masing-masing, hal tersebut menimbulkan
ketimpangan fiskal antar daerah. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut Pemerintah
Pusat mentransfer dana perimbangan untuk masing-masing daerah. Salah satu dana
perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Umum merupakan
dana yang berasal dari pemerintah pusat yang diambil dari APBN yang dialokasikan
10
dengan tujuan pemerataan keungan antar daerah untuk membiayai kebutuhan
pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan dana tersebut
pemerintah daerah menggunakannya untuk memberi pelayanan yang lebih baik
kepada publik. Abdullah dan Halim (2004) menyatakan bahwa dana transfer jangka
panjang berupa DAU berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah
dana transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal.
Peningkatan transfer Dana Alokasi Umum di Kota Bandung setiap tahunnya
tidak diikuti dengan peningkatan belanja modal. Hal tersebut mencerminkan bahwa
penggunaan Dana Alokasi Umum untuk belanja modal hanya sedikit sehingga tidak
mampu mengoptimalkan fasilitas pelayanan publik. Meski transfer DAU dari
pemerintah merupakan pendapatan daerah yang paling besar, namum alokasinya
untuk belanja modal tergolong sedikit. Anggaran belanja terkonsentrasi pada belanja-
belanja yang bersifat rutin, dan mengesampingkan belanja modal.
Selain terkonsentrasi pada belanja rutin, disinyalir adanya penyalahgunaan
dalam penggunaan DAU. Salah satu praktik yang mencurigakan adalah
penyalahgunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditampung di rekening pribadi,
kerabat dan bahkan diperuntukkan untuk membangun sebuah usaha. PPATK merilis
data tentang 2.258 transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh para pejabat di
Indonesia, dari ribuan transaksi mencurigakan itu justru didominasi oleh pejabat
11
daerah. Jumlah transaksi para pejabat daerah yang patut dicurigai itu antara lain
1.135 transaksi oleh bendahara daerah, 379 transaksi dilakukan bupati, serta 339
transaksi oleh pejabat pemda lainnya, termasuk didalamnya Kota Bandung.
(Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, 17 Juni 2011).
Berdasarkan uraian diatas penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan
data selama 6 tahun terakhir di Pemerintah Kota Bandung yaitu tahun anggaran 2005-
2011. Adapun judul yang akan diteliti adalah :
“Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum
(DAU) Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun
Anggaran 2005-2011) “.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang akan
dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja
Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
2. Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja
Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung
12
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data,
menganalisa, mengetahui, dan menjelaskan mengenai Pengaruh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal
1.3.2 Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap
Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
2. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap
Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperluas
pengetahuan mengenai akuntansi sektor publik dalam hal ini yaitu ilmu
pemerintahan mengenai pengelolaan keuangan daerah pada Pemerintah Kota
Bandung khususnya mengenai pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja
modal.
13
1.4.2 Kegunaan Praktis
a. Bagi Pemerintah Kota Bandung, sebagai objek penelitian, dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menganalisis belanja modal
dengan mempertimbangkan PAD dan DAU.
b. Bagi Peneliti, memberikan pengetahuan mengenai pengaruh PAD
dan DAU terhadap belanja modal di lingkungan Pemerintah Kota
Bandung.
c. Bagi Pihak Lain, khususnya akademisi, sebagai bahan referensi dan
data tambahan bagi peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian
ini.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Keuangan Daerah
2.1.1.1 Konsep Keuangan Daerah
Keuangan Daerah memegang peranan yang sangat penting dalam
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh karena itu,
dalam pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien agar tepat guna
dan berhasil guna. Berkaitan dengan hal tersebut maka berbagai cara untuk
memperoleh sumber keuangan dan untuk apa saja sumber keuangan tersebut
digunakan menjadi perhatian utama bagi Pemerintah Daerah.
Pengertian keuangan daerah menurut Penjelasan Umum Pasal 156
Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Selanjutnya dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
menyebutkan bahwa :
15
“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut”. Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan keuangan daerah adalah segala hak dan kewajiban daerah baik
berupa uang maupun barang yang dapat dinilai dengan uang dan digunakan
dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana keuangan negara, keuangan daerah memiliki ruang
lingkup yang terdiri atas keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola
langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang
inventaris milik daerah, sedangkan yang termasuk dalam keuangan daerah yang
dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
2.1.1.2 Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah
Mahmudi (2006:14) mengungkapkan :
“Siklus pengelolaan keuangan daerah adalah tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam mengelola keuangan yang menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah agar pengelolaan keuangan tersebut memenuhi prinsip ekonomi, efisien, efektifitas, transparansi, dan akuntabilitas”.
Adapun siklus pengelolaan keuangan daerah menurut Mahmudi
(2006:14-15) pada dasarnya terdiri atas tiga tahap :
16
1. Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan tahap yang sangat krusial. Peran DPRD
dan masyarakat dalam tahap perencanaan ini sangat besar. Kualitas
hasil (outcome) dari pengelolaan keuangan daerah sangat dipengaruhi
oleh seberapa bagus perencanaan yang dibuat. Perencanaan ini sendiri
pada dasarnya juga terdapat proses yang harus dilakukan sehingga
menghasilkan output perencanaan berupa dokumen perencanaan
daerah. Dokumen perencanaan daerah dapat dikategorikan menjadi
dua bentuk, yaitu :
a. Dokumen perencanaan pembangunan daerah berupa Rencana
Pembagunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja
Pemeritah Daerah (RKPD), Rencana Strategis Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renstra SKPD), dan Rencana Kerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang memuat visi, misi,
tujuan, kebijakan, strategi, program, dan kegiatan.
b. Dokumen perencanaan keuangan daerah berupa Kebijakan Umum
APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS),
dan RAPBD.
2. Tahap Pelaksanaan
Output dari tahap perencanaan adalah berupa RAPBD yang telah
disahkan oleh DPRD menjadi APBD. Output dari tahap perencanaan
17
tersebut akan menjadi input bagi tahap pelaksanaan, yaitu
implementasi anggaran. Dalam tahap pelaksanaan anggaran terdapa
suatu proses berupa Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD).
SAPD ini sangat penting, karena bagaimana pun bagusnya
perencanaan anggaran apabila dalam tahap implemantasi tidak terdapat
SAPD yang memadai, maka banyak hal yang direncanakan tidak akan
mencapai hasil yang diinginkan. SAPD yang buruk akan memicu
terjadinya kebocoran, inefesiensi, dan inaccuracy laporan keuangan.
3. Tahap Pelaporan, Pengawasan, dan Pengendalian.
Output dari tahap pelaksanaan berupa laporan pelaksanaa anggaran
akan menjadi input untuk tahap pelaporan. Input tersbut akan diproses
lebih lanjut untuk menghasilkan output berupa laporan keuangan yang
akan dipublikasikan. Proses pelaporan tersebut dilakukan dengan
mengacu pada SAPD yang telah ditetapkan. Setelah disesuaikan
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, maka laporan keuangan
tersebut siap diaudit oleh auditor independent. Selanjutnya setelah
diaudit dapat didistribusikan kepada DPRD dan dipublikasikan kepada
masyrakat, sebagai bahan evaluasi kinerja dan memberikan umpan
balik bagi perencanaan periode berikutnya.
Perencanaan pembangunan daerah disusun berdasarkan jangka waktu
perencanaan, yaitu dua puluh tahun untuk RPJPD, lima tahun untk RPJMD, dan
18
satu tahun untuk RKPD. Sedangkan untuk rencana keuangan daerah yaitu berupa
RAPBD berlaku untuk satu tahun.
Menurut Mahmudi (2006:15) “Output dari tahap perencanaan ini
adalah RAPBD”. Alasan dari output ini berupa RAPBD, karena bagi Pemda
APBD merupakan tulang punggung (outcome) atau cetak biru (blue print)
pembangunan daerah. APBD memiliki fungsi penting dalam melakukan alokasi,
distribusi dan stabilitas keuangan Pemda. Oleh karena itu, RAPBD menjadi
sangat penting bagi daerah sebagai arah dan orientasi pembangunan.
2.1.2 Anggaran Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah merupakan organisasi sektor publik yang
kegiatannya berkaitan dengan usaha memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dituntut untuk dapat memanfaatkan
berbagai sumber daya yang dimilikinya seefektif dan seefisien mungkin serta
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk itu, maka diperlukan
perencanaan yang matang terutama dalam penggunaan keuangan Pemerintah
Daerah, karena pada dasarnya keuangan daerah seluruhnya adalah milik publik.
Perencanaan keuangan daerah ini dituangkan dalam bentuk anggaran.
Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No 2 Tentang
Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan bahwa :
“Anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan
19
pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode.”
Mardiasmo (2002:62) menyebutkan bahwa anggaran sektor publik
didefinisikan menjadi :
“Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja, dan aktifitas. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial yang menyatakan : 1) Berapa biaya atas rencana yang dibuat (pengeluaran/belanja), dan 2) Berapa banyak dan bagaimana caranya memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan). “
Dari pengertian anggaran yang diungkapkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa anggaran merupakan rencana keuangan yang berisi perkiraan
pengeluaran dan sumber pendapatannya untuk sautu periode tertentu.
2.1.3 Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia
Anggaran dapat terlaksana dengan baik apabila anggaran tersebut
disusun secara baik pula. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran merupakan
rangkaian proses anggaran. Ihyaul Ulum (2008:106) mengungkapkan tujuan
proses penyusunan anggaran :
Proses penyusunan anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu : 1. Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan
koordinasi antar bagian dalam lingkungan pemerintah. 2. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam
menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan. 3. Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas
belanja. 4. Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah
kepada DPR/DPRD dan masyarakat luas.
20
Selain itu, Ihyaul Ulum (2008:106) mengungkapkan juga apa saja yang
menjadi faktor dominan yang terdapat dalam proses anggaran yaitu :
Faktor dominan yang terdapat dalam proses anggaran adalah : 1. Tujuan dan target yang hendak dicapai. 2. Kesediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimmiliki
pemerintah). 3. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target. 4. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti
munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar, perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya.
2.1.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pembahasan keuangan daerah tidak dapat terlepas dari pembahasan
mengenai APBD, oleh sebab itu pembahasan mengenai keuangan daerah disini
bertolak belakang dari pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
yang merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 menyebutkan bahwa “Anggaran
pendapatan dan belanja daerah selanjutnya disebut APBD, adalah rencana
keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah”.
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
rencana keuangan pemerintah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan oleh
peraturan daerah” (Nordiawan, 2007:39). Sehingga produk APBD merupakan
hasil kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD. Adapun fungsi APBD
adalah sebagai berikut (Halim, 2007:169-170) :
21
1. Fungsi Otorisasi, yaitu APBD merupakan dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahunnyang
bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan, yaitu APBD merupakan pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu APBD merupakan pedoman untuk
menilai apakah penyelenggaran pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi, yaitu APBD harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja atau mengurangi pengeluaran dan pemborosan
sumber daya dan meningkatkan efisiensi dan efektifitas
perekonomian.
5. Fungsi Distribusi, yaitu APBD meruupakan kebijakan anggaran
daerag yang harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.
6. Fungsi Stabilisasi, yaitu APBD merupakan anggaran pemerintah
daerah yang menjadi alat untuk memlihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah.
2.1.4.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan pengertian keuangan daerah menyebutkan bahwa dalam
menyelenggarakan pemerintahan, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Oleh
22
karena itu maka Pemerintah Daerah memerlukan suatu rencana keuangan setiap
tahunnya, yaitu dengan menyusun APBD.
Dalam penyusunan APBD, strukturnya mengalami beberapa kali
perubahan sesuai dengan perkembangan pemerintahan dan peraturan yang
mengaturnya. Dilihat dari struktur, maka sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, struktur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dibagi menjadi Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan. Pendapatan berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Belanja diklasifikasikan menjadi
belanja aparatur dan belanja publik. Kemudian dikelompokkan lagi menjadi
belanja administrasi dan umum; belanja operasi dan pemeliharaan; belanja
modal; belanja transfer; dan belanja tidak tersangka. Pembiayaan merupakan
penerimaan daerah yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran daerah yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahun-
tahun anggaran berikutnya.
2.1.5 Konsep Pendapatan Daerah 2.1.5.1 Pengertian Pendapatan Daerah
Di dalam keuangan daerah terapat hak-hak yang dapat dinilai dengan
uang yang tercermin dalam pendapatan daerah. Pendapatan daerah yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk membiayai berbagai pengeluaran
23
pemerintah sehubungan dengan tanggung jawab sebagai pelayan publik (public
service).
Pendapatan daerah pada dasarnya merupakan penerimaan daerah
dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurnan utang dari berbagai sumber
dalam perode tahun anggaran yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pengertian
yang lebih jelas dan tepat mengenai pendapatan, di bawah ini dikemukakan
beberapa definisi mengenai pendapatan daerah.
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) No. 2 tentang Laporan Realisasi
Anggaran, mendefinisikan : “pendapatan sebagai semua penerimaan rekening
Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode
tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perluy
dibayar kembali oleh pemerintah”. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, yang dimaksud denga pendapatan daerah adalah “Hak Pemerintah
Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
bersangkutan.”
2.1.5.2 Sumber Pendapatan Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah membawa dampak dalam
pengelolaan keuangan daerah dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur
dan mengurus keuangannya sendiri. Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan
24
daerah dapat berjalan lancar maka pemerintah mengaturnya dalam pasal 155
Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai berikut
:
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara.
3. Administrasi pemdanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (2).
Selain itu, dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah
diberikan sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan berbagai tugas dan
tanggung jawabnya. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pasal 157 dan 159, sumber-sumber pendapatan bagi daerah terdiri atas :
1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu : a. hasil pajak daerah; b. hasil retribusi daerah; c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d. lain-lain PAD yang sah.
2. dana perimbangan; dan 3. lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 157 huruf b terdiri atas: 1. Dana Bagi Hasil; 2. Dana Alokasi Umum; dan 3. Dana Alokasi Khusus
25
Menurut Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah pasal
5 menyebutkan bahwa :
1. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
2. Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari : a. Pendapatan Asli Daerah; b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan.
3. Pembiayan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) bersumber dari : a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah; b. Penerimaan pinjaman daerah; c. Dana Cadangan Daerah; d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
2.1.6 Kebijakan Atas Pendapatan Daerah
2.1.6.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber pendapatan yang harus
selalu terus menerus dipacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini
kemandirian Pemerintah Daerah sangat dituntut dalam pembiayaan
pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Daerah sangatlah
penting karena PAD menunjukkan kemampuan daerah dalam menggali sumber
keuangnnya sendiri yang kemudian menjadi sebuah ukuran kinerja bagi
Pemerintah Daerah dalam proses pengembangan ekonomi daerah. Menurut
26
Halim (2004:67), “Pendaptan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah”.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah menurut Ketentuan Umum UU RI
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan : “Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya
disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.”
PAD dipungut/diperoleh berdasarkan pada ketentuan perundangan-
undangan Pasal 6 UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengungkapkan bahwa :
1. PAD bersumber dari : a. Pajak Daerah; b. Retribusi Daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan d. Lain-lain PAD yang sah.
2. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi : a. Hasil penjualan kekayaan Daerah nyang tidak dipisahkan; b. Jasa giro; c. Pendapatan bunga; d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
dan e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 mengklasifikasi PAD menjadi empat
hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian,
28
pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan,
pendapatan dari angsuran atau cicilan penjualan.
Menurut undang-undang No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah
merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk
digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai
pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana
dari pemerintah pusat.
2.1.6.2 Dana Alokasi Umum (DAU)
Kebijakan perimbangan keuangan membawa dampak terhadap
semakin besarnya kesenjangan kemampuan antara daerah, khsusnya karena
setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda.
Dengan kata lain daerah yang mempunyai potensi PBB dan SDA yang besar
akan memperoleh penerimaan yang besar, daerah yang potensinya kecil tentu
akan mendapatkan pendapatan yang kecil juga. Pengaturan Dana Alokasi
Umum (DAU) diarahkan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, yang
berarti daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang relatif besar akan
memperoleh DAU yang realtif kecil demikian sebaliknya.
Pasal 1 UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa :
29
“Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”.
Berdasarkan UU tersebut Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-
kurangnya 26% yang kemudian disalurkan kepada provinsi sebesar 10% dan
kabupaten atau kota sebesar 90% dari total DAU. Hal ini sesuai dengan PP
No. 55 Taun 2005 Pasal 37 yaitu :
1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.
2. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.
3. Dalam hal penentuan proprosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10% (sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen).
4. Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan dalam APBN.
Selanjutnya dari jumlah DAU 90% yang ditujukan untuk kabupaten
dan kota, maka setiap kabupaten dan kota akan mendapatkan DAU sesuai
dengan hasil perhitungan “Formula DAU” yang ditetapkan berdasarkan Celah
Fiskal dan Alokasi Dasar. Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Tahun 2005 Pasal
40 yaitu :
1. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar.
2. Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
3. Kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.
30
4. Kapasitas fiskal sebagimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan Pendaptan Asli Daerah dan DBH.
5. Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdsarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Ketentuan perolehan DAU untuk Kabupaten/Kota menurut PP No. 55
Tahun 2005 pasal 45 yaitu :
1. Daerah yang memiliki celah fiskal lebih dari 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal.
2. Daerah yang memiliki celah fiskal sama dengan 0 (nol), menerima DAU sebesar alokasi dasar.
3. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima Dau sebesar alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai celah fiskal.
4. Daerah yang memeiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima DAU.
2.1.7 Konsep Belanja Daerah
2.1.7.1 Pengertian Belanja Daerah
Di dalam keuangan daerah juga terdapat kewajiban-kewajiban daerah
yang dapat dinilai dengan uang yang tercermin dalam pengeluaran daerah.
Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa pembangunan berbagai fasilitas
publik dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Kewajiban-
kewajiban Pemerintah daerah tersbeut dapat terpenuhi melalui
pengeluaran/belanja daerah.
Pengertian belanja daerah menurut UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
31
adalah : ” Semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersngkutan”.
2.1.7.2 Kebijakan Belanja Daerah
Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organsisasi, fungsi, program dan
kegiatan, dan jenis belanja. Selanjutnya dijelaskan dalam PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 bahwa :
1. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pemerintahan daerah.
2. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari : a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan b. Klasifikasi fungsi pengeloalaan keuangan negara.
3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
4. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari : a. Belanja pegawai b. Belanja barang dan jasa c. Belanja modal d. Bunga e. Subsidi f. Hibah g. Bantuan sosial h. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan i. Belanja tidak terduga.
Sedangkan di dalam Permendagri no. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah sebagaimana dirinci menurut
urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan kegiatan, dan kelompok.
32
1. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari
belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
a. Belanja menurut urusan wajib mencakup : pendidikan,
hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil,
pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga
sejahtera, sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil dan
menengah, penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan
olahraga, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri,
pemerintahan umum kepegawaian; pemberdayaan masyarakat
dan desa, statistik, arsip, dan komunikasi dan informatika.
b. Belanja menurut urusan pilihan mencakup: pertanian,
kehutanan, energidan sumber daya mineral, pariwisata,
kelautan dan perikanan, perdangangan, perindustrian, dan
transmigrasi.
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan.
3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan
dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
4. Klasifikasi belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja
langsung dan belanja tidak langsung.
33
a. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan
tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai,
bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil,
bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.
b. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang
dan jasa, dan belanja modal.
2.1.7.3 Belanja Modal
Sejalan dengan diselenggarakannya otonomi daerah, daerah harus
dapat mengembangkan daerahnya sendiri agar apa yang menjadi tujuan
diselenggarakannya otonomi daerah dapat terlaksana. Untuk itu diperlukan
banyak dana yang harus dikeluarkan Pemerintah Daerah dalam
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah, yang salah
satunya adalah belanja modal. Dengan demikian belanja modal merupakan faktor
penting dalam menyelenggarakan pembangunan daerah.
Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa :
“Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk
34
digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya”.
Dalam PSAP No.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71
Tahun 2010, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah
“Pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi”.
Berdasarkan beberapa pengertian belanja modal diatas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran
pemerintah yang ditujukan untuk kelancaran pembangunan di daerah yang
manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah kekayaan daerah
serta selanjutnya akan menambah belanja operasional dan pemeliharaan.
Belanja modal yang dikeluarkan Pemerintah Daerah merupakan
investasi daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
manfaatnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat.
Dalam mengelola belanja modal ini Pemerintah daerah harus
didasarkan pada prinsip efektifitas, efisien, transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan mempertimbangkan skala prioritas
pembangunan daerah.
Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan
publik oleh daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah
mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja
35
modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik
untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik.
Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah,
sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan
dampak jangka panjang secara finansial.
Adapun jenis belanja modal menurut PSAP No.2 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 terbagai ke dalam enam pos,
yaitu :
1. Belanja Jalan, Irigasi, dan lainnya 2. Belanja aset tetap lainnya 3. Belanja aset lainnya 4. Belanja Tanah 5. Belanja Mesin 6. Belanja Gedung dan Bangunan.
2.2 Kerangka Pemikiran
Mengingat masih lemahnya kemampuan daerah dalam menggali
sumber pendapatan yang berasal dari daerahnya sendiri maka penggunaan
belanja modal harus difokuskan pada program-program yang secara
berkesinambungan yang dapat mendukung peningkatan, penyempurnaan maupun
memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan
pembangunan, kesejahteraan masyrakat, dan merangsang terciptanya sumber
pendapatan baru.
36
Untuk itu, maka perlu dilakukan pengkajian sejauh mana pemerintah
daerah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk membiayai pengeluaran
modal ini. Hal ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan kepada
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya agar dapat tepat guna
dan berhasil guna.
Faktor keuangan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
setiap kegiatan pemerintahan. Karena, semakin besar jumlah uang yang tersedia,
semakin banyak pula kemungkinan kegiatan atau pekerjaan yang dapat
dilaksanakan. Maka, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah berpengaruh
terhadap belanja modal, karena semakin besar kebutuhan daerah untuk kegiatan
pembangunan maka akan semakin besar pula alokasi belanja modal yang
bersumber dari pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah yang
berhasil dipungut oleh pemerintah daerah maka akan semakin besar pula alokasi
belanja modal yang akan dianggarkan oleh pemerintah daerah. Dengan asumsi
bahwa pada dasarnya belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah
ditetapkan setelah belanja/pengeluaran daerah yang bersifat rutin sudah tertutupi.
Dengan demikian, apabila pendapatan daerah yang berhasil dikumpulkan oleh
pemerintah mengalami kenaikan, dimana pengeluaran pemerintah yang bersifat
rutin seperti belanja administrasi dan umum sudah tertutupi, maka kelebihannya
itu akan dialokasikan kepada belanja modal.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal
dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan
37
pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran
pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan publik.
Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam APBD tentu
sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut.
Dalam rangka menjalankan tugasnya pemerintah daerah harus
memiliki sumber keuangan yang cukup memadai, karena untuk melaksanakan
pembangunan daerah diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Pendapatan daerah merupakan sarana pemerintah daerah untuk
melaksanakan tujuan maksimalisasi kemakmuran rakyat. Sumber pendapatan
daerah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendapatan daerah yang
bersumber dari pendapatan asli daerahnya dan pendapatan daerah yang
bersumber bukan dari pendapatan asli daerahnya.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang
bersumber dari pendapatan asli daerah. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan daerah yang bukan berasal dari
pendapatan asli daerah diantaranya dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Salah satu dana perimbangan yang bersumber dari pemerintah pusat
yaitu Dana Alokasi Umum. DAU diarahkan untuk mengatasi ketimpangan fiskal
yang terjadi di daerah. DAU merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari pendapatan luar daerah atau dana hibah murni, dimana kewenangan
penggunaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah setempat.
38
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat sebuah model penelitian
yang dapat tergambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.1
Model Penelitian
2.2.1 Penelitian Terdahulu
Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) meneliti tentang Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum
terhadap Belanja Modal. Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/Kota di Jawa
dan Bali Tahun 2004-2005 dengan alasan ketersediaan data. Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,
dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
Belanja Modal.
Anggiat Situngkir (2009) meneliti pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
PAD, DAU, dan DAK terhadap Belanja Modal dengan mengambil sampel
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Dana Alokasi Umum (DAU)
Belanja Modal
39
penelitian di Pemkab Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut variabel
Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
Sedangkan variabel PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap
Belanja Modal.
Oleh karena itu, dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan bahwa sumber pendapatan secara keseluruhan baik berupa
Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap
Belanja Modal.
Penelitian terdahulu di atas kemudian diringkas dalam Tabel 2.1
berikut ini :
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Ringkasan penelitian terdahulu Peneliti (tahun)
Variabel yang Digunakan Hasil Penelitian
Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007)
Variabel dependen : belanja modal Variabel independen : pertumbuhan ekonomi, PAD, DAU
Variabel PAD dan DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal. Sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh terhadap belanja modal.
Anggiat Situngkir (2009)
Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, Belanja Modal
Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal, sedangkan PAD, DAU, DAK berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
Sumber: Review dari jurnal dan artikel
40
2.2.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal
Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya
sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut
dalam menghasilkan pendapatan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk
kepentingan yang direalisasikan melalui belanja modal .
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap
dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung
dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (Halim, 2004).
Abdullah dan Halim (2004:10) menemukan bahwa sumber pendapatan
daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah
secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari
total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian angaran cukup
besar.
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
belanja modal (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Berdasarkan bukti
empiris tersebut, peningkatan PAD dapat mempengaruhi pemerintah dalam
pengalokasian belanja modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasikan
bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor dalam pengalokasian belanja
modal. Hal ini sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan
41
kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Sehingga apabila Pemda
ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan
masyrakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya.
Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka
hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut :
H1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja
Modal
2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal
Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan
keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,
dekonsentrasi, dan pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian
dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan
untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerntah
daerah (UU No. 33/2004).
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian,
42
terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan Dana Alokasi Umum
untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja
modal.
Abdullah dan Halim (2004) menyatakan bahwa dana transfer jangka
panjang berupa DAU berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan
jumlah dana transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja
modal.
Prakoso (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja
modal dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah
pusat. Hasil penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi
lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan
pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin
tinggi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.
Berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi
belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki
pendapatan daerah berupa DAU yang besar maka belanja modal akan meningkat.
Hipotesis kedua adalah sebagai berikut :
H2 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap
Belanja Modal
43
2.2.4 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
terhadap Belanja Modal
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
belanja modal (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Berdasarkan bukti
empiris tersebut, peningkatan PAD dapat mempengaruhi pemerintah dalam
pengalokasian belanja modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasikan
bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor dalam pengalokasian belanja
modal.
Prakoso (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja
modal dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah
pusat. Hasil penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi
lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan
pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin
tinggi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.
Hipotesis ketiga adalah sebagai berikut :
H3 : Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
berpengaruh positif terhadap Belanja Modal
44
BAB III
METODE PENELITIAN
4.1 Objek Penelitian
Objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian
suatu peneliti, sedangkan subjek penelitian adalah tempat dimana variabel
melekat (Arikunto 2002:15).
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai variabel independen dan
Belanja Modal sebagai variabel dependen.
4.2 Metode Penelitian
Berdasarkan variabel-variabel yang diteliti maka metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan
verifikatif.
Menurut Sugiyono (2012:21) menyatakan bahwa “Metode deskriptif
adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu
hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih
luas”. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat,
serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
45
Sedangkan verifikatif menurut Hasan (2006: 22) adalah menguji
kebenaran sesuatu dalam bidang yang telah ada dan digunakan untuk menguji
hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistik. Dalam hal ini
penelitian verifikatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli
daerah dan dana alokasi umum terhadap alokasi belanja modal pada Pemerintah
Kota Bandung.
4.2.1 Definisi dan Operasionalisasi Variabel
3.2.1.1 Definisi Variabel
Variabel independen (bebas) yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai variabel X1 dan Dana Alokasi
Umum (DAU) sebagai variabel X2 serta Variabel Dependen (terikat) adalah
Belanja Modal sebagai variabel Y.
Pengertian dari masing-masing variabel di atas adalah sebagai berikut :
1. Variabel Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli
yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal
dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan
46
usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari
pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Variabel
Pendapatan Asli Daerah diukur dengan rumus :
2. Variabel Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum adalah transfer yang bersifat umum dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi
ketimpangan horizontal dengan tujuan utama pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah. Dana Alokasi umum untuk
masing-masing Kabupaten / Kota dapat dilihat dari pos dana
perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD. Dana Alokasi
Umum untuk daerah dapat dinyatakan dengan rumus sebagai
berikut :
Dimana.
PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya
yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Variabel belanja modal
dapat diukur dengan :
3.2.1.2 Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi dibutuhkan untuk menjadi acuan dalam penggunaan
instrumen penelitian untuk pengolahan data selanjutnya. Operasionalisasi
variabel dalam penelitian ini diuraikan dalam tabel berikut ini :
Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya
48
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel Sub Variabel/Dimensi
Indikator Skala
Independen (X)
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
(X1)
Realisasi PAD di dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Besarnya jumlah realisasi PAD yang diperoleh daerah yang berasal dari :
Pajak Daerah Retribusi Daerah Hasil Pengelolaan
kekayaan Daerah yang dipisahkan
Lain-lain PAD yang sah
Rasio
Dana Alokasi Umum (DAU)
(X2)
Realisasi DAU di dalam LRA
Besarnya jumlah DAU yang diberikan pemerintah pusat berdasarkan PP RI No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Rasio
Dependen (Y)
Belanja Modal
Realisasi belanja modal di dalam LRA
Besarnya jumlah belanja modal yang ditetapkan setiap tahunnya.
Rasio
49
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Sugiyono (2012:115) mengemukakan bahwa “Populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya”.
Populasi dari penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Pemerintah Kota Bandung.
3.3.2 Sampel
Menurut Sugiyono (2012:116), “sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakterisktik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Adapun teknik yang
digunakan adalah Non Probability Sampling dengan pendekatan Purposive
Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai
dengan objek penelitian.
Sampel dari penelitian ini adalah LRA Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011. Tujuan penentuan sampel ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja modal.
Pertimbangan pemilihan sampel tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kemudahan dalam memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian.
2. Laporan keuangan tujuh tahun terakhir akan memberikan gambaran terbaru
mengenai perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi
50
Umum (DAU) dan belanja modal sehingga dapat terlihat pertumbuhan dari
masing-masing variabel tersebut.
3. Periode tersebut lebih relevan dengan keadaan atau situasi sekarang untuk
dilakukannya penelitian, sehingga hasil penelitian yang didapat lebih
akurat.
4. Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada periode tersebut teah diaudit.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara
yang digunakan adalah studi dokumentasi, dilakukan dengan cara
mengumpulkan dokumen-dokumen Laporan Keuangan Pemerintah yang
berkaitan dengan data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini.
Data yang digunakan oleh penulis diperoleh dari website resmi Badan
Pemeriksa Keuangan RI di http://www.bpk.go.id dan dari Badan Pemeriksaan
Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat Jl. Moh. Toha No. 164.
3.4.1 Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
3.4.1.1 Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk itu, data yang dihimpun dari
hasil penelitian di lapangan akan disusun dan dibandingkan dengan data
kepustakaan, kemudian dilakukan analisis untuk ditarik kesimpulan. Analisis
51
dalam penelitian ini menggunakan statistik parametrik dengan menggunakan
model Regresi Linear Berganda. Untuk masuk ke model regresi tersebut, data
harus diuji asumsi klasik terlebih dahulu. Pengujian asumsi klasik bertujuan
untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar memenuhi syarat,
sebagai asumsi dasar dalam analisis regresi. Uji asumsi klasik terdiri dari uji
multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan Heterokedastisitas. Perhitungan
analisis data seluruhnya akan dibantu dengan menggunakan software statistika
yaitu program SPSS 17 for Windows.
3.4.2 Statistik Deskriptif
Penyajian statistik deskriptif bertujuan untuk melihat profil dari data
penelitian tersebut dengan hubungan yang ada antar variabel yang digunakan
dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Belanja Modal.
3.4.3 Uji Asumsi Klasik
3.4.3.1 Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas diperlukan unuk mengetahui apakah ada tidaknya
variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain
dalam satu model (Nugroho, 2005: 58). Selain itu deteksi terhadap
multikolinearitas juga bertujuan untuk menghindari bias dalam proses
pengambilan keputusan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing
52
variabel independen terhadap variabel dependen. Deteksi multikolinearitas pada
suatu model dapat dilihat jika nilai Variance Inflation Tolerance (VIF) tidak
lebih dari 10 dan nilai Tolerance tidak kurang 0,1, maka model tersebut dapat
dikatakan terbebas dari multikolinearitas. VIF = 1/Tolerance, jika VIF = 10 maka
Tolerance = 1/10 = 0,1.
3.4.3.2 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam
variabel yang digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan
dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal (Nugroho, 2005:
18). Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak, dapat dilihat melalui
normal probability plot dengan membandingkan distribusi kumulatif dan
distribusi normal. Data normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan
ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah
normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti
garis diagonalnya (Ghozali, 2005: 10). Selain itu untuk menguji normalitas
residual dengan menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogrov-Smirnov
(K-S). Jika hasil Kolmogrov-Smirnov menunjukkan nilai signifikan diatas 0,05
maka data residual terdistribusi dengan normal. Sedangkan jika hasil Kolmogrov-
Smirnov menunjukkan nilai signifikan di bawah 0,05 maka data residual
terdistribusi tidak normal (Ghozali, 2005: 113).
53
3.4.3.3 Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya
korelasi dalam hal variabel independen. Uji Autokorelasi dapat dilakukan dengan
cara uji Durbin Watson (DW test). Adapun cara mendeteksi terjadinya
Autokorelasi secara umum dapat diambil patokan sebagai berikut :
a. Angka DW di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif.
b. Angka DW diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi.
c. Angka DW di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.
3.4.3.4 Uji Heteroskedastisitas
Heterokedastisitas merupakan pelanggaran dari asumsi
homokedastisitas yang dapat menyebabkan bias dalam perhitungan koefisien
parameter. Heteroskedastisitas berarti variabel-variabel penjelas dalam
persamaan regresi memiliki varians eror yang tidak konstan, sehingga
mengakibatkan estimator menjadi tidak efisien (baik pada sampel ukuran kecil
atau ukuran besar). Kondisi ini sering muncul dari data time series (data yang
dikumpulkan dari satu individu dan banyak waktu).
Pengujian situasi Heterokedastisitas dilakukan dengan pendekatan
grafik dan uji statistik. Deteksi melalui grafik dilakukan dengan melihat ada
tidaknya pola tertentu pada grafik tertentu, dimana sumbu Y adalah Y yang telah
diprediksi dan sumbu X adalah residual (Y- Prediksi-Y sesungguhnya). Dasar
pengambilan keputusan Gujarati (2003:402) :
54
Jika pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola
tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit),
maka terdapat situasi heteroskedastis.
Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan
dibawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi situasi
heterokedastis.
3.4.4 Metode Regresi Linear Berganda
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis
regresi berganda bertujuan untuk memprediksi kekuatan pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen. Hubungan antar variabel tersebut dapat
digambarkan dengan persamaan sebagai berikut :
Y = α + β1PAD + β2DAU + e
Dimana :
Y = Belanja Modal
α = Konstanta
β = Koefisien Regresi
PAD = Pendapatan Asli Daerah (PAD)
DAU = Dana Alokasi Umum (DAU)
e = error
55
3.4.5 Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dan dibuktikan dalam penelitian ini
berkaitan dengan pengaruh variabel-variabel bebas yaitu Pendapatan Asli Daerah
dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Pengujian hipotesis akan
dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05 (α=0,05) atau tingkat
keyakinan sebesar 0,95 karena tingkat signifikansi tersebut umum digunakan
dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan dinggap cukup tepat untuk mewakili
hubungan antar variabel yang diteliti.
Hipotesis yang akan diuji berkaitan dengan ada tidaknya pengaruh
antara variabel yang diteliti. Hipotesis Nol (Ho) adalah hipotesis yang akan diuji
sedangkan hipotesis Alternatif (Ha) merupakan hipotesis pembanding dari
hipotesis Nol. Dalam penelitian ini pengujian hipotesis akan dilakukan secara
parsial dan secara simultan. Komposisi perumusan hipotesis pada penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
Hipotesis Pertama :
H01 = Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung.
Ha1 = Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh
positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
56
Hipotesis Kedua :
H01 = Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh
negatif dan tidak signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung.
Ha1 = Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh
positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
Hipotesis Ketiga :
H01 = Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Alokasi Umum berpengaruh negatif dan tidak
signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah
Kota Bandung.
Ha1 = Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan
terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota
Bandung.
Selanjutnya untuk pengujian masing-masing hipotesis dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
57
1. Uji t
Pengujian hipotesis secara parsial dengan uji t bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel
terikat Y. uji hipotesis parsial yaitu dengan mengunakan rumus :
Dimana :
t = Nilai uji t
r = Koefisien korelasi
r2 = Koefisien determinasi
Kriteria uji t adalah :
1. Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima (variabel bebas X
berpengaruh terhadap variabel terikat Y).
2. Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak (variabel bebas X
tidak berpengaruh terhadap variabel terikat Y).
2. Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas
(independen) terhadap variabel terikat (dependen) secara simultan atau bersama-
sama ketentuannya yaitu jika F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel maka
tidak terdapat pengaruh antara variabel bebas secara keseluruhan terhadap
푡 = 푟√푛 − 2√1−푟
58
variabel terikat. Sebelum menghitung nilai F statistik maka terlebih dahulu harus
menghitung nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dengan membagi
jumlah kuadrat regresi (ESS) dengan jumlah kuadrat total (TS) nilai R2 ini
selanjutnya akan digunakan dalam menguji kedekatan variabel bebas dan
variabel terikat
Uji F hitung atau f statistik dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
Dimana :
F = Fhitung yang selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel
R2 = Koefisien korelasi yang telah ditentukan
k = Jumlah variabel independen
n = Jumlah anggota sampel
3. Koefisien Determinasi
Pengukuran koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui
persentase pengaruh variabel independen terhadap perubahan variabel dependen.
Dari ini diketahui seberapa besar variabel dependen mampu dijelaskan oleh
퐹 = 푅 /푘
(1− 푅 )/(푛 − 푘 − 1)
59
variabel independennya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain
diluar model. Rumus yang digunakan yaitu :
Dimana :
KD = Koefisien determinasi
r = Koefisien regresi
퐾퐷 = 푟 푥100%
60
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.3 Hasil Penelitian
6.1.1 Gambaran Umum Pemerintah Kota Bandung
6.1.1.1 Profil Daerah
Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang tepatnya
terletak di wilayah Jawa Barat. Secara geografis Kota bandung terletak pada 107○
Bujur Timur dan 6○55 Lintang Selatan. Dilihat dari lokasinya, kedudukan Kota
Bandung sangat strategis, baik bagi komunikasi, perekonomian maupun
keamanan, sebab :
1. Kota Bandung terletak pada titik pertemuan poros jalan raya Barat-Timur
yang memudahkan hubungan dengan daerah Jakarta, sedangkan Ke Utara
dan Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang
dan Pangalengan).
2. Dengan komunikasi yang baik dan tidak terisolir memudahkan geraknya
aparat keamanan ke segala penjuru.
Secara topografis, Kota Bandung terletak pada ketinggian 768 meter di
atas permukaan air laut, titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1050
meter dan terendah di sebelah Selatan adalah 675 meter di atas permukaan air
61
laut. Dengan keadaan seperti ini Kota Bandung menjadi suatu kota yang sejuk
dengan temperatur rata-rata 23.2○C.
6.1.1.2 Sejarah Singkat Pemerintah Kota Bandung
Sejak tanggal 1 April 1906, yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi
Kota Bandung, Dayeuh Bandung ditetapkan menjadi Geimmeente oleh J.B Van
Heutz sesuai dengan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 29 februari 1906,
yang menerangkan bahwa Kota Bandung dibentuk sebagai suatu daerah otonom
yaitu daerah yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Adapun isi pokok dari ordonansi pembentukan Geimeente
Bandung adalah sebagai berikut :
1. Bandung dinyatakan sebagai Geimeente yang berpemerintahan sendiri.
2. Untuk menjalankan tugas dan kewajiban pemerintah Geimeente diberikan
modal pertama sebesar F. 46.775,- yang disisihkan dari Anggaran Belanja
Pemerintahan Kolonial.
3. Tugas dan kewajiban yang harus dijalankan berupa :
a) Pembentukan pemeliharaan sarana kota seperti jalan umum, jembatan,
saluran air hujan, dan lain-lain.
b) Pembuangan sampah dari pekarangan, pertamanan, dan jalan.
c) Pencegahan kebakaran termasuk pemeliharaan kuburan-kuburan umum di
dalam atau di luar Geimeente.
62
d) Perangkat pemerintahan Geimeente secara ex officio diketahui oleh
assistant.
e) Cara penyelenggaraan tugas dan kewajiban adalah dengan jlan
pemberitahuan kewajiban dan wewenang dengan membuat peraturan-
peraturan.
f) Wewenang yang diberikan kepada pemerintahan Geimeente disertai
dengan retrikasi (pembatasan), yaitu tidak boleh mengatur apa-apa yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan tidak bertentangan dengan
yang telah ditetapkan.
Pada waktu itu luas Kota Bandung baru sekitar 1900 Ha dengan dua
ondredistrick (setingkat dengan kecamatan) yang meliputi 14 desa, yaitu :
1. Ondredistrick Bandoeng Koelon meliputi desa Andir, Citepus, Pasar,
Cicendo, Soenaradja, Karanganyar, Astanaanyar dan Regol.
2. Ondredistrick Bandung Wetan terdiri dari desa Baloeboer, Kejaksaan,
lengkong, Kosambi, Cikawao, dan Goemoeroeh.
Sejak dibentuknya Geimeente hingga saat ini Kota Bandung telah
mengalami beberapa kali perubahan dalam status/sebutan, yaitu :
1. Geimeente Bandung (1906-1926).
2. Stadegemeente (mulai 1 Oktober 1926 dengan awal pemerintahan Jepang.
Berdasarkan Keputusan Jenderal tanggal 26 Agustus 1926 No. 3.5.1926 No.
369).
3. Bandung Si (Jaman Pemerintahan Jepang).
63
4. Haminte Kota Bandung (dari tanggal 24 April 1948 sampai dengan 11 Maret
1950 berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 pada masa berlakunya Negara
Pasundan).
5. Kota Besar Bandung (mulai berlaku tanggal 15 Agustus 1950 berdasarkan
UU No. 16 Tahun 1950).
6. Kota Praja Bandung (sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokok-
pokok Pemerintahan daerah di Indonesia).
7. Kotamadya Bandung (Sebagai pelaksana UU No. 1 Tahun 1957, Walikota
Kepala Daerah Bandung dengan surat edaran No. 637 tanggal 11 Maret 1966,
sebutan Kotapraja Bandung secara resmi berubah menjadi Kotamadya
Bandung).
8. Kotamadya Daerah Tingkat II (UU No. 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok
Pemerintahan Daerah).
9. Kota Bandung (UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi UU
No. 32 Tahun 2004).
Landasan pembentukan Pemerintah Kota Bandung di Indonesia pada
dasarnya semenjak tahun 1945, dibentuk atas dasar Pasal 28 Undang-Undang
Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai realisasi dari pasal
tersebut, maka semenjak itu undang-undang yang mengatur tentang Kota
Bandung secara berturut-turut adalah sebagai berikut :
1. UU RI No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
64
2. UU RI No. 52 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok pemerintahan
Daerah.
3. UU RI No. 44 Tahun 1950 tentang Undang-undang atau Peraturan Pokok
Pemerintahan Daerah.
4. UU RI No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
5. Ketetapan Presiden No. 6 Tahun 1956 tentang Pemerintah Daerah.
6. UU RI No. 1 Tahun 1965 tentang Praja Daerah.
6.1.1.3 Visi Pemerintah Kota Bandung
Visi Kota Bandung adalah “Terwujudnya Kota Bandung sebagai kota
jasa yang bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat).”
Untuk merealisasikan keinginan, harapan serta tujuan sebagaimana
tertuang dalam visi yang telah ditetapkan, maka pemerintah bersama elemen
seluruh Kota Bandung harus memahami makna dari visi tersebut, yaitu :
1. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus bersih dari sampah dan bersih praktik
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), penyakit masyrakat (judi, pelacuran,
narkoba, premanisme), dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang
bertentangan dengan moral, agama, dan budaya masyarakat atau bangsa.
2. Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang memberikan kemakmuran bagi
warganya.
65
3. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang taat kepada
agama, hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan,
kenyamanan dan ketertiban Kota.
4. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang bersahabat,
santun, akrab dan dapat menyenangkan bagi orang yang berkunjung serta
menjadikan Kota yang bersahabat dalam pemahaman Kota yang ramah
lingkungan.
Dengan demikian Kota Jasa yang bermartabat adalah kota yang
menyediakan jasa pelayanan yang didukung dengan terwujudnya kebersihan,
kemakmuran, ketaatan, ketakwaan dan kedisiplinan masyrakat.
Berdasarkan pemahaman tersebut, sangatlah rasional pada kurun lima
tahun kedepan diperlukan langkah dan tindakan pemantapan (revitalisasi,
reaktualisasi, reorientasi dan refungsionalisasi) yang harus dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bandung bersama masyarakatnya serta didukung secara politis
oleh pihak legislatif melalui upaya-upaya yang lebih keras, cerdas dan terarah
namun tetap raman dalam meningkatkan akselerasi pembangunan guna
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
6.1.1.4 Misi Pemerintah Kota Bandung
Misi adalah tugas yang diemban Pemerintah Kota Bandung meliputi :
1. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal yang religius, yang
mencakup pendidikan, kesehatan dan moral keagamaan.
66
2. Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan
perekonomian yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka
meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha.
3. Mengembangkan Sosial Budaya Kota yang ramah dan berkesadaran tinggi,
serta berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat
dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan
sosial, keluarga, pemuda dan olahraga serta kesetaraan gender.
4. Meningkatkan kesetaraan kota, yang mencakup pemeliharaan serta
peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika
peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan
daya dukung lingkungan kota.
5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien,
akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah
dan masyarakat.
6. Mengembangkan sistem keuangan kota, mencakup sistem pembiayaan
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan komitmen di atas, maka diperlukan faktor-
faktor pendukung yang menjadi faktor kunci keberhasilan. Adapun faktor-faktor
kunci keberhasilan tersebut meliputi :
1. Komitmen yang kuat dari seluruh pelaku pembangunan baik unsur eksekutif,
legislatif, maupun komponen masyarakat, termasuk perguruan tinggi dan
67
lembaga-lembaga atau pusat-pusat penelitian dan pembangunan IPTEK untuk
membangun Kota Bandung.
2. Susunan dan situasi keamanan Kota Bandung yang kondusif, baik untuk
aktivitas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat serta meningkatkan daya tarik investasi kota.
3. Adanya komitmen untuk menegakkan supremasi hukum.
4. Situasi dan kondisi perekonomian di tingkat regional dan nasional yang
cukup baik berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
kota.
6.1.2 Deskripsi Data Variabel Penelitian
6.1.2.1 Gambaran PAD, DAU dan Belanja Modal Pemerintah Kota
Bandung
6.1.2.1.1 Gambaran PAD Pemerintah Kota Bandung
Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab, maka pelaksanaan pemerintahan di daerah arus lebih
meningkatkan kemandiriannya dalam mengatur rumah tangganya sendiri.
Dengan demikian Pemerintah Daerah memegang peranan penting dalam
pelaksanaan otonomi daerah ini mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian sampai pada pembiayaan dan evaluasi.
Untuk melaksanakan tugas pemerintahan tersebut diperlukan sarana
penunjang yang sangat memadai, dalam hal ini keuangan. Keuangan merupakan
68
salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Gambaran mengenai jumlah realisasi Pendapatan Asli Daerah yang
berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 dapat
dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Bandung
Rata-rata 18,20 Sumber : Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)
Untuk mengetahui gambaran PAD pada Pemerintah Kota Bandung
tahun anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada gambar 4.1
sebagai berikut :
69
Gambar 4.1
Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah
Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011
Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data realisasi Pendapatan Asli
Daerah Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami
kenaikan, sedangkan menurut gambar 4.1 kontribusi PAD terhadap Pendapatan
Daerah mengalami penurunan di tahun anggaran 2005-2008 dan mengalami
kenaikan kembali di tahun anggaran 2009-2011. Persentasi kontribusi tertinggi
terjadi pada tahun anggaran 2011 yaitu 26,79% dengan jumlah realisasi sebesar
Rp. 834.595.864.970,00. Sedangkan persentase terendah terjadi pada tahun
anggaran 2008 yaitu 13,60% dengan jumlah realisasi sebesar Rp.
274.627.155.412,00.
0
5
10
15
20
25
30
TA2005 TA2006 TA2007 TA2008 TA2009 TA2010 TA2011
PAD
70
Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemerintah Kota
Bandung tahun anggaran 2005, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah
Kota Bandung adalah sebesar Rp. 225.596.438.613. Dari jumlah tersebut
pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp. 143.107.822.781, retribusi
daerah sebesar Rp. 66.280.333.390, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 2.552.953.482 dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 13.655.328.960.
Pada tahun anggaran 2006, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 253.882.919.542,87. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp.
164.781.409.646, retribusi daerah sebesar Rp 76.015.059.933, hasil perusahaan
milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp
3.155.367.154 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp
9.931.082.809,87.
Pada tahun anggaran 2007, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 287.249.534.044,93. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 190.496.238.611,
retribusi daerah sebesar Rp 76.099.329.030, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 3.763.745.190
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 16.890.226.213,93.
Pada tahun anggaran 2008, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 314.617.155.412. Dari jumlah
71
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 214.397.508.439,
retribusi daerah sebesar Rp 72.901.342.103, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 5.447.893.079
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 21.880.411.791.
Pada tahun anggaran 2009, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 374.712.964.143. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 250.613.823.937,
retribusi daerah Rp 82.518.741.347, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 7.100.658.109 dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 34.479.740.750.
Pada tahun anggaran 2010, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 441.871.140.944. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 301.781.987.749,
retribusi daerah sebesar Rp 86.471.546.547, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 15.298.098.935 dan yang
diperoleh dari pos lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp
38.319.509.713.
Pada tahun anggaran 2011, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 834.595.864.970. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 667.106.811.687,
retribusi daerah sebesar Rp 71684.532.455, hasil perusahaan milik daerah dan
72
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 10.328.428.076, dan lain-
lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 85.476.092.752.
Dalam struktur Pendapatan Daerah Kota Bandung selama tahun
anggaran 2005-2011, dapat dilihat kontribusi realisasi PAD terhadap jumlah
Pendapatan Daerah masih kecil denga rata-rata 18,20%. Hal ini mencerminkan
ketergantungan Pemerintah Kota Bandung terhadap pemerintah pusat masih
cukup besar. Namun kenaikan yang dialami pada tahun anggaran 2009-2011 tiga
tahun berturut-turut telah menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
penggalian sumber-sumber pendapatan daerah. Namun di samping itu,
mengingat kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah yang masih kecil dapat
dikatakan kemampuan keuangan Kota Bandung masih kurang dimana kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih banyak dibiayai dari
dana APBN.
Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan
daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi di ukur dari
besarnya kontribusi yang diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap total
APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh pendapatan asli
daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah
terhadap bantuan pemerintah pusat sehingga otonomi daerah dapat terwujud.
Dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah yang semakin tinggi
Pemerintah Kota Bandung memiliki arah kebijakan dalam mengelola
pendapatannya. Salah satu arah kebijakannya adalah menginvestasikan sebagian
73
pendapatannya terhadap aset-aset pemerintah. Pada akhirnya investasi terhadap
aset-aset pemerintah tersebut mampu meningkatkan pembangunan dan pelayanan
terhadap masyarakat serta dapat merangsang terciptanya sumber pendapatan baru
6.1.2.1.2 Gambaran DAU Pemerintah Kota Bandung
Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersifat hibah murni
(grants) yang kewenangan penggunaan diserahkan penuh kepada Pemda
penerima. UU no. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberikan pengertian bahwa :
“Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”.
Dana ini juga telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan
dengan Keputusan Presiden. Sehingga setiap Pemda dapat memasukan nilai dari
dana ini dengan tepat pada RAPBD.
Gambaran mengenai jumlah realisasi Dana Alokasi Umum yang
berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 dapat
dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :
74
Tabel 4.2
Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011
(dalam rupiah)
Tahun Dana Alokasi Umum Total Pendapatan Kota Bandung
Uji Multikolinearitas betujuan untuk mengetahui apakah diantara
beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi terjadi hubungan
linear yang sempurna atau pasti. Pendeteksian dilakukan dengan melihat nilai
tolerance (TOL) dan faktor inflasi varians (Variance Inflation Factor, VIF).
Berikut ini disajikan tabel hasil penghitungan TOL dan VIF dengan menggunkan
Software SPSS 17 for Windows.
Tabel 4.5
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
Collinearity
Statistics
B Std. Error Beta
Toleranc
e VIF
1 (Constant) -2.684E11 8.064E10 -3.329 .029
PAD .496 .111 .572 4.461 .011 .696 1.437
DAU .469 .112 .537 4.184 .014 .696 1.437
a. Dependent Variable: BelanjaModal
Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat disimpulkan bahwa dari model tidak
mengalami gejala multikolinearitas karena memiliki tolerance yang lebih besar
dari 0,01 dan VIF yang lebih kecil dari 10. Ghozali dalam bukunya Aplikasi
85
Analisis Multivariate dengan Program SPSS, menyatakan bahwa model regresi
yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel-variabel bebas.
2. Uji Normalitas
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah data sampel yang diambil
mengikuti sebaran distribusi normal atau tidak. Pengujian dilakukan berdasarkan
uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang ditunjukkan pada tabel 4.6 berikut :
Tabel 4.6
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
PAD DAU BelanjaModal
N 7 7 7
Normal Parametersa,,b Mean 3.7879E11 8.3279E11 3.1048E11
Std. Deviation 2.14686E11 2.12992E11 1.86263E11
Most Extreme Differences Absolute .258 .217 .162
Positive .258 .181 .162
Negative -.232 -.217 -.145
Kolmogorov-Smirnov Z .682 .575 .428
Asymp. Sig. (2-tailed) .741 .895 .993
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
86
Dari perhitungan pada tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa nilai PAD,
DAU, dan Belanja Modal masing-masing sebesar 0.741, 0.895 dan 0.993
(Asymp.Sig.(2-tailed)). Ketiga nilai tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga data
yang digunakan dapat dikatakan berdistribusi normal serta dapat disimpulkan
bahwa PAD, DAU, dan Belanja Modal dapat memenuhi uji normalitas. Untuk
menegaskan hasil dari perhitungan Tes Kolmogorov-Smirnov Sampel Tunggal
diatas, digunakan juga grafik P- Plot of Regression Standardized Residual
Gambar 4.4
87
3. Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah di dalam model
regresi terdapat korelasi antar variabel-variabel independen itu sendiri atau
berkorelasi sendiri. Pendeteksian gejala autokorelasi dilakukan dengan uji
Durbin-Watson (DW). Berikut adalah hasil pengujian autokorelasi Durbin-
Watson menggunakan Software SPSS 17 for Windows.
Tabel 4.7
Dari hasil pengujian autokorelasi D-W di atas diperoleh angka D-W
sebesar 2,361 yang terletak di antara -2 sampai +2. Hal ini berarti dapat
disimpulkan bahwa model penelitian ini bebas dari autokorelasi.
4. Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah prediktor dalam
penelitian mempunyai kekonsistenan dan memiliki standar error yang tidak
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 .977a .954 .931 4.88252E10 2.361
a. Predictors: (Constant), DAU, PAD
b. Dependent Variable: BelanjaModal
88
terlalu besar. Untuk menguji ada tidaknya gejala heterokedastisitas dilakukan
dengan melihat grafik scatter plot. Berikut ini disajikan grafik scatter plot.
Gambar 4.5
Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
gejala heterokedastisitas karena titik menyebar secara tidak teratur atau tidak
membentuk suatu pola tertentu serta titik menyebar di atas dan di bawah angka
nol.
Setelah semua asumsi klasik dipenuhi maka dilakukan pemodelan atas
koefisein regresi yang diperoleh. Pemodelan ditentukan dengan persamaan
regresi seperti yang dibawah ini :
Y = α + β1PAD + β2DAU + e
89
Dimana :
Y = Belanja Modal
α = Konstanta
β = Koefisien Regresi
PAD = Pendapatan Asli Daerah (PAD)
DAU = Dana Alokasi Umum (DAU)
e = error
Untuk menentukan persamaan regresi maka terlebih dahulu dilakukan
pengujian hipotesis.
4.1.3.2 Pengujian Hipotesis
1. Uji t
Pengujian hipotesis secara parsial dengan uji t bertujuan untuk
mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel
terikat Y. Pengujian dilakukan dengan membandingkan thitung dengan ttabel.
Penghitungan nilai thitung dilakukan dengan menggunakan Software SPSS 17 for
Windows. Hasil thitung disajikan dalam tabel 4.8
90
Tabel 4.8
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta
1 (Constant) -2.684E11 8.064E10 -3.329 .029
PAD .496 .111 .572 4.461 .011
DAU .469 .112 .537 4.184 .014
a. Dependent Variable: BelanjaModal
Berdasarkan tabel 4.8 diatas maka dapat dibentuk persamaan regresi
yang dapat digunakan untuk memprediksi belanja modal Pemerintah Kota
Bandung sebagai berikut :
Ŷ = -2.684E11 + 0,496X1 + 0.469X2 + e
Model persamaan regresi berganda di atas bermakna :
1. Y = Nilai konstanta sebesar -2.684E11 artinya apabila variabel Pendapatan
Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum bernilai nol, maka Belanja Modal
sebesar -2.684E11 (Rp. -268.400.000,00) .
2. X1 = Variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap belanja
modal dengan nilai koefisien 0,496, artinya setiap pertambahan 1% variabel
PAD akan menaikkan belanja modal sebesar 0,496 satuan dengan asumsi
variabel lain dalam kondisi konstan.
91
3. X2 = Variabel Dana Alokasi umum berpengaruh positif terhadap belanja
modal dengan nilai koefisien 0,469, artinya setiap pertambahan 1% variabel
DAU akan menaikkan belanja modal sebesar 0,469 satuan dengan asumsi
variabel lain dalam kondisi konstan.
1. Hipotesis Pertama
Tabel 4.8 menunjukkan thitung untuk PAD sebesar 4,461. Besarnya ttabel
pada α = 0,05 adalah sebesar 1,895. Besarnya thitung untuk Pendapatan Asli
Daerah sebesar 4,461 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,011
< 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Pendapatan
Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
Ha1 = Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan
signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota
Bandung.
2. Hipotesis Kedua
Dari hasil penelitian pada tabel 4.8, Dana Alokasi Umum (X2)
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hasil ini dapat
dilihat pada uji t yang memiliki thitung = 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka
signifikansi 0,014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial
92
Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung.
Ha1 = Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan
signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota
Bandung.
2. Uji F
Pengujian hipotesis secara simultan dengan uji F bertujuan untuk
mengetahui pengaruh secara simultan dari variabel bebas X1, dan X2 terhadap
variabel terikat Y. Pada penelitian ini pengujian dilakukan dengan
membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Hasil Fhitung disajikan dalam tabel 4.9
dibawah ini :
Tabel 4.9
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 1.986E23 2 9.931E22 41.660 .002a
Residual 9.536E21 4 2.384E21
Total 2.082E23 6
a. Predictors: (Constant), DAU, PAD
b. Dependent Variable: BelanjaModal
93
3. Hipotesis Ketiga
Berdasarkan tabel 4.9 diatas diperoleh Fhitung sebesar 41,660 > Ftabel
sebesar 6,940 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena itu tingkat
signifikansi 0,002 < 0,05, maka model regresi pada penelitian ini dapat dipakai
untuk memprediksi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel PAD dan DAU
berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal.
Ha1 = Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
3. Koefisien Determinasi
Pengujian koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur garis
regresi atau secara verbal mengukur proporsi total varians dalam Y yang
dijelaskan oleh regresi. Sebelum mengukur koefisien determinasi terlebih dahulu
harus menghitung koefisien korelasi (R). Penghitungan koefisien korelasi pada
penelitian ini menggunakan Software SPSS 17 for Windows Hasil penghitungan
disajikan dalam tabel berikut ini :
94
Tabel 4.10
Model Summary
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
1 .977a .954 .931 4.88252E10
a. Predictors: (Constant), DAU, PAD
Tabel 4.10 di atas menunjukkan koefisien korelasi antara PAD dan
DAU terhadap Belanja Modal sebesar 0,977. Artinya terdapat pengaruh yang
sangat kuat antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal, dan koefisien
determinasi sebesar 0,954. Angka-angka ini berarti PAD dan DAU memberikan
pengaruh terhadap Belanja Modal sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dihitung dalam penelitian ini.
4.1.3.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal
Koefisien regresi PAD sebesar 0,496 menunjukkan bahwa setiap
peningkatan nilai variabel PAD sebesar satu satuan sedangkan nilai variabel lain
tetap, maka akan mengakibatkan naiknya nilai variabel belanja modal sebesar
0,496 satuan.
Penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa Pendapatan Asli
Daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal yaitu pada penelitian yang
95
dilakukan oleh Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) dan Anggiat Situngkir
(2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar Pendapatan
Asli Daerah maka akan semakin besar pula belanja modalnya. Namun, hasil
penelititan ini tidak dapat begitu saja digeneralisasikan dengan penelitian-
penelitian di atas karena penelitian ini difokuskan khusus kepada Pemerintah
Kota Bandung. Sedangkan pada penelitian-penelitian sebelumnya berfokus
kepada Pemerintah Daerah dalam satu provinsi. Jadi, hasil penelitian ini dapat
dikatakan masih tergolong baru apabila dilihat dari subyek penelitian yang
diambil.
Tabel 4.8 menunjukkan thitung untuk PAD sebesar 4,461. Besarnya ttabel
pada α = 0,05 adalah sebesar 1,895. Besarnya thitung untuk Pendapatan Asli
Daerah sebesar 4,461 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,011
< 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Pendapatan
Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
4.1.3.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal
Berdasarkan persamaan regresi pada tabel 4.8 di atas diperoleh
koefisien regresi DAU sebesar 0,469. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap
peningkatan nilai DAU sebesar satu satuan sedangkan nilai variabel lain tetap,
maka akan mengakibatkan naiknya nilai varibel belanja modal sebesar 0,469
96
satuan. Hal ini berarti semakin tinggi Dana Alokasi Umum tahun berjalan maka
semakin besar pula kontribusinya terhadap Belanja Modal di Pemerintah Kota
Bandung.
Besarnya thitung untuk Dana Alokasi Umum sebesar 4,184 > dari ttabel
1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,014 < 0,05. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan
signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah Dana
Alokasi Umum, maka akan semakin besar pula belanja modalnya. Hal ini dapat
kita lihat pada koefisien regresi variabel Dana Alokasi umum dalam persamaan
regresi sebesar 0,469 yang berarti bahwa setiap peningkatan DAU sebesar satu
satuan akan mengakibatkan perubahan pada belanja modal sebesar 0,469.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anggiat Situngkir (2009) yang menyatakan bahwa variabel DAU memiliki
pengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Dari hasil penelitian pada tabel 4.8, Dana Alokasi Umum (X2)
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hasil ini dapat
dilihat pada uji t yang memiliki thitung = 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka
signifikansi 0,014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial
Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung. Artinya semakin besar Dana Alokasi Umum
maka semakin besar pula alokasi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.
97
Begitupun sebaliknya, semakin kecil Dana Alokasi Umum maka semakin kecil
alokasi belanja modal Pemerintah Kota Bandung. Karena pengaruh Dana Alokasi
Umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, artinya pengaruh tersebut
besar dan berarti.
4.1.3.2.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
terhadap Belanja Modal
Berdasarkan tabel 4.9 diatas diperoleh Fhitung sebesar 41,660 > Ftabel
sebesar 6,940 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena itu tingkat
signifikansi 0,002 < 0,05, maka model regresi pada penelitian ini dapat dipakai
untuk memprediksi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel PAD dan DAU
berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal.
Tabel 4.10 di atas menunjukkan koefisien korelasi antara PAD dan
DAU terhadap Belanja Modal sebesar 0,977. Artinya terdapat pengaruh yang
sangat kuat antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal, dan koefisien
determinasi sebesar 0,954. Angka-angka ini berarti PAD dan DAU memberikan
pengaruh terhadap Belanja Modal sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dihitung dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada tabel 4.8 di atas, maka
dapat digambarkan pengaruh dari masing-masing variabel independen (X1 dan
X2) terhadap variabel Y sebagai berikut :
98
Gambar 4.6
Persentase Pengaruh Variabel
Pendapatan Asli Daerah
Dana Alokasi Umum
Belanja Modal
49,6%
46,9%
95,4%
99
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
6.2 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada Pemerintah Kota Bandung mengenai
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja
modal tahun anggaran 2005-2011, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Pendapatan Asli Daerah
terhadap terhadap Belanja Modal. Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap
belanja modal. Akan tetapi pada kenyataannya PAD Pemerintah Bandung
tidak dapat dipungut sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Bandung, hal ini
disebabkan karena kebocoran-kebocoran yang terjadi pada pemungutan
PAD. Kebocoran-kebocoran PAD tersebut mengakibatkan kontribusi PAD
terhadap belanja modal tidak optimal.
2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Dana Alokasi Umum
terhadap terhadap Belanja Modal. Berdasarkan hasil perhitungan
menunjukkan variabel Dana Alokasi umum berpengaruh positif terhadap
modal. Akan tetapi pada kenyataanya DAU yang diterima Pemerintah Kota
Bandung disalahgunakan pemakaiannya, DAU cenderung digunakan untuk
100
kepentingan-kepentingan pribadi pejabat daerah. Hal ini menyebabkan
kontribusi DAU terhadap belanja modal tidak optimal.
3. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota
Bandung tahun anggaran 2005-2011.
6.3 Saran
Adapun saran yang penulis ajukan dalam penelitian ini antara lain :
1. Sebaiknya Pemerintah Kota Bandung lebih mengoptimalkan usaha dalam
meningkatkan pendapatan daerahnya dan memperketat pengawasan agar
tidak terjadi kebocoran terutama pendapatan yang bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah. Karena PAD merupakan gambaran dalam
kemandirian daerah.
2. Pemerintah Kota Bandung diharapkan dapat mengalokasikan belanja
modalnya pada program/kegiatan yang dapat meningkatkan pembangunan
dan pelayanan terhadap masyarakat serta dapat merangsang terciptanya
sumber pendapatan baru.
3. Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk
melakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan sampel yang
digunakan dan memperluas periode pengamatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. (2007). Seri Bunga Rampai Manajmenen Keuangan daerah Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Abdullah Syukriy dan Abdul Halim (2006). “Studi atas Belanja Modal pada Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeilharaan dan Sumber Pendapatan’. Jurnal Akuntansi Pemerintah. Vol.2No.2 Hal 17-32
Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. (2004). “Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi VI, hal. 1140-1159.
Darwanto dan Yulia Yustikasari. (2007). “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal”. Simposium Nasional Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik, Vol 08 No. 01. February 2007. BPFE UGM. Yogyakarta
Ghozali, Imam. (2006). Statistik Multivariat SPSS. Penerbit BP Universitas Diponegoro.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. (2006). Hubungan dan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi. Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.
Hari Adi, Priyo. 2006. ”Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah”. Simposium Nasional Akuntansi IX.
Iqbal Hasan. (2004). Analisis Data Penelitian dan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara
Kesit Bambang Prakosa. (2004). Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan pendapatan Asli Daerah (Study Empirik di Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan DIY). Desember: Yogyakarta
Mahmudi. (2006). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta: Andi
Nugroho, Bhuono, Agung. (2005). Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian Dengan SPSS, Edisi I. Yogyakarta: Andi
Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah republic Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah
Saragih, Juli Panglima. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Stungkir, Anggiat (2009). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal (Studi Empiris Pada pemkot/Pemkab Sumatera Utara. Juli. Medan
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Bandung Alfabeta
_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
_______________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
_______________. (2010). Penelusuran Koran Kaskus. Dana perbaikan jalan hanya sebesar Rp.54M tak cukup. http://penelusurankornkaskus.com/index.php/berita/data-bisnis-dana-perbaikan- jalan-hanya-sebesar-Rp.54M-tak-cukup
__________. (2012). Bisnis Jabar. PAD Kota Bandung Berasal dari Pajak Hiburan. http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/data-bisnis-pendapatan-asli-daerah-kota-bandung-dari-pajak-hiburan
_______________. (2012). Bisnis Jabar. Belanja Daerah ditargetkan Konsisten dari Pajak. http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/belanja-daerah-kota-bandung-ditargetkan-konsisten-dari-pajak
_______________. (2011). Kementerian Dalam Negeri. Mendagri Segera Sisir Rekening Pejabat Daerah. http://www.depdagri.go.id/news/2011/06/17/mendagri-segera-sisir-rekening-pejabat-daerah
Website BPK RI www.bpk.go.id
Website Departemen Keuangan RI http://www.djpk.depkeu.go.id
Website Tibun Jabar www.tribunnews.com
Website Surat Kabar Karawang www.karawangnews.com
Website Pikiran Rakyat Online www.pikran-rakyat.com