Pengarah: Deddy Koespramoedyo Tim Penyusun: Christian Dwi Prasetijaningsih Daryll Ikhwan Antonius Tarigan Pung Permadi Samsul Widodo Sudira Asep Saepudin Mohammad Roudo Bakat Supradono Jayadi Khusaini Tim Pendukung : Bakat Supradono Mira Berlian Tukirin Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289 http://www.bappenas.go.id
228
Embed
Pengarah: Deddy Koespramoedyo - Kementerian PPN/Bappenas ... · Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah ... data yang tercatat di BKN menunjukkan bahwa secara nasional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Pengarah: Deddy Koespramoedyo Tim Penyusun: Christian Dwi Prasetijaningsih Daryll Ikhwan Antonius Tarigan Pung Permadi Samsul Widodo Sudira Asep Saepudin Mohammad Roudo Bakat Supradono Jayadi Khusaini Tim Pendukung : Bakat Supradono Mira Berlian Tukirin Diterbitkan Oleh : Direktorat Otonomi Daerah Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Jl. Taman Suropati No. 2 Jakarta 10310 Telp/Fax : 021 – 31935289 http://www.bappenas.go.id
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
ii
KATA PENGANTAR
Perubahan kebijakan Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 menjadi Undang-Undang
nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa implikasi
meningkatnya tugas dan beban provinsi sebagai daerah otonom, sebagai wakil
pemerintah pusat, serta koordinator pembangunan kabupaten/kota. Meningkatnya
tugas dan beban ini tentunya membutuhkan aparatur yang memadai baik dari sisi
jumlah maupun kompetensi. Karena, dengan jumlah aparatur yang ideal dan
kompetensi yang baik, maka aparatur pemerintah daerah provinsi akan mampu
meningkatkan layanan pemarintah kepada masyarakat.
Sebaliknya, jika jumlah aparatur terlalu banyak, maka akan banyak aparatur yang
menganggur dan mengakibatkan pemborosan anggaran negara. Dan jika kompetensi
aparatur rendah, maka pekerjaan tidak dapat diselesaikan dengan baik dan layanan
kepada masyarakat akan terhambat.
Hingga tahun 2006, data yang tercatat di BKN menunjukkan bahwa secara nasional
jumlah PNS di Indonesia mencapai 3.541.961 orang. Dari jumlah tersebut, masih
belum dapat memberikan informasi bahwa jumlah PNS secara nasional telah
berkecukupan atau masih berkekurangan atau telah berkelebihan. Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk, jumlah PNS di Indonesia hanya 1,7 persen.
Persentase ini masih di bawah angka pegawai negeri yang ada di Thailand, yakni
2,81 persen, Singapura (3,67 persen), dan Brunei Darussalam sekitar 12,9 persen.
Atas dasar itulah, Direktorat Otonomi Daerah – Bappenas bermaksud melakukan
kajian tentang aparatur pemerintah daerah. Hasil kajian ini diharapkan dapat
memberikan masukan dan rekomendasi kebijakan yang berkaitan dengan aparatur
pemerintah daerah. Di samping itu, hasil kajian ini juga diharapkan memperoleh
formulasi jumlah optimal pegawai pemerintah daerah provinsi, sehingga
pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menentukan jumlah pegawai yang ideal.
Kegiatan kajian ini tentunya tidak lepas dari kelemahan baik dari sisi penentuan
metodologi kajian, struktur penulisan, maupun analisis kajian. Untuk itu, kami
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
iii
berharap kepada semua pihak untuk memberikan masukan/ kritikan guna perbaikan
kegiatan kajian di masa yang akan datang.
Tak lupa ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terseleseinya laporan kajian ini. Mudah-mudahan laporan kajian ini dapat
bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan profesionalisme aparatur dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, sehingga layanan yang diberikan lebih optimal.
Jakarta, 2007.
Direktur Otonomi Daerah,
Deddy Koespramoedyo
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR.................................................................................. vii
BAB I Pendahuluan ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................... 1
1.2. Tujuan dan Sasaran ......................................................... 3
1.2.1. Tujuan ................................................................ 3
Halaman Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian ................................................... 14 Gambar 2.2. Empat Perspektif Dalam Analisa Balanced Scorecard .................. 17 Gambar 2.3. Penerapan Balanced Scorecard dalam Organisasi Publik............... 25 Gambar 2.4. Penjabaran Visi dan Misi Organisasi Publik ............................... 26 Gambar 2.5. Analisis Sektor Publik di Bidang Kesehatan............................... 26 Gambar 3.1. Faktor Internal dan Eksternal .............................................. 44 Gambar 3.2. Prosedur Seleksi .............................................................. 49 Gambar 3.3. Sistem Penilaian Prestasi Kerja ............................................ 53 Gambar 3.4. Analisis Kerja ................................................................ 57 Gambar 3.5. Sistem Model Pelatihan...................................................... 58 Gambar 3.6. Grafik Konstribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Banten Tahun 2005 (%) ................................................................ 71 Gambar 5.1. Plotting Jumlah Penduduk dengan Jumlah Pegawai ...................... 151 Gambar 5.2. Plotting Luas Wilayah dengan Jumlah Pegawai ............................ 151 Gambar 5.3. Plotting PAD dengan Jumlah Pegawai ....................................... 151 Gambar 5.4. Plotting PDRB dengan Jumlah Pegawai ..................................... 151 Gambar 5.5. Pilihan Kompetensi Integritas Eselon III dan IV ............................ 156 Gambar 5.6. Pilihan Kompetensi Kepemimpinan Eselon III dan IV...................... 157 Gambar 5.7. Pilihan Kompetensi Manajerial Eselon III dan IV ........................... 158 Gambar 5.8. Pilihan Kompetensi Team Work Eselon III dan IV .......................... 159 Gambar 5.9. Pilihan Kompetensi Sosial Eselon III dan IV ................................. 160 Gambar 5.10 Pilihan Kompetensi Teknis Eselon III dan IV ................................ 161
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Ukuran dan Sasaran Strategis dengan Balanced Scorecard .............. 27 Tabel 2.2. Batas-Batas Kontrol 6-Sigma .................................................. 30 Tabel 3.1. Jumlah Aparatur Provinsi D.I.Y ............................................... 63 Tabel 3.2. Target dan Realisasi Beberapa PDRB Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 ........................................ 67 Tabel 3.3 Jumlah Aparatur Provinsi Sumatera Utara 2003 - 2007................... 68 Tabel 3.4. PDRB Banten Lapangan Usaha Utama Tahun 2005......................... 70 Tabel 3.5. Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2002-2005 ..................... 72 Tabel 3.6. Tabel 3.6 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2005................ 72 Tabel 3.7. Hasil Kelautan dan Perikanan 2005 – 2006.................................. 75 Tabel 3.8. Potensi Perikanan Tahun 2006................................................ 75 Tabel 3.9. Jumlah Aparatur Provinsi Bangka Belitung 2003 – 2007 .................. 76 Tabel 3.10. Kontribusi (Share) Per-Sektor Terhadap Pembentukan PDRB
(2001 – 2005) ................................................................ 79 Tabel 3.11. Laju Pertumbuhan PDRB Tahun 2001-2005 ................................. 80 Tabel 3.12. Jumlah Aparatur Provinsi Kepulauan Riau 2005- 2007.................... 80 Tabel 5.1. Kekurangan Jabatan Struktural............................................... 135 Tabel 5.2. Hasil Estimasi Model Penentuan Jumlah Pegawai Dengan OLS .......... 152 Tabel 5.3. Kelebihan dan Kekurangan Jumlah Pegawai (Pendekatan OLS) ......... 153 Tabel 5.4. Jenis Kompetensi dan Skala Prioritas........................................ 155
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perwujudan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah berdasarkan UU No.
22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah, memberikan wewenang yang lebih luas kepada daerah untuk
menyelenggarakan pemerintahannya secara otonom. Penyerahan sebagian
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini dilakukan dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Selain itu,
perubahan kebijakan di dalam UU No 32 tahun 2004 khususnya di dalam pasal 37
dan 38, memberikan peran yang lebih besar kepada Pemerintah Propinsi sebagai
wakil dari Pemerintah Pusat dan koordinator dari pembangunan kabupaten/kota di
dalam propinsi tersebut.
Khususnya Bab V di dalam UU 32 Tahun 2004 mengenai kepegawaian daerah,
perlu dilihat sejauh mana perubahan peningkatan peran propinsi tersebut terhadap
aparatur pemerintah daerah, agar aparatur pemda yang ada dapat dioptimalkan
sesuai dengan kebutuhan yang ada. Peran aparatur pemerintah daerah yang
kompeten dan handal menjadi sebuah kebutuhan. Ironisnya, saat ini kemampuan
aparatur pemerintah daerah dirasakan belum optimal di dalam memberikan
pelayanan publik.
Belum optimalnya pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah diakibatkan oleh dua hal mendasar, yaitu perbedaan penafsiran
dan peletakan kewenangan. Perbedaan penafsiran terhadap terhadap kebijakan
yang mengatur kewenangan antara tiap level pemerintahan
pertumbuhan yang varibelnya kajiannya telah dibahas pada
sub bab 2.4.1.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 19
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Laporan Rencana Kerja Lapo
Persiapan Umum Pelaksanaan Pekerjaan 1. Mobilisasi dan & Konsolidasi Personil 2. Mobilisasi Prasarana & Sarana Pendukung
Kegiatan 3. Koordinasi dengan Tim Teknis/Pemberi Kerja: 4. Studi Leteratur Pendukung 5. Penyusunan Rencana Kerja Komprehensif
Pembahasan Rencana Kerja & Metodologi
Pengembangan Metodologi & Survey & Analisis Identifikasi Kelembagaan & Komunitas: 1. Instrumen: Kuesioner, Wawancara, FGD, Data
Sekunder 2. Responden/nara Sumber 3. Metode Kualitatif: Deskriptif 4. Metode Analisis Kuantitatif: Balanced Scorecard,
Six Sigma, atau Beban Kerja dan Regresi
Survey Identifikasi Beban Kerja, Jumlah Optimal, dan Kompetensi Aparatur Pemerintah Daerah terhadap Dinas dan Lembaga Teknis Daerah n (2 Provinsi Lama: DIY dan Sumatera Utara; 3 Provinsi
Baru: Banten, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau
Kompilasi Data Hasil Survey Pembahasan Hasil Survey
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 20
a. Analisis Deskriptif Kualitatif
Analisis data secara kualitatif bersifat
memaparkan hasil temuan secara mendalam
melalui pendekatan bukan angka atau
nonstatististik. Analisis ini cenderung
mengakomodasi setiap data atau tanggapan
responden yang diperoleh selama pengumpulan
data agar mampu memperkaya wawasan (insight)
manajer (Istijanto, 2005: 85). Metode ini
digunakan untuk menjabarkan dan
menggambarkan secara sistematik dan
komprehensif data-data kualitatif diperoleh dari
FGD (Focus Group Discussion), wawancara
mendalam (depth interview), dan observasi.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 21
Analisis ini dilakukan untuk memperoleh deskripsi
utuh atas permasalahan yang menjawab tujuan
dan sasaran dari sebuah kajian.
Data atau kata-kata yang diungkapkan
oleh aparat selanjutnya dianalisis dengan
merangkum atau meringkas untuk menghasilkan
temuan yang lebih bermakna dan mudah
dipahami. Rangkuman/ringkasan dapat berupa
faktor-faktor yang melandasi variabel
pengelolaan aparat (SDM daerah), dugaan adanya
hubungan antar variabel pengelolaan aparatur,
atau komponen-komponen pembentuknya.
b. Analisis Kuantitatif
Metode analisis kuantitatif digunakan
untuk penentuan jumlah/pola optimal dalam
penentuan aparatur pemda propinsi dari
indikator-indikator yang bersifat kuantitatif.
Analisis ini diperlukan untuk menunjang dan
menajamkan narasi dari analisis deskriptif yang
bersifat kualitatif adalah Metode Balance
Scorecard, Metode Six Sigma, Analisis Multiple
Regression, atau metode lain yang dapat
digunakan untuk menganalisis sumberdaya
manusia (Human Resources Development).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 22
Metode analisis tersebut sifatnya masih
alternatif, karena perlu dilakukan pengujian dan
kelayakan agar hasil kajian sesuai dengan
harapan.
1) Metode Balanced Scorecard
Balanced Scorecard system (sistem
pengukuran kinerja berimbang) merupakan
sistem pengukuran yang efektif yang menjadi
bagian integral proses manajemen yang
dapat memotivasi peningkatan dibidang-
bidang penting seperti produk, proses
produksi, kepuasan konsumen, serta
pengembangan pasar.
Dalam proses pengembangannya
Balanced Scorecard meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
a) Pada langkah pertama, yaitu persiapan
dimana suatu organisasi harus
menentukan dan mendefinisikan unit
bisnis yang sesuai dengan unit balanced
scorecard system yang akan
dikembangkan biasanya unit bisnis yang
memiliki sendiri konsumen, saluran
distribusi, fasilitas produksi dan tolok
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 23
ukur keuangan sendiri. Langkah
penentuan dan pengembangan visi, misi
dan strategi perusahaan. Visi perusahaan
ialah kemampuan atau daya perusahaan
untuk melihat atau mengimajinasikan
dirinya sendiri dimasa depan. Misi
perusahaan artinya tugas khusus yang
akan diemban oleh perusahaan dalam
mencapai tujuannya sehingga
memberikan arah dan fokus bagi
manajemen terhadap aktivitas-
aktivitasnya. Sedangkan strategi
perusahaan didefinisikan sebagai apa
yang sedang dan akan dikerjakan
organisasi;
b) Langkah selanjutnya, memformulasikan
balanced scorecard dimana dapat
mengintegrasikan tolok ukur keuangan
sebagai satu kesatuan tolok ukur kinerja.
Selanjutnya mengimplementasikan
balanced scorecard dengan cara
mengintegrasikannya kedalam filosofi
manajemen dan budaya perusahaan,
mengkomunikasikannya kepada karyawan
dan mengembangkan sistem informasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 24
yang mendukung pengukuran kinerja
menurut balanced scorecard system serta
mengimplementasikan balanced
scorecard kedalam aktivitas-aktivitas
perusahaan sehari-hari;
c) Langkah terakhir mengevaluasi balanced
scorecard pada setiap akhir suatu
periode yang telah ditetapkan sebagai
saat evaluasi misalnya bulanan,
semesteran atau tahunan dan
mendiskusikannya kepada seluruh
jenjang manajemen sebagai bagian dari
penetapan tujuan strategi perusahaan
dan proses alokasi sumber daya.
Fokus dari Balanced Scorecard adalah
untuk meningkatkan proses manajemen
dalam:
Klarifikasi dan translasi dari visi dan
strategi;
Komunikasi dan hubungan tujuan dan
ukuran strategi;
Rencana set target dan aliansi inisiatif
strategi;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 25
Mencapai dan mempelajari strategi
feedback.
Balance Scorecard melakukan
penilaian dalam penaksiran kinerja
perusahaan dengan 4 perspektif yaitu :
a) Perspektif Keuangan (finansial)
Perspektif keuangan tetap menjadi
perhatian dalam balanced scorecard
karena ukuran keuangan merupakan
ikhtisar dari konsekuensi ekonomi yang
terjadi akibat keputusan dan tindakan
Gambar 2.2
Empat Perspektif Dalam Analisis Balance
Scorecard
Sumber : Kaplan and Norton (1996)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 26
ekonomi yang diambil. Tujuan pencapaian
kinerja keuangan yang baik merupakan
fokus dari tujuan-tujuan yang ada dalam
tiga perspektif lainnya. Sasaran-sasaran
perspektif keuangan dibedakan pada
masing-masing tahap dalam siklus bisnis
yang oleh Kaplan dan Norton dibedakan
menjadi tiga tahap:
Growth (Berkembang), dimana
berkembang merupakan tahap
pertama dan tahap awal dari siklus
kehidupan bisnis. Pada tahap ini
suatu perusahaan memiliki tingkat
pertumbuhan yang sama sekali atau
peling tidak memiliki potensi untuk
berkembang. Untuk menciptakan
potensi ini, kemungkinan seorang
manajer harus terikat komitmen
untuk mengembangkan suatu produk
atau jasa baru, membangun dan
mengembangkan fasilitas produksi,
menambah kemampuan operasi,
mengembangkan sistem,
infrastruktur dan jaringan distribusi
yang akan mendukung hubungan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 27
global, serta mengasuh dan
mengembangkan hubungan dengan
pelanggan. Perusahaan dalam tahap
pertumbuhan mungkin secara aktual
beroperasi dengan cash flow negatif
dan tingkat pengembalian atas modal
yang rendah. Investasi yang ditanam
untuk kepentingan masa depan
sangat memungkinkan memakai biaya
yang lebih besar dibandingkan
dengan jumlah dana yang mampu
dihasilkan dari basis operasi yang ada
sekarang, dengan produk dan jasa
dan konsumen yang masih terbatas.
Sasaran keuangan untuk growth stage
menekankan pada pertumbuhan
penjualan di dalam pasar baru dari
konsumen baru dan atau dari produk
dan jasa baru.
Sustain Stage (Bertahan), merupakan
tahap kedua yaitu suatu tahap
dimana perusahaan masih melakukan
investasi dan reinvestasi dengan
mempersyaratkan tingkat
pengembalian yang terbaik, Dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 28
tahap ini perusahaan berusaha
mempertahankan pangsa pasar yang
ada dan mengembankannya apabila
mungkin. Investasi yang dilakukan
umumnya diarahkan untuk
menghilangkan kemacetan,
mengembangkan kapasitas dan
meningkatkan perbaikan operasional
secara konsisten. Pada tahap ini
perusahaan tidak lagi bertumpu pada
strategi-stratei jangka panjang.
Sasaran keuangan tahap ini lebih
diarahkan pada besarnya tingkat
pengembalian atas investasi yang
dilakukan.
Harvest (Panen), tahap ini
merupakan tahap kematangan
(mature), suatu tahap dimana
perusahaan melakukan panen
(harvest) terhadap investasi mereka.
Perusahaan tidak lagi melakukan
investasi lebih jauh kecuali hanya
untuk memelihara dan perbaikan
fasilitas, tidak untuk melakukan
ekspansi atau membangun suatu
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 29
kemampuan baru. Tujuan utama
dalam tahap ini adalah
memaksimumkan arus kas yang
masuk ke perusahaan. Sasaran
keuangan untuk harvest adalah cash
flow maksimum yang mampu
dikembalikan dari investasi dimasa
lalu.
b) Perspektif Pelanggan.
Pada masa lalu seringkali
perusahaan mengkonsentrasikan diri
pada kemampuan internal dan kurang
memperhatikan kebutuhan
konsumen. Sekarang strategi
perusahaan telah bergeser fokusnya
dari internal ke eksternal. Jika suatu
unit bisnis inin mencapai kinerja
keuangan yang superior dalam jangka
panjang, mereka harus menciptakan
dan menyajikan suatu produk atau
jasa yang bernilai dari biaya
perolehannya. Dan suatu produk akan
semakin bernilai apabila kinerjanya
semakin mendekati atau bahkan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 30
melebihi dari apa yang diharapkan
dan persepsikan konsumen (Heppy
Julianto, 2000). Tolok ukur kinerja
pelanggan dibagi menjadi dua
kelompok (Budi W. Soejtipto, 1997):
Kelompok Inti
Pangsa pasar: mengukur seberapa
besar pororsi segmen pasar
tertentu yang dikuasai oleh
perusahaan.
Tingkat perolehan para pelanggan
baru: mengukur seberapa banyak
perusahaan berhasil menarik
pelanggan-pelanggan baru.
Kemampuan mempertahankan para
pelanggan lama: mengukur
seberapa banyak perusahaan
berhasil mempertahankan
pelangan-pelanggan lama.
Tingkat kepuasan pelanggan:
mengukur seberapa jauh pelanggan
merasa puas terhadap layanan
perusahaan.
Tingkat profitabilitas pelanggan:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 31
mengukur seberapa besar
keuntungan yang berhasil diraih
oleh perusahaan dari penjualan
produk kepada para pelanggan.
Kelompok Penunjang.
Atribut-atribut produk (fungsi,
harga dan mutu), dimana tolok
ukur atribut produk adalah tingkat
harga eceran relatif, tingkat daya
guna produk, tingkat pengembalian
produk oleh pelanggan sebagai
akibat ketidak sempurnaan proses
produksi, mutu peralatan dan
fasilitas produksi yang digunakan,
kemampuan sumber daya manusia
serta tingkat efisiensi produksi.
Hubungan dengan pelanggan, tolok
ukur yang termasuk sub kelompok
ini, tingkat fleksibilitas perusahaan
dalam memenuhi keinginan dan
kebutuhan para pelanggannya,
penampilan fisik dan mutu layanan
yang diberikan oleh pramuniaga
serta penampilan fisik fasilitas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 32
penjualan.
Citra dan reputasi perusahaan
beserta produk-produknya dimata
para pelanggannya dan masyarakat
konsumen.
c) Perspektif Proses Bisnis Internal.
Menurut Kaplan dan Norton
1996, dalam proses bisnis internal,
manajer harus bisa mengidentifikasi
proses internal yang penting dimana
perusahaan diharuskan melakukan
dengan baik karena proses internal
tersebut mempunyai nilai-nilai yang
diinginkan konsumen dan dapat
memberikan pengembalian yang
diharapkan oleh para pemegang
saham. Tahapan dalam proses bisnis
internal meliputi:
Inovasi, dimana inovasi yang
dilakukan dalam perusahaan
biasanya dilakukan oleh bagian
riset dan pengembangan. Dalam
tahap inovasi ini tolok ukur yang
digunakan adalah besarnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 33
produk-produk baru, lama waktu
yang dibutuhkan untuk
mengembangan suatu produk
secara relatif jika dibandingkan
perusahaan pesaing, besarnya
biaya, banyaknya produk baru
yang berhasil dikembangkan.
Proses Operasi, tahapan ini
merupakan tahapan dimana
perusahaan berupaya untuk
memberikan solusi kepada para
pelanggan dalam memenuhi
kebutuhan dan keinginan
pelanggan. Tolok ukur yang
digunakan antara lain
Manufacturing Cycle
Effectiveness (MCE), tingkat
kerusakan produk pra penjualan,
banyaknya bahan baku terbuang
percuma, frekuensi pengerjaan
ulang produk sebagai akibat
terjadinya kerusakan, banyaknya
permintaan para pelanggan yang
tidak dapat dipenuhi,
penyimpangan biaya produksi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 34
aktual terhadap biaya anggaran
produksi serta tingkat efisiensi
per kegiatan produksi.
Proses Penyampaian Produk atau
Jasa pada Pelanggan, aktivitas
penyampaian produk atau jasa
pada pelanggan meliputi
pengumpulan, penuimpanan dan
pendistribusian produk atau jasa
serta layanan purna jual dimana
perusahaan berupaya
memberikan manfaat tambahan
kepada pelanggan yang telaah
membeli produknya seperti
layanan pemeliharaan produk,
layanan perbakan kerusakan,
layanan penggantian suku
cadang, dan perbaikan
pembayaran.
d) Perspektif Pembelajaran dan
Pertumbuhan.
Perspektif keempat dalam
balanced scorecard mengembangkan
pengukuran dan tujuan untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 35
mendorong organisasi agar berjalan
dan tumbuh. Tujuan dari perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan
adalah menyediakan infrastruktur
untuk mendukung pencapaian tiga
perspektif sebelumnya. Perspektif
keuangan, pelanggan dan sasaran
dari proses bisnis internal dapat
mengungkapkan kesenjangan antara
kemampuan yang ada dari orang,
sistem dan prosedur dengan apa yang
dibutuhkan untuk mencapai suatu
kinerja yang handal. Untuk
memperkecil kesenjangan tersebut
perusahaan harus melakukan
investasi dalam bentuk reskilling
employes. Adapun faktor-faktor yang
harus diperhatikan adalah (Kaplan
dan Norton, 1996):
Karyawan, hal yang perlu
ditinjau adalah kepuasan
karyawan dan produktivitas
kerja karyawan. Untuk
mengetahui tingkat kepuasan
karyawan perusahaan perlu
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 36
melakukan survei secara
reguler. Beberapa elemen
kepuasan karyawan adalah
keterlibatan dalam
pengambilan keputusan,
pengakuan, akses untuk
memperoleh informasi,
dorongan untuk melakukan
kreativitas dan inisiatif serta
dukungan dari atasan.
Produktivitas kerja merupakan
hasil dari pengaruh agregat
peningkatan keahlian moral,
inovasi, perbaikan proses
internal dan tingkat kepuasan
konsumen. Di dalam menilai
produktivitas kerja setiap
karyawan dibutuhkan
pemantauan secara terus
menerus.
Kemampuan Sistem Informasi,
perusahaan perlu memiliki
prosedur informasi yang mudah
dipahami dan mudah
dijalankan. Tolok ukur yang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 37
sering digunakan adalah bahwa
informasi yang dibutuhkan
mudah diperoleh, tepat dan
tidak memerlukan waktu lama
untuk mendapat informasi
tersebut
Balanced Scorecard merupakan
sistem yang dipakai untuk pengukuran
kinerja perusahaan yang mampu
menyediakan informasi bagi manajemen dan
pemegang saham untuk memberikan jawaban
atas empat pertanyaan pokok, yaitu :
a) Bagaimana pandangan pemegang saham
atas kinerja perusahaan? (financial
perspective);
b) Bagaimana pandangan customers
terhadap perusahaan? (customers
perspective);
c) Apa yang dapat diunggulkan perusahaan?
(internal perspective);
d) Dapatkah manajemen melakukan
perbaikan dan menciptakan value secara
berkesinambungan? (learning and growth
perspective).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 38
Sistem pengukuran yang menyajikan
informasi dari empat perspektif yang
berbeda tersebut dapat memaksimalkan
informasi yang diperlukan oleh top
management. Keempat perspektif tersebut
harus diberikan cakupan yang seimbang
(balanced) dan terjadinya suboptimalisasi
pada satu perspektif harus dihindarkan.
Ada 4 langkah yang harus dilalui
untuk menggunakan Balanced Scorecard
dalam perencanaan strategi jangka panjang
yang terintegrasi dan proses budget
operasional antara lain :
1) Set stretch targets; target yang
ditetapkan harus mencerminkan
discontinuity dalam kinerja unit bisnis.
Bila target tersebut telah dicapai maka
dimplementasikan dalam marketing
untuk inovasi dan untuk jasa pelanggan
yang diikuti oleh profit yang besar.
Sebagai driver kinerja Balanced sorecard
akan membantu manajer untuk
mengindentifikasi driver utama yang
dapat memicu ukuran kinerja hasil,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 39
dalam faktor operasional seperti strategi
investasi, market research, inovasi
produk dan jasa, reskilled employees dan
penggunaan sistem informasi yang akan
menciptakan target keuangan yang
ambisius yang akan dicapai serta
pelanggan.
2) Identify and rationalize strategic
initiative; dalam balanced scorecard
inisiatif akan terfokus untuk mencapai
tujuan organisasi, ukuran dan target yang
menyempurnakan channel kreativitas
meliputi program ukuran yang hilang,
penyempurnaan program yang kontinu
dihubungkan dengan rate of change
metrics dan inisiatif strategi seperti
reengineering dan program transformasi
yang dihubungkan dengan
penyempurnaan yang radikal dalam
kinerja kunci dari driver.
3) Identify critical cross-business initiative;
perusahaan dapat menggunakan Balanced
sorecard untuk mendorong fungsi
corporate level sehingga semakin efisien
dan terfokus pada pelanggan dan dapat
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 40
mengidentifikasi inisiatif yang akan
memberikan keuntungan kepada strategi
unit bisnis.
4) Link to annual resources allocations and
budgets; strategi dijalankan dengan
menghubungkan 3 atau 5 tahun rencana
strategi ke discreationary expense dan
kinerja budget untuk tahun mendatang
dan kemudian menelusurinya kembali ke
unit bisnis sesuai dengan perjalanan
strategi
Dalam aplikasinya, balanced
scorecard diciptakan untuk menetapkan goals
dan selanjutnya mengukur pencapaian goals
tersebut, sehingga sistem ini dapat
membantu perusahaan dalam menetapkan
strategi yang akan dipakai. Balanced
Scorecard bukan merupakan suatu pola yang
dapat diaplikasikan pada semua perusahaan
secara umum. Situasi pasar, produk/jasa dan
kompetisi yang berbeda akan menyebabkan
penatapan, scorecard yang berbeda.
Perusahaan seharusnya menciptakan
scorecard yang disesuaikan dengan misi,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 41
teknologi serta budaya masing-masing
perusahaan. Sistem baru ini lebih dari
sekedar alat ukur kinerja, karena sistem
manajemen ini dapat menumbuhkan motivasi
untuk perbaikan dalam pengembangan
produk, proses, customers dan lainnya.
Dengan mengkombinasikan empat perspektif,
yaitu financial, customers, internal process
dan learning and growth, balanced scorecard
akan membantu manajemen dalam hal
pembuatan dan pengambilan keputusan,
dengan lebih melihat masa depan dibanding
kejadian yang telah terjadi.
2.4.2. Penerapan Balance Scorecad Dalam Analisis
Kinerja Sektor Publik
Secara umum, penerapan konsep balanced
socrecard dalam organisasi publik dapat dilakukan
mulai dari proses pembelajaran dibidang keahlian,
pengetahuan, data, maupun masyarakat. Proses
pembelajaran ini akan mempengaruhi proses internal
organisasi. Proses internal akan mewarnai mutu
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat maupun
para wakil rakyat, mempengaruhi nilai dan manfaat,
serta mempengaruhi keuangan dan biaya sosial, dan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 42
secara keseluruhan akan bermuara pada misi organisasi
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Secara diagram,
dapat dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar 2.3 Penerapan Balanced Scorecard
dalam Organisasi Publik
Beberapa pertanyaan pokok yang perlu dijawab
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 43
dalam menjabarkan misi organisasi menjadi strategi
dalam empat perspektif balance scorecard dapat
dijabarkan berikut ini.
1) Misi :
Apa misi organisasi?
Jasa pelayanan dan program apa saja yang
dipersyaratkan dan dibutuhkan?
2) Pelanggan dan Pihak Berkepentingan :
Bagaimana organisasi mencipta nilai?
Manfaat apa saja yang dibutuhkan untuk
penyediaan jasa tersebut?
3) Karyawan dan Kapasitas Organisasi:
Bagaimana kita merubah dan
mengembangkan kemampuan?
4) Proses Bisnis Internal:
Untuk memuaskan para pembayar pajak,
wakil rakyat dan pihak berkepentingan
lainnya, proses bisnis mana yang harus
ditonjolkan?
5) Finansial:
Untuk kehati-hatian pengelolaan sumber
daya publik, bagaimana cara mengalokasikan
dana dan mengontrol belanja?
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 44
Gambar 2.4 Penjabaran Visi dan Misi Organisasi Publik
Berdasarkan alur pertanyaan tersebut.
Selanjutnya dapat disusun bagan analisis dari Balance
sorecard. Sebagai contoh adalah dalam konteks analisis
sektor publik di bidang kesehatan, dijelaskan pada
gambar 2.5.
Gambar 2.5: Analisis Sketor Publik di Bidang Kesehatan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 45
Sedangkan sasaran dan ukuran strategik dari
penerapan metode ini, dapat dilihat pada taabel berikut:
Tabel 2.1 Ukuran dan Sasaran Strategis dengan Balanced
Scorecard
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 46
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 47
2) Metode Six Sigma
Six Sigma merupakan sebuah metodologi
terstruktur untuk memperbaiki proses yang
difokuskan pada usaha mengurangi variasi proses
(process variances) sekaligus mengurangi cacat
(produk/jasa yang diluar spesifikasi) dengan
menggunakan statistik dan problem solving tools
secara intensif.
Secara harfiah, Six Sigma (6σ) adalah
suatu besaran yang bisa kita terjemahkan secara
gampang sebagai sebuah proses yang memiliki
kemungkinan cacat (defects opportunity)
sebanyak 3.4 buah dalam satu juta
produk/jasa. Ada banyak kontroversi di sekitar
penurunan angka Six Sigma menjadi 3.4 dpmo
(defects per million opportunities). Namun bagi
kita, yang penting intinya adalah Six Sigma
sebagai metrics merupakan sebuah referensi
untuk mencapai suatu keadaan yang nyaris bebas
cacat. Dalam perkembangannya, 6σ bukan hanya
sebuah metrics, namun telah berkembang
menjadi sebuah metodologi dan bahkan strategi
bisnis.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 48
Peter S. Pande & Larry Holpp (2003:3)
menyatakan Six Sigma (6σ) adalah cara mengukur
proses, tujuan mendekati sempurna, disajikan
dengan 3,4 DMPO (defect per million
opportunities); mengubah budaya organisasi.
Atau lebih tepat six sigma difinisikan sebagai
sebuah system yang luas dan komprehensif untuk
membangun dan menopang kinerja, sukses, dan
kepimpinan bisnis.
Masish menurut Peter Pande,dkk, dalam
bukunya The Six Sigma Way: Team Fieldbook,
ada enam komponen utama konsep Six Sigma
sebagai strategi bisnis:
1. Benar-benar mengutamakan layanan pada
masyarakat: seperti kita sadari bersama,
masyarakat bukan hanya penerima layanan,
tapi bisa juga berarti mitra kerja aparat,
kelompok yang menerima hasil kerja aparat,
masyarakat lainnya pengguna jasa, dll.
2. Manajemen yang berdasarkan data dan fakta:
bukan berdasarkan opini, atau pendapat
tanpa dasar.
3. Fokus pada proses, manajemen dan
perbaikan: Six Sigma sangat tergantung
kemampuan kita mengerti proses yang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 49
dipadu dengan manajemen yang bagus untuk
melakukan perbaikan.
4. Manajemen yang proaktif: peran pemimpin
dan manajer sangat penting dalam
mengarahkan keberhasilan dalam melakukan
perubahan.
5. Kolaborasi tanpa batas: kerja sama antar tim
yang harus mulus.
6. Selalu mengejar kesempurnaan.
Six Sigma adalah suatu metode yang
sangat terstruktur yang terdiri dari terdiri dari
lima tahapan yang disingkat DMAIC (Define,
Analyze, Improve, Control). Define: pada tahap
ini team pelaksana mengidentifikasikan
permasalahan, mendefiniskan spesifikasi
pelanggan, dan menentukan tujuan (pengurangan
cacat/biaya dan target waktu). Measure: tahap
untuk memvalidasi permasalahan,
mengukur/menganalisis permasalahan dari data
yang ada.
Analyze: menentukan faktor-faktor yang
paling mempengaruhi proses; artinya mencari
satu atau dua faktor yang kalau itu diperbaiki
akan memperbaiki proses kita secara dramatis.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 50
Improve: nah, di tahap ini kita mendiskusikan
ide-ide untuk memperbaiki sistem kita
berdasarkan hasil analisa terdahulu, melakukan
percobaan untuk melihat hasilnya, jika bagus lalu
dibuatkan prosedur bakunya (standard
operating procedure-SOP). Control: di tahap ini
kita harus membuat rencana dan desain
pengukuran agar hasil yang sudah bagus dari
perbaikan team kita bisa berkesinambungan.
Dalam tahap ini kita membuat semacam metrics
untuk selalu dimonitor dan dikoreksi bila sudah
mulai menurun ataupun untuk melakukan
perbaikan lagi.
Langkah-langkah penggunaan pendekatan
Six Sigma dalam Pengelolaan Aparatur Pemda:
1. Identifikasi kualitas pengelolaan aparatur
yang efektif dan efisien
2. Mengklasifikasi karakteristik kualitas
pengelolaan aparatur
3. Menentukan kendali (part dan/ proses)
4. Toleransi maksimum karakteristik kualitas
5. Menentukan variasi proses untuk
karakteristik yang telah diklasifikasi
6. Penentukan Indeks kapabilitas CP lebih besar
dari sama dengan 2.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 51
Tabel 2.2: Batas-Batas Kontrol 6σ
Peta Kontrol X-Bar (Batas-Batas Kontrol 6-Sigma atau 6σ)
Peta Kontrol S (Batas-B6σ)
CL = nilai target (T)
UCL= T + 1,5σ
LCL= T – 1,5 σ
UCL = SMaksimal
LCL = 0
Sumber: Gaspersz (2001)
Keterangan: T = target yang diinginkan
Adapun keuntungan menggunakan DMAIC
sebagai analisis adalah:
1) membuat awal yang baik
2) memberikan konteks yang baru terhadap
alat-alat yang familiar
3) menciptakan sebuah pendekatan yang
konsisten
4) memprioritaskan pelanggan dan pengukuran
5) menawarkan jalur proses dan perancangan
ulang untuk perbaikan perbaikan.
Tabel 2.3: Komponen dan Indikator 6σ
Komponen 6σ Perusahaan Pengelpeme
Fokus yang sungguh kepada pelanggan
Kinerja pelanggan, kepuasan pelanggan, dan nilai pelanggan
Kinerja (kuakehandalan, pengembang
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 52
perencanaanjumlah) layalayanan publ
Manajemen digerakkan oleh data fakta
Pengukuran kinerja perusahaan dan menganalisis variabel-variabel kunci
Kinerja penganalisis varia
Fokus proses, manajemen, dan perbaikan
Fokus proses, manajemen, dan perbaikan
Proses pengepengembangaparat, dan aparat, komjumlah aparamotivasi apa
Proaktif Manajamen proaktif Kepekaan apdaerah
Kolaborasi tanpa batas Kerja sama antara kelompok internal dengan para pelanggan, pemasok, mitra rantai persediaan.
Kerja sama ainternal dan horizontal, r
Dorongan untuk sempurna, tetapi teleransi terhadap pelanggan
Mengelola resiko dan belajar dari kesalahan
Pengelolaan mengurangi
Sumber: diolah dari berbagai sumber
Pengukuran instrumen; skala interval dan ordinal.
Dalam Six Sigma, konsep Variance dan Standar Deviasi
memegang peran yang sangat penting dalam analisis. Ini
karena dari pengalaman pada proses-proses produksi barang
dan jasa, variasi adalah MUSUH. Fokus Six Sigma adalah
mengurangi variasi. Kenapa? Karena setiap
individu/organisasi yang menjadi pelanggan kita ‘merasakan’
variasi itu, bukan merasakan rata-rata.
Tabel 2.4: Kriteria Konversi 6σ
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 53
Sumber: Pande & Holpp (2003) dalam Rahman (2005)
3) Metode Regresi Linier
Teknik regresi adalah pendekatan yang
digunakan untuk mendefinisikan relasi matematis
antara variabel output (y) dan satu atau lebih
variabel input (x). Diantara banyak model
regresi, analisis yang paling umum digunakan
dalam statistik oleh masyarakat luas adalah
regresi linear. Analisis ini memang sangat luas
aplikasinya karena hubungan antara dua variabel
merupakan sesuatu yang jamak dalam hidup
sehari-hari. Dalam kajian ini, teknik regresi
dapat digunakan untuk mengestimasi besarnya
jumlah optimal pegawai dengan mengetahui
jumlah beban kerja pegawai. Beban kerja
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 54
pegawai sebagai variabel bebas (X) dan jumlah
pegawai adalah variabel terikat (Y).
Dalam regresi linear, ada dua komponen
yang mendasari analisis-nya:
- pasangan dua variabel
- perkiraan alasan tentang hubungan antara
dua variabel
tersebut.
Konsep regresi sendiri walaupun sangat
lazim digunakan, namun tidak banyak yang
menyadari bahwa konsep ini sangat dekat dengan
hypothesis test dalam menentukan apakah dua
variabel yang kita analisa saling berkaitan.
Menentukan bentuk regresi dapat dilakukan
dengan beberapa cara. Cara yang paling
sederhana adalah membuat grafik dalam diagram
scatter, atau dengan cara operasi matematis.
Dengan menggunakan diagram scatter, data yang
telah di-plot secara sederhana dapat dilihat
kumpulan apakah kumpulan data dapat
dinyatakan berada pada suatu garis lurus (linier)
atau tidak lurus (non linier). Sedangkan dengan
cara matematis dapat untuk mengetahui data
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 55
dengan bermacam-macam diantaranya Ordinary
Least Square (OLS).
Persamaan umum untuk regresi linear
sederhana dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana:
iY adalah nilai perkiraan dari variabel output
iY
b0
adalah titik singgung persamaan dengan
sumbu y ( nilai y jika x = 0)
b1
adalah koefisien yang menunjukkan
gradien persamaan tersebut
xi adalah nilai variabel input
ei
adalah nilai residual, nilai yang
menunjukkan perbedaan antara nilai actual
(Y) dan nilai perkiraan ( iY ) yang dihasilkan
oleh model tersebut.
Harga bo dihitung dengan rumus:
22
2
)(.)(
0XXn
XYYXYbΣ−Σ
ΣΣ−ΣΣ=
Harga b1 dihitung dengan rumus:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 56
221 )(.XXn
YXXYnbΣ−ΣΣΣ−Σ
=
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN
GAMBARAN UMUM DAERAH STUDI
3.1 Landasan Teoritis
Dalam menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya pada bab
I, maka pada bagian ini akan diuraikan konsep dan kebijakan desentralisasi dan
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM). Dengan menguraikan kedua hal tersebut,
diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang kompetensi pegawai, analisis
pekerjaan, beban kerja pegawai, sjumlah/pola optimal pegawai, serta tentang
pengelolaan kepegawaian.
3.1.1 Konsep Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Definisi desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua istilah yang
berbeda tetapi merupakan satu kesatuan. Menurut Undang-Undang nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah adalah:
- Desentralisasi adalah penyerahan wewenang oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
a. Konsep Desentralisasi
Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu
tujuan bernegara, yaitu memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan
menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis.
Beberapa wujud pelaksanaan desentralisasi adalah adanya pelimpahan
kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk
melakukan pembelanjaan dan kewenangan untuk memungut pajak (taxing
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 34
power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang
dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah
Pusat.
Konsep desentralisasi menurut PBB (1962) didefinisikan sebagai:
1. Dekonsentrasi yang disebut juga sebagai desentralisasi birokrasi atau
administrasi, dan
2. Devolusi yang sering disebut juga sebagai desentralisasi demokrasi atau
politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada
badan perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.
Sedangkan menurut penjelasan Pasal 18 UUD 1945, desentralisasi
mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintah di daerah harus
melibatkan rakyat. Untuk itu dalam realisasinya pemerintah daerah harus
mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Tujuan penerapan asas desentralisasi di dalam negara kesatuan adalah agar
tidak terjadi pemusatan (sentralisasi) kekuasaan di tangan pemerintah pusat
dan agar kebijakan pemerintah lebih sesuai dengan kondisi wilayah dan
aspirasi masyarakat di daerah.
Secara umum, alasan mengapa desentralisasi itu penting yaitu:
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian untuk mengikutsertakan rakyat di dalam
pemerintahan.
3. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, adalah semata-mata untuk
mencapai suatu pemerintahan yang efisien.
4. Dari sudut kultural, desentralisasi diperlukan supaya perhatian dapat
sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan sesuatu daerah, seperti
geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi atau latar belakang
sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi
diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara
langsung membantu pembangunan tersebut.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 35
Pada akhir abad ini, desentralisasi telah dilakukan oleh banyak negara,
demikian dinyatakan oleh Bank Dunia dalam Decentralization Briefing Notes,
seperti yang dilakukan oleh negara-negara Amerika Latin, Afrika dan Asia.
Masing-masing negara mempunyai tujuan yang sama namun demikian mereka
mempunyai alasan dan motivasi yang berbeda untuk melakukan desentralisasi
itu.
1. Alasan ekonomi yang pertama dari desentralisasi adalah alokasi
efisiensi. Di mana, keputusan tentang pengeluaran publik yang dibuat
oleh pemerintah lebih dekat dan lebih bertanggunggjawab dengan
permintaan dari daerah, oleh karenanya desentralisasi labih rasional
dari pada desentralisasi.
2. Alasan ekonomi yang kedua adalah untuk meningkatkan kemampuan
bersaing pemerintah dan mendorong inovasi, oleh karenanya pemerintah
daerah akan selalu berusaha untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan
penduduknya. Keuntungan yang lain adalah penduduk menjadi lebih
suka untuk membayar kewajiban-kewajibannya untuk prioritas
kemauannya, sehingga masyarakat ikut berpartisipasi memberikan
pelayanan.
Effendi (2002) mengatakan bahwa untuk mendefinsikan istilah
desentralisasi tidaklah mudah, karena menyangkut berbagai bentuk dan
dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik,
perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial
dan ekonomi. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi
Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 112
Recruitment Strategy: Selection/Develop Selection Procedures Review options for assessing applicants on each of the KASOCs: standardized test (cognitive, personality, motivational, psychomotor), Applicants blanks, biographical data, Performance test, assessment center, interview Determine Validity for Selection Methods Criterion-related validation, Expert judgment (content validity), Validity generalization Determine Weighting System for Selection Methods and Resultant Data
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 50
e. Jumlah/Pola Optimal Pegawai
Seperti dijelaskan sebelumnya, Amstrong (2003) menyatakan bahwa
perencanaan pegawai merupakan kegiatan menentukan jumlah karyawan
yang diperlukan. Dalam kegiatan penentuan jumlah inilah perlu dilakukan
peramalan jumlah penawaran dan permintaan jumlah pegawai. Dalam
melakukan peramalan kebutuhan atau permintaan jumlah pegawai ada
beberapa teknik yang bisa dipakai, yaitu: kepetusan manajerial, analisi
rasio kecenderungan dan teknik studi kerja. Sementara untuk melakukan
peramalan ketersediaan atau penawaran jumlah pegawai, dilakukan dengan
beberapa pertanyaan berikut ini:
1. Berapa jumlah pegawai yang ada saat ini, dan apa keterampilan /
kompetensi yang dimiliki?
2. Berapa perkiraan angka turn over (keluar masuk) pegawai saat ini dan di
masa datang?
3. Berapa perkiraan angka ketidak-hadiran pegawai saat ini dan di masa
datang?
4. Dari pegawai yang ada saat ini, berapa jumlah pegawai yang mempunyai
keterampilan/kompetensi yang sesuai kebutuhan? Berapa jumlah yang
mempunyai potensi untuk dikembangkan keterampilan/kompetensinya?
5. Berapa perkiraan jumlah pegawai yang dibutuhkan dengan
keterampilan/kompetensi yang dibutuhkan?
6. Dari mana pegawai-pegawai baru tersebut dapat direkrut?
Mondy (1990) memberikan beberapa teknik yang dipergunakan untuk
meramalkan atau merencanakan kebutuhan pegawai, yaitu: (1) zero-base
forecasting, yang menggunakan kondisi organisasi saat ini sebagai dasar
perhitungan kebutuhan pegawai di masa depan. Berapa jumlah pegawai
yang dimiliki saat ini, berapa yang akan memasuki usia pensiun, berapa
yang akan keluar, berapa posisi yang lowong merupakan gambaran kondisi
yang harus diperhatikan dalam pendekatan zero-base forecasting; (2)
bottom up approach, pendekatan ini mendasarkan pada pemikiran bahwa
manajer di masing-masing unit adalah yang paling paham mengenai
kebutuhan pegawainya.
Manajer dari unit yang paling bawah merencanakan kebutuhan
pegawainya yang selanjutnya dikumpulkan menjadi kebutuhan organisasi;
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 51
(3) use of predictor variable, dalam penetapan ini digunakan beberapa
variabel untuk menentukan kebutuhan pegawai di masa depan. Salah satu
contoh variabel yang kerap digunakan untuk melakukan perencanaan
kebutuhan pegawai adalah jumlah penjualan atau permintaan barang.
Kedua variabel ini berhubungan positif artinya setiap ada kenaikan
permintaan barang maka jumlah pegawai juga naik sehingga dengan
menggunakan regression analysis akan dapat diperkirakan kebutuhan
pegawai di masa depan selain permintaan barang dimungkinkan juga
memasukkan variabel-variabel lain menjadi dependent variable atau
variabel pengaruh dari jumlah pegawai. Untuk keperluan maka yang
dipergunakan sebagai alat analisis adalah multiple regression.
f. Penilaian Prestasi Kerja
Developing an effective performance appraisal system is most
difficult (Mondy, 1990; 382). Meskipun ada kesulitan dalam melakukan
penilaian atau pengukuran kinerja pegawai karena terkait dengan kombinasi
dari kemampuan, usaha dan kesempatan, tapi tetap dapat diukur dengan
melihat pada output atau hasil produksi. Kinerja atau performance menurut
Bernardin (2003; 143) adalah the record of outcomes produced on specified
job functions or activities during a specified time period. Penilaian prestasi
kerja menurut Prasetya (1997; 188) adalah suatu cara dalam melakukan
evaluasi terhadap prestasi kerja para pegawai dengan serangkaian tolok
ukur tertentu yang objektif dan berkaitan langsung dengan tugas seseorang
serta dilakukan secara berkala.
Prestasi kerja pegawai harus selalu dievaluasi secara
berkesinambungan dan hasilnya dapat dipergunakan untuk berbagai,
beberapa diantaranya diidentifikasi oleh Prasetya (2003; 189), yaitu : untuk
peningkatan imbalan (dengan sistem merit), feed back atau umpan balik
bagi pegawai yang bersangkutan, promosi, PHK atau pemberhentian
sementara, melihat potensi kinerja pegawai, rencana suksesi,
transfer/mutasi pegawai, perencanaan pengadaan pegawai baru, pemberian
bonus, perencanaan karier, evaluasi dan pengembangan diklat, komunikasi
internal, kriteria untuk validasi prosedur suksesi dan kontrol pengeluaran.
Dalam melakukan penilaian kinerja pegawai beberapa hal yang harus
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 52
dipahami adalah mengenai pengertian dan tujuan penilaian kinerja
pegawai, metode dan instrumen penilaian yang digunakan, serta kendala-
kendala yang ada dalam pelaksanaan penilaian kinerja pegawai.
Manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya data kinerja pegawai
adalah untuk keperluan penggajian (compensation), pengembangan kinerja
(performance improvement), selain itu juga dapat dipergunakan untuk
keperluan pengembangan pegawai, seperti mutasi, promosi, demosi, diklat,
evaluasi dan lain sebagainya. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
penilaian kinerja pegawai khususnya dalam mendesain sistem penilaian
kinerja adalah adanya keterlibatan berbagai pihak, yaitu pimpinan,
pegawai, bagian kepegawaian, serta pelanggan internal dan eksternal.
Keterlibatan ini mencakup kegiatan dalam mendesain konten/substansi
pengukuran, proses pengukuran, menentukan ukuran, menentukan level,
menentukan teknis administrasi dan lain sebagainya. Paling tidak ada 6
(enam) kriteria yang ditawarkan oleh Bernardin (2003; 147) yang harus
diukur atau dinilai dalam kinerja, yaitu : (1) Quality, (2) Quantity, (3)
Timeliness, (4) Cost-effectiness, (5) Need for supervision, dan (6)
Interpersonal impact.
Prasetya (1997; 193) memberikan suatu bagan yang menjelaskan
sistem penilaian prestasi kerja pegawai. Dalam bagan ini terlihat adanya
hubungan yang erat antara tujuan organisasi dengan tujuan pegawai serta
penilaian prestasi kerja pegawai. Secara lengkap digambarkan sebagai
berikut:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 53
Gambar 3.3 Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Dalam melakukan penilaian prestasi kerja seringkali terjadi bias yang
menyebabkan tidak validnya suatu hasil penilaian. Beberapa bias yang
berhasil diidentifikasi oleh Mondy (1990; 406-408) adalah : halo error,
leniency, strictness, central tendency, recent behavior bias, personal bias,
judgmental role of the evaluator. Untuk meminimalisir bias-bias tersebut
maka perlu disusun suatu instrument penilaian prestasi kerja yang baik,
valid dan transparan yang dapat mengukur kinerja riil seorang pegawai
selama periode tertentu.
g. Kompetensi Pegawai
Banyak pengertian mengenai kompetensi yang dikemukakan oleh para
ahli maupun institusi. Beberapa pakar manajemen SDM berpendapat bahwa
SDM yang berkualitas adalah SDM yang minimal memiliki empat karakteristik
yaitu (1) memiliki kompetensi (knowledge, skill, abilities dan experience)
yang memadai; (2) komitmen pada organisasi; (3) selalu bertindak cost -
effectiveness dalam setiap aktivitasnya, dan (4) congruence of goals yaitu
Sistem Penilaian Prestasi Kerja
Tujuan Organisasi
Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia, Prasetya Irawan, 1997, 193
Standar Kinerja
dibangun dari uraian kerja &
tujuan organisasi
Tujuan Individu
Penilaian Prestasi Kerja
merupakan evaluasi terhadap kemampuan & motivasi pegawai
Penggunaan :
- perencanaan SDM, - kompetensi, upah, bonus,
- program diklat, - motivasi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 54
bertindak selaras antara tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi (Lako
dan Sumaryati, 2002 : 37).
Konsep kompetensi merupakan kelanjutan dari konsep behavioral
objective yang bersumber dari pemikiran para pendidik seperti Benjamin
Bloom pada Tahun 1950 di Amerika (Susanto, 2002). Konsep behavioral
objective ini menjelaskan bahwa spesifikasi tujuan sebagai perilaku yang
dapat diobservasi secara langsung dan dapat dicatat. Pada hakikatnya
konsep ini menggunakan pendekatan melakukan observasi dan menarik
kesimpulan yang dapat dipercaya dengan prinsip operasional, observasi yang
dapat dipercaya, dan tidak ada tenggang waktu interpretasi.
Kemudian sejak akhir Tahun 1960, konsep kompetensi mulai
diterapkan di Amerika Serikat untuk program pendidikan guru. Pada Tahun
1970, dikembangkan untuk program pendidikan profesional lainnya, untuk
program pelatihan kejuruan di Inggris dan Jerman pada Tahun 1980 serta
untuk pelatihan kejuruan dan pengenalan keterampilan profesional di
Australia pada Tahun 1990. Konsep kompetensi mulai menjadi trend dan
banyak dibicarakan sejak Tahun 1993 dan saat ini menjadi sangat populer
terutama di lingkungan perusahaan multinasional dan nasional yang modern.
Definisi kompetensi dari Spencer & Spencer tersebut banyak dianut
oleh para praktisi manajemen SDM. Termasuk praktisi di Indonesia, salah
satunya adalah The JakartaConsulting Group (Susanto, 2002) memberikan
batasan bahwa kompetensi adalah segala bentuk perwujudan, ekspresi, dan
representasi dari motif, pengetahuan, sikap, perilaku utama agar mampu
melaksanakan pekerjaan dengan sangat baik atau yang membedakan antara
kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Pendekatan ini dilihat dari sudut
pandang individual (BKN, 2004)
Sementara itu, dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara
Nomor 46A Tahun 2003 Tanggal 21 Nopember 2003 ditentukan bahwa
kompetensi adalah kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang
Pegawai Negeri Sipil berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap perilaku
yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas jabatannya, sehingga Pegawai
Negeri Sipil tersebut dapat melaksanakan tugasnya secara professional,
efektif, dan efisien.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 55
Berdasarkan definisi kompetensi di atas, dapat disimpulkan bahwa
komponen-komponen atau karakteristik mengenai kompetensi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik meliputi unsur-unsur
sebagai berikut; 1) pendidikan; 2) pengetahuan; 3) keahlian; 4)
keterampilan; dan 5) sikap profesional.
g. Pengembangan Pegawai
Pengembangan pegawai identik dengan kegiatan pendidikan dan
pelatihan (diklat) atau training and development. Fungsi ini merupakan
fungsi yang tidak kalah penting dengan fungsi lainnya dalam MSDM. Fungsi
ini sangat penting karena pada tahap inilah pegawai ditingkatkan dan
dikembangkan kemampuannya sehingga dapat memberikan kinerja yang
optimal bagi organisasi. Istilah training dan development sering digunakan
secara bergantian, ada yang menggunakannya secara bersama tapi ada juga
yang membedakannya. Menurut Eugene F. McKenna dan Nic Beech (1995;
156) ada perbedaan antara istilah training dan development. Development
was seen as an activity normally associated with managers with the future
firmly in mind, and training has more immediate concern and has been
associated with improving the knowledge and skill of non-managerial
employees in their present job. Development atau pengembangan berkaitan
dengan pengembangan kemampuan manajerial pimpinan organisasi,
sementara training atau pelatihan berkaitan dengan upaya pengembangan
keterampilan dan pengetahuan mereka dalam pekerjaannya.
Mondy (1990; 270) mendefinisikan human resource development
(HRD) is planned, continous effort by management to improve employee
competency levels and organizational performance through training,
education and development program. Ada tiga aspek penting dalam definisi
HRD menurut Mondy, yaitu (1) training yang meliputi kegiatan-kegiatan
untuk mengembangkan kinerja pegawai dalam melaksanakan suatu
pekerjaan, misalnya kurus atau lainnya, (2) education meliputi kegiatan-
kegiatan untuk meningkatkan pemahaman pegawai dalam melaksanakan
suatu pekerjaan, misalnya melalui seminar atau lainnya, dan (3)
development meliputi kegiatan-kegiatan pengembangan yang bersifat lebih
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 56
umum yaitu untuk menghadapi berbagai perubahan yang terjadi sekarang
atau di masa depan.
Sementara itu, Prasetya (1997; 91) menyebutkan bahwa
pengembangan pegawai merupakan suatu proses merekayasa perilaku kerja
pegawai sedemikian rupa sehingga pegawai dapat menunjukkan kinerja yang
optimal dalam pekerjaannya. Kata kunci dalam pengembangan pegawai ini
adalah rekayasa perilaku (behaviour engineering) dari pegawai, artinya
perilaku kerja tersebut diubah dari yang buruk menjadi baik, dan dari baik
menjadi lebih baik. Kegiatan merubah perilaku ini dilakukan secara sadar
dan tanpa tekanan artinya pegawai secara sukarela mau untuk diubah atau
dikembangkan perilaku kerjanya.
Ada beberapa tujuan dari pengembangan pegawai yang diberikan
oleh Prasetya, yaitu : (1) Memberi orientasi pekerjaan kepada pegawai
baru; (2) Mempersiapkan pegawai untuk menggunakan peralatan baru; (3)
Mempersiapkan pegawai bekerja di sistem baru; (4) Mempersiapkan pegawai
agar mampu mencapai standar kualitas kerja baru; (5) Menyegarkan
(refreshing) ilmu dan keterampilan yang dimiliki pegawai; (6) Meningkatkan
kualitas kinerja pegawai; dan (7) Menyiapkan pegawai menghadapi
pekerjaan baru. Untuk meningkatkan efektivitas dari pengembangan
pegawai, Prasetya (1997; 93) menyatakan perlunya dilakukan analisis
kinerja. Analisis kinerja ini perlu dilakukan untuk mendapatkan gap
kemampuan pegawai, yaitu antara standar kinerja dengan kompetensi riil
yang dimiliki pegawai. Proses analisis kinerja dapat dicermati dalam bagan
berikut :
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 57
Gambar 3.4 Analisis Kerja
Sejalan dengan pemikiran Mondy dan Prasetya tersebut, Amstrong
mencatat ada 4 (empat) aspek yang dapat diubah dalam rangka
mengembangkan pegawai, yaitu (1) pengetahuan, (2) keterampilan, (3)
kemampuan dan (4) sikap (Amstrong, 2003; 274). Pengetahuan berkaitan
dengan ha-hal yang harus diketahui oleh pegawai agar dapat melakukan
pekerjaan dengan baik. Keterampilan berkaitan dengan apa yang harus bisa
dilakukan pegawai agar tujuan yang ditetapkan bisa dicapai dan
pengetahuan yang dimiliki bisa digunakan secara efektif. Sementara
kemampuan adalah kompetensi berbasis kerja atau kompetensi perilaku
yang diperlukan untuk mencapai tingkatan kinerja yang ditetapkan dan
sikap adalah disposisi untuk berperilaku atau untuk bekerja sesuai dengan
persyaratan kerja.
Dalam melakukan kegiatan pengembangan pegawai ada 3 (tiga)
kegiatan utama yang harus dilakukan secara baik, yaitu perencanaan
Analisis Kinerja
Standar Kinerja
Diklat
Sumber : Manajemen Sumber Daya Manusia, Prasetya Irawan, 1997, 93
G A P
Masalah
Kinerja
Non Diklat
Bukti Masalah
Penyebab Masalah
Solusi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 58
pengembangan pegawai, implementasi dan evaluasi. Bernardin menawarkan
suatu sistem model training yang efektif sebagaimana digambarkan dalam
bagan berikut :
Gambar 3.5 Sistem Model Pelatihan
A System Model of Training
Needs Assessment
Identify needs for training by conducting needs analysis: - Organization, - Task or job, - Person
Development
Design a learning environment by examining: - Characteristics of adult learners
- Learning Principles
Derive instructional objectives
Identity or develop criteria to evaluate training outcomes: - Reactions, - Learning, - Behavior change, - Organization result
Choose evaluation design
Identify or develop training materials and methods
Sumber : Human Resource Management by Bernardin, John, 2003; 166
Evaluation
Conduct training
Conduct evaluation and cost-effectiveness of
training program
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 59
h. Kompensasi
Hal yang penting bagi pegawai dalam bekerja adalah adanya
kompensasi (imbalan) yang mereka terima atas apa yang telah mereka
lakukan untuk organisasi. Pegawai telah mencurahkan tenaga, pikiran dan
keterampilan yang mereka miliki untuk kemajuan dan upaya pencapaian
tujuan-tujuan organisasi, sehingga wajar apabila mereka memperoleh
kompensasi atas usaha mereka tersebut. Besar kecilnya kompensasi yang
diberikan oleh organisasi sangat mempengaruhi kinerja dan kepuasan
pegawai sehingga organisasi harus membuat suatu pola perencanaan
pemberian kompensasi yang adil, transparan sesuai kinerja pegawai.
Seringkali masalah kompensasi ini menimbulkan berbagai masalah, misalnya
pegawai yang melakukan pemogokan karena merasa tidak mendapat
kompensasi yang sebanding dengan usaha dan kerja keras mereka.
Untuk menghindari berbagai persoalan tersebut, maka perlu adanya
suatu sistem dalam pemberian kompensasi yang disebut dengan sistem
penggajian. Menurut Amstrong, sistem penggajian adalah :
Pengaturan dalam organisasi mengenai apa dan bagaimana karyawan
harus dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan. Sistem penggajian
mengatur imbalan berdasarkan seberapa baik karyawan sebagai individu,
tim atau organisasi bekerja, dan juga mengatur imbalan berdasarkan
kontribusi, tingkat kemampuan (kompetensi) atau keterampilan yang telah
mereka capai. (2003; 303).
Ketidakpuasan atas kompensasi yang diterima pegawai disebabkan
karena adanya perbedaan antara yang diterima oleh pegawai dengan yang
diterima oleh pegawai lainnya. Menurut riset yang dicatat Bernardin (2003;
216), kepuasan atas kompensasi merupakan fungsi perbandingan atau rasio
input-outcome seseorang dengan persepsinya terhadap input-outcome orang
lain. Artinya mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain
dalam dua hal, yaitu input dan outcome. Input meliputi karakteristik pribadi
(pendidikan, pengalaman kerja dan lain sebagainya), usaha (bagaimana
usaha mereka dalam memecahkan suatu masalah dan lain sebagainya) dan
kinerja. Sementara outcome adalah apa yang mereka peroleh dari
pekerjaan mereka (pembayaran, promosi, tunjangan dan lain sebagainya).
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 60
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemberian
kompensasi yang dicatat oleh Amstrong (2003; 303-304), yaitu :
a. Kesamaan pencapaian hasil – besarnya gaji/kompensasi yang diberikan
kepada pegawai sesuai dengan besarnya kontribusi relatif mereka
kepada organisasi;
b. Konsistensi – menggaji/memberikan kompensasi kepada pegawai secara
konsisten sesuai level jabatan dan tingkat kinerjanya;
c. Keadilan - memastikan bahwa keputusan penggajian/pemberian
kompensasi bersifat adil dalam arti tidak mendiskriminasi pegawai.
Penggajian dibuat berdasarkan keputusan yang objektif dan tidak bias
serta mencerminkan tingkat kontribusi pegawai;
d. Transparansi - sistem penggajian/pemberian kompensasi terbuka bagi
pegawai sehingga mereka mengetahui dasar pemberian imbalan kepada
mereka; dan
e. Tingkat gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja - apakah
gaji/kompensasi yang diberikan dibawah/sama/diatas rata-rata tingkat
gaji/kompensasi yang berlaku di pasar kerja.
Kompensasi menurut Bernardin dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
a. Direct compensation, is used to describe the cash received in the form
of base salary, overtime pay, shift differentials, bonuses, sales
commissions and so on. Direct compensation divided in two
components: (1) the wage and salary program (base salary, overtime
pay, shift differentials, etc); (2) pay that is contingent on performance
4. PDRB Perkapita Harga Berlaku Juta Rp. 9,98 11,11 1,13
Sumber: www.sumutprop.go.id
Kalau dilihat berdasarkan sektor usaha dalam struktur ekonomi masih
tetap didominasi oleh 3 sektor yakni industri pengolahan, diikuti sektor
pertanian dan Perdagangan Hotel serta Restauran kemudian baru diikuti
oleh sektor lainnya. Pada tahun 2005 masing-masing mencapai 25,97
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 68
persen, 23,44 persen, dan 18,09 persen berturut-turut, dan angka ini akan
mengalami perubahan sejalan dengan semakin membaiknya sektor riil,
kondisi tersebut mendorong perbaikan pada sektor Perdagangan, Hotel serta
Restauran dan diperkirakan akan mengalami peningkatan sehingga untuk
tahun 2006 diperkirakan industri pengolahan mencapai 25,03 persen,
Pertanian 23,42 persen dan Perdagangan hotel dan restauran mencapai
18,84 persen. Sedangkan tahun 2007 diharapkan mencapai masing-masing
25,14 persen, 23,14 persen, dan 18,90 persen.
Sementara itu, volume dan nilai ekspor akan terus dipacu dan
diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sekalipun terjadi
peningkatan namun diperkirakan kenaikan volume dan nilai ekspor akan
terjadi namun dalam nilai yang tidak begitu signifikan. Perkiraan volume
ekspor tahun 2005 dan 2006 sebesar 8,17 dan 8,00 juta ton, dengan nilai
ekspor sebesar 4,56 dan 4,37 Milyar US$, demikian halnya pada tahun 2007
diperkirakan volume ekspor tahun sebesar 8,39 juta ton, dengan nilai ekspor
sebesar 4,45 Milyar US$. Sedangkan laju inflasi pada tahun 2005 mencapai
angka yang sangat tinggi 22,41 persen dan 2006 diperkirakan sebesar 7,00
persen, pada tahun 2007 diperkirakan sebesar 6,50 persen.
c. Kepegawaian
Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk sebanyak 12.450.911 jiwa
pada tahun 2005. Sementara jumlah aparatur yang harus memberikan
palayanan kaopada penduduk provinsi ini tahun 2005 mencapai 12.013
orang. Jumlah aparatur ini lebih rendah jika dibandingkan dengan jumlah
aparatur provinsi Sumatera Utara pada tahun 2006 yang hanya mencapai
11.124 atau turun sebanyak 7,40%.
Tabel 3.3 Jumlah Aparatur Provinsi Sumatera Utara 2003 - 2007
Tahun Jumlah Perubahan (%) 2003 12124 - 2004 11961 -1.34 2005 12013 0.43 2006 11124 -7.40
2007)* 11276 1.37 Sumber: Data Base Otonomo Daerah (2007), BPS Sumatera Utara (2006) )* Hingga Juni 2007
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 69
Menurunnya jumlah aparatur ini diakibatkan oleh makin meningkatnya
jumlah aparatur pemeritah yang sudah mencapai usia pensiun,
diberhentikan dengan tidak hormat, atau dengan secara sukarela
mengundurkan diri dengan hormat, serta meninggal dunia. Sementara
penambahan jumlah aparatur tidak sebanding dengan penurunnnya.
Hingga Juni 2007, jumlah pegawai di provinsi Sumatera Utara
mengalami kenaikan sebanyak 1,37% dari tahun 2006, yakni menjadi 11.276
orang. Kenaikan jumlah pegawai disebabkan oleh penambahan jumlah CPNS
tahun 2006 yang berasal dari tenaga kontrak. Dengan penambahan ini,
diharapkan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah provinsi kepada
masyarakat semakin baik dan optimal karena penambahan ini diiringi
dengan peningikatan kapasitas pegawai.
3.2.3 Provinsi Banten
a. Letak Geografis
Wilayah Banten berada pada batas
astronomi 5º 7’ 50” - 7º 1’ 11” Lintang
Selatan dan 105º 1’ 11” - 106º 7’ 12”
Bujur Timur, dengan luas wilayah
daratan 8.800,83 km² dan lautan (12
mil) seluas 11.487,12 km² . Secara
wilayah pemerintahan Provinsi
Banten terdiri dari 2 Kota, 4 Kabupaten, 140 Kecamatan, 262 Kelurahan,
dan 1.242 Desa.
Provinsi Banten mempunyai batas wilayah:
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Sebelah Barat : Selat Sunda
Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial, Selat
Sunda merupakan salah satu jalur yang dapat dilalui kapal besar yang
menghubungkan Australia, Selandia Baru, dengan kawasan Asia Tenggara
misalnya Thailand, Malaysia dan Singapura. Disamping itu Banten
merupakan jalur perlintasan/penghubung dua pulau besar di Indonesia,
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 70
yaitu Jawa dan Sumatera. Bila dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan
maka wilayah Banten terutama Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang
merupakan wilayah penyangga bagi Ibukota Negara. Secara ekonomi wilayah
Banten mempunyai banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki
beberapa pelabuhan laut yang dikembangkan sebagai antisipasi untuk
menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut di Jakarta dan sangat
mungkin menjadi pelabuhan alternatif dari Singapura.
Kondisi topografi Banten adalah sebagai berikut :
1. Wilayah datar (kemiringan 0 - 2 %) seluas 574.090 Ha
2. Wilayah bergelombang (kemiringan 2 - 15%) seluas 186.320 Ha
3. Wilayah curam (kemiringan 15 - 40%) seluas 118.470,50 Ha
Kondisi penggunaan lahan yang perlu dicermati adalah menurunnya
wilayah hutan dari 233.629,77 Ha pada tahun 2004 menjadi 213.629,77 Ha.
b. Perekonomian Daerah
Komposisi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dalam tahun 2005
kontribusi yang paling besar adalah sektor industri pengolahan sebesar
49,75%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 17,13%,
pengangkutan dan komunikasi 8,58% dan pertanian 8,53%.
Tabel 3.4 PDRB Banten Lapangan Usaha Utama Tahun 2005
No. Jenis Lapangan Usaha Jumlah % 1. Pertanian 731.827 21,14 2. Pertambangan dan Penggalian 41.346 1,19 3. Industri 799.962 23,11 4. Listrik dan Air Minum 13.553 0,39 5. Konstruksi / Bangunan 137.519 3,97 6. Perdagangan 721.494 20,84 7. Transportasi dan Komunikasi 328.990 9,50 8. Keuangan 125.577 3,63 9. Jasa-jasa 58.261 1,68 J U M L A H 3.461.508 100
Sumber: BPS, Banten Dalam Angka 2005
Apabila dikaitkan penduduk yang bekerja berdasarkan klasifikasi
sektor pada PDRB, maka terlihat mata pencaharian pada sektor industri
23,11%, pertanian 21,14%, perdagangan 20,84% dan transportasi serta
komunikasi 9,50%. Untuk sektor pertanian dengan penyerapan tenaga kerja
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 71
yang banyak (21,14%) ternyata memberikan kontribusi PDRB sebesar 8,58%,
sedangkan sektor industri dengan penyerapan 23,11% tenaga kerja mampu
memberikan kontribusi sebesar 49,75%.
Perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam kurun waktu 2001-2005
bergerak dengan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) rata-rata 4,93% per tahun
(3,95% pada tahun 2001 dan 5,88% pada tahun 2005) Sejalan dengan
peningkatan LPE tersebut PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun 2005
telah mencapai Rp. 84,62 Trilyun dan PDRB atas dasar harga konstan (2000)
sebesar Rp. 58,11 Trilyun. Sedangkan PDRB per kapita Banten meningkat
dari Rp. 8,07 Juta pada tahun 2004 menjadi Rp. 9,09 Juta pada tahun 2005.
Gambar 3.6
Grafik Konstribusi Sektor Ekonomi terhadap PDRB Banten Tahun 2005 (%)
Sumber: BPS, Banten Dalam Angka 2005
Pola perkembangan perekonomian wilayah Provinsi Banten dalam
kurun waktu 2001-2005 dicirikan dengan pergeseran peranan sektoral,
dimana penguatan peran sektor tersier (service) ditunjukkan oleh
peningkatan yang pada tahun 2001 baru mencapai 30,98% meningkat
menjadi 34,02% pada tahun 2005. Sektor sekunder yang memuat sektor
industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih memberikan konstribusi
terhadap PDRB mengalami penurunan dari 59,27% (2001) menjadi 57,34%
(2005). Penurunan ini disebabkan oleh semakin turunnya peranan sektor
industri dalam perekonomian Banten. Sama halnya dengan kelompok sektor
sekunder, sektor primer juga mengalami penurunan dari 9,74% pada tahun
2001 menjadi 8,64% pada tahun 2005.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 72
c. Kepegawaian
Pemerintahan Provinsi Banten selama tahun 2005 didukung oleh 2.768
orang Pegawai Negeri Sipil (PNS), dimana 1997 orang laki-laki dan 771 orang
perempuan. Apabila dilihat dari pendidikan, maka 1.461orang atau 52,78
persen PNS berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 47,22
persen hanya berpendidikan non gelar (Sarjana Muda/D3 atau yang lebih
rendah). Dari 26 instansi pemerintah yang ada di lingkungan Provinsi
Banten, hanya Sekretariat Daerah yang mempunyai jumlah PNS yang cukup
besar, yaitu 622 orang atau 22,47 persen dari seluruh PNS yang ada.
Tabel 3.5 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten
Tahun 2002-2005
Tahun Jumlah CPNS/PNS Perubahan (%) 2002 2762 - 2003 2664 -3,55 2004 2768 3,90 2005 2768 0%
Sumber: Banten Dalam Angka (2005)
Berdasarkan data yang tercatat dalam data base Biro Kepegawaian
(2005) menunjukkan bahwa jumlah CPNS/PNS di provinsi Banten
didominasi oleh lulusan S1 dan SMA dan sederajat yaitu sebesar 69% dari
total pegawai (CPNS/PNS) atau sebesar 1910 orang. Dari 69% tersebut
yang tamatan SMA dan sederajat mencapai 29,01% atau 803 orang.
Tabel 3.6 Jumlah CPNS/PNS Provinsi Banten Tahun 2005
Jenis Pendidikan
PNS CPNS Jumlah Share (%)
SD 26 26 0.94 SMP dan sederajat 9 9 0.33 SMA dan Sederajat 801 2 803 29.01 Diploma I 53 53 1.91 Diploma II 27 27 0.98 Diploma III/Sarjana Muda 350 350 12.64 Diploma IV 39 39 1.41 S1 1106 1 1107 39.99 S2 348 348 12.57 S3 6 6 0.22
Jumlah 2765 3 2768 100.00 Sumber: Banten Dalam Angka (2005)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 73
Secara umum dari tabel di atas, menunjukkan bhawa jumlah
aparatur pemerintah provinsi Banten sekitar 30% adalah tamatan
SMA/sederajat ke bawah. Sedangkan yang telah menamatkan S2
mencapai 12,57% atau 348 orang dan tamatan S3 sebanyak 0,22% atau
hanya 6 orang. Jadi masih banyak aparatur pemerintah daerah provinsi
Banten yang masih perlu diingkatkan kualifikasi akademiknya atau
kompetensi akademik agar tugas-tugas layanan yang diberikan oleh
aparatur lebih baik lagi.
3.2.4 Provinsi Bangka Belitung
a. Letak Geografis
Kepulauan Bangka Belitung adalah
sebuah provinsi Indonesia yang terdiri dari
Pulau Bangka dan Belitung serta beberapa
pulau kecil yang terletak di bagian timur
Sumatra, dekat dengan Provinsi Sumatra
Selatan. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkal
Pinang. Provinsi ini disahkan pada tanggal 9
Februari 2002.
Selat Bangka memisahkan Sumatra dan Bangka, sedangkan Selat
Gampar memisahkan Bangka dan Belitung. Di bagian utara provinsi ini
terdapat Laut Tiongkok Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau
Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Belitung oleh Selat
Karimata. Kepulauan Bangka Belitung merupakan bekas Provinsi Sumatra
Selatan, namun menjadi provinsi sendiri bersama Banten dan Gorontalo
pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 tanggal 4 Desember 2000. Propinsi
Kepulauan Bangka Belitung berasal dari sebagian wilayah Provinsi Sumatera
Selatan.
Luas wilayah 81.725,14 Km2 dengan luas daratan sebesar 16.424,14
Km2 atau 20,10%. Sedangkan luas perairan adalah mencapai 65.301 Km2
atau 79,90%. Artinya daerah ini lebih banyak daerah perairan disbanding
dengan daratan. Hal ini menujukkan bahwa kehidupan masyarakat Bangka
Belitung banyak tergantung pada potensi dan kekayaan laut. Kondisi wilayah
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 74
administratif meliputi dua pulau besar yaitu Pulau Bangka dan Pulau
Belitung dengan panjang pantai 1200 Km dengan jumlah kabupaten
sebanyak 6 dan 1 Kota, sedangkan jumlah kecamatan meliputi 36
kecamatan dengan 54 kelurahan, dan 267 desa.
b. Perekonomian Daerah
Struktur ekonomi di Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 meliputi
pertanian komoditas utama seperti produksi panen padi sawah 9.772 ton
dari luas panen 2.743 ha, padi ladang 8.955 ton dari luas panen 3.844 ha,
jagung 2.715 ton dari luas panen jagung 935 ha, ubi jalar 4.080 ton dengan
luas panen 528 ha, ketela pohon 19.000 ton dari luas panen 1.419 ha,
kacang tanah 389 ton dari luas panen 422 ha. Hasil produksi buah-buahan di
Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 adalah; alpukat 354,30 ton, mangga
1.982,8 ton, rambutan 1.798,10 ton, duku 1.525,10 ton, durian 2.804,9 ton,
jeruk siam 39.482 ton, nenas 1.615,5 ton, nangka 4.289,7 ton, salak 1.083,5
ton, pisang 15.329,3 ton dan manggis 640,70 ton.
Hasil sayur-sayuran yang menonjol adalah ketimun 3.644,80 ton,
terong 2.795 ton, kacang panjang 1.914,30 ton bayam 1.005,80 ton dan
kangkung 2.338 ton. Di luar komoditas itu, Kepulauan Bangka Belitung
menghasilkan bawang merah, lombok, kubis, petai, buncis, labu siam.
Disamping itu, terdapat Kepulauan ini terkenal dengan lada putihnya.
Hampir setengah penduduknya mencari nafkah dengan berkebun lada.
Dengan hamparan perkebunan lada yang luas para pengunjung dapat
melihat langsung bagaimana lada putih ini diproses pemetikan, pengolahan
dan pemasaran.
Kebun nanas Toboali yang terkenal dengan buahnya yang besar dan
manis. Para pengunjung dapat membeli dengan dengan memetik langsung
dikebun. Lokasinya berdekatan dengan ibukota kecamatan Toboali sebelah
selatan Pulau Bangka. Terdapat juga perkebunan jeruk yang indah ini di
Desa Rias, Toboali. Pengunjung juga dapat menikmati buahnya saat
menikmati keasrian alam sekitar.
Sementara itu, hasil laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat
dilihat pada tabel berikut:
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 75
Tabel 3.7 Hasil Kelautan dan Perikanan 2005 - 2006
Tahun
No. Uraian 2005 (Ton) 2006 (Ton)
1. Budidaya Laut 23,51 27,68
2. Budidaya Tambak 152,22 122,99
3. Budidaya Kolam 535,97 751,24
4. Budidaya Keramba 5,96 2,87
5. Budidaya Jaring Apung 6,66 27,69 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Sedangakan untuk potensi laut yang dapat dikembangkan di provinsi
Kepulauan Bangka Belitung guna mendorong peningkatan kesejahetaraan
masyarakat dapat dlihat tabel berikut:
Tabel 3.8 Potensi Perikanan 2006 Potensi Kelaut Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Sektor diatas, adalah yang memberikan konstribusi besar terhadap
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Karena karakteristik daerah ini adalah kepulauan, maka sektor perikanan
dan pertambangan mempunyai peran yang tiak kecil dalam menyumbang
PDRB provinsi.
c. Kepegawaian
Jumlah aparatur pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada
tahun 2004 mengalami penurunan sebanyak 0,80% dibandingkan tahun 2003.
No. Uraian Luas Areal Potensi Produksi
(Ton)
Nilai Ekonomi (Rp.1000)
1. Perikanan Tangkap 499.500 2.497.500.000
a. Perairan Teritorial 65.301 Km² 282.100 1.410.500.000
Catatan: )** siginifikan pada level 5% dan )* signifikan pada level 10%. Dari hasil estimasi model 1, model 2, dan model 3 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk dan luas wilayah provinsi menjadi faktor yang menentukan jumlah
aparatur pemerintah daerah provinsi dengan asumsi ceteris paribus dengan tingkat
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 153
signifikansi sebesar 5% dan 10%. Sementara kemampuan ekonomi, yakni PAD dan
PDRB kurang memberikan konstribusi yang signfikan terhadap penentuan jumlah
pegawai. Semakin besar jumlah jumlah penduduk, maka semakin banyak jumlah
pegawai yang dibutuhkan dengan asumsi ceteris paribus. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien penduduk yang positif. Sedangkan, berdasarkan hasil
estimasi model 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa jumlah pegawai di wilayah yang
luas cenderung jumlahnya sedikit dibandingkan dengan jumlah pegawai di wilyah
provinsi yang lebih kecil.
Jika estimasi dilakukan secara terpisah teryata PAD mempuanyai kontribusi dalam
penentuan jumlah pegawai di provinsi, hal ini dapat dilihat pada model 4 dan 5.
Sedangkan pada model 6 menunjukkan bahwa semakin tinggi PDRB suatu provinsi,
maka jumlah pegawai yang dibutuhkan semakin besar dengan asumsi ceteris
paribus dengan tingkat siginifikansi sebesar 5%.
Dari hasil estimasi ini semakin memperjelas bahwa penentuan jumlah aparatur
pemerintah daerah provinsi yakni penambahan atau pengurangan jumlah pegawai
harus mempertimbangkan karakateristik daerah jumlah penduduk, luas wilayah,
serta kemampuan ekonomi. Karena selama ini penambahan atau pengurangan
jumlah pegawai hanya didasarkan pada jumlah penduduk.
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah optimal pegawai di 5 lokasi sampel dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.3 Kelebihan dan Kekurangan Jumlah Pegawai
(Pendekatan OLS)
Keterangan Pegawai
No
Provinsi
Jumlah Pegawai Saat ini
Jumlah Pegawai Optimal Kelebihan Kekurangan
1 DI Yogyakarta 7077 4408 2669
2 Kep. Riau 1.171 2272 1101
3 Sumatra Utara 10.928 10200 728
4 Bangka Belitung 2.142 1967 175
5 Banten 2.649 8365 5716 Sumber: Hasil survey dan data diolah (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 154
Jika penentuan jumlah optimal menggunakan pendekatan estimasi dengan
memasukkan karaketeristik daerah menurut jumlah penduduk, luas wilayah, PAD,
dan PDRB, maka hasil estimasi dapat ditunjukkan bahwa provinsi Daerah Istimewa
Yogjakarta terdapat kelebihan pegawai 2669 orang, provinsi Sumatera Utara
kelebihan pegawai sebanyak 728 orang. Sedangkan provinsi Kepulauan Bangka
Belitung terdapat kelebihan pegawai sebanyak 175 orang. Sementara itu, provinsi
Banten terdapat kekurangan pegawai hingga 5716 pegawai, karena jumlah optimal
pegawai seharusnya sebanyak 8365 orang dan provinsi Kepulauan Riau sebagai
provinsi baru terjadi kekurangan pegawai sebanyak 1101 orang dari jumlah
seharusnya 2272 orang.
Kelemahan menggunakan pendekatan ini adalah tidak mampu menunjukkan secara
detail jumlah pegawai di setiap SKPD dalam satu provinsi tentang jumlah optimal
pegawai yang seharusnya ada di setiap SKPD. Di samping itu, pendekatan ini sangat
agregat, karena perhitungannya didasarkan pada data kuantitatif setiap provinsi
dan sangat tergantung pada perilaku data yang ada di setiap wilayah provinsi.
Namun demikian, pendekatan ini dapat digunakan sebagai pendekatan alternatif
dalam menentkan jumlah optimal pegawai, serta mampu memberikan informasi
tentang kelebihan dan kekurangan jumlah pegawai.
5.4 Kompetensi Jabatan Struktural Eselon III dan IV
Kompetensi jabatan adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam rangka menjalankan tugas-tugas yang sesuai dengan tanggung jawab
jabatannya. Kompetensi jabatan dalam hal ini dibedakan menjadi lima bidang yaitu
kemampuan etik atau integritas, kepimpinan, manajerial, team work, sosial, dan
profesional atau teknik.
Dalam menentukan jenis kompetensi yang paling dibutuhkan oleh jabatan
struktural, terlebih dahulu diadakan jajak pendapat dari para responden yang
terdiri dari para pejabat struktural di provinsi yang diteliti. Dari 35 jenis
kompetensi yang dianggap perlu untuk mendukung tugas sebagai pejabat struktural
didapat 6 jenis kompetensi yang dipilih sebagai syarat mutlak. Hal ini sebagaimana
didapat dari hasil skoring awal, dimana item yang terkait dipilih ”secara aklamasi”
oleh para responden.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 155
Tabel 5.4 Jenis Kompetensi dan Skala Prioritas
No Jenis Kompetensi Skala Prioritas
1. Integritas 20
2. Kepemimpinan 20
3. Perencanaan dan pengorganisasian 14
4. Kerjasama 17
5. Fleksibilitas 15
6. Orientasi pada pelayanan 17
7. Orientasi kepada kualitas 16
8. Berpikir analitis 14
9. Berpikir konseptual 15
10. Memotivasi orang 17
11. Inisiatif 18
12. Kompetensi (Keahlian) teknik 20
13. Kesadaran berorganisasi 16
14. Komitmen terhadap organisasi 15
15. Komunikasi 14
16. Kreatif dan inovasi 17
17. Kemampuan mengelola tugas dalam organisasi (manajerial) 20
18. Mengatasi konflik 13
19. Membangun hubungan kerja dalam team work 20
20. Membangun hubungan kerja stratejik 14
21. Membimbing 18
22. Memimpin kelompok 17
23. Memimpin rapat 15
24. Mencari informasi 14
25. Mengambil resiko 11
26. Mengembangkan kemampuan orang lain 16
27. Pembelajaran yang berkelanjutan 17
28. Pendelegasian wewenang 16
29. Pengambilan keputusan 19
30. Pengaturan kerja 17
31. Perbaikan terus menerus 18
32. Perhatian terhadap keteraturan 12
33. Proaktif 16
34. Tanggap terhadap budaya 18
35. Kemampuan dalam memlihara hubungan baik dengan orang lain (kemampuan sosial) 20
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 156
Selanjutnya dari enam bidang kompetensi tersebut yang telah dipilih responden,
kemudian dipilah menjadi dua yaitu untuk tingkat eselon III dan IV. Deskripsi
masing masing dari enam bidang kompetensi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Integritas
Bertindak konsisten sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan organisasi serta kode
etik profesi dengan mempertahankan norma-norma sosial dan organisasi,
walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya sehingga terdapat satu
kesatuan antara kata dan perbuatan. Dalam setiap keadaan dapat
mengkomunikasikan maksud, ide serta perasaan secara terbuka, jujur dan
langsung
Variabel yang ditanyakan:
b. Memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, yaitu dengan
mengikuti norma sosial, etika dan organisasi, serta yakin bahwa yang
dilakukan tidak melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan
c. Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya, serta
jujur dalam berhubungan dengan orang lain.
d. Bertindak berdasarkan nilai walaupun sulit untuk melakukannya
e.
Gambar 5.5 Pilihan Kompetensi Integritas Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 157
Gambaran di atas menunjukkan adanya persepsi rata rata dari responden
bahwa integritas moral merupakan kompetensi yang harus dimiliki oleh
pejabat eselon III dan IV. Antara dua kelompok pejabat tersebut, eselon III
dan IV, perbedaan disini terlihat dalam derajat kemutlakan. Eselon III
diharapkan memiliki integritas moral yang lebih tinggi daripada eselon IV.
Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat anggapan bahwa tegak
tidaknya etika dalam suatu organisasi sangat bergantung kepada pimpinan.
Seorang pimpinan dianggap sebagai sumber tauladan perilaku anggota
organisasi yang lain.
2. Kepemimpinan
Kemampuan untuk memimpin orang lain melalui tindakan
mempengaruhi/meyakinkan orang lain, memberikan arah petunjuk, mendorong
motivasi/komitmen orang lain untuk melakukan rencana kerja dalam organisasi
Variabel yang ditanyakan:
a. Menyakinkan orang lain secara langsung dalam diskusi atau presentasi
mengenai rencana kerja unit organisasi
b. Memberikan arahan yang jelas mengenai tugas yang diharapkan
c. Membangun motivasi orang lain untuk dalam mencapai tujuan organisasi.
Gambar 5.6 Pilihan Kompetensi Kepemimpinan Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Sebagaimana penilaian dalam bidang integritas, kompetensi kepemimpinan juga
dinilai dengan tingkat gradasi yang berbeda antara eselon III dan eselon IV.
Eselon III diharapkan menguasai kompetensi kepemimpinan yang lebih tinggi
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 158
ketimbang eselon IV. Eselon III merupakan unsur pimpinan yang bertanggung
jawab dalam mengkoordinir, memberikan arah dan menggerakkan bawahan.
Oleh sebab itu pejabat eselon III diharapkan memiliki kemampuan
kepemimpinan yang lebih tinggi ketimbang pejabat eselon IV.
3. Kemampuan Manajerial
Kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pelaksanaan pekerjaan di unit
kerjanya. Variabel yang ditanyakan :
a. Membuat prioritas, untuk mengenali kegiatan dan penugasan yang lebih
penting dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan jadwal
waktu kegiatan
b. Menentukan penugasan dan sumber dayanya, yaitu dengan menguraikan ke
dalam tugas-tugas yang lebih kecil, serta melakukan koordinasi dengan
mitra kerja internal dan eksternal
c. Tetap terfokus, menggunakan waktu secara efektif dan mencegah gangguan
yang menyimpang agar tidak menggannggu penyelesaian pekerjaan.
Gambar 5.7 Pilihan Kompetensi Manajerial Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Kompetensi manajerial pada dasarnya merupakan kemampuan seseorang
untuk menggerakkan orang lain menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan
target atau sasaran yang telah ditetapkan. Kemampuan ini sangat
menekankan adanya pengetahuan, keterampilan dan sikap seseorang dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 159
menetapkan prioritas dan membagi tugas dalam organisasi. Dari
pemahaman tersebut, para responden bahwa kompetensi manajerial wajib
menjadi syarat untuk menduduki jabatan eselon III dan IV. Perbedaan
persyaratan bagi kedua jabatan tersebut adalah dalam gradasi atau tingkat
pentingnya. Pejabat eselon III diharapkan menguasi tingkat kompetensi
manajerial yang lebih tinggi daripada eselon IV yang dipimpinnya.
4. Kemampuan Team Work
Deskripsi : Kemampuan membangun kerjasama dengan orang lain dan menjadi
bagian dari kelompok dalam melaksanakan tugas
Variabel yang ditanyakan :
a. Berpartisipasi dalam kelompok, mendukung keputusan tim dan
menyelesaikan tugasnya dalam tim serta membagi informasi yang berguna
dan relevan bagi anggota tim
b. Meminta dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menentukan
keputusan
c. Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
Gambar 5.8 Pilihan Kompetensi Team Work Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Dari hasil penilaian diatas didapatkan gambaran bahwa eselon III dan eselon
IV diharapkan menguasai kompetensi dalam mengelola kehidupan
kelompok.. Kompetensi ini merupakan salah satu kunci yang dibutuhkan
dalam menjalankan fungsi fungsi organisasi. Dalam penilaian DP3,
kompetensi ini dinilai dari aspek kerjasama pegawai. Meskipun berlaku
untuk kedua jenis eselon, kompetensi teamwork lebih ditekankan pada level
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 160
eselon III. Hal ini menggambarkan suatu penekanan dimana pejabat eselon
III diharapkan lebih mampu menjadi inisiator dan stabilisator dinamika
teamwork dalam organisasi. Keberhasilan dalam membentuk teamwork
ditentukan oleh kemampuan pimpinan yang lebih tinggi untuk menciptakan
rasa kepercayaan sesama anggota organisasi dalam lingkungan kerja,
menanamkan nilai nilai kerjasama, memperkuat koordinasi dan kohesi antar
anggota.
5. Kemampuan Sosial
Deskripsi : Kemampuan untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan
menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang beragam dan berubah ubah
(dinamis)
Variabel yang ditanyakan :
a. Mendengarkan dan menghargai pendapat orang untuk kelancaran tugas.
b. Kemampuan menyampaikan ide, gagasan secara jelas baik secara tertulis
maupun lisan kepada orang lain
c. Keluwesan bertindak dan mampu menanggapi perubahan baik di dalam
maupun di luar organisasi.
Gambar 5.9 Pilihan Kompetensi Sosial Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Kemampuan sosial atau sosial competence merupakan kemampuan seseorang
dalam mengelola hubungan sosial yang harmonis dengan orang orang di
lingkungannya. Hasil jajag persepsi responden menunjukkan bahwa baik eselon
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 161
III dan eselon IV memiliki persyaratan kompetensi sosial yang cukup tinggi.
Perbedaan disini adalah bahwa eselon III diharapkan menguasi kompetensi
sosial yang lebih tinggi daripada jabatan eselon IV. Meskipun dalam kenyataan
sehari hari, eselon IV harus berhubungan dengan lebih banyak orang daripada
eselon IV hal ini tidak berarti eselon III boleh memiliki tingkat kompetensi sosial
yang lebih rendah. Hal ini disebabkan eselon III merupakan pimpinan yang
bertanggungjawab dalam mengelola anggota organisasi baik secara langsung
maupun tidak langsung, Disamping itu juga eselon III juga diberikan tanggung
jawab besar dalam mengelola hubungan dengan pengguna layanan dari luar
organisasi.
6. Kemampuan Teknis
Deskripsi : TIngkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
dalam melaksanakan tugas
Variabel yang ditanyakan :
a. Ketertarikan terhadap bidang keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan
b. Menguasai keterampilan dan pengetahuan teknik/profesional
c. Menjelaskan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki
Gambar 5.10 Pilihan Kompetensi Teknis Eselon III dan IV
Sumber: Hasil Olahan Data Tim Kajian (2007)
Dari hasil persepsi di atas diperoleh gambaran bahwa eselon III dan IV dituntut
untuk memiliki kompetensi teknik yang cukup tinggi. Penguasaan kompetensi
teknik dibutuhkan untuk menjalankan tugas tugas pokok organisasi. Namun
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 162
berbeda dengan profil kompetensi sebelumnya, eselon III pada umumnya
diberikan tugas yang lebih menekankan pada fungsi koordinasi dan manajerial.
Sementara itu tugas dengan bobot teknis lebih dibebankan pada pejabat yang
lebih rendah karena harus berhadapan langsung dengan obyek yang dikelola
oleh organisasi. Namun hasil jajag persepsi diatas menunjukkan hal yang
berbeda dengan asumsi umum tersebut. Para responden berpendapat bahwa
eselon III harus menguasai kompetensi teknis yang lebih tinggi daripada eselon
IV. Hal ini tentunya harus diartikan bahwa eselon III bukan menangani porsi
pekerjaan teknis yang lebih besar, tetapi memiliki kompetensi teknis yang lebih
tinggi agar ia mampu membina dan mengarahkan pekerjaan bawahnya. Oleh
sebab itu sebagai pejabat eselon III, ia diharapkan mempunyai pengalaman yang
cukup matang di dalam bidang tugas/jenis pekerjaan yang ditanganinya.
Secara keseluruhan hasil dari penilaian mengenai kompetensi yang dibutuhkan
oleh jabatan struktural adalah pada umumnya untuk semua kompetensi terdapat
jenjang kompetensi yang sesuai dengan asumsi teori mengenai pemilahan
kompetensi seperti gambar di bawah. Dari hasil pendapat responden diperoleh
gambaran bahwa semakin tinggi jabatan seseorang dalam organisasi, maka
integritas, kemampuan memimpin, kemampuan manajerial, kemampuan
manajerial dan kemampuan sosial harus semakin tinggi. Jenjang kompetensi
Gambar 5.11 Profil Kompetensi Jabatan Eselon III dan Eselon IV
Sumber: Hasil Olahan Tim Kajian (2007)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 163
(competency grade) seperti ini tidak berlaku untuk bidang kompetensi teknis.
Tabel di atas menunjukkan bahwa responden menganggap kemampuan teknis
dibutuhkan dan dikuasasi dikuasai secara baik oleh eselon III ketimbang eselon IV.
Sebagai konsekuensinya eselon III dituntut menguasai kompetensi teknis yang baik.
Oleh sebab itu, perlu dipertimbangkan bahwa dalam menyusun pola karir maka
faktor pengalaman dalam rumpun jabatan harus menjadi pertimbangan dalam
menentukan career path. Terkait dengan hal ini maka Diklat teknis seyogyanya
dijadikan sebagai syarat untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi.
5.5 Implikasi Kebijakan Desentralisasi terhadap Beban Kerja, Jumlah dan
Kompetensi Pegawai Provinsi.
Perubahan dari UU no 22 tahun 1999 kepada UU no 32 tahun 2004 telah mengubah
peran dan kedudukan provinsi dalam penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia.
Dengan adanya Undang undang yang baru tersebut maka pembagian urusan antara
tingkat daerah dan nasional tidak lagi bersifat ekslusif melainkan bersifat
concurent. Pelaksanaan urusan secara concurent didasarkan pada tiga kriteria yaitu
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. kewenangan menjadi memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada provinsi. Ekstenalitas artinya bahwa
penyelenggara suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas, besaran,
dan jangkauan dampak yang timbul aikibat penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Yang dimaksud dengan, kriteria akuntabilitas adalah
penanggungjawab penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan
berdasarkan kedekatannya dengan luas, besaran, dan jaugkauan dampak yang
ditimbulkan oleh penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan. Yang dimaksud
dengan kriteria efisiensi adalah penyelenggara suatu urusan pemerintahan
ditentukan berdasarkan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi yang
dapat diperoleh.
Ketiga kriteria tersebut pada dasarnya merupakan pengejawantahan prinsip dasar
subsidiaritas. Prinsip ini merupakan suatu cara dalam penyelenggaraan
pemerintahan dimana pemerintah hanya akan mengerjakan bidang bidang
pekerjaan yang tidak mampu dikerjakan oleh masyarakat atau tingkat
pemerintahan yang lebih rendah. Sebaliknya, dalam rangka menjamin efektifitas
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 164
pelayanan kepada masyarakat dan pengembangan potensi masyarakat, pemerintah
harus mendorong agar pelaksanaan tugas tugas pemerintahan sejauh mungkin
didelegasikan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah yang sesuai dengan
sifat sifat pekerjaan itu sendiri. Dalam hal ini pelayanan yang bersifat langsung
kepada masyarakat (proximity services) seyogyanya dikerjakan oleh
Kabupaten/Kota. Sedangkan tugas tugas pelayanan yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota dibebankan kepada provinsi.
Dari hasil penelitian di lima provinsi diperoleh gambaran bahwa penerapan UU no
32 tahun 2004 pada dasarnya menciptakan beban kerja yang lebih tinggi kepada
pemerintah provinsi. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama adalah
belum dirumuskannya peraturan pelaksanaan UU no 32 tahun 2004. Keadaan ini
menciptakan ketidakjelasan pengorganisasian kerja di organisasi pemerintah
provinsi. Hal ini terlihat terutama dalam provinsi yang baru terbentuk yaitu Bangka
Belitung dan Riau Kepulauan. Sesuai dengan prinsip subsidiaritas, maka kedua
provinsi ini menanggung tugas tugas koordinasi dan residual yang belum dapat
dikerjakan oleh Kabupaten/Kota. Hal ini membawa konsekuensi dalam bidang
kepegawaian dimana provinsi yang bersangkutan mengalami kekurangan pegawai
terutama untuk jenis jenis organisasi yang mempunyai tugas pokok dalam
pelayanan baik yang bersifat kesejahteraan maupun yang bersifat ekonomis dalam
rangka mendukung pengembangan potensi daerah. Sementara itu bagi provinsi
yang telah lama terbentuk, ketidakjelasan ini terlihat dari tidakmeratanya persepsi
beban kerja, dimana sebagian unit organisasi mengalami kelebihan sedangkan unit
unit yang lain mengalami kekurangan pegawai.
Kedua, khususnya menyangkut bidang kepegawaian, pemberian porsi kewenangan
yang lebih besar kepada pemerintah provinsi belum disertai dengan rumusan yang
jelas mengenai tanggung jawab dan fungsi di bidang pengelolaan kepegawaian.
Dalam UU no 32 tahun 2004 pemerintah provinsi memiliki kedudukan dan tanggung
jawab sebagai wakil pemerintah pusat dalam membina pengelolaan kepegawaian di
Kabupaten/Kota. Namun dalam kenyataan pengelolaan kepegawaian masih
berjalan sebagaimana diatur oleh UU no 22 tahun 1999 dimana Kabupaten/Kota
memiliki kewenangan yang ekslusif, dan sebaliknya pemerintah provinsi memiliki
kedudukan yang lemah. Keadaan ini menciptakan ketidakberaturan dan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 165
pelanggaran dalam pengelolaan kepegawaian di tingkat Kabupaten/Kota. Disisi lain
kewenanangan pemerintah provinsi dalam bidang kepegawaian seolah hanya
bersifat simbolik saja.
Ketiga, implementasi UU no 32 tahun 2004 memberikan kewenangan yang bersifat
koordinasi dan pembinaan (dalam arti promotion and development) bagi
penyelenggaraan otonomi di tingkat Kabupaten/Kota. Hal ini membawa
konsekuensi dimana para pejabat di provinsi diharapkan menguasi kompetensi
teknis yang memadai sesuai dengan bidang tugasnya. Dari hasil deskripsi data
bidang kompetensi di atas diperoleh gambaran bahwa eselon III diharapkan
menguasi kompetensi teknis yang lebih tinggi daripada eselon IV. Hal ini
disebabkan bahwa pejabat eselon III merupakan pejabat yang bertanggung jawab
langsung dalam menerjemahkan kebijakan kebijakan pimpinan di lingkungan SKPD
provinsi terkait dengan tugas koordinasi dan pembinaan kepada Kabupaten/Kota.
Dengan pengaturan kepegawaian yang ada saat ini, hal ini akan menciptakan
masalah dalam pembinaan kepegawaian di tingkat provinsi. Untuk memahami tugas
tugas teknis yang diselenggarakan pada tingkat Kabupaten/Kota, secara ideal
pejabat eselon III ke atas seyogyanya mengenal betul dan mempunyai pengalaman
yang cukup di tingkat Kabupaten/Kota.
Namun dengan sistem kepegawaian yang terpisah terutama dalam sistem karir
maka sangat sulit untuk bicara mengenai akses promosi pejabat dari
Kabupaten/Kota ke tingkat provinsi. Terlebih lagi, Kabupaten/Kota dengan
tuntutan pelayanan yang dihadapinya mereka merasa kekurangan pegawai.
Sehingga besar kemungkinan mereka tidak akan melepas pegawainya yang
potensial untuk meneruskan karirnya di tingkat provinsi. Melihat keadaan ini maka
perlu kiranya dipertimbangkan mekanisme karir yang memudahkan mobilitas dari
Kabupaten/Kota ke Provinsi dan juga antar Provinsi. Aspek yang kedua tersebut
didasarkan pada hasil pengamatan di lapangan bahwa terdapat sebagian provinsi
yang mengalami kelebihan jumlah pegawai dengan kualifikasi yang cukup tinggi
seperti di DIY dan disisi lain terdapat provinsi yang mengalami kekurangan pegawai
yang sangat signifikan.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 166
Masalah kepegawaian dalam konteks UU no 32 tahun 2004 merupakan kunci bagi
keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh sebab itu perlu pengaturan
bersama terutama antar pemerintah daerah untuk memungkinkan adanya transfer
pegawai guna memenuhi kekurangan pegawai baik dalam kualitas dan
kuantitasnya. Namun demikian inisiatif ini belum menjadi agenda kebijakan,
karena dominasi yang besar dari pemerintah pusat dalam pengaturan kepegawaian.
Lebih dari itu dominasi tersebut belum diikuti dengan harmonisasi kebijakan antar
instansi instansi yang berkompeten dalam pengaturan bidang kepegawaian dan
pemerintahan umum.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
KEBIJAKAN
Berdasarkan dari hasil analisis yang telah dipaparkan pada bab III dan hasil diskusi
dengan berbagai stakeholders yang terkait di studi ini, maka dapat dirumuskan
suatu kesimpulan dan rekomendasi strategi dan rencana tindak pengelolaan
aparatur pemerintah daerah provinsi di masa yang akan datang.
6.1 Kesimpulan Studi
Dari hasil studi yang dilakukan oleh tim tentang ”Perubahan Kebijakan
Desentralisasi dan Otonomi Pada Pengelolaan Aparatur Daerah Provinsi” dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Pola pembagian urusan tersebut bagi pemerintah provinsi yang baru akan
memberi beban ekstra sehingga menyebabkan beban pekerjaan yang tinggi.
Disamping itu peraturan pembagian urusan yang belum jelas (sampai saat
selesainya penelitian dilakukan) menyebabkan kesulitan bagi pemerintah
provinsi untuk menata distribusi pembagian pekerjaan di antara pegawai.
Sebab lain dari masalah beban kerja adalah kecenderungan pemerintah daerah
untuk menciptakan organisasi yang besar tanpa definisi fungsi dan lingkup
kewenanangan yang jelas. Peran dan status ganda pemeritah provinsi juga
menyebabkan terhambatnya pelaksanaan tugas-tugas pelayanan, khususnya
yang menyangkut kabupaten/kota. Dualisme otonomi antara provinsi dengan
kabupaten juga ternyata menghambat tugas dan peran provinsi sebagai wakil
pemerintah pusat dalam melakukan koordinasi dan pengawasan pembangunan
lintas kabupaten/kota.
b. Setelah kebijakan desetralisasi dan otonomi daerah, ternyata menimbulakn
permasalahan kepegawaian yang semakin kompleks baik berkaitan dengan
formasi, rekruitmen, promosi dan mutasi, pengembangan pegawai, kompetensi
pegawai, maupun remunerasi. Hal ini disebabkan oleh adanya tarik ulur antara
penguasa dan pejabat-pejabat yang bekepentingan. Di samping itu, munculnya
banyak regulasi yang dapat membingungkan aparatur pemerintah di daerah.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 168
Posisi provinsi tidak diuntungkan karena ketidakjelasan peraturan pelaksanaan
UU no 32 tahun 2004 khususnya terkait dengan bidang kepegawaian. Disatu sisi,
pengaturan kepegawaian antara instansi pemerintah pusat yang terkait dengan
kebijakan kepegawaian belum memiliki pola koordinasi yang cukup jelas yang
berorientasi pada pemberdayaan daerah, sehingga seringkali kebijakan
pemerintah pusat sering dirasa berbelit belit dan tidak responsive dengan
masalah masalah di daerah. Disisi lain, pemerintah provinsi tidak cukup dibekali
dengan wewenang yang memadai dalam menjalankan fungsinya di bidang
urusan kepegawaian.
c. Dengan dua pendekatan dalam mennetukan jumlah optimal pegawai
menunjukkan bahwa terdapat kelebihan pegawai pada provinsi lama dan
kekurangan pada pegawai pada provinsi baru. Untuk menentukan jumlah
pegawai, tidak cukup dengan memperhitungkan jumlah penduduk, tetapi perlu
memperhatikan aspek lainnya, misalnya kemampuan ekonomi daerah, luas
wilayah, dan sebagainya.
Penerapan UU no 32 tahun 2004 yang mengatur pembagian urusan secara
concurrent menciptakan suatu keadaan dimana peran provinsi lebih dituntut
bersifat pembinaan dan koordinasi. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
pejabat di tingkat provinsi terutama yang terkait dengan pelaksanaan teknis,
diharapkan menguasai kompetensi teknis yang cukup tinggi sehingga mampu
memberikan bimbingan dan bantuan kepada Dinas/SKPD yang bersangkutan di
Kabupaten/Kota. Hal ini menjadi alasan agar pejabat eselon III tidak saja
menguasai kompetensi manajerial yang lebih tinggi daripada eselon IV namun
juga diharapkan memiliki tingkat kompetensi teknis yang lebih tinggi. Saat ini
tuntutan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya limpahan pegawai dari Kanwil
yang bergabung sejak tahun 2001. Namun pada masa yang akan datang tuntutan
ini akan sulit dipenuhi jika tidak didukung dengan keluwesan karir pegawai yang
memungkinkan mobilitas dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Hal ini disebabkan
tuntutan penguasaan kompetensi teknis yang tinggi diperlukan pengalaman di
lapangan. Sementara itu dengan UU no 32 tahun 2004 tugas provinsi lebih
banyak bersifat koordinasi dan penetapan kebijakan.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 169
6.2 Rekomendasi
Dalam rangka implementasi UU no 32 tahun 2004 yang menggantikan UU no 22
tahun 1999 diperlukan adanya penguatan peran provinsi dalam kebijakan
manajemen SDM daerah melalui upaya upaya sebagai berikut :
1. Pembinaan dalam penguatan infrastruktur manajemen kepegawaian provinsi
a. Guna mendukung profesionalisme pegawai dan mencegah intervensi
kepentingan politik dan primordial maka perlu adanya penyusunan pola
dasar karir di lingkungan pemerintah provinsi. Khususnya dalam kebijakan
pengembangan pegawai (termasuk karir dan pendidikan latihan) perlu
dibentuk adanya assesment center yang dapat melayani juga
Kabupaten/kota di satu provinsi.
b. Penyusunan sistem informasi kepegawaian terpadu tingkat provinsi dan
nasional. Sistem ini diperlukan untuk memahami secara akurat dan terpadu
keadaan dan kebutuhan kepegawian yang menjadi dasar bagi pembuatan
kebijakan kepegawaian secara cepat dan efektif. Dengan adanya system
informasi ini maka dimungkinkan adanya koordinasi yang lebih kuat antara
provinsi, kabupaten, dan pemerintah pusat.
c. Pembuatan klasifikasi jabatan yang memudahkan untuk pengukuran beban
kerja serta pengorganisasian dan distribusi pekerjaan sesuai dengan
kompetensi pegawai. Klasifikasi jabatan akan membantu untuk menentukan
nilai suatu jabatan dan karakteristik jabatan sehingga memudahkan dalam
pemberian ganjaran yang adil serta penentuan penempatan pegawai yang
tepat sesuai kompetensinya.
d. Penerapan kebijakan sistem karir terbuka antar daerah. Penerapan otonomi
daerah memilki resiko adanya sistem kepegawaian yang terkotak kotak
sehingga menyebabkan masalah yang sangat signifikan dalam pemerataan
kesejahteraan antar daerah. Oleh sebab itu kebijakan kepegawaian
seyogyanya mendorong adanya sistem karir terbuka antara provinsi atau
provinsi kabupaten/kota vice versa.
e. Penyusunan standard kompetensi jabatan yang mampu menjamin
pelaksanaan pembinaan kepegawaian secara obyektif dan bebas dari
politisasi dan primordialisme
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 170
2. Penguatan dalam koordinasi pelaksanaan kebijakan kepegawaian provinsi
Koordinasi dalam perencanaan bidang kepegawaian dengan
memperhatikan kebutuhan lintas kabupaten/kota dan antar provinsi.
Koordinasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dalam satu
provinsi
Koordinasi dan penyederhanaan mutasi kepegawaian antar
Kabupaten/kota dan antara Kabupaten/Kota ke Provinsi atau
sebaliknya.
3. Pengawasan dan pengendalian
Penguatan peran pengawasan yang harus dilakukan oleh provinsi terhadap
pelaksanaan peraturan kepegawaian. Penguatan ini perlu didukung dengan
wewenang dan sumber daya hokum (misalnya wewenang pemberian sangsi)
yang memadai. Pengawasan kepegawaian bidang mutasi, pengangkatan dan
pemberhentian pegawai perlu mendapatkan perhatian lebih besar karena
potensi politisasi dan primordialisme yang besar. Terkait dengan hal ini
karena pertimbangan efektifitas dan efisiensi perlu dipertimbangkan bahwa
proses rekrutmen perlu dipusatkan di tingkat provinsi.
4. Dukungan pusat dalam pembinaan kepegawaian.
Koordinasi instansi terkait dalam manajemen kepegawaian, Depdagri,
Depkeu, MENPAN, BKN, LAN. Berbagai masalah pelanggaran dan
penyimpangan kepegawaian terjadi akibat koordinasi yang lemah antara
instansi instansi pemerintah yang memiliki kewenangan terkait dengan
kebijakan kepegawaian. Oleh sebab itu sebagai langkah koordinasi antara
instansi tersebut diperlukan adanya komite interministerial pembinaan
kepegawaian sehingga setiap kebijakan. Disamping itu dalam rangka
merubah mindset pengelolaan kepegawaian yang masih berorientasi kepada
peraturan menjadi lebih berorientasi kepada prinsip manajemen sumber
daya manusia maka diperlukan penyusunan pedoman dan peraturan
pelaksanaan dalam penguatan infrastruktur kepegawaian. Infrastruktur
tersebut meliputi standard kompetensi, penilaian kinerja yang obyektif,
standard rumenerasi bagi pegawai yang berorientasi kepada kinerja dan
sistem informasi kepegawaian yang akurat dan bersifat nasional. Dalam
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas 171
rangka menciptakan pengelolaan sumber daya manusia aparatur daerah
yang berorientasi pada kinerja pelayanan, diperlukan pula adanya sistem
terbuka kepegawaian antar provinsi sehingga kelebihan pegawai di satu
provinsi dapat dimanfaatkan oleh provinsi yang lain. Hal ini merupakan
agenda penting mengingat penyebaran penduduk dan pembangunan sendiri
saat ini belum merata. Sekitar 70 % penduduk Indonesia masih tinggal di
Jawa sehingga ketimpangan sumber daya manusia menjadi sangat signifikan.
DAFTAR PUSTAKA Amstrong, M. Joko. 2001. Dampak Penataan Organisasi Pemerintah Daerah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan BKN. Jakarta Amstrong, Michael. 2003. The Art of HRD, Managing People, A Practical Guide
for Line Managers. PT. Gramedia. Jakarta BPS Provinsi DIY. 2006. Yogjakarta Dalam Angka 2006. BPS. Yogjakarta BPS Provinsi Banten. 2006. Banten Dalam Angka 2006. BPS. Banten BPS Provinsi Bangka Belitung. 2006. Bangka Belitung Dalam Angka 2006. BPS.
Bangka Belitung BPS Provinsi Kepulauan Riau. 2006. Kepulauan Riau Dalam Angka 2006. BPS.
Kepulauan Riau BPS Provinsi Sumatera Utara. 2006. Sumatera Utara Dalam Angka 2006. BPS.
Sumatera Utara Breyfogle III, Forrest W. 2003. Implementing Six Sigma: Smarter Solutions Using
Statistical Methods 2nd
ed. John Wiley & Sons. Federico, Mary, and Renee Beaty. Rath & Strong’s Six Sigma Team Pocket Guide.
McGraw-Hill, 2004. George, Michael L., Rowlands, David, Price, Mark and John Maxey. The Lean Six
Sigma Pocket Tool Book. McGraw-Hill 2005. Gitlow, PhD., Howard S., and David M. Levine, Ph.D. Six Sigma for Green Belts
and Champions. Prentice Hall, 2005. Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja Dengan Balanced Scorecard,
Manajemen, No 145, September, Halaman 36-40. Green, William H. Econometric Analysis. 2nd ed. (New York: Macmilan Publishing
Co, 1993. Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik
Terhadap Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.
Irawan, Prasetya. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. STIA-LAN Press. Jakarta
______________. 2000. Pengembangan Sumber Daya Manusia. STIA-LAN Press. Jakrata
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action, Boston: Havard Business School Press.
Mangkuprawira, Safri. 2004. Manajemen Sumber Daya Strategik. Ghalia Indonesia. Jakarta
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.
Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.
-------------------, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian Akhir Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 03, Tahun XXVIII, Maret,
Mardalis, 1989. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Bumi Aksara, Jakarta
Pande, Peter S., Neuman Robert P, dan Roland R. Cavanagh. The Six Sigma Way: Team Fieldbook, An Implementation Guide for Process Improvement Teams. McGraw-Hill, 2002.
Pusat Kajian Kinerja Sumber Daya Aparatur. 2006. Kajian Jumlah Pegawai Daerah dan Beban Pembiayaannya Dalam APBD. PKKSDA-LAN. Jakarta.
______________. 2006. Pengembangan Pegawai Berbasis Kompetensi Bagi Sumber Daya Manusia Aparatur Pusat. PKKSDA-LAN. Jakarta.
23 Badan Litbang 53 50 3 24 BangkesbangLinmas 98 93 5 25 Badan Ketahanan Pangan 80 76 4
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
26 Badan Perpustakaan & Arsip Daerah 123 117 6
27 Kantor PDE 34 36 2
28 Kantor Penghubung Daerah 34 32 2
29 Kantor Satpol PP 29 38 9
30 Komisi Penyiaran Indonesia 25 20 5
31 Dinas Tenaga kerja & Trans 411 398 13
32 Dinas Penataan ruang & Mukim 384 379 5
33 Dinas Kesehatan 1146 1129 17 34 Dinas Sosial 679 660 19
35 Dinas Kebudayaan & Pariwisata 251 249 2
36 Dinas Kehutanan 647 629 18
37 Dinas Pertambangan & Energi 150 139 11
38 Dinas Perhubungan 936 928 8
39 Dinas Perindustrian & Dagang 394 389 5
40 Dinas Koperasi & UKM 108 103 5 41 Dinas Jalan & Jembatan 560 547 13 42 Dinas Pengairan 809 796 13 43 Dinas Pendapatan 443 439 4 44 Dinas Pertanian 602 596 6 45 Dinas Pemuda & Olahraga 77 70 7 46 Dinas Perkebunan 155 150 5 47 Dinas Peternakan 102 99 3 48 Dinas Perikanan 149 147 2
Jumlah 8981 8834 186 39 Total Kelebihan 147
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 2: Kuesioner Form A
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
INFORMASI UMUM BEBAN KERJA PROVINSI
PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya
Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenar-benarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM A - BAPPEDA
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
INFORMASI UMUM PROPINSI :
INSTANSI:
PERTANYAAN
No Aspek Secara
Umum Indikator Jumlah
1 Jumlah Penduduk Jumlah total penduduk Propinsi
2 Luas Wilayah Total luas wilayah Propinsi
3 Rentang Kendali Total jumlah Kabupaten/Kota dalam Propinsi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
4 Kemampuan Ekonomi
Penerimaan daerah sendiri (PAD)
5 Dana Alokasi Khusus (DAK)
Jumlah rata-rata DAK yang diterima selama 3 tahun berturut-turut
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 3: Kuesioner Form B
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
INFORMASI TUGAS DAN BEBAN KERJA
PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya
Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenar-benarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM B – SELURUH INSTANSI
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
INFORMASI UMUM PROPINSI :
INSTANSI:
DATA RESPONDEN Nama
Usia tahun
Jenis Kelamin L/P
Pendidikan Terakhir
No.Telp/Hp
Oganisasi SKPD
Unit (Setara Eselon III)
Jabatan
DATA INSTANSI Isilah jumlah pegawai yang mendukung semua pelaksanaan jenis pekerjaan dinas/kantor/unit dengan baik. Jumlah pegawai ini terdiri dari jumlah PNS dan Honorer Daerah.
Jumlah PNS orang
Jumlah Honda orang
PENJELASAN Kolom 1 Jenis Pekerjaan terdiri dari : Teknis Administrasi : Pekerjaan Teknis Administrasi merupakan pekerjaan
yang mendukung seluruh pelaksanaan kegiatan di dinas/unit/kantor sehingga dapat terselenggaraanya semua kegiatan. (sifatnya internal) Contoh : mengarsip surat, menyediakan ruang rapat, menyediakan peralatan kantor, menerima tamu, menjawab telepon, mengantar pimpinan, membersihkan ruangan kantor dll. Teknis Pelayanan : Pekerjaan Teknis Pelayanan merupakan pekerjaan yang sifatnya melayani secara langsung masyarakat pelanggan atau Stake holder terkait dengan pelaksanaan TUPOKSI dinas/unit/kantor. (sifatnya external)
Contoh :membuat KTP, sosialisasi kegiatan ke instansi lain, memberikan penyuluhan ke masyarakat, menyediakan sarana dan prasarana bagi kepentingan umum, dll.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Penyusunan Kebijakan : Pekerjaan penyusunan kebijakan merupakan kegiatan yang terkait dengan pengaturan bidang bidang yang menjadi kewenangan organisasi.
Contoh : penyusunan bahan perda, penyusunan bahan masukan perencanaan pembangunan daerah, pelaksanaan kajian dsb.
Tugas lainnya, kegiatan kegiatan tambahan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi organisasi. Contoh : menghadiri rapat koordinasi, diklat, seminar dan sebagainya.
Kolom 2 : Prakiraan Prosentase pelaksanaan jenis pekerjaan/hari merupakan
prakiraan penghitungan pelaksanaan jenis pekerjaan yang dilaksanakan di unit/dinas/kantor dalam satu hari. Penghitungan ini harus memperhatikan 3 jenis pekerjaan yang dilaksanakan di dinas/unit/kantor. Total secara keseluruhan prosentase pelaksanaan jenis pekerjaan ini adalah : 100%
Contoh : pelaksanan pekerjaan untuk teknis administrasi adalah : 20%, Teknis Pelayanan : 50%, serta Penyusunan kebijakan: 30%, maka totalnya adalah: 100%
Ini berarti bahwa rata-rata pekerjaan yang dilakukan di dinas/unit/kantor selama satu hari untuk teknis administrasi : 20%, teknis Pelayanan 50% serta Penyusunan Kebijakan: 30%. (penentuan ini merupakan prakiraan rata-rata dalam melaksanakan pekerjaan selama satu hari di dinas/unit/kantor ini).
Kolom 3 : Prakiraan rata-rata jumlah pegawai dalam melaksanakan pekerjaan
adalah jumlah pegawai (PNS dan Honorer) yang melaksanakan jenis pekerjaan di dinas/kantor/unit selama satu hari. Dalam melakukan penghitungan harap diperhatikan bahwa pegawai di Dinas/Unit/Kantor ini dapat melakukan pelaksanaan pekerjaan lebih dari satu jenis pekerjaan.
Contoh : Misal Jumlah pegawai di dinas/unit/instansi : 3 orang maka ketiga orang ini dapat melaksanakan pekerjaan ke tiga jenis pekerjaan yaitu : Teknis Administrasi, Teknis Pelayanan serta Penyusunan Kebijakan. Sehingga akan ditulis : 3 pegawai di Teknis Administrasi; 3 pegawai di Teknis Pelayanan serta 3 pegawai di Penyusunan Kebijakan. Penghitungan ini dapat dibenarkan.
Kolom 4 : Prakiraan rata-rata waktu dalam melaksanakan jenis pekerjaan
merupakan penghitungan rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh seorang pegawai dalam melaksanakan jenis pekerjaan selama satu hari. Harap diperhatikan sesuai dengan peraturan maka maksimal waktu seorang pegawai dalam melaksanakan jenis pekerjaan dalam satu hari adalah: 7,5 jam, sehingga dalam menghitung prakiraan rata-rata satu orang pegawai tidak melebihi jumlah maksimal yang telah ditetapkan yaitu 7,5 jam/pegawai.
PERTANYAAN
Prakiraan Rata-Rata Jumlah Pegawai Serta Waktu dalam
melaksanakan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Prakiraan Prosentase
Pelaksanaan Jenis
Pekerjaan/Hari Pegawai Waktu (jam)
1 2 3 4
1
Teknis
Administrasi
2
Teknis
Pelayanan
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Prakiraan Rata-Rata Jumlah Pegawai Serta Waktu dalam
melaksanakan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Prakiraan Prosentase
Pelaksanaan Jenis
Pekerjaan/Hari Pegawai Waktu (jam)
1 2 3 4
3
Penyusunan Kebijakan
4
Tugas Lainnya
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 4: Kuesioner Form C
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
PENENTUAN STANDAR KOMPETENSI
JABATAN STRUKTURAL PENGANTAR Kuisioner ini ini dimaksud untuk menjawab tujuan dari kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Pemerintah Daerah Propinsi. Kajian tersebut bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan pendukung yang diperlukan terhadap pengelolaan aparatur pemerintah daerah propinsi, akibat adanya perubahan UU 22 tahun 1999 menjadi UU 32 tahun 2004, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah serta sekaligus sebagai "koordinator dan facilitator" kabupaten/kota yang ada di wilayahnya
Melalui kajian ini diharapkan adanya masukan mengenai pelaksanaan program pengembangan otonomi daerah pada masa mendatang. Khususnya untuk mengidentifikasi beban kerja Pemerintah Propinsi, jumlah optimal pegawai serta kompetensi yang dibutuhkan. Di samping itu juga untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi Pemerintah Propinsi dalam pengelolaan kepegawaian terkait dengan adanya perubahan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Oleh karena itu, mohon kiranya Bapak/Ibu berkenan mengisi kuisioner dengan sebenar-benarnya. Atas perhatian dan partisipasi Bapak/Ibu, kami ucapkan terima kasih. Tim Kajian Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Propinsi Bappenas 2007
DATA RESPONDEN I. UMUM PROPINSI : INSTANSI* : BAPPEDA/BAGIAN ADM KEPEGAWAIAN/DINAS PU/
DINAS PENDIDIKAN
UNIT :
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM C – BAPPEDA BAG.KEPEGAWAIAN DINAS PENDIDIKAN
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
*Coret yang tidak dipilih
II. PERSONAL Nama
Usia tahun
Jenis Kelamin L/P
Pendidikan Terakhir
No.Telp/Hp
Eselon** II/ III/ IV
Jabatan
**Beri tanda pada kotak jawaban yang dipilih
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Keterangan
Kompetensi jabatan adalah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh seseorang dalam rangka menjalankan tugas tugas sesuai terkait dengan tanggung jawab jabatannya.Kompetensi jabatan dalam hal ini dibedakan menjadi lima bidang yaitu kemampuan etik atau integritas, kepimpinan, manajerial, team work, social, dan professional atau teknik.
Petunjuk Pengisian :
Responden diharuskan memilih salah satu angka 1(satu) sampai 5 (lima) dengan cara memberi tanda silang (X) sesuai dengan pilihannya pada setiap pernyataan di tabel standar kompetensi jabatan. Arti dari masing-masing angka tersebut bagi persyaratan jabatan adalah sebagai berikut : Angka 1(satu) berarti kompetensi tersebut sangat tidak dibutuhkan; Angka 2(dua) berarti kompetensi tersebut tidak dibutuhkan; Angka 3(tiga) berarti kompetensi tersebut cukup dibutuhkan; Angka 4(empat) berarti kompetensi tersebut dibutuhkan; Angka 5(lima) berarti kompetensi tersebut sangat dibutuhkan. Tabel Standar Kompetensi Jabatan adalah sebagai berikut :
Tabel Standar Kompetensi Jabatan
Pilih jawaban yang sesuai *)
NO
PERNYATAAN
1 2 3 4 5 A. INTEGRITAS
Deskripsi : Bertindak konsisten sesuai dengan nilai nilai dan kebijakan Organisasi serta kode etik profesi dengan mempertahankan norma norma social dan organisasi walaupun dalam keadaan yang sulit untuk melakukannya sehingga terdapat satu kesatuan antara kata dan perbuatan. Dalam setiap keadaan dapat mengkomunikasikan maksud, ide serta perasaan secara terbuka, jujur dan langsung.
1 Memahami dan mengenali perilaku sesuai dengan kode etik, yaitu dengan mengikuti norma sosial, etika dan organisasi, serta yakin bahwa yang dilakukan tidak melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan.
2 Melakukan tindakan yang konsisten dengan nilai dan keyakinannya, serta jujur dalam berhubungan dengan orang lain.
3 Bertindak berdasarkan nilai walaupun sulit untuk melakukannya
Pilih jawaban yang sesuai *)
NO
PERNYATAAN
1 2 3 4 5
B. KEPEMIMPINAN
Deskripsi :
Kemampuan untuk memimpin orang lain melalui tindakan mempengaruhi/meyakinkan orang lain, memberikan arah
KUESIONER PENENTUAN STANDAR KOMPETENSI JABATAN
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
petunjuk, mendorong motivasi/komitmen orang lain untuk melakukan rencana kerja dalam organisasi
1 Menyakinkan orang lain secara langsung dalam diskusi atau presentasi mengenai rencana kerja unit organisasi.
2 Memberikan arahan yang jelas mengenai tugas yang diharapkan
3 Membangun motivasi orang lain untuk dalam mencapai tujuan organisasi.
C. KEMAMPUAN MANAJERIAL
Deskripsi :
Kemampuan untuk merencanakan dan mengatur pelaksanaan pekerjaan di unit kerjanya
1 Membuat prioritas, untuk mengenali kegiatan dan penugasan yang lebih penting dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada dan jadwal waktu kegiatan.
2 Menentukan penugasan dan sumber dayanya, yaitu dengan menguraikan ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, serta melakukan koordinasi dengan mitra kerja internal dan eksternal.
3 Tetap terfokus, menggunakan waktu secara efektif dan mencegah gangguan yang menyimpang agar tidak menggannggu penyelesaian pekerjaan.
D. KEMAMPUAN TEAM WORK
Deskripsi :
Kemampuan membangun kerjasama dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok dalam melaksanakan tugas
1 Berpartisipasi dalam kelompok, mendukung keputusan tim dan menyelesaikan tugasnya dalam tim serta membagi informasi yang berguna dan relevan bagi anggota tim.
2 Meminta dan menghargai pendapat orang lain dalam rangka menentukan keputusan.
3 Membangun semangat dan kelangsungan hidup tim
Pilih jawaban yang sesuai *)
NO
PERNYATAAN
1 2 3 4 5
E. KEMAMPUAN SOSIAL
Deskripsi :
Kemampuan untuk membangun hubungan kerja yang harmonis dan menyesuaikan diri dengan situasi kerja yang beragam dan berubah ubah (dinamis)
1 Mendengarkan dan menghargai pendapat orang untuk
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
kelancaran tugas.
2 Kemampuan menyampaikan ide, gagasan secara jelas baik secara tertulis maupun lisan kepada orang lain.
3 Keluwesan bertindak dan mampu menanggapi perubahan baik di dalam maupun di luar organisasi.
F KEMAMPUAN TEKNIK
Deskripsi :
TIngkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan tugas
1 Ketertarikan terhadap bidang keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan
2 Menguasai keterampilan dan pengetahuan teknik/professional
3 Menjelaskan dan menerapkan pengetahuan yang dimiliki
b............................................. Catatan : Data ini kami harapkan bisa segera diisi dan disampaikan atau diserahkan pada saat FGD.
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 5: Kuesioner Form D
KUESIONER PERUBAHAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI
DAN OTONOMI DAERAH PADA PENGELOLAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PROPINSI
PEDOMAN WAWANCARA MANAJEMEN KEPEGAWAIAN
PENJELASAN Pedoman Wawancara Mendalam ini adalah merupakan alat pengumpul data yang digunakan pada saat melakukan wawancara mendalam dengan narasumber/key-informan di daerah wilayah yang telah ditetapkan. Pedoman Wawancara Mendalam bersifat prinsipil, yang penerapannya di lapangan dapat disesuaikan oleh Pewawancara/Pengumpul Data berdasarkan Teknik Wawancara Mendalam yang digunakan menurut situasi kondisi di lapangan. Hal penting perlu dikuasai oleh Pewawancara/Pengumpul Data adalah: 1. Sebelum Pelaksanaan Wawancara Mendalam
Persiapkan dan kuasai substansi pedoman Wawancara Mendalam, terutama variabel, dan indikatornya
Kuasai situasi kondisi lokasi maupun peluang hubungan komunikasi dengan interviewee (responden) untuk menentukan teknik wawancara yang paling tepat/efektif
Buat kesepakatan jadwal dan tempat wawancara dengan para responden. Perhitungkan bahwa waktu yang dibutuhkan cukup.
Persiapkan alat tulis, alat rekam yang memadai (disediakan oleh masing-masing Pewawancara)
2. Saat Pelaksanaan Wawancara Jelaskan maksud, tujuan, dan sasaran wawancara. Jelaskan scenario dan teknik wawancara yang akan dilakukan. Pastikan alat penunjang kerja, baik alat tulis maupun perekam tersedia dan
bekerja dengan baik Ciptakan kondisi bahwa pewawancara berbicara lebih sedikit (tidak
mendominasi) pembicaraan dibandingkan dengan para responden Penggunaan pertanyaan-pertanyaan eksploratif dan penelusuran sangat
disarankan bilamana saja diperlukan dan memungkinkan. 3. Setelah Pelaksanaan Wawancara
Periksa hasil pencatatan atau rekaman audio telah tercatat/terekam dengan sempurna
Buat transkrip data dari hasil pengumpulan data Buat eksekutif summary (catatan lapangan) hasil pengumpulan data.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
FORM D - PENELITI
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
DATA INFORMAN Nama
Usia tahun
Jenis Kelamin L/P Pendidikan Terakhir No.Telp/Hp Propinsi Instansi Oganisasi SKPD Unit (Setara Eselon III) Jabatan
DATA WAWANCARA Hari/Tanggal wawancara Lokasi wawancara Nama Pewancara PERTANYAAN No Pertanyaan I Umum 1 Menurut anda, permasalahan apa yang terjadi dalam pengelolaan PNS sejak diberlakukannya
desentralisasi dan otonomi daerah? 2 Bagaimakah implementasi pembagian urusan dalam bidang kepegawaian yang ada saat ini? 3 Permasalahan apa saja yang dihadapi dalam implementasi tersebut? II Formasi Pegawai 1 Apakah penetapan formasi pegawai saat ini telah mencerminkan beban kerja propinsi dan
kebutuhan nyata pegawai baik secara kualitas dan kuantitas yang sesungguhnya? 2 Mengapa demikian? 3 Menurut Bapak/ibu bagaimanakah penetapan formasi yang ideal sesuai dengan kebutuhan
nyata propinsi? • Kebijakan (perbaikan kebijakan apa yang diperlukan) • Prosedur (cara penghitungan yang seharusnya) • Mekanisme Kelembagaan (siapa bertanggung jawab, apa tugas dan kewenangannya)
4 Apakah tugas Propinsi dalam bidang koordinasi penetapan formasi di kabupaten/kota? REKRUTMEN 1 Bagaimanakah kebijakan rekrutmen pegawai propinsi sesuai dengan UU no 32 tahun 2004? 2 Masalah masalah apa sajakah yang dihadapi dalam kebijakan rekrutmen pegawai propinsi saat
ini? (misalnya masalah Politik, KKN, transparansi dsb) 3 Apa saja yang diperlukan bagi perbaikan kebijakan rekrutmen saat ini?
Kebijakan (perbaikan kebijakan apa yang diperlukan)
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
No Pertanyaan Prosedur (cara penghitungan yang seharusnya) Mekanisme Kelembagaan (siapa bertanggung jawab, apa tugas dan kewenangannya)
PENGANGKATAN, PEMINDAHAN DAN PEMBERHENTIAN 1 Apakah yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dalam menjamin sistem karir yang
berdasarkan sistem meritokrasi? 2 Apakah pemerintah propinsi sudah memiliki pola dasar karir? 3 Sejauh mana peran Kepala Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian dalam kebijakan
manajemen kepegawaian? • Apa orientasi kebijakan kepala daerah • Adakah bias politik
4 Permasalahan apa yang dihadapi dalam kebijakan pengangkatan pegawai saat ini? 5 Apakah penempatan pegawai selama ini dilakukan menurut kompetensi pegawai yang
bersangkutan? Mengapa demikian?
6 Bagaimanakah kebijakan promosi pegawai saat ini?
7 Apakah masalah yang dihadapi dalam kebijakan promosi? 8 Apa prinsip prinsip yang digunakan dalam kebijakan mutasi pegawai? 9 Dalam hal mutasi PNS antar Daerah Kabupaten/Kota dalam Provinsi, permasalahan apa yang
sering terjadi? 10 Dalam hal pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II
pada pemerintah daerah provinsi, permasalahan apa yang terjadi? 11 Terkait dengan pertanyaan di atas, bagaimanakah mekanisme koordinasi antara Pusat dan
Daerah Provinsi, serta apakah permasalahannya? REMUNERASI 1 Bagaimana sistem instentif/tunjangan yang ada dalam rangka mendorong prestasi atau kinerja
pegawai? Adakah kebijakan khusus yang diterapkan dalam propinsi ini?
2 Dalam hal gaji dan tunjangan yang dialokasikan dalam Dana Alokasi Umum, apakah telah sesuai dengan kebutuhan dan jumlah PNS Daerah Provinsi?
PENEGAKAN DISIPLIN DAN ETIKA PEGAWAI 1 Apa yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dalam menegakkan etika dan kedisiplinan dan
etika pegawai? 2 Seberapa efektifkah mekanisme tersebut? 3 Kebijakan apa yang dipersiapkan guna meningkatkan efektifitas penegakkan etika dan
kedisiplinan pegawai? STANDARD KOMPETENSI DAN PENILAIAN KINERJA 1 Apakah pemerintah propinsi telah menetapkan standard kompetensi jabatan? 2 Bagaimana sistem penilaian prestasi kerja / kinerja saat ini? 3 Apa masalah yang dihadapi dan langkah penyempurnaan apa yang akan dilakukan?
LAPORAN AKHIR KAJIAN Perubahan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Pada Pengelolaan Aparatur Pemerintah Daerah Provinsi
Direktorat Otonomi Daerah Bappenas
Lampiran 6: Hasil Estimasi Model OLS dengan Eviews 5.0
Dependent Variable: JP
Method: Least Squares
Date: 12/11/07 Time: 15:15
Sample: 1 33
Included observations: 33
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
POP 0.514952 0.167207 3.079735 0.0045
LUAS -0.123528 0.070497 -1.752249 0.0903
PAD 0.164481 0.142880 1.151185 0.2591
C 0.012017 0.755519 0.015906 0.9874
R-squared 0.649454 Mean dependent var 3.728345
Adjusted R-squared 0.613190 S.D. dependent var 0.426396
S.E. of regression 0.265193 Akaike info criterion 0.296496
Sum squared resid 2.039495 Schwarz criterion 0.477891
Log likelihood -0.892182 F-statistic 17.90933
Durbin-Watson stat 2.204334 Prob(F-statistic) 0.000001
Dependent Variable: JP Method: Least Squares Date: 12/11/07 Time: 16:00 Sample (adjusted): 1 32 Included observations: 30 after adjustments