PENGARUH PEMBERIAN EKSTRA BIJI KAKAO (Theobroma Cacao) TERHADAP KERUSAKAN SEL GINJAL MENCIT (mus Mucukus) YANG DI INDUKSI PARASETAMOL SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Khrestyawan L G0006105 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
46
Embed
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRA BIJI KAKAO (Theobroma Cacao ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRA BIJI KAKAO
(Theobroma Cacao) TERHADAP KERUSAKAN SEL GINJAL MENCIT (mus Mucukus) YANG DI INDUKSI PARASETAMOL
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Khrestyawan L G0006105
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ginjal merupakan organ utama dalam ekskresi produk sisa
metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Selain itu ginjal juga
membuang banyak toksin dan zat asing lainnya yang diproduksi atau berasal
dari tubuh atau pencernaan, seperti pestisida, obat-obatan dan zat penambah
pada makanan (Guyton and Hall,1996). Gangguan fungsi ginjal dapat
disebabkan karena kelainan pada hati seperti sirosis atau kerusakan menetap
karena virus hepatitis dan keracunan parasetamol (Dische,1995).
Acetaminophen, atau yang lebih dikenal dengan Paracetamol,
merupakan obat analgesik dan antipeuretik yang sering digunakan. Pemakaian
paracetamol dengan dosis yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama
dapat menyebabkan kerusakan hepar dan ginjal. Phenacetin yang terdapat
didalam paracetamol merupakan salah satu bahan yang paling sering
menyebabkan nephropati analgesik (Lorz et al.,2004).
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon
yang berasal dari Amerika Selatan. Biji kakao, diketahui mengandung
berbagai macam substansi poliphenol seperti catechin dan rantai oligomer C4-
C8 yang merupakan antioksidan utama pada coklat dan kakao (Osakabe et al.,
2002). Flavonoid yang terdapat dalam biji kakao yang terbanyak adalah
2
oligomer procyanidin yang bentuk kompleknya dikenal sebagai flavan-3-ol
monomer (Lee et al.,2006).
Senyawa flavonoid saat ini banyak mendapat perhatian karena,
kelompok senyawa ini dilaporkan mempunyai berbagai aktifitas farmakologis
seperti: antinflamasi, antioksidan, antibakteri. Beberapa senyawa yang bersifat
sebagai antioksidan dan antiradikal antara lain adalah antosianin, flavon dan
flavonol serta flavonoid. Flavonol memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi
dibanding jenis flavonoid lain (Mun’im , 2005). Flavonoid berperan sebagai
antioksidan karena dapat menangkap radikal bebas (free radical scavengers)
dengan melepaskan atom hidrogen dari gugus hidroksilnya. Pemberian atom
hidrogen ini akan menyebabkan radikal bebas menjadi stabil sehingga tidak
menimbulkan kerusakan sel ( Ide, 2008).
Cokelat merupakan bahan makanan yang digemari oleh masyarakat
baik di Indonesia maupun didunia, serbuk cokelat berasal dari biji kakao. Biji
kakao di ketahui mengandung flavonoid yang merupakan antioksidan.
Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin membuktikan apakah biji kakao
dapat mengurangi kerusakan histologis ginjal mencit akibat pemberian
parasetamol.
3
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
Apakah pemberian ekstrak biji kakao (Theobroma cacao) dapat
mengurangi kerusakan histologis ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi
parasetamol?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji kakao
(Theobroma cacao) dalam mengurangi kerusakan histologis ginjal mencit
(Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
ekstrak biji kakao (Theobroma cacao) dalam mengurangi kerusakan
histologis ginjal mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk
penelitian lebih lanjut, missalnya penelitian dengan subyek manusia.
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Ginjal
Ginjal memiliki berbagai fungsi penting bagi tubuh kita, salah
satu yang terpenting adalah membuang bahan- bahan sampah tubuh
dari hasil pencernaan atau yang diproduksi oleh metabolisme (Guyton
and Hall, 1996). Selain berperan penting dalam mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit, ginjal juga merupakan jalan
penting untuk mengeluarkan berbagai zat sisa metabolik yang toksik
dan senyawa- senyawa asing dari tubuh (Sherwood, 2001).
Ginjal merupakan organ yang rentan terhadap efek toksik
zat-zat kimia dan obat- obatan. Hal tersebut karena, ginjal menerima
25 persen dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah besar. Selain itu, ginjal merupakan
jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat, sehingga insufisiensi
ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan peningkatan konsentrasi
dalam cairan tubulus (Price dan Wilson, 1994).
Ginjal mengatur susunan kimia lingkungan interna dengan
prose-proses kompleks yang terdiri atas filtrasi, absorpsi aktif, absorpsi
pasif, dan sekresi. Tubulus-tubulus nefron, terutama tubulus kontortus
proksimal, mereabsorpsi zat-zat dalam filtrat yang berguna bagi
5
metabolisme tubuh sehingga dapat mempertahankan homeostatis
lingkungan interna. Selain itu, juga memindahkan hasil-hasil sisa dari
darah ke lumen tubulus yang dikeluarkan lewat urin (Junqueira dan
Carneiro, 1988).
Ginjal dibagi dalam korteks luar dan medula dalam. Pada
manusia, medula renis terdiri atas 10-18 stuktur berbentuk kerucut
(piramidal), yaitu piramidal medula. Dari dasar setiap piramidal
medula, terjulur berkas-berkas tubulus pararel,berkas medula yang
menyusup kedalam korteks. Setiap berkas medula terdiri atas satu atau
lebih duktus koligentes bersama bagian lurus beberapa nefron. Korteks
ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars radiata. Pars konvulata
tersusun dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang membentuk labirin
kortikal (Paulsen, 2000).
Unit kerja fungsional ginjal disebut nefron. Setiap ginjal
terdapat 1-4 juta nefron, yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar,
korpuskulus renal, tubulus kontortus proksimal, segmen tebal dan tebal
ansa (lengkung) Henle dan tubulus kontortus distal (Paulsen, 2000).
Terdapat dua jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron
jukstamedula. Nefron jukstamedula merupakan nefron berlengkung
panjang yang penting dalam pembentukan gradien osmotik vertikal
medula (Sherwood, 2001).
6
Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai
kapiler glomerulus. Kapsula Bowman merupakan suatu invaginasi
dari tubulus proksimal yang dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel-sel epitel
parietal berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari kapsula
sedangkan sel-sel epitel viseral jauh lebih besar dan membentuk bagian
dalam kapsula dan melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Membrana
basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara
sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak
seperti sel-sel epitel, sel endotel berkontak kontinu dengan membrana
basalis. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel viseral
merupakan tiga lapisan yang membentuk membrana filtrasi
glomerulus. Sel-sel mesangial adalah sel-sel endotel yang membentuk
suatu jaringan kontinu antara lengkung-lengkung kapiler glomerulus
dan diduga juga berfungsi sebagai jaringan penyokong. Sel-sel
mesangial ini bukan merupakan bagian dari membrana filtrasi (Price
dan Wilson, 1994).
Tubulus kontortus proksimal merupakan segmen awal nefron
yang berkelok-kelok dan timbul pada katup urinarius badan ginjal.
Pada potongan melintang korteks, tubulus proksimal dibatasi oleh
epitel selapis kubis yang sangat asidofil karena banyak terdapat
mitokondria yang memanjang. Selain itu, terdapat juga brush border
yang merupakan apeks sel yang menghadap ke lumen tubulus yang
mengandung banyak mikrovili (Junqueira dan Carneiro, 1988).
7
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya 20-25 persen
dari curah jantung, arteri renalis memasuki ginjal bersama ureter dan
vena renalis, kemudian bercabang secara progresif membentuk arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis dan arteriol aferen, yang
menuju ke kapiler glomerulus dalam glomerulus dimana sejumlah
cairan dan zat terlarut difiltrasi untuk memulai pembentukan urin
(Guyton and Hall, 1996). Saat arteri renalis masuk ke hilus, arteria
tersebut terbagi menjadi beberapa cabang yang ukurannya relatif
besar, yaitu arteri-arteri interlobar. Arteri ini menuju ke perifer di
antara piramid-piramid yang hampir mendekati korteks, yang
kemudian membelok dan melengkung seperti busur, yang karenanya
diberi nama arteri-arteri arciform atau arcuate. Tiap-tiap arteri arcuate
membuat beberapa percabangan arteri interlobar yang selanjutnya
menjadi arteriol-arteriol aferen. Setiap arteriol kemudian bercabang
dan menyusun suatu jaringan kapiler yang mengelilingi bagian lainnya
dari nefron. Arteriol-arteriol yang meninggalkan glomerulus di dekat
medula membuat cabang-cabang dan langsung menuju ke medula
sebagai arteri rectae, di mana kemudian membentuk jaringan-jaringan
kapiler di sekitar tubulus kolektivus dan lengkung Henle ( Price dan
Wilson, 1994).
Pemakaian analgetik yang berlebihan dan dalam jangka waktu
yang lama dapat menyebabkan nefritis interstitial kronis, yang disertai
8
nekrosis papiler ginjal. Asetaminofen, metabolit fenasetin, dapat
merusak sel dengan ikatan kovalen dan jejas oksidatif (Robbins dan
Kumar, 1995).
Selain menyebabkan nefritis intestinal kronis, pemakaian
analgetik berlebih dapat pula menyebabkan nekrosis tubuler akut
nefrotoksik yang secara histologis ditandai dengan nekrosis segmen-
segmen pendek tubulus, terutama pada tubulus proksimal, dengan
membrana basalis tubuli umumnya masih baik dan secara klinik terjadi
supresi akut fungsi ginjal. Hal ini terjadi karena sel epitel tubulus
ginjal peka terhadap anoksia dan mudah rusak karena keracunan saat
kontak dengan zat-zat yang diekskresi oleh ginjal (Robbins dan
Kumar, 1995).
Perubahan- perubahan lisis yang terjadi pada sel nekrosis pada
umumnya dapat terjadi pada semua bagian sel, tetapi petunjuk paling
jelas adalah perubahan yang terjadai pada inti sel (Price and Wilson,
1994)
2. Parasetamol
Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat yang sering
digunakan, karena merupakan obat bebas dan mudah mendapatkannya.
Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik.
Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus aminobenzen (Wilmana, 2001).
Parasetamol bekerja dengan menghambat sintesa prostaglandin dalam
9
susunan saraf pusat yang mempengaruhi pusat hipotalamus untuk
pengontrolan suhu tubuh dan tidak memiliki efek anti inflamasi yang
bermakna (Katzung, 1998). Efek analgesik parasetamol yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang seperti
nyeri kepala, mialgia, dan keadaan lain. Sebagai analgesik, sebaiknya
parasetamol tidak diberikan terlalu lama karena dapat menimbulkan
nefropati analgesik (Wilmana, 2001)
Parasetamol diberikan secara oral, absorbsinya tergantung masa
pengosongan lambung dan puncak konsentrasinya dalam darah
biasanya terjadi pada 30-60 menit. Asetaminofen sedikit terikat dengan
protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati,
kemudian mengalami glukoronidase dan sulfasi menjadi konjugat yang
sesuai. Sekitar 5% hasil metabolisme parasetamol adalah N-asetyl-p-
benzoquinone imine (NAPQI). NAPQI adalah hasil metabolisme dari
jalur sitokrom P450 yang merupakan metabolit minor yang sangat aktif
dan bersifat toksik bagi hati dan ginjal. Selama glutathione tersedia
untuk konjugasi parasetamol, hepatotoksisitas tidak akan terjadi.
Glutathione yang terpakai akan lebih cepat dari regenerasinya dengan
berjalannya waktu dan akhirnya akan terjadi pengosongan glutathione
dan terjadi penimbunan NAPQI. Metabolit ini akan berikatan kovalen
dengan gugusan nukleofilik yang terdapat pada makromolekul sel
seperti protein, DNA, dan mitokondria sehingga menyebabkan
hepatotoksisitas (Hodgson dan Levi, 2000).
10
Toksisitas organ dapat terjadi karena N-asetyl-p-benzoquinone
imine (NAPQI) bereaksi dengan gugusan nukleofilik yang terdapat
pada makromolekul sel seperti protein, DNA, dan mitokondria. Masa
kerja parasetamol sekitar 2-3 jam dan mengganggu fungsi ginjal.
Reaksi antara NAPQI dengan makromolekul memacu terbentuknya
ROS (Radical Oxygen Species). Selain itu, NAPQI dapat menimbulkan
stres oksidatif, yang berarti bahwa NAPQI dapat menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid merupakan bagian dari
proses atau rantai reaksi terbentuknya radikal bebas (Rubin et al.,
2005).
Ion superoksida/radikal bebas oksigen/O2- yang terdapat dalam
NAPQI merupakan oksidan bagi sel. O2- ini dapat dinetralisir oleh
Superoxide Dismutase (SOD) dan Cu2+ menjadi hydrogen peroxide
(H2O2). Radikal hidroksil(OH-) sangat reaktif dan toksik terhadap sel
tubuh karena merusak senyawa-senyawa penting tubuh yaitu asam
lemak tak jenuh, DNA, dan protein (Tjokroprawiro, 1993). Lipid
peroxide merupakan hasil peroksidasi radikal hidroksil yang berikatan
dengan asam lemak tak jenuh (komponen glikolipid, fosfolipid dan
kolesterol) yang merupakan penyusun membran sel. Malondialdehid
(MDA) merupakan hasil pemecahan Lipid peroxide yang sangat toksik
dan merusak, dengan akibat kematian sel (Mayes, 1995).
Toksisitas parasetamol dapat terjadi karena pemakaian
berlebih, masa kerja yang lama atau keduanya (Katzung, 1998). Akibat
11
dari dosis toksik parasetamol yang paling serius adalah nekrosis hati,
nekrosis tubulus renalis serta koma hipoglikemi (Wilmana, 2001).
Pemakaian parasetamol yang berlebihan dapat menyebabkan efek
samping seperti pusing, perasaan senang dan disorientasi.
Mengkonsumsi 15 gram (250 mg /kg BB) sangat berbahaya karena
dapat menyebabkan hepatotoksisitas dengan kerusakan yang timbul
berupa nekrosis sentrolobularis dan dapat menyebabkan nekrosis
tubulus renal akut (Katzung, 1998).
3. Kakao (Theobroma cacao)
Taksonomi
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Anak divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Anak kelas : Dialypetale
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Jenis : Theobroma cacao
(Susanto, 2005)
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud
pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Kakao telah digunakan
suku-suku di Amerika Selatan dan Tengah sejak ratusan tahun lalu.
Sekitar tahun 1550, pengenalan kakao semakin meluas ke seluruh
daratan Eropa sebagai sumber makanan baru, diawali dari bangsa
Spanyol yang membawa coklat dari Amerika Selatan sebagai hadiah
12
bagi rajanya. Karena rasa coklat yang enak, makanan olahan dari
coklat semakin populer di Eropa (Ide, 2008).
Penanaman tanaman kakao di pulau Jawa baru dimulai sekitar
abad ke-19, sebelumnya tanaman kakao di bawa ke Indonesia oleh
bangsa Spanyol pada abad ke-16 dan penanaman tanaman kakao
pertama kali di daerah Sulawesi (Celebes-Minahasa). Sekarang coklat
dan produk olahannya banyak terdapat di seluruh Indonesa (Wahyudi
dan Rahardjo, 2008).
Biji kakao mengandung sekitar 600 komponen kimia dan lebih
dari sepertiganya dianggap bermanfaat bagi kesehatan. Kebanyakan
dari komponen ini berupa polifenol (atau flavonoid) yang mampu
bertindak sebagai antioksidan. Kenyataannya biji kakao mengandung
jumlah flavonoid alami yang lebih kaya dibanding brokoli atau teh
hijau (Ide, 2008).
Kandungan biji kakao antara lain lemak, terdiri dari minyak
kakao, mentega kakao, theobromin, serat, abu, dan protein.
Theobromin bertindak sebagai diuretik. Kandungan dalam biji kakao
yang berguna dalam pengobatan modern antiastma adalah theobromin,
teofilin dan kafein. Biji kakao mentah mengandung 12-18% flavonoid
yang setidaknya 60%nya merupakan oligomer procyanidin dari
epicatechin. Flavonoid utama dalam kakao adalah flavan-3-ols,
epicatechin, dan catechin (unit monomerik), dan polimerik yaitu
13
proanthocyanidins yang juga disebut dengan procyanidin (Noe et al.,
2004).
Flavonoid diketahui dapat menghambat oksidasi lipid dan
pembentukan lipid peroxide melalui mekanisme penangkapan radikal
bebas. Kemampuan flavonoid dalam mengikat Cu2+ (logam yang
menginduksi oksidasi lipid) tergantung pada komponen struktural yang
dimilikinya. Semakin sedikit gugus OH yang dimiliki oleh flavonoid,
semakin kecil kemungkinan terjadinya oksidasi flavonoid dan reduksi
logam karena kemungkinan lepasnya hidrogen semakin kecil (Hegazi
dan El-Hady, 2007).
Flavonol dan metabolitnya diserap baik melalui usus bagian
atas maupun bagian bawah. Flavonoid dalam kakao diabsorbsi dan
masuk ke dalam sirkulasi darah. Degradasi oligomer flavonol di dalam
lambung hanya sedikit yang terjadi, sehingga flavonol kakao akan
mencapai usus bagian atas. Flavonol dalam bentuk monomer dan
dimer diabsorbsi di bagian usus atas, dan dalam waktu 30 menit
sampai 1 jam setelah mengkonsumsi coklat kadar flavonol mulai
meningkat dalam plasma. Monomer flavonol akan mengalami
metabolisme yang lebih luas dengan biotransformasi yang diawali
dalam enterosit dan dibawa oleh enzim-enzim yang berasal dari hepar
dan ginjal. Jumlah O-methylated, O-glucoronidated, dan derivat
flavonol O-sulfated dalam plasma akan meningkat pada metabolisme
lanjutan tersebut. Asam fenolik sederhana merupakan hasil dari
14
metabolisme monomer dan oligomer flavonol (yang tidak diabsorbsi di
usus kecil) oleh mikroflora kolon di usus besar. Setelah 8-9 jam
mengkonsumsi kakao, metabolit asam fenolik dapat dideteksi dalam
urin, dan konsentrasi tertingginya dalam waktu 24-48 jam (Uribe and
Bektash, 2008).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa flavonoid banyak
terdapat dalam kakao, terutama epicatechin serta procyanidin yang
bersifat antioksidan. Antioksidan mampu memberikan elektron kepada
molekul radikal bebas tanpa terganggu sama sekali dan dapat memutus
reaksi berantai dari radikal bebas sehingga dapat mencegah terjadinya
stres oksidatif (Almatsier, 2004).
4. Kerusakan ginjal akibat toksisitas parasetamol
Gagal ginjal kronik akibat kelebihan pemakaian analgesik
merupakan permasalahan yang cukup sering dijumpai dan barangkali
merupakan suatu bentuk penyakit ginjal yang paling mudah dicegah.
Penyebab kerusakan ginjal adalah kombinasi dari aspirin dan fenasetin,
karena pemakaian tunggal aspirin atau fenasetin jarang menyebabkan
insufisiensi ginjal (Price dan Wilson, 1994).
Efek toksik dari metabolit fenasetin pada ginjal akan meningkat
pada keadaan berikut (Bennet, 1998): 1) Terjadi iskemia modula,
dengan penurunan produksi prostaglandin lokal; PGE2 dan PGI2
merupakan hormon vasodilatator ginjal yang kuat sehingga
meningkatkan efek toksik dari metabolit fenasetin dan memperlambat
15
pengeluaran metabolit tersebut. 2) Proses pembentukan pirau
monofosfat heksosa terhambat, dengan demikian akan menurunkan
kadar glutation yang secara normal akan menghentikan aktivitas
metabolit fenasetin (Price dan Wilson, 1994).
Nekrosis pada ginjal merupakan kerusakan yang sering terjadi
sebagai akibat dari pemberian parasetamol dengan dosis toksik
(Goodman dan Gilman, 2001). Biasanya diperlukan 2 sampai 3 kg
aspirin dan fenasetin untuk menimbulkan penyakit ginjal secara klinis
(Murray et al., 1978). Nekrosis yaitu kematian sel dan jaringan pada
tubuh yang hidup yang tampak nyata pada inti sel. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada inti di antaranya adalah : 1) Hilangnya
gambaran kromatin. 2) Inti menjadi keriput, tidak vesikuler lagi. 3) Inti
tampak lebih padat, warnanya gelap hitam (pyknosis). 4) Inti terbagi
atas fragmen-fragmen, robek (karyorrhexis). 5) Inti tidak lagi
mengambil warna banyak karena itu pucat dan tidak nyata (karyolysis)
(Saleh,1997).
Secara histologis nekrosis tubuler akut nefrotoksik ditandai
dengan sel-sel epitel tubulus yang semakin menipis dan datar, brush
border menghilang, lumen tubulus melebar dan terisi oleh jaringan
nekrotik (Dische, 1995). Sel epitel tubulus ginjal peka terhadap
anoksia dan mudah rusak karena keracunan saat kontak dengan zat-zat
yang diekskresi oleh ginjal. Dengan berjalannya waktu, inti pada sel
yang nekrosis akan menghilang. Sitoplasma akan menjadi masa
16
asidofil suram bergranula. Regenerasi epitel akan tampak sebagai
bentuk aktivitas mitosis pada sel epitel tubulus proksimal ginjal yang
masih ada, apabila penderita dapat bertahan selama satu minggu
(Robbins dan Kumar, 1995).
5. Mekanisme Perlindungan Ekstrak kakao Terhadap Kerusakan
Ginjal Akibat Induksi Parasetamol
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa flavonoid kakao bisa
meningkatkan sensitivitas insulin, fungsi vaskular, dan tekanan darah
yang melemahkan reaktifitas platelet. Mekanisme pengaruh flavonoid
kakao tersebut masih terus dalam penelitian. Namun ada beberapa
pendapat bahwa modulasi konsentrasi nitrit oksida oleh flavonoid
merupakan kunci utama efek-efek fisiologis tersebut, dan modulasi
tersebut mungkin mendasari manfaat terhadap kardiovaskular yang
berhubungan dengan konsumsi kakao (Uribe and Bektash, 2008).
Antioksidan berperan penting dalam mekanisme perlindungan
ginjal dari toksisitas parasetamol. Flavonoid dan substansi poliphenol
seperti catechin dan rantai oligomer C4-C8 yang merupakan
antioksidan utama pada coklat dan kakao (Osakabe et al., 2002).
Flavonoid dan procyanidin kakao mampu mendonorkan hidrogen
sehingga merupakan perangkap yang kuat untuk oksidan reaktif dan
spesies nitrogen yang mampu menangkal radikal bebas hasil dari
pembentukan NAPQI pada toksisitas parasetamol (Ide, 2008).
17
Keterangan: : memacu : menghambat
B. Kerangka Pemikiran
Ekstrak kakao
theobromin teofilin kafein
catechin
procyanidin
flavonoid
antioksidan
Parasetamol dosis toksis
Bioaktivasi sitokrom P450
Meningkatkan NAPQI
(elektrofilik)
Deplesi glutathione
Ikatan kovalen dgn makromolekul (nukelofilik)
Radikal bebas
Lipid peroxidase
Stres Oksidatif Kerusakan makromolekul
Nekrosis sel epitel tubulus proksimal
ginjal
Kerusakan ginjal
Variabel luar yang tidak terkendali: kondisi psikologis dan keadaan awal ginjal
18
C. Hipotesis
Pemberian ekstrak biji kakao dapat mengurangi kerusakan sel ginjal
mencit (Mus musculus) yang diinduksi parasetamol.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.
Peneliti mengadakan perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu
berupa hewan coba di laboratorium.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
C. Subyek Penelitian
Populasi : Mencit (Mus musculus) jantan dengan galur Swiss webster
berusia 2-3 bulan dengan berat badan ± 20 gram.
Sampel : Menurut Purawisastra (2001), jumlah sampel yang digunakan
berdasarkan rumus Federer yaitu :
(k-1)(n-1) > 15
(4-1)(n-1) > 15
3 ( n-1) > 15
3n > 15+3
n > 6
20
Keterangan :
k : Jumlah kelompok
n : Jumlah sampel dalam tiap kelompok
Pada penelitian ini jumlah sampel untuk tiap kelompok ditentukan sebanyak
10 ekor mencit (n > 6), dan jumlah kelompok mencit ada 4 sehingga penelitian
ini membutuhkan 40 mencit dari populasi yang ada. Sample didapatkan dari
Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Universitas Gajah
Mada (UGM), Yogyakarta.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang dipakai adalah purposive sampling (Murti, 2006).
E. Desain Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah The post test only control group
design (Taufiqqurohman, 2003).
KK : (-) O0
KP1: (X 1) O1
KP2: (X 2) O2
KP3 : (X 3) O3
Sampel Mencit 40 ekor
Bandingkan dengan uji
statistik
21
Keterangan :
KK : (-) = Kelompok kontrol tanpa diberi ekstrak biji kakao maupun