A. Judul PENGARUH METODE PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI) TERHADAP PRESTASI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS TERPADU KELAS VII DI SMP NEGERI 2 GANGGA TAHUN PELAJARAN 2012/2013 B. Latar Belakang Guru pada dasarnya merupakan tenaga kependidikan yang memikul berat tanggung jawab kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan proses pendidikan generasi penerus untuk membebaskan bangsa dari belenggu kebodohan. Oleh karena itu, sudah selayaknya para guru dituntut memiliki kompetensi profesionalisme yang tinggi dalam proses belajar- mengajar. Guru harus mampu mewujudkan langkah-langkah inovatif dan kreatif agar proses belajar-mengajar lebih bermakna sehingga proses transfer of knowledge dan transfer of value dapat mudah tersampaikan. Dalam situasi masyarakat yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak hanya berorientasi masa lalu dan masa kini, tetapi hendaknya juga melihat 1
74
Embed
Pengaruh Metode Problem Based Instruction (Pbi) Terhadap Prestasi Siswa Pada Mata Pelajaran Ips Terpadu Kelas Vii Di Smp Negeri 2 Gangga
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
A. Judul
PENGARUH METODE PROBLEM BASED INSTRUCTION (PBI)
TERHADAP PRESTASI SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS
TERPADU KELAS VII DI SMP NEGERI 2 GANGGA TAHUN
PELAJARAN 2012/2013
B. Latar Belakang
Guru pada dasarnya merupakan tenaga kependidikan yang memikul berat
tanggung jawab kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan proses
pendidikan generasi penerus untuk membebaskan bangsa dari belenggu
kebodohan. Oleh karena itu, sudah selayaknya para guru dituntut memiliki
kompetensi profesionalisme yang tinggi dalam proses belajar-mengajar. Guru
harus mampu mewujudkan langkah-langkah inovatif dan kreatif agar proses
belajar-mengajar lebih bermakna sehingga proses transfer of knowledge dan
transfer of value dapat mudah tersampaikan.
Dalam situasi masyarakat yang selalu berubah, idealnya pendidikan tidak
hanya berorientasi masa lalu dan masa kini, tetapi hendaknya juga melihat jauh
ke depan dan memikirkan apa yang akan dihadapi peserta didik yang akan
datang. Pendidikan yang baik tidak hanya mempersiapkan para siswanya untuk
suatu profesi atau jabatan tetapi untuk menyelesaikan masalah-masalah yang
dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari.
Satu inovasi yang lahir untuk mengantisipasi perubahan paradigma
pembelajaran di atas adalah diterapkannya model-model pembelajaran yang
inovatif yang berorientasi konstruktif. Inovasi ini bermula dan diadopsi dari
metode kerja para ilmuwan dalam menemukan suatu pengetahuan baru.
1
Model-model ini lahir untuk mengatasi masalah pokok dalam
pembelajaran dewasa ini, yakni masih rendahnya daya serap siswa, yang
tampak dari hasil belajar mereka yang masih memprihatinkan. Kondisi ini
merupakan hasil pembelajaran yang masih bersifat konvensional (tradisional),
dan tidak menyentuh ranah peserta didik itu sendiri (yaitu bagaimana
sebenarnya belajar itu: belajar untuk belajar). Dengan kata lain, hingga dewasa
ini proses pembelajaran masih memberikan dominasi guru dan tidak
memberikan kesempatan bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri
melalui penemuan (inkuiri) dan proses berpikirnya.
Model-model pembelajaran yang inovatif secara garis besar adalah
orientasi yang semula berpusat pada guru (teacher-centered) beralih berpusat
pada siswa (student-centered); metodologi yang semula lebih didominasi
ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula bersifat
tekstual beralih ke kontekstual. Semua perubahan itu dimaksudkan untuk
memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan
(Komaruddin, tanpa tahun).
Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau
pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran, termasuk di dalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum,
dan lain-lain. Setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam desain
pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan
pembelajaran tercapai (Joyce, dalam Trianto, 2007:5).
Selanjutnya Soekamto, dkk. (dalam Trianto, 2007:5) mengatakan bahwa
model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
2
yang sistematis dalam mengorganisasi pengalaman belajar untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang
pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar
mengajar.
Istilah model pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas dari pada
strategi, metode, atau prosedur. Model pengajaran mempunyai empat ciri
khusus yang tidak dimiliki oleh strategi, metode atau prosedur. Ciri-ciri
tersebut adalah: (1) rasional teoretik logis yang disusun oleh para pencipta atau
pengembangnya; (2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa
belajar (tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar
yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan
(4) lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai.
Pembelajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John
Dewey, sebab secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri atas
menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang
dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan
dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Trianto, 2007:67), belajar berdasarkan
masalah adalah interaksi antara stimulus dan respons, merupakan hubungan
antara dua arah, belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan
kepada siswa berupa bantuan dan masalah sedangkan sistem saraf otak
berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang
dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan
baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan
3
kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian dan bisa dijadikan
pedoman dan tujuan belajarnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, pembelajaran berdasarkan masalah
(selanjutnya disingkat PBI) didasarkan pada teori psikologi kognitif. Fokus
pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa
(perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi
mereka) pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Walaupun peran guru pada
pembelajaran ini kadang melibatkan presentasi dan penjelasan suatu hal,
namun yang lebih lazim adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilitator
sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah.
PBI juga didasarkan pada konsep konstruktivisme yang dikembangkan
oleh ahli psikologi Eropa Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut Piaget, anak
memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus-menerus berusaha
memahami dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu ini memotivasi mereka untuk
secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang
mereka hayati (Ibrahim dan Nur, 2005:16-17). Pandangan konstruktivis-
kognitif mengemukakan, siswa dalam segala usia secara aktif terlibat dalam
proses perolehan informasi dan membangun pengetahuan mereka sendiri.
Pengetahuan mereka tidak statis, tetapi terus-menerus tumbuh dan berubah saat
siswa menghadapai pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan
memodifikasi pengetahuan awal. Menurut Piaget, pendidikan yang baik harus
melibatkan siswa dengan situasi-situasi yang dapat membuat anak melakukan
eksperimen mandiri, dalam arti mencoba segala sesuatu untuk melihat apa
yang terjadi, memanipulasi tanda-tanda, memanipulasi simbol, mengajukan
pertanyaan dan menemukan sendiri jawabannya, mencocokkan apa yang ia
4
temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain,
membandingkan temuannya dengan temuan anak lain (Duckworth, dalam
Ibrahim dan Muh. Nur, 2005: 17-18).
PBI juga merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses
berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses
informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka
sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk
mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanann, dalam
Trianto, 2007).
Menurut Arends (1997, dalam Trianto, 2007:68), PBI merupakan
pembelajaran yang menuntut siswa mengerjakan permasalahan yang otentik
dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri,
mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir lebih tinggi,
mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga
mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti pembelajaran
berdasarkan proyek (project-based instruction), pembelajaran berdasarkan
pengalaman (experience-based instruction), belajar otentik (authentic
learning), dan pembelajaran bermakna (anchored instruction).
PBI juga bergantung pada konsep lain dari Bruner, scaffolding, yaitu
suatu proses yang membuat siswa dibantu menuntaskan masalah tertentu
melampaui kapasitas perkembangannya melalui bantuan (scaffolding) dari
seorang guru atau orang lain yang memiliki kemampuan lebih. Peran dialog
juga penting, interaksi sosial di dalam dan di luar sekolah berpengaruh pada
perolehan bahasa dan perilaku pemecahan masalah anak.
5
Sementara itu, PBI mempunyai kaitan erat dengan pembelajaran
penemuan (inkuiri). Pada kedua model ini guru menekankan keterlibatan siswa
secara aktif, orientasi induktif lebih ditekankan dari pada deduktif, dan siswa
menemukan atau mengkonstruksi pengetahuan mereka sendiri. Adapun
perbedaannya dalam beberapa hal penting, yaitu: sebagian besar pelajaran
dalam inkuiri didasarkan pada pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin, dan
penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru dan terbatas di
lingkungan kelas. PBI dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang
bermakna, yang memberi kesempatan kepada siswa dalam memilih dan
menentukan penyelidikan apa pun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh
itu diperlukan untuk memecahkan masalah (Ibrahim dan Muhammad Nur,
2005:23).
Berdasarkan pembahahasan di atas, Pembelajaran materi pasar dalam
pelajaran IPS Terpadu di SMP Negeri 2 Gangga pada tahun 2010/2011 sampai
2011/2012 telah dilakukan dengan menerapkan berbagai model. Pengaruh
penerapan model terhadap hasil belajar siswa dapat diketahui dari ketuntasan
hasil belajar yang dicapai. Menurut guru pengampu IPS Terpadu pada kelas
tersebut (Hamzah, S. Pd), ketuntasan hasil belajar siswa pada pembelajaran
dengan model Direct Instruction (DI) adalah 34,28%. Ketuntasan hasil belajar
siswa pada pembelajaran yang menerapkan model demontrasi 68,42%. Dan
ketuntasan hasil belajar siswa pada pembelajaran yang menerapkan model
jigsaw 34,21%.
Kelas VII/b SMP Negeri 2 Gangga adalah kelas heterogen, berjumlah 35
siswa terdiri dari 20 perempuan dan 15 laki-laki. Menurut keterangan guru
mata pelajaran IPS Terpadu (Hamzah, S. Pd), hasil belajar siswa mata
6
pelajaran IPS Terpadu semester I tahun 2011/2012 adalah : nilai tertinggi 83,
nilai terendah 60 dan rata-rata = 68,3, ketuntasan belajar = 52,3% dengan
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) = 68 %. Hasil tersebut belum sesuai
harapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP Negeri 2 Gangga
yang telah menetapkan ketuntasan belajar individu = 68 % dan ketuntasan
belajar klasikal 75%.
Secara ringkas ditunjukkan oleh Tabel 1. Dari keterangan tersebut dapat
disimpulkan bahwa: 1) penggunaan model pembelajaran mempengaruhi hasil
belajar siswa. 2) melalui demontrasi materi pasar lebih mudah dipahami siswa.
3) tingkat keberhasilan belajar materi pasar dengan menerapkan model
pembelajaran demontrasi di SMP Negeri 2 Gangga lebih baik dari pada Direct
Instruction (DI) atau jigsaw.
Tabel 1. Ketuntasan belajar, Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dan Model Pembelajaran
NOTahun
PelajaranSiswa tuntas KKM Model Pembelajaran
1 2009/2010 34,28% 67Direct Instruction(DI)-
tanya jawab.
2 2010/2011 68,42% 67 Demostrasi.
3 2011/2012 34,21% 68 Jigsaw.
Sumber: SMP Negeri 2 Gangga (2012)
Peningkatan hasil belajar masih dimungkinkan untuk dapat diperoleh
dengan menerapkan model pengajaran yang memanfaatkan keragaman dalam
kelas dan karakter siswa pada usia sekitar 12-13 tahun yang sangat dinamis.
Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Instruction/PBI) dapat
menjadi pilihan karena Model PBI sesuai dengan karakter siswa SMP. Siswa
SMP biasa menghadapi dan memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan
sehari-hari.
7
Dengan Problem Based Instruction (PBI) siswa dilatih dan ditunjukkan
dengan contoh nyata bagaimana menemukan dan memecahan masalah dengan
baik. Kompetensi ini penting untuk bekal hidup mereka mencapai kemandirian.
Dengan PBI disamping belajar melakukan pemecahan masalah kontektual,
mereka diharapkan lebih banyak melakukan aktivitas dalam belajar IPS
Terpadu.
Menurut Ibrahim (dalam Trianto, 2007:72) peran guru dalam Problem
Based Instruction (PBI) antara lain: mengorientasikan siswa kepada masalah
berdasarkan masalah, dan menyusun alat evaluasi untuk
mengukur tingkat keberhasilan pembelajaran dimana semua
itu disusun dalam suatu rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP).
b) Merancang situasi masalah yang sesuai
Situasi masalah yang baik harus memenuhi kriteria
antara lain autentik, tidak terdefinisi secara ketat, bermakna
bagi siswa dan sesuai dengan tingkat perkembangan
intelektualnya, luas, serta bermanfaat.
c) Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Pembelajaran berdasarkan masalah memotivasi siswa
untuk bekerja dengan beragam material dan peralatan yang
dapat dilakukan di dalam kelas, perpustakaan atau
laboratorium dan jika dimungkinkan di luar sekolah.
Untuk itu, guru harus mengumpulkan dan menyediakan
bahanbahan yang diperlukan untuk penyelidikan siswa dalam
rangka memecahkan masalah.
2) Tugas Interaktif
Tugas-tugas interaktif terdiri dari :
a) Tahap 1. Orientasi siswa pada masalah
Guru mengkomunikasikan tujuan pembelajaran dan
menjelaskan model pembelajaran yang akan digunakan.
Selanjutnya, guru menyajikan situasi masalah dengan
prosedur yang jelas untuk melibatkan siswa dalam
25
identifikasi masalah. Situasi masalah harus disampaikan
secara tepat dan menarik. Biasanya memberi kesempatan
siswa untuk melihat, merasakan dan menyentuh sesuatu atau
menggunakan kejadian-kejadian di sekitar siswa sehingga
dapat memunculkan ketertarikan, rasa ingin tahu dan
motivasi. Pada tahap ini guru menyampaikan tujuan
pembelajaran dan permasalahan yang telah disusun
sebelumnya pada tahap perencanaan. Selain itu guru
menjelaskan logistik yang akan digunakan untuk
pembelajaran.
b) Tahap 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Siswa dikelompokkan secara bervariasi dengan
memperhatikan tingkat kemampuan, keragaman ras, etnis dan
jenis kelamin yang didasarkan pada tujuan yang telah
ditetapkan.
c) Tahap 3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok.
1. Pengumpulan data, siswa melakukan penyelidikan atau
pemecahan masalah dalam kelompoknya. Guru bertugas
mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan
melaksanakan penyelidikan sampai mereka benar-benar
memahami situasi masalah yang dihadapi. Tujuan
pengumpulan data yaitu agar siswa mengumpulkan cukup
informasi untuk membangun ide dan pengetahuan mereka
sendiri.
26
2. Berhipotesis menjelaskan dan memberikan pemecahan
masalah, siswa mengajukan berbagai hipotesis, penjelasan
dan pemecahan dari masalah yang diselidiki. Pada tahap
ini guru mendorong semua ide, menerima sepenuhnya ide
tersebut, melengkapi dan membenarkan konsep-konsep
yang salah.
d) Tahap 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.
Guru meminta salah seorang anggota kelompok untuk
mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompok dalam
hal ini siswa melakukan demonstrasi hasil simulasi diskusi
materi pasar di depan kelas dilanjutkan dengan diskusi dan
membimbing siswa jika mereka mengalami kesulitan.
Kegiatan ini berguna untuk mengetahui hasil sementara
pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran.
e) Tahap 5. Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah.
Guru menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir
dan keterampilan penyelidikan siswa serta proses
menyimpulkan hasil penyelidikan.
Ibrahim dkk (2000:7) merumuskan bahwa: Pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Instruction dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan pemecahan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui perlibatan dalam pengalaman nyata dan menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Jadi penerapan pembelajaran berdasarkan masalah
mempunyai tujuan agar siswa mampu mencari dan
menemukan sendiri jawaban dari permasalahan yang
27
dihadapinya dengan melaksanaan penyelidikan autentik
melalui demonstrasi atau percobaan. Dengan menemukan dan
mencari jawaban dari suatu permasalahan, maka siswa dilatih
untuk menjadi pembelajar yang otonom dan mandiri.
Dalam pembelajaran berdasarkan masalah, siswa
dituntut mengajukan pertanyaan atau masalah dan mencari
jawaban atas permasalahan yang diajukan, sehingga
diharapkan dapat mengubah cara belajar siswa,
mengembangkan rasa ingin tahunya dan menghubungkan
konsep yang dipelajari dengan alam lingkungannya.
Jadi adanya informasi dan pengalaman baru
mengakibatkan terjadinya perubahan dan membentuk
pengetahuan baru sebagai hasil dari proses belajar. Hasil
yang dicapai siswa setelah proses belajar mencerminkan
tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam penguasaan
materi.
Pada proses pemecahan masalah yang dilakukan
dengan penyelidikan autentik melalui percobaan atau
demonstrasi. Dari kegiatan percobaan atau demonstrasi, maka
keterampilan dan kemampuan bertindak siswa dapat teramati
dengan lembar observasi psikomotorik. Pada proses
pembelajaran, keterlibatan dan keaktifan siswa menunjukkan
sikap dan minat siswa terhadap pembelajaran yang dilakukan.
Keterlibatan dan keaktifan siswa diamati dengan lembar
observasi afektif. Diharapkan dengan tercapainya hasil
28
belajar afektif dan psikomotorik secara optimal maka hasil
belajar kognitif siswa dapat tercapai secara optimal juga,
sehingga dapat meningkatkan kompetensi siswa dan
mengembangkan kecakapan hidup (life skill).
Dalam penelitian ini, penerapan Problem Based
Instruction diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
3) Hasil Belajar
“Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia
menerima pengalaman belajarnya” (Sudjana, 1989:22 ). Hasil belajar
dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai setelah interaksi dengan
lingkungan, sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku. Hasil
yang dicapai berupa angka atau nilai yang diperoleh dari tes hasil
belajar.
Tes hasil belajar dibuat untuk menentukan tingkat pengetahuan
dan keterampilan dalam penguasaan materi. Hasil belajar memiliki
peran penting dalam proses belajar mengajar. Penilaian terhadap hasil
belajar dapat memberikan informasi sampai sejauh mana keberhasilan
seorang siswa dalam belajar. Selanjutnya, dari informasi tersebut guru
dapat memperbaiki dan menyusun kembali kegiatan pembelajaran
lebih lanjut, baik untuk keseluruhan kelas maupun individu. Pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hasil belajar siswa
meliputi hasil belajar kognitif, psikomotorik dan afektif. Hasil belajar
kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual, yang dinyatakan
dengan nilai yang diperoleh siswa setelah menempuh tes. Hasil belajar
29
psikomotorik berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan
bertindak siswa yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap siswa
ketika mengamati, menganalisis atau melakukan percobaan
/ekperimen. Sedangkan untuk hasil belajar afektif, diperoleh dari hasil
pengamatan sikap dan perilaku siswa ketika mengikuti pelajaran atau