PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI SKRIPSI Oleh: ROFIQOH FAJARWATI 135100101111016 JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017
85
Embed
PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT ...repository.ub.ac.id/3467/1/Rofiqoh Fajarwati.pdfGambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent 33 Gambar 3.5 Diagram Alir In Vivo
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA
DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI
KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI
SKRIPSI
Oleh:
ROFIQOH FAJARWATI
135100101111016
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PENGARUH KONSUMSI EFFERVESCENT PEKTIN KULIT PISANG, MANGGA
DAN DAUN MINT PADA FREKUENSI DEFEKASI DAN HISTOPATOLOGI
KOLON TIKUS WISTAR KONSTIPASI
Oleh:
ROFIQOH FAJARWATI
135100101111016
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Teknologi Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan
Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi
Nama : Rofiqoh Fajarwati
NIM : 135100101111016
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Dosen Pembimbing I,
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes. NIP 19610818 198703 2 001
Tanggal persetujuan:
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes. NIP 19610818 198703 2 001
Ketua Jurusan,
Prof. Dr. Teti Estiasih, STP, MP. NIP 19701226 200212 2 001
Tanggal lulus TA:
iii
RIWAYAT HIDUP
Rofiqoh Fajarwati dilahirkan di Pasuruan pada tanggal
25 Desember 1994, yang merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara dari pasangan Bapak Nuryasin dan Ibu Roidah.
Penulis dibesarkan di Sampang, Madura. Tahun 2001-2007
penulis mendapatkan pendidikan dasar di SDN
Gunongsekar 1 Sampang, lalu melanjutkan pendidikan
menengah pertama di SMPN 1 Sampang dan lulus pada
tahun 2010. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN
1 Sampang selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2013. Selanjutnya penulis
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Universitas Brawijaya, Fakultas
Teknologi Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Pada masa pendidikannya, penulis aktif sebagai Asisten Praktikum
Penyuluhan dan Promosi Gizi Pangan serta mengikuti kegiatan kepanitiaan yaitu
sebagai anggota Divisi Pendamping dalam OPJH 2014. Penulis menyelesaikan
pendidikannya pada tahun 2017 dan mendapatkan gelar Sarjana Teknologi
Pertanian di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Alhamdulillah Ya Allah…
Tak lupa ku mengucapkan rasa syukur ku padaMu
atas segala Rahmat yang ku terima.
Terima kasih ku ucapkan pada Ibu dan Bapakku serta kedua adikku
yang telah memberikan dukungan dan semangat padaku
untuk dapat menyelesaikan masa pendidikan ini dan meraih cita-citaku.
Terima kasih pula ku sampaikan pada guru dan teman-temanku
yang telah memberikan banyak pelajaran dalam hidup ini sehingga aku dapat
menjalankan kehidupan dengan mengerti arti kebersamaan.
Ku persembahkan karya kecil ini pada kalian yang ku sayangi.
v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama Mahasiswa : Rofiqoh Fajarwati
NIM : 135100101111016
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang,
Mangga, dan Daun Mint Pada Frekuensi Defekasi dan
Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis serta Dr. Ir. Tri
Dewanti Widyaningsih, M. Kes., selaku dosen pembimbing. Apabila di kemudian
hari terbukti pernyataan ini tidak benar, saya bersedia dituntut sesuai hukum
yang berlaku.
Malang, Agustus 2017
Pembuat Pernyataan,
Rofiqoh Fajarwati NIM 135100101111016
vi
Rofiqoh Fajarwati. 135100101111016. Pengaruh Konsumsi Effervescent Pektin Kulit Pisang, Mangga, dan Daun Mint pada Frekuensi Defekasi dan Histopatologi Kolon Tikus Wistar Konstipasi. Skripsi. Pembimbing: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes
RINGKASAN
Salah satu penyebab konstipasi adalah kurangnya asupan serat. Di samping
itu, diperlukan penanganan untuk memanfaatkan limbah kulit pisang yang mengandung senyawa pektin. Mangga memiliki kandungan serat pangan yang tinggi, sedangkan daun mint dapat memberikan efek dingin. Minuman serat dalam bentuk serbuk effervescent dapat menjadi solusi masalah konstipasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui formula, pengaruh dan dosis konsumsi serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar ditinjau dari frekuensi defekasi dan histopatologi kolon.
Penelitian ini dilakukan dengan tiga tahap. Tahap pertama yaitu ekstraksi pektin kulit pisang. Kemudian tahap kedua yaitu formulasi serbuk effervescent dengan tiga bahan baku yaitu pektin kulit pisang, mangga dan daun mint menggunakan Response Surface Methodology (RSM) rancangan Central Composite Design (CCD) untuk mendapatkan kadar serat pangan optimum. Selanjutnya formula yang didapatkan diolah menjadi serbuk effervescent. Tahap ketiga yaitu uji in vivo serbuk effervescent pada tikus wistar konstipasi menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 kelompok perlakuan. Jumlah tikus wistar yang digunakan adalah 30 ekor. Data dianalisis ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan uji BNT 5%.
Formula dengan kadar serat pangan optimum ada pada proporsi bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing 40%:30%:25%. Karakteristik serbuk effervescent yang dihasilkan adalah sebagai berikut: kadar air 6,46%; kecepatan alir 11,73 g/detik; sudut diam 67,44o; waktu larut 105 detik; rehidrasi 9,04%; dan intensitas warna masing-masing L* 48,0; a* -0,06; b* 11,6. Setelah dilakukan uji in vivo diketahui bahwa perlakuan konsumsi serbuk effervescent memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah konsumsi pakan, volume minum, frekuensi defekasi (α=0,05) dan berpengaruh pada gambaran histopatologi kolon tikus. Kata kunci: Effervescent, Konstipasi, Serat Pangan
vii
Rofiqoh Fajarwati. 135100101111016. Effect Consumption of Effervescent Banana Peels Pectin, Mango and Mint Leaves on Frequency of Defecation and Histopathology of Colon Constipated Wistar Rats. Essay.
Supervisor: Dr. Ir. Tri Dewanti Widyaningsih, M. Kes
SUMMARY
One of the causes of constipation is lack of fiber intake. In addition, handling
is required to utilize banana peel waste containing pectin compounds. Mango has a high content of dietary fiber, while mint leaves can provide a cool effect. Beverage fiber in the form of effervescent powder can be a constipation problem solution. The purpose of this research is to know the best formulation, the influence and dose of effervescent pectin of banana peel, mango and mint leaves to decrease constipation symptoms in wistar rats in terms of frequency of defecation and histopathology of colon.
This research was conducted in three stages. The first stage is banana peel pectin extraction. Then the second stage is effervescent powder formulation with three raw materials of banana peel pectin, mango and mint leaves using Central Composite Design (CCD) on Response Surface Method (RSM) to get optimum fiber content. Furthermore, the formula obtained is processed into effervescent powder. The third stage is in vivo test of powder effervescent intake in constipation wistar rats using Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatment groups. The number of wistar rats used was 30 tails. Data analysis of variance (ANOVA) then continued with 5% Least Significant Difference (LSD) test.
The formula with optimum fiber content is in the proportion of pectin powder: mango powder: mint leaf powder respectively 40%: 30%: 25%. Characteristics of effervescent powder produced are 6.46% moisture content; flow rate 11.73 g / sec; angle of repose 67.44o; 105 sec soluble time; rehydration 9.04%; and the color intensity of each L* 48.0; a* -0.06; b* 11.6. After being tested in vivo in mind that treatment effervescent powder consumption provides significant effect on the amount of feed intake, drinking volume, frequency of defecation (α = 0.05) and the effect on rat colonic histopathology picture.
Pisang Agung Semeru merupakan pisang yang tumbuh di lereng Gunung
Semeru, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Pisang ini mempunyai rasa khas
dengan ukuran yang besar dan panjang serta memiliki daya tahan cukup lama
yaitu satu bulan dalam suhu kamar (Arifin dkk., 2015). Pisang Agung Semeru
memiliki nama latin Musa paradisiaca formatypica. Berdasarkan habitat
tumbuhnya, pisang ini dapat tumbuh mulai dari dataran rendah sampai pada
ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut dengan pH tanah antara 4,5-7,5.
Tanaman pisang mempunyai perakaran yang dangkal, menyebar di bawah
permukaan tanah dan menghendaki tanah yang menganding banyak bahan
organik (Kusumo dan Bahar, 1994). Kenampakan Pisang Agung Semeru dapat
dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Pisang Agung Semeru (Riyan, 2011)
Pisang Agung Semeru termasuk golongan pisang yang buahnya harus
dimasak terlebih dahulu, termasuk jenis yang ditanam secara komersial, daging
buah berwarna krem oranye, memiliki tekstur padat hingga lunak, mengandung
pati tinggi, tahan lama, satu tandan berisi dua sisir (Ashari, 2006). Berikut adalah
karakteristik buah pisang Agung Semeru yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
6
Tabel 2.1 Karakteristik Buah Pisang Agung Semeru
Parameter Karakteristik
Produksi (kg/tandan) 10-15 Jumlah sisir per tandan 1-2 Jumlah jari buah per sisir 10-18 Bobot per jari buah (g) 500-650 Bentuk buah Silindris-lurus Panjang jari buah (cm) 33-36 Lingkar jari buah (cm) 19 Warna daging buah mentah Kuning agak kemerahan Warna daging buah matang Kuning Bentuk penampang irisan buah Bulat Matang optimum (hari) 9 Masa simpan (hari) 21-30 Rasa buah (matang optimum) Asam sedikit manis Aroma Tidak beraroma
Sumber: Prahardini dkk (2010)
Keunggulan varietas Pisang Agung Semeru ini adalah kulit buah yang tebal
sehingga tahan disimpan 3-4 minggu setelah dipetik dan rasa buah manis.
Walaupun kulit buah sudah kehitaman tetapi daging buah tetap enak karena
tidak lunak. Dalam kondisi mentah, buah digunakan sebagai bahan baku industri
keripik, baik skala rumah tangga maupun skala menengah. Masa simpan buah
yang lama merupakan keuntungan tersendiri, sehingga buah masak dapat
dimanfaatkan sebagai bahan olahan lain seperti dodol, getuk, dan sale pisang.
Keunggulan lainnya adalah lebih tahan terhadap penyakit bercak daun
dibandingkan dengan kultivar pisang olahan lain. Buah pisang Agung Semeru
memiliki kandungan gula 9,88%; kandungan vitamin C 6,51 mg/100 g bahan dan
total asam 0,515% (Prahardini dkk., 2010).
7
2.2 Kulit Pisang
Kulit pisang adalah bagian terluar dari buah pisang yang menutupi daging
buah dari kondisi di luar buah pisang. Pemanfaatan buah pisang yang besar
untuk berbagai jenis makanan, akan menghasilkan limbah berupa kulit pisang.
Bobot kulit pisang mencapai 40% dari buahnya. Dengan demikian kulit pisang
menghasilkan limbah dengan jumlah yang banyak (Hanum dkk., 2012).
Kenampakan kulit pisang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Kulit Pisang (Rahmadianti, 2014)
Pada umumnya kulit pisang belum dimanfaatkan secara nyata, hanya
dibuang sebagai limbah organik saja atau digunakan sebagai makanan ternak
seperti kambing, sapi, dan kerbau. Jumlah kulit pisang yang cukup banyak akan
memiliki nilai jual yang menguntungkan apabila bisa dimanfaatkan sebagai
bahan baku makanan (Susanti, 2006). Kulit pisang bisa dimanfaatkan karena
kulit pisang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi (Anhwange dkk., 2009). Kulit
pisang adalah bahan yang kaya akan amilum juga mengandung protein, vitamin,
serat dan beberapa zat gizi penting lainnya (Johari dan Rahmawati, 2006).
Tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula
pereduksi, sukrosa, pati, protein kasar, pektin, protopektin, lemak kasar, serat
kasar, dan abu. Sedangkan di dalam kulit pisang terkandung senyawa pektin
yang cukup besar (Satria dan Ahda, 2009). Kandungan pektin dalam tanaman
sangat bervariasi baik berdasarkan jenis tanamannya maupun dari bagian
jaringannya. Kandungan pektin pada kulit pisang adalah 3,53-5,35%, sedangkan
pada buah pisang sekitar 0,93%. Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan
asam pektat di dalam buah sangat bervariasi dan tergantung pada derajat
kematangan buah (Winarno, 1992 dalam Erawati, 2009).
8
2.3 Pektin
Pektin adalah polisakarida kompleks bersifat asam yang terdapat dalam
jumlah bervariasi, terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman. Umumnya
pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di sela-sela antara
selulosa dan hemiselulosa. Pektin juga berfungsi sebagai bahan perekat antara
dinding sel yang satu dengan yang lainnya. Substansi pektin tersusun dari asam
poligalakturonat, dimana gugus karboksil dari unit asam poligalakturonat dapat
teresterifikasi sebagian dengan metanol (Hasbullah, 2001 dalam Hanum dkk.,
2012).
Komposisi utama pektin adalah unit-unit asam D-Galakturonik (GalA) yang
membentuk rantai ikatan α-(1,4) glikosidik. Asam uronik ini mempunyai kelompok
gugus karboksil yaitu metal ester dan gugus lainnya yang apabila direaksikan
dengan ammonia akan menghasilkan gugus karboksiamida. Pada pektin,
terdapat ratusan hingga ribuan sakarida dengan bentuk konfigurasi rantai dan
berat molekulnya sekitar lima puluh ribu Dalton (Srivastava dan Malviya, 2011).
Struktur kimia pektin atau asam pektinat dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Struktur Kimia Pektin (Hanum dkk., 2012)
Wujud pektin yang diekstrak adalah bubuk berwarna putih hingga coklat
terang. Pektin merupakan bagian diet dari manusia, yaitu serat yang larut dalam
air. Pada umumnya, setiap orang mengonsumsi 5 g pektin setiap harinya dari
buah dan sayur yang dimakan sebanyak 500 g. Pada usus besar, pektin akan
diubah menjadi rantai asam lemak sehingga bermanfaat bagi kesehatan saluran
pencernaan (Srivastava dan Malviya, 2011). Pektin merupakan polisakarida yang
diperoleh dari buah-buahan dan biasanya digunakan dalam pembuatan jeli serta
sebagai bahan tambahan untuk pengental dalam makanan (Ranganna, 2000).
9
Ditinjau dari sifat fisikanya, pektin dapat bersifat koloid reversibel, yaitu dapat
dilarutkan dalam air, diendapkan, dikeringkan dan dilarutkan kembali tanpa
adanya perubahan sifat fisik. Penambahan air pada pektin kering akan
membentuk gumpalan seperti pasta yang kemudian menjadi larutan. Ekstraksi
pektin secara kimia dapat dilakukan dengan cara mengekstraksi dari berbagai
kulit buah-buahan segar dengan pemanasan pada suhu 90-95°C selama satu
jam dalam asam encer pada pH 4,5 menggunakan asam yang sesuai seperti
asam klorida. Pektin dalam filtrat diendapkan dengan menggunakan etanol 96%
(Ranganna, 2000). Pektin yang lebih mudah larut dalam air dapat diperoleh
dengan memodifikasi pH dan suhu pada metode ekstraksi. Pektin yang diperoleh
dengan cara ini memiliki rantai yang lebih pendek dan tidak bercabang sehingga
akan lebih mudah larut dibandingkan dengan pektin yang memiliki rantai lebih
panjang (Wong dkk.,2008). Beberapa bentuk senyawa pektin sebagai berikut
(Hanum dkk., 2012).
1. Asam Pektat
Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan
pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester.
2. Asam Pektinat
Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan
mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan
kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda.
3. Protopektin
Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat
dalam tanaman, dan jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan
asam pektinat.
Pektin digunakan dalam bidang industri makanan dan dalam bidang farmasi.
Dalam bidang makanan, pektin digunakan sebagai bahan pembentuk gel untuk
pembuatan selai dan jeli. Kemampuan pektin dalam membentuk gel tergantung
pada kandungan gugus metoksilnya. Kemampuan pektin untuk dapat
membentuk gel merupakan sifat yang unik dari pektin. Penggunaan pektin selain
dari pembentuk gel, juga digunakan dalam produk buah-buahan kemasan, jus
dan es krim sebagai penstabil (Ranganna, 2000).
10
2.4 Mangga Podang
Mangga podang merupakan salah satu produk buah unggulan lokal dari
Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Mangga ini dibudidayakan sejak puluhan tahun
yang lalu, umumnya di wilayah kering mulai dari dataran rendah hingga dataran
tinggi (Saraswati dkk., 2001). Untuk mengatasi lonjakan produksi berlimpah pada
saat panen raya dan sifat mudah rusak, maka dapat dilakukan pengolahan
mangga podang menjadi berbagai jenis olahan. Mangga podang mempunyai ciri
khas warna yang kuning kemerahan, bentuk buah lonjong, tekstur sedang dan
mengandung cukup banyak air, serta rasa manis segar (Istichomah, 2013).
Karakteristik mangga yang mudah rusak ini dikarenakan buah mudah sekali
mengalami perubahan fisiologis, kimia dan fisik jika tidak ditangani secara tepat.
Mutu buah akan turun drastis dan tingkat kesegaran pun menurun dalam waktu
singkat (Satuhu, 1996 dalam Rachmawaty, 2013). Kenampakan buah mangga
podang dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Buah Mangga Podang (Amaliawati, 2012)
Di India, mangga yang masih hijau digunakan sebagai obat gangguan darah,
empedu, dan saluran pencernaan. Mengkonsumsi buah mangga muda secara
teratur mempunyai daya penyembuh gangguan darah, karena menambah
kelenturan pembuluh darah, membantu pembentukan sel-sel baru, mencegah
pendarahan, dan menyembuhkan sariawan. Selain itu buah mangga muda dapat
berkhasiat untuk mengatasi diare, disentri, wasir dan sembelit (Rukmana, 1997
dalam Pasaribu, 2011). Buah mangga podang memiliki kandungan serat yang
baik yaitu 7 g setiap buahnya. Diperkirakan mangga podang mampu menjaga
pencernaan dan kolesterol dalam kondisi normal (Wasono, 2011).
11
2.5 Tanaman Mint
Tanaman mint ditanam dan tumbuh liar di India dan Asia Tenggara, termasuk
Indonesia. Genus Mentha termasuk dalam famili Lamiaceae yang dikenal
sebagai penghasil minyak mint. Genus Mentha di Indonesia terdapat 2 jenis
spesies yaitu Mentha arvensis dan Mentha piperita. M. arvensis adalah jenis
Mentha sp. yang paling besar permintaannya untuk industri di Indonesia. Genus
M. arvensis juga memiliki potensi untuk dikembangkan dan dibudidayakan
dengan baik di Indonesia dibandingkan jenis Mentha yang lain (Toepak dkk.,
2013). Di Indonesia, tanaman ini tumbuh liar dan berada di tempat lembab, dapat
ditemukan pada ketinggian 150-1.200 m di atas permukaan laut (Sari, 2016).
Pada daun mint terdapat senyawa mentol dalam jumlah besar sehingga
menimbulkan efek rasa dingin pada makanan maupun minuman, namun daun
mint juga menimbulkan rasa pedas apabila penggunaannya berlebihan
(Testiningsih, 2015). Kenampakan daun mint segar dapat dilihat pada Gambar
2.5.
Gambar 2.5 Daun Mint Segar (Setyanti, 2014)
Gilbert (2005) menyatakan bahwa karakteristik sensoris tanaman mint
memiliki bau yang murni dan segar, agak pedas dan terasa membakar.
Komposisi utama minyak essensial dalam daun mint adalah minyak peppermint
dimana 50%-nya tersusun atas mentol, menton, metil ester dan turunan
monoterpena (pulegone, piperiton, menthofuran). Mentol dan metil asetat
berperan membentuk rasa pedas dan bau yang segar. Berdasarkan USDA
National Nutrient Database (2016), daun mint segar mengandung 8 g per 100 g
serat pangan. Tanaman mint popular karena unik dan bermanfaat bagi
kesehatan manusia seperti membantu masalah pencernaan dan demam, serta
memberikan aroma pada makanan (Villasenor dkk., 2002).
12
2.6 Serbuk Effervescent
Serbuk effervescent disukai karena mempunyai warna, bau dan rasa yang
menarik. Selain itu, jika dibandingkan dengan minuman serbuk biasa, serbuk
effervescent memiliki keunggulan pada kemampuan untuk menghasilkan gas
karbon dioksida yang memberikan rasa segar seperti pada air soda. Adanya gas
tersebut akan menutupi rasa pahit serta mempermudah proses pelarutannya
tanpa melibatkan pengadukan secara manual (Syamsul dan Supomo, 2014).
Serbuk effervescent merupakan bentuk sediaan produk pangan fungsional
yang diproses dengan campuran tertentu sehingga menghasilkan gas CO2 ketika
bereaksi dengan air. Gelembung gas CO2 menjadikan serbuk effervescent lebih
cepat larut tanpa pengadukan manual. Keunggulan serbuk effervescent adalah
mudah diabsorbsi, praktis, dan memberikan efek sparkling seperti minum air
soda atau soft drink saat dikonsumsi. Proses pembuatan serbuk effervescent
membutuhkan formulasi dan metode ekstraksi yang tepat agar dihasilkan serbuk
dengan karakteristik fisiko kimia terbaik (Hudha dkk., 2015).
Sediaan effervescent biasanya diolah dari suatu kombinasi asam sitrat dan
asam tartrat, karena pemakaian asam tunggal saja akan menimbulkan kesulitan
pada pembentukan granul. Apabila asam tartrat digunakan sebagai asam
tunggal, maka granul yang dihasilkan mudah kehilangan kekuatannya dan
hancur. Bila asam sitrat saja yang digunakan maka akan menghasilkan
campuran yang lekat dan sukar menjadi granul (Ansel dkk., 1999 dalam Winarti,
2008).
Reaksi antara asam sitrat dan natrium bikarbonat (a) serta asam tartrat dan
natrium bikarbonat (b) dapat dilihat sebagai berikut (Novidiyanto dan Setyowati,
Setelah diperoleh rancangan formulasi, maka selanjutnya adalah
mencampurkan ketiga bahan utama sesuai proporsi masing-masing dalam setiap
formula dan dilakukan analisis kadar serat serta kelarutan masing-masing
formula. Kemudian didapatkan hasil formula dengan respon paling optimum yang
selanjutnya dilakukan verifikasi untuk mengetahui perbandingan nilai respon
dengan prediksi program. Selanjutnya, formula dengan respon optimum diolah
menjadi produk serbuk effervescent. Produk tersebut kemudian dianalisis
meliputi warna, kadar air, kecepatan alir, waktu larut, sudut diam dan rehidrasi.
25
Tahap III
Penelitian tahap tiga dilakukan setelah diperoleh produk effervescent dengan
kadar serat pangan dan kelarutan optimum yaitu dilakukan uji in vivo pada tikus
putih wistar jantan. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan faktor perlakuan pemberian minuman serbuk
effervescent. Penelitian dilakukan menggunakan lima kelompok perlakuan,
dimana setiap kelompok perlakuan berisi enam tikus, kemudian diberi perlakuan
sebagai berikut.
K1 (-) : Tanpa diinduksi loperamid, tanpa diberikan serbuk effervescent
K2 (+) : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari, tanpa diberikan
serbuk effervescent
K3 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan
masing-masing 90 mg/200 g bb serbuk effervescent selama 5 hari
K4 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan
masing-masing 180 mg/200 g bb serbuk effervescent selama 5 hari
K5 : Diinduksi loperamid 0,6 mg/200 g bb selama 3 hari kemudian diberikan
masing-masing 90 mg/200 g bb Vegeta Herbal selama 5 hari
3.3.2 Sampel Percobaan
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih Rattus
norvegicus strain Wistar berjenis kelamin jantan dengan berat sekitar 200 g.
Pada penelitian ini terdapat lima kelompok perlakuan, sehingga jumlah tikus
untuk masing-masing perlakuan dapat dihitung sebagai berikut.
(t – 1) (n – 1) ≥ 15
(5 – 1) (n – 1) ≥ 15
4n – 4 ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥ 4,75
Keterangan:
t = jumlah kelompok
n = jumlah tikus minimal dalam satu kelompok
26
Maka tikus yang digunakan harus berjumlah minimal lima ekor pada setiap
kelompok. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka
setiap kelompok ditambahkan sebanyak satu ekor tikus sebagai cadangan
sehingga tiap kelompok terdiri dari enam ekor tikus wistar jantan. Sehingga
jumlah tikus keseluruhan untuk semua perlakuan adalah sebanyak 30 ekor.
3.3.3 Dosis Perlakuan
Dosis induksi loperamid untuk tikus adalah sebesar 3 mg/kg bb. Syarat
volume maksimum larutan uji yang dapat diberikan pada tikus dengan berat 200
g adalah sebanyak 5 ml (Septiyanti, 2015).
a. Dosis loperamid
Dosis untuk tikus = (3 mg/1 kg) x berat badan
= (3 mg/1.000.000 mg) x 200.000 mg
= 0,6 mg/200 g bb
b. Dosis Suplemen Vegeta Herbal
Berat bersih dari suplemen Vegeta Herbal adalah 5 g. Menurut Prasetyo
(2014), dosis untuk tikus adalah sebesar 0,018 kali dosis untuk manusia. Maka
dibuatlah dosis untuk hewan coba sebagai berikut.
Dosis untuk tikus = 5 g x 0,018
= 0,09 g
= 90 mg/200 g bb
Jumlah serat pangan = 47,6% x 90 mg
= 42,84 mg
c. Dosis Serbuk Effervescent
Pemberian perlakuan serbuk effervescent dibagi menjadi 2 dosis, dimana
besarnya dosis yang akan diberikan pada hewan coba dianalogikan dengan
dosis terhadap manusia. Perhitungan dosis serbuk effervescent didasarkan pada
dosis suplemen Vegeta Herbal sebagai pembanding, sehingga dosis 1 sama
dengan dosis suplemen pembanding sedangkan dosis 2 adalah dua kali dosis
pertama. Penaikan dosis menjadi dua kali dosis pertama didasarkan pada
keinginan penulis untuk mengetahui bagaimana perbedaan pengaruh konsumsi
serbuk effervescent bila dosis ditingkatkan.
27
Berikut perhitungan dosis serbuk effervescent.
Dosis untuk tikus = 5 g x 0,018
= 0,09 g
= 90 mg/200 g bb
Jumlah serat pangan = 30,35% x 90 mg
= 27,315 mg
Maka selanjutnya ditetapkan dosis untuk kelompok perlakuan uji sebagai berikut.
Dosis 1 (K3) = 90 mg/200 g bb
Dosis 2 (K4) = 2x dosis 1
= 180 mg/200 g bb
a. Jenis Pakan
Pakan yang diberikan pada tikus selama masa adaptasi atau pemeliharaan
dan masa perlakuan adalah pakan susu pap. Berikut ini kandungan pakan susu
pap tersaji pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Kandungan Pakan Susu Pap Komposisi Pakan Jumlah (%)
Bahan kering 87,64 Bahan organik 91,42 Protein kasar 15,85 Serat kasar 8,32 Lemak kasar 4,15 Bahan ekstrak tanpa nitrogen - Natural Detergent Fibre - Acid Detergent Fibre -
Sumber: Dias (2012)
28
3.4 Pelaksanaan
Tahap 1. Ekstraksi Pektin Kulit Pisang
Tahap pembuatan bubuk kulit pisang sebagai berikut (Modifikasi Erawati, 2009).
a. Kulit pisang dicuci bersih kemudian direndam larutan Na-metabisulfit 0,1%
(b/v) selama 30 menit.
b. Kulit pisang kemudian dipotong kecil dan diletakkan di loyang.
c. Kulit pisang dikeringkan dengan suhu 55oC selama 8 jam kemudian
dihancurkan dengan blender kering.
d. Bubuk kulit pisang diayak dengan ayakan 60 mesh.
Tahap ekstraksi pektin sebagai berikut (Modifikasi Erawati, 2009).
a. Bubuk kulit pisang ditimbang kemudian ditambahkan pelarut asam sitrat 5%
dengan perbandingan 1:5 (bahan:pelarut) dan dipanaskan dengan suhu 90oC
selama 1 jam dalam keadaan tertutup.
b. Penyaringan menggunakan kain saring untuk memisahkan ampas dengan
filtrat ekstrak pektin.
c. Kemudian filtrat dipekatkan dengan pemanasan di atas air mendidih selama
45 menit.
d. Ekstrak pekat didinginkan, lalu ditambahkan etanol 96% sedikit demi sedikit
sambil diaduk hingga mencapai perbandingan 1:2 (ekstrak:etanol), kemudian
dilakukan pengendapan selama 2 jam.
e. Gumpalan pektin kemudian disaring menggunakan kertas saring dan dicuci
dengan 100 ml etanol 70% sebanyak dua kali dan dicuci sekali lagi
menggunakan 50 ml etanol 96%.
f. Gumpalan pektin kemudian dikeringkan dengan pengering kabinet suhu 55oC
selama 5 jam dan setelah kering dihancurkan kemudian diayak
menggunakan ayakan 60 mesh.
g. Analisis yang dilakukan pada bubuk pektin yang dihasilkan meliputi analisis
rendemen, kadar air, warna, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar asam
galakturonat dan derajat esterifikasi.
29
Tahap 2. Pembuatan Bubuk Mangga, Bubuk Daun Mint, dan Serbuk
Effervescent
Proses pembuatan bubuk mangga sebagai berikut.
a. Buah mangga dicuci bersih kemudian dikupas kulitnya, setelah itu ditimbang
sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan.
b. Dihancurkan menggunakan blender selama 1 menit.
c. Ditambahkan dekstrin dan dihomogenkan.
d. Bubur mangga kemudian dioleskan di atas loyang beralas plastik untuk
dikeringkan menggunakan pengering kabinet suhu 60oC selama 6 jam.
e. Lapisan mangga kering dihancurkan dengan blender kering hingga
didapatkan bubuk mangga.
Proses pembuatan bubuk daun mint sebagai berikut (Modifikasi Sari, 2016).
a. Daun mint segar dicuci bersih.
b. Daun mint yang telah bersih diletakkan di atas loyang kemudian dikeringkan
menggunakan pengering kabinet dengan suhu 40oC selama 3 jam.
c. Daun mint kering dihancurkan dengan blender dan setelah halus diayak
menggunakan ayakan 60 mesh untuk mendapatkan bubuk daun mint.
Proses pembuatan serbuk effervescent sebagai berikut (Hudha dkk., 2015).
a. Bubuk pektin hasil ekstraksi, bubuk mangga dan bubuk daun mint ditimbang
sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan.
b. Bubuk pektin hasil ekstraksi, bubuk mangga dan bubuk daun mint dicampur
dengan asam sitrat, asam tartrat, dekstrin, stevia dan sebagian PVP
dicampurkan menggunakan blender kering sehingga menghasilkan suatu
campuran yang disebut dengan komponen asam.
c. Sisa PVP kemudian dicampurkan dengan Na-bikarbonat menggunakan
blender kering dan menghasilkan campuran yang disebut sebagai komponen
basa.
d. Komponen asam dan komponen basa kemudian dicampurkan menggunakan
blender kering hingga homogen.
e. Serbuk effervescent diayak menggunakan ayakan 60 mesh.
f. Serbuk effervescent dianalisis kadar serat pangan, warna, kadar air,
kecepatan alir, waktu larut, sudut diam dan rehidrasi.
30
Tahap 3. Tahap Uji In Vivo
Semua tikus percobaan ditimbang berat badannya kemudian diadaptasi
dengan lingkungan penelitian selama tujuh hari dan dikelompokkan menjadi lima
kelompok acak dimana setiap kelompoknya terdiri dari enam ekor tikus. Pakan
yang diberikan pada tikus selama masa percobaan adalah pakan susu pap
dengan jumlah yang sama untuk masing-masing tikus, yaitu 15 g/hari.
Kelompok K1 (-) merupakan kelompok tikus tanpa diinduksi loperamid dan
empat kelompok lainnya yaitu K2 (+), K3, K4 serta K5 diinduksi dengan
loperamid sebanyak 3 mg/kg bb yang dilakukan selama tiga hari (Septiyanti,
2015). Setelah masa pengkondisian, maka dilanjutkan dengan masa perlakuan
selama lima hari dimana masing-masing tikus akan diberikan jumlah pakan yang
sama, namun dengan perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent yang
berbeda. Kelompok K1 (-) dan K2 (+) hanya diberikan pakan tanpa perlakuan
sebanyak 15 g, kelompok K3 diberikan pakan dan serbuk effervescent sebanyak
90 mg/200 g bb sedangkan kelompok K4 diberikan pakan dan serbuk
effervescent sebanyak 180 mg/200 g bb, serta kelompok K5 diberikan pakan dan
suplemen Vegeta Herbal sebanyak 90 mg/200 g bb (Modifikasi Septiyanti, 2015).
Parameter yang diamati selama lima hari yaitu berat badan, jumlah konsumsi
pakan, volume minum dan frekuensi defekasi. Setelah perlakuan selama lima
hari, semua tikus dipuasakan selama 12-18 jam kemudian dilakukan
pembedahan untuk mendapatkan kolon tikus sebagai bahan uji histopatologi.
Perlakuan selama lima hari didasarkan pada masa konstipasi yang dialami
manusia pada umumnya yaitu 4-7 hari (Endyarni dan Syarif, 2004).
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh akan ditampilkan sebagai rata-rata dari setiap ulangan,
kemudian dianalisis dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan apabila menunjukkan
perbedaan dilanjutkan dengan uji BNT menggunakan taraf signifikansi 5%.
Semua analisis data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel
dan Design Expert 7.5.1.
31
3.6 Diagram Alir
3.6.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang
Kulit Pisang
Pencucian
Na-metabisulfit 0,1% (b/v)
Perendaman 30 menit
Pemotongan
Pengeringan suhu 55oC selama 8 jam
Penghancuran
Pengayakan 60 mesh
Bubuk Kulit Pisang
Asam sitrat 5%
Pemanasan suhu 90oC selama 1 jam
Penyaringan
Ampas
Filtrat
Pemanasan di atas air mendidih selama 45 menit
Pendinginan
Etanol 96% (1:2)
Pengendapan selama 2 jam
Penyaringan
Gumpalan Pektin
2x100 ml Etanol 70%
50 ml Etanol 96% Pencucian
Pengeringan suhu 55oC selama 5 jam
Penghancuran
Pengayakan 60 mesh
Bubuk Pektin
Gambar 3.1 Diagram Alir Ekstraksi Pektin Kulit Pisang (Modifikasi Erawati, 2009)
Analisis:
- Rendemen
- Kadar air
- Warna
- Berat ekivalen
- Kadar metoksil
- Kadar asam galakturonat
- Derajat esterifikasi
32
3.6.2 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Mangga
Mangga
Pencucian
Pengupasan
Penimbangan
Dekstrin 5% (b/b)
Penghancuran dan pencampuran
Bubur Mangga
Pengeringan suhu 60oC selama 6 jam
Penghancuran
Bubuk Mangga
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Mangga
3.6.3 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Daun Mint
Daun Mint
Pencucian
Pengeringan suhu 40oC selama 3 jam
Penghancuran
Pengayakan 60 mesh
Bubuk Daun Mint
Gambar 3.3 Diagram Alir Pembuatan Bubuk Daun Mint (Modifikasi Sari, 2016)
33
3.6.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent
Bubuk Pektin Kulit Pisang,
Bubuk Mangga, Bubuk Daun Mint
Pencampuran
Pengayakan 60 mesh
Serbuk Effervescent
Gambar 3.4 Diagram Alir Pembuatan Serbuk Effervescent
(Modifikasi Prasetyo dkk., 2015)
Komponen asam: Asam sitrat 13% (b/b) Asam tartrat 7% (b/b) Stevia 5% (b/b)
4.3.2 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kelarutan
Hubungan antara variabel proporsi bahan baku serbuk effervescent terhadap
respon kelarutan digambarkan melalui kontur plot dan grafik permukaan respon.
Gambar 4.1 (a) menunjukkan kurva Normal Plot of Residuals dari model yang
disarankan yaitu Linear. Tidak semua titik residual berada tepat di sepanjang
garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan residual. Namun
banyak titik residual yang sangat dekat dengan garis tengah. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebaran data hasil analisis respon kelarutan cenderung
normal. Sedangkan Gambar 4.1 (b) menunjukkan kontur plot dengan sumbu X
merupakan proporsi bubuk pektin dan sumbu Y merupakan proporsi bubuk
mangga terhadap respon kelarutan. Garis garis yang melintang pada gambar
tersebut menunjukkan respon hasil analisa. Garis terluar pada kecerahan warna
yang tinggi menunjukkan nilai respon kelarutan tertinggi, sedangkan semakin
dalam garis pada kecerahan warna yang rendah menunjukkan nilai respon
kelarutan yang semakin rendah. Respon kelarutan optimum ditandai oleh titik
berwarna merah, sehingga diketahui respon kelarutan optimum pada interaksi
antara proporsi bubuk pektin dengan bubuk mangga yaitu 74,5%.
44
Gambar 4.1 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot (c) Kurva Permukaan Respon Variabel Pektin Kulit Pisang dan Mangga Podang terhadap Kelarutan
Design-Expert® Software
Kelarutan
Color points by value of
Kelarutan:
83
67.18
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-1.80 -0.66 0.47 1.61 2.75
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® Software
Kelarutan
Design Points
83
67.18
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00Kelarutan
A: Pektin Kulit Pisang
B:
Ma
ng
ga
Po
da
ng
73.4772
73.9888
74.5005
75.0122
75.5238
6
Design-Expert® Software
Kelarutan
Design points above predicted value
Design points below predicted value
83
67.18
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40
42.5
45
47.5
50
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00
72.9
73.975
75.05
76.125
77.2
K
ela
ruta
n
A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang
(a)
(b)
(c)
45
Gambar 4.1 (c) menunjukkan kurva permukaan respon variabel proporsi
bubuk pektin dan proporsi bubuk mangga terhadap respon kelarutan yang
disajikan dalam model kurva 3 dimensi. Semakin rendah proporsi bubuk pektin
dan semakin tinggi proporsi bubuk mangga yang digunakan pada pembuatan
produk effervescent maka akan semakin tinggi nilai respon kelarutan produk. Hal
ini disebabkan oleh kadar serat pangan larut dalam bubuk mangga podang yang
lebih tinggi daripada kadar serat pangan tak larut. Menurut Herlina (2008),
kelarutan didefinisikan dalam besaran kuantitatif sebagai konsentrasi zat terlarut
dalam larutan jenuh pada temperatur tertentu. Kelarutan suatu senyawa
tergantung pada sifat fisika kimia zat pelarut dan zat terlarut, temperatur, pH
larutan, dan tekanan. Proses pelarutan suatu bahan dapat digambarkan terjadi
dalam 3 tahap. Tahap pertama menyangkut pemindahan suatu molekul zat dari
zat terlarut atau pelepasan satu molekul dari kristal solut pada temperatur
tertentu. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang
cukup besar untuk menerima molekul zat terlarut. Tahap ketiga molekul zat
terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang pelarut.
4.3.3 Pengaruh Proporsi Bahan terhadap Respon Kadar Serat Pangan
Hubungan antara variabel proporsi bahan baku serbuk effervescent terhadap
respon kadar serat pangan digambarkan melalui kontur plot dan grafik
permukaan respon. Gambar 4.2 (a) menunjukkan kurva Normal Plot of Residuals
dari model yang disarankan yaitu 2FI. Tidak semua titik residual berada tepat di
sepanjang garis tengah antara persentase peluang kenormalan dengan residual.
Namun banyak titik residual yang sangat dekat dengan garis tengah. Hal ini
menunjukkan bahwa penyebaran data hasil analisis respon kadar serat pangan
cenderung normal. Sedangkan Gambar 4.2 (b) menunjukkan kontur plot dengan
sumbu X merupakan proporsi bubuk pektin dan sumbu Y merupakan proporsi
bubuk mangga terhadap respon kadar serat pangan. Garis garis yang melintang
pada gambar tersebut menunjukkan respon hasil analisa. Respon kadar serat
optimum ditandai oleh titik berwarna merah, sehingga diketahui respon kadar
serat optimum pada interaksi antara proporsi bubuk pektin dengan bubuk
mangga.
46
Gambar 4.2 (a) Kurva Normal Plot of Residuals (b) Kontur Plot (c) Kurva Permukaan
Respon Variabel Pektin Kulit Pisang dan Mangga Podang terhadap Kadar Serat Pangan
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Color points by value of
Kadar Serat Pangan:
29.35
5.55
Internally Studentized Residuals
No
rma
l %
Pro
ba
bil
ity
Normal Plot of Residuals
-2.19 -1.24 -0.28 0.67 1.63
1
5
10
20
30
50
70
80
90
95
99
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Design Points
29.35
5.55
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00
30.00
32.50
35.00
37.50
40.00Kadar Serat Pangan
A: Pektin Kulit Pisang
B:
Ma
ng
ga
Po
da
ng
16.9945
19.367
21.7394
21.7394
24.1119
24.1119
26.4843
26.4843
6
Design-Expert® Software
Kadar Serat Pangan
Design points above predicted value
Design points below predicted value
29.35
5.55
X1 = A: Pektin Kulit Pisang
X2 = B: Mangga Podang
Actual Factor
C: Daun Mint = 20.00
40.00 42.50 45.00 47.50 50.00 30.00
32.50 35.00
37.50 40.00
14
18
22
26
30
K
ad
ar
Se
rat
Pa
ng
an
A: Pektin Kulit Pisang B: Mangga Podang
(a)
(b)
(c)
47
Gambar 4.2 (c) menunjukkan kurva permukaan respon variabel proporsi
bubuk pektin dan proporsi bubuk mangga terhadap respon kadar serat pangan
yang disajikan dalam model kurva 3 dimensi. Kurva tersebut menunjukkan
semakin tinggi proporsi bubuk pektin dan semakin rendah proporsi bubuk
mangga yang digunakan pada pembuatan produk effervescent maka akan
semakin tinggi nilai respon kadar serat pangan produk. Namun tampak ada titik
balik yang menunjukkan bahwa titik tersebut adalah titik optimum respon kadar
serat pangan produk. Sehingga apabila proporsi bubuk pektin terus ditingkatkan
dan proporsi bubuk mangga terus diturunkan, maka respon kadar serat pangan
produk akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena kadar serat pangan pada
kedua bahan yang cenderung tinggi akan mempengaruhi kandungan kimia lain
yang ada pada produk sehingga diduga akan terjadi penurunan karakteristik
kimia yang lain.
4.3.4 Verifikasi Hasil Optimum
Berdasarkan data analisis ragam respon kelarutan diketahui bahwa Lack of
Fit Test menunjukkan signifikan yang berarti ketidaksesuaian model
mempengaruhi hasil prediksi optimasi. Maka dari itu respon yang selanjutnya
diverifikasi adalah respon kadar serat pangan. Verifikasi respon kadar serat
pangan dapat dilihat pada Tabel 4.4. Nilai prediksi akan dapat diterima apabila
selisih kesalahan antara nilai respon dengan prediksi dari software tidak lebih
dari 5%. Berdasarkan hasil prediksi, titik optimum yang disarankan yaitu proporsi
bubuk pektin:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing 40%:30%:25%
dengan respon kadar serat pangan sebesar 31,179% dan nilai desirability 1,00.
Dengan perbedaan nilai prediksi dan verifikasi sebesar 2,66%, maka nilai
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari tiga
ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
Berdasarkan data pada Tabel 4.5 dapat diketahui kadar air produk serbuk
effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 6,46%. Kadar air
yang rendah baik untuk penyimpanan sediaan dalam jangka waktu yang lebih
lama sedangkan kadar air yang tinggi merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme seperti kapang. Kandungan lembab serbuk
effervescent yang baik yaitu kurang dari 3% (Fausett, 2000 dalam Kholidah dkk.,
49
2014). Maka kadar air produk pada penelitian ini tidak memenuhi syarat mutu.
Hal ini terjadi karena ada penambahan bubuk mangga podang dimana selama
penyimpanan, bubuk menggumpal akibat tingginya kandungan gula pada
mangga dan waktu penyimpanan yang cukup lama yang memungkinkan bubuk
mangga menyerap uap air. Selain itu, penambahan asam sitrat pada produk juga
mempengaruhi tingginya kadar air produk. Sesuai dengan pendapat Lieberman
dkk. (1994) dalam Widyaningrum dkk. (2015) asam sitrat merupakan salah satu
asidulan yang sangat higroskopis sehingga serbuk effervescent dengan
penambahan asam sitrat sangat rentan menyerap air pada saat proses
pembuatannya.
Hasil analisis kecepatan alir produk serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint yaitu 11,73 g/detik. Waktu alir yang baik adalah ≤10
gram/detik atau 100 gram ≤10 detik (Wells, 1987 dalam Hudha dkk., 2015).
Menurut Siregar dan Wikarsa (2010) sifat alir dipengaruhi oleh ukuran dan
bentuk partikel, partikel yang lebih besar dan bulat menunjukkan aliran yang lebih
baik. Menurut Prasetyo dkk. (2015) asam tartrat mempunyai densitas yang lebih
besar daripada asam sitrat sehingga granul yang mengandung asam tartrat lebih
banyak akan mempunyai densitas yang lebih besar. Dengan densitas yang lebih
besar, maka bobot molekul akan lebih besar sehingga akan semakin mudah
mengalir karena gaya gravitasi yang lebih besar.
Data hasil analisis menunjukkan sudut diam produk serbuk effervescent
pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 67,44o. Sudut diam merupakan
sudut tetap yang terjadi antara timbunan partikel bentuk kerucut dengan bidang
horisontal bila sejumlah serbuk atau granul dituang dalam alat pengukur. Besar
kecilnya sudut diam dipengaruhi oleh bentuk, ukuran dan kelembaban granul.
Nilai sudut diam kurang dari atau sama dengan 30o menunjukkan bahwa bahan
dapat mengalir bebas, bila sudut diam lebih dari atau sama dengan 40o daya
mengalir kurang baik (Lachman, 1989 dalam Kholidah dkk., 2014). Dengan
demikian, sudut diam produk pada penelitian ini memiliki daya mengalir yang
kurang baik.
Berdasarkan data hasil analisis di atas, diketahui waktu larut produk serbuk
effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 105 detik. Waktu
larut effervescent berkisar antara 1-2 menit dan memiliki residu dari bahan yang
tidak terlarut seminimal mungkin (Lachman, 2008). Atribut waktu larut produk
telah sesuai dengan teori.
50
Data hasil analisis menunjukkan rehidrasi produk serbuk effervescent pektin
kulit pisang, mangga dan daun mint yaitu 9,04%. Menurut Yuwono dan Susanto
(1998), pengujian rehidrasi atau penyerapan air penting untuk produk yang
memiliki kadar air relatif rendah (<14%), dimana pengujian ini bertujuan untuk
mengetahui sifat pangan setelah dikontakkan dengan udara yang biasanya
memiliki kadar air relatif tinggi sehingga dapat dilakukan usaha untuk
mempertahankan mutu produk. Daya serap air juga dapat dipengaruhi oleh kadar
air bahan. Semakin tinggi kadar air menunjukkan komponen hidroksil tepung
sudah berikatan dengan air sehingga daya serap airnya mengalami penurunan.
Daya serap air yang semakin besar menunjukkan kemampuan produk kering
menyerap air semakin besar, dan begitu pula sebaliknya. Daya serap air yang
besar sangat diharapkan pada produk kering, karena memberikan pengertian
bahwa produk kering tersebut mendekati bentuk semula atau memiliki mutu yang
baik (Asgar dan Musaddad, 2008).
Hasil analisis warna produk serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga
dan daun mint menunjukkan intensitas kecerahan (L*) 48,00 atau kurang cerah
dengan intensitas kemerahan (a*) -0,06 atau hijau dan intensitas kekuningan (b*)
11,60 atau kuning. Warna adalah salah satu komponen yang penting bagi suatu
produk pangan karena warna dapat digunakan sebagai parameter yang
menggambarkan tingkat kesegaran, kematangan, daya beli dan keamanan dari
suatu produk (Hatcher dkk., 2000 dalam Sari, 2016). Warna suatu bahan
dipengaruhi oleh adanya cahaya yang diserap dan dipantulkan dari bahan itu
sendiri dan juga ditentukan oleh faktor tiga dimensi yaitu warna produk,
kecerahan produk dan kejelasan warna produk (Lawless dan Heymann, 1998
dalam Sari, 2016). Jika diamati secara visual, warna produk serbuk effervescent
berwarna hijau agak gelap. Ini disebabkan oleh warna bubuk daun mint yang
dominan.
Kadar serat pangan produk serbuk effervescent adalah sebesar 30,35%.
Kadar serat pangan tersebut terdiri dari kadar serat pangan larut (15,43%) dan
serat pangan tidak larut (14,92%). Serat makanan bersifat hidrofilik atau
pembentuk massa. Efektivitas serat sebagai bahan pembentuk massa
tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air dan efektivitas produk
fermentasi yang meningkatkan efek laksatif (Eva, 2015).
51
4.5 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent pada Tikus Wistar Konstipasi
4.5.1 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Jumlah Konsumsi
Pakan
Jumlah konsumsi pakan tikus didapatkan dengan cara penimbangan sisa
pakan tikus setiap hari selama masa perlakuan. Rerata jumlah konsumsi pakan
tikus merupakan rerata dari selisih jumlah pakan yang diberikan (15
gram/ekor/hari) dengan sisa pakan tikus selama masa perlakuan. Jumlah
konsumsi pakan tikus selama masa perlakuan sebanyak 9,91 gram sampai 13,45
gram/ekor/hari. Tikus yang mengkonsumsi pakan dengan jumlah terbesar adalah
tikus pada kelompok negatif, sedangkan tikus yang mengkonsumsi pakan
dengan jumlah terkecil adalah kontrol positif.
Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata
(α=0,05)
3) Nilai BNT 5% yaitu 1,51
Gambar 4.3 Rerata Jumlah Konsumsi Pakan Tikus selama 5 Hari Perlakuan
13,45 b
9,91 a 11,34 ab 12,99 b 12,46 b
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb
Effervescent 180 mg/200 g
bb
Vegeta Herbal
Re
rata
Jum
lah
Pak
an (
g/ek
or/
har
i)
Perlakuan
Jumlah Konsumsi Pakan Tikus
52
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan
tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 10 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap jumlah konsumsi pakan tikus. Dari data yang tersaji pada
Gambar 4.3 diketahui bahwa peningkatan dosis serbuk effervescent yang
diberikan pada tikus menunjukkan peningkatan jumlah konsumsi pakan
dibandingkan dengan dosis pertama. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian
sejenis. Menurut Septiyanti (2015) penambahan dosis minuman berserat pada
tikus menunjukkan penurunan jumlah konsumsi pakan. Hal ini dikarenakan
kandungan serat yang terdapat dalam minuman serat dapat menimbulkan rasa
kenyang. Serat tidak dicerna dalam lambung sehingga menyebabkan rasa
kenyang dalam waktu yang cukup lama. Ketidaksesuaian ini diduga terjadi akibat
kebiasaan pola makan tikus selama masa pemeliharaan sebelum masa
perlakuan yang cenderung rakus atau pakan yang disediakan selalu habis.
Selain itu, kondisi konstipasi yang berkurang akibat pemberian minuman serat
dapat mengembalikan nafsu makan yang sempat hilang saat kondisi sakit
(konstipasi).
Berdasarkan data tersebut juga dapat diketahui perbedaan jumlah konsumsi
pakan dari masing-masing kelompok perlakuan. Hasil uji BNT (α=0,05)
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kelompok kontrol negatif
dengan kontrol positif, artinya jumlah konsumsi pakan tikus sakit (konstipasi)
berbeda dengan jumlah konsumsi pakan tikus sehat. Jumlah konsumsi pakan
tikus sakit (konstipasi) lebih sedikit karena menurunnya nafsu makan. Kelompok
dengan pemberian serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb menunjukkan
rerata yang berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180
mg/200 g bb walaupun sebenarnya cenderung sama. Kelompok perlakuan
pemberian serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol
negatif, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat
mengurangi gejala konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan
tikus sehat. Kelompok pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) tidak berbeda
nyata dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g bb,
maka serbuk effervescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dapat
mengurangi gejala konstipasi seperti minuman serat komersil Vegeta Herbal.
53
4.5.2 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Volume Minum
Volume minum tikus didapatkan dengan cara pengukuran volume sisa minum
tikus setiap hari selama masa perlakuan. Rerata volume minum tikus merupakan
rerata dari selisih volume minum yang diberikan (75 ml/ekor/hari) dengan sisa
volume minum tikus selama masa perlakuan. Volume minum tikus selama masa
perlakuan sebanyak 22,76 ml sampai 27 ml/ekor/hari. Tikus yang minum dengan
volume terbesar adalah tikus pada kelompok negatif, sedangkan tikus yang
minum dengan volume terkecil adalah kontrol positif.
Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata
(α=0,05)
3) Nilai BNT 5% yaitu 3,13
Gambar 4.4 Rerata Volume Minum Tikus selama 5 Hari Perlakuan
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan
tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 11 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap volume minum tikus. Dari data yang tersaji pada Gambar 4.4
diketahui bahwa kelompok kontrol positif memiliki rerata volume minum terkecil
27,68 b22,76 a 25 ab 26,68 b 25,84 ab
0
5
10
15
20
25
30
35
Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb
Effervescent 180 mg/200 g
bb
Vegeta Herbal
Rer
ata
Vo
lum
e M
inu
m (
ml/
eko
r/h
ari)
Perlakuan
Volume Minum Tikus
54
yang berarti volume minum kelompok tikus sakit (konstipasi) lebih sedikit
dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini terjadi karena induksi loperamid
yang diberikan pada tikus. Hal serupa terjadi pada penelitian Tosan dkk. (2014)
yang menunjukkan konsumsi air minum kelompok positif (konstipasi) paling
sedikit di antara semua kelompok perlakuan. Hal ini karena pengaruh induksi
obat (loperamid) yang mungkin terhitung pada pengurangan kandungan air pada
feses.
Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara
kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, artinya volume minum tikus sakit
(konstipasi) berbeda dengan volume minum tikus sehat. Kelompok dengan
pemberian serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb menunjukkan rerata yang
berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g
bb walaupun sebenarnya cenderung sama. Kelompok perlakuan pemberian
serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol negatif, hal ini
menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat mengurangi gejala
konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan tikus sehat. Kelompok
pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) menunjukkan rerata yang berbeda
walaupun sebenarnya cenderung sama dengan kelompok pemberian serbuk
effervescent dosis 180 mg/200 g bb, maka serbuk effervescent pektin kulit
pisang, mangga dan daun mint dapat mengurangi gejala konstipasi seperti
minuman serat komersil Vegeta Herbal.
4.5.3 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Frekuensi Defekasi
Frekuensi defekasi tikus didapatkan dengan cara menghitung feses yang
dikeluarkan tikus (defekasi) setiap hari selama masa perlakuan. Rerata frekuensi
defekasi tikus merupakan rerata jumlah defekasi selama masa perlakuan.
Frekuensi defekasi tikus selama masa perlakuan sebanyak 29,92 kali sampai
45,4 kali/ekor/hari. Tikus yang memiliki frekuensi defekasi terbesar adalah tikus
pada kelompok pemberian serbuk effervescent dosis 180 mg/200 g bb,
sedangkan tikus yang memiliki frekuensi defekasi terkecil adalah kontrol positif.
55
Keterangan: 1) Setiap data merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka dengan notasi berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata
(α=0,05)
3) Nilai BNT 5% yaitu 6,43
Gambar 4.5 Rerata Frekuensi Defekasi Tikus selama 5 Hari Perlakuan
Berdasarkan hasil analisis ragam (ANOVA) rerata jumlah konsumsi pakan
tikus selama masa perlakuan yang terdapat pada Lampiran 12 menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian minuman serbuk effervescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint dengan dosis yang berbeda memberikan pengaruh nyata
(α=0,05) terhadap frekuensi defekasi tikus. Dari data yang tersaji pada Gambar
4.5 diketahui bahwa kelompok kontrol positif memiliki rerata frekuensi defekasi
terkecil yang berarti frekuensi defekasi kelompok tikus sakit (konstipasi) lebih
sedikit dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini terjadi karena induksi
loperamid yang diberikan pada tikus dan kurangnya asupan sumber serat
sehingga tikus konstipasi dan frekuensi defekasinya berkurang.
Hasil uji BNT (α=0,05) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara
kelompok kontrol negatif dengan kontrol positif, artinya frekuensi defekasi tikus
sakit (konstipasi) berbeda dengan frekuensi defekasi tikus sehat. Kelompok
perlakuan pemberian serbuk effervescent tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol negatif, hal ini menunjukkan bahwa konsumsi serbuk effervescent dapat
mengurangi gejala konstipasi tikus hingga hasilnya cenderung sama dengan
tikus sehat. Kelompok pembanding (konsumsi Vegeta Herbal) menunjukkan tidak
39,52 b29,92 a
41,68 b 45,4 b 43,76 b
0
10
20
30
40
50
60
Kontrol negatif Kontrol positif Effervescent 90 mg/200 g bb
Effervescent 180 mg/200 g
bb
Vegeta Herbal
Fre
kue
nsi
De
feka
si (
kali/
eko
r/h
ari)
Perlakuan
Frekuensi Defekasi Tikus
56
berbeda dengan kelompok pemberian serbuk effervescent. Konsumsi minuman
dengan kandungan serat ini menyebabkan meningkatnya frekuensi defekasi.
Defekasi adalah pengeluaran sisa-sisa makanan (kotoran/tinja/feses) yang
tidak dapat dicerna dalam saluran pencernaan melalui anus. Efek defekasi
diduga karena konsumsi minuman dengan kandungan serat sehingga gejala
konstipasi pada tikus berkurang. Menurut Ambarita dkk. (2014) terdapat
hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan frekuensi defekasi.
Penelitian yang dilakukan Eva (2015) juga menyatakan bahwa ketidakcukupan
konsentrasi asupan serat makanan berpengaruh secara signifikan terhadap
kejadian konstipasi. Membuktikan bahwa asupan serat makanan yang cukup
sesuai dengan asupan serat makanan dengan standar kecukupan dapat
mengurangi resiko konstipasi.
Jenis serat larut dapat menahan air lebih besar dibandingkan serat tak larut,
tetapi hal ini juga dipengaruhi pH saluran cerna, besarnya partikel serat dan juga
proses pengolahannya. Akibat kemampuan menahan air ini serat akan
membentuk cairan kental yang memiliki beberapa pengaruh terhadap saluran
cerna, yaitu waktu pengosongan lambung lebih lama, mengurangi bercampurnya
isi saluran cerna dan enzim pencernaan, menghambat fungsi enzim, mengurangi
kecepatan penyerapan nutrisi, serta mempengaruhi waktu transit di usus (Tala,
2009). Mudahnya proses defekasi berkaitan dengan kadar air dan berat feses.
Rerata berat feses dan kadar air feses masing-masing kelompok dapat dilihat
pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Rerata Berat Feses dan Kadar Air Feses selama 5 Hari Perlakuan
Perlakuan Berat Feses (g/butir/hari)
Kadar Air Feses (%/hari)
Kontrol negatif 0,23±0,03 b 54,32±2,29 c Kontrol positif 0,14±0,02 a 37,07±3,58 a Effervescent 90 mg/200 g bb 0,22±0,04 b 50,04±2,69 b Effervescent 180 mg/200 g bb 0,23±0,07 b 55,08±2,44 c Vegeta Herbal 0,21±0,06 b 50,27±3,54 b
Nilai BNT (α=0,05) 0,03 5,33
Sumber: Fitria, 2017
Keterangan: 1) Setiap data yang tercantum merupakan rerata dari lima ulangan
2) Angka setelah ± merupakan standar deviasi
57
Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa konsumsi minuman serat
serbuk effervescent dan Vegeta Herbal (produk komersil) oleh tikus konstipasi
cenderung meningkatkan berat feses dan kadar air jika dibandingkan dengan
tikus konstipasi yang tidak mengkonsumsi minuman serat. Peningkatan berat
feses dan kadar air pada kelompok tikus yang diberikan serbuk effervescent
dikarenakan kandungan serat yang terdapat di dalam produk mampu mengikat
air yang menyebabkan volume feses meningkat dan cenderung lunak sehingga
feses akan mudah dikeluarkan tanpa harus kontraksi otot usus yang berlebihan
(Fitria, 2017).
4.5.4 Pengaruh Konsumsi Serbuk Effervescent terhadap Histopatologi
Kolon Tikus
Hasil pengamatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Hematoxilin
Eosin (HE) kelima kelompok perlakuan yaitu kelompok positif, kelompok negatif,
kelompok serbuk effervescent dosis 90 mg/200 g bb, kelompok serbuk
effervescent dosis 180 mg/200 g bb, dan kelompok Vegeta Herbal dapat dilihat
pada Gambar 4.6.
Berdasarkan Gambar 4.6 dapat diamati bahwa pada kontrol negatif tidak
terjadi kerusakan lapisan mukosa, vili tampak tersusun rapi dan teratur.
Sedangkan pada kontrol positif terdapat kerusakan di daerah mukosa kolon,
susunan vili tidak rapi, ada infiltrasi sel radang. Menurut Gebeos (2003) dalam
Saptono dkk. (2015) peradangan pada kolon ditandai dengan adanya kerusakan
pada lapisan mukosa berupa kerusakan vili, diskuamasi epitel, pelebaran lamina
propia, banyaknya infiltrasi sel radang dan hilangnya sel goblet. Pada kelompok
konsumsi serbuk effervescent 90 mg/200 g bb, susunan vili tidak rapi dan masih
ada infiltrasi sel radang namun tidak separah kontrol negatif. Sedangkan pada
kelompok konsumsi serbuk effervescent 180 mg/200 g bb, susunan vili
cenderung rapi meskipun terdapat sedikit kerusakan mukosa. Kelompok
konsumsi Vegeta Herbal menunjukkan susunan vili tidak rapi dan masih ada
infiltrasi sel radang namun tidak separah kontrol negatif. Maka kelompok
konsumsi serbuk effervescent 180 mg/200 g bb menunjukkan kecenderungan
sembuh karena mirip dengan gambar kontrol negatif. Hal ini dikarenakan jumlah
serat yang dikonsumsi lebih banyak (dosis konsumsi lebih tinggi) daripada jumlah
serat pada Vegeta Herbal sehingga menunjukkan perbaikan yang lebih menonjol.
58
Gambar 4.6 Gambaran Histopatologi Kolon Tikus (a) Kontrol Negatif (b) Kontrol Positif
(c) Serbuk effervescent 90 mg/200 g bb (d) Serbuk effervescent 180 mg/200 g bb
(e) Vegeta Herbal
Menurut Junqueira dkk. (2007) sel-sel epitel mukosa kolon diketahui memiliki
tingkat regenerasi yang cepat, yaitu sekitar 3 sampai 6 hari. Sel-sel pada mukosa
kolon termasuk sel labil. Sel labil merupakan sel yang memiliki kemampuan
regenerasi yang tinggi, terjadi terus menerus dan mempunyai fase G0 yang
singkat (fase istirahat). Sel yang rusak merupakan stimulus untuk sel yang
istirahat untuk memasuki fase mitosis sel, sehingga terjadi perbaikan kerusakan
jaringan kolon. Menurut Kurniawan (2012), kekurangan serat makanan akan
menyebabkan feses menjadi keras dan diperlukan kontraksi otot yang besar
untuk mengeluarkannya (defekasi), hal ini sering kali menyebabkan konstipasi.
(a) (b)
(c) (d) (e)
Ket: tampak kerusakan vili tampak
vili normal
59
Bila hal ini berlangsung terus menerus maka otot menjadi lelah dan lemah
sehingga muncul penyakit divertikulosis. Menurut Jacobs (2007), istilah
divertikulosis menunjukkan adanya radang divertikulum atau divertikula, yang
biasanya disertai oleh perforasi mikroskopis. Sedangkan penyebab penyakit
divertikular kolon belum ditetapkan secara pasti, studi epidemiologi telah
menunjukkan hubungan antara divertikulosis dan makanan yang rendah serat
pangan dan tinggi karbohidrat olahan. Rendahnya asupan serat pangan
menghasilkan feses yang tidak terlalu besar sehingga kadar airnya rendah dan
dapat merubah waktu transit gastrointestinal, hal ini dapat meningkatkan tekanan
intrakolonik dan menyebabkan pengeluaran isi kolon lebih sulit. Otot-otot kolon
akan bekerja lebih keras untuk meremas feses yang cenderung lebih padat
konsistensinya sehingga mengakibatkan kerusakan mukosa kolon.
Serat makanan telah diketahui sebagai komponen penting untuk mencegah
dan berperan dalam penatalaksanaan beberapa penyakit. Diet tinggi serat
mempunyai korelasi negatif terhadap terjadinya kanker kolorektal. Ada beberapa
teori yang menerangkan bagaimana cara kerja serat dalam mencegah timbulnya
kanker kolorektal, dimana serat ini bekerja secara simultan bukan hanya dengan
satu cara. Serat diduga dapat mengurangi kontak antara substansi karsinogen
dengan mukosa usus, dengan cara meningkatkan massa feses atau dengan
memperpendek waktu transit isi usus melalui kolon dan rektum. Serat tak larut
dapat meningkatkan massa feses dengan kemampuannya mengabsorpsi air.
Serat larut dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas menahan air yang
lebih besar tetapi akan difermentasi oleh bakteri kolon. Karena resisten terhadap
degradasi, serat tak larut lebih efektif menambah massa feses dan
memperpendek waktu transit dibandingkan dengan serat larut (Winaktu, 2011).
Fermentasi serat pada saluran pencernaan akan memberikan efek fisiologis yang
paling penting dalam pencegahan kanker kolon. Lebih dari 75% serat pangan
dipecah dalam kolon menghasilkan karbon dioksida, hidrogen, metana, dan
asam lemak rantai pendek seperti butirat, propionat, dan asetat (Topping dan
Clifton, 2001). Butirat merupakan sumber energi utama bagi epitel kolon dan
menstimulasi pertumbuhan mukosa kolon. Asam lemak rantai pendek bersifat
volatil sehingga akan dengan mudah diserap oleh lumen. Akibatnya asam lemak
rantai pendek akan mengasamkan saluran pencernaan yang akan menghambat
kanker kolon (Sadek, 2012).
60
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan.
1. Formulasi serbuk efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint
dengan kadar serat optimum adalah formula dengan proporsi bahan baku
bubuk pektin kulit pisang:bubuk mangga:bubuk daun mint masing-masing
sebanyak 40%:30%:25%.
2. Konsumsi produk serbuk efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun
mint memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan frekuensi
defekasi dan memberikan pengaruh terhadap perubahan yang menunjukkan
perbaikan gambaran histopatologi kolon tikus wistar konstipasi bila
dibandingkan dengan tikus wistar konstipasi yang tidak diberikan konsumsi
produk.
3. Dari dua dosis konsumsi produk serbuk efferfescent pektin kulit pisang,
mangga dan daun mint yang telah diujikan, maka dosis yang menunjukkan
hasil paling baik untuk menurunkan gejala konstipasi pada tikus wistar adalah
dosis 180 mg/200 g bb.
4. Jika dibandingkan dengan produk komersil maka konsumsi produk serbuk
efferfescent pektin kulit pisang, mangga dan daun mint dosis 180 mg/200 g
bb oleh tikus wistar konstipasi menunjukkan efek atau pengaruh yang lebih
baik daripada produk komersil Vegeta Herbal yang beredar di pasaran.
5.2 Saran
Berdasarkan adanya kekurangan dalam hasil penelitian ini, maka perlu
adanya perbaikan dalam beberapa hal. Diantaranya adalah perlu dilakukan
pengukuran sifat higroskopis dari produk serbuk effervescent. Perlu dilakukan
analisis kadar serat pangan pada produk komersil pembanding. Untuk uji secara
in vivo, perlu dilakukan analisis pH digesta dan analisis SCFA (asam lemak rantai
pendek) supaya efektivitas konsumsi produk dapat diketahui lebih spesifik. Uji
organoleptik produk juga perlu dilakukan untuk mengetahui apakah produk dapat
diterima oleh konsumen.
61
DAFTAR PUSTAKA
Amaliawati, Y. 2012. Potensi Mangga Podang Kediri.
https://bisnisukm.com/potensi-mangga-podang-kediri.html. Diakses pada
12 Agustus 2017.
Ambarita, E.M., S. Madanijah, dan N. M. Murdin. 2014. Hubungan asupan serat
makanan dan air dengan pola defekasi anak sekolah dasar di kota
Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan Vol. 9(1):7-14
Anhwange, B. A., T. J. Ugye, dan T. D. Nyiaatagher. 2009. Chemical
Composition of Musa sapientum (Banana) Peels. Electronic Journal of
Environmental, Agricultural and Food Chemistry Vol. 8(6): 437-442
Anwar, E. 2012. Eksipien dalam Sediaan Farmasi: Karakteristik dan Aplikasi.
Dian Rakyat. Jakarta.
Arifin, S., Damanhuri, dan L. Soetopo. 2015. Observasi dan Karakterisasi
Pisang (Musa spp.) di Kecamatan Gucialit Kabupaten Lumajang.
Jurnal Produksi Tanaman Vol. 3(6): 480-486
Asgar, A dan D. Musaddad. 2008. Pengaruh Media, Suhu, dan Lama Blansing
Sebelum Pengeringan Terhadap Mutu Lobak Kering. Jurnal
Hortikultura 18(1):87-94
Ashari, 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dalam Pembangunan
Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. Jurnal Analisis
Kebijakan Pertanian Vol. 4(2)
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. Riset Kesehatan
Dasar. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2014. Batas Maksimum Penggunaan
Bahan Tambahan Pangan Pemanis. PerKBPOM RI No. 4 Tahun 2014.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik, 2016. Tabel Dinamis Produksi Pisang Indonesia Tahun
2015. https://www.bps.go.id/site/resultTab. Diakses pada 5 Oktober 2016.
Beck, J. S. 2011. Cognitive Behavior Therapy Basics and Beyond: Second
Edition. A Division of Guilford Publications, Inc. USA.
Black, S. N. 2007. Structure, Solubility, Screening, and Synthesis of
Molecular Salts. in Rowe, R.C., Sheskey, P.J., and Quinn, M.E (Eds),
Sixth Edition. Handbook of Pharmaceutical Excipients p. 1053-1068