1 PENGARUH MADU TOPIKAL TERHADAP TINGKAT KECEPATAN PERBAIKAN KERUSAKAN KULIT LEHER PASCARADIOTERAPI KARSINOMA NASOFARING Oleh : Doddy Sumardhika 131421080012 TESIS Untuk memenuhi salah satu syarat ujian Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2013
81
Embed
PENGARUH MADU TOPIKAL TERHADAP TINGKAT … · Kata kunci : Karsinoma nasofaring,kerusakan kulit, madu, radioterapi . 3 ABSTRACT In Indonesia, Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is the
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENGARUH MADU TOPIKAL TERHADAP TINGKAT
KECEPATAN PERBAIKAN KERUSAKAN KULIT LEHER
PASCARADIOTERAPI KARSINOMA NASOFARING
Oleh :
Doddy Sumardhika
131421080012
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis-1
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG 2013
2
ABSTRAK
Di Indonesia, Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan kepala dan leher yang paling sering ditemukan dengan pengobatan utama radioterapi. Efek samping radioterapi pada kulit mencapai 95%. Manajemen toksisitas kulit akibat radioterapi bervariasi dan inkonsisten. Madu memiliki sifat antibakteri dan imunomodulator dan mediator fisiologis. Di Indonesia terdapat banyak jenis madu dan madu randu memiliki keunggulan sifat antibakteri dibandingkan jenis lainnya. Manfaat madu pada penanganan luka mendorong dilakukannya penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas pemberian madu randu Perhutani dalam perbaikan kerusakan kulit leherpascaradioterapi pasien karsinoma nasofaring Penelitian dilakukan di poliklinik THT-KL dan instalasi radioterapi RSHS mulai April – Juli 2013 pada pasien yang mengalami kerusakan kulit leher tingkat dua atau lebih berdasarka kriteria Radiation Therapy Oncology Group (RTOG). Digunakan studi quasi experimental dengan subjek penelitian dipilih secara konsekutif. Subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan yang mendapatkan terapi balutan madu topikal, dan kelompok kontrol yang mendapatkan balutan NaCl fisiologis. Kemudian dibandingkan perbaikan kerusakan kulit yang terjadi antara kedua kelompok setiap pekan selama satu bulan Dari penelitian terhadap total 30 pasien yang terbagi menjadi kelompok perlakuan (15 orang) dan kelompok kontrol (15 orang) didapatkan hasil pada satu minggu setelah perlakuan , seluruh kelompok perlakuan telah mengalami perbaikan. Sedangkan perbaikan pada kelompok kontrol baru didapatkan pada minggu kedua (53,33%) dan pada minggu keempat seluruh kelompok kontrol telah mencapai perbaikan (p < 0,001). Demikian juga berdasarkan luas luka yang terjadi, didapatkan bahwa pada satu minggu setelah perlakuan, penyembuhan luka pada kelompok perlakuan terjadi lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol (p < 0,001) Penelitian ini menunujukkan madu topikal mempercepat proses penyembuhan kerusakan jaringan kulit leher fase akut pascaradioterapi karsinoma nasofaring Kata kunci : Karsinoma nasofaring,kerusakan kulit, madu, radioterapi
3
ABSTRACT
In Indonesia, Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is the most common malignancy found of the head and neck, with radiation therapy as main treatment. Side effects of radiation therapy of the skin reached 95%. Management of skin damage due to radiation therapy varied and inconsistent. Honey has antibacterial, immunological modulators, and physiological mediator properties.Cottonwoods honey has advantages compared to other types in wound healing property. The objective of this research is to investigate the effectiveness of the Perhutani cottonwoods honey in treating neck skin damage after radiation therapy of nasopharyngeal carcinoma. The study was conducted in the ORL-HNS department RSHS from April – July 2013. Patients with neck skin damage level two or more based on Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) criteria are selected. Using quasi experimental study, subjects selected by consecutive method. Subjects divided into treatment group that received topical honey and control groupt that received normal saline dressing. From total 30 subjects, 15 subject of treatment group and 15 subjects of control group ,after 1 week, all of the subjects from treatment group experience improvement, while, in control group, improvement achieved at second week (53,33%) (p<0,001). From wound size, after one week, wound healing ocuur faster in treatment group compared to control group (p<0,001). This study show topical honey accelerate wound healing process of acute phase neck skin damage due to radiation therapy in nasopharyngeal carcinoma. Key words: nasopharyngeal carcinoma, skin damage, honey, radiation therapy
4
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………….
ABSTRACT ……………………………………………………………...
KATA PENGANTAR …………………………………………………...
DAFTAR ISI ……………………………………………………………..
iv
v
vi
xiii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. xvii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xviii
DAFTAR SINGKATAN ………………………………………………...
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….
xix
xxi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Penelitian ………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………... 5
1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………… 5
1.4 Kegunaan Penelitian ……………………………………...
1.4.1 Kegunaan Ilmiah ……………………………………
1.4.2 Kegunaan Praktis …………………………………...
5
5
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN
HIPOTESIS …………………………………………………
7
2.1 Kajian Pustaka ……………………………………………
2.1.1 Karsinoma Nasofaring ……………………………..
2.1.2 Diagnosis …………………………………………..
7
7
7
5
2.1.2.1 Stadium Klinis…………………………….
2.1.3 Histopatologi ………………………………………
2.1.4 Terapi . ……………………………………………..
2.1.4.1 Unit teleterapi Cobalt-60 …………………
2.1.5 Efek Samping Radioterapi …………………………
2.1.6 Efek Samping Radioterapi pada kulit ……………...
Tabel 4.1 Karakterisitik Subjek Penelitian Pada Kedua Kelompok
Perlakuan…….………………………………………………… 56
Tabel 4.1.1 Karakterisitik Subjek Penelitian Pada Kedua Kelompok
Perlakuan dengan Kerusakan Kulit Tingkat 2a ………………… 57
Tabel 4.1.2 Karakteristik Subjek Penelitian Pada Kedua Kelompok
Perlakuan dengan Kerusakan Kulit Tingkat 2b……………….... 58
Tabel 4.2 Perbandingan Kondisi Klinis Kulit berdasarkan kriteria RTOG …………………………………………………………. 59 Tabel 4.3 Perbandingan Luas Luka Pada Kedua Kelompok Perlakuan ... 60
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Unit teleterapi Co-60……..…………………………………… 11
Gambar 2.2 Proses Penyembuhan luka ...…………………………………… 27
Gambar 2.3 Klasifikasi CAM ……………………………………………….. 30
Gambar 2.4 Efek Madu Pada Penyembuhan Luka ………………………… 43
10
DAFTAR SINGKATAN
KNF : Karsinoma Nasofaring
FDA : Food and Drug Administration
RSHS : Rumah Sakit Hasan Sadikin
Depkes : Departemen Kesehatan
EBV : Epstein-Barr Virus
IgA : Imunoglobulin A
EA : Early Antigen
VCA : viral capsid antigen
UICC : Union Internationale Contre Cancer
AJCC : American Joint Committee on Cancer
T : Tumor
N : Nodul
M : Metastasis
WHO : World Health Organization
Gy : Gray
cGy : centigray
Ci : Curie
DNA : Deoxyribo Nucleic Acid
SLND : Silver Leaf Nylon Dressing
IL : Interleukin
kDa : kilodalton
MMP-9 : matrix metalloproteinase-9
11
PGE2 : prostagiandin E2
TGF- ß : transforming growth factor-ß
TNF-α : tumor necrosis factor-α
Linac : Linear accelerator
RTOG : Radiation Therapy Oncology Group
FKUI : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
PCR : Polymerase Chain Reaction
CAM : Complementary and Alternative Medicine
NCCAM : National Center for Complementary and Alternative Medicine
12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Terapi radiasi, baik sendiri maupun bersama-sama dengan terapi jenis lain
berperan dalam kesembuhan 40% pasien kanker dan 70% pasien kanker pernah
mendapatkan terapi radiasi selama perjalanan penyakitnya. Terapi radiasi ini
memiliki efek yang berat terhadap kulit dan jaringan ikat, baik jangka pendek
maupun yang jangka panjang. Terapi radiasi juga mempengaruhi waktu, lama, dan
hasil akhir penyembuhan luka.1
Efek samping terapi radiasi pada kulit merupakan efek samping yang paling
sering ditemukan.2
Lebih jauh, para dokter dan pasien-pasien melaporkan bahwa toksisitas terapi
radiasi atau radioterapi memberikan efek negatif terhadap pasien dari segi fisik,
fungsi, emosi, dan sosial. 3
Waktu dimulainya gangguan pada kulit, durasi, dan tingkat kerusakan yang
disebabkan terapi radiasi akan bergantung pada lokasi tubuh yang terpapar sinar
radiasi tersebut, hubungan antara waktu-dosis-volume, serta tipe dan besar energi
radiasi yang digunakan.1
13
Di Indonesia, Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang paling
sering dijumpai di daerah kepala dan leher. Frekuensi relatif berkisar antara 38,1 -
71,8%. Meskipun KNF dapat diketemukan pada semua umur, jarang diketemukan
umur dibawah 20 tahun Insiden KNF mulai meningkat pada umur 20 - 24 tahun,
mendatar (plateau) diantara umur 45 - 54 tahun, kemudian menurun. Kebanyakan
KNF dijumpai pada usia produktif yaitu umur 30 - 59 tahun (sekitar 80%), dengan
puncak antara 40 - 49 tahun. KNF lebih sering dijumpai pada laki-laki
dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2-3:1. Dalam suatu survei
Departemen Kesehatan RI, berdasarkan registrasi kanker dari data patologi di
Indonesia yang dilakukan antara tahun 1977 - 1979 didapatkan angka insidensi
untuk penderita KNF sebesar 4,7 per 100.000 penduduk per tahun. Saat ini angka
tersebut meningkat 5,4 per 100.000. Pada saat itu dilaporkan, KNF menempati
urutan ke empat dari seluruh keganasan yang ada di tubuh setelah karsinoma
serviks, payudara dan kulit. Penelitian DepKes RI tahun 2004-2006 untuk
mendapatkan data 10 kanker terbanyak di Indonesia menemukan KNF menempati
urutan ke 10. Urutan pertama adalah kanker payudara, sedangkan kedua adalah
Data laporan tahunan kunjungan penderita ke Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-
KL RS. dr. Hasan Sadikin Bandung selama periode tahun 2006-2010
menunjukkan, bahwa karsinoma nasofaring juga merupakan tumor ganas kepala
dan leher yang paling banyak ditemukan dengan persentase sebesar 40,5% .6
14
Pengobatan pilihan utama KNF berupa radioterapi. KNF termasuk dalam
golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran
(radiocurable), terutama bila masih stadium dini (stadium I, II). 5
Kumar dkk. dalam penelitiannya mengatakan bahwa terbatasnya penelitian
manajemen toksisitas kulit akibat radioterapi menyebabkan penanganan yang
disarankan oleh dokter pada pasien-pasien menjadi bervariasi dan inkonsisten.
Dari studi ini, sulit untuk mengambil keputusan untuk penanganan kerusakan kulit
sebagai efek samping radioterapi.2
Hingga saat ini, di RSHS belum ada terapi standard yang diberikan pada
pasien-pasien karsinoma nasofaring pascaradioterapi yang menderita efek
samping berupa kerusakan kulit leher, padahal efek samping yang terjadi
bervariasi, dari mulai yang ringan sampai dengan berat. Hal ini tentunya
memerlukan perhatian yang serius agar efek samping yang terjadi dapat segera
tertangani dan tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat.
Sepanjang sejarah, penggunaan madu dalam terapi medis sudah sangat dikenal.
Mulai peradaban Mesir kuno, Yunani, Cina, peradaban Yahudi, Nasrani, Islam,
hingga masa Perang Dunia I. Madu digunakan dalam berbagai terapi seperti pada
pembalutan kasus-kasus bedah untuk membantu penyembuhan luka. 7
Madu belum dijadikan subjek dalam uji klinis objektif dalam menangani
kerusakan kulit akibat radioterapi, namun banyaknya bukti yang mendukung
manfaat madu pada penanganan luka kronik mendorong perlunya dilakukan
penelitian di bidang ini.8
15
Madu memiliki sifat sebagai mediator fisiologis yang dapat membantu
penyembuhan luka. Di luar negeri, penelitian tentang madu telah cukup banyak
dilakukan dan digunakan sebagai terapi pada luka bakar, juga luka pascabedah.
Selain itu sifat antibakteri dan modulator imunologis, juga berperan dalam
mempercepat penyembuhan luka dan mencegah efek samping yang terjadi
menjadi semakin berat.7
FDA sendiri telah merekomendasikan pengunaan madu pada kasus ulkus
dekubitus, ulkus diabetikum, luka bakar, luka operasi dan lain-lain. Berbagai
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan superiotitas madu dibandingkan
dengan terapi konvensional.7
Indonesia sebagai negara yang kaya akan keanekaragaman hayati memiliki
berbagai jenis madu, diantaranya adalah madu randu (Ceiba pentandra) produksi
perhutani. Dari penelitian Siddiqa, madu ini memiliki mekanisme osmosis yang
pada luka membantu pengeringan jaringan yang terinfeksi dan mereduksi
pertumbuhan bakteri lebih baik dibanding madu jenis lainnya. Kadar pH madu
randu lebih rendah dibandingkan madu kelengkeng (Dimocarpus longan)
sedangkan pH yang rendah akan mempercepat penyembuhan luka. Madu
perhutani sendiri hanya tersedia di gerai-gerai resmi perhutani sehingga kualitas
madunya lebih terjamin dibandingkan madu merk lain. Harga madu ini pun jauh
lebih ekonomis dibandingkan dengan madu impor, seperti Manuka honey, yang
harganya dua puluh kali lipat lebih mahal. 9-12
16
Berdasarkan pemikiran di atas maka dirumuskan tema sentral penelitian sebagai
berikut :
Kerusakan kulit leher merupakan komplikasi tersering yang diderita pasien pascaradioterapi karsinoma nasofaring. Hingga saat ini, di RSHS belum ada terapi standard yang diberikan pada pasien-pasien karsinoma nasofaring pascaradioterapi yang menderita efek samping berupa kerusakan kulit leher, padahal efek samping yang terjadi bervariasi, dari mulai yang ringan sampai dengan berat.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah madu randu perhutani topikal berperan mempercepat perbaikan
kerusakan kulit leher pascaradioterapi karsinoma nasofaring.
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk menilai efektivitas pemberian madu randu perhutani dalam perbaikan
kerusakan kulit leher pascaradioterapi karsinoma nasofaring
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan ilmiah
17
Memberikan informasi mengenai efektivitas pemberian madu randu perhutani
dalam perbaikan kerusakan kulit leher pascaradioterapi karsinoma nasofaring.
1.4.2 Kegunaan praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam penanganan kerusakan
kulit leher pascaradioterapi karsinoma nasofaring
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Karsinoma Nasofaring
Di Indonesia, Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang paling
sering dijumpai di daerah kepala dan leher. Frekuensi relatif berkisar antara 38,1 -
71,8%. Dalam suatu survei Departemen Kesehatan RI, berdasarkan registrasi
kanker dari data patologi di Indonesia yang dilakukan antara tahun 1977 - 1979
didapatkan angka prevalensi untuk penderita KNF sebesar 4,7 per 100.000
penduduk per tahun. Saat ini angka tersebut meningkat 5,4 per 100.000. Pada saat
itu dilaporkan, KNF menempati urutan ke empat dari seluruh keganasan yang ada
di tubuh setelah karsinoma serviks, payudara dan kulit. Penelitian DepKes RI
tahun 2004-2006 untuk mendapatkan data 10 kanker terbanyak di Indonesia
menemukan KNF menempati urutan ke 10. Urutan pertama adalah kanker
payudara, sedangkan kedua adalah kanker leher rahim (Sumber : SIRS 2007,
Ditjen Janmedik Depkes RI)4
19
2.1.2 Diagnosis
Pada dasarnya, setiap penderita dengan gejala telinga dan gejala hidung unilateral
harus dicurigai sebagai penderita KNF, kecuali bila telah dibuktikan lain.4
Pada pasien yang datang dengan gejala-gejala karsinoma nasofaring, harus
dilakukan pemeriksaan fisik seperti adanya benjolan di leher, cairan di telinga
tengah, dan keterlibatan saraf kranialis. Pemeriksaan ruangan postnasal secara
indirek harus dilakukan. Pemeriksaan lain untuk menegakkan diagnosis
karsinoma nasofaring meliputi level antibodi terhadap EBV, pencitraan, dan
pemeriksaan nasofaringoskopi yang disertai biopsi.4
Diagnosis pasti suatu karsinoma nasofaring memerlukan bukti biopsi
nasofaring yang positif yang diambil dari massa di nasofaring. Rongga nasofaring
dapat diperiksa dengan baik menggunakan endoskop kaku maupun lentur.13
2.1.2.1 Stadium Klinis
Penentuan stadium TNM KNF berdasarkan atas kesepakatan antara UICC
(Union Internationale Contre Cancer) dan AJCC (American Joint Committee on
Cancer) pada tahun 1997, dan berdasarkan kriteria itu, stadium penyakit dapat
ditentukan.13, 14
2.1.3 Histopatologi
Klasifikasi gambaran histopatologi KNF yang direkomendasikan oleh WHO
dibedakan dalam tiga tipe, yaitu:13, 14
20
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratin (WHO tipe I)
2. Karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin (WHO tipe II)
3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO tipe III)
2.1.4 Terapi
Pengobatan pilihan utama KNF berupa radioterapi. KNF termasuk dalam
golongan penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran
(radiocurable), terutama bila masih stadium dini (stadium I, II). Radiasi eksterna
(teleterapi) pada KNF stadium loko-regional harus diberikan dengan dosis yang
cukup tinggi, ditujukan pada tumor primer di nasofaring dan daerah perluasan
maupun metastasisnya di kelenjar getah bening leher. Radioterapi dikatakan
berhasil bila tercapai eradiasi semua sel kanker yang viable. Kerusakan yang
terjadi akibat radiasi tidak terbatas pada sel kanker saja tetapi juga pada sel normal
disekitarnya. Pesawat radioterapi dengan energi lebih tinggi yang belakangan ini
sering digunakan untuk terapi KNF yaitu akselerator linier (Linac) yang
menghasilkan sinar foton atau elektron (sinar X) dengan tenaga 4-10 Megavolt.
Penggunaan pesawat ini untuk pengobatan KNF dipandang lebih baik karena
mempunyai daya tembus yang cukup tinggi, sehingga tanpa atau sedikit sekali
menimbulkan kelainan kulit. 4
21
Radioterapi KNF dengan tujuan paliatif diberikan pada stadium lanjut, atau
untuk mengurangi keluhan akibat tumornya baik tumor primer atau tumor
kambuh setelah mendapat radiasi dosis penuh. Contoh radiasi paliatif misalnya
tumor (KNF) besar yang menimbulkan gejala obstruksi jalan napas atas atau
saluran makanan, penekanan organ sekelilingnya terutama orbita, perdarahan
tumor yang tak dapat dihentikan dengan hemostasis, dan metastasis tulang.4
Dosis radiasi yang dibutuhkan untuk eradikasi tumor tergantung dari besarnya
tumor. Untuk KNF yang masih dini (T1 dan T2) diberikan radiasi dengan dosis
sebesar 200 - 220 cGy per fraksi, lima kali seminggu tanpa istirahat (continuous
or conventional technique) selama sekitar 6 – 7,5 minggu sampai mencapai dosis
total 6000 - 7000 cGy. Sedangkan untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih
besar (T3 dan T4) diberikan dosis total radiasi pada tumor primer di nasofaring
yang lebih tinggi yaitu 7000 - 7500 cGy. Bila tidak didapatkan metastasis di KGB
leher (N0) maka diberikan radiasi profilaktik dengan dosis sekitar 4000 - 5000
cGy dalam empat atau empat setengah minggu, sedangkan bila ada pembesaran
KGB di leher (metastasis regional) diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan
tumor primernya. Bila masih didapatkan residu tumor, diberikan radiasi tambahan
(booster) dengan area diperkecil hanya pada tumornya saja sebesar 1000 - 1500
cGy sehingga mencapai dosis total sebesar 7500-8000 cGy. Selain radiasi
eksterna, radiasi tambahan dapat diberikan dengan cara radiasi interna
(brachytherapy).4
Di Instalasi Radioterapi RSHS untuk terapi radiasi digunakan pesawat Tele
Cobalt (sinar Gamma) dan Linac (sinar x).Terapi radiasi dapat diberikan secara
22
external beam (radiasi eksterna), implant interstitial (radiasi interna) atau
kombinasi keduanya. Pemberian radioterapi harus disesuaikan dengan
karakteristik dan lokasi tumor primer,serta lokasi kelenjar getah bening yang
terkena. Radioterapi konvensional diberikan 180-200 cGy per hari dengan dosis
total 60-70 Gy selama enam minggu.4
2.1.4.1 Unit teleterapi Cobalt-60
Gambar 2.1 Unit teleterapi Co-60 15
Cobalt alami adalah suatu logam yang bersifat keras, stabil, abu-abu kebiruan,
mudah pecah dengan sifat yang mirip dengan besi dan nikel. Susunan atomnya
mengandung 27 proton, 32 neutron, dan 27 elektron. Isotop yang paling terkenal
untuk cobalt ialah Co-60 yang bersifat radioaktif tidak stabil. Isotop ini
ditemukan oleh Glenn Seaborg dan John Livingood di California Berkeley
23
University di tahun 1930. Co-60 kini diproduksi secara komersial dalam reaktor
nuklir.15
Peluruhan Co-60 dimulai dengan meluruhnya sinar-β, dan kemudian diikuti
dua emisi sinar gamma dengan energi dari 1,17321 dan 1,33247 MV. Unit
teleterapi Co-60 memiliki sumber radiasi dengan silinder dua cm. Aktivitas unit
ini umumnya antara 5.000 dan 15.000 Ci. Inti cobalt dengan aktivitas kurang dari
3.000 Ci harus diganti dengan yang baru, ini biasanya diperlukan setelah 5-7
tahun penggunaan. Unit teleterapi Co-60 memberikan kinerja yang baik untuk
tumor dengan kedalaman <10 cm. 15
Respon radioterapi secara keseluruhan (overall response rate) antara 25% -
65%. Dilaporkan respons lengkap (RL) sekitar 43%- 65%, Respons Sebagian
(RS) 24%-30%, Tidak Respons (TR) 3,5%- 20% dan Progresif (P) sekitar 0-15%.
Angka bertahan hidup lima tahun untuk T1 sebesar 73%, T2 : 60%, T3 : 41% dan
T4: 15%, sedangkan angka bertahan hidup lima tahun untuk N0 sebesar 61%, N1
: 48%, N2 : 36% dan N3 : 12%. Dilaporkan juga angka bertahan hidup untuk 1, 2,
5 dan 10 tahun sebesar 82,7%, 67,4%, 47,8% dan 39,8%. Angka bertahan hidup
lima tahun rerata antara 24% - 58%. Sekitar separoh (50%) dari penderita KNF
stadium lanjut ditemukan meninggal dalam tahun pertama setelah terapi radiasi.
Penelitian di Jakarta oleh Susworo (1990) didapatkan angka bertahan hidup satu
tahun untuk stadium I sebesar 100%, II : 86,73%, III : 71,67% dan stadium IV :
41,60%.4
24
Radioterapi KNF yang dikombinasi dengan kemoterapi dilaporkan respons
rate dan survival yang lebih tinggi. Indikasi pemberian kemoterapi pada KNF
antara lain residu lokal pasca radiasi interna, tumor residif, stadium III – IV dan
metastasis jauh. 5
2.1.5 Efek Samping Radioterapi
Efek samping merupakan masalah yang dapat muncul akibat pemberian suatu
terapi. Pada radioterapi, hal ini dapat terjadi karena digunakannya radiasi dosis
tinggi untuk membunuh sel kanker mempengaruhi juga sel-sel yang sehat di area
penyinaran. Efek samping ini dapat berbeda pada setiap orang. Seseorang dapat
mengalami efek samping yang begitu banyak, sedangkan orang lain mengalami
efek samping yang sangat minimal. Efek samping ini dapat menjadi lebih berat
jika pasien juga mendapatkan kemoterapi, baik sebelum, saat, maupun setelah
pemberian radioterapi. 16
Banyak pasien yang mendapatkan radioterapi mengalami gangguan pada
kulitnya dan keluhan rasa lelah. Efek samping lain tergantung pada bagian tubuh
mana yang menerima radiasi. 16, 17
Perubahan pada kulit dapat berupa kulit kering, gatal, mengelupas, atau
melepuh. Hal ini terjadi karena radioterapi menyebabkan kerusakan kulit di area
yang terkena penyinaran. 2, 16, 17
25
Tergantung dari bagian tubuh mana yang menerima radioterapi, efek samping
lain yang dapat terjadi adalah :
Diare
Rambut rontok di area penyinaran
Gangguan pada rongga mulut
Nausea dan muntah
Gangguan seksual
Bengkak
Sulit menelan
Gangguan kencing
Kebanyakan efek samping ini akan menghilang dalam 4 minggu
pascaradioterapi selesai dilakukan.16
Efek samping lambat dapat muncul 6 bulan atau bahkan lebih setelah
pemberian radioterapi. Gejala yang muncul berbeda-beda sesuai bagian tubuh
yang terkena radioterapi dan dosis radioterapi yang diberikan. Efek samping
lambat ini meliputi :
Infertilitas
Gangguan sendi
Limfedema
Kanker sekunder 16
26
2.1.6 Efek Samping Radioterapi pada kulit
Reaksi akut efek samping radioterapi terhadap kulit dapat terlihat 2 – 3 minggu
sejak pasien mendapatkan radioterapi. Hal ini ditandai dengan munculnya eritema,
deskuamasi kering dan atau basah, kerontokan rambut, hilangnya kelenjar keringat
dan saliva, dan terutama proses penyembuhan. Sel-sel germinal epitel kulit dan
mukosa segera bereaksi terhadap terapi radiasi ini. 18
Meskipun saat ini alat-alat radioterapi sudah menerapkan sistem yang berusaha
mencegah kerusakan kulit, namun kerusakan kulit dan jaringan subkutan masih
terjadi, bahkan sampai derajat yang berat. Waktu dimulainya gangguan pada kulit,
durasi, dan tingkat kerusakan yang disebabkan terapi radiasi akan bergantung
pada lokasi tubuh yang terpapar sinar radiasi tersebut, hubungan antara waktu-
dosis-volume, serta tipe dan besar energi radiasi yang digunakan. Reaksi yang
terjadi biasanya lebih parah pada daerah lipatan seperti daerah aksila,
inframamaria, pangkal paha, dan perineum, hal ini disebabkan karena tingginya
kelembapan, suhu yang hangat, dan gesekan yang kerap terjadi di area ini.1
Faktor-faktor lain yang turut berpengaruh pada derajat kerusakan kulit
pascaradioterapi adalah kondisi kulit pasien sendiri, usia, riwayat pengobatan dan
pembedahan, dan status nutrisi.1
2.1.6.1 Efek Samping radioterapi pada kulit tipe cepat
Efek samping radioterapi pada kulit tipe cepat adalah efek samping yang
muncul selama radioterapi dan beberapa minggu setelahnya.
27
Radioterapi menyebabkan perubahan biokimia dalam sel, seperti perubahan
molekul DNA yang rentan terhadap kerusakan radiasi selama mitosis. Kerusakan
radiobiologis mempengaruhi regenerasi kulit terkait proses perbaikan, repopulasi
redistribusi, dan reoksigenasi. Sel yang rusak akan diganti dengan sel-sel yang
masuk ke dari fase aktif dari fase istirahat (repopulation). Kerusakan kulit terjadi
ketika tingkat repopulasi lapisan sel basal (stratum germinativum) tidak bisa
mengimbangi laju kerusakan sel. Kerusakan kulit akibat radioterapi muncul 10-14
hari setelah fraksi pertama radiasi, sesuai dengan waktu yang diperlukan untuk
sel-sel basal yang rusak untuk bermigrasi ke permukaan kulit. Awalnya kulit akan
menjadi hangat, dan menjadi merah (eritema), dan pada beberapa area, pasien
juga bisa saja merasa gatal. Saat paparan radiasi berlanjut maka lapisan basal akan
mencoba untuk mengkompensasi dengan meningkatkan aktivitas mitosis untuk
menggantikan sel yang rusak. Namun, jika sel-sel baru bereproduksi lebih cepat
daripada sel-sel tua maka kulit akan menjadi kering dan bersisik (deskuamasi
kering). Lama-kelamaan lapisan basal tidak bisa memproduksi cukup sel-sel baru
untuk menggantikan yang lama dan lapisan luar epidermis akan menjadi rusak,
edema disertai eksudat (deskuamasi basah). Tingkat keparahan reaksi kulit dapat
meningkat selama 7-10 hari setelah radioterapi selesai. Waktu ini pulalah yang
diperlukan untuk sel-sel yang telah dipengaruhi oleh radioterapi untuk mencapai
epidermis. Hal ini sering disebut sebagai 'puncak', yaitu ketika terjadi efek
samping paling berat. Setelah waktu ini terlampaui, efek samping secara bertahap
akan mulai mereda dan kondisi kulit perlahan-lahan akan membaik.19
28
Suatu radiasi dosis tunggal 38 Gy dapat menginduksi eritema transien 12
hari setelah radiasi yang disebabkan kongesti20 dan dilatasi kapiler di kulit bagian
superfisial. Terapi radiasi biasanya diberikan dalam 2030 hari selama 56
minggu dengan pemberian setiap kalinya (fraksi radiasi) adalah sekitar 2Gy. Jika
dosis ini diberikan pada kulit, maka eritema biasanya sudah akan muncul pada
pekan pertama. Epilasi terjadi di minggu kedua, sedangkan kemerahan yang
disertai edema hangat muncul di minggu ketiga, oleh karena itu dinamakan
deskuamasi kering atau basah. 21
Reaksi kulit tipe cepat ini terutama disebabkan efek replikasi epitel pada sel-
sel lapisan basal epidermis.21 Dan karena radioterapi meyebabkan apoptosis pada
sel-sel kanker maupun sel-sel yang sehat.22 Tanda dan gejala reaksi kulit tipe
cepat ini biasanya muncul selama pengobatan, dan mencapai puncak untuk
kemudian mulai menghilang sebelum terapi selesai dikarenakan percepatan
proliferasi epitel.21Selain efek radiasi pada epitel yang berproliferasi, perubahan
penting juga terjadi pada pembuluh darah kecil (kapiler dan arteriol) juga sistem
limfatik. Juga ditemukan adanya dilatasi dan kongesti , ekstravasasi plasma dalam
dermis papiler, serta ditemukannya infiltrasi sel-sel inflamasi. Disaat kebanyakan
reaksi akut mereda setelah terapi radiasi selesai, kerusakan pada pembuluh darah
dan jaringan ikat menetap, dan menjadi dasar penting terjadinya perubahan yang
kronis atau tipe lambat. 1
2.1.6.2 Efek Samping radioterapi pada kulit tipe lambat
29
Kerusakan kulit akibat radioterapi tipe lambat biasanya berkembang 46 bulan
setelah radioterapi. Perubahan ini meliputi seluruh lapisan kulit, epidermis,
dermis, dan jaringan subkutan. Atrofi epidermis sering menjadi kelainan yang
paling menonjol. Kulit menjadi tipis, halus, dan kaku tanpa elastisitas,
ketahanannya terhadap cedera juga berkurang.
Sering terjadi atrofi kelenjar keringat subkutan, kelenjar sebasea, dan folikel
rambut ,menyebabkan menjadi kering, disertai timbulnya alopesia.
Hiperpigmentasi dan telangiektasia juga kerap terjadi. Setelah terpapar radiasi
dosis tinggi, ulserasi dan nekrosis kulit dapat terjadi. 1, 17
Perubahan yang terjadi pada pembuluh darah dan jaringan ikat memainkan
peranan penting dalam kerusakan kulit pascaradioterapi tipe lambat. Secara
histologi, ditemukannya adanya obliterasi dan trombosis kapiler yang progresif.
Kapiler-kapiler yang tersisa kerap berdilatasi, menyebabkan teleangiektasi.
Arteriol dan arteri kecil memperlihatkan terjadinya sklerosis vaskular yang
progresif yang menyebabkan penyempitan atau obliterasi lumen. Cedera vaskular
ini mengakibatkan perfusi dan oksigenasi jaringan yang buruk . Kulit yang
teradiasi umumnya memiliki jaringan kolagen yang lebih padat daripada jaringan
normal disertai fibrin elastic yang tidak beraturan. Setelah pemberian radiasi dosis
tinggi 60-70 Gy) dermis dan jaringan subkutan secara bertahap digantikan
oleh jaringan yang fibrotic elastic yang sangat padat. 1, 21
2.1.7 Manajemen Efek Samping Radioterapi pada kulit
30
Pasien dengan berbagai tumor solid dan tumor hematologi
bertahan lebih lama dan dilaporkan mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik
dengan semakin membaiknya metode pengobatan kanker saat ini.
Namun, toksisitas dermatologi patut diperhatikan, sehubungan dengan
frekuensinya yang tingginya dan hubungannya dengan gejala-gejala yang bersifat
negatif. 3
Iritasi kulit, perubahan rambut, kemerahan pada wajah/ eritema, dan kulit
kering adalah reaksi kulit yang umum terjadi, dan menyebabkan pengaruh negatif
terhadap pasien-pasien yang mungkin sering dianggap sebagai keluhan yang
relatif kecil dari kulit kering, kuku rusak, dan gatal menyebabkan penurunan
kualitas hidup pasien. Kegagalan untuk mengidentifikasi dan menangani efek
samping ini sering menyebabkan berkurangnya kepatuhan pasien dalam berobat,
yang tentunya akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir terapi. 23
Oleh karena itu sangat penting bagi pasien-pasien yang mendapat terapi
antikanker untuk secara proaktif melakukan perawatan kulit untuk mengurangi
efek samping-efek samping yang sering terjadi. 24
Kumar dkk. 2 melakukan penelitan mengenai manajemen toksisitas pada kulit
pada pasien-pasien yang mendapat radioterapi, dan dari penelitian ini
diungkapkan bahwa penanganan kerusakan kulit akut akibat radioterapi dibagi
menjadi:
1. Profilaksis
2. Pengobatan
31
2.1.7.1 Profilaksis Efek Samping Radioterapi tipe cepat pada kulit
Beberapa metode yang dipakai sebagai profilaksis pada efek samping
radioterapi tipe cepat pada kulit adalah :
a. Membasuh kulit
Cara ini kontroversial karena pendapat pertama menyatakan
bahwa membersihkan area terapi dengan air akan menyebabkan
iritasi mekanik dan kimiawi yang akhirnya menyebabkan
peningkatan keparahan reaksi. Sedangkan opini kedua menyatakan
bahwa membasuh area terapi akan membantu mengurangi sel-sel
kulit mati dan bakteri pada permukaan kulit. Selain itu, bila pasien
tidak diperkenankan membasuh kulit mereka, maka akan
meningkatkan stres dalam hubungan sosial dengan sesama.2
b. Aloe Vera
Yang diduga sebagai kelebihan secara farmakologis untuk Aloe
vera adalah bahwa ia merupakan agen antiinflamasi yang dapat
mengurangi edema, melembapkan kulit pasien, dapat menembus
kulit, memiliki efek antijamur, mengatasi rasa gatal, memiliki sifat
antibakteri, anestesi, membersihkan, detoksifikasi, dan merangsang
pertumbuhan sel. Namun dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan, hal-hal tersebut di atas tidak terbukti.2
c. Sukralfat topikal
32
Sukralfat banyak digunakan sebagai obat antiulkus yang
memiliki sifat antiinflamasi dan mengaktifkan proliferasi sel.
Namun pada manajemen reaksi toksisitas kulit akut, Wells dkk.
menyatakan tidak ada perbedaan antara kelompok perlakuan yang
menggunakan sukralfat topikal dengan kelompok kontrol.2
d. Krim Biafine
Produk ini membantu proses penyembuhan dengan cara
meningkatkan perekrutan makrofag yang menginisiasi
pembentukan jaringan granulasi.
Tidak ditemukan perbedaan signifikan pada level toksisitas
maksimal bila dibandingkan dengan terapi dengan agen lain seperti
aloe vera ataupun yang tanpa perawatan sekalipun. Pada penelitian
yang membandingkan biafin dengan calendula, pada kelompok
yang mendapatkan terapi calendula, toksisitas tingkat II terbukti
secara signifikan lebih rendah dibandingkan yang menggunakan
biafin. Namun pengaplikasian calendula dikatakan lebih sulit
dibandingkan biafine 2, 25
e. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi inflamasi dengan cara menyebabkan
vasokonstriksi, menurunkan permeabilitas kapiler, dan
Madu topikal mempercepat proses penyembuhan kerusakan jaringan kulit leher
fase akut pascaradioterapi karsinoma nasofaring
5.1.2 Simpulan Khusus
1. Karakteristik penderita karsinoma nasofaring lebih banyak ditemukan pada
laki-laki dan pada usia di atas 45 tahun.
2. Terdapat penurunan Indeks Massa Tubuh atau Body Mass Index (BMI)
pada seluruh penderita karsinoma nasofaring yang mendapatkan
radioterapi.
3. Perbaikan kulit leher secara klinis berdasarkan kriteria RTOG terjadi lebih
cepat pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol.
4. Perbaikan kulit leher berdasarkan perbandingan luas luka terjadi lebih
cepat secara pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
78
5.2 Saran
1. Perlu dipertimbangkan madu topikal agar dapat dijadikan standard terapi
bagi setiap penderita yang menderita kerusakan kulit leher
pascaradioterapi karsinoma nasofaring.
2. Perlu kerja sama dengan Instalasi Radioterapi agar pasien-pasien dengan
kerusakan kulit leher pascaradioterapi karsinoma nasofaring dapat
diberikan terapi madu topikal segera setelah siklus radioterapi selesai.
3. Perlu dipertimbangkan pemberian madu topikal pada pasien-pasien
dengan kerusakan kulit leher pascaradioterapi pada kasus-kasus
keganasan kepala leher selain karsinoma nasofaring.
79
DAFTAR PUSTAKA
1. Wang J BM, Fu Q, Hauer-Jensen. Radiation responses in skin and connective tissue. Springer-Verlag. 2006:502-06. 2. Kumar S JE, Barton M, Shafiq J. Management of skin toxicity during radiation therapy : A review of the evidence. Journal of Medical Imaging and Radiation Oncology. 2010:264-79. 3. Haley AC CC, Gandhi M, West DP, RAdemaker A, Lacouture ME. Skin care management in cancer patients: an evaluation of quality of life and tolerability. Support Care Cancer. Springerlink. 2011:545-54. 4. Leher KIKTHTBKd. Modul Onkologi-Karsinoma Nasofaring. 2008. 5. Xie SH YI, Tse LA, Mang OW, Yue L. Sex difference in the incidence of nasopharyngeal carcinoma in Hong Kong 1983-2008: suggestion of a potential protective role of oestrogen. Eur J Cancer. 2013;49(1):150-5. 6. Bandung LtkpdbT-KFURDHS. 2006-2010. 7. Lee DS SS, Khachemoune A. Honey and Wound Healing. Am J Clin Dermatol. 2011;12 (3):181-90. 8. Robson V CR, Ehsan ME. The use of honey in wound management following ENT surgery. Primary Intention. 2007;15 (4):176-80. 9. IM S. Potensi Madu Kelengkeng Perhutani dan Madu Randu Perhutani Dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri MRSA (Methicillin Resistant Staphylococcus aureus) Yang Diisolasi Dari Spesimen Apus Luka Di Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Skripsi. 2008. 10. Gethin GT CS, Conroy RM. The impact of Manuka honey dressings on the surface pH of chronic wounds. Int Wound J. 2008;5(2):185-94. 11. W L. Comvita Manuka Honey. Journal [serial on the Internet]. 2012 Date. 12. Perhutani. Madu Perhutani. perumperhutani.com; 2011 [updated 2011; Diunduh 2013 aug 11]; Tersedia dari. 13. WI W. Nasopharyngeal Cancer. In: BJ B, editor. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 1657-73. 14. AJCC Cancer staging manual. (1997). 15. Beyzadeoglu M OG, Ebruli C. Radobiology. Basic radiation Oncology. Berlin: Springer-Verlag; 2010. p. 27-30. 16. Health NCIaTNIo. Radiation Therapy Side Effects. Journal [serial on the Internet]. 2011 Date: Available from: http://www.cancer.gov/cancertopics/coping/radiation-therapy-and-you/page6. 17. Collen EB MM. Acute effects of radiation treatment : Skin reactions. CVJ. 2006;47:931-5. 18. D P. Factors Influencing the severity of radiation skin and oral mucosal reactions : development of conceptual framework. European Journal of Cancer Care,Blackwell Science Ltd. 2002;11:33-43. 19. St James’s Institute of Oncology TLTHNT. Managing Radiotherapy Induced Skin Reactions. Leeds UK; 2011. p. 1-12. 20. MW C. The skin in radiological protection—recent advances and residual unresolved issues. Radiat Prot Dosimetry. 2004:323-30. 21. Mathes SJ AJ. Radiation injury. Surg Oncol Clin N Am. 1996;5:809-24.
22. Robson V CR, Molan P, White R. Using honey to treat skin damaged by radiotherapy. Wounds UK. 2009;5(1):51-7. 23. Autier J EB, Wechsler J , Spatz A , Robert C. Prospective study of the cutaneous adverse effects of sorafenib, a novel multikinase inhibitor. Arch Dermatol. 2008;144(7):886 – 89. 24. Lynch T KE, Eaby B, Garey J, West D, Lacouture M. Epidermal growth factor receptor inhibitor-associated cutaneous toxicities: an evolving paradigm in clinical management. Oncologist. 2007;12(5):610-21. 25. Fisher J SC, Stevens R, Marconi B, Champion L, Freedman GM et al. Randomized phase III study comparing Best Supportive Care to Biafine as a prophylactic agent for radiation-induced skin toxicity for women undergoing breast irradiation: Radiation Therapy Oncology Group (RTOG). Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2000;48(5):1307-10. 26. Schmuth M WM, Hofer S, Sztankay A, Weinlich G, Linder DM et al. Topical corticosteroid therapy for acute radiation dermatitis: a prospective, randomized, double-blind study. British Journal of Dermatology. 2000;146(6):983-91. 27. Graham P BL, Capp A, Fox C, Graham J, Hollis J, Nasser E. Randomized, paired comparison of No-Sting Barrier Film versus sorbolene cream (10% glycerine) skin care during postmastectomy irradiation. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 2004;58(1). 28. Wheat J CG, Coulter K. Management of acute radiation skin toxicity with wheatgrass extract in breast radiation therapy: pilot study. Aust J Med Herb. 2007;19(2):77-80. 29. Robson V CR. Using leptospermum honey to manage wounds impaired by radiotherapy: a case series. Ostomy Wound Manage. 2009;55(1):38-47. 30. Moolenaar M PR, Van der Toorn P, Lenderink AW, Poortmans P, Egberts A. The effect of honey compared to conventional treatment on healing of radiotherapy-induced skin toxicity in breast cancer patients. Acta Oncologica. 2006;45:623-4. 31. Gourin CG TD. Dynamics of Wound Healing. In: Bailey BJ JJ, Newland SD, editor. Head & Neck Surgery - Otolaryngology: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. p. 198-212. 32. A T. The Effects of Diabetes Mellitus on Wound Healing. Plast Surg Nurs. 1991;11(1):20-5. 33. Sharp A CJ. Diabetes and Its Effects on Wound Healing. Nursing Standard. 2010;25(45):41-7. 34. Medicine NCfCaA. What Is Complementary and Alternative Medicine (CAM)? In: Services USDoHaH, editor.: National Institutes of Health; 2008. p. 1-5. 35. Goldrosen MH SS. Complementary and alternative medicine: assessing the evidence for immunological benefits. Nature Reviews Immunology. 2004;4:912-21. 36. Medicine NCfCaA. Complementary, Alternative, or Integrative Health: What’s In a Name? In: Services USDoHaH, editor.: National Institutes of Health; 2013. p. 1-6. 37. Sipos P GH, Hagymasi K, Blazovics A. Special woung healing methods used in ancient Egypt and the mythological background. Worl J Surg. 2004;28(2):211-6. 38. Alquran. Alquran. p. 274. 39. Bukhari. S. Sahih Bukhari.Edisi. 40. M S. Honey dressing for burns: an appraisal. Ann Burns Fire Disasters. 1996;9(1):33-5. 41. Simon A TK, Santos K, Blaser G, Bode U, Molan P. Medical honey for wound care: still the ‘latest resort’? Evid Based Complement Alternat Med. 2009;6(2):165-73.
81
42. Henriques A JS, Cooper R, Burton N. Free radical production and quenching in honeys with wound healing potential. J Antimicrob Chemother. 2006;58:773-7. 43. produk layanan pangan dan kesehatan madu perhutani. Journal [serial on the Internet]. 2011 Date. 44. Robson V DS, Thomas S. Standardized antibacterial honey (Medihoney) with standard therapy in wound care: randomized clinical trial. Blackwell Publishing Ltd. 2009;3:565-75. 45. Jervis-Bardy J FA, Bray S, Tan L, Wormald PJ. Methylglyoxal-infused honey mimics the anti-Staphylococcus aureus biofilm activity of manuka honey: potential implication in chronic rhinosinusitis. Laryngoscope. 2011;121(5):1104-7. 46. M M. Therapeutic Value of Honey as a Skin Healer. Journal [serial on the Internet]. 2003 Date. 47. Tonks AJ CR, Jones KP, Blair S, Parton J, Tonks A. Honey stimulates inflammatory cytokine production from monocytes. Cytokine. 2003;21:242-7. 48. Tonks AJ DE, Porter NG, Parton J, Brazier J, Smith EL, Tonks A. A 5.8-kDa component of manuka honey stimulates immune cells via TLR4. J Leukoc Biol. 2007;82(5):1147-55. 49. Beretta G AR, Caneva E, Orlandini S, Centini M, Facino RM. Quinoline alkaloids in honey: further analytical (HPLC-DAD-ESI-MS, multidimensional diffusion-ordered NMR spectroscopy), theoretical and chemometric studies. J Pharm Biomed Anal. 2009;50(3):432-9. 50. Du Toit DF PB. An in vitro evaluation of the cell toxicity of honey and silver dressings. Journal of wound care. 2009;19(8):383-9. 51. I T. Bee Healthy - Why honey is the bee’s knees when it comes to healing. Journal [serial on the Internet]. 2001 Date. 52. Majtan J KP, Majtan T, Walls AF, Klaudiny J. Effect of honey and its major royal jelly protein 1 on cytokine and MMP-9 mRNA transcripts in human keratinocytes. Exp Dermatol. 2010;19(8):73-9. 53. M S. Topical application of honey in treatment of burns. Br J Surg. 1991;78(4):497-8. 54. Wijesinghe M WM, Perrin K, Beasley R. Honey in the treatment of burns: a systematic review and meta-analysis of its efficacy. NZ Med J. 2009;122(1295):47-60. 55. Hamzaoglu I SK, Durak H, Karahasanoglu T, Bayrak I, Altug T dkk. Protective covering of surgical wounds with honey impedes tumor implantation. Arch Surg. 2000;135:1414-7. 56. Adifitrian T SG, Surachman, Asrofi S, Dachlan, Ishandono. Pengaruh Aplikasi Madu yang Ditutup Transparent Dressing terhadap Waktu Epitelisasi pada Luka Donor split thickness skin graft. In: G S, editor. Madu untuk Obat Luka Kronis. Tangerang: Yayasan Khasanah Kebajikan; 2011. p. 29-31. 57. Stotts NA RG, Thomas DR, Frantz RA, Bartolucci AA, Sussman C dkk. An instrument to measure healing in pressure ulcers: development and validation of the Pressure Ulcer Scale for Healing (PUSH). Gerontol A Biol Sci Med Sci. 2001;56(12):795-9. 58. Mphande AN KC, Phalira S, Jones HW, Harrison WJ. Effects of honey and sugar dressings on wound healing. J Wound Care 2007;16(7):317-9. 59. Biswal BM ZA, Ahmad NM. Topical application of honey in the management of radiation mucositis: a preliminary study: Universiti Sains Malaysia; 2003.