i PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PADA PROSES PENYEMBUHAN LUKA SOKET GIGI PASCA PENCABUTAN GIGI TIKUS WISTAR (Rattus norvegicus) SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi Oleh: Nadya Jeihan Riyani NIM. 135070400111024 PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
85
Embed
PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulicarepository.ub.ac.id/3147/1/Riyani, Nadya Jeihan.pdf · 2020. 9. 21. · i PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica)
TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT PADA PROSES PENYEMBUHAN
LUKA SOKET GIGI PASCA PENCABUTAN GIGI TIKUS WISTAR
(Rattus norvegicus)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh:
Nadya Jeihan Riyani
NIM. 135070400111024
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
ii
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
PENGARUH LENDIR BEKICOT (Achatina fulica) TERHADAP JUMLAH
LIMFOSIT PADA PROSES PENYEMBUHAN LUKA SOKET GIGI PASCA
Lampiran 5 Surat Determinasi Bekicot (Achatina fulica) .................................. 80
vi
ABSTRAK
Riyani, Nadya Jeihan. 2017. Pengaruh Lendir Bekicot (Achatina fulica) Terhadap Jumlah Limfosit Pada Proses Penyembuhan Luka Soket Gigi Pasca Pencabutan Gigi Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Tugas Akhir, Program Studi Sarjana Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya. Pembimbing: (1) drg. Robinson Pasaribu, Sp. BM (2) drg. Fredy Mardiyantoro, Sp. BM
Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan pengambilan gigi dari dalam soket pada tulang alveolar yang dapat menyebabkan kesatuan dari jaringan lunak dan jaringan keras gigi dalam rongga mulut mengalami kerusakan. Peradangan merupakan respon dasar terhadap adanya kerusakan jaringan atau luka pasca pencabutan gigi yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyembuhan. Lendir bekicot dari spesies Achatina fulica diketahui mengandung protein achasin dan glycosaminoglycan yang berupa heparan sulfate sebagai alternatif obat yang mempercepat proses penyembuhan luka. Heparan sulfat diketahui memiliki fungsi sebagai pengikat dan penyimpanan bagi faktor pertumbuhan juga berperan dalam merangsang rekrutmen limfosit dan sel radang ke daerah luka sesaat setelah terjadi perlukaan, sehingga fase inflamasi berlangsung lebih singkat. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental laboratoris dengan desain penelitian Randomized Post-Test Only Control Group. Sampel dipilih menggunakan teknik Simple Random Sampling kemudian dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P). Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah jumlah limfosit pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh proses penyembuhan luka soket gigi tikus wistar yang diukur dari sediaan HPA dengan pengecata Hematoxylin-Eosin. Hasil penelitian menunjukan adanya perbedaan jumlah limfosit pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh baik pada kelompok kontrol (K) maupun perlakuan (P). Kesimpulan pada penelitian ini adalah lendir bekicot (Achatina fulica) berpengaruh pada jumlah limfosit pada proses penyembuhan luka soket gigi tikus wistar (Rattus norvegicus).
ABSTRACT Riyani, Nadya Jeihan. 2017. The Effect of Snail Slime (Achatina fulica) on
Lymphocytes Number on Tooth Socket Healing Process Post White Rats (Rattus norvegicus) Tooth Extraction. Final Assignment, Faculty of Dentistry Brawijaya University. Supervisor: (1) drg. Robinson Pasaribu, Sp. BM (2) drg. Fredy Mardiyantoro, Sp. BM
Tooth extraction is a process of taking tooth from its socket in the alveolar bone which can lead the injury of soft tissue and hard tissue in oral cavity. Inflammation is a basic response to tissue injury or wound after tooth extraction which followed by the healing process. Snail slime from Achatina fulica species contain of achasin and glycosaminoglycan which known as an alternative medicine that can accelerates the wound healing process. Heparan sulfate that can be found in Achatina fullica’s slime is known to have function as a binder and storage for growth factors, it’s also play role in stimulating the recruitment of lymphocytes and other inflammatory cells into the wound area shortly after the injury that can make the inflammatory phase lasts shorter. The type of this study was experimental laboratory research and using Post Test Only Group Design. Samples were selected using simple random sampling technique then divided into two groups: control (K) and treatment (P). Variables examined in this study is the number of lymphocytes in the third, fifth, and seventh day in tooth socket healing process on wistar rats were measured from HPA preparations with Hematoxylin-Eosin staining. The results showed a significant differences in the number of lymphocytes on the third, fifth, and seventh day in tooth socket healing process both in the control group (K) and treatment (P). The conclusion of this research is snail slime (Achatina fulica) has effect on the number of lymphocytes in the tooth socket healing process post white rats (Rattus norvegicus) tooth extraction. Keywords: Tooth Extraction, Snail Slime (Achatina fulica), Heparan Sulfate, Wound Healing, Lymphocytes
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Ekstraksi atau pencabutan gigi merupakan tindakan bedah yang sering
dilakukan dalam kedokteran gigi. Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan
pengambilan gigi dari dalam soket pada tulang alveolar dimana tindakan dilakukan
pada gigi yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pencabutan gigi yang ideal
ialah pencabutan tanpa rasa sakit, baik pada pencabutan satu gigi utuh maupun
akar gigi, dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga
bekas pencabutan dapat sembuh sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik
pascaoperasi di masa mendatang (Howe, 1999).
Tindakan pencabutan gigi atau ekstraksi gigi dapat menyebabkan kesatuan
dari jaringan lunak dan jaringan keras gigi dalam rongga mulut mengalami
kerusakan, dimana soket gigi akan terbuka dan mengalami perdarahan. (Howe,
1999). Peradangan merupakan respon dasar terhadap adanya kerusakan jaringan
atau luka pasca pencabutan gigi yang kemudian dilanjutkan dengan proses
penyembuhan (Lawler et al., 2002).
Proses penyembuhan luka merupakan sebuah proses yang dinamis dan
melibatkan interaksi kompleks dari molekul matriks ekstraseluler, mediator-
mediator yang dapat larut, serta infiltrasi dari subtipe leukosit. Tujuan dari
penyembuhan luka sendiri ialah untuk mendapatkan integritas jaringan dan
hemostasis. Proses penyembuhan luka melibatkan tiga fase, yaitu fase inflamasi,
proliferasi, dan remodeling. Pada saat fase inflamasi, terjadi agregasi platelet yang
diikuti oleh infiltrasi sel-sel leukosit menuju lokasi luka (Sabine et al., 2007).
2
Limfosit T yang juga merupakan subtipe dari sel-sel leukosit muncul secara
signifikan pada hari kelima sampai dengan hari ketujuh proses penyembuhan luka.
Akumulasi sel limfosit ditandai dengan adanya MCP1-4 yang disekresi oleh IFN-γ,
dimana makrofag merupakan sumber utama dari sitokin ini. Dalam hal ini, limfosit
T terutama sel T helper memiliki peran dalam menghasilkan sitokin yang akan
mempengaruhi fibroblas. Sitokin yang dihasilkan limfosit ialah seperti IL-2 dan
fibroblast activating factor yang nantinya akan meregulasi proses remodeling
jaringan bersama faktor-faktor lainnya (Sabine et al., 2007).
Dewasa ini telah banyak penelitian mengenai lendir bekicot yang secara
tradisional dipercaya masyarakat mampu sebagai penawar atau obat yang dapat
membantu proses penyembuhan luka. Di tengah kepercayaan masyarakat dalam
memilih obat alternatif untuk penyembuhan luka tersebut, menurut penelitian lendir
bekicot dari spesies Achatina fulica diketahui mengandung protein achasin dan
glycosaminoglycan yang berupa heparan sulfate, acharan sulfate, heparin, dan
hyaluronic acid. Heparan sulfate ini diketahui memiliki fungsi sebagai pengikat dan
penyimpanan bagi faktor pertumbuhan, di samping itu heparan sulphate juga
berperan dalam merangsang rekrutmen sel radang ke daerah luka sesaat setelah
terjadi perlukaan, salah satunya adalah limfosit. Achasin pada lendir bekicot juga
memiliki sifat antimikroba sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi serta
memiliki efek menghambat inflamasi sehingga dapat mempercepat proses
penyembuhan luka dengan membantu proses pembekuan darah dan proliferasi
sel fibroblas (Ajoy et al., 2002; Muhartono et al., 2014; Christal et al., 2015).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka disusunlah rumusan masalah penelitian
sebagai berikut:
3
Bagaimanakah lendir bekicot (Achatina fulica) memiliki pengaruh terhadap
jumlah limfosit pada proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan gigi
tikus wistar (Rattus norvegicus)?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui bagaimanakah pengaruh lendir bekicot (Achatina fulica)
terhadap jumlah limfosit pada proses penyembuhan luka soket gigi pasca
pencabutan gigi tikus wistar (Rattus norvegicus).
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui jumlah limfosit di hari ketiga, kelima, dan ketujuh pada
proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan gigi tikus wistar
(Rattus norvegicus) yang tidak diberi perlakuan.
2. Mengetahui jumlah limfosit di hari ketiga, kelima, dan ketujuh pada
proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan gigi tikus wistar
(Rattus norvegicus) yang diberikan perlakuan dengan menggunakan
lendir bekicot (Achatina fulica).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Klinis
Memberikan informasi ilmiah dan alternatif pengobatan kepada masyarakat
mengenai manfaat lendir bekicot (Achatina fulica) untuk menyembuhkan luka
soket gigi pasca pencabutan gigi.
4
1.4.2 Manfaat Akademis
Menambah ilmu pengetahuan tentang bagaimanakah pengaruh lendir
bekicot (Achatina fulica) terhadap jumlah limfosit pada proses penyembuhan luka
soket gigi pasca pencabutan gigi pada tikus wistar (Rattus norvegicus).
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bekicot (Achatina fulica)
Bekicot adalah hewan lunak namun memiliki cangkang keras, termasuk
dalam golongan mollusca dan kelas gastropoda. Bekicot berasal dari Afrika Timur
dan masuk ke Indonesia sekitar tahun 1942. Jenis hewan ini dapat berkembang
biak dengan cepat dan tersebar di laut, air tawar, dan dataran lembab (Turgeon et
al., 2015; Bappenas, 2000).
2.1.1 Taksonomi
Taksonomi bekicot menurut IT IS (Turgeon et al., 2015) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Bilateria
Infrakingdom : Prostosomia
Superfilum : Lophozoa
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo : Stylommatophora
Famili : Achatinidae
Sub famili : Achatininae
Genus : Achatina
Subgenus : Lissachatina
Spesies : Achatina fulica
6
2.1.2 Morfologi
Bekicot memiliki sebuah cangkang sempit berbentuk kerucut yang
panjangnya dua kali lebar tubuhnya dan terdiri dari 7-9 ruas lingkaran (paling
banyak 10 ruas lingkaran) ketika umurnya telah dewasa. Cangkang bekicot
umumnya memiliki warna coklat kemerahan dengan corak vertikal berwarna
kuning seperti pada Gambar 2.1 tetapi pewarnaan dari spesies tersebut
tergantung pada keadaan lingkungan dan jenis makanan yang dikonsumsi.
Panjang bekicot dewasa dapat mencapai 20 cm, tetapi rata-rata panjangnya
sekitar 5-10 cm dengan diameter sekitar 12 cm. Sedangkan berat rata-rata bekicot
adalah sekitar 32 gram. Bekicot dapat hidup hingga 3-5 tahun, namun dapat juga
hidup hingga 9 tahun (Cooling, 2005; Prasad et al., 2004).
Bekicot memakan tumbuhan, hewan, lumut, jamur, dan alga. Bekicot juga
diangap sebagai parasit karena mengambil nutrisi dari taman-tanaman pangan
dan hias dan kemudian menyebabkan kerusakan serius pada tanaman tersebut
(Neehall, 2004).
Gambar 2.1 Bekicot (Achatina fulica) (Odeyinka, 2014)
2.1.3 Asal-usul dan Daerah Distribusi
Bekicot berasal dari Afrika Timur, tersebar keseluruh dunia dalam waktu
relatif singkat, karena memiliki kemampuan untuk berkembang biak dengan cepat.
Bekicot tersebar sampai di kepulauan Mauritius, Bangladesh, Fiji, China, Japan,
Kiribati, New Zealand, Palau, Papua New Guinea, Filipina, Samoa, Solomon
Island, Sri Lanka, Vunuatu, Vietnam, India, Malaysia, dan Indonesia. Sejak tahun
1933, bekicot telah ditemukan disekitar Jakarta, sumber lain menyatakan bahwa
bekicot jenis Achatina fulica masuk ke Indonesia pada tahun 1942 (masa
pendudukan Jepang). Sampai saat ini, bekicot jenis Achatina fulica banyak
terdapat di Pulau Jawa (Bappenas, 2000).
2.1.4 Habitat
Bekicot umumnya ditemukan di negara-negara dengan iklim tropis yang
lembab dan hangat. Spesies ini seringkali muncul di daerah pertanian, wilayah
pesisir dan lahan basah, hutan, zona riparian, tanah semak, dan juga dapat
ditemukan di daerah perkotaan. Bekicot lebih suka bertempat pada dataran rendah
yang panas dan beriklim hangat. Jika sedang dalam musim dingin, bekicot
menghabiskan waktunya untuk menjadi dorman dan tidak aktif (Prasad et al.,
2004).
Bekicot akan tetap aktif pada suhu 9º C hingga 29º C dan mampu bertahan
hidup hingga mencapai suhu 2º C dengan cara hibernasi. Bekicot juga dapat
bertahan hidup pada suhu mencapai 30º C dengan cara dorman/aktivasi. Bekicot
aktif pada malam hari dan seringkali mengahabiskan semua aktivitas dengan
terkubur didalam tanah. Bekicot mudah beradaptasi pada ilklim dingin maupun
panas dan berhibernasi 10 -15 cm jauh didalam tanah yang lunak selama kondisi
kurang menguntungkan dan dapat bertahan selama 1 tahun (Prasad et al., 2004).
2.1.5 Lendir Bekicot
Lendir bekicot mengandung glikokonjugat kompleks, yaitu
glikosaminoglikan dan proteoglikan. Molekul-molekul tersebut disusun dari gula
sulfat atau karbohidrat, protein globuler terlarut, asam urat, oligoelemen (tembaga,
8
seng, kalsium, dan besi). Glikosaminoglikan dan proteoglikan merupakan
pengontrol aktif fungsi sel, berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblas,
spesialisasi dan migrasi, serta secara efektif mengontrol fenotip seluler (Dewi,
2010).
Glikokonjugat utama pada lendir bekicot adalah glikosaminoglikan yang
disekresi oleh granula-granula yang terdapat di dalam tubuh bekicot dan terletak
di permukaan luar. Glikosaminoglikan yang terisolasi dari bekicot ini terkait dengan
golongan heparin dan heparan sulfat. Heparan sulfat berperan dalam merangsang
rekrutmen sel radang, salah satunya makrofag dan leukosit.
Heparan sulfat sebagai salah satu glikosaminoglikan berfungsi sebagai
pengikat dan reservoir (penyimpanan) bagi faktor pertumbuhan fibroblas dasar
(bFGF) yang disekresikan kedalam ECM. ECM dapat melepaskan bFGF dimana
bFGF akan menstimulasi terbentuknya fibroblas dan pembuluh darah baru. Lendir
bekicot juga mengikat kation divales, seperti tembaga (II) yang dapat
mempercepat angiogenesis yang secara tidak langsung mempengaruhi
kecepatan penyembuhan luka (Dewi, 2010).
Heparan sulfat juga memiliki peran yang signifikan dalam meregulasi
interaksi antar sel dan antar sel dengan ECM. Heparan sulfat menstimulasi adhesi
sel terhadap ECM dengan mengikat keduanya pada matriks makromolekul seperti
fibroniktin atau laminin (Olcyzk et al., 2015).
Kemunculan heparan sulfat sangat penting selama tahap awal perbaikan
jaringan. Hal ini dikarenakan heparan sulfat berperan dalam interaksi kimiawi antar
sel melalui pengikatan dan meregulasi aktivitas dari heparin-binding growth
factors, enzim proteolitik, dan inhibitor protease (Olcyzk et al., 2015).
9
Rantai heparan sulfat dari HSPG (Heparan Sulphate Proteglycans) dapat
terdiri dari keberagaman struktural yang luar biasa dikarenakan perbedaan posisi
kelompok sulfat sepanjang rantai polisakarida dan epimerization dari residu asam
glucoronik ke asam idorunik. Berdasarkan perbedaan modifikasi ini, diestimasikan
terdapat 48 disakarida yang terdapat dalam heparan sulfat, meskipun sejauh ini
hanya sebanyak 23 disakarida yang terdeteksi secara in vivo. Keberagaman
struktural ini, memungkinkan heparan sulfat untuk berinteraksi dengan berbagai
protein fungsional yang beragam, seperti faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin,
protease, lipase, dan molekul adhesi sel (Parish, 2006).
Adanya ekspresi HSPG berupa syndecan-1, -2, 4 serta glypican-1-6 pada
permukaan sel menunjukan adanya peningkatan proliferasi dan/atau aktivasi sel
T (Parish, 2006).
2.2 Pencabutan Gigi
2.2.1 Definisi
Pencabutan atau ekstraksi gigi merupakan tindakan bedah yang sering
dilakukan dalam kedokteran gigi. Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan
pengambilan gigi dari dalam soket pada tulang alveolar dimana tindakan dilakukan
pada gigi yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Pencabutan gigi yang ideal
ialah pencabutan tanpa rasa sakit, baik pada pencabutan satu gigi utuh maupun
akar gigi, dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga
bekas pencabutan dapat sembuh sempurna dan tidak terdapat masalah prostetik
pascaoperasi di masa mendatang (Howe, 1999).
2.2.2 Pencabutan Gigi dan Perlukaan
Tindakan pencabutan gigi atau ekstraksi gigi dapat menyebabkan kesatuan
dari jaringan lunak dan jaringan keras gigi dalam rongga mulut mengalami
10
kerusakan, dimana soket gigi akan terbuka dan mengalami perdarahan (Howe,
1999).
Peradangan merupakan respon dasar terhadap adanya kerusakan jaringan
atau luka pasca pencabutan gigi yang kemudian dilanjutkan dengan proses
penyembuhan (Lawler et al., 2002). Hal ini akan menyebabkan sel-sel dari
pembuluh darah terutama sel makrofag, limfosit, dan sel plasma jumlahnya akan
meningkat disebut dengan leukositosis dalam pembuluh darah perifer (Robbins et
al., 2007; Saraf, 2006).
2.3 Penyembuhan Luka
2.3.1 Definisi
Proses penyembuhan luka merupakan sebuah proses yang dinamis dan
melibatkan interaksi kompleks dari molekul matriks ekstraseluler, mediator-
mediator yang dapat larut, serta infiltrasi dari subtipe leukosit. Tujuan dari proses
penyembuhan luka ini antara lain untuk mencapai integritas jaringan dan
hemostasis. Penyembuhan luka terdiri dari tiga fase yang saling tumpang tindih,
yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi atau remodeling jaringan
(Sabine et al., 2007).
2.3.2 Fase Inflamasi
Fase inflamasi merupakan fase pertama dan juga merupakan tahapan yang
menjadi dasar proses penyembuhan luka. Beberapa literatur membagi fase
inflamasi menjadi dua bagian yang terdiri dari fase hemostasis dan fase inflamasi,
namun beberapa literatur lainnya hanya menuliskan sebagai satu fase inflamasi
saja. Agregasi platelet dan infiltrasi leukosit yang diaktivasi oleh sitokin pro-
inflammatori, seperti IL-1β, TNF-α, dan IFN-γ, merupakan komponen selular
terpenting dari fase ini (Johan et al., 2012).
11
Hemostasis merupakan reaksi pertama yang terjadi pasca terjadinya
perlukaan, fase ini bertujuan untuk mencegah kehilangan darah dan cairan
berlanjut, membentuk suatu pertahanan imun untuk melawan mikroorganisme
yang menginvasi. Fase ini dicapai dengan adanya vasokonstriksi dan
penggumpalan darah. Fase ini ditandai dengan adanya agregasi platelet yang
menginisiasi penggumpalan dengan membentuk platelet plug, yang kemudian
diikuti oleh gumpalan fibrin yang menyediakan matriks untuk tempat bergantung
sementara untuk migrasi sel nantinya. Platelet juga merupakan chemoattractants
yang menarik sel untuk berperan dalam fase inflamasi dengan mensekresikan
beragam faktor pertumbuhan dan sitokin seperti FGF, EGF, PDGF, TGF-β, VEGF
yang berada pada gumpalan fibrin. Platelet turut bertugas sebagai promotor dalam
proses penyembuhan luka dengan merekrut sel-sel inflamatori menuju lokasi
perlukaan dan menginisiasi angiogenesis (Johan et al., 2012; Sabine et al., 2007).
Setelah perdarahan terkontrol, sel-sel inflamasi bermigrasi ke lokasi
perlukaan. Ini merupakan awal dari fase inflamasi yang ditandai dengan adanya
infiltrasi netrofil, makrofag, dan limfosit yang dapat pada Gambar 2.2 (Johan et al.,
2012).
Netrofil ditemukan pada lokasi perlukaan 24 – 36 jam, sel-sel ini ditarik oleh
faktor-faktor pertumbuhan dari platelet. Sel ini bertansmigrasi melalui dinding sel
endotel dari kapiler darah. Netrofil menginisiasi debridemen dari jaringan-jaringan
yang melemah yang kemudian mem-fagositosis agen-agen infeksius maupun
bakteri yang mengkontaminasi. Sel ini juga melepaskan sitokin-sitokin pro-
inflamasi yang kemudian mengaktivasi fibroblas lokal dan keratinosit. Netrofil
kemudian mengalami penekanan jumlah sebagai hasil dari apoptosis sel yang
kemudian digantikan oleh makrofag. Sel ini juga menginisiasi respons imun
selama proses penyembuhan luka (Johan et al., 2012; Sabine et al., 2007).
12
Makrofag tampak pada hari kedua hingga hari keempat setelah terjadi
perlukaan, makrofag ini dapat berupa sel residen maupun sel yang direkrut dari
darah. Sel ini juga merupakan tipe sel utama yang berasal dari monosit darah.
Pada tahap awal dari proses penyembuhan luka, makrofag memfagositosis sisa
debris, bakteri, serta sel-sel yang apoptosis termasuk netrofil. Fungsi makrofag
antara lain ialah sebagai fagosit dan menyekresi berbagai sitokin yang nantinya
akan menstimulasi respons penyembuhan (Johan et al., 2012; Sabine et al., 2007).
Makrofag mengemigrasi monosit darah menuju lokasi perlukaan yang
diregulasi oleh adanya interaksi lambat dari antigen-4 (α4β1 integrin) dan adhesi
molekul sel vaskuler endothelial. Infiltrasi sel makrofag menuju lokasi perlukaan
diregulasi oleh adanya faktor pertumbuhan, sitokin pro-inflamatori, kemokin,
macrophage inflammatory, protein 1α, MCP-1, RANTES. Makrofag juga berperan
sebagai chemo-attractatnts yang menyebabkan adanya platelet di gumpalan fibrin
pada permukaan luka, hiperproliteratif dari keratinosit pada tepi luka, fibroblast,
dan subtipe leukosit (Sabine et al., 2007).
Fungsi makrofag secara immunologis ialah sebagai antigen-presenting
cells dan sebagai fagosit, serta berfungsi dalam integrasi peran dalam
menghasilkan respons penyembuhan yang sukses melalui sekresi faktor-faktor
pertumbuhan, diantaranya TGF-β, TGF-α, bFGF, PDGF, VEGF yang kemudian
mampu meningkatkan proliferasi sel dan mensintesis molekul ECM oleh sel
residen (Sabine et al., 2007).
Sel mast merupakan subset leukosit tambahan yang merupakan sumber
penting dari beragam mediator pro-inflamasi dan sitokin. Tampak pada awal injuri,
kemudian mengalami degranulasi sehingga tidak begitu tampak lagi, dalam 48 jam
kembali normal dan terjadi peningkatan jumlah sel pada proses perbaikan jaringan
(Sabine et al., 2007).
13
Kemudian Limfosit T memasuki area perlukaan pada hari kelima dan
mencapai puncak pada hari ketujuh. Keberadaan makrofag dan limfosit T penting
pada penyembuhan luka normal. Jumlah sel limfosit memuncak pada akhir fase
proliferasi atau awal fase remodeling. Limfosit T berperan dalam mengontrol
proliferasi dan merupakan subset leukosit yang paling sering ditemukan pada
perlukaan pada kulit manusia sebagai sel-sel imun adaptif. Sel ini banyak
ditemukan selama fase remodeling jaringan, saat penutupan luka telah selesai dan
infeksi lokal telah teratasi (Johan et al., 2012; Sabine et al., 2007).
Gambar 2.2 Fase Inflamasi (Reinke, 2012)
2.3.3 Fase Proliferasi
Fase proliferasi mengikuti tahap penyembuhan luka selanjutnya dan
sebagian bertumpang tindih dengan fase inflamasi. Fase proliferasi dimulai pada
hari ke-3 hingga hari ke-14 setelah cedera dan dapat berlangsung selama sekitar
2-4 minggu. Fase ini ditandai dengan proliferasi epitel dan migrasi lebih matriks
sementara dalam luka (reepitelisasi), migrasi fibroblas, dan pembentukan jaringan
granulasi dengan adanya perkembangan proliferasi, fibrin/fibronektin sementara
digantikan oleh jaringan granulasi yang baru terbentuk.
14
Reepitelisasi area luka dimulai dalam beberapa jam setelah perlukaan. Sel
epidermis pada tepi luka mengalami perubahan fenotipik dan mulai bermigrasi ke
daerah luka. Migrasi sel epidermis memasuki gumpalan fibrin dalam luka,
memisahkan eschar kering dari jaringan yang layak. Sel epidermis kembali
migrasi, berproliferasi hingga matur dan akhirnya mengembalikan fungsi
penghalang epitel. Stimulus untuk migrasi dan proliferasi sel epidermis selama
reepitelisasi belum ditentukan secara jelas, namun beberapa kemungkinan
didokumentasikan dengan baik. Tidak adanya sel-sel tetangga pada margin luka
dapat menyebabkan migrasi maupun proliferasi sel epidermis. Pelepasan lokal
faktor pertumbuhan dan sitokin juga menstimulasi proses ini. Stimulus awal untuk
proliferasi dan migrasi sel-sel epidermis termasuk aksi EGF, TGF-α, IL-1 dan TNF-
α, yang dilepas oleh trombosit dan/atau makrofag yang teraktivasi. Keratinocyte
Growth Factors (KGFs) dan IL-6, yang dilepaskan oleh fibroblas, berperan dalam
menarik keratinosit untuk bermigrasi, berproliferasi, dan berdiferensiasi menjadi
epitel (Johan et al., 2012).
Migrasi fibroblas terjadi 2-4 hari setelah perlukaan. Fibroblas tertarik
menuju daerah perlukaan oleh sejumlah faktor, seperti PDGF dan TGF-β, dan
mendominasi populasi sel luka pada minggu pertama. Dalam area luka, fibroblas
berproliferasi dan menghasilkan beberapa struktur molekul, termasuk fibrin,
fibronektin, glikosaminoglikan (GAG), kemudian diikuti oleh kolagen. Bersama-
sama, komponen ini membangun fibrin/fibronektin sementara, yang memberikan
kontribusi untuk pembentukan jaringan granulasi (Johan et al., 2012).
Pembentukan jaringan granulasi mulai tiga sampai lima hari setelah cedera
yang ditandai dengan adanya angiogenesis. Banyak faktor angiogenik yang
disekresikan selama fase yang hemostatis, seperti FGF, VEGF, TGF-β, dan
PDGF, yang dapat meningkatkan angiogenesis. Empat langkah yang terdapat
dalam proses ini ialah: (1) degradasi proteolitik dari dasar membran inti pembuluh,
15
yang memungkinkan pembentukan kapiler yang baru; (2) migrasi dari sel-sel
endotel terhadap stimulus angiogenik; (3) proliferasi; (4) maturasi dan renovasi sel
endotel ke dalam tabung kapiler. Kapiler yang baru terbentuk menyerang
fibrin/fibronektin sementara dalam beberapa hari dan meregulasinya ke dalam
jaringan mikrovaskular padat. Hal ini disebut stroma tervaskularisasi, yang
kemudian bersama-sama dengan makrofag dan proliferasi fibroblas, membentuk
jaringan granulasi akut yang menggantikan fibrin/fibronektin sementara yang
dapat dilihat pada Gambar 2.3. Dengan adanya akumulasi kolagen, angiogenesis
berhenti dan kepadatan jaringan mikrovaskuler berkurang. Ketika homeostasis
antara sintesis kolagen dan degradasi dicapai, remodeling jaringan dimulai (Johan
et al., 2012).
Gambar 2.3 Fase Proliferasi (Reinke, 2012)
2.3.4 Fase Maturasi atau Remodeling
Fase remodeling jaringan adalah tahap akhir dari proses penyembuhan
luka. Dimulai satu minggu setelah cedera dan dapat berlangsung selama satu
tahun atau lebih. Fitur utama dari fase ini adalah deposisi kolagen dalam jaringan
yang terorganisir. Selama fase ini, semua peristiwa jangka pendek yang diaktifkan
16
setelah perlukaan seperti makrofag, sel endotel, fibroblas, dan myofibroblast
mengalami apoptosis atau keluar dari daerah perlukaan. Sel-sel tersebut
meninggalkan massa yang sebagian besar terdiri dari kolagen dan protein matriks
lainnya. Tanpa adanya peningkatan kandungan kolagen, matriks sebagian besar
aseluler ini kemudian diorganisir ulang, terutama tipe III serat kolagen yang
mengandung matriks sementara, menjadi sebuah struktur kisi yang sebagian
besar terdiri dari kolagen tipe I seperti pada Gambar 2.4 (Johan et al., 2012)
Fase ini juga merupakan sebuah proses yang tergantung pada sintesis
kolagen, yang sebagian merupakan hasil dari interaksi antara matriks
metaloproteinase dan inhibitor jaringan metalloproteinase. Selama fase ini, luka
secara terus-menerus mengalamai peningkatan kekuatan tarik. Namun demikian,
luka tidak pernah mendapatkan kembali kekuatan aslinya. Kekuatan maksimal dari
luka yang sembuh adalah 80% kekuatan kulit yang normal (Johan et al., 2012).
Gambar 2.4 Fase Remodeling (Reinke, 2012)
17
2.4 Macam Penyembuhan Luka
Klinisi menggunakan kata primary intention dan secondary intention untuk
mendeskripsikan dua metode dasar pada proses penyembuhan luka. Beberapa
dokter bedah menggunakan kata tertiary intention untuk mengacu pada
penyembuhan luka melalui tissue graft untuk menutup luka besar dan
menjembatani pinggiran-pinggiran luka (Hupp, 2008).
a. Penyembuhan Luka Primer
Pada penyembuhan primer, tepi luka yang tidak mengalami kehilangan
jaringan ditempatkan dan distabilisasi pada posisi anatomis yang sama dengan
sebelum terjadinya luka. Perbaikan luka muncul dengan jaringan parut minimal.
Istilah penyembuhan primer ini digunakan untuk menandakan luka dengan tepi
berdekatan. Pada penyembuhan ini, jumlah reepitelialisasi, deposisi kolagen,
kontraksi, dan remodeling lebih sedikit dibutuhkan saat proses
penyembuhan.Sehingga, penyembuhan lebih cepat dengan resiku infeksi dan
formasi jaringan parut yang lebih rendah dibandingnkan penyembuhan sekunder.
b. Penyembuhan Sekunder
Sebaliknya, pada penyembuhan sekunder terdapat ruang diantara tepi-tepi
luka atau laserasi atau diantara tulang atau ujung saraf, dengan kata lain terdapat
kehilangan jaringan pada luka yang mengakibatan tepi luka tidak berdekatan.
Pada situasi ini diperlukan migrasi epitel, deposisi kolagen, kontraksi, dan
remodeling dalam jumlah besar saat proses penyembuhan luka. Penyembuhan
lebih lambat dan memproduksi lebih banyak jaringan parut daripada
penyembuhan primer.
18
c. Penyembuhan Tersier
Beberapa ahli bedah menggunakan kata penyembuhan tersier untuk
menandakan penyembuhan luka melalui penggunaan tissue graft atau graft
jaringan untuk menutupi luka besar dan menjembatani ruang diantara tepi luka.
2.5 Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi
Penyembuhan luka pasca pencabutan gigi adalah salah satu contoh
penyembuhan sekunder. Segera setelah pengambilan gigi dari soket, darah
memenuhi lokasi ekstraksi. Jalur intrinsik dan ekstrinsik koagulasi diaktivasi. Jaring
resultan fibrin yang berisi sel darah merah yang terjebak menutup pembuluh
darah yang robek dan mengurangi ukuran luka ekstraksi. Pembentukan gumpalan
dimulai pada 24 hingga 48 jam pertama disertai pembesaran pembuluh darah di
dalam sisa-sisa periodontal ligamen, diikuti migrasi leukositik dan formasi lapisan
fibrin.
Pada minggu pertama, gumpalan membentuk perancah sementara untuk
migrasi sel inflamasi. Epitelium pada batas luka bertumbuh diatas permukaan
bentukan gumpalan tersebut. Osteoklas terakumulasi sepanjang tulang alveolar
crest membuat tempat untuk aktivasi resorpsi crestal. Proses angiogenesis dimulai
pada sisa-sisa ligamen periodontal. Pada minggu kedua, gumpalan terus
terbentuk melalui fibroplasia dan pembuluh darah baru mulai berpenetrasi menuju
pusat gumpalan.
Trabekula osteoid memanjang secara perlahan ke dalam gumpalan
alveolus dan resorpsi osteoklastik kortikal margin alveolar soket semakin terlihat.
Pada minggu ketiga paska ekstraksi, soket dipenuhi jaringan granulasi dan tulang
yang terkalsifikasi secara buruk terbentuk pada batas pinggir luka. Permukaan
luka mengalami reepitelialisasi secara penuh dengan jaringan parut minimal atau
19
tanpa ada jaringan parut sama sekali. Remodeling tulang secara aktif oleh deposisi
dan resorpsi terus berlanjut untuk beberapa minggu.
Gambaran radiografik pada formasi tulang tidak terlihat nyata hingga
minggu ke 6 hingga 8 setelah ekstraksi. Oleh karena proses remodeling tulang
yang sedang berjalan, hasil akhir penyembuhan pasca ekstraksi tidak dapat
terlihat secara tajam pada radiograf setelah 4 hingga 6 bulan. Kadang-kadang
gumpalan darah gagal terbentuk atau mungkin hancur, menyebabkan osteitis
alveolar local. Pada keadaan seperti ini, penyembuhan tertunda dan soket terisi
secara berangsur-angsur. Ketika tidak ada jaringan matriks granulasi yang sehat,
aposisi dari regenerasi tulang pada tulang alveolar yang tersisa memakan waktu
lebih lama disbanding soket normal. Soket yang terinfeksi biasanya tetap terbuka
atau tertutup sebagian oleh epitelium hiperplastik untuk kurun waktu tertentu
(Petterson, 2012).
2.6 Limfosit
Limfosit merupakan elemen kunci dalam produksi imun. Setelah lahir,
beberapa limfosit terbentuk di sumsum tulang. Namun, sebagian besar terbentuk
di kelenjar getah bening, timus, limpa dan dari sel prekursor yang berasal dari
sumsum tulang dan diproses di timus. Limfosit memasuki aliran darah untuk
sebagian besar melalui sistem limfatik. Pada waktu tertentu, hanya sekitar 2% dari
limfosit tubuh berada dalam darah perifer. Sebagian besar sisanya berada di organ
limfoid. Telah dihitung bahwa pada manusia, 3,5 × 1010 limfosit per hari memasuki
sirkulasi melalui saluran toraks saja; Namun, jumlah ini termasuk sel-sel yang
masuk limfatik dan dengan demikian melintasi saluran toraks lebih dari sekali
(Ganong, 2003).
Limfosit dalam darah berukuran sangat bervariasi sehingga pada
pengamatan sediaan apus darah dibedakan menjadi: limfosit kecil (7-8 μm),
20
limfosit sedang dan limfosit besar (12 μm) yang dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Jumlah limfosit menduduki nomer 2 setelah netrofil yaitu sekitar 1000-3000 per
mm3 darah atau 20-30% dari seluruh leukosit. Di antara 3 jenis limfosit, limfosit
kecil terdapat paling banyak. Limfosit kecil ini mempunyai inti bulat yang kadang-
kadang bertakik sedikit. Intinya gelap karena khromatinnya berkelompok dan tidak
nampak nukleolus. Sitoplasmanya yang sedikit tampak mengelilingi inti sebagai
cincin berwarna biru muda. Kadang-kadang sitoplasmanya tidak jelas mungkin
karena butir-butir azurofil yang berwarna ungu. Limfosit kecil kira-kira berjumlah
92% dari seluruh limfosit dalam darah (Subowo, 2006).
Limfosit merupakan komponen yang berperan pada akhir inflamasi.
Limfosit T merupakan limfosit predominan walau limfosit B juga ditemukan pada
jaringan perlukaan manusia. Pada hewan percobaan yang dilakukan deplesi
limfosit T, terjadi penghambatan proses penyembuhan luka (Barbul, 1990).
Limfosit T juga ditemukan berperan dalam mengontrol proliferasi. Sel ini
merupakan subset leukosit yang paling sering ditemukan pada perlukaan pada
luka kulit manusia sebagai sel-sel imun adaptif. Sel ini banyak ditemukan selama
fase remodeling jaringan, saat penutupan luka telah selesai dan infeksi lokal telah
teratasi. Kemokin merupakan mediator penting bagi kemotaksis dan fungsi
limfosit. Akumulasi limfosit berkaitan dengan awal kemunculan dari MCP-1 saat 4
hari setelah terjadinya perlukaan oleh kemokin IFNγ-inducible protein-10 dan
monokin yang diinduksi oleh IFN-γ. Makrofag merupakan sumber utama untuk
sitokin tersebut. IFN-γ adalah induktor utama inducible protein-10 dan monokin
yang diinduksi oleh IFN-γ, yang dapat mencerminkan pergeseran penting pada
profil ekspresi sitokin dari mediator proinflamasi menjadi IFN-γ. Hasil penelitian
pada IFN-γ deficient mice menunjukkan adanya pengurangan jumlah netrofil,
makrofag dan sel T dikarenakan minimnya aktivasi endotel (Sabine et al., 2007).
21
Adanya aktivitas Th1 dan Th2 juga dapat dilihat, Th1 dapat dilihat dengan
adanya pelepasan IFN-γ, IL-2, TNF-α dan Th2 secara klasik melepaskan IL-4, IL-
5, dan IL-10 dimana hal ini dapat meregulasi lingkungan perlukaan dengan
mengeluarkan sitokin yang berbeda terkait dengan beragam proses remodeling
jaringan (Sabine et al., 2007).
Sel T juga mempengaruhi respons penyembuhan melalui direct cell-cell
interaction dengan sel residen maupun non residen pada lokasi luka. Interaksi
antara membran-terikat glikoprotein CD40 dan CD40 ligan memainkan peran
penting dalam interaksi ini, dimana CD40 ligan mengungkapkan sel T berinteraksi
dengan CD40 mengekspresikan keratinosit, fibroblast, trombosit, makrofag, yang
kemudian mengubah profil ekspresi mereka mediator inflamasi dan fungsi
perbaikan konsekuen (Sabine et al., 2007).
Sel T baru-baru ini terbukti terlibat dalam keratinosit yang dimediasi
hyaluronan deposisi dalam ECM dan merangsang makrofag selanjutnya infiltrasi
ke dalam situs luka mempengaruhi respons penyembuhan oleh interaksi sel-sel
langsung dengan sel residen dan non residen di lokasi perlukaan (Sabine et al.,
2007).
Limfosit T dibagi menjadi 2, yaitu limfosit CD4+ (Helper T cells) dan limfosit
CD8+ (Cytotoxic T cells) pembagian fungsinya mengikuti aturan dari
keseimbangan respon imun. Terdapat hubungan yang relevan pada proses
penyembuhan luka hewan percobaan, bahwa limfosit CD8+ menghambat
penyembuhan luka dan limfosit CD4+ mendorong penyembuhan luka pada
penelitian terhadap penyembuhan tikus in vitro. 37 Dukungan terhadap percobaan
ini berupa penelitian pada manusia selama satu minggu setelah pembedahan, jika
terjadi peningkatan jumlah sel-sel limfosit CD4+ dibandingkan dengan kenaikan
jumlah sel-sel limfosit CD8+ (rasio CD4+/CD8+) maka akan ditemukan dengan
segera penutupan pada luka (Boyce et al., 2000).
22
35 Penelitian lain menunjukan deplesi limfosit CD4+ memperlihatkan
penurunan yang signifikan terhadap kekuatan pokok (ultimate strength),
kekenyalan (resilience) dan kekerasan (toughness) pada jaringan luka.
Sedangkan deplesi limfosit CD8+ memperlihatkan kenaikan yang signifikan
terhadap kekuatan pokok, kekenyalan dan kekerasan atau keliatan jaringan luka.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa deplesi limfosit T pada penyembuhan luka
pada tingkat subset-subsetnya terdapat pengaturan yang berlawanan, yaitu
limfosit CD8+ merupakan downregulator of wound healing sedangkan limfosit
CD4+ merupakan upregulator of wound healing (Boyce et al., 2000).
Gambar 2.5 Sel Limfosit Besar dan Kecil (Eroschenko, 2005)
2.7 Tikus Wistar
Tikus wistar putih (Rattus norvegicus) atau biasa dikenal dengan nama lain
Norway Rat berasal dari wilayah Cina dan menyebar ke Eropa bagian barat (Sirois,
2005). Pada wilayah Asia Tenggara, tikus ini tersebar di Filipina, Indonesia, Laos,
Malaysia, dan Singapura (Adiyati, 2011).
Tikus Wistar saat ini menjadi salah satu yang strain tikus paling popular
yang digunakan untuk penelitian laboratorium. Ditandai dengan adanya kepala
23
lebar, telinga panjang, dan memiliki panjang ekor yang selalu kurang dari panjang
tubuhnya seperti pada Gambar 2.6 (Sirois, 2005).
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Sciurognathi
Famili : Muridae
Sub-Famili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Ratus norvegicus
Gambar 2.6 Tikus wistar (Rattus norvegicus) (Alexandru, 2011)
24
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Pencabutan Gigi
Perlukaan Jaringan
Platelet
Lendir Bekicot (Achatina fullica)
Glycosaminoglycans: Heparan sulphate
(HSPG Syndecan-1,-2,-4 dan Glypican-1-6)
Sel PMN (Netrofil)
Growth Factors (FGF, EGF, IGF,
PDGF, VeGF, TGF)
Sitokin
Limfosit (Sel T Helper) ↑↓
Neurofil, Sel mast, Sel endotel
CD40-ligand, IL-2, TNF-α/IL-4, -5, -10
Keratinosit, Fibroblas
Jaringan granulasi
Jaringan Ikat
Remodelling jaringan (penyembuhan luka) ↑↓
Keterangan : : Variabel yang diteliti : Variabel yang tidak diteliti
Makrofag
25
3.2 Penjelasan Konsep Penelitian
Tindakan pencabutan gigi dapat menyebabkan kerusakan pada kesatuan
jaringan lunak dan jaringan keras pada rongga mulut, dimana soket gigi terbuka
dan mengalami perdarahan yang menyebabkan perlukaan jaringan. Selanjutnya,
terjadi proses penyembuhan luka yang dinamis serta tumpang tindih yang terdiri
dari 3 fase, yaitu fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi atau
remodeling. Salah satu sel yang yang berperan penting dalam proses
penyembuhan luka adalah makrofag. Ketika terjadi perlukaan, makrofag
berpindah menuju sumber luka dan bertindak sebagai pusat pertahanan jaringan.
Lendir bekicot (Achatina fulica) mengandung heparan sulfat merupakan
salah satu jenis glikosaminoglikan (GAG) yang mempunyai struktur paling
kompleks dibandingkan jenis lainnya. Dari penelitian diketahui bahwa heparan
sulfat dapat merangsang rekrutmen sel radang ke daerah luka sesaat setelah
terjadi perlukaan jaringan, salah satunya adalah sel makrofag dan leukosit. Rantai
heparan sulfat dari HSPG dapat terdiri dari keberagaman struktural yang luar biasa
dikarenakan perbedaan posisi kelompok sulfat sepanjang rantai polisakarida dan
epimerisasi dari residu asam glukoronik ke asam idorunik. HSPG ini juga
memungkinkan heparan sulfat untuk berinteraksi dengan berbagai protein
fungsional yang beragam, seperti faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin, protease,
lipase, dan molekul adhesi sel
Adanya ekspresi HSPG berupa syndecan-1, -2, 4 serta glypican-1-6 pada
permukaan sel menunjukan adanya peningkatan proliferasi dan/atau aktivasi sel
T. Sel ini kemudian mensintesis CD40-ligan, IL-2, TNF-α/ IL-4, -5, -10 yang
diketahui memiliki pengaruh pada aktivasi keratinosit dan fibroblas pada fase
proliferasi yang nantinya membentuk jaringan granulasi dan jaringan ikat, hingga
terjadinya regulasi remodeling jaringan.
26
3.3 Hipotesis Penelitian
Lendir bekicot (Achatina fulica) berpengaruh terhadap jumlah limfosit pada
proses penyembuhan luka pada soket gigi pasca pencabutan gigi tikus wistar
(Rattus norvegicus).
27
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Eksperimental Laboratoris
(Notoatmodjo, 2010). Desain penelitian yang digunakan adalah Randomized Post-
Test Only Control Group Design dimana subyek dibagi menjadi 6 kelompok secara
random (Tjokronegoro et al., 2004).
Sampel dipilih dengan Simple random sampling kemudian ditempatkan
pada:
a. K (Kelompok Kontrol): kelompok yang tidak diberikan perlakuan berupa
pemberian lendir bekicot pasca pencabutan gigi.
b. P (Kelompok Perlakuan): kelompok yang diberi perlakuan berupa
pemberian lendir bekicot pada soket gigi pasca pencabutan gigi.
4.2 Populasi dan Sampel Penelitian
4.2.1 Jenis Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah hewan percobaan berupa tikus Wistar jantan
(Rattus norvegicus) yang dipelihara di Laboratorium Faal Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang.
Tikus galur Wistar dipilih sebagai populasi karena merupakan hewan coba
yang tergolong jinak, mudah perawatannya, dan fungsi metabolismenya mirip
dengan manusia.
4.2.2 Kriteria Sampel Penelitian
Kriteria inklusi sampel penelitian yang digunakan, yaitu:
28
a. Jenis kelamin jantan (untuk menghindari efek hormonal yang lebih dominan
pada tikus betina)
b. Berat badan tikus 200 – 350 gram
c. Usia tikus 2 – 3 bulan
d. Keadaan umum tikus sehat yang ditandai dengan gerakannya yang aktif,
mata jernih, dan bulu mata tebal berwarna putih mengkilap
e. Tikus diadaptasikan terlebih dahulu selama 7 hari
Kriteria eksklusi sampel penelitian yang digunakan, yaitu:
a. Tikus yang selama penelitian tidak mau makan
b. Berat badan tikus kurang dari 200 gram
c. Tikus yang mengalami diare pada saat penelitian. Ditandai dengan feses
tikus yang tidak berbentuk
d. Tikus yang mengalami tanda-tanda infeksi pada soket gigi
e. Tikus mati selama penelitian
4.2.3 Jumlah Sampel Penelitian
Teknik randomisasi untuk pengelompokan perlakuan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) mengingat baik hewan coba, bahan pakan, dan
bahan penelitian lainnya adalah homogen. Pada rancangan ini dimungkinkan
setiap hewan coba mempunyai kesempatan menjadi sampel dalam kelompok
perlakuan atau kelompok kontrol.
Besar sampel yang digunakan pada penelitian berdasarkan rumus Federer
(1963), yaitu:
( n – 1 ) (t – 1 ) ≥ 15
Keterangan :
n = jumlah pengulangan penelitian
t = jumlah kelompok
29
Oleh karena itu, perhitungan menjadi :
( n – 1 ) ( t – 1) ≥ 15
( n – 1 ) (6 – 1 ) ≥ 15
5n – 5 ≥ 15
5n ≥ 20
n ≥ 4
Jadi, jumlah sampel minimum yang digunakan adalah 4 sampel untuk
masing-masing kelompok. Penelitian ini menggunakan 4 ekor tikus dengan 1 ekor
tikus cadangan pada setiap kelompok yang akan dideterminasi dan diambil sampel
rahang pada waktu yang berbeda-beda.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Variabel Bebas/Independen
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah lendir bekicot.
4.3.2 Variabel Terikat/Dependen
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah limfosit pada hari ketiga,
kelima, dan ketujuh pada proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan
gigi insisivus pertama rahang bawah kiri tikus wistar.
4.3.3 Variabel Kendali/Kontrol
a. Hewan Coba (Tikus wistar)
i. Jenis kelamin hewan coba
ii. Berat badan hewan coba
iii. Usia hewan coba
iv. Makan dan minum hewan coba
b. Teknik pencabutan gigi hewan coba
c. Pemilihan dan pengambilan lendir bekicot
30
d. Jumlah sampel bahan percobaan yang dimasukkan ke dalam soket gigi
tikus pasca pencabutan gigi
e. Pengambilan preparat jaringan
4.3.4 Variabel Tidak Terkendali
a. Pengiriman bahan coba
b. Keterampilan operator
c. Homogenitas lendir bekicot
4.4 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Faal dan Laboratorium Patologi
Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang pada bulan pertama
sampai bulan ketiga penelitian pada tahun 2016.
4.5 Alat dan Bahan Penelitian
4.5.1 Alat dan Bahan untuk Pemeliharaan Hewan Coba
a. 6 buah box plastik berukuran 15 x 30 x 42 cm3 yang diisi 4 ekor tikus wistar
dengan kawat kassa sebagai sebagai tutup box dan sekam sebagai dasar
box.
b. Tempat minum hewan coba
4.5.2 Alat Penimbang Berat Badan Tikus
Neraca Ohaus (Sartorius)
4.5.3 Alat dan Bahan Pencabutan Gigi Tikus
a. Tikus putih jantan
b. Pinset
c. Pinset sirurgis
d. Le cron (pisau model) modifikasi
31
e. Needle holder modifikasi
f. Ekskavator
g. Sonde setengah lingkaran
h. Blade dan blade holder
i. Anestesi (Ketamin 40mg/kgBB)
j. Disposible syringe insulin 1 ml (Terumo, Japan)
k. Kapas
l. Kassa
m. Cawan
4.5.4 Alat dan Bahan Perlakuan
a. Tikus wistar jantan (Rattus norvegicus)
b. Lendir bekicot (Achatina fulica)
c. Pakan hewan coba
d. Cotton buds
e. Masker dan sarung tangan
4.5.5 Alat dan Bahan Pengambilan Jaringan dan Pembuatan Preparat
a. Blade no.11
b. Pinset
c. Tabung fiksasi berlabel
d. Gelas ukur
e. Object glass dan deck glass
f. Cover glass
g. Counter
h. Mikroskop cahaya
i. Mikroskop Olympus photo slide BX51 dengan kamera DP71 12 megapixel
j. Alkohol 70%, 80%, 95%, 96%
32
k. Albumin
l. Zenker
m. Formalin 10%
n. Decalsification agent (EDTA 14%)
o. HCL 5%
p. Amonium oksalat 1%
q. Xylol
r. Paraffin
s. Alat cetak paraffin
t. Water-bath
u. Pewarna Hematoksilin dan Eosin
v. Air
w. Akuades
x. Balsam Kanada
y. Ether chloride
z. Asam format 50%
aa. Rotari mikrotom
4.6 Definisi Operasional
4.6.1 Lendir Bekicot
Lendir Bekicot adalah lendir yang diperoleh dari salah satu peternak bekicot
di daerah Blitar, Jawa Timur. Lendir sudah diambil dari dalam cangkang bekicot
dan diolah oleh peternaknya terlebih dahulu. Tidak ada kriteria khusus tentang
umur dan berat bekicot yang digunakan (Cooling, 2005; Prasad et al., 2004).
33
4.6.2 Limfosit
Limfosit dalam darah berkuran sangat bervariasi sehingga pada
pengamatan sediaan apus darah dibedakan menjadi: limfosit kecil (7-8 μm),
limfosit sedang dan limfosit besar (12 μm). Jumlah limfosit menduduki nomer 2
setelah netrofil yaitu sekitar 1000-3000 per mm3 darah atau 20-30% dari seluruh
leukosit. Di antara 3 jenis limfosit, limfosit kecil terdapat paling banyak. Limfosit
kecil ini mempunyai inti bulat yang kadang-kadang bertakik sedikit. Intinya gelap
karena khromatinnya berkelompok dan tidak nampak nukleolus. Sitoplasmanya
yang sedikit tampak mengelilingi inti sebagai cincin berwarna biru muda. Kadang-
kadang sitoplasmanya tidak jelas mungkin karena butir-butir azurofil yang
berwarna ungu. Limfosit kecil kira-kira berjumlah 92% dari seluruh limfosit dalam
darah (Subowo, 2006).
Alat ukur: -
4.6.3 Pencabutan Gigi
Pencabutan gigi dari alveolus gigi insisivus satu kiri rahang bawah tikus
wistar jantan yang dilakukan dengan menggunakan le cron dan needle holder
modifikasi (Harty et al., 1995).
Alat ukur: -
4.6.4 Soket Gigi
Soket gigi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah soket gigi mandibula
tikus wistar. Soket gigi adalah lubang dalam tulang alveolar pada rahang yang
memberikan tempat untuk melekatnya akar gigi. Bagian tengah dari soket
mandibula dipotong secara sagital dan diambil untuk pembuatan sediaan histologi.
Alat ukur: -
34
4.6.5 Jaringan Granulasi Pasca Pencabutan Gigi
Jaringan pada luka pasca pencbutan gigi yang berupa pembentukan suatu
massa jaringan kecil, bulat, dan tersusun sebagian besar dari kapiler dan fibroblas,
sering dengan sel radang dan massa jaringan seperti jaringan ikat (Dorland, 1996).
Alat ukur: -
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Ethical Clearance
Penelitian ini diawali dengan pengurusan ethical clearance di Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
4.7.2 Alur Penelitian
Tahapan-tahapan yang ditempuh dalam penelitian ini tersaji pada Gambar
4.1 pada akhir Bab IV.
4.7.3 Pengambilan Lendir Bekicot
Lendir bekicot didapatkan langsung dari peternak bekicot, bekicot
dibersihkan dengan air mengalur kemudian ditempatkan dalam kotak plastik (75 x
40 x 30 cm) selama 3 hari untuk mencegah kontaminasi material biologikal. Lendir
bekicot dihasilkan dari glandula podal yang terletak pada otot perut bekicot.
Pengambilan lendir dilakukan setiap hari untuk menjaga kesegaran bahan lendir
saat aplikasi lendir ke dalam soket gigi.
Lendir dapat dikumpulkan dengan stimulasi manual glandula podal bekicot
dengan cara pemberian semprotan air pada badan bekicot yang kemudian lendir
ditampung dalam wadah steril (Purnasari, 2012).
4.7.4 Persiapan Hewan Coba
a. Tikus diadaptasikan dalam kandang kurang lebih selama 1 minggu pada
temperatur konstan (20-25ºC) dengan 12 jam siklus terang gelap untuk
35
proses aklimatisasi. Tikus dipelihara dalam box plastik berukuran 15 x 30 x
42 cm3 yang ditutup dengan kawat kassa dengan dasar sekam yang diganti
setiap minggu. Selama proses tersebut, dijaga agar kebutuhan makan dan
air putih mentah untuk minum tetap terpenuhi dengan diet normal terdiri
dari 67% Comfeed PAR-S, 33% terigu, dan air secukupnya (Anwari, 2003).
b. Tikus dipuasakan selama 12-18 jam sebelum perlakuan, namun air putih
mentah untuk minum tetap diberikan ad libitum (Parveen et al., 2007;
Rajavel et al., 2007).
c. Berat badan tiap tikus ditimbang dan dikelompokkan menjadi 6 kelompok
secara acak dengan jumlah masing-masing kelompok adalah 4 ekor
kemudian berat tikus ditimbang lagi sebelum dilakukan pencabutan,
dimana berat badan yang dibutuhkan adalah 200-350 gram.
4.7.5 Pencabutan Gigi Tikus
Pencabutan gigi tikus dilakukan pada gigi insisivus satu kiri mandibula
dikarenakan tidak ada perbedaan morfologi dari struktur dan jaringan anatara gigi
insisivus dengan gigi tikus yang lainnya. Sebelum dilakukan pencabutan,
dilakukan anestesi intra-muscular dengan ketamin 40mg/kgBB, lalu dilakukan
pencabutan gigi tikus dengan arah sejajar dengan soket giginya secara hati-hati
dengan kekuatan yang sama untuk menimalkan risiko patahnya gigi tikus.
Pencabutan gigi dilakukan dengan le cron dan needle holder modifikasi. Kemudian
soket diirigasi dengan akuades steril (Fitriani, 2010).
4.7.6 Perawatan Tikus Pasca Pencabutan Gigi
Pemberian makan dilakukan secara normal dan dilakukan 2 kali sehari
setiap pagi dan sore hari.
36
4.7.7 Tahap Pengelompokkan dan Perlakuan Hewan Coba
Sebanyak 24 ekor tikus dengan berat badan 200 – 350 gram dibagi ke
dalam 6 kelompok sebagai berikut:
a. Kelompok Kontrol
Kelompok kontrol terdiri dari 12 ekor tikus dilakukan pencabutan gigi
insisivus satu bawah kirinya pada hari ke nol tetapi tidak diberi perlakuan berupa
pemberian lendir bekicot pada soket giginya sebagai berikut:
i. Kelompok K1 hari ketiga: Pada hari ketiga, 4 ekor tikus dideterminasi
dan diambil sampel rahangnya.
ii. Kelompok K2 hari kelima: Pada hari kelima, 4 ekor tikus
dideterminasi dan diambil sampel rahangnya.
iii. Kelompok K3 hari ketujuh: Pada hari ketujuh, 4 ekor tikus
dideterminasi dan diambil sampel rahangnya.
b. Kelompok Perlakuan
Kelompok perlakuan terdiri dari 12 ekor tikus dilakukan pencabutan
kemudian gigi insisivus kiri bawah kirinya pada hari ke nol dan diberi perlakuan
berupa pemberian lendir bekicot kedalam soket gigi sebanyak 1cc dengan
menggunakan spuit yang dimasukkan sampai ke dasar soket untuk mencegah
adanya gelembung udara yang terperangkap di dalam soket gigi, sebagai berikut:
i. Kelompok P1 hari ketiga: Pada hari ketiga, 4 ekor tikus dideterminasi
dan diambil sampel rahangnya.
ii. Kelompok P2 hari kelima: Pada hari kelima, 4 ekor tikus
dideterminasi dan diambil sampel rahangnya.
iii. Kelompok P3 hari ketujuh: Pada hari ketujuh, 4 ekor tikus
dideterminasi dan diambil sampel rahangnya.
37
4.7.8 Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh untuk
melihat jumlah limfosit di jaringan granulasi di soket gigi hewan coba, dilakukan
anastesi pada tikus masing-masing kelompok perlakuan dengan menggunakan
inhalasi eter dosis lethal dengan cara yang sama dengan proses anetesi. Sebelum
determinasi dan diambil rahang bawahnya, konfirmasi kematian tikus harus
dilakukan dengan cara melihat aspirasinya, apabila sudah tidak ada aktivitas
respirasi, tikus dideterminasi menggunakan scalpel dengan blade no.11 dan
diambil rahang bawahnya dimana terdapat soket bekas pencabutan gigi
sebelumnya. Rahang bawah kemudian dimasukkan ke dalam tabung berisi larutan
formalin 10% untuk fiksasi jaringan dan diberi label. Jasad tikus kemudian
dikuburkan dalam tanah dengan kedalaman 40 cm di bawah tanah dengan
bantuan tenaga ahli dari laboratorium terkait.
4.7.9 Teknik Pemrosesan Jaringan
a. Dilakukan proses dekalsifikasi dengan cara direndam dalam larutan EDTA
14%. Proses dekalsifikasi ini dilakukan selama 30 hari untuk menunggu
jaringan tulang mandibula menjadi lunak dan dapat dipotong kecil. Larutan
dekalsifikasi ini harus diganti setiap hari untuk mendapatkan hasil yang
baik. Setelah proses dekalsifikasi selesai, maka dilakukan pencucian pada
air mengalir selama 3-8 jam untuk menghilangkan sisa dari bahan
dekalsifikasi.
b. Melakukan proses fiksasi, dehidrasi, clearing, dan impregnasi dengan cara
mencelupkan jaringan kedalam larutan seperti yang tersaji pada Tabel 4.1
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
38
Tabel 4.1 Tabel Proses Fiksasi, Dehidrasi, Clearing, dan Impregnasi
Tabung Larutan Waktu Proses
1 Formalin 2 jam Clearing
2 Alkohol 70% 1 jam Dehidrasi
3 Alkohol 80% 2 jam Dehidrasi
4 Alkohol 95% 2 jam Dehidrasi
5 Alkohol 96% + Prusi 2 jam Dehidrasi
6 Alkohol 96% + Prusi 1 jam Dehidrasi
7 Alkohol 96% + Prusi 2 jam Dehidrasi
8 Xylol 1 jam Clearing
9 Xylol 2 jam Clearing
10 Xylol 2 jam Clearing
11 Parafin cair (58-60ºC) 2 jam Impregnasi
12 Parafin cair (58-60ºC) 2 jam Impregnasi
Catatan :
- Dehidrasi dengan konsentrasi alkohol yang meningkat sampai kadar alkohol mencapai 96%. Dehidrasi dimulai dengan alkohol 70% selama 1 jam, 80% selama 2 jam, 95% selama 2 jam, dan 96% selama 5 jam.
- Masukkan jaringan dalam xylol (clearing) sebanyak 3 kali pada 3 tabung yang berbeda dengan ketentuan waktu 1 jam, 2 jam, dan 3 jam.
4.7.10 Penanaman Dalam Paraffin (Embedding) dan Penyayatan Jaringan
Melakukan embedding dan penyayatan jaringan dengan rotari mikrotom
dengan cara:
a. Alat cetak yang terbuat dari logam berbentuk siku-siku disusun di atas
permukaan kaca. Alat dan alas diolesi gliserin untuk mempermudah
pemisahan alat cetak dan kaca dengan blok paraffin yang sudah beku.
b. Paraffin cair ditempatkan dalam dua wadah yaitu untuk bahan embedding
dan paraffin sebagai media penyesuaian tempreratur yang akan ditanam.
c. Paraffin cair pada tempat pertama dituangkan ke dalam alat cetak hingga
penuh permukaannya, lalu jaringan ditanam pada posisi yang sesuai dan
bagian permukaan jaringan yang menempel pada kaca diusahakan rata.
39
d. Pembuatan preparat jaringan dengan pemotongan blok paraffin
menggunakan rotari mikrotom.
e. Bila paraffin sudah cukup keras, alat cetak dilepaskan dan blok paraffin
diberi label dan siap disayat.
f. Blok paraffin ditempatkan pada alat pemegangnya yang berupa lempengan
logam yang sudah dipanasi. Perhatikan sisi blok mana yang akan dipotong,
kemudian didinginkan sampai suhu kamar agar tidak melekat erat.
g. Pisau mikrotom dipasang pada pegangannya, membentuk sudut 5º-10º.
Pisau harus tajam dan permukaannya harus benar-benar rata.
h. Water-bath dipersiapkan dengan mengatur suhu air dibawah titik leleh
paraffin (± 48ºC).
i. Blok yang sudah menempel pada pemegangnya dipasang pada rotary
mikrotom dan siap dilakukan pemotongan tipis yaitu 5 mikron.
j. Hasil pemotongan berupa pita tipis dengan hati-hati dipindahkan kedalam
water-bath agar sayatan jaringan mengembang dengan baik.
k. Potongan yang sudah diseleksi dipindahkan pada object glass yang telah
diolesi dengan egg albumin atau polisin sebagai bahan perekatnya yang
sudah diberi label lalu sediaan dibiarkan kering dan dimasukkan kedalam
oven dengan suhu optimum (58 - 60ºC) selama 30 menit.
4.7.11 Pengecatan Preparat Jaringan
Menurut Ross (1985) dan Hammersen (1993) pengecatan preparat
jaringan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Deparaffinisasi dengan menggunakan xylol.
b. Preparat dimasukkan ke dalam xylol selama 2 menit.
c. Memasukkan kembali ke dalam xylol II dalam wadah yang berbeda selama
2 menit.
40
d. Dilakukan dehidrasi dengan larutan alkohol 96%, 95% dan 80% masing-
masing selama 1 menit.
e. Preparat dibilas dengan air mengalir selama 3-5 menit, mula-mula dengan
aliran lambat kemudian lebih kuat dengan tujuan menghilangkan semua
kelebihan alkohol.
f. Preparat diwarnai dengan zat warna Hematoxilin Mayer’s selama 15 menit.
g. Dibilas kembali di bawah air mengalir selama 5 menit.
h. Preparat direndam eosin selama 15 detik sampai 2 menit.
i. Dilakukan dehidrasi kembali dengan larutan alkohol konsentrasi meningkat
95% dan 96% masing-masing 2 menit sebanyak 2 kali dengan wadah yang
berbeda (bak I dan II).
j. Setelah melalui alkohol absolut, preparat dipindahkan ke xylol.
k. Mounting.
l. Beri setetes medium Entellan yang mempunyai indeks refraksi hampir
sama dengan indeks refraksi kaca pada sediaan hapus. Kemudian sediaan
itu ditutup dengan kaca penutup dan dibiarkan mengering.
4.7.12 Penghitungan Jumlah Limfosit
Limfosit pada sediaan preparat jaringan dihitung menggunakan mikroskop
cahaya binokuler dengan perbesaran 400x. Setiap preparat terdiri dari 3 potongan
jaringan yang sebelumnya diletakkan satu tetes minyak emersi. Tiap potongan
jaringan jumlah limfosit dihitung secara sistematis mulai dari pojok kiri bawah
kemudian digeser ke kanan dan ditarik ke atas demikian seterusnya sehingga
semua lapang pandang terbaca, dilanjutkan hingga pada potongan jaringan
kelima. Kemudian dihitung jumlah limfosit rata-rata dari lima potongan jaringan
tersebut.
41
4.8 Analisis Data
Hasil pengukuran jumlah limfosit pada tikus kontrol dan perlakuan dianalisa
secara statistik dengan menggunakan program komputer dengan tingkat
signifikansi 0,05 (p = 0,05) dan taraf kepercayaan 95% (α = 0,05). Langkah-
langkah uji hipotesis komparatif dan korelatif adalah sebagai berikut:
a. Uji Normalitas: bertujuan untuk menginterpretasikan apakah suatu data
memiliki sebaran atau distribusi normal atau tidak, karena pemilihan
penyajian data dan uji hipotesis bergantung dari normal tidaknya distribusi
data. Untuk penyajian data yang berdistribusi normal digunakan mean dan
standar deviasi sebagai pasangan ukuran pemusatan dan penyebaran,
sedangkan untuk penyajian data yang tidak terdistribusi normal
menggunakan median dan minmum-maksimum sebagai pasangan ukuran
pemusatan dan penyebaran. Untuk uji hipotesis, jika sebaran data normal,
maka digunakan uji parametric, sedangkan, jika sebaran data tidak normal
digunakan uji non-parametrik.
b. Uji homogenitas: bertujuan untuk menguji berlaku atau tidaknya asumsi
ANOVA, yaitu apakah data yang diperoleh dari setiap perlakuan memiliki
varian yang homogen. Uji menggunakan Levene test, jika didapatkan
varian yang homogen, maka analisis selanjutnya dapat menggunakan
uji ANOVA. Uji one way ANOVA berlaku untuk membandingkan nilai dari
rata-rata dari masing-masing kelompok perlakuan dan mengetahui bahwa
minimal terdapat dua kelompok yang berbeda secara signifikan.
c. Data penelitian yang terdistribusi normal (p>0,05), dilanjutkan dengan uji
parametrik menggunakan one way ANOVA dengan tingkat kepercayaan
95%(α=0,05) dan bila ada perbedaan dilanjutkan dengan uji LSD (Least
Significance Difference) dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05). Bila
data penelitian tidak terdistribusi normal dan homogen, dilakukan uji
42
nonparametric dengan Kruskal-Wallis dengan tingkat kepercayaan 95%
(α=0,05) dan bila ada perbedaan nyata antara kelompok sampel,
dilanjutkan dengan uji statistik Mann-Whitney dengan derajat kemaknaan
95% dengan nilai α=0,05 (Notoatmodjo, 2002).
d. Post-Hoc Test (Uji Least Significant Difference): bertujuan untuk
mengetahui kelompok mana yang bereda secara signifikan dari hasil tes
ANOVA. Uji Post-Hoc yang digunakan adalah uji LSD dengan tingkat
signifikansi 95% (p<0,05).
e. Uji korelasi Pearson: untuk mengetahui besarnya perbedaan secara
kualitatif kelompok yang berbeda secara signifikan, yang telah ditentukan
sebelumnya dari hasil uji Post-Hoc (LSD).
43
4.9 Alur Penelitian
H-7
H
H+3
H+5
H+7
Gambar 4.1 Skema Alur Penelitian
Sampel Tikus Wistar (Rattus norvegicus)
Adaptasi Selama 7 Hari
Pencabutan gigi insisivus kiri rahang bawah
Irigasi dengan akuades steril
Determinasi
hari ke -5
Determinasi
hari ke -3
Determinasi
hari ke -7
Determinasi
hari ke -5
Determinasi
hari ke -3
Determinasi
hari ke -7
Pengambilan sampel rahang
Dekalsifikasi dengan EDTA
Fiksasi, Dehidrasi, Clearing, Impregnasi
Embedding dan penyayatan jaringan
Pengecatan HE
Penghitungan jumlah limfosit
Analisis data
K2 4 ekor tikus tidak diberi perlakuan
K1 4 ekor tikus tidak diberi perlakuan
K3 4 ekor tikus tidak diberi perlakuan
P2
4 ekor tikus
diberi perlakuan
P1
4 ekor tikus
diberi perlakuan
P3
4 ekor tikus
diberi perlakuan
44
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
5.1 Hasil Penelitian
Pada penelitian ini hewan coba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan (P), masing-masing dibagi menjadi
3 kelompok berdasarkan hari determinasi hewan coba. Kelompok kontrol
merupakan tikus wistar yang tidak diberikan perlakuan berupa lendir bekicot,
kelompok perlakuan merupakan tikus wistar yang diberikan perlakuan berupa
lendir bekicot.
Sampel diperoleh dengan mengambil rahang yang terdapat soket gigi yang
telah dilakukan pencabutan terlebih dahulu. Determinasi dilakukan pada hari
ketiga, kelima, dan ketujuh setelah pencabutan gigi tikus wistar, kemudian
dilakukan pembuatan preparat dengan pengecatan Hematoxylin-Eosin.
Pengamatan dilakukan menggunakan software OlyVIA (Viewer for Imaging
Applications) dengan perbesaran 20x yang setara dengan perbesaran 400x pada
mikroskop cahaya binokuler. Hasil yang diperoleh berupa gambaran limfosit
dengan bentuk bulat atau oval dengan sitoplasma sempit berwarna biru keunguan
yang dapat dilihat pada Gambar 5.1-6.
45
Gambar 5.1 Gambar Limfosit (lingkaran hijau) Pada Kelompok Kontrol Determinasi Hari 3 (K1) dengan perbesaran 20x
Gambar 5.2 Gambar Limfosit (lingkaran hijau) Pada Kelompok Kontrol Determinasi Hari 5 (K2) dengan perbesaran 20x
46
Gambar 5.3 Gambar Limfosit (lingkaran hijau) Pada Kelompok Kontrol Determinasi Hari 7 (K3) dengan perbesaran 20x
Gambaran limfosit pada kelompok kontrol memperlihatkan jumlah yang
lebih banyak pada kelompok kontrol hari ketujuh (Gambar 5.3) kemudian diikuti
pada hari kelima (Gambar 5.2). Gambaran yang limfosit yang paling sedikit
jumlahnya dapat dilihat pada kelompok kontrol hari ketiga (Gambar 5.1).
Gambar 5.4 Gambar Limfosit (lingkaran hijau) Pada Kelompok Perlakuan Determinasi Hari 3 (P1) dengan perbesaran 20x
47
Gambar 5.5 Gambar Limfosit (lingkaran hijau) Pada Kelompok Perlakuan Determinasi Hari 5 (P3) dengan perbesaran 20x
Gambar 5.6 Gambar Limfosit (lingkaran hijau) Pada Kelompok Perlakuan Determinasi Hari 7 (P3) dengan perbesaran 20x
48
Pada kelompok perlakuan, jumlah limfosit terbanyak diperoleh pada hari
kelima (Gambar 5.5) apabila dibandingkan dengan hari ketiga (Gambar 5.4).
Gambaran limfosit menurun pada kelompok perlakuan hari ketujuh (Gambar 5.6).
Analisa data hasil penghitungan jumlah limfosit dapat dilihat pada Tabel 5.1
dengan format mean ± standar deviasi.
Tabel 5.1 Tabel Rata-rata Hasil Penghitungan Jumlah Limfosit
Kelompok Mean Std. Deviation
Determinasi Hari ke-3
Kontrol
(K1) 5,48 3,01552
Perlakuan
(P1) 11,64 8,70766
Determinasi Hari ke-5
Kontrol
(K2) 4,60 3,22749
Perlakuan
(P2) 16,52 8,25187
Determinasi Hari ke-7
Kontrol
(K3) 64,48 36,98775
Perlakuan
(P3) 10,80 9,56121
5.2 Analisis Data
Analisis jumlah limfosit dilakukan dengan menggunakan metode One-way
ANOVA. Sebelum dilakukan pengujian dengan one way Anova dilakukan uji
normalitas dan uji homogenitas ragam. Uji normalitas menggunakan uji
Kolmogorov smimov, uji homogenitas menggunakan Levene Test, kemudian
dilanjutkan dengan one way ANOVA. Apabila hasil uji terdapat perbedaan maka
dilanjutkan dengan Post-Hoc Test menggunakan uji LSD (Least Significance
Difference) dan dilanjutkan dengan uji korelasi Pearson.
49
5.2.1 Uji Asumsi Data
Sebelum melakukan analisis data dengan menggunakan one way ANOVA,
maka diperlukan pemenuhan atas beberapa asumsi data, yaitu data jumlah limfosit
pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh harus mempunyai sebaran normal dan
mempunyai ragam yang homogen.
a. Normalitas Data
Menurut Santoso (2004), sebelum melakukan pengujian dengan
menggunakan statistika inferensial, maka diperlukan pemenuhan terhadap asumsi
kenormalan data. Distribusi normal merupakan distribusi teoritis dari variabel
random yang kontinyu (Dajan, 1995). Kurva yang menggambarkan distribusi
normal adalah kurva normal yang berbentuk simetris. Untuk menguji apakah
sampel penelitian merupakan jenis distribusi normal maka digunakan uji
Kolmogorov smirnov terhadap variabel yang diamati.
Tabel 5.2. Tabel Uji Normalitas
Variabel K-S
Statistik Nilai
Signifikansi Kesimpulan
Jumlah limfosit K1 (Kontrol Hari Ke-3)
0.155 0.126 Data berdistribusi normal
Jumlah limfosit P1 (Perlakuan Hari Ke-3)
0.143 0.200 Data berdistribusi normal
Jumlah limfosit K2 (Kontrol Hari Ke-5)
0.150 0.152 Data berdistribusi normal
Jumlah limfosit P2 (Perlakuan Hari Ke-5)
0.148 0.163 Data berdistribusi normal
Jumlah limfosit K3 (Kontrol Hari Ke-7)
0.115 0.063 Data berdistribusi normal
Jumlah limfosit P3 (Perlakuan Hari Ke-7)
0.170 0.060 Data berdistribusi normal
50
Berdasarkan pengujian normalitas data pada Tabel 5.2 dengan
menggunakan Uji Kolmogorov smirnov, data jumlah limfosit pada hari ketiga,
kelima, dan ketujuh baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan mempunyai
nilai signifikansi yang lebih besar dari alpha 0.05 (p>0.05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa data variabel tersebut menyebar mengikuti sebaran normal.
Dengan demikian dapat dilakukan pengujian dengan uji t maupun ANOVA, karena
asumsi kenormalan distribusi data telah terpenuhi.
b. Homogenitas Ragam Data
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heterogenitas menurut Santoso, S. &
Tjiptono, F (2002:39) dilakukan dengan menggunakan uji kesamaan ragam yaitu
uji Levene (Levene test homogeneity of variances), dengan hasil pengujian
sebagai berikut (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Uji Kesamaan Ragam dengan Uji Levene
Variabel Uji Levene
nilai p
jumlah limfosit 0.062
Oleh karena nilai sign. (p) dari uji levene data jumlah limfosit mempunyai
nilai signifikansi 0.062 menunjukkan lebih besar dari alpha 0.05 (p>0.05), maka
dapat disimpulkan bahwa ragam data jumlah limfosit masih relatif homogen.
Sehingga dapat dilakukan pengujian dengan uji ANOVA pada tahap berikutnya,
karena asumsi homogentitas ragam data telah terpenuhi.
51
5.2.2 Uji One Way ANOVA
Perbandingan jumlah limfosit antara interaksi kelompok kontrol dan
perlakuan dengan lama hari (hari ke ketiga, kelima, dan ketujuh), dianalisis dengan
menggunakan one way ANOVA (Analysis of Variance). Hipotesis ditentukan
melalui H0 diterima bila nilai signifikansi yang diperoleh > alpha 0,05, sedangkan
H0 ditolak bila nilai signifikansi yang diperoleh < alpha 0,05. H0 dari penelitian ini
adalah tidak ada perbedaan rata-rata jumlah limfosit antara interaksi kelompok
kontrol dan perlakuan dengan lama hari (hari ketiga, kelima dan ketujuh). H1 dari
penelitian ini adalah terdapat perbedaan rata-rata jumlah limfosit antara interaksi
kelompok kontrol dan perlakuan dengan lama hari (hari ketiga, kelima, dan
ketujuh). Hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Tabel Hasil Uji ANOVA
Keterangan p-value
jumlah limfosit antara kelompok kontrol dan perlakuan
dengan lama hari (hari ketiga, kelima, dan ketujuh) 0.000
Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 5.4 untuk data jumlah limfosit,
menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0,05), sehingga Ho ditolak, dan
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan jumlah limfosit antara interaksi
kelompok kontrol dan perlakuan dengan lama hari.
5.2.3 Uji Post Hoc LSD
Langkah selanjutnya adalah mengolah data yang ada dengan
menggunakan metode post hoc test sebagai uji pembandingan berganda (multiple
comparisons) dengan uji LSD sebagai salah satu uji pembandingan berganda
dalam ANOVA untuk menguji adanya perbedaan antar perlakuan dalam multiple
52
comparisons. Dengan metode ini akan dilakukan pembandingan yang berganda
terhadap data jumlah limfosit antara interaksi kelompok kontrol dan perlakuan
dengan lama hari (hari ketiga, kelima, dan ketujuh), karena dari hasil uji ANOVA
menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Adapun hasil uji LSD dapat
dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5. Tabel Uji Pembandingan Berganda LSD
Pembandingan antar
Kelompok
Beda rata-
rata Sig. Kesimpulan
Kontrol
(K1)
Perlakuan (P1) -6.160 0.188 Tidak berbeda signifikan
Kontrol (K2) 0.880 0.850 Tidak berbeda signifikan
Perlakuan (P2) -11.040 0.019 Berbeda signifikan
Kontrol (K3) -59.000 0.000 Berbeda signifikan
Perlakuan (P3) -5.320 0.255 Tidak berbeda signifikan
Perlakuan
(P1)
Kontrol (K2) 7.040 0.132 Tidak berbeda signifikan
Perlakuan (P2) -4.880 0.296 Tidak berbeda signifikan
Kontrol (K3) -52.840 0.000 Berbeda signifikan
Perlakuan (P3) 0.840 0.857 Tidak berbeda signifikan
Kontrol
(K2)
Perlakuan (P2) -11.920 0.011 Berbeda signifikan
Kontrol (K3) -59.880 0.000 Berbeda signifikan
Perlakuan (P3) -6.200 0.185 Tidak berbeda signifikan
Perlakuan
(P2)
Kontrol (K3) -47.960 0.000 Berbeda signifikan
Perlakuan (P3) 5.720 0.221 Tidak berbeda signifikan
Kontrol
(K3) Perlakuan (P3) 53.680 0.000 Berbeda signifikan
53
Keterangan:
Jika nilai signifikansi (p) <alpha 0.05= ada perbedaan yang signifikan
Jika nilai signifikansi (p) >alpha 0.05= tidak ada perbedaan yang signifikan
Hasil uji pembandingan berganda (LSD Test) pada setiap perlakuan pada
tabel di atas, menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada kelompok K1 berbeda
signifikan (bermakna) dengan kelompok P2, dan K3 (p<0.05), namun jumlah
limfosit pada kelompok K1 tidak berbeda signifikan (bermakna) dengan kelompok
P1, K2, dan P3.
Perbandingan jumlah limfosit pada kelompok P1 berbeda signifikan
(bermakna) dengan kelompok K3 (p<0.05), namun jumlah limfosit pada kelompok
P1 tidak berbeda signifikan (bermakna) dengan kelompok K1, K2, P2, dan P3.
Perbandingan jumlah limfosit pada kelompok K2 berbeda signifikan
(bermakna) dengan kelompok P2, K1 dan K3 (p<0.05), namun jumlah limfosit pada
kelompok K2 tidak berbeda signifikan (bermakna) dengan kelompok P1, dan P3.
Perbandingan jumlah limfosit pada kelompok P2 berbeda signifikan
(bermakna) dengan kelompok K2, K1 dan K3 (p<0.05), namun jumlah limfosit pada
kelompok P2 tidak berbeda signifikan (bermakna) dengan kelompok P1, dan P3.
Perbandingan jumlah limfosit pada kelompok K3 berbeda signifikan (bermakna)
dengan kelompok K1, K2, P1, dan P2 (p<0.05).
Perbedaan rata-rata jumlah limfosit antara interaksi kelompok kontrol dan
perlakuan dengan lama hari tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.7.
54
Gambar 5.7. Perbandingan jumlah limfosit antara interaksi kelompok
kontrol dan perlakuan dengan lama hari
Plot respon (main effect) pada Gambar 5.7 menunjukkan besarnya
pengaruh interaksi kelompok kontrol dan perlakuan dengan lama hari terhadap
jumlah limfosit. Berdasarkan plot respon tersebut dapat dibentuk urutan jumlah
limfosit dari yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi yang dapat
dilihat pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Tabel Urutan rata-rata jumlah limfosit antara interaksi
kelompok kontrol dan perlakuan dengan lama hari (hari
ketiga, kelima, dan ketujuh)
No Kelompok jumlah limfosit (mean±std.dev.)
1 Kontrol (K2) 4.6±3.23
2 Kontrol (K1) 5.48±3.02
3 Perlakuan (P3) 10.8±9.56
4 Perlakuan (P1) 11.64±8.71
5 Perlakuan (P2) 16.52±8.25
6 Kontrol (K3) 64.48±36.99
Kontrol, Hari ke-3, 5.48
Kontrol, Hari ke-5, 4.6
Kontrol, Hari ke-7, 64.48
Perlakuan, Hari ke-3, 11.64
Perlakuan, Hari ke-5, 16.52 Perlakuan, Hari ke-
7, 10.8
Rat
a-ra
ta J
um
lah
Lim
fosi
t
Kontrol
Perlakuan
55
Kelompok kontrol pada hari ketiga (K1) mempunyai rata-rata jumlah limfosit
yang paling rendah (mean=4.6 satuan) dibandingkan dengan kelompok kontrol
pada hari kelima (K2), sehingga kelompok kontrol pada hari kelima (K2) mampu
menurunkan rata-rata jumlah limfosit yang lebih rendah daripada kelompok kontrol
pada hari ketiga (K1). Tetapi kelompok kontrol pada hari kelima (K2) mampu
menurunkan rata-rata jumlah limfosit yang lebih rendah daripada kelompok
perlakuan pada hari ketujuh (P3). Adapun kelompok perlakuan pada hari ketujuh
(P3) lebih mampu menurunkan rata-rata jumlah limfosit yang lebih rendah
daripada kelompok perlakuan pada hari ketiga (P1). Kelompok perlakuan pada
hari ketiga (P1) lebih mampu menurunkan rata-rata jumlah limfosit yang lebih
rendah daripada kelompok perlakuan pada hari kelima (P2). Sedangkan jumlah
limfosit pada kelompok kontrol pada hari ketujuh (K3) menunjukkan peningkatan
yang paling besar dibandingkan kelompok lainnya.
5.2.4 Uji Korelasi
Untuk mengetahui hubungan antara jumlah limfosit pada hari ketiga, kelima
dan ketujuh dengan pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka
pasca pencabutan gigi tikus wistar, maka dilakukan uji korelasi pearson dapat
dilihat pada tabel 5.7.
Tabel 5.7 Tabel Uji Korelasi
Korelasi (r) Sig. (p)
Hubungan antara jumlah limfosit hari ketiga dengan pemberian lendir bekicot
0.435 0.002
Hubungan antara jumlah limfosit hari kelima dengan pemberian lendir bekicot
0.697 0.000
Hubungan antara jumlah limfosit hari ketujuh dengan pemberian lendir bekicot
-0.712 0.000
56
Berdasarkan hasil uji korelasi pada Tabel 5.7, dapat diketahui bahwa
hubungan antara jumlah limfosit pada hari ketiga dengan pemberian lendir bekicot
pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar mempunyai
koefisien korelasi sebesar 0.435 dengan nilai signifikansi sebesar 0.002 (p<0.05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
jumlah limfosit pada hari ketiga dengan pemberian lendir bekicot pada proses
penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar. Koefisien korelasi bernilai
positif, artinya pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi, dapat meningkatkan jumlah limfosit pada hari ketiga
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi lendir bekicot. Grafik linieritas
dapat dilihat pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8 Grafik Linieritas antara jumlah limfosit hari ke-3 dengan
pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi
1.00 1.25 1.50 1.75 2.00
Kelompok
0.00
10.00
20.00
Ju
mla
h l
imfo
sit
(H
ari
Ke
-3)
57
Berdasarkan grafik linieritas pada gambar 5.8 menunjukkan garis menuju
ke kanan atas, yang dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara jumlah limfosit pada hari ketiga dengan pemberian lendir bekicot pada
proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar. Koefisien korelasi
bernilai positif, artinya pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka
pasca pencabutan gigi, dapat meningkatkan jumlah limfosit pada hari ketiga
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi lendir bekicot.
Hubungan antara jumlah limfosit pada hari kelima dengan pemberian lendir
bekicot pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar
mempunyai koefisien korelasi sebesar 0.697 dengan nilai signifikansi sebesar
0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jumlah limfosit pada hari kelima dengan pemberian lendir bekicot
pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar. Koefisien
korelasi bernilai positif, artinya pemberian lendir bekicot pada proses
penyembuhan luka pasca pencabutan gigi, dapat meningkatkan jumlah limfosit
pada hari kelima dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi lendir bekicot.
Grafik linieritas dapat dilihat pada Gambar 5.9.
58
Gambar 5.9 Grafik Linieritas antara jumlah limfosit hari ke-5 dengan
pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi
Berdasarkan grafik linieritas pada gambar 5.9 menunjukkan garis menuju
ke kanan atas, yang dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara jumlah limfosit pada hari kelima dengan pemberian lendir bekicot pada
proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar. Koefisien korelasi
bernilai positif, artinya pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka
pasca pencabutan gigi, dapat meningkatkan jumlah limfosit pada hari kelima
dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi lendir bekicot.
Hubungan antara jumlah limfosit pada hari ketujuh dengan pemberian
lendir bekicot pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar
mempunyai koefisien korelasi sebesar -0.712 dengan nilai signifikansi sebesar
0.000 (p<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara jumlah limfosit pada hari ketujuh dengan pemberian lendir bekicot
1.00 1.25 1.50 1.75 2.00
Kelompok
0.00
10.00
20.00
30.00
Ju
mla
h l
imfo
sit
(H
ari
Ke
-5)
59
pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar. Koefisien
korelasi bernilai negatif, artinya pemberian lendir bekicot pada proses
penyembuhan luka pasca pencabutan gigi, dapat menurunkan jumlah limfosit
pada hari ketujuh yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak
diberi lendir bekicot. Grafik linieritas dapat dilihat pada Gambar 5.10.
Gambar 5.10 Grafik Linieritas antara jumlah limfosit hari ke-7 dengan
pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka pasca
pencabutan gigi
Berdasarkan grafik linieritas pada gambar 5.10 menunjukkan garis menuju
ke kanan bawah, yang dapat diartikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara jumlah limfosit pada hari ketujuh dengan pemberian lendir bekicot pada
proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi tikus wistar. Koefisien korelasi
bernilai negatif, artinya pemberian lendir bekicot pada proses penyembuhan luka
pasca pencabutan gigi, dapat menurunkan jumlah limfosit pada hari ketujuh yang
lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi lendir bekicot.
1.00 1.25 1.50 1.75 2.00
Kelompok
0.00
40.00
80.00
120.00
Ju
mla
h l
imfo
sit
(H
ari
Ke
-7)
60
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui jumlah limfosit
secara time series pada hari ketiga, kelima, dan ketujuh pada proses
menggunakan hewan coba tikus wistar jantan sebanyak 30 ekor tikus yang dibagi
ke dalam 2 kelompok besar yaitu kelompok kontrol (K) dan kelompok perlakuan
(P), kelompok kontrol merupakan kelompok hewan coba yang tidak diberikan
perlakuan setelah pencabutan gigi. Kelompok perlakuan adalah kelompok hewan
coba yang diberikan perlakuan berupa lendir bekicot yang diberikan sebanyak 1cc
setiap harinya setelah dilakukan pencabutan gigi. Setiap kelompok besar dibagi
menjadi 3 kelompok kecil berdasarkan hari determinasi yaitu K1/P1 yang
dideeterminasi pada hari ketiga pasca pencabutan gigi, K2/P2 yang dideterminasi
pada hari kelima pasca pencabutan gigi, dan K3/P3 yang dideterminasi pada hari
ketujuh pasca pencabutan gigi.
Soket gigi diperoleh dengan melakukan pencabutan gigi insisivus kiri
rahang bawah tikus wistar. Tikus dideterminasi dan diambil rahang bawahnya
untuk dibuatkan preparat. Setelah itu, dilakukan perhitungan jumlah limfosit pada
tiap preparat dan didapatkan limfosit muncul pada hari ketiga dan mengalami
peningkatan jumlah limfosit pada hari kelima dan terjadinya penurunan jumlah
limfosit pada hari ketujuh.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kelompok kontrol memiliki jumlah
limfosit lebih sedikit dibandingkan kelompok perlakuan pada hari ketiga dan kelima
pasca pencabutan. Sedangkan kelompok kontrol hari ketujuh kelompok kontrol
61
memiliki jumlah limfosit yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok
perlakuan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Olcyzk
(2015) yang menyatakan bahwa lendir bekicot terdapat glikosaminoglikan yang
mengandung heparan sulfat yang berfungsi untuk merekrut sel radang
diantaranya makrofag dan leukosit. Heparan sulfat memiliki peran yang signifikan
dalam meregulasi interaksi antar-sel dan antara sel dengan ECM. Heparan sulfat
juga menstimulasi adhesi dari sel terhadap ECM dengan pengikatan sel pada
matriks makromolekul seperti misalnya fibronektin atau laminin. Dengan adanya
heparan sulfat sebagai reseptor dari banyak extracellular ligands, faktor-faktor
pertumbuhan, dan kemokin maka dapat meregulasi proliferasi sel, diferensiasi,
angiogenesis, serta proses migrasi sel-sel leukosit (Olcyzk, 2015).
Selain itu, menurut Parish (2006), HSPG dari heparan sulfat
memungkinkan heparan sulfat untuk berinteraksi dengan berbagai protein
fungsional yang beragam, seperti faktor pertumbuhan, sitokin, kemokin, protease,
lipase, dan molekul adhesi sel. Selain itu, adanya ekspresi HSPG berupa
syndecan-1, -2, 4 serta glypican-1-6 pada permukaan sel menunjukan adanya
peningkatan proliferasi dan/atau aktivasi sel T. (Parish, 2006)
Pada proses penyembuhan luka, pertama diawali dengan fase inflamasi
dimana limfosit mulai tampak dan menginfiltrasi daerah perlukaan bersamaan
dengan netrofil dan makrofag (Johan et al., 2012). Kemudian limfosit mengalami
peningkatan pada area perlukaan pada hari kelima atau pada fase proliferasi
(Sabine et al., 2012).
Penurunan limfosit pada hari ketujuh pada kelompok perlakuan sesuai
dengan pernyataan Cookbill (2002), bahwa pada proses penyembuhan luka
jumlah limfosit yang ada akan mengalami penurunan. Hal tersebut diduga karena
sel radang yang ada termasuk limfosit akan mengalami apoptosis dikarenakan
62
tugasnya sebagai agen fagositosis tergantikan oleh adanya fibroblast yang
membentuk jaringan baru (regenerasi) (Setianingtyas, 2012). Selain itu penurunan
jumlah sel radang termasuk limfosit dan makrofag, menandakan bahwa proses
penyembuhan telah masuk ke tahap selanjutnya sehingga proses inflamasi lebih
singkat dan proses penyembuhan luka lebih cepat (Pratiwi, 2011).
Jumlah limfosit yang tinggi pada kelompok kontrol sesuai dengan
pernyataan Johan et al. (2012) dan Sabine et al. (2007) bahwa jumlah sel limfosit
memuncak pada akhir fase proliferasi atau awal fase remodeling. Limfosit T
berperan dalam mengontrol proliferasi dan merupakan subset leukosit yang paling
sering ditemukan pada perlukaan pada kulit manusia sebagai sel-sel imun adaptif.
Sel ini banyak ditemukan selama fase remodeling jaringan, saat penutupan luka
telah selesai dan infeksi lokal telah teratasi (Johan et al., 2012; Sabine et al., 2007).
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dikatakan bahwa lendir bekicot
berpengaruh terhadap jumlah limfosit pada proses penyembuhan luka soket gigi
pasca pencabutan gigi tikus wistar dengan adanya perbedaan jumlah limfosit pada
hari ketiga, kelima, dan ketujuhs pada kelompok tikus yang tidak diberi perlakuan
dan diberi perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian yang telah
disusun dapat diterima.
63
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Pemberian lendir bekicot berpengaruh terhadap jumlah limfosit pada
proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan gigi tikus
wistar.
2. Proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan gigi tikus
wistar yang tidak diberi perlakuan memiliki rerata jumlah limfosit pada
hari ketiga sebanyak 5,48 perlapang pandang, pada hari kelima
sebanyak 4,60 perlapang pandang, pada hari ketujuh sebanyak 64,48
perlapang pandang.
3. Proses penyembuhan luka soket gigi pasca pencabutan gigi tikus
wistar yang diberi perlakuan berupa lendir bekicot sebanyak 2 tetes
setiap harinya memiliki rerata jumlah limfosit pada hari ketiga sebanyak
11,64 perlapang pandang, pada hari kelima sebanyak 16,52 perlapang
pandang, dan pada hari ketujuh sebanyak 10,80 perlapang pandang.
4. Lendir bekicot memiliki pengaruh terhadap proses penyembuhan luka
soket gigi pasca pencabutan gigi tikus wistar yang dapat diamati dari
perbedaan jumlah limfosit. Pada kelompok kontrol, limfosit mulai
muncul pada hari ketiga kemudian mengalami sedikit penurunan
jumlah pada hari kelima, dan mengalami peningkatan pada hari
ketujuh. Pada kelompok perlakuan, limfosit mulai muncul pada hari
ketiga dengan jumlah yang lebih banyak dari kelompok kontrol,
64
kemudian mengalami peningkatan pada hari kelima, dan penurunan
pada hari ketujuh.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini maka diperlukan
penelitian yang lebih lanjut sebagai berikut:
1. Menambahkan hari pada time series, yaitu pada hari pertama pasca
pencabutan gigi.
2. Diperlukan sediaan lain (tidak berupa lendir murni) untuk pendekatan
aplikasi pada pengobatan manusia.
65
DAFTAR PUSTAKA
Adiyati, P. N. 2011. Ragam Jenis Ektoparasit pada Hewan Coba Tikus Putih. (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Ajoy Kumar Ghosh et al. 2002. Inhibition by Acharan Sulphate of Angiogenesis in Experimental Inflammation Models. British Journal of Pharmacology, 137, 441-448
Alexandru, Iliuta. 2011. Experimental Use of Animals in Research Spa. Balneo–Research Journal, 2, 65-69
Anwari, J. S., S., Iqbal. 2003. Antihistamines and Potentiation of Opoid Induced Sedation and Respiratory Depression. Journal of the Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, 58, 409-514.
Bappenas. (2000). Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan. Jakarta: Kantor Deput Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Barbul A, Lazarou SA, Efron DT, Wasserkrug HL, Efron G. 1990. Arginine Enhances Wound Healing and Lymphocyte Immune Responses in Humans.
Boyce DE, Jones WD, Ruge F. 2000 The Role of Lymphocytes in Human Dermal Wound Healing. Aidline national library or medicine. Jul; 143 (1): 59-65.
Christal G. Oroh, Damajanty H. C. Pangemanan, Christy N. Mintjelungan. 2015. Efektivitas Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Terhadap Jumlah Sel Fibroblas Pada Luka Pasca Pencabutan Gigi Tikus Wistar. Jurnal e-Gigi, 3, 2, 515-520
Cooling, V. (2005). Risk Assessment of the Giant African Snail (Achatina fulica) Bowdich in New Zealand. LPSC 7700 Integrative Report. New Zealand.
Dajan, A. 1995. Pengantar Metode Statistik. Jilid I. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Dewi, SP. 2010. Perbedaan Efek Pemberian Lendir Bekicot (Achatina fulica) dan Gel Bioplacenton terhadap Penyembuhan Luka Bersih pada Tikus Putih. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
66
Dorland. 1996. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. Disadur Tim Penerjemah
Eroschenko, Victor P. 2008. diFiore's Atlas of Histology with Functional Correlations, Eleventh Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Ganong, William F. 2003. Review of Medical Physiology 21st Edition. San Francisco: Lange Medical Publications.
Fitriani, Delvi. 2010. Secretory Leukoprotease Inhibitor Sebagai Kandidat Biomaterial Untuk Mencegah Resorbsi Kresta Alveolar Pasca Ekstraksi Gigi Pada Tikus Wistar. Thesis.Tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang.
Federer WT. 1963. Experimental Design. Nueva York: MacMillan.
Hammersen, F.M.D. 1993. “Histologie, Atlas der Mikroskopischen Anatomie”. Disadur Adrianto, P. Histologi Atlas Berwarna Anatomi Mikroskopik: Edisi Ketiga. Jakarta: EGC.
Harty, F.J dan R. Ongston. 1995. Concise Illustrated Dental Dictionary (1995). Disadur Sumawinata, N. Kamus Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
Howe, Geoffrey L. 1999. Pencabutan Gigi Geligi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hupp, Edward. 2008. Essentials of Pathology for Dentistry. New York: Harcourt Publishers.
Johan van Neck, Bastiaan Tuk, Dennis B., Miao T. 2012. Heparan Sulfate Proteoglycan Mimetics Promote Tissue Regeneration: An Overview. Rotterdam: Departement of Plastic and Reconstructive Surgery University Medical Center
Lawler, W; Ahmed, A dan Hume, J. 2002. Essential Pathology for Dental Student. Disadur Djaya, A. Buku Pintar Patologi Untuk Kedokteran Gigi. Jakarta: EGC.
Muhartono, Hendra Tarigan Sibero, Bayu Putra D. 2014. Snail’s Slime as Alternative Hydrogel for Healing Burns Wound on Rats (Rattus norvegicus) Sprague Dawley Strain. Jurnal Kesehatan Unila, 4, 8, 144-150
67
Neehall, C. (2004). The Giant African Snail (Achatina fulica). Research divisio MALMR Trinidad and Tobago.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakata: Rineka Cipta
Olczyck, Pawel., Mencner, Lukasz., Komosinska-Vassev, Katarzyna. 2015. Diverse Roles of Heparan Sulfate and Heparin in Wound Repair. Hindawi Publishing Corporation BioMed Research International, 2015, 549147, 1-7.
Parish, Christopher R. 2006. The Role of Heparan Sulphate in Inflammation. Division of Immunology and Genetics, John Curtin School of Medical Research, Australian National University. Australia: Nature Publishing Group.
Parveen, Deng, Saeed, Dai, Ahamad & Yu. 2007. Antiinflamatory and Analgesic Activities of Thesium Chinense Turez Extracts and Its Mayor Flavonoids, Kaempferol and Kaempferol 3-O-Glucoside. Yakugaku Zasshi 127 (8).
Peterson, Larry. 2012. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery 3rd Edition. New York: Elsevier.
Prasad, G. S., Singh, D. R., Senani, S., & Medhi, R. (2004). Ecofriendly way to keep away pestiferous Giant African Snail, Achatina fulica Bowdich from nursery. Current Science 87, 1657-1659.S. Dwi Sulistyowati, Meri Oktariani. 2015. Perbandingan Efektivitas Lendir Bekicot (Achatina fulica) dengan Kitosan Terhadap Penyembuhan Luka. Jurnal Kesmadaska, 104-110
Pratiwi, M. 2011. Efek Ekstrak Lerak (Sapindus rarak DC) Terhadap Penurunan Sel-Sel Radang Pada Tikus Wistar Jantan (Penelitian In Vivo). Paper Fakultas Kedokteran Universitan Sumatera Utara.
Purnasari PW, Fatmawati D, Yusuf I. Pengaruh Lendir Bekicot (Achatina fulica) terhadap Jumlah Sel Fibroblas pada Penyembuhan Luka Sayat. Sains Medika; 2012;4(2):195-203
Rajavel, Sivakumar, Jagadeeswaran & Malliaga. 2007. Evaluation of Analgesic and Antiinflammatory Activities of Oscillatoria Willei in Experimental Animal Models. Journal of medicinal plant research vol3 (7).
Reinke, J. M., Sorg, H. 2012. Wound Repair and Regeneration. European Surgical Research, 49, 35-43
68
Robbins, S. RS. dan Kumar, V. 2007. Basic Pathology. Disadur Staf Pengajar Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Buku Ajar Patologi: Edisi 7. Jakarta: EGC.
Ross, M. H. dan Edward, J. R. 1985. Histology: A Text and Atlas. New York: J.B Lippincot Company.
Sabine A. Eming, Thomas Krieg, Jeffrey M. Davidson. 2007. Inflammation in Wound Repair: Molecular and Celullar Mechanism. Journal of Investigative Dermatology, 2007, 127, 514-525
Santoso, S. 2004. Buku Statistik Multivariat. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Santoso, S. & Tjiptono, F, 2002, Riset Pemasaran Konsep&Aplikasi Dengan SPSS, Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo
Saraf, Sanjay. 2006. Text Book of Oral Pathology: First Edition. New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher Ltd.
Setianingtyas Dwi. 2012. Pengaruh Pemberian Ekstrak Ganggang Coklat (Phaeophyceae) Jenis Sargasum sp. Terhadap Jumlah Limfosit Pada Ulkus Traumatikus. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah Surabaya.
Subowo. 2006. Bahan Ajar Histologi FKG Unpad: Histologi Darah. Sumedang: Departemen Histologi FKG Unpad.
Sirois. 2005. Laboratory Animal Medicine: Principles and Procedures. USA: Elsevier.
Tjokronegoro A, Utama. 2004. Metodologi Penelitian Bidang Kedokteran Cetakan III. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Turgeon, D. D., Bogan, A. E., Coan, E. V., Emerson, W. K., Lyons, W. G., & Pratt, W. (2015, November 29). Achatina Fulica. Retrieved November 30, 2015, from IT IS Report: http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&sear ch_value=76978