-
i
PENGARUH GENOTIP DAN LAMA WAKTU EKSTRAKSI METODE MODIFIED
MICROWAVE ASSISTED EXTRACTION (MAE) TERHADAP AKTIVITAS
ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL CABAI RAWIT LOKAL (Capsicum
frutescens L.)
Oleh :
RENY ANGGRAENI
NIM. 135100500111003
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Teknologi
Pertanian
JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
ii
-
iii
-
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 12 Mei 1995
dari
ayah bernama Poernomo dan ibu Endang Sulistijowati. Penulis
menyelesaikan pendidikan Taman Kanak – kanak di TK Muslimat
NU 10 Malang pada tahun 2001, melanjutkan ke Sekolah Dasar
di SDN Bareng 2 Malang lulus pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6
Malang dan lulus pada tahun 2010, menyelesaikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 1 Malang dan lulus pada tahun 2013.
Tahun 2013
penulis melanjutkan pendidikan S-1 di Universitas Brawijaya
Malang dan pada tahun
2017 telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Jurusan
Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya
Malang.
Selama masa pendidikan di universitas tersebut, penulis aktif di
dunia
kepanitiaan yaitu kepanitiaan Orientasi Pengenalan Jurusan dan
Himpunan pada
tahun 2014 sebagai anggota divisi pendamping, Raja Brawijaya
pada tahun 2015
sebagai anggota divisi konsumsi. Serta untuk menunjang
pengetahuan akademik
sekaligus mengasah kemampuan, penulis juga aktif sebagai asisten
Praktikum
Kimia Dasar pada tahun 2014, Praktikum Mikrobiologi Umum pada
tahun 2015,
Praktikum Mikrobiologi Pangan pada tahun 2016 di Fakultas
Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya Malang.
Mei, 2017
Penulis
-
v
HALAMAN PERUNTUKAN
Alhamdulillah…… terimakasih ya Allah
Karya kecil ini aku persembahkan kepada kedua orang tua,
adik-adikku dan semua
sahabat tercintaku yang telah memberikan doa dan semangat dalam
menyelesaikan
karya ini
Semoga karya ini memberikan manfaat untuk kita semua.
Aamiin Ya Rabbal Alamiin.
-
vi
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : Reny Anggraeni
NIM : 135100500111003
Jurusan : Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas : Teknologi Pertanian
Judul Skripsi : Pengaruh Genotip Dan Lama Waktu Ekstraksi
Metode
Modified Microwave Assisted Extraction (MAE) Terhadap
Aktivitas antibakteri Ekstrak Etanol Cabai Rawit Lokal
(Capsicum frutescens L.)
Menyatakan bahwa,
Skripsi dengan judul di atas merupakan karya asli penulis
tersebut di atas. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar saya bersedia
dituntut sesuai
hukum yang berlaku.
Malang, Mei 2017
Pembuat Pernyataan,
Reny Anggraeni
NIM. 135100500111003
-
vii
RENY ANGGRAENI. 135100500111003. Pengaruh Genotip dan Lama Waktu
Ekstraksi Metode Modified Microwave Assisted Extraction (MAE)
terhadap Aktivitas antibakteri Ekstrak Etanol Cabai Rawit Lokal
(Capsicum frutescens L.). Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Joni Kusnadi,
M.Si.
RINGKASAN
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki
kelembapan tinggi sehingga memudahkan perkembangbiakan bakteri
patogen maupun non-patogen. Beberapa bakteri patogen dapat
menyebabkan infeksi, infeksi memerlukan antibiotik sebagai salah
satu obat utama. Seiring dengan perkembangan zaman, penggunaan
antibiotik dianggap kurang aman dan kurang efektif. Alternatif
penggunaan antibiotik adalah senyawa aktif dari tumbuhan seperti
Cabai Rawit (Capsicum frutesencs L.). Komponen bioaktif pada cabai
rawit seperti seperti flavonoid, alkaloid dan kapsaisinoid diduga
dapat menjadi senyawa antibakteri. Sebelum dilakukan uji aktivitas
antibakteri pada cabai rawit, dilakukan proses ekstraksi dengan
menggunakan energi gelombang mikro. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh jenis genotip dan lama waktu ekstraksi terhadap
aktivitas antibakteri ekstrak cabai rawit.
Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) 2 Faktor. Faktor I adalah jenis genotip cabai rawit terdiri
dari 3 level yaitu Genotip G5, G6, dan G15 dan faktor II adalah
lama waktu ekstraksi terdiri dari 2 level yaitu 10 dan 15 menit
sehingga diperoleh 6 perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Analisa
data hasil pengamatan dilakukan dengan menggunakan analisa ragam
(ANOVA) dengan uji lanjut dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test)
5%. Penetapan Perlakuan terbaik menggunakan metode Zeleny. Hasil
penelitan menunjukkan bahwa perlakuan genotip berpengaruh nyata (α
= 0,05) terhadap rendemen, total fenol, total flavonoid, dan
aktivitas antibakteri terhadap bakteri Eschericia coli, Shigella
dysenteriae, Salmonella typhi, Bacillus cereus, Staphylococcus
aureus, Listeria monocytogenes, sedangkan lama waktu ekstraksi
tidak berpengaruh nyata terhadap semua parameter. Interaksi antar
kedua perlakuan berpengaruh nyata (α = 0,05) terhadap total
flavonoid, dan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Salmonella
typhi dan Staphylococcus aureus. Genotip G15 dengan lama waktu
ekstraksi 15 menit merupakan perlakuan terbaik dengan karakteristik
sebgai berikut : Rendemen 3,40%, total fenol 76,76 mg GAE/ g berat
kering ekstrak, total flavonoid 419,94 mg QE/ g berat kering
ekstrak, aktivitas antibakteri (diameter hambat) terhadap
Eschericia coli 7,05 mm, Shigella dysenteriae 7,09 mm, Salmonella
typhi 7,90 mm, Listeria monocytogenes 7,81 mm, Bacillus cereus 9,59
mm dan Staphylococcus aureus 13,08 mm.
Kata Kunci: Antibakteri, Bakteri Patogen, Cabai Rawit,
Ekstraksi, MAE.
-
viii
RENY ANGGRAENI. 135100500111003.The Effect of Genotype and
Extraction Time Using Modified Microwave Extraction (MAE) Method on
Antibacterial Activity of Ethanol Extract of Local Cayenne Pepper
(Capsicum frutescens L.). Supervisor: Dr. Ir. Joni Kusnadi,
M.Si.
SUMMARY
Indonesia is a tropical country that has a high humidity to
facilitate pathogenic and non-pathogenic bacteria’s breeding. Some
pathogenic bacteria can cause infection, infection requires
antibiotics as one of the main drugs. As time goes by, the use of
antibiotics is less save and considered less effective because some
bacteria are more resistant. An alternative way to use antibiotics
is the active compound of plants such as cayenne pepper (Capsicum
frutesencs L.). Bioactive components in pepper such as flavonoids,
alkaloids and capsaisinoids can be antibacterial agent. Extraction
process using microwave energy should be done before testing the
antibacterial activity of pepper. This study aims to determine the
effect of genotypes and time of extraction on antibacterial
activity of pepper extract.
This research used Randomized Block Design (RDB) with 2 factors.
First factor was genotypes of chili pepper consists of 3 levels
(G5, G6, and G15). The second factor was the time of extraction
consists of 2 levels of 10 and 15 minutes. Data were analyzed using
Analysis of Variance (ANOVA), the following test used DMRT (Duncan
Multiple Range Test) 5%. Determination of the best treatment used
multiple attribute Zeleny. The results showed that genotype
treatment had significant effect (α = 0,05) on yield, total phenol,
total flavonoid, and antibacterial activity against Escherichia
coli, Shigella dysenteriae, Salmonella typhi, Bacillus cereus,
Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes bacteria. Extraction
time had no significant effect on all parameters. The interaction
between the two treatments had significant effect (α = 0,05) on
Total Flavonoid, and antibacterial activity against Salmonella
typhi and Staphylococcus aureus bacteria. Genotype G15 with 15
minutes of extraction was the best treatment with the following
characteristics: yield 3,40%, total phenol 76,76 mg GAE / g dry
weight extract, total flavonoid 419,94 mg QE / g dry weight
extract, antibacterial activity (Inhibitory diameter) to
Escherichia coli 7.05 mm, Shigella dysenteriae 7.09 mm, Salmonella
typhi 7.90 mm, Bacillus cereus 7.81 mm, Staphylococcus aureus 9.59
mm and Listeria monocytogenes 13.08 mm.
Keywords: Antibacterial, Extraction, MAE, Pathogenic Bacteria,
Pepper.
-
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, hingga penyusun dapat
menyelesaikan Laporan
Skripsi yang berjudul ”Pengaruh Genotip Dan Lama Waktu Ekstraksi
Metode
Modified Microwave Assisted Extraction (MAE) Terhadap Aktivitas
antibakteri
Ekstrak Etanol Cabai Rawit Lokal (Capsicum frutescens L.)”
dengan baik.
Pada kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih yang
sebesar-
besarnya kepada :
1. Dr. Ir. Joni Kusnadi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang
telah meluangkan
waktunya dan membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan
laporan
skripsi ini dengan baik secara menyeluruh
2. Prof. Dr. Teti Estiasih STP. MP., selaku Ketua Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya
3. Kedua orang tua, Erika dan Iqbal yang selalu mendoakan dan
memberi dukungan
dan semangat penuh baik materiil maupun no materiil
4. Sahabat-sahabat tersayang “Big Hero 6, Berandal Insyaf,
Mr.Joni Squad, dan
High School Never End” yang selalu memberi semangat dan dorongan
untuk
segera menyelesaikan penulisan skripsi ini
5. Teman seperjuangan Tim Capsicum Mas Dedi, Mbak Wuri, Agna,
Hamidah,
Titin, dan Desy yang telah banyak membantu sejak awal penulisan
skripsi ini
6. Teman-teman di THP dan Fakultas Teknologi Pertanian khususnya
angkatan
2013, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi yang
turut memberikan masukan serta dukungannya
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga karya tulis ini
dapat
bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Malang, Mei 2017
Penulis,
Reny Anggraeni
-
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
................................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN
....................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN
.....................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP
..................................................................................................
iv
HALAMAN PERUNTUKAN
...................................................................................
v
KEASLIAN SKRIPSI
.............................................................................................
vi
RINGKASAN
.........................................................................................................
vii
SUMMARY
............................................................................................................
viii
KATA PENGANTAR
.............................................................................................
ix
DAFTAR ISI
..........................................................................................................
x
DAFTAR TABEL
...................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR
...............................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
............................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
.................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah
...........................................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian
.............................................................................................
3
1.4 Manfaat Penelitian
...........................................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Cabai Rawit
.....................................................................................
5
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Cabai Rawit
............................................................. 7
2.1.2 Nama Daerah
...........................................................................................
7
2.1.3 Kandungan Kimia
....................................................................................
8
2.1.4 Manfaat Cabai Rawit
................................................................................
8
2.2 Senyawa Bioaktif pada Cabai Rawit
................................................................
9
2.3 Antibakteri
........................................................................................................
12
2.4 Mekanisme penghambatan zat antibakteri
....................................................... 13
2.5 Ekstraksi
..........................................................................................................
14
-
xi
2.6 Pelarut
.............................................................................................................
15
2.7 Microwave Assisted Extraction
(MAE)..............................................................
17
2.8 Bakteri Indikator
...............................................................................................
19
2.8.1 Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
.................................. 19
2.8.2 Bakteri Gram Positif
.................................................................................
20
2.8.3 Bakteri Gram Negatif
................................................................................
23
2.9 Antibiotik
..........................................................................................................
27
2.10 Resisten Antibiotik
.........................................................................................
27
2.11 Metode untuk Menguji Aktivitas Antibakteri
.................................................... 28
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
..........................................................................
29
3.2 Alat dan Bahan
................................................................................................
28
3.2.1 Alat
...........................................................................................................
29
3.2.2 Bahan
.......................................................................................................
30
3.3 Metode Penelitian
............................................................................................
30
3.4 Pelaksanaan Penelitian
...................................................................................
31
3.4.1 Penelitian Pendahuluan
............................................................................
31
3.4.2 Penelitian Utama
......................................................................................
32
3.4.3 Tahap Pengujian dan Analisis Data
.......................................................... 33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
.................................................................................
35
4.2 Analisis Rendemen dan Sifat Kimia Ekstrak Cabai
Rawit................................. 36
4.2.1 Rendemen Ekstrak Cabai Rawit
...............................................................
36
4.2.2 Total Fenol Ekstrak Cabai Rawit
..............................................................
38
4.2.3 Total Flavonoid Ekstrak Cabai Rawit
........................................................ 40
4.3 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit
......................................................... 41
4.3.1 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap E.coli
......................... 42
4.3.2 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap
Shigella dysenteriae .. 44
4.3.3 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap
Salmonella typhi ........ 45
4.3.4 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap
Bacillus cereus .......... 47
4.3.5 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap
L.monocytogenes ...... 49
4.3.6 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap
S.aureus ................... 51
-
xii
4.3.7 Perbedaan Kerentanan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
terhadap
Senyawa Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit
................................................ 53
4.4 Pemilihan Perlakuan Terbaik Metode Zeleny
................................................... 55
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
......................................................................................................
57
5.2 Saran
...............................................................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA
..............................................................................................
58
LAMPIRAN
............................................................................................................
68
-
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Deskripsi Berbagai Genotip Cabai Rawit
.......................................... 6
Tabel 2.2 Kandungan Kimia Cabai Rawit dalam 100
g...................................... 8
Tabel 2.3 Nilai Konstanta Dielektrik Beberapa Pelarut
...................................... 17
Tabel 2.4 Perbandingan Ekstraksi Microwave dengan Metode
Ekstraksi
Lain
...................................................................................................
19
Tabel 2.5 Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
........................... 20
Tabel 3.1 Kombinasi Perlakuan
........................................................................
31
Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Kadar Air Cabai Rawit
......................................... 35
Tabel 4.2 Data Hasil Total Fenol dan Flavonoid Cabai Rawit
........................... 35
Tabel 4.3 Rerata Total Flavonoid Ekstrak Cabai Rawit
..................................... 40
Tabel 4.4 Rerata Diameter Zona Bening pada Salmonella typhi
....................... 46
Tabel 4.5 Rerata Diameter Zona Bening pada Staphylococcus aureus
............. 52
Tabel 4.6 Perbandingan Diameter Daya Hambat Bakteri Uji
............................. 54
Tabel 4.7 Perlakuan Terbaik Cabai Rawit
......................................................... 56
-
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Cabai Rawit
....................................................................................
7
Gambar 2.2 Struktur Beberapa Senyawa Fenolik pada Cabai Rawit
.................. 9
Gambar 2.3 Struktur Dasar Beberapa Komponen Flavonoid pada
Cabai
Rawit
...............................................................................................
10
Gambar 2.4 Struktur Kimia Komponen Kapsaisinoid
.......................................... 11
Gambar 2.5 Gambaran Melintang Cabai Rawit
.................................................. 12
Gambar 2.6 Microwave Modifikasi
......................................................................
18
Gambar 2.7 Struktur Sel Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
........................ 19
Gambar 2.8 Bakteri Staphylococcus aureus
....................................................... 20
Gambar 2.9 Bakteri Listeria monocytogenes
...................................................... 21
Gambar 2.10 Bakteri Bacillus cereus
...................................................................
22
Gambar 2.11 Bakteri Salmonella typhi
.................................................................
23
Gambar 2.12 Bakteri Eschericia coli
.....................................................................
24
Gambar 2.13 Bakteri Shigella dysenteriae
........................................................... 26
Gambar 3.1 Diagram Alir Proses Ekstraksi Cabai Rawit Metode MAE
............... 34
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Genotip dan Lama Waktu Ekstraksi
terhadap
Rendemen Ekstrak Cabai Rawit
..................................................... 36
Gambar 4.2 Grafik Rerata Total Fenol Ekstrak Cabai Rawit
............................... 38
Gambar 4.3 Grafik Rerata Diameter Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Cabai
Rawit terhadap Eschericia coli
....................................................... 42
Gambar 4.4 Grafik Rerata Diameter Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Cabai
Rawit terhadap Shigella dysenteriae
............................................... 44
Gambar 4.5 Grafik Rerata Diameter Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Cabai
Rawit terhadap Bacillus cereus
....................................................... 48
Gambar 4.6 Grafik Rerata Diameter Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Cabai
Rawit terhadap Listeria
monocytogenes.......................................... 50
-
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Prosedur Analisa
......................................................................
68
Lampiran 2. Kadar Air Ekstrak (%)
...............................................................
73
Lampiran 3. Data Analisa Rendemen
.......................................................... 74
Lampiran 4. Data Analisa Total Fenol
.......................................................... 75
Lampiran 5. Data Analisa Total Flavonoid
................................................... 76
Lampiran 6. Data Analisa Antibakteri terhadap Eschericia coli
.................... 79
Lampiran 7. Data Analisa Antibakteri terhadap Shigella
dysenteriae ........... 80
Lampiran 8. Data Analisa Antibakteri terhadap Salmonella typhi
................. 81
Lampiran 9. Data Analisa Antibakteri terhadap Listeria
monocytogenes ..... 84
Lampiran 10. Data Analisa Antibakteri terhadap Bacillus cereus
................... 85
Lampiran 11. Data Analisa Antibakteri terhadap Staphylococcus
aureus ...... 86
Lampiran 12. Pemilihan Perlakuan Terbaik Metode Zeleny
........................... 88
Lampiran 13. Data Analisa Bahan Baku Cabai Rawit
.................................... 90
Lampiran 14. Data Sekunder Konsentrasi Kapsaisinoid Metode HPLC
......... 90
Lampiran 15. Kurva Pertumbuhan Eschericia coli
.......................................... 92
Lampiran 16. Kurva Pertumbuhan Bacillus cereus
......................................... 93
Lampiran 17. Kurva Pertumbuhan Shigella dysenteriae
................................. 94
Lampiran 18. Kurva Pertumbuhan Staphylococcus aureus
............................ 95
Lampiran 19. Kurva Pertumbuhan Listeria monocytogenes
........................... 96
Lampiran 20. Kurva Pertumbuhan Salmonella typhi
...................................... 97
Lampiran 21. Dokumentasi Penelitian
............................................................ 98
-
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki
kelembapan tinggi
sehingga memudahkan perkembangbiakan mikroorganisme, salah satu
mikro-
organisme yang dapat tumbuh dengan baik adalah bakteri, baik
yang bersifat
patogen maupun non patogen. Beberapa bakteri patogen dapat
menyebabkan
infeksi dan tidak jarang menyebabkan kematian. Infeksi
memerlukan antibiotik
sebagai salah satu obat utama (Nelwan, 2006).
Antibiotik merupakan obat yang dapat mengobati infeksi oleh
bakteri. Seiring
dengan perkembangan zaman, penggunaan antibiotik dianggap kurang
efektif
karena bakteri semakin resisten terhadap antiobiotik (Ventola,
2015). Resistensi
antibiotik terjadi akibat evolusi genetik (susunan gen) dan
biokimiawi (zat-zat dalam
tubuh bakteri). Bahkan telah diketahui bahwa bakteri dapat
saling melakukan
transfer gen yang menyebabkan semakin meningkatnya jumlah
bakteri yang
memiliki kemampuan resistensi terhadap antibiotik (Sudigdoadi,
2015). Selain
adanya efek samping dari antibiotik, gaya hidup kembali ke alam
(back to nature)
mendorong para peneliti untuk mencari alternatif. Alternatif
tersebut berupa senyawa
aktif dari tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai antibakteri dan
tidak menimbulkan
efek samping. Tumbuhan yang diduga memiliki senyawa aktif
sebagai antibakteri
adalah Cabai Rawit (Capsicum frusencens L.).
Cabai rawit merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura
di
Indonesia dan merupakan salah satu jenis sayuran yang sangat
berpotensi untuk
dikembangkan karena memiliki manfaat yang sangat luas. Cabai
rawit sering
dimanfaatkan sebagai penyedap rasa, pewarna bahan makanan,
sebagai bahan
pengawet, penambah selera makan, pembuatan ramuan obat-obatan
dan pada
industri makanan dapat digunakan sebagai pengganti lada
(Cahyono, 2003). Cabai
rawit memiliki berbagai jenis genotip, dimana genotip unggul
biasanya didasarkan
atas penampilan fenotip. Umumnya penampilan karakter kuantitatif
berbagai genotip
cabai rawit bervariasi dari suatu lingkungan ke lingkungan
lainnya. Meskipun
tanaman cabai rawit dapat tumbuh di berbagai ketinggian,
ketinggian tempat
-
2
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan kandungan senyawa
bioaktif
karena berkaitan langsung dengan keadaan iklim setempat, seperti
suhu udara,
curah hujan, kelembaban udara dan penyinaran matahari yang
dibutuhkan oleh
tanaman. Maka dari itu penulis ingin mengetahui kandungan
senyawa bioaktif dan
aktivitas antibakteri berbagai genotip cabai rawit yang berasal
dan ditanam pada
ketinggian tempat yang berbeda.
Kandungan gizi pada cabai rawit cukup lengkap antara lain
karbohidrat,
protein, mineral, vitamin C, vitamin E, karotenoid, serat kasar,
minyak atsiri, dan
komponen bioaktif seperti seperti flavonoid, alkaloid dan
kapsaisinoid (Srinivas,
2009). Kapsaisinoid yang terdiri dari kapsaisin dan
dihydrokapsaisin (90%) serta
sebagian kecil nordihydrokapsaisin, norkapsaisin, homokapsaisin,
homodihydro-
kapsaisin, nornorkapsaisin, nornordihydrokapsaisin, merupakan
zat yang menye-
babkan rasa pedas pada cabai rawit (Barbero et al., 2007).
Selain menyebabkan
rasa pedas, senyawa kapsaisinoid dapat menghambat beberapa
bakteri patogen
penyebab infeksi pada manusia atau merupakan senyawa antibakteri
(Dorantez et
al., 2000).
Sebelum dilakukan uji aktivitas antibakteri pada cabai rawit,
perlu dilakukan
proses ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak cabai rawit.
Ekstraksi adalah suatu
proses pemisahan suatu senyawa dengan bantuan pelarut. Pelarut
yang digunakan
harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa
melarutkan material
lainnya (Pratiwi, 2010). Seiring dengan kemajuan teknologi
inovasi, maka ekstraksi
dengan menggunakan microwave lebih sering digunakan karena
dengan bantuan
energi gelombang mikro, gelombang mikro bisa langsung diserap
oleh bahan dan
pelarut sehingga menyebabkan waktu ekstraksi lebih singkat dan
energi yang
digunakan lebih sedikit. Pada penelitian kali ini, ekstraksi
akan dilakukan dengan
menggunakan modified microwave dimana alat microwave akan
dilengkapi dengan
kondensor yang mengakibatkan pelarut akan terkondensasi setelah
terjadi proses
ekstraksi dan penguapan pelarut, sehingga resiko pelarut hilang
ke lingkungan
semakin kecil.
Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sylvia et al
(1996)
mengenai aktivitas antibakteri berbagai jenis cabai (cabai
merah, cabai keriting dan
cabai rawit) dengan metode maserasi dan penelitian yang telah
dilakukan oleh Bello
et al. (2015) tentang aktivitas antibakteri berbagai varietas
cabai rawit di Nigeria,
maka perlu dilakukan penelitian aktivitas antibakteri ekstrak
etanolik berbagai
-
3
genotip cabai rawit lokal terhadap beberapa bakteri patogen
dengan menggunakan
microwave. Etanol merupakan pelarut yang memiliki daya serap
tinggi terhadap
energi gelombang elektromagnetik, selain itu etanol mampu
melarutkan senyawa
organik yang tidak larut di dalam air pada buah cabai rawit
(Barbero, 2006). Kajian
terhadap pemilihan berbagai lama waktu ekstraksi pada proses
ekstraksi sangat
penting, menurut Doughari (2012) semakin lama waktu ekstraksi
maka akan
semakin tinggi yield yang diperoleh, namun bila ekstraksi telah
mencapai batas
maksimum maka penambahan waktu tidak akan mempengaruhi laju
ekstraksi, maka
dari itu penulis ingin mengetahui efektifitas lama waktu proses
ekstraksi terhadap
senyawa yang terdapat pada cabai rawit.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan dapat
dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaruh jenis genotip cabai rawit terhadap
aktivitas antibakteri
ekstrak etanol cabai rawit?
2. Bagaimana pengaruh lama waktu ekstraksi terhadap aktivitas
antibakteri ekstrak
cabai rawit?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh jenis genotip terhadap kandungan senyawa
bioaktif dan
aktivitas antibakteri ekstrak cabai rawit.
2. Mengetahui pengaruh lama waktu terhadap kandungan senyawa
bioaktif dan
aktivitas antibakteri ekstrak cabai rawit.
-
4
1.4 Manfaat
1. Memberi dasar pengembangan ilmu pengetahuan mengenai efek
antibakteri
berbagai varietas cabai rawit lokal.
2. Sebagai acuan lebih mendalam mengenai efektivitas bahan alam
sebagai
antibakteri terhadap bakteri patogen.
-
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Cabai Rawit
Tanaman cabai rawit tergolong dalam famili terung-terungan
(Solanaceae)
yang tumbuh tegak. Cabai rawit pertama kali dibawa pada zaman
Columbia akhir
ke Pasifik dan daerah-daerah tropik lainnya dan mengalami
naturalisasi di beberapa
tempat, termasuk Afrika tropik dan Asia Tenggara termasuk
Indonesia
(Djarwaningsih, 2005). Cabai rawit mudah ditanam di dataran
rendah ataupun
tinggi. Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri.
Namun
demikian, persilangan antar varietas secara alami sangat mungkin
terjadi di
lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan
sendirinya
(Cahyono, 2003). Beberapa cabai rawit yang digunakan dalam
penenlitian dapat
dilihat pada Tabel 2.1.
-
6
Tabel 2.1 Deskripsi Berbagai Genotip Cabai Rawit (Ratih,
2016)
Genotipe Deskripsi Asal
G5 Bunga cabai rawit Genotipe 5 tumbuh pada bagian aksil.
Terdapat satu bunga dengan posisi tegak pada tiap-tiap aksil
tersebut. Saat mekar, bunga ini memiliki antera yang berwarna biru,
panjang 2±0,00 mm dengan filamen yang berwarna ungu, panjang 3±0,00
mm. Buah berbentuk triangular, warna buah mentah kuning kehijauan,
warna buah matang merah. Panjang buah sekitar 3,95±0,33 cm, lebar
1,54±0,13 cm, berat 2,80±0,26 g, panjang tangkai 2,96±0,24 cm,
tebal dinding buah 1,00±0,17 mm. Biji berwarna kekuningan (straw),
permukaan halus, jumlah biji per buah 62±9,84 dengan diameter biji
sekitar 3,91±0,21 mm.
Malang (ketinggian antara 440 – 667 mdpl, suhu udara berkisar
antara 22,7°C – 25,1°C, kelembaban udara berkisar 79% – 86%)
(Pemkot Malang, 2008)
G6 Warna batang cabai Genotip 6 ketika menjelang
ditanam adalah ungu. Tinggi tanaman sekitar
59,29±8,99 cm, dan lebar kanopi sekitar 59,71±14,47
cm. Batang bersudut (angled), berbulu rapat, panjang
batang sekitar 26,86±9,44 cm, diameter batang sekitar
6,70±1,12 mm. Panjang batang tergolong pendek
akibat tanaman ini mengalami gejala pucuk keriting
dan rontok pada fase vegetatifnya. Daun cukup lebat,
berwarna hijau, Bunga tersebut tumbuh dalam posisi
tegak. warna buah mentah kuning kehijauan, warna
buah matang merah. Panjang buah sekitar 4,17±0,37
cm, lebar 1,24±0,12 cm, berat 2,02±0,22 g, panjang
tangkai 2,80±0,23 cm, tebal dinding buah 0,92±0,18
mm. Ujung buah tumpul, panjang plasenta >1/2
panjang buah. Biji berwarna kecoklatan (tan),
permukaan biji halus, jumlah biji per buah 40±8,08
(n=30) dengan diameter biji sekitar 3,90±0,17 mm
(n=150).
Malang (ketinggian antara 440 – 667 mdpl, suhu udara berkisar
antara 22,7°C – 25,1°C, kelembaban udara berkisar 79% – 86%)
(Pemkot Malang, 2008)
G15 Kerapatan daun sedang, warna daun hijau, bentuk
daun ovate, jumlah buah per axil satu, posisi bunga
erect, warna corolla putih, spot corolla berwarna putih,
bentuk corolla rotate, warna anther hijau, warna
filament ungu muda, stigma tereksersi, warna calyx
tidak ada, tepi calyx dentate, annular contriction tidak
ada, warna buah mentah kuning, fruit set intermediet,
warna buah tua merah terang, bentuk buah elongate,
pelekatan buah obtuse, leher buah absent, ujung buah
pointed, tambahan ujung buah absent, permukaan
buah semiwrinkled.
Banyuwangi
(ketinggian antara
6 hingga 125
mdpl, suhu udara
berkisar antara
26,7°C – 28,8°C,
kelembaban udara
berkisar 79% –
82%) (Pemkab
Banyuwangi,
2008)
-
7
(a) (b) (c)
Gambar 2.1 Cabai Rawit : (a) Genotip G5, (b) Genotip G6, (c)
Genotip G15
2.1.1. Klasifikasi Tanaman Cabai Rawit
Tanaman cabai rawit memiliki klasifikasi sebagai berikut
(Simpson, 2010):
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Corolliforea
Famili : Solanaceae
Genus : Capsicum
Species : Capsicum frutescens L.
2.1.2. Nama Daerah
Sumatera: Leudeu (Gayo) Sidudu langit (Balak simalungun) lada
limi (Nias)
Lado Kutu (Minangkabau) Lada Mutia (Melayu). Jawa: Cabe rawit
(Sunda) Lombok
jemprit (Jawa tengah) Cabi telek (Madura). Bali: Tabia krinyi.
Nusa Tenggara: Sebia
kidi (Sasak) Kurus (Alor) Hisa bure (Sangir). Sulawesi: Rica
halus (Manado) Kaluya
Kapal (Alfuru) Mareta dodi (Mongondoe) Mulita diiti (Gorontalo)
Malita didi (Buol)
Lad masiwo (Barcee) Lada marica (Makassar). Maluku: Karatupe
batawe (Seram).
Irian: Ricagufu (Ternate) Ricagufa (Tidore) Metrek wakloh
(Sarmi) Basen tanah
(Berik).
-
8
2.1.3. Kandungan Kimia
Secara umum, Capsicum frutescens memiliki kandungan kimia
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Kandungan Kimia Cabai Rawit dalam 100 Gram
Komponen Kimia Total
Kadar Air (g) Karboidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Total Gula
(g) Sodium (Na) (mg) Potassium (K) (mg) Kalsium (Ca) (mg) Magnesium
(Mg) (mg) Vitamin C (mg) Total fenol (mg)
73.4 1 9.18 1
11.67 1 0.35 1 4.2 1 1 1 216 1 7 1 11 1 22.21 1 110.6 2
Kapsaisin (mg) 109.8 2 Dihydrokapsaisin (mg) 42.0 2
Sumber : 1(Roe et al., 2013) 2 (Nascimento et al., 2014)
2.1.4. Manfaat Cabai Rawit
Selain pemanfaatan cabai rawit yang sangat luas, kandungan
kapsaisinoid
yang terdapat di dalam cabai rawit memiliki manfaat terhadap
sistem kardiovaskuler
(Josse et al., 2010; Luo et al., 2010; Peng, 2010). Cabai dapat
mempengaruhi
reaksi-reaksi dalam tubuh secara tepat. Melalui peredaran darah,
cabai
mempengaruhi muatan-muatan listrik yang ada di seluruh tubuh
untuk
mempengaruhi kerja jantung, lalu pembuluh arteri dan kapiler
darah, serta
merangsang saraf untuk tetap bekerja (Suparman, 2006).
Kapsaisinoid juga memiliki
aktivitas antitumor (Rajput et al., 2012; Laviada dan Henche,
2014). Kapsaisinoids
juga terbukti memiliki aktivitas antioksidan dengan kemampuannya
untuk mencegah
pembentukan ROS (reactive oxygen species) yang terlalu banyak
(Kogure et al.,
2002; Kim et al., 2013). Selain kandungan kapsaisinoid,
kandungan fenol dan
flavonoid di dalam cabai rawit berfungsi sebagai antioksidan
sehingga sangat baik
-
9
untuk pencegahan kanker. Manfaat lain adalah untuk melindungi
struktur sel,
meningkatkan efektivitas vitamin C, anti-inflamasi, mencegah
keropos tulang dan
sebagai agen antibakteri (Waji dan Sugrani, 2009).
2.2 Senyawa Bioaktif pada Cabai Rawit
Senyawa bioaktif dapat berperan sebagai antioksidan, antikanker
dan
antibakteri. Beberapa senyawa bioaktif yang terdapat pada cabai
rawit adalah
sebagai berikut:
a. Fenol
Fenol merupakan senyawa kimia yang terdapat gugus hidroksil
(-OH) yang
berikatan dengan hidrokarbon aromatik. Senyawa fenolik memiliki
tipe struktur yang
sederhana seperti asam fenolat, dan kumarin hingga struktur yang
kompleks seperti
flavonoid dan tannin (Robbins et al., 2006). Menurut Wahyuni et
al., (2013)
menyatakan bahwa senyawa fenol yang terdapat pada beberapa cabai
seperti
Capsicum annuum, Capsicum chinense dan Capsicum frutescens
antara lain
myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, apigenin, asam
trans-p-ferulat.
Gambar 2.2. Struktur Beberapa Senyawa Fenolik Pada Cabai (Zhao
et al., 2011).
b. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu sub-klas fenol yang memiliki
peranan
paling penting bagi kesehatan dibandingkan senyawa lainnya
(Robbins et al.,
-
10
2006). Flavonoid dibagi menjadi beberapa subklas antara lain
flavonols
(quercetin), flavones (luteolin, apigenin), flavanones
(naringenin), dan flavanols
(cathecin, epicatechin, procyanidins/oligomers and polymers)
(Counet et al.,
2004). Senyawa flavonoid yang terdapat pada cabai antara lain
myricetin,
quercetin, luteolin, kaempferol. Struktur dasar komponen
flavonoid dapat dilihat
pada Gambar 2.2
Gambar 2.3. Struktur Dasar Beberapa Komponen Flavonoid pada
Cabai Rawit
(Jayaprakash and Marshall, 2012)
c. Kapsaisinoid
Kapsaisinoid merupakan senyawa bioaktif yang bertanggung jawab
terhadap
kepedasan pada cabai rawit. Kapsaisinoid hanya ditemukan pada
genus Capsicum.
Komponen utama kapsaisinoid adalah kapsaisin dan
dihidrokapsaisin yang
mencapai 90% dari total kapsaisinoid. Komponen lainnya adalah
nordihydro-
kapsaisin, homodihidrokapsaisin, dan homokapsaisin. Kapsaisin
merupakan senya-
wa alkaloid yang bersifat lipofilik, tidak berwarna, tidak
berbau, dan larut pada
minyak, alkohol dan lemak. Kapsaisinoid sering dimanfaatkan pada
bidang pangan
dan bidang farmasi (Pena et al., 2009). Kandungan kapsaisinoid
tergantung pada
genotip dan tergantung pada tingkat kematangan buah (Estrada et
al., 2000). Selain
itu faktor kondisi lingkungan dan nutrisi pada saat penanaman
juga dapat
-
11
mempengaruhi kandungan kapsaisinoid. Level tingkat kepedasan
paca cabai rawit
dinyatakan dalam satuan SHU (Scoville Heat Unit). Semakin tinggi
nilai SHU maka
semakin pedas cabai rawit tersebut.
Gambar 2.4. Struktur Kimia Komponen Kapsaisinoid (Khrisna,
2003)
2.2.1 Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Senyawa Bioaktif
Senyawa bioaktif pada tumbuhan merupakan senyawa-senyawa
hasil
metabolisme sekunder, yang tidak terdapat secara merata dalam
makhluk hidup dan
ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Senyawa bioaktif pada
tanaman berperan
sebagai sistem pertahanan dari polusi, stres, paparan sinar UV
(Sermakkani dan
Thangapandian, 2012). Metabolit sekunder terbentuk karena lahan
yang relatif
kering, suhu yang kurang optimum, pH dan kelembaban tanah.
2.2.2. Distribusi Senyawa Bioaktif di dalam Buah
Senyawa bioaktif pada buah cabai rawit terdistribusi pada
beberapa jaringan.
Kapsaicin lebih banyak ditemukan pada bagian septum, sedangkan
fenol, flavonoid,
saponin dan tannin terdistribusi pada plasenta dan pericarp.
Bagian-bagian buah
dapat dilihat pada Gambar 2.5.
-
12
Gambar 2.5 Gambaran Melintang cabai rawit dilihat dengan
mikroskop cahaya
(Herawan, 2010).
2.3 Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa (baik kimia maupun non kimia) yang
digunakan
untuk mengendalikan pertumbuhan ataupun membunuh bakteri yang
bersifat
merugikan manusia. Pengendalian pertumbuhan mikroorganisme
bertujuan untuk
mencegah penyebaran penyakit dan infeksi, membasmi
mikroorganisme pada inang
yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta perusakan bahan
oleh
mikroorganisme.
Zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri),
bakteriostatik
(menghambat pertumbuhan bakteri), dan germisidal (menghambat
germinasi spora
bakteri). Kemampuan suatu zat antibakteri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri
dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya konsentrasi zat
antibakteri, jenis,
jumlah, umur dan keadaan mikroba, suhu, waktu, kadar air, pH,
jenis dan jumlah
komponen di dalamnya (Agustrina, 2011).
Ket:
a: Pericarp
b: Septum
c: Biji
d: Plasenta
e: Funikulus
-
13
2.4 Mekanisme Penghambatan Zat Antibakteri
Secara umum, mekanisme kerja antibakteri dibagi menjadi empat
cara, yaitu:
1. Penghambatan sintesis dinding sel
Bakteri memiliki dinding sel yang kaku, terdiri atas
peptidoglikan, dan
berfungsi untuk mempertahankan bentuk mikroorganisme dan menahan
sel
bakteri, yang memiliki tekanan osmotik yang tinggi di dalam
selnya. Mekanisme
antibakteri yaitu dengan merusak dinding sel atau menghambat
pemben-
tukannya sehingga akan menyebabkan lisis pada sel.
2. Penghambatan fungsi selaput sel
Sitoplasma dibatasi oleh selaput sitoplasma yang berfungsi
sebagai
penghalang dengan permeabilitas aktif, melakukan fungsi
transportasi aktif,
dengan demikian mengendalikan susunan dalam sel. Mekanisme
kerja
antibakteri akan mengganggu integritas fungsi selaput sitoplasma
sehingga
makromolekul dan ion dalam sel akan lolos keluar sel sehingga
terjadilah
kerusakan atau kematian sel.
3. Penghambatan sintesis protein
Salah satu mekanisme penghambatan sintesis protein dilakukan
dengan
menghambat perlekatan tRNA dan mRNA ke ribosom, sehingga pada
akhirnya
dapat mengganggu proses translasi dan transkripsi bahan
genetik.
4. Penghambatan sintesis asam nukleat
Penghambatan sintesis asam nukleat dilakukan dengan cara
memutuskan
ikatan polymerase RNA dan menghambat metabolism folat
(Poeloengan et al.,
2006).
-
14
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan suatu senyawa dengan
bantuan
pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak
substansi yang diinginkan
tanpa melarutkan material lainnya (Pratiwi, 2010).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ekstraksi,
diantaranya:
1. Suhu
Kelarutan bahan yang diekstraksi dan difusivitas biasanya akan
meningkat dengan
meningkatnya suhu, sehingga diperoleh laju ekstraksi yang
tinggi. Pada beberapa
kasus, batas atas untuk suhu operasi ditentukan oleh beberapa
faktor, salah satunya
adalah perlunya menghindari reaksi samping yang tidak diinginkan
(Sapkale et al.,
2010).
2. Penyiapan bahan sebelum ekstraksi
Agar proses ekstraksi berlangsung dengan cepat dan efisien perlu
dilakukan tahap
persiapan bahan baku seperti pengeringan dan penggilingan untuk
memperkecil
ukuran partikel dan memperbesar luas permukaan yang bersentuhan
dengan
pelarut. Pengurangan kadar air ini juga akan membuat bahan dapat
bertahan lama
sebelum proses ekstraksi berlangsung. Bahan baku juga perlu
disimpan pada
tempat yang kering untuk menjaga kelembabannya sehingga tidak
merusak kualitas
hasil ekstraksi. Dengan pengeringan yang sempurna akan
dihasilkan ekstrak yang
memiliki kemurnian tinggi (Fauzi, 2012).
3. Ukuran partikel
Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas bidang kontak
antara padatan
dan solven, serta semakin pendek jalur difusinya, yang
menjadikan laju transfer
massa semakin tinggi (Khanuja et al., 2008).
4. Waktu
Semakin lama waktu ekstraksi maka akan semakin tinggi yield yang
diperoleh,
namun bila ekstraksi telah mencapai batas maksimum maka
penambahan waktu
tidak akan mempengaruhi laju ekstraksi (Doughari, 2012).
-
15
5. Faktor solven
Dalam pemilihan pelarut ada beberapa faktor yang harus
dipertimbangkan, antara
lain (Genin, 2007) :
a. Selektivitas Pelarut.
Pelarut yang dipilih harus dapat melarutkan ekstrak yang
diinginkan, bukan
komponen – komponen lain dari sampel yang akan diekstraksi.
b. Kelarutan
Nilai kelarutan bahan yang diekstak terhadap pelarut harus cukup
tinggi agar
pelarut mampu melarutkan ekstrak.
c. Viskositas
Viskositas pelarut berpengaruh pada koefisien difusi dan laju
ekstraksi.
Viskositas pelarut yang rendah akan meningkatkan koefisien
difusi sehingga
laju ekstraksi meningkat.
d. Kecocokan dengan solut
Pada umumnya pelarut tidak boleh bereaksi atau menyebabkan
perubahan
secara kimia pada komponen – komponen bahan ekstraksi.
e. Titik didih
Untuk memudahkan proses pemurnian ada baiknya perbedaan titik
didih
antara pelarut dan bahan yang diekstrak cukup besar
2.6 Pelarut
Pelarut merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan
dalam proses
ekstraksi suatu senyawa. Hal ini karena pelarut akan menentukan
seberapa banyak
suatu senyawa dapat diekstrak. Hal yang perlu diperhatikan dalam
memilih pelarut
adalah selektivitas, kelarutan, titik didih, sifat racun, mudah
tidaknya terbakar, sifat
korosif terhadap bahan dan peralatan ekstraksi, serta kriteria
lain seperti harga,
tersedia dalam jumlah banyak. Jenis jenis pelarut yang biasa
digunakan dalam
proses ekstraksi antara lain (Taylor et al., 2005).
1. Etanol, etanol sering digunakan sebagi pelarut dalam
laboratorium karena
mempunyai kelarutan yang relatif tinggi dan bersifat inert
sehingga tidak bereaksi
dengan komponen lainnya. Etanol memiliki titik didih yang rendah
sehingga
memudahkan pemisahan minyak dari pelarutnya dalam proses
distilasi.
-
16
2. n-Heksana, merupakan pelarut yang paling ringan dalam
mengangkat minyak
yang terkandung dalam biji–bijian dan mudah menguap sehingga
memudahkan
untuk refluk. Pelarut ini memiliki titik didih antara
65–70oC.
3. Isopropanol, merupakan jenis pelarut polar yang memiliki
massa jenis 0,789 g/ml.
Pelarut ini mirip dengan ethanol yang memiliki kelarutan yang
relatif tinggi.
Isopropanol memiliki titik didih 81-82oC.
4. Etil asetat, merupakan jenis pelarut yang bersifat semi
polar. Pelarut ini memiliki
titik didih yang relatif rendah yaitu 77oC sehingga memudahkan
pemisahan
minyak dari pelarutnya dalam proses destilasi.
5. Aseton, aseton larut dalam berbagai perbandingan dengan air,
etanol, dietil eter
dan lain-lain. Aseton digunakan untuk membuat plastik, serat,
obat-obatan, dan
senyawa-senyawa kimia lainnya.
6. Metanol, pelarut metanol merupakan pelarut yang paling banyak
digunakan
dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam.
-
17
Nilai konstanta dielektrik beberapa pelarut disajikan pada Tabel
2.3, semakin besar
nilai konstanta dielektrik, maka semakin tinggi pula tingkat
kepolaran suatu pelarut
(Bruice, 2004).
Tabel 2.3 Nilai Konstanta Dielektrik Beberapa Pelarut
Pelarut Konstanta dielektrik Titik didih (0C)
Pelarut protik
Air 79 100
Asam Format 59 100,6
Methanol (MeOH) 33 64,7
Ethanol (EtOH) 25 78,3
Asam Asetat 6 117,9
Pelarut aprotic
DImetil Sulfoxide (DMSO) 47 189
Asetonitril (MeCN) 38 81,6
Aseton (Me2CO) 21 56,3
Benzena 2,3 80,1
Heksana 1,9 68,7
Sumber: Barbero, 2006.
2.7 Microwave Assisted Extraction (MAE)
Microwave Assisted Extraction (MAE) merupakan teknik untuk
mengekstraksi
bahan-bahan terlarut di dalam bahan tanaman dengan bantuan
energi gelombang
mikro. Teknologi tersebut cocok bagi pengambilan senyawa yang
bersifat termolabil
karena memiliki kontrol terhadap temperatur yang lebih baik
dibandingkan proses
pemanasan konvensional. Selain kontrol suhu yang lebih baik, MAE
juga memiliki
beberapa kelebihan lain, diantaranya adalah waktu ekstraksi yang
lebih singkat,
konsumsi energi dan solvent yang lebih sedikit, rendemen yang
lebih tinggi, akurasi
dan presisi yang lebih tinggi, adanya proses pengadukan sehingga
meningkatkan
fenomena transfer massa, dan pengaturan peralatan yang
menggabungkan fitur
sokhlet dan kelebihan dari microwave (Purwanto, 2010).
-
18
Gambar 2.6 Microwave Modifikasi (Hanief et al., 2013)
Pemanasan oleh radiasi gelombang mikro berbeda dengan
pemanasan
konvensional. Dalam pemanasan konvensional, energi panas
dipindahkan dari
sumber ke objek melalui konduksi dan konveksi, sedangkan
gelombang mikro
menembus ke dalam pori-pori dan kemudian energi
elektromagnetik
ditransformasikan ke panas melalui konduksi ionik dan rotasi
dipol (Hidayat dan
Mulyono, 2006 dalam Setyarini, 2010). Panas radiasi gelombang
mikro ini dapat
memanaskan dan menguapkan air pada sel sampel. Sehingga tekanan
pada
dinding sel meningkat. Akibatnya, sel membengkak (swelling) dan
tekanan tersebut
mendorong dinding sel dari dalam, meregangkan, dan memecahkan
sel tersebut.
Rusaknya sel tumbuhan mempermudah senyawa target keluar dan
terekstraksi.
Pada pemanasan dengan gelombang mikro, hanya pelarut dan
partikel larutan saja
yang dipanaskan sehingga terjadi pemanasan yang merata pada
pelarut (Taylor et
al., 2005 dalam Setyarini, 2010). Pemanasan terjadi pada semua
bagian bahan
atau larutan reaksi, karena energi langsung diserap oleh bahan
yang akan
dipanaskan tanpa melibatkan wadah yang ada sehingga mempercepat
tercapainya
reaksi sempurna. Secara teoritis, energi panas ini mempengaruhi
laju reaksi.
Semakin banyak energi radiasi yang diserap, semakin besar energi
panas yang
diterima oleh bahan dan semakin tinggi suhunya, sehingga laju
reaksi semakin
cepat dan produk yang terbentuk semakin banyak.
Keterangan:
1. Labu Ekstraksi
2. Pengatur daya
3. Pengatur waktu
4. Kondensor
5. Corong pemisah
6. Labu Penampung
7. Termokopel
-
19
Tabel 2.4 Perbandingan ekstraksi microwave dan metode ekstraksi
lain
Parameter Soxhlet Sonikasi Microwave Fluida
superkritis
Berat sampel (g) 5-10 5-30 0,5-1 1-10
Pelarut Diklorometana,
aseton,
heksan,
toluena, dan
sikloheksan
Diklorometana,
aseton,
heksan,
toluena, dan
sikloheksan
Heksan,
etanol
CO2
Volume pelarut (ml) >300 300 10-20 5-25
Suhu Titik didih Suhu ruang 40,70,100 50, 200
Waktu 16 Jam 30 menit 30-45 detik 30-60 menit
Tekanan (atm) Ruang Ruang 1-5 150-650
Konsumsi energi 1 0,05 0,05 0,25
Sumber: Puryani, 2007
2.8 Bakteri Indikator
2.8.1. Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Negatif
Gambar 2.7 Struktur Sel Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
(Aryal, 2015)
Dinding sel merupakan komponen utama sel dan memberikan bentuk
serta
kekuatan pada sel prokariot. Berdasarkan komposisi dan struktur
dinding selnya,
-
20
bakteri dibedakan menjadi dua yaitu bakteri Gram Positif dan
Gram Negatif.
Perbedaan keduanya dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
Karakteristik Gram Positif Gram Negatif
Pewarnaan Gram Biru atau ungu Merah mudah atau merah Dinding sel
20-30 nm 8-12 nm
Lapisan Peptidoglikan Berlapis banyak Berlapis tunggal Membran
luar Tidak ada Ada
Lipopolisakarida Tidak ada Ada Lipid dan Lipoprotein Lemah
Tinggi
Perlakuan fisik Lebih tahan Kurang tahan Ketahanan terhadap
penisilin Lebih rentan (sensitif) Lebih tahan
Sumber: Aryal, 2015.
2.8.2. Bakteri Gram Positif
2.8.2.1. Staphylococcus aureus
Gambar 2.8 Bakteri Staphylococcus aureus (Oeggerli, 2012)
Staphylococcus aureus merupakan bagian dari flora alami yang
terdapat di
membran mucus dan kulit manusia, termasuk ke dalam bakteri Gram
positif yang
berbentuk bulat, berdiameter 1µm tersusun dalam kelompok seperti
anggur yang
tidak teratur, merupakan bakteri katalase negatif dan koagulase
positif (Harvey,
-
21
Pamela dan Bruce, 2007). Staphylococcus aureus tumbuh dengan
baik pada
berbagai media bakteriologi dibawah suasana aerobik atau
mikroaerofilik dan
tumbuh dengan cepat pada temperatur 37°C. Koloni pada media yang
padat
berbentuk bulat, lembut, dan mengkilat. Staphylococcus aureus
biasanya
membentuk koloni abu-abu hingga kuning emas (Jawetz, 1996). Pada
lempeng
agar, koloninya berbentuk bulat, diameter 1-2 mm, cembung,
buram, mengkilat dan
konsistensinya lunak (Syahrurahman et al., 2010). Staphylococcus
aureus dapat
menghasilkan biofilm berupa zat EPS (extracellular polymeric
substance) yang dapat
menyebabkan Staphylococcus aureus resisten terhadap antibiotik
(Oeggerli, 2012).
Menurut Syahrurahman et al. (2010) klasifikasi Staphylococcus
aureus adalah
sebagai berikut
Ordo : Eubacteriales
Famili : Micrococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
2.8.2.2. Listeria monocytogenesis
Gambar 2.9 Bakteri Listeria monocytogenesis (Falkenstein,
2016)
Listeria monocytogenes merupakan bakteri Gram positif, berbentuk
batang,
merupakan bakteri katalase positif dan fakultatif aerob (Harvey,
Pamela and Bruce
2007). Listeria monocytogenes adalah bakteri yang menyebabkan
keracunan
makanan, penyakit ini disebut listeriosis. Listeria
monocytogenes dapat menyerang
-
22
tubuh melalui saluran pencernaan normal. Setelah di tubuh,
Listeria dapat
melakukan perjalanan melalui aliran darah, tetapi bakteri ini
sering ditemukan di
dalam sel. Listeria monocytogenes juga menghasilkan racun yang
merusak sel.
Pada wanita hamil, janin dapat terinfeksi, menyebabkan aborsi
spontan, lahir mati,
atau sepsis (infeksi darah) pada bayi (Falkenstein, 2016).
Klasifikasi Listeria monocytogenesis adalah sebagai berikut
(Pal, 2007):
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Listeriaceae
Genus : Listeria
Species : Listeria monocytogenesis
2.8.2.3. Bacillu cereus
Gambar 2.10 Bakteri Bacillus cereus (Koerner, 2015)
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang,
memiliki
flagella dan membentuk spora tahan panas dan kondisi ekstrim
lainnya. Bacillus
cereus dapat ditemukan dan tersebar di tanah, suhu optimal
pertumbuhannya
adalah 370C dengan kondisi aerob (Wijnands et al., 2006), tetapi
juga dapat
bertahan pada kondisi anaerob. Dalam kondisi anaerob, maka
Bacillus cereus akan
lebih resisten terhadap panas dan asam.
-
23
Berikut adalah klasifikasi Bacillus cereus (Dewi, 2010):
Kingdom : Prokaryota
Divisi : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Bacillaceae
Genus : Bacillus
Species : Bacillus cereus
2.8.3. Bakteri Gram Negatif
2.8.3.1. Salmonella typhi
Gambar 2.11 Bakteri Salmonella typhi (Hayat, 2013)
S. typhi merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang
dan tidak
membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob, katalase positif,
oksidase negatif
(Harvey, Pamela and Bruce 2007). Dinding selnya terdiri atas
lapisan-lapisan
murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, dan lipopolisakarida
(LPS) (Dzen, 2003).
Ukuran panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki
flagella sehingga
bersifat motil. S. typhi membentuk asam dan gas dari glukosa dan
mannosa.
Organisme ini juga menghasilkan gas H2S, namun hanya sedikit
(Winn, 2006).
Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang
lama (Brooks,
2005).
-
24
Taksonomi Salmonella typhi adalah sebagai berikut:
Filum : Eubacteria
Kelas : Prateobacteria
Ordo : Eubacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella enterica
Subspesies : enteric (I)
Serotipe : typhi
2.8.3.2. Escherichia coli
Gambar 2.12 Bakteri Escherichia coli (CDC, 2016)
Escherichia coli merupakan bakteri komensal yang dapat bersifat
patogen,
bertindak sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas
diseluruh dunia
(Tenailon et al., 2010).
-
25
Berdasarkan taksonominya E. coli diklasifikasikan sebagai
berikut (Todar,
2008):
Kingdom : Bacteria
Divisi : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia coli
Escherichia coli diisolasi pertama kali oleh Theodore Escherich
pada tahun
1885 dari tinja seorang bayi (Merchant dan Parker, 1961). E.
coli merupakan bakteri
Gram negatif berbentuk batang pendek yang memiliki panjang
sekitar 2 µm,
diameter 0,7 µm, lebar 0,4-0,7 µm dan bersifat anaerob
fakultatif. E. coli membentuk
koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata.
Escherichia coli
(E. coli) bakteri biasanya hidup di usus manusia dan hewan.
Kebanyakan E. coli
yang tidak berbahaya dan benar-benar merupakan bagian penting
dari saluran usus
manusia yang sehat. Namun, beberapa E. coli yang patogen, yang
berarti mereka
dapat menyebabkan penyakit seperti diare atau penyakit saluran
usus. Jenis E. coli
yang dapat menyebabkan diare dapat ditularkan melalui air atau
makanan yang
terkontaminasi, atau melalui kontak dengan hewan atau orang.
Pada umumnya
bakteri memerlukan kelembaban yang cukup tinggi sekitar 85%
(Madigan dan
Martinko, 2005). Escherichia coli merupakan golongan bakteri
mesofilik yaitu bakteri
yang suhu pertumbuhan optimumnya 15-45°C dan dapat hidup pada pH
5,5-8. E.
coli akan tumbuh secara optimal pada suhu 37° C.
-
26
2.8.3.3. Shigella dysenteriae
Gambar 2.13 Bakteri Shigella dysenteriae (Ventola, 2015)
S. dysenteriae adalah bakteri Gram-negatif non-motil yang
berbentuk
batang bacill dan tidak membentuk spora. S. dysenteriae pertama
kali diisolasi oleh
Kiyoshi Shiga pada tahun 1896 dari tinja penderita disentri. S.
dysenteriae
ditemukan di seluruh dunia tetapi berkonsentrasi di daerah yang
padat peduduk,
daerah yang mengalami kekurangan gizi, tidak memiliki
pengelolaan sampah yang
memadai dan pasokan air minum yang aman. S. dysenteriae
menyebabkan disentri
endemik di Afrika, Asia Tenggara, dan anak benua India. Manusia
adalah satu-
satunya tuan rumah alami untuk S. dysenteriae, meskipun lalat
dapat berfungsi
sebagai vektor untuk transmisi S. dysenteriae. S. dysenteriae
menyebabkan
ancaman yang signifikan terhadap kesehatan masyarakat dengan
menyebabkan
shigellosis, terutama di negara-negara berkembang. Shigellosis
dikaitkan dengan 5-
15% kasus diare dan 30-50% kasus disentri di seluruh dunia.
Tanpa perawatan
yang tepat, shigellosis dapat mengancam jiwa (Niyogi, 2005).
Klasifikasi bakteri S. dysenteriae adalah sebagai berikut (Hale,
1996):
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gammaproteobacteria
Ordo : Enternobacteriales
Famili : Enterobactericeae
Genus : Shigella
Species : Shigella dysenteriae
-
27
2.9 Antibiotik
Antibiotik merupakan zat zat kimia yang beraktivitas antibakteri
yang
diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, jamur,
dan actinomycota)
yang dapat menekan pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme
lainnya
sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil (Harmita dan
Radji, 2008).
Penggunaan umum sering meluas kepada agen antibakteri sintetik,
seperti
sulfonamid dan kuinolon (Goodman Gillman). Turunan zat-zat ini,
yang dibuat
secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula
senyawa sintesis
dengan khasiat antibakteri (Tjay dan Rahardja, 2007).
2.10 Resisten Antibiotik
Resistensi antimikrobial merupakan keadaan dimana mikroorganisme
tahan
terhadap obat antibakteri yang sebelumnya sensitif. Organisme
yang resisten
(termasuk bakteri, virus, dan beberapa parasit) mampu menahan
serangan obat
antibakteri, seperti antibiotik, antivirus, dan lainnya,
sehingga standar pengobatan
menjadi tidak efektif dan infeksi tetap persisten dan mungkin
menyebar (Goodman
Gillman). Resistensi antibiotik merupakan konsekuensi dari
penggunaan antibiotik
yang salah, dan perkembangan dari suatu mikroorganisme itu
sendiri, bisa jadi
karena adanya mutasi atau gen resistensi yang didapat (WHO,
2012). Penyebab
utama resistensi antibiotik menurut WHO (2012) antara lain
ketidaktepatan serta
ketidakrasionalan penggunaan antibiotik. Contohnya, pada pasien
yang tidak
mengkonsumsi antibiotik yang telah diresepkan oleh dokternya,
atau ketika kualitas
antibiotik yang diberikan buruk. Adapun faktor-faktor lain yang
dapat menyebabkan
adanya resistensi antibiotik adalah Ketidaktepatan serta
ketidakrasionalan
penggunaan obat, buruknya pengontrolan pencegahan infeksi
penyakit dan
kesalahan diagnosis dan pengobatan yang diberikan.
-
28
2.11 Metode Untuk menguji Aktivitas Antibakteri
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antibakteri dapat
dilakukan
dengan salah satu dari dua metode pokok. Penting sekali
menggunakan metode
standar untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi
aktivitas
antibakteri. Ada dua metode untuk mengukur aktivitas antibakteri
yaitu dilusi dan
difusi (Jawetz et al., 1996).
1 Metode Dilusi
Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentrtation atau
kadar
hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bactericidal concentration
atau kadar
bunuh minimum, KBM). Prinsip metode ini adalah menggunakan satu
seri tabung
reaksi yang diisi media cair dan sejumlah tertentu sel mikroba
yang telah diuji.
Setelah itu masing-masing tabung diuji dengan antibakteri yang
telah diencerkan
secara serial. Larutan uji antibiotik kadar terkecil yang
terlihat jernih ditetapkan
sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut
selanjutnya dikultur
ulang pada media padat tanpa penambahan mikroba uji ataupun
antibiotik dan
diinkubasi selama 18-24 jam (Fatimah, 2004). Media cair yang
tetap terlihat jernih
setelah inkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
2 Metode Difusi
Metode difusi agar (penyebaran) sering digunakan untuk melihat
aktivitas
antibakteri. Metode ini menggunakan cakram kertas/silinder gelas
dan pencetak
lubang yang mengandung bahan uji dalam jumlah tertentu dan
ditempatkan pada
media padat yang telah ditanami dengan biakan bakteri yang akan
diperiksa,
kemudian dieramkan. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan
pertumbuhan
mikroorganisme oleh antibiotik pada permukaan media Agar
(Pratiwi, 2008).
Metode ini dipengaruhi banyak faktor fisika dan kimia seperti
sifat pembenihan,
daya difusi, ukuran molekul dan stabilitas bahan uji. Meskipun
demikian,
standarisasi keadaan memungkinkan penentuan kerentanan organisme
(Fatimah,
2004).
-
29
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2016 di Laboratorium
Teknologi
Pengolahan Pangan, Laboratorium Biokimia dan Analisa Pangan dan
Laboratorium
Mikrobiologi Pangan Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya Malang.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan analitik,
gelas beker,
pipet ukur, Erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, kaca arloji, kaca
pengaduk, spatula,
tabung reaksi, labu ekstraksi, pendingin balik, labu ukur 10 ml,
labu ukur 25 ml.
Peralatan yang digunakan adalah microwave merk Sharp R-200 js,
rotary
evaporator (IKA rv 10 digital), Spektrofotometer UV-VIS
(SHIMADZU), blender
(Philip), vortex.
Alat yang digunakan untuk pengujian antibakteri antara lain
erlenmeyer 250
ml, tabung reaksi, cawan petri, bunsen, ose, borer,
mikrotip.
Peralatan yang digunakan untuk uji antibakteri adalah timbangan
analitik,
autoklaf sterilisasi (TOMY ES 315), autoklaf destruksi,
mikropipet, inkubator,
refrigerator, vortex, Shaker Waterbath (Julabo), Laminar Air
Flow, Kompor listrik
(Maspion).
-
30
3.2.2. Bahan
Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Cabai Rawit
genotip G5, G6 dan G15, Aquades, kertas saring, aluminium
foil.
Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisa yaitu Etanol pro
analysis
konsentrasi 99%, Sodium hipoklorit 12,5%, Standar Asam Galat,
Reagen Folin,
Natrium Karbonat 7,5%, Standar Quercetin, NaNO2 5%, AlCl3 10%,
NaOH 1M.
Bahan yang digunakan dalam uji antibakteri adalah media Nutrien
Agar,
Nutrient Broth, Alkohol 70%, DMSO 10%, dan aquades.
Bakteri Indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Bakteri Gram
Positif (Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, Bacillus
cereus) dan
Bakteri Gram Negatif (Salmonella typhi, Escherichia coli,
Shigella dysenteriae).
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK)
faktorial dengan 2 faktor. Faktor I adalah Jenis Genotip Cabai
Rawit yang
digunakan terdiri dari 3 genotip. dan faktor II adalah lama
waktu ekstraksi yang
terdiri dari 2 level. Masing-masing perlakuan dilakukan 3 kali
pengulangan sehingga
jumlah perlakuan percobaan keseluruhan adalah 18 perlakuan.
Faktor I : Genotip cabai rawit yang terdiri dari 3 genotip:
G1 = Genotip G5 pasar
G2 = Genotip G6
G3 = Genotip G15
Faktor II : Lama waktu ekstraksi yang terdiri dari 2 level:
T1 = Ekstraksi 10 menit
T2 = Ekstraksi 15 menit
-
31
Kombinasi perlakuan dari kedua faktor tersebut :
Tabel 3.1. Kombinasi Perlakuan
Lama Waktu Ekstraksi
Genotip T1 T2
G1 G1T1 G1T2
G2 G2T1 G2T2
G3 G3T1 G3T2
Dari Kedua faktor tersebut maka diperoleh kombinasi sebagai
berikut:
G1T1 = Cabai rawit genotip G5 Pasar, Ekstraksi 10 menit
G1T2 = Cabai rawit genotip G5 Pasar, Ekstraksi 15 menit
G2T1 = Cabai rawit genotip G6, Ekstraksi 10 menit
G2T2 = Cabai rawit genotip G6, Ekstraksi 15 menit
G3T1 = Cabai rawit genotip G15, Ekstraksi 10 menit
G3T2 = Cabai rawit genotip G15, Ekstraksi 15 menit
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan proses ekstraksi menggunakan modified
microwave
dilakukan untuk menentukan waktu yang tepat agar memperoleh
kadar maksimal
senyawa fenolik dan kapsaisin. Waktu ekstraksi yang digunakan
adalah 5 menit, 10
menit, 15 menit dan 20 menit.
-
32
3.4.2. Penelitian Utama
3.4.2.1. Tahap Proses Ekstraksi Sampel
Proses Ekstraksi dilakukan berdasarkan varietas cabai rawit dan
lama waktu
yang digunakan dalam proses ekstraksi.
Proses ekstraksi cabai rawit dilakukan melalui tahapan berikut
ini:
1. Cabai Rawit dicuci dengan air mengalir kemudian
ditiriskan
2. Dihaluskan dengan blender hingga halus
3. Cabai rawit ditimbang sebanyak 40 Gram
4. Dimasukkan 20 Gram ke dalam labu ekstraksi dan ditambahkan
pelarut
etanol pro analysis sebanyak 200 ml
5. Dilakukan proses ekstraksi selama 10 dan 15 menit
6. Setelah proses ekstraksi selesai, disaring menggunakan kertas
saring
sehingga diperoleh filtrat
7. Filtrat yang didapat akan dihilangkan pelarutnya dengan cara
diuapkan
menggunakan rotary evaporator hingga semua pelarut
benar-benar
hilang
8. Hasil yang didapatkan merupakan ekstrak cabai rawit dengan
konsentrasi
100%
3.4.2.2. Pengujian aktivitas antibakteri melalui tahapan sebagai
berikut:
1. 0,1 ml kultur bakteri dengan konsentrasi 107 diambil dengan
menggunakan
mikropipet secara aseptis
2. Kultur bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri
3. Ditambahkan media Nutrient Agar suhu 450C sebanyak 20 ml
4. Sampel pada dihomogenkan dengan cara membentuk angka 8
5. Ditunggu hingga memadat
6. Setelah padat, dibuat sumuran dengan menggunakan borer
diameter 6
mm
7. Dimasukkan 0,5 ml ekstrak konsentrasi 6% ke dalam sumuran
-
33
8. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C
9. Diukur zona penghambatan dengan menggunakan jangka sorong
secara
vertikal, horizontal, diagonal kemudian dirata-rata.
3.4.3. Tahap Pengujian dan Analisis Data
Uji analisa yang dilakukan yaitu analisa aktivitas antibakteri
dengan metode
difusi agar, total fenol, total flavonoid. Analisa data hasil
pengamatan dilakukan
dengan menggunakan analisa ragam (ANOVA) dengan selang
kepercayaan 5%
kemudian apabila terdapat prngruh nyata pada interaksi antar
kedua perlakuan
maka akan dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test)
5%. Penetapan
Perlakuan terbaik menggunakan metode Zeleny (1982).
-
34
Berikut diagram alir tahap proses ekstraksi cabai rawit dapat
dilihat pada
Gambar 3.1
Dicuci dan ditiriskan
Dihaluskan menggunakan blender selama 3 menit
Dimasukkan ke dalam labu ekstraksi
Diekstrak menggunakan microwave pada suhu 300C selama 10 dan 15
Menit
Disaring menggunakan kertas saring halus
Dipekatkan menggunakan rotary evaporator suhu 40oC, kecepatan 40
rpm, tekanan
-700 hPa
Gambar 3.1 Diagram Alir proses ekstraksi cabai rawit metode MAE
(Modifikasi
Gurnani et al., 2015)
20 Gram
200 ml Etanol pa
Filtrat
Ekstrak etanol
cabai rawit
Cabai Rawit
Aktivitas antibakteri
Total fenol
Total flavonoid
Kadar air
Total fenol
Total flavonoid
-
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Bahan Baku
Cabai rawit segar G5, G6 dan G15 dilakukan analisa kadar air,
total fenol,
total flavonoid. Data hasil analisa bahan baku cabai rawit dapat
dilihat pada Tabel
4.1 dan 4.2.
Tabel 4.1 Data Hasil Analisa Kadar Air Cabai Rawit
Cabai Rawit Kadar Air (%) Literatur *
Genotip G5 pasar 77± 0,48 73%
Genotip G6 80,93 ± 0,87
Genotip G15 77,03 ± 2,53
Keterangan: setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan ±
standar deviasi.
* : Ekwere et al., 2016)
Pada Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa cabai rawit G5 pasar, G6
dan G15
memiliki kadar air yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
literatur. Hal ini
dikarenakan cabai rawit yang digunakan di dalam penelitian
merupakan cabai rawit
yang ditanam dan dipanen pada musim penghujan. Pada musim
penghujan, curah
hujan yang tinggi menyebabkan air terkonsentrasi pada seluruh
bagian tanaman.
Kadar air bahan baku akan mempengaruhi rendemen dan komponen
bioaktif yang
terekstrak.
Tabel 4.2 Data Analisa Total Fenol dan Total Flavonoid Cabai
Rawit
Cabai Rawit Total Fenol (mg GAE/ g
berat kering)
Total Flavonoid (mg QE/ g
berat kering)
G5 Pasar 4,16 ± 0,48 12,19 ± 0,49
G6 7,36 ± 0,37 13,73 ± 0,32
G15 9,66 ± 0,20 16,97 ± 0,52
Keterangan: setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan ±
standar deviasi.
-
36
Pada Tabel 4.2 menunjukkan bahwa cabai rawit G15 memiliki total
fenol dan
total flavonoid tertinggi berturut-turut yaitu 9,66 mg GAE/ g
berat kering dan 16,97
mg QE/ g berat kering. Sedangkan cabai rawit G5 pasar memiliki
total fenol dan total
flavonoid terendah yaitu 4,16 mg GAE/ g berat kering dan 12,19
mg QE/ g berat
kering. Perbedaan genotip dapat mempengaruhi hasil pertumbuhan
dan
pembentukan senyawa bioaktif yang terdapat pada cabai rawit.
Total flavonoid pada
cabai rawit G5 pasar, G6 dan G15 lebih tinggi jika dibandingkan
dengan total fenol.
Menurut (Rana, 2014) secara teoritis benar bahwa selama
penghitungan kadar fenol
dan flavonoid, nilai fenol harus lebih dari flavanoid.
4.2. Analisa Rendemen dan Sifat Kimia Ekstrak Cabai Rawit
4.2.1. Rendemen Ekstrak Cabai Rawit
Rerata rendemen ekstrak cabai rawit (Capsicum frutescens L.)
dengan
kombinasi genotip dan lama waktu ekstraksi berkisar antara 3,14%
- 5,19%. Grafik
rerata total rendemen ekstrak cabai rawit disajikan pada Gambar
4.1.
Gambar 4.1 Grafik Pengaruh Genotip dan Lama Waktu Ekstraksi
terhadap Rendemen Ekstrak Cabai Rawit
Gambar 4.1 menunjukkan rerata rendemen tertinggi didapatkan dari
cabai
pasar G5 dengan lama waktu ekstraksi 15 menit yaitu 5,01%
sedangkan rendemen
terendah didapatkan dari cabai rawit genotip G6 dengan lama
waktu ekstraksi 10
menit yatu 3,14%. Pada Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pada semakin
lama
waktu ekstraksi, maka rendemen yang didapatkan akan semakin
tinggi. Hal ini
-
37
sesuai dengan pernyataan Mandal (2007) yang mengatakan bahwa
peningkatan
rendemen disebabkan karena semakin lama waktu ekstraksi,
kuantitas bahan yang
terekstrak juga akan semakin meningkat dikarenakan oleh gesekan
antar molekul
material dengan gelombang mikro. Gesekan ini menyebabkan
jaringan bahan akan
rusak dan senyawa yang ingin diekstrak dapat keluar, sehingga
semakin lama
gesekan molekul terjadi maka semakin banyak pula energi yang
terserap oleh bahan
sehingga solute akan banyak keluar.
Hasil analisa ragam (Lampiran 3) menunjukkan adanya perbedaan
nyata
(α=0.05) pada perlakuan perbedaan genotip, tetapi tidak berbeda
nyata pada lama
waktu ekstraksi terhadap rendemen ekstrak cabai rawit. Rerata
rendemen tertinggi
diperoleh pada G5 pasar yaitu 5,19% dan rerata rendemen terendah
diperoleh dari
cabai rawit G6 yaitu 3,15%. Perbedaan rendemen yang diperoleh
tiap genotip
disebabkan karena morfologi buah yang berbeda-beda, G5 memiliki
bentuk buah
yang lebih besar jika dibandingkan dengan G6 dan G15, selain itu
ukuran biji pada
G5 lebih kecil jika dibandingkan dengan G6 dan G15. Kadar air
bahan juga
mempengaruhi jumlah rendemen ekstrak yang didapatkan, pada data
analisis kadar
air menunjukkan bahwa G5 memiliki kadar air yang paling rendah,
sedangkan G6
memiliki kadar air yang paling tinggi. Semakin tinggi kadar air
maka rendemen yang
didapatkan akan semakin rendah. Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan oleh
Gurnani et al. (2016), total rendemen yang didapatkan pada cabai
rawit dengan
berbagai pelarut (heksana, kloroform, etil asetat, aseton dan
metanol) menggunakan
microwave berkisar antara 11% hingga 14%, dimana semakin polar
pelarut, maka
rendemen akan semakin tinggi. Perbedaan hasil pada penelitian
yang telah
dilakukan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Gurnani et
al. disebabkan
karena perbedaan luas permukaan cabai rawit yang diekstrak,
cabai rawit yang
berbentuk bubuk memiliki luar permukaan yang lebih luas sehingga
kontak antara
bahan dengan pelarut lebih banyak dan menyebabkan komponen yang
terekstrak
akan lebih banyak.
-
38
4.2.2. Total Fenol Ekstrak Cabai Rawit
Ekstraksi dengan menggunakan gelombang mikro akan membantu
memecah
sel pada jaringan cabai rawit sehingga pelarut dapat mengekstrak
senyawa fenolik
dan mempengaruhi hasil pengujian total fenol. Total fenol hasil
penelitian didasarkan
per satu gram bahan sehingga disajikan dalam mg GAE (Gallic Acid
Equivalent)/g
berat kering ekstrak. Pengaruh perbedaan genotip dan lama waktu
ekstraksi
terhadap total fenol ekstrak dilihat pada Gambar 4.2.
Gambar 4.2 Grafik Rerata Total Fenol Ekstrak Cabai Rawit
Gambar 4.2 menunjukkan bahwa total fenol tertinggi terdapat pada
genotip
G15 dengan waktu ekstraksi 10 menit dengan total fenol 76,76 mg
GAE/ g berat
kering ekstrak sedangkan total fenol terendah pada cabai pasar
dengan waktu
ekstraksi 15 menit yaitu 45,75 mg GAE/ g berat kering ekstrak.
Dari data hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada cabai G6 semakin lama waktu
ekstraksi maka
total fenol semakin meningkat. Hal ini sesuai dengan Sari et al
(2013) yang
menyatakan bahwa semakin lama proses ekstraksi, maka kontak
antara pelarut
dengan zat terlarut akan semakin lama sehingga proses pelarutan
senyawa fenolik
akan terus berlangsung dan berhenti sampai pelarut jenuh
terhadap solut. Tetapi
pada G5 pasar dan G15 kandungan total fenolik semakin turun
dengan semakin
-
39
bertambahnya waktu ekstraksi, hal ini diduga karena pada waktu
ekstraksi 10 menit,
seluruh komponen fenol telah terekstrak semua sehingga
penambahan waktu tidak
akan menambah fenol yang diekstrak. Selain itu, menurut Han et
al. (2011). lama
waktu ekstraksi dapat menyebabkan paparan terhadap oksigen lebih
banyak, hal ini
dapat meningkatkan peluang untuk terjadinya oksidasi senyawa
fenolik sehingga
kandungan total fenolik yang terekstrak menurun.
Hasil analisa ragam (Lampiran 4) menunjukkan adanya perbedaan
nyata
(α=0.05) pada perlakuan perbedaan genotip, tetapi tidak berbeda
nyata pada lama
waktu ekstraksi terhadap total fenol ekstrak cabai rawit. Dari
data hasil penelitian
dapat diketahui bahwa total fenol tertinggi ke terendah adalah
cabai rawit genotip
G15, G6 dan G5 pasar. Perbedaan genotip dapat mempengaruhi hasil
pertumbuhan
dan pembentukan senyawa bioaktif yang terdapat pada cabai rawit.
Cabai rawit
genotip G15 yang berasal dari Banyuwangi cenderung lebih tinggi
kandungan
fenolnya dibandingkan dengan cabai rawit G5 dan G6 yang berasal
dari Malang.
Genotip yang berbeda akan memiliki kemampuan menyesuaikan diri
terhadap
lingkungan yang berbeda-beda pula. Interaksi antara faktor
genetik dan faktor
lingkungan juga sangat penting. Faktor iklim, jenis tanah,
cahaya, dan persaingan
dalam mendapatkan unsur hara dapat mempengaruhi kandungan
senyawa bioaktif
yang terdapat pada tanaman. Cabai Rawit G15 yang berasal dari
Banyuwangi yang
memiliki suhu udara lebih tinggi dan kering akan menstimulasi
untuk menghasilkan
komponen bioaktif (metabolit sekunder) yang lebih banyak, hal
ini dikarenakan suhu
yang terlalu tinggi akan dianggap sebagai tekanan atau stress
pada tanaman
sehingga akan memicu produksi senyawa metabolit sekunder yang
lebih banyak.
Cabai G5 yang ditanam di tanah luas tanpa polybag cenderung
memiliki kandungan
total fenol yang lebih rendah jika dibandingkan dengan cabai
rawit genotip G15 dan
G6 yang ditanam di dalam polybag. Tanaman yang ditanam pada
tanah tanpa
polybag akan cenderung memperebutkan unsur hara dengan tanaman
lainnya yang
ada disekitarnya, sedangkan pada polybag, pemberian pupuk secara
berkala dapat
tetap mempertahankan unsur hara di dalam tanah. Menurut (Hayati
et al., 2012)
persaingan di dalam mendapatkan unsur hara akan mempengaruhi
pertumbuhan
dan senyawa yang terkandung di dalam tanaman. Berdasarkan
penelitian yang telah
dilakukan oleh Nascimento et al. (2014) buah cabai rawit India
yang diekstrak
menggunakan asetonitril memiliki total fenol 110,6 mg GAE/ g
ekstrak kering.
Asetonitril memiliki kepolaran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan etanol,
-
40
menurut Gurnani et al. (2016) semakin polar pelarut yang
digunakan, maka total
fenol yang terekstrak akan semakin tinggi.
4.2.3. Total Flavonoid Ekstrak Cabai Rawit
Tabel 4.3 menunjukkan pengaruh perlakuan perbedaan genotip dan
lama
waktu ekstraksi terhadap total flavonoid. Hasil analisa ragam
(Lampiran 5)
menunjukkan adanya interaksi akibat perlakuan perbedaan genotip
dan lama waktu
ekstraksi terhadap total flavonoid. Ekstrak cabai rawit G15
dengan lama waktu
ekstraksi 15 menit memiliki nilai flavonoid tertinggi, sedangkan
yang memiliki nilai
flavonoid terendah adalah G5 pasar dengan lama waktu ekstraksi
10 menit.
Berdasarkan data hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin
lama waktu ekstraksi
maka total flavonoid akan semakin meningkat. Hal ini sesuai
dengan Sari et al
(2013) yang menyatakan bahwa semakin lama proses ekstraksi, maka
kontak antara
pelarut dengan zat terlarut akan semakin lama sehingga proses
pelarutan senyawa
akan terus berlangsung dan berhenti sampai pelarut jenuh
terhadap solute.
Tabel 4.3 Rerata Total Flavonoid Ekstrak Cabai Rawit
Genotip
Waktu
Ekstraksi
(menit)
Total Flavonoid (mg QE/g
berat kering ekstrak)
DMRT
5%
G5 Pasar 10 141,66 ± 8,58 a 45,39
15 156,78 ± 16,07 ab 47,44
G6 10 188,78 ± 2,67 ab 48,64
15 193,91 ± 9,61 b 49,41
G15 10 243,99 ± 4,18 c 49,92
15 419,94 ± 52,97 d
Keterangan: setiap data merupakan rerata dari 3 ulangan ±
standar deviasi. Nilai yang
didampingi huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada
α=0.05
Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa total flavonoid tertinggi
ke terendah
adalah cabai rawit genotip G15, G6 dan G5 pasar. Perbedaan
genotip dapat
mempengaruhi hasil pertumbuhan dan pembentukan senyawa bioaktif
yang terdapat
pada cabai rawit. Cabai rawit genotp G15 yang berasal dari
Banyuwangi cenderung
-
41
lebih tinggi kandungan flavonoidnya dibandingkan dengan cabai
rawit G5 dan G6
yang berasal dari Malang. Genotip yang berbeda akan memiliki
kemampuan
menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang berbeda-beda pula.
Interaksi antara
faktor genetik dan faktor lingkungan juga sangat penting. Faktor
iklim, jenis tanah,
cahaya, dan persaingan dalam mendapatkan unsur hara dapat
mempengaruhi
kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada tanaman. Cabai
Rawit G15 yang
berasal dari Banyuwangi yang memiliki suhu udara lebih tinggi
dan kering akan
menstimulasi untuk menghasilkan komponen bioaktif (metabolit
sekunder) yang
lebih banyak, hal ini dikarenakan suhu yang terlalu tinggi akan
dianggap sebagai
tekanan atau stress pada tanaman sehingga akan memicu produksi
senyawa
metabolit sekunder yang lebih banyak. Cabai G5 yang ditanam di
tanah luas tanpa
polybag cenderung memiliki kandungan total fenol yang lebih
rendah jika
dibandingkan dengan cabai rawit genotip G15 dan G6 yang ditanam
di dalam
polybag. Tanaman yang ditanam pada tanah tanpa polybag akan
cenderung
memperebutkan unsur hara dengan tanaman lainnya yang ada
disekitarnya,
sedangkan pada polybag, pemberian pupuk secara berkala dapat
tetap
mempertahankan unsur hara di dalam tanah. Menurut (Hayati et
al., 2012)
persaingan di dalam mendapatkan unsur hara akan mempengaruhi
pertumbuhan
dan senyawa yang terkandung di dalam tanaman.
4.3. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai Rawit
Pengujian aktifitas antibakteri ekstrak cabai rawit pada
penelitian ini
menggunakan metode well diffusion plate assay. Indikator yang
digunakan dalam
penelitian ini adalah bakteri patogen, yaitu Eschericia coli,
Salmonella typhi, Shigella
dysenteriae, Bacillus cereus, Listeria monocytogenes dan
Staphylococcus aureus.
Pengujian dengan metode ini, ekstrak dengan konsentrasi 6%
diaplikasikan dalam
media NA yang ditumbuhi bakteri patogen dengan memasukkannya
dalam sumuran
dengan diamaeter 6 mm. Semakin luas zona bening yang dihasilkan
maka semakin
kuat aktivitas antibakteri. Menurut Pan et al. (2009), aktivitas
antibakteri dikatakan
kuat jika zona bening >8 mm, aktivitas antibakteri dikatakan
sedang jika diameter
zona bening antara 4-8 mm, dan rendah jika
-
42
4.3.1. Aktivitas antibakteri Ekstrak Cabai Rawit terhadap
Eschericia coli
Berdasarkan hasil pengujian pengaruh genotip dan lama waktu
ekstraksi
terhadap aktivitas antibakteri ekstrak cabai rawit pada
Eschericia coli menunjukkan
adanya zona bening dengan rerata diameter berkisar antara 1,86
mm – 7,37 mm.
Rerata diameter zona bening dapat dilihat pada Gambar 4.3.
Gambar 4.3 Grafik Rerata Aktivitas Antibakteri Ekstrak Cabai
Rawit terhadap
Eschericia coli
Pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa senyawa yang terekstrak
memiliki
kemampuan menghambat bakteri uji. Diameter zona bening yang
paling besar
didapatkan dari ekstrak G15 waktu ekstraksi 10 menit yaitu 7,37
mm, sedangkan
diameter zona bening terkecil didapat dari ekstrak G5 waktu
ekstraksi 15 menit yaitu
1,86 mm. Dari data hasil penelitian dapat diketahui bahwa
ekstrak cabai rawit G5
pasar memiliki aktivitas antibakteri yang rendah, G6 dan G15
memiliki aktivitas
antibakteri sedang terhadap bakteri Eschericia coli. Hasil
analisa ragam (Lampiran
6) menunjukkan adanya perbedaan nyata (α=0.05) pada perlakuan
perbedaan
genotip, tetapi tidak berbeda nyata pada lama waktu ekstraksi
terhadap aktivitas
antibakteri ekstrak cabai rawit.
Cabai rawit pasar memiliki aktivitas antibakteri yang paling
rendah dan G15
memiliki aktivitas yang paling tinggi, hal ini sesuai dengan
kandungan fenol dan
-
43
flavonoid pada cabai rawit pasar juga paling sedikit. Aktivitas
antibakteri yang dimiliki
oleh cabai rawit berasal dari unsur – unsur yang terkandung
didalamnya yaitu fenol,
flavonoid dan kapsaisin yang merupakan metabolit sekunder dari
tanaman cabai
rawit. Menurut Rif’ah (2017) menyatakan bahwa cabai rawit G5
pasar, memiliki
kandungan kapsaisinoid yang lebih rendah dibandingkan dengan G6
dan G15, kadar
k