Top Banner
PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Dosen Pengampu: Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn. Disusun oleh : Kunto Jati P 115120207111067 Winda Rahmadewanti 115120207111009 Yudistira Yusran 125120209111001
54

PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Feb 26, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA

TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian

Komunikasi Kuantitatif

Dosen Pengampu: Desi Dwi Prianti, S.Sos., M.Comn.

Disusun oleh :

Kunto Jati P 115120207111067

Winda Rahmadewanti 115120207111009

Yudistira Yusran 125120209111001

Page 2: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya

Malang

2014

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Televisi pada zaman dulu dianggap sebagai sumber berita

yang utama. Satu – satunya alasan menonton televisi adalah

untuk mendapatkan berita terkini yang akurat. Makin kesini

tayangan televisi mulai bergeser. Kontennya bukan lagi hal –

hal yang mengedukasi (walau konten edukasi masih ada).

Sekarang banyak kita temui adegan kekerasan yang tayangkan di

televisi. Kadang tayangan kekerasan itupun ada di kartun

anak. Contohnya saja Spongebob, Doraemon, Shin-Can. Walaupun

pihak televisi telah memberikan kategori program seperti yang

diatur dalam Peraturan KPI tentang Pedoman Perilaku Penyiaran

(P3) pasal 21 dan pasal 33 tahun 2012, tetapi itu tidak

menjamin ketaatan dari penonton. Pengawasan dari orang tua pun

kerap kali kendur.

Televisi sebagai salah satu fasilitas di rumah memiliki

berbagai kelebihan baik dari sisi programatis maupun

teknologis. Dengan kelebihan dan kekuatannya, televisi diduga

memberikan dampak terhadap berbagai aspek kehidupan anak, baik

Page 3: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

yang sifatnya positif maupun negatif. Salah satu sisi dampak

positifnya adalah televisi dapat memberikan hiburan (rasa

senang, kesegaran dan kebahagiaan) informasi dan nilai-nilai

pendidikan bagi anak. Melalui televisi anak mengenal

lingkungan dan masyarakat lain, dan belajar dari hal-hal yang

tidak diperoleh anak di rumah dan di sekolah. Namun disisi

lain televisi kadang justru diduga dapat berdampak negatif

terhadap anak. Kalau diperhatikan menu dari acara televisi,

terutama dalam penyajian film-filmnya, hal itu dapat dinilai

cenderung pada hal yang bersifat negatif destruktif. Dapat

dikatakan demikian karena film sering menyajikan adegan

kekerasan, eksploitasi sexual dan sebagainya. Anak tak jarang

mengidentifikasikan (menyamakan) dirinya dengan pelaku-pelaku

dalam cerita itu yang cocok dengan dirinya

Di awal tahun 2000-an, masyarakat Indonesia dihebohkan

oleh tayangan gulat bebas dari Amerika yang berjudul WWE (World

Wrestling Entertainment) Smack Down. Acara ini ditayangkan pada Jumat

malam dan tonton oleh mayoritas kaum lelaki. Tapi dengan

banyaknya laporan tentang anak – anak dan remaja yang

memperagakan gerakan dan menirukan kata – kata kotor dalam

tayangan tersebut, WWE Smack Down diganti jam tayang menjadi

lebih larut. Sekarang WWE Smack Down sebenarnya tetap ada, akan

tetapi sudah dilarang untuk ditanyangkan di Indonesia. Selain

tayang langsung di TV, WWE Smack Down ini juga membuat game

yang berbasis pada acara aslinya

Menonton televisi/film memberikan kesempatan bagi mereka

untuk mengungkapkan perasaan hatinya yang terpendam, akibatnya

anak akan meniru adegan tersebut seperti suka memukul,

Page 4: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

membangkang perintah orang tua, mencuri, menipu, merusak

barang orang lain dan sebagainya. Anak-anak yang mempunyai

tingkah laku seperti diatas itu termasuk tingkah laku yang

bermassalah. Tingkah laku yang bermassalah mencakup berbagai

macam tingkah laku yang sangat banyak ciri-ciri. Tingkah laku

itu juga berbeda dalam akibat yang ditimbulkan pada lingkungan

ataupun pada anaknya sendiri. Anak yang pemalu dan ketakutan

misalnya, tidak merugikan lingkungan. Namun anak tersebut

mudah menjadi ejekan teman-temannya dan cenderung menjadi

depresif. Sedangkan pada perilaku agresif maka lingkungannya

yang terganggu. Disamping itu maka perilaku agresif tadi

merupakan tanda-tanda kuatakan tingkah laku delinkuen/ kenakalan

anak dikemudian hari.

Kenakalan anak merupakan proses kejiwaan yang penuh

gejolak yang harus dilalui untuk mencapai pematangan pola

berfikir dan berperilaku pada saat mereka dewasa. Kadang-

kadang, kenakalan anak membuat orang tua merasa bingung. Massa

disorganisasi jiwa anak-anak merupakan massa transisi anak-

anak menuju massa remaja. Kondisi jiwa yang tak stabil membuat

getaran batin yang tak tenang, kemudian perilaku anak

menyimpang dari norma-norma kehidupan.

Anak pada usia antara 15-20 tahun adalah remaja yang

sedang mencari jati diri terutama siswa-siswi SMP. Siswa-siswi

SMP pada usia ini, remaja mulai merasa memiliki hak untuk

meniru, mulai belajar mengidentifikasi masalah dan cenderung

mengikuti perilaku orang dewasa. Remaja sangat rentan

mengalami sifat yang cenderung bertindak dahulu tanpa

memikirkan akibatnya. Tingkat kognisi juga memberikan pengaruh

Page 5: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

yang besar bagi apapun yang dilakukan pada usia mereka

sekarang ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa di usia SMP ini

merupakan fase metamorphosis seorang anak menjadi sosok yang

lebih dewasa. Dalam tahap ini, remaja cenderung menjadi lebih

agresif. Berkowitz (1995) mengatakan bahwa perilaku agresif

adalah suatu tindakan, ucapan baik secara langsung maupun

tidak langsung menyakiti atau merugikan orang lain. Dalam

perilaku agresif terdapat unsur niat, atau unsur kesengajaan

dalam melakukan perilaku yang merugikan orang lain.

Lekatnya anak – anak dan remaja zaman sekarang pada TV

dan internet dikhawatirkan dapat menjadi suatu ajang

pengimitasian. Dalam social learning theory, manusia cenderung untuk

mengamati lalu mengimitasi atau menirukan kejadian – kejadian

yang ada di sekitarnya (dalam hal ini, tayangan kekerasan di

TV). Seperti percobaan Bobo Doll yang dilakukan oleh Albert

Bandura. Dimana ada dua orang anak yang ditemani mainan dan

boneka Bobo ditempatkan di ruangan yang berbeda dan

mendapatkan tayangan yang berbeda. Satu ditunjukkan tayangan

kasih sayang dan yang lain ditunjukkan tayangan aksi.

Hasilnya, anak yang ditunjukkan tayangan kasih sayang, mainan

dan bonekannya utuh. Berbeda dengan anak yang tinjukkan

tayangan aksi. Mainan dan bonekannya rusak karena anak

tersebut menirukkan apa yang ada di tayang yang ia tonton.

Seringnya terjadi tawuran antar remaja atau penindasan di

kalangan remaja dinilai berkaitan dengan seringnya penanyangan

acara – acara yang mengandung adegan – adegan kekerasan.

Selain agresifitas dalam perilaku, sering kita temui anak –

anak atau remaja yang juga menirukan kata – kata kasar yang

Page 6: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

aktor ucapkan. Kata – kata sumpah serapah baik dalam bahasa

Indonesia maupun dalam bahasa asing. Sebagai contoh kalimat

yang sering muncul di tayangan – tayangan kekerasan asing

adalah “What the fuck?”. Dalam tayangan – tayangan kekerasan

Indonesia kata yang paling sering diucapkan berhubungan dengan

hewan tertentu (anjing, babi, monyet) dengan nada tinggi untuk

menekankan emosi pada kata tersebut. Disini peneliti ingin

mengetahui adanya hubungan antara tingginya tingkat tayangan

kekerasan yang ditonton oleh remaja dengan tingkat peniruan

(imitasi) di kehidupan sehari - hari.

1.2 Rumusan Masalah

Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga

sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang

mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai

fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena

yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang

lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.

Berdasarkan latar belakang yang telah kami jelaskan

mengenai Pengaruh Menonton Tayangan Kekerasan Pada Tingkat

Imitasi Perilaku Remaja , maka rumusan masalah yang akan kami

bahas yaitu:

1. Adakah keterkaitan antara tingginya tingkat tayangan

kekerasan yang ditonton oleh remaja dengan tingkat

imitasi perilaku mereka (sering mengumpat, sering

berkelahi, terobesi untuk menjadi seperti yang ada di

tayangan yang mereka tonton)?

Page 7: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

2. Apa akibat dari tingginya tingkat tayangan kekerasan

yang ditonton oleh remaja dengan tingkat imitasi

perilaku mereka (sering mengumpat, sering berkelahi,

terobesi untuk menjadi seperti yang ada di tayangan

yang mereka tonton)?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas,

tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui keterkaitan antara tingginya tingkat

tayangan kekerasan yang ditonton oleh remaja dengan

tingkat imitasi perilaku mereka.

2. Mengetahui akibat dari tingginya tingkat tayangan

kekerasan yang ditonton oleh remaja dengan tingkat

imitasi perilaku mereka.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat akademis (bagi penulis dan pembaca) dan

Praktis yang diperoleh :

1. Manfaat akademis

Agar penulis tidak hanya mengetahui secara teori

mengenai metode penelitian, namun penulis juga dapat

mendalami lebih jauh implementasi dalam penerapan

penelitian.

2. Manfaat Praktis:

Menambah pengetahuan, pengalaman dan wawasan, serta

bahan dalam penerapan ilmu metode penelitian, khususnya

Page 8: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

metode kuantitatif yang dijadikan bahan perbandingan

untuk penelitian selanjutnya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perilaku Remaja

Masa remaja merupakan salah satu periode dari

perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau

peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan

sosial. Remaja sering kali didefinisikan sebagai periode

transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa

usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah

laku tertentu seperti susah diatur, mudah terangsang

perasaannya dan sebagainya. Kartini Kartono (1995: 148) “masa

remaja disebut pula sebagai penghubung antara masa kanak-kanak

Page 9: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

dengan masa dewasa”. Pada periode ini terjadi perubahan-

perubahan besar dan esensial mengenai kematangan fungsi-fungsi

rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. Disisi lain

Sri Rumini dan Siti Sundari (2004: 53) “menjelaskan masa

remaja adalah masa peralihan dari masa anak dengan

masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/fungsi

untuk memasuki masa dewasa”.

World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja dalam

(Sarlito Wirawan Sarwono, 2006: 7) adalah suatu masa ketika:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan

tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai

kematangan seksual.

b. Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola

identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang

penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.

Berdasarkan beberapa pengertian remaja yang telah

dikemukakan para ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

remaja adalah individu yang sedang berada pada masa peralihan

dari masa anak-anak menuju masa dewasa dan ditandai dengan

perkembangan yang sangat cepat dari aspek fisik, psikis dan

sosial.

2. Batasan Usia Remaja

Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada

upaya meninggalkan sikap dan perilaku kekanak-kanakan untuk

mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku dewasa. Menurut

Kartini Kartono (1995: 36) dibagi tiga yaitu:

Page 10: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

a. Remaja Awal (12-15 Tahun)

Pada masa ini, remaja mengalami perubahan jasmani yang sangat

pesat dan perkembangan intelektual yang sangat intensif,

sehingga minat anak pada dunia luar sangat besar dan pada saat

ini remaja tidak mau dianggap kanak-kanak lagi namun belum

bisa meninggalkan pola kekanak-kanakannya. Selain itu pada

masa ini remaja sering merasa sunyi, ragu-ragu, tidak stabil,

tidak puas dan merasa kecewa.

b. Remaja Pertengahan (15-18 Tahun)

Kepribadian remaja pada masa ini masih kekanak-kanakan tetapi

pada masa remaja ini timbul unsur baru yaitu kesadaran akan

kepribadian dan kehidupan badaniah sendiri. Remaja mulai

menentukan nilai-nilai tertentu dan melakukan perenungan

terhadap pemikiran filosofis dan etis. Maka dari perasaan yang

penuh keraguan pada masa remaja awal ini rentan akan timbul

kemantapan pada diri sendiri. Rasa percaya diri pada remaja

menimbulkan kesanggupan pada dirinya untuk melakukan penilaian

terhadap tingkah laku yang dilakukannya. Selain itu pada masa

ini remaja menemukan diri sendiri atau jati dirnya.

c. Remaja Akhir (18-21 Tahun)

Pada masa ini remaja sudah mantap dan stabil. Remaja sudah

mengenal dirinya dan ingin hidup dengan pola hidup yang

digariskan sendiri dengan keberanian. Remaja mulai memahami

arah hidupnya dan menyadari tujuan hidupnya. Remaja sudah

mempunyai pendirian tertentu berdasarkan satu pola yang jelas

yang baru ditemukannya.

Remaja memelukan media katarsis dalam proses

perkembangannya. Teori Katarsis pertama kali diperkenalkan

Page 11: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

pada kisaran awal tahun 1960 dalam tulisan berjudul The

stimulating versus catharsis effect of a vicarious aggressive activity yang

dipublikasikan dalam journal of abnormal social psychology. Konsep teori

ini berdiri diatas psikoanalisa Sigmund freud, yaitu emosi

yang tertahan bisa menyebabkan ledakan emosi yang berlebihan,

maka dari itu diperlukan sebuah penyaluran atas emosi yang

tertahan tersebut. Penyaluran emosi yang konstruktif ini

disebut dengan katarsis.

Katharsis yang merupakan penyaluran emosi dan agresi yang

bias berupa kekesalan, kesedihan, kebahagiaan, impian dan

lainnya ini dilakukan dengan pengalaman wakilan (vicarious

experience) seperti mimpi, lelucon, fantasi atau khayalan.

Dalam konteks ini, seseorang tidak melakukan penyaluran emosi

dan agresi-nya secara nyata oleh individu tersebut, melainkan

dilakukan hanya melihat atau membayangkan sesuatu tersebut

dilakukan, atau dengan istialah lain yaitu pengalaman wakilan.

Seperti contoh ketika seorang remaja menonton smack down,

remaja tersebut membayangkan dirinya adalah seorang pemain

smack down dengan ditonton oleh ribuan penonton.

Dari definisi di atas karena remaja yang sedang mencari

jati diri mereka, mereka membayangkan tokoh atau sosok yang

dianggap keren atau menjadi panutan mereka. Sosok yang

dijadikan panutan tersebut yang terlalu melekat didalam benak

remaja yang membuat mereka menirukan apa yang dilakukan dari

sosok tersebut.

2.2 Kekerasan Dalam Media

Page 12: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau

perlakuan salah. Menurut WHO (dalam Bagong. S, dkk, 2000),

kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,

ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau

sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau

kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian,

kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan

hak.

Tidak hanya itu saja kekerasan juga ada yang berupa

kekerasan seksual. Kekerasan seksual sendiri merupakan bentuk

kontak seksual atau bentuk lain yang tidak diinginkan secara

seksual. Kekerasan seksual biasanya disertai dengan tekanan

psikologis atau fisik (O’Barnett et al., dalam Matlin, 2008).

Perkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang spesifik.

Perkosaan dapat didefiniskan sebagai penetrasi seksual tanpa

izin atau dengan paksaan, disertai oleh kekerasan fisik

(Tobach,dkk dalam Matlin, 2008).

Menurut Dwyer (dalam Jahja & Irvan, 2006) menyatakan

bahwa sebagai media audiovisual, televisi mampu merebut 94%

saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa

manusia lewat mata dan telinga. Televisi juga berkemampuan

membuat seseorang pada umumnya, mengingat 50% dari apa yang

mereka lihat dan dengar dari layar televisi walaupun hanya

sekali ditayangkan. Atau secara umum seseorang akan mengingat

85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah 3 (tiga)

jam kemudian, dan 65% setelah 3 (tiga) hari kemudian.

Menurut Baron, Byrne, & Branscombe (2006), ketika

menonton televisi, individu dapat mengidentifikasikan diri

Page 13: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

terhadap tokoh dalam tayangan program televisi tersebut. Dalam

hal ini, adanya sebuah reaksi emosional yang muncul terhadap

kegembiraan (joys), dukacita (sorrows), dan ketakutan (fears)

yang dialami oleh tokoh tersebut.

Selain itu dampak lain dari tayangan kekerasan yang

berulang-ulang adalah munculnya rasa ketidakpekaan terhadap

kekerasan. Para remaja yang cukup sulit untuk mencari

identitas diri mereka apabila melihat tayangan kekerasan

berulang-ulang maka mereka melihat hal itu seakan menjadi hal

yang biasa. Mereka juga menjadi tidak peduli terhadap

kekerasan yang terjadi di dunia nyata. Inilah yang disebut

dengan efek desensitisation tayangan kekerasan di televisi (Pikiran

Rakyat, 2006).

Efek desensitisation adalah pengurangan respon emosional

terhadap kekerasan di televisi. Artinya, individu menjadi

resisten terhadap rasa sakit dan penderitaan orang lain,

terdapat penerimaan kekerasan sebagai realitas yang wajar

dalam kehidupan sehari-hari (Baron & Byrne, 2000). Sebagai

contoh, apabila terjadi suatu perkelahian maka yang kita

lakukan hanya diam dan menonton saja. Kita melihat bahwa itu

hal yang biasa saja serta terkadang kita malah menonton saja.

2.3 Teori Social Learning

Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori

belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori

pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura

(1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip

teori-teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak

Page 14: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

penekanan pada kesan dan isyarat-isyarat perubahan perilaku,

dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori

pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-

penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan

kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang

lain. Dalam pandangan belajar sosial manusia itu tidak

didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak

dipengaruhi oleh stimulus-stimulus lingkungan. Teori belajar

sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan

pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu

kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui

perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana dikutip oleh

(Kard, S, 1997:14) bahwa “sebagian besar manusia belajar

melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku

orang lain”. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan

(modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah

paling penting dalam pembelajaran terpadu.

Mengimitasi model merupakan elemen paling penting dalam

hal bagaimana si anak belajar bahasa, berhadapan dengan

agresi, mengembangkan perasaan moral dan belajar perilaku yang

sesuai dengan gendernya. Analisis perilaku terapan (applied

behavior analysis) merupakan kombinasi dari pengkondisian dan

modeling, yang dapat membantu menghilangkan perilaku yang

tidak di inginkan dan memotivasi perilaku yang diinginkan

secara sosial. Definisi belajar pada asasnya ialah tahapan

perubahan perilaku siswa yang relative positif dan menetap

sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan

proses kognitif. Proses belajar dapat diartikan sebagai

Page 15: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

tahapan perubahan perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor

yang terjadi dalam diri siswa.

Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa semakin tinggi

frekuensi kontak terhadap kekerasan dalam film maupun

televisi, semakin kuat pula kemungkinan seseorang untuk

berperilaku secara agresif, bahkan setelah para peneliti

mengontrol kelas sosial, kecerdasan, dan factor-faktor lainnya

(Anderson & Bushman, 2001). Ketika siswa-siswa sekolah

mengurangi waktu yang biasa digunakannya untuk menyaksikan

televisi atau bermain permainan video yang sering kali

mengandung kekerasan, tingkat agresivitasnya akan menurun.

Disimpulkan bahwa “penelitian mengenai kekerasan yang termuat

dalam televisi, serta film, permainan video, dan musik

menunjukkan bukti yang jelas bahwa kekerasan pada media

meningkatkan kecenderungan perilaku agresif dan keras,” baik

dalam jangka pendek maupun jangka panjang (Anderson dkk.,

2003).

Dalam pandangan sosial-kognitif, kedua kesimpulan

mengenai hubungan agresi dan media memiliki bukti dan dapat

dibenarkan. Perilaku yang menunjukkan kekerasan yang

ditampilkan secara berulang di media dapat menjadi model

perilaku dan respons terhadap konflik yang akan diikuti oleh

sebagian orang, seperti juga iklan-iklan di media mempengaruhi

banyak orang untuk membeli dan mempengaruhi cara berpikir

mereka mengenai tubuh lelaki atau perempuan yang ideal.

Meskipun pendekatan perilaku sosial-kognitif mengenai

pembelajaran berbeda dalam penekanannya, mereka memiliki

Page 16: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

kesamaan dalam optimisme mendasar mengenai kemungkinan

perubahan dalam diri individu maupun masyarakat.

2.4 Teori Peniruan (Modelling)

Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963) melakukan

eksperimen pada anak-anak yang juga berkenaan dengan peniruan.

Hasil eksperimen mereka mendapati, bahwa peniruan dapat

berlaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model

(orang yang ditiru) meskipun pengamatan itu tidak dilakukan

terus menerus. Proses belajar semacam ini disebut

“observational learning” atau pembelajaran melalui pengamatan.

Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran

sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang

sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan

aspek mental seseorang.

Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil

interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan.

pandangan ini menjelaskan, beliau telah mengemukakan teori

pembelajaran peniruan, dalam teori ini beliau telah

menjalankan kajian bersama Walter (1963) terhadap perlakuan

anak-anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul,

mengetuk dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit

dalam video. Proses peniruan yang seterusnya ialah elisitasi.

Proses ini timbul apabila seseorang melihat perubahan pada

orang lain. Menurut teori belajar sosial, perbuatan melihat

saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan, secara rinci

dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam

empat tahap, yaitu:

Page 17: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

1) Perhatian (Attention)

Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat

mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai,

harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki.

2) Mengingat (Retention)

Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam

sistem ingatannya. Ini membolehkan subjek melakukan peristiwa

itu kelak bila diperlukan atau diinginkan. Kemampuan untuk

menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses

belajar.

3) Reproduksi gerak (Reproduction)

Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku,

subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan

apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Setelah subyek

memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya

untuk benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek

lebih lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada

kemajuan perbaikan dan keterampilan.

4) Motivasi

Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena ia

adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai pembanding

bagi penelitian kami yaitu skripsi milik Tika Dwi Andani. Tika

Dwi Andani merupakan mahasiswi jurusan komunikasi dan

penyiaran dari Universitas Kristen Satya Wacan Salatiga. Tika

Dwi Andani telah menyelesaikan skripsi tentang “Hubungan

Page 18: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Intensitas Menonton Tayangan Kekerasan pada Televisi dengan

Perilaku Agresif Siswa Kelas VII SMP Mardi Rahayu Unggaran”.

Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh dan hubungan

antara intensitas menonton tayangan kekerasan pada televisi.

Selain itu dapat mengetahui variabel yang paling berpengaruh

terhadap intensitas tayangan kekerasan terhadap remaja. Hasil

dari penelitian tersebut menunjukan bahwa tidak ada hubungan

yang signifikan antara intensitas menonton tayangan kekerasan

pada televisi dengan perilaku agresif siswa kelas VII SMP

Mardi Rahayu Unggaran.

Penelitian selanjutnya adalah dari mahasiswi jurusan ilmu

komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Nuri Rahmah Fajria telah mengerjakan sebuah skripsi

yang berjudul “Pengaruh Tayangan Opera Van Java Terhadap

Perubahan perilaku Kekerasan di SMA Triguna Utama Ciputat”.

Tujuan dalam penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh

komunikasi massa dalam perubahan perlaku kekerasan Siswa-siswi

usia menengah atas. Mendeskripsikan, menganalisis dan

memeberikan solusi dari efek tayangan hiburan yang disisipkan

adegan kekerasan yang disiarkan oleh media televisi di

Indonesia. Hasil dari penelitian tersebut membuktikan dari

variabel kognitif memilki kecenderungan perubahan perilaku

kekerasan, namun variabel afektif menunjukan tidak adanya

perubahan perilaku kekerasan yang terjadi setelah menonton

tayangan tersebut.

2.6 Tabel Penelitian

No. 1 2 3

Page 19: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Judul Hubungan

Intensitas

Menonton Tayangan

Kekerasan pada

Televisi dengan

Perilaku Agresif

Siswa Kelas VII

SMP Mardi Rahayu

Unggaran

Pengaruh Tayangan

Opera Van Java

Terhadap Perubahan

perilaku Kekerasan

di SMA Triguna Utama

Ciputat

Pengaruh tayanganKekerasan padaPerubahanPerilaku Remaja

Teori Teori perilaku

agresif dengan

pendekatan

biologis

Jarum Hipodermic dan

Teori Imitasi dan

Peniruan

Teori Katarsis

Metod

e

Metode yang

digunakan dalam

penelitian ini

adalah metode

penelitian

kuantitatif survey

yang di tujukan

untuk memperoleh

fakta dari gejala-

gejala yang ada dan

mencari keterangan

secara factual.

Responden adalah

siswa SMA Triguna

Utama Ciputat

Metode

pengumpulan data

dalam penelitian

ini adalah

wawancara dan

menggunakan

kuesioner.

Kuesioner dalam

penelitian ini

dengan memberikan

atau menyebar

daftar pertanyaan

kepada responden

Page 20: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Hasil Tidak ada

hubungan yang

signifikan antara

intensitas

menonton tayangan

kekerasan pada

televisi dengan

perilaku agresif

siswa kelas VII

SMP Mardi Rahayu

Ungaran dengan

koefisien

korelasi rxy =

0,082 dengan p =

0,170>> 0,05.

Pada tayangan Opera

Van Java (variable

kogntif) dan

variabel negatif)

tidak mempengaruhi

perubahan perilaku

kekerasan. Meskipun

variable kognitif

memiliki

kecenderungan kepada

perilaku kekerasan,

namun pada variable

afektif bersifat

negatif terhadap

erubahan perilaku

kekerasan yang

terjadi setelah

menonton tayangan

tersebut. Sedangkan

hasil akhir

penelitian ini

afektif sendiri

berhubungan negatif

dengan perubahan

perilaku kekerasan

yang ada.

Hasil dari

hipotesis

menunjukan bahwa

penagruh menonton

tayangan

kekerasan dapat

merubah identitas

diri dari remaja

apabila semakin

tingi intensitas

menonton tayangan

tersebut maka

semakin tinggi

pengaruh

perubahan sosial

dan identitas

diri mereka.

Page 21: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

2.7 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan kerangka di atas dapat disimpulkan bahwa

remaja menentukan apa yang dilihat oleh media dan mereka

merepresentasikannya untuk dijadikan acuan mereka. Remaja

sekarang melihat tayangan-tayangan yang menampilkan adegan

kekerasan, pemerkosaan, tawuran. Dari situ mereka menjadikan

karakter dalam tayangan tersebut menjadi seorang yang dianggap

keren. Lalu karena mereka menganggap keren maka mereka meniru

dan mencontoh perilaku dari tokoh tersebut. Mereka

mempresentasikan bahwa di dunia yang sebenarnya seperti di

dalam tayangan kekerasan tersebut. Padahal apa yang terjadi di

dalam tayangan tersebut tidak seperti di dunia yang

sebenarnya.

2.8 Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu masalah

penelitian, dirumuskan dalam pernyataan yang dapat diuji dan

Media(Media

Elektronikberupa

KontenMedia

(Tayangan

Terpaankonten media

terhadap

Perilaku(Negatif):tawuran,

emosional,

Page 22: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

menjelaskan hubungan dua perubah atau lebih (Herman Wasito,

1993). Hipotesis juga dapat diartikan sebagai jawaban

sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Dikatakan

sementara maksudnya jawaban yang diberikan baru didasarkan

pada teori, belum didasarkan pada bukti-bukti empiris yang

diperoleh dari pengumpulan data (Sugiyono, 1999).

Kelompok kami menggunakan hipotesis directional, karena kami

sudah dapat menduga akan hasil dari penelitian ini. Namun yang

menjadi fokus dalam penelitian kami ialah berupa seberapa

besar pengaruh media terhadap perubahan perilaku remaja.

Berbeda dengan hipotesis non-directional yang tidak menunjukan

adanya hubungan dan hasil dari hipotesil non-directional belum

dapat diketahui.

H0 = diduga tidak ada dari pengaruh tayangan kekerasan di media

terhadap perubahan perilaku remaja.

H1 = diduga ada pengaruh dari tayangan kekerasan di media

terhadap perubahan perilaku remaja.

Page 23: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian kuantitatif adalah metode yang dipakai

untuk mengelolah data yang dilakukan dengan pendekatan

kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah pendekatan yang

digunakan untuk mencari informasi faktual secara mendetail

yang sedang terjadi di dalam masyarakat dan

mengidentifikasikan masalah-masalah atau untuk mendapatkan

justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang

berjalan. Pendekatan tersebut di gunakan untuk mengetahui

pengaruhmenonton tayangan kekerasan pada tingkatimitasi

perilaku remaja. Dengan melakukan pendekatan kuantitatif maka

dapat menemukan jawaban dengan memakai rumus statistik.

Peneliti menggunakan jenis penelitian kuantitatif, karena

pendekatan ini dapat mengukur sejara jelas pengaruhmenonton

tayangan kekerasan padatingkatimitasiperilaku remaja, melalui

perbandingan angka. Dengan perbandingan angka akan mempermudah

dalam menganalisis dan menyimpulkan jawaban dari rumusan

masalah.

3.2 Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Page 24: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 5 Malang yang

beralamat di Jalan WR. Supratman No. 12, Malang dan

penelitian ini dilakukan pada tanggal 21 april 2014.

3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari penelitian yang menjadi

pusat perhatian dan menjadi sumber data penelitian. Populasi

penelitian ini adalah kelompok usia remaja yang bersekolah di

SMP Negeri 5 Malang-Jawa Timur. Menurut data yang diambil oleh

peneliti, murid yang bersekolah di SMP 5 negeri Malang

berjumlah 958 Jiwa, terdiri dari 407 Siswa dan 551 Siswi.

Peneliti melalukan penelitian di SMP Negeri 5 Malang,

karena SMP Negeri 5 Malang adalah salah satu sekolah favorite

di Malang. Peneliti mempunyai harapan, dengan mengambil

penelitian di sekolah tersebut, maka sudah dapat menyimpulkan

pengaruh menonton tayangan kekerasan pada tingkatimitasi

perilaku remaja.

Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang kakteristiknya

hendak diduga dan dianggap bisa mewakili keseluruhan populasi

dan jumlahnya merupakan sebagian dari jumlah populasi.

(Djarwanto P.S.1995). Sampel merupakan bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Dr.

Sugiyono, 1999). Sampel dapat juga diartikan sebagai subset

dari populasi yang terdiri dari beberapa anggota populasi,

dengan begitu peneliti dapat menarik kesimpulan yang dapat

digeneralisasi untuk seluruh populasinya (Augusty Ferdinand,

Page 25: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

2006). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik

pengambilan sampel Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah

pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan

sampel yang diperlukan (sifat-sifat, karakteristik, ciri,

kriteria).

Purposive sampling dapat juga diartikan sebagai teknik

penegambilan sampel dimana peneliti memilih sampel berdasarkan

penilaian terhadap beberapa karakteristik anggota sampel yang

disesuaikan dengan maksud penelitian (Kuncoro, 2003). Dalam

penelitian ini peneliti akan mengambil sampel di SMP Negeri 5

Malang-Jawa Timur. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan

rumus Slovin:

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi yang diketahui

d = presisi yang ditetapkan 5% atau 0.05, dengan taraf

kepercayaan 95%

n= ____958____ = 282.17

958 (0.05)2+1

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil sampel

282.17 yang kemudian dibulatkan menjadi 283 responden.

Page 26: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi

yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian dengan

cara wawancara, observasi, dan kuisioner. Teknik pengumpulan

data yang kami terapkan pada penelitian ini adalah dengan

menggunakan penyebaran angket atau kuesioner tertutup kepada

siswa SMP Negeri 5 Malang , yang dimana Setiap pertanyaan

telah disertai sejumlah pilihan jawaban. Responden hanya

memilih jawaban yang paling sesuai.

3.5 Teknik Pengolahan Data

Menurut Hasan (2006:24) pengolahan data adalah suatu

proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan

dengan menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu.

Pengolahan data bertujuan mengubah data mentah dari hasil

pengukuran menjadi data yang lebih halus sehingga memberikan

arah untuk pengkajian lebih lanjut (sudjana, 2001: 128).

Teknik pengolahan data menuruh Hasan (2006: 24) meliputi

kegiatan :

1. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang

telah terkumpul, tujuannya untuk menghilangkan kesalahan-

kesalahan yang terdapat pada pencatatan dilapangan dan

bersifat koreksi.

2. Coding (Pengkodean)

Page 27: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Coding adalah pemberian kode-kode pada tiap data yang

termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat

yang dibuat dalam bentuk angka dan huruf yang memberikan

petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data

yang akan dianalisis

3. Pemberian Score atau Nilai

Dalam pemberian score digunakan skala likert yang

merupakan salah satu cara untuk menentukan score.

4. Tabulasi

Tabulasi adalah pembuatan tabel-tabel yang berisi data

yang telah diberi kode sesuai dengan analisis yang

dibutuhkan. Dalam melakukan tabulasi diperlukan ketelitian

agar tidak terjadi kesalahan. Tabel hasil tabulasi dapat

berbentuk :

a.Tabel Pemindahan yaitu tabel tempat memindahkan kode-

kode dari kuisioner atau pencatatan pengamatan titik.

Tabel ini berfungsi sebagai arsip.

b.Tabel Biasa yaitu tabel yang disusun berdasarkan sifat

responden dan tujuan tertentu.

c.Tabel Analisis yaitu tabel yang memuat suatu jenis

informasi yang telah dianalisa (Hasan, 2006 : 20).

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data menggunakan regresi linier sederhana

dan korelasi. Menggunakan regresi untuk meramalkan pengaruh

tayangan kekerasan yang menjadi variable X, pada perubahan

perilaku remaja yang menjadi variable Y. Dan menggunakan

Kolerasi untuk mengetahui keeratan dari kedua variabel

tersebut. Rumus regresi linear sederhana sebagi berikut:

Page 28: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Y’ = a + bX

Keterangan:

Y’ = Variabel dependen (nilai yang diprediksikan)

X = Variabel independen

a = Konstanta (nilai Y’ apabila X = 0)

b = Koefisien regresi (nilai peningkatan ataupun penurunan)

3.7 Variabel Penelitian

Menurut Sugiyono (2007) variabel penelitian pada dasarnya

adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi

tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Variabel

bebas penelitian ini adalah pengaruh tayangan kekerasan yang

mengikat variable kami yaitu apakah mempengaruhi tingkat

imitasi perilaku remaja, sebagai berikut:

1. Variabel Independent yaitu variabel yang mempengaruhi atau

variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel

terikat (Arikunto, 1998). Variabel bebas dalam penelitian ini

adalah eksposur kekerasan dalam tayangan televisi (X).

2. Variabel Dependen, yaitu variabel yang dipengaruhi oleh

variabel bebas (Arikunto, 1998). Variabel terikat yang

digunakan dalam penelitian ini adalah peniruan atau tingkat

imitasi perilaku pada remaja (Y).

Page 29: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

3.8 Definisi Operasional

1. Eksposur kekerasan dalam tayangan televisi

Eksposur Kekerasan dalam Tayangan Televisi

didefinisikan sebagai representasi, frekuensi, dan intensitas

seseorang dalam menonton Tayangan Televisi jenis kekerasan

sehingga ia mengimitasi atau mencontoh agresi yang dilihatnya.

Pengukuran eksposur kekerasan dalam Tayangan Televisi

dilakukan dengan mengimitasi metode pengukuran yang digunakan

oleh Anderson dan Dill (2000) yaitu dengan melihat rata-rata

dari hasil kali antara frekuensi dan durasi menonton Tayangan

Televisi dan persepsi kekerasan pada tayangan televisi yang

paling digemari responden. Aspek yang diamati adalah:

- Frekuensi menonton tayangan kekerasan

- Durasi menonton tayangan kekerasan

- Persepsi tayangan kekerasan

- Representasi

Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi

secara verbal tingkah laku yang diamati, dan

menentukan mana yang dibuang dan mana yang akan

dicoba dilakukan. Representasi imajinasi

memungkinkan dapat dilakukannya latihan simbolik

dalam pikiran, tanpa benar-benar melakukannya

secara fisik. Seperti misalnya pembunuhan,

pemukulan, perkelahian, mengumpat kata-kata kasar

dan lain sebagainya.

2. Peniruan atau tingkat imitasi perilaku remaja

Page 30: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak

tidak mesti berakibat belajar, karena belajar melalui

observasi memerlukan beberapa faktor atau prakondisi. Menurut

Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar meinlui

observasi dapat terjadi, yakni: Unsur utama dalam peniruan:

1) Perhatian (Attention)

Subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat

mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai,

harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Meliputi

aspek:

2) Mengingat (Retention)

Subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam

sistem ingatannya. Ini membolehkan subjek melakukan peristiwa

itu kelak bila diperlukan atau diinginkan. Kemampuan untuk

menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses

belajar.

3) Reproduksi gerak (Reproduction)

Setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku,

subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan

apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Setelah subyek

memperhatikan model dan menyimpan informasi, sekarang saatnya

untuk benar-benar melakukan perilaku yang diamatinya. Praktek

lebih lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada

Page 31: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

kemajuan perbaikan dan keterampilan. Meliputi aspek peniruan

dalam tayangan kekerasan:

- Pemukulan

- Perkelahian

- Mengumpat dengan kata-kata kasar

4) Motivasi

Motivasi juga penting dalam pemodelan Albert Bandura karena ia

adalah penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu.

Meliputi aspek:

- Reward yang didapat dari menonton tayangan kekerasan

- Punisment yang didapat dari menonton tayangan

kekerasan

Hubungan variabel dan indikatornya dapat dilihat pada Tabel di

bawah ini:

Page 32: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

No Variabel Indikator Item1. Eksposur

kekerasan dalam

tayangan televisi

X1: Frekuensi

menonton tayangan

televisi

X2: Durasi menonton

tayangan televisi

X3: Persepsi

tayangan kekerasan

X4: Representasi

1) Seberapa sering

menonton tayangan

televisi jenis

kekerasan..

2) Waktu menonton

tayangan televisi

jenis kekerasan.

1) Lamanya (durasi)

menonton tayangan

televisi jenis

kekerasan).

1) Menarik.

2) Menegangkan.

3) Mengerikan.

1) Adegan

perkelahian.

2) Adegan

pembunuhan.

3) Adegan

pemukulan.

4) Adegan mengumpat

kata-kata kasar.

2. Tingkat imitasi

perilaku remaja

Y1: Perhatian 1) Ketertarikan

Page 33: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Y2: Pengingatan

Y3: Reproduksi Gerak

terhadap tokoh.

2) Ketertarikan

terhadap konsep

cerita.

1) Menyimak adegan

kekerasan dalam

tayangan

televisi.

2) Mengingat adegan

kekerasan dalam

tayangan

televisi.

3) Memiliki hasrat

untuk menirukan

setiap adegan

dalam tayangan

kekerasan.

1) Spontanitas

menirukan adegan

tayangan

kekerasan

seperti memukul,

berkelahi dan

mengumpat dengan

kata-kata kasar.

2) Menirukan adegan

Page 34: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Y4: Motivasi dan

penguatan

tayangan

kekerasan

seperti memukul,

berkelahi dan

mengumpat dengan

kata-kata kasar.

3) Intensitas

menirukan adegan

tayangan

kekerasan.

1) Hadiah atau

penghargaan yang

didapat dari

menirukan adegan

kekerasan di

televisi.

2) Hukuman yang

didapat dari

menirukan adegan

kekerasan di

televisi.

3.9 Uji Hipotesis

Page 35: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Uji hipotesis menggunakan uji hipotesis non-directional

yaitu pengujian dengan menggunakan 2 ekor. Dengan menggunakan

rumus t hitung dan Z hitung.

3.10 Keabsahan Data

3.10.1 Validitas

Mengenai validitas Azwar (2010) menuliskan bahwa

Validitas merupakan ketepatan dana kecermatan suatu alat ukur

dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat ukur yang valid,

tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan tepat akan

tetapi juga harus dapat memberikan gambaran yang cermat

mengenai data tersebut. Uji Validitas digunakan untuk mengukur

sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Dalam penelitian ini

dilakukan seleksi item (khususnya daya diskriminasi) dengen

menggunakan teknik Korelasi Corrected Item-Total Correlation.

Aswar (2010) menyatakan bahwa item yang memiliki daya

diskriminasi baik memiliki nilai r ≥0,3. Namun apabila item

yang memiliki indeks daya diskriminasi tidak mencukupi jumlah

yang diinginkan, dapat mempertimbangkan untuk menurunkan batas

kriteria menjadi 0,25. Dalam penelitian ini, penulis memakai

daya diskriminasi item 0,25.

3.10.2 Uji Reliabilitas

Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana hasil

pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hal ini

ditunjukan oleh taraf konsistensi skor yang diperoleh oleh

para subjek yang diukur dengan alat yang sama, atau diukur

Page 36: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

dengan alat yang setara pada kondisi yang berbeda (Suryabrata,

1999). Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan

konsistensi suatu alat pengukuran di dalam mengukur gejala

yang sama. Dalam reliabilitas menggunakan metodeAlpha

Cronbach, dan dengan menggunakan program SPSS for windows

versi 17.0.

BAB IV

STATISTIK DESKRIPTIF DAN STATISTIK INFERNAL

4.1. Gambaran Distribusi Frekuensi

Hasil dari kuesioner yang telah peneliti berikan pada

responden, peneliti sajikan dalam bentuk tabel. Adapun

indikator dalam pertanyaan yang peneliti berikan meliputi:

1. Data demografi,

2. Pengetahuan dan pengalam responden,

3. Tingkat imitasi.

Dari 3 indikator tersebut, peneliti membuat 20 pertanyaan

yang berhubungan dengan tingginya pengaruh tayangan kekerasan

Page 37: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

pada tingkat imitasi pada remaja. Peneliti memilih murid SMP

Negeri 5 Malang sebagai responden.

4.1.1. Data Demografi

Jenis Kelamin Responden

No.

JenisKelamin

Frekuensi

Presentasi

1. Pria 10 33,33%2. Wanita 20 66,67%

Jumlah 30 100%Mean

Peneliti memilih secara acak responden di SMP Negeri

5 Malang dengan bantuan guru. Kami meminta partisipasi

murid kelas VIII pada saat jam pulang sekolah.

4.1.2. Pengetahuan dan Pengalaman Responden

Tabel 1

Tingakt Keseringan Responden Menonton Tayangan Kekerasan

Page 38: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

No

.

Tingkat keseringan

responden menonton

tayangan kekerasan

Frekuens

i

Present

asi

1. Setiap hari 9 30%2. Kurang dari 1 Minggu

Sekali

12 40%

3. 1 Minggu Sekali 9 30%Jumlah 30 100%Mean

Tabel 2

Waktu Tonton Responden

No

.

Waktu tonton Frekuens

i

Present

asi1. Pagi 3 10%2. Siang 2 6,67%3. Malam 25 83,33%

Jumlah 30 100%Mean

Tabel 3

Jenis Tayangan Kekerasan yang Responden Tonton

No

.

Jenis tayangan Frekuens

i

Present

asi1. Iklan 0 0%2. Film 17 56,67%3. Sinetron 13 43,33%

Jumlah 30 100%Mean

Page 39: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Tabel 4

Bentuk Kekerasan yang Responden Tonton

No

.

Bentuk kekerasan Frekuens

i

Present

asi1. Pemukulan 2 6,67%2. Perkelahian 16 53,33%3. Mengumpat dengan kata

kasar

12 40%

Jumlah 30 100%Mean

Tabel 5

Persepsi Tayangan Kekerasan Menurut Responden

No

.

Persepsi Frekuens

i

Present

asi1. Menarik 3 10%2. Menegangkan 15 50%3. Mengerikan 12 40%

Jumlah 30 100%Mean

Kebanyakan responden dapat dibilang jarang dalam menonton

tayangan kekerasan. Karena mereka menyempatkan waktu mereka

untuk menonton tayangan kekerasan khusus, yaitu berbentuk

film. Waktu responden menonton juga pada malam hari. Beberapa

Page 40: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

responden mengatakan ini dilakukan kala malam minggu atau saat

tidak bisa tidur di malam hari. Responden mengatakan keseruan

menonton tayangan kekerasan adalah karena suasana menegangkan

yang terjadi saat adegan perkelahian. Baik itu kungfu, silat

atau perkelahian kelompok.

Tabel 6

Tayangan Kekerasan Menarik Karena Alur Ceritanya

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 1 3,33%2. Setuju 9 30%3. Netral 11 36,67%4. Tidak Setuju 6 20%5. Sangat Tidak

Setuju

3 10%

Jumlah 30 100%Mean 6

Dari hasil tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa

responden tidak sepenuhnya setuju terhadap daya tarik tayangan

kekerasan berdasarkan alur ceritanya. Terbukti dengan hasil

Page 41: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

kuesioner yang peneliti sebarkan. Sebanyak 11 responden

memilih netral. Taufan, 14 tahun, mengatakan dirinya tertarik

dengan tayangan kekerasan karena alur ceritanya yang bagus.

Taufan memberi contoh film “Kungfu Hustle”. Film ini menceritakan

tentang pertempuran para master kungfu di Cina. Di film ini

sarat

Tabel 7

Seringnya Responden Menonton Adegan Perkelahian di Televisi

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 2 6,67%2. Setuju 22 73,33%3. Netral 3 10%4. Tidak Setuju 3 10%5. Sangat Tidak

Setuju

0 0%

Jumlah 30 100%Mean 6

Tabel 8

Umpatan Kasar Tidak Disensor Dalam Tayangan Televisi

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 3 10%

Page 42: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

2. Setuju 10 33,33%3. Netral 3 10%4. Tidak Setuju 9 30%5. Sangat Tidak

Setuju

5 16,67%

Jumlah 30 100%Mean 6

Responden sudah menyadari bahwa sekarang ini, tayangan

kekerasan dapat disisipkan dalam setiap acara yang ditayangkan

oleh televisi. Dalam hal ini adalah adegan perkelahian.

Perkelahian bukan saja dilakukan oleh adu fisik, akan tetapi

juga adu mulut yang kerap kali pelaku perkelahian mengucapkan

kata – kata kasar. Nabila, 13 tahun, mengatakan hal ini tidak

pantas bila ditayangkan di televisi. Mengingat televisi adalah

hiburan menarik yang mudah dijangkau oleh segala usia.

Tabel 9

Responden Tidak Memiliki Hasrat Untuk Mencoba Adegan Kekerasan

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 14 46,67%2. Setuju 8 26,67%3. Netral 3 10%4. Tidak Setuju 4 13,33%5. Sangat Tidak

Setuju

1 3,33%

Page 43: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Jumlah 30 100%Mean 6

Salah satu responden kami, Taufik, 14 tahun, mengakui

bahwa dirinya menyukai film dengan adegan kekerasan. Akan

tetapi, dirinya tidak ada keinginan untuk menirukan gerakan

yang diperagakan oleh aktor di dunia nyata. Karena selain

Taufan tidak memiliki skill tersebut, dirinya juga merasa itu

tidak mungkin dilakukan di dunia nyata. Pendapat Taufan ini di

dukung oleh 14 responden lain yang menyatakan bahwa mereka

tidak memiliki keinginan untuk meniru adegan kekerasan

tersebut di dunia nyata.

Tabel 10

Responden Tidak Pernah Berkelahi Dalam Situasi Apapun

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 5 16,67%2. Setuju 6 20%3. Netral 7 23,33%4. Tidak Setuju 10 33,33%5. Sangat Tidak

Setuju

2 6,67%

Jumlah 30 100%Mean 6

Tabel 11

Responden Sering Berkata Kasar Baik Disengaja Atau Tidak

No Skala Frekuen Present

Page 44: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

. si asi1. Sangat Setuju 2 6,67%2. Setuju 7 23,33%3. Netral 8 26,67%4. Tidak Setuju 11 36,67%5. Sangat Tidak

Setuju

4 13,33%

Jumlah 30 100%Mean 6

Efek dari menonton tayangan bisa dilihat dari reflek

seseorang dalam menanggapi permasalahan. Hal yang paling mudah

ditiru adalah dialog yang diucapkan aktor dalam tayangan

tersebut. Ini terbukti dari 11 responden yang menjawab mereka

sadar saat mengumpat atau menirukan dialog kasar yang

diucapkan oleh aktor di tanyngan kekerasan. Responden pun

menyatakan bahwa mereka pernah berkelahi. Ari, 13 tahun,

mengaku bahwa dirinya akan berkelahi jika terpaksa. Dalam

artian dirinya tidak akan memulai suatu perkelahian jika tidak

ada masalah. Tetapi jika ada anak yang mengganggunya dan tidak

bisa dicegah, Ari akan berkelahi.

Tabel 12

Tayangan Kekerasan Tidak Memberikan Pengaruh Pada Kehidupan

Responden

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 2 6,67%2. Setuju 7 23,33%3. Netral 5 16,67%

Page 45: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

4. Tidak Setuju 9 30%5. Sangat Tidak

Setuju

7 23,33%

Jumlah 30 100%Mean 6

Apa yang kita tonton sedikit banyak akan mempengaruhi

pikiran kita. Pada tabel diatas tidak terlihat perbedaan yang

signifikan dari jawaban responden. Tapi 30% responden

menyatakan adanya pengaruh dari tayangan kekerasan pada

kehidupan sehari – hari mereka. Putri, 14 tahun, mengatakan

bahwa dirinya merasa kurang nyaman bila dirinya berada di

dekat lelaki yang berbadan kekar. Karena menurutnya itu adalah

gambaran dari orang jahat yang digambarkan oleh tayangan

kekerasan yang ia tonton.

Tabel 13

Responden Secara Spontan Memukul dan Mengumpat Jika Ada yang

Mengganggu

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 0 0%2. Setuju 9 30%3. Netral 5 16,67%4. Tidak Setuju 10 33,33%5. Sangat Tidak

Setuju

6 20%

Page 46: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Jumlah 30 100%Mean 5,8

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa 16 responden yang

menyatak bahwa dirinya tidak pernah memiliki reflek untuk

memukul atau mengumpat jika ada yang mengganggu. Lain halnya

dengan Chika, 14 tahun. Dia akan reflek mengumpat pada orang

yang mengganggu dirinya. Dalam hal ini, Chika menggambarkan

mengganggu secara terus menerus.

Tabel 14

Responden Akan Diakui di Lingkungannya Jika Responden

Melakukan Tindakan Kekerasan

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 1 3,33%2. Setuju 3 10%3. Netral 2 6,67%4. Tidak Setuju 12 40%5. Sangat Tidak

Setuju

11 36,67%

Jumlah 30 100%Mean 5,8

Peneliti bertanya pada salah satu responden yaitu Irma,

13 tahun. Menurutnya bila ada anak lelaki yang berkelahi,

memalak, berkata kasar tanpa sebab adalah alay. Karena hal –

hal semacam itu harusnya tidak akan terjadi pada murid SMP

Negeri 5 Malang. Mereka hanya akan bahan gunjingan di sekolah

kalau sampai ada yang berkelahi. Ini didukung oleh 76,67%

Page 47: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

reponden yang menyatakan bahwa mereka tidak akan mendapat

pengakuan bila melakukan tindak kekerasan.

Tabel 15

Responden Mendapat Hukuman Setiap Kali Melakukan Tindakan

Kekerasan

No

.

Skala Frekuen

si

Present

asi1. Sangat Setuju 5 16,67%2. Setuju 9 30%3. Netral 4 13,33%4. Tidak Setuju 9 30%5. Sangat Tidak

Setuju

3 10%

Jumlah 30 100%Mean 6

Jawaban dari respon hampir imbang. Ini dikarenakan mereka

akan mendapat hukuman jika mereka ketahuan oleh orang tua

mereka atau guru mereka saat melakukan tindakan kekerasan.

Tetapi, bila tidak ketahuan mereka tidak akan mendapatkan

sanksi atas apa yang telah dilakukan.

Page 48: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Page 49: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui ada hubungan

antara pengaruh menonton tayangan kekerasan pada tingkat

imitasi perilaku remaja. Dari hasil penelitian tersebut dapat

di ambil kesimpulan:

1. Mayoritas responden menonton tayangan kekerasan pada

saaat malam hari.

2. Mayoritas responden menonton tayangan kekerasan berupa

Film yang disiarkan di televisi.

3. Kebanyakan responden dapat di bilang jarang dalam

menonton tayangan kekerasan. Karena mereka menyempatkan

waktu mereka untuk menonton tayangan kekerasan secara

khusus. Beberapa responden mengatakan ini dilakukan saat

malam minggu atau saat tidak bisa tidur.

4. Beberapa responden mengatakan keseruan menonton tayangan

kekerasan karena suasana yang menegangkan yang terjadi

saat adegan perekelahian. Baik itu kungfu, silat atau

perkelahian kelompok.

5. Kebanyakan responden tidak sepenuhnya setuju jika

tayangan kekerasan menarik karena alur ceritanya, ini

terbukti dari presentase responden yang memilih netral

sebesar 33,67%, yang memilih setuju sebesar 30%, dan yang

memilih tidak setuju sebesar 20%.

6. Presentasi responden menonton adegan perkelahian di

televisi ternyata juga sangat besar, yaitu sebesar 73,33%

menjawab setuju, atau sebanyak 22 orang yang menjawab

setuju.

7. Responden sudah menyadari bahwa sekarang ini, tayangan

kekerasan dapat disisipkan dalam setiap acara yang

Page 50: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

ditayangkan oleh televisi. Dalam hal ini adalah adegan

perkelahian. Perkelahian bukan saja dilakukan oleh adu

fisik, akan tetapi juga adu mulut yang kerap kali pelaku

perkelahian mengucapkan kata – kata kasar.

8. Mayoritas responden tidak memiliki hasrat untuk mencoba

adegan kekerasan.

9. Efek dari menonton tayangan bisa dilihat dari reflek

seseorang dalam menanggapi permasalahan. Hal yang paling

mudah ditiru adalah dialog yang diucapkan aktor dalam

tayangan tersebut. Ini terbukti dari 11 responden yang

menjawab mereka sadar saat mengumpat atau menirukan

dialog kasar yang diucapkan oleh aktor di tanyngan

kekerasan. Responden pun menyatakan bahwa mereka pernah

berkelahi.

10. Apa yang kita tonton sedikit banyak akan

mempengaruhi pikiran kita. Pada tabel diatas tidak

terlihat perbedaan yang signifikan dari jawaban

responden. Tapi 30% responden menyatakan adanya pengaruh

dari tayangan kekerasan pada kehidupan sehari – hari

mereka.

11. Kebanyakan Responden akan mendapat hukuman dari

orang tua atau guru mereka jika ketahuan melakukan

tindakan kekerasan.

5.2 Saran

1. Pentingnya peran dari orang tua murid untuk mengawasi

putra putrinya dengan apa yang mereka tonton di

televisi setiap harinya.

Page 51: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

2. Sebaiknya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) lebih ketat

lagi dalam mengawasi tayangan tayangan di televisi,

khususnya untuk tayangan yang berupa adegan kekerasan.

3. Sebaiknya orang tua dan guru di sekolah memberikan

hukuman yang berat kepada anak atau muridnya yang

melakukan tindakan kekerasan, ini supaya anak atau

murid merasa jera dan tidak melakukan tindakan

kekerasan lagi.

4. Pentingnya penyuluhan rutin setiap minggunya mengenai

tayangan kekerasan yang tidak mendidik di sekolah untuk

mencegah terjadinya kekerasan yang di lakukan oleh

murid baik itu di sekolah maupun di luar sekolah.

Lampiran 1: Kuesioner Penelitian

“KUESIONER PENGARUH TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI

REMAJA”

Page 52: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

Petunjuk Pengisian:

1. Jawablah pertanyaan ini dengan jujur dan benar.

2. Bacalah terlebih dahulu pertanyaan dengan cermat sebelum

anda memulai jawabannya.

3. Pilihlah salah satu jawaban yang tersedia dengan memberi

tanda silang (X) pada jawaban yang anda anggap paling benar.

4. Atas kesediaan anda untuk mengisi angket ini terlebih

dahulu kami ucapkan terima kasih.

I. DATA DEMOGRAFI

Jenis Kelamin

a. ( ) Pria

b. ( ) Wanita

II. PENGETAHUAN DAN PENGALAMAN RESPONDEN

1. Seberapa sering anda menonton tayangan televisi jenis

kekerasan?

a. ( ) Setiap hari

b. ( ) Kurang dari 1 Minggu sekali

c. ( ) 1 Minggu sekali

2. Pada waktu apa anda menonton tayangan televisi jenis

kekerasan?

a. ( ) Pagi

b. ( ) Siang

c. ( ) Malam

3. Jenis tayangan kekerasan yang sering anda lihat dalam

bentuk?

a. ( ) Iklan

b. ( ) Film

Page 53: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

c. ( ) Sinetron

4. Bentuk kekerasan yang sering anda lihat ?

a. ( ) Pemukulan

b. ( ) Perkelahian

c. ( ) Mengumpat dengan kata-kata kasar

5. Persepsi tayangan kekerasan menurut Anda?

a. ( ) Menarik

b. ( ) Menegangkan

c. ( ) Mengerikan

III. PENGUKURAN TINGKAT IMITASI

Isilah dengan ketentuan sebagai berikut:

SS : Sangat Setuju TS : Tidak Setuju

S : Setuju STS : Sangat Tidak Setuju

N : Netral

No Pernyataan Skor Tingkat

KinerjaSS S N TS ST

S6 Tayangan kekerasan menarik karena

alur ceritanya bagus dan

menegangkan7 Saya sering melihat adegan

perkelahian dalam tayangan televisi8 Umpatan kasar tidak disensor dalam

setiap tayangan di televisi9 Saya sama sekali tidak memiliki

Page 54: PENGARUH MENONTON TAYANGAN KEKERASAN PADA TINGKAT IMITASI PERILAKU REMAJA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi Kuantitatif Fakultas Ilmu Sosial dan

hasrat untuk mencoba adegan

kekerasan10 Saya tidak pernah berkelahi dalam

situasi apapun11 Saya sering berkata kasar baik

sengaja maupun tidak sengaja12 Tayangan kekerasan tidak memberikan

pengaruh dalam kehidupan anda13 Saya secara spontan memukul dan

mengumpat jika ada yang mengusik

saya14 Saya akan diakui dalam lingkungan

pergaulan jika dapat meniru adegan

kekerasan dalam tayangan televisi15 Saya mendapat hukuman setiap kali

bertingkah laku atau meniru adegan

kekerasan dalam tayangan televisiREFERENSI :

http://www.wwe.com/shows/smackdown (diakses pada 27 Maret

2014)

Berkowitz., L.1995. Agresi 1:sebab dan

akibatnya.penerjemah :Hartini Woro Susiatni. Jakarta:

PT.Pustaka Binaman Pressindo

McQuail, Dennis. 2000. McQuail’s Mass Communication

Theory, 4th Edition. New Delhi: SAGE publications Ltd.

M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi. Buku Ajar Psikologi

Komunikasi – Fakultas Psikologi Unair 2010