Page 1
Pengantar Penulis
Saya bukan sepenuhnya seorang arsitek, mungkin hanya seperempat atau bahkan
seperlima arsitek. Kalaulah masih mau menyebut dengan kata itu, sebut saja dengan
arsiteks (dengan tambahan “s”), karena saya adalah arsitek yang lebih berkutat dengan
teks (rangkaian tulisan). Saya tidak berarsitektur dengan garis, bidang, ruang, batang,
lempeng atau pukal, juga tidak untuk diwujudkan dengan material semen, batu, baja,
kaca, besi tulangan dan lain-lain untuk menjadi karya arsitektur. Saya hanya berarsitektur
dengan kata-kata, yang bagi saya lebih mirip batu bata yang harus saya susun satu demi
satu agar menjadi sebuah bangun tulisan yang utuh dan runtut. Dari situ terciptalah
kolom, esai, feature, apresiasi maupun kritik arsitektur yang kadang-kadang (bahkan
sering) bersinggungan dengan sastra dan filsafat, dua bidang yang sedikit-banyak turut
mempengaruhi tulisan-tulisan saya.
Bahkan teman saya yang seorang seniman nomaden bernama Amrizal (sekarang
tinggal di Jogja), menyebut saya sebagai Malin Kundang karena sebagai lulusan dari
jurusan arsitektur tetapi tidak berprofesi sebagai arsitek, justru lebih mendalami teks
arsitektur. Bagi saya, itu sebuah julukan yang terhormat karena jalan Malin Kundang
adalah jalan “durhaka” yang demikian menantang. Mungkin saya memang telah
“durhaka” pada ibu arsitektur saya, dan justru dari situ saya ingin memaklumkan
“kedurhakaan” itu: bahwa saya tak akan pernah berhenti mengangkat pena untuk saya
bidikkan pada arsitektur. Arsitektur bukan hanya tumpukan bata-bata yang bisu belaka,
tetapi juga selalu butuh kata-kata untuk dikomunikasikan, bukan? Tapi saya juga tahu,
menggunakan (hanya) kata-kata untuk mendeskripsikan arsitektur seperti menggunakan
silet untuk memotong kayu gelondongan, maka dari itulah saya mesti koprol dengan
kata-kata, mencari alternatif-alternatif pemikiran yang lain agar bisa menjelma silet
raksasa untuk mengimbangi besarnya kayu gelondongan tadi.
Apa yang tersaji dalam buku ini adalah kumpulan tulisan-tulisan yang saya buat
untuk artikel di koran/majalah, untuk penulisan divisi think tank di kantor dpavilion
architects maupun untuk diskusi dan seminar dalam kurun waktu sekitar tiga tahun
terakhir. Sebelumnya, naskah-naskah ini tercerai-berai di mana-mana dan hampir tak
pernah terpikir oleh saya untuk mengumpulkannya menjadi sebuah buku. Hingga
akhirnya datang tawaran dari pengurus Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Timur
yang pernah membaca tulisan-tulisan saya di Surabaya Post, lalu tertarik dan menawari
untuk diterbitkan. Pucuk dicinta ulam tiba, saya merasa mongkog (baca: bangga) tulisan-
tulisan saya diterbitkan oleh rekan-rekan dari bidang seni, sebuah lompatan besar bagi
jalan kepenulisan saya.
Pada awalnya agak canggung juga, mengingat yang diurus oleh Dewan Kesenian
lazimnya adalah pure art atau seni murni, bukan practical art atau seni terapan seperti
arsitektur. Tetapi dalam paradigma yang lebih luas, tentunya arsitektur masih gayut juga
untuk disebut sebagai seni, yakni seni bangunan. Dengan penerbitan buku ini, saya
berharap akan ada dialog yang lebih intens antara yang pure dan yang practical, tidak
Page 2
lagi tersekat-sekat dalam kandang sempitnya masing-masing untuk mendapatkan
cakrawala pandang yang lebih luas.
Tulisan-tulisan dalam buku ini terdiri dari tiga bagian yang bertutur tentang
Surabaya, dpavilion architects dan juga tentang Jawa Timur. Masing-masing tulisan
dalam buku ini juga bisa dibaca secara sendiri-sendiri secara otonom tanpa
mengaitkannya dengan tulisan yang lain. Pembagian ini lebih mengacu pada kesamaan
tema di antara tulisan-tulisan yang saya kumpulkan. Bagian pertama menitikberatkan
pada konteks kota Surabaya dan “sedikit” permasalahannya, karena memang cuma ingin
“menyentil” dan bukan hendak “mengupas tuntas” semua hal. Bagian kedua adalah
tentang kiprah dpavilion architects, yang karya-karyanya telah dan masih terus
mengubah wajah obyek wisata Jawa Timur di dasawarsa pertama abad ke 21. Sedangkan
bagian ketiga mengulas tentang beberapa karya arsitektur dan peninggalan arsitektur di
beberapa kota di Jawa Timur, mulai dari masa Majapahit, masa kolonial Belanda hingga
ke masa kini.
Tak lupa saya ucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada beberapa
pihak yang telah membantu proses terbitnya buku ini, mas Nonot Sukrasmana dari dari
Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) yang memberi kesempatan
kepada saya untuk membukukan tulisan-tulisan ini, juga mas R.Giryadi dari Komite
Teater DKJT yang telah banyak membantu dan memberi saran demi lebih baiknya
tampilan tulisan dalam buku ini.
Kepada guru saya Profesor Josef Prijotomo yang telah memberi kata pengantar
(prolog) pada buku ini, saya haturkan terimakasih yang seagung-agungnya. Juga kepada
Edwin Nafarin, rekan sekaligus bos saya di dpavilion architects, yang selalu memberi
dorongan untuk menulis serta memberikan izin sehingga karya-karya dpavilion architects
bisa tersaji dalam buku ini, terimakasih juga atas foto-fotonya. Juga teman-teman di
dpavilion architects: Heksa, Anne, Nikko, Margie, Ciput, Carol, Dimas, Arifin, Ira,
Rahmad, Santo, Agus, Herry, Zaza, Fendy dan Michelle yang menjadi teman sehari-hari
yang menyenangkan.
Terimakasih pula kepada rekan MADcahyo yang darinya saya mendapatkan foto-
foto yang saya perlukan, juga kepada dua fotografer profesional yang karyanya saya
pakai sebagai ilustrasi: Mohammad Iqbal dan Ganny Gozaly. Tak lupa kepada 3 teman
saya yang meskipun jarang sekali bertemu tetapi masih selalu mendedahkan semangat di
batin saya: Peter Angelo Megantara, Mohammad Nanda Widyarta dan Pudji Pratitis
Wismantara. Peter yang dulu di awal tahun 2000-an bersama-sama penulis aktif di
komunitas ISU (Institut Studi Universal) yang terus “memprovokasi” untuk menulis
(Piet, suaramu masih terngiang). Nanda yang darinya (dan dari tulisan-tulisannya) saya
belajar untuk mencari esensi, keruntutan nalar serta kritik dan sejarah arsitektur. Juga
Pudji yang rajin membuat kajian-kajian dari sudut pandang “yang lain” (seperti
feminisme) yang membuat saya ingin juga mengkaji aspek “yang lain” dari arsitektur.
Buku ini saya persembahkan utamanya kepada Bapak H. Maksum dan Ibu Hj. Siti
Luluk Asma’, Papa Haryono (alm.) dan Mama Sulistyowati. Juga untuk istri tercinta Leli
Eko Hayuningwati dan adik-adik saya (Sigit & Yunes plus Angger, Iwan, Adi & Ratri,
Amir) dan seluruh keluarga besar di manapun berada.
Page 3
Semoga buku ini memberi manfaat kepada pembaca sekalian. Saya selalu terbuka
terhadap semua saran, kritik dan komentar dari pembaca sekalian, agar buku ini bisa
lebih baik dan lebih “koprol” lagi di masa mendatang.
Surabaya, Mei 2010
Page 4
Prolog
Oleh Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M.Arch.
Demi keteraturan, ketertiban dan demi obyektifitas ditetapkanlah aturan, rumusan
dan pedoman. Agar dapat dijamin kemantapan dari yang teratur, tertib dan obyektif itu,
bisa saja dibuat sederetan bakuan tatalaksana (standard operational procedures) serta
rincian-rincian yang demikian njlimet. Disadari atau tidak, tatalaku dan perilaku serta
tingkahlaku seperti itu lalu mengkristal menjadi tatapikir (mindset atau mental map)
seseorang maupun kelompok. Ilmu lalu diperlawankan dengan seni, ilmiah lalu
diperlawankan dengan ngelmu, prosedur lalu diperlawankan dengan ritual dan
sebagainya dan seterusnya.
Pada ujung-ujungnya, dunia kita ini lalu bagaikan demikian banyak peti yang
saling berbeda isinya. Peti yang satu bisa saja merupakan peti yang bolong-bolong
sehingga bisa saling terobos dengan sesama peti yang bolong-bolong; lalu ada peti yang
menganga pada salah satu bidangnya, sehingga bila dipertemukan dengan peti yang lain
akan memberi kesempatan bagi isi dari kedua peti itu untuk saling melebur menyatu;
namun, ada pula peti yang demikian rapat sehingga samasekali tidak memiliki
kesempatan dan kemungkinan kontak dengan peti yang lain.
Dengan kenyataan akan jutaan peti yang memenuhi dunia inilah, Anas Hidayat
menyelenggarakan perhelatan. Perhelatan yang sekaligus adalah wayang tapi juga bukan
wayang, ketoprak tapi juga bukan ketoprak, ludruk tapi juga bukan ludruk, dagelan tapi
juga bukan dagelan. Adapun muatan serta pelantunan dari perhelatan itu sekaligus
populer dan ilmiah, yang sekaligus puitik dan dogmatik, yang sekaligus rasional dan
klenik. Ciri-ciri perhelatan ini membuat kita berdecak kagum akan keberanian Anas
Hidayat dalam mengobrak-abrik peti tanpa menghancurkannya; atas kenekadan
mencampur yang hitam dengan yang putih menjadi hitam dan juga putih, bukan abu-abu
atau ambigu. Anas Hidayat telah mengubah peti-peti yang tertutup rapat menjadi gubahan
rusuk-rusuk peti yang berdinding kawat ayam. Yang rumit dan sulit lalu menjadi
gampang dicerna dan dipahami, sedang yang encer dan remeh lalu menjadi pekat dan
serius. Fatwa sang filsuf diramunya sehingga tersaji sebagai obrolan tukang becak; dan
sebaliknya, ngrumpinya satpam di gardu dikemasnya menjadi teori dan rumusan yang
filsafati.
Akhirnya, haruslah kita akui bahwa melalui tulisan ini Anas Hidayat mengajak
kita untuk mengganti tatapikir kita yang bagaikan peti yang tertutup rapat itu menjadi
sangkar burung yang semua sisinya memberi kesempatan untuk saling mengetahui dan
saling berbincang. Slogan masakini mengatakannya transparan, tepatnya tatapikir yang
transparan.
Di sinilah niatan baik dari Anas Hidayat itu bisa saja lalu menempatkan dirinya
sebagai lawan bagi siapa saja. Tetapi tidak perlu kita kuatir, karena kalau kepadanya
disampaikan konsekuensi itu, pastilah akan dia tanggapi dengan mengatakan: "ya tidak
apa-apa"; sebuah jawaban yang sangat pendek dan santai, namun sekaligus dalam dan
mantap.
Page 5
Daftar Isi
Halaman Judul………………………………………………………………..
Pengantar Penulis……………………………………………………………..
Prolog…………………………………………………………………………
Daftar Isi………………………………………………………………………
Bagian Satu; Sentil Surabaya
01. Genesis Kampung dan Genesis Kota Surabaya……………………………
02. Paradoks dan Juling Surabaya……………………………………………..
03. Arsitektur yang Bukan Arsitektur………………………………………….
04. Perkembangan Surabaya, antara Uang dan Ruang Kota…………………..
05. Surabaya, antara Idrus, Pram, Rendra dan Akhudiat………………………
06. Surabaya Tempo Doeloe, Lalu Apa?………………………………………
07. SDW 2008, Embrio Surabaya Kreatif…………………………………….
Bagian Dua; Gelitik Jawa Timur
08. Mengkinikan Nusantara……………………………………………………..
09. Majapahit dan Layer Sejarah………………………………………...………
10. Ketika Candi Jawa Timur Menjelma Gunungan……………………………
11. Hikayat Gereja Puhsarang, Kediri…………………………………….…….
12. Pondok Pesantren Turen, Malang; Arsitektur sebagai Laku…………………
Tentang Penulis…………………………………………………………………..
Indeks…………………………………………………………………………….
Page 6
01
Genesis Kampung dan Genesis Kota
Surabaya
aku mencarimu dalam buku-buku tebal dan berdebu
yang berserakan di lantai
yang kutemukan hanya nama-nama kota tempat kita pernah singgah
untuk kemudian bimbang
ke mana mesti pulang
(Dorothea Rosa Herliany, Nikah Ilalang)
Sebagai sebuah kota yang makin berkembang dari waktu ke waktu, Surabaya
tetap tidak bisa dipisahkan dari awal genesis-nya (kejadiannya) yang berupa kampung.
Bahkan dalam catatan sejarah disebutkan, bahwa Ujung Galuh yang merupakan cikal-
bakal Surabaya adalah perkampungan di atas air di muara Kalimas sejak jaman Kerajaan
Singosari. Kampung menjadi salah satu elemen pembentuk kota yang konsisten. Sejak
Surabaya disebut kota, kampung inilah yang setia menjadi penyangga utamanya, tersebar
dari pusat hingga pinggiran kota. Hingga saat ini, Surabaya masih memiliki identitas
sebagai hybrid (persilangan) antara kampung dan kota. Kampung sebagai genius loci
(kecerdasan local) yang sebetulnya cukup handal, sedangkan kota sebagai akibat
pengaruh global yang makin membesar, bahkan meraksasa. Persilangan antara keduanya
ini mestinya bisa menjadi sebuah perpaduan yang unik, yang khas Surabaya.
Akan tetapi, persilangan yang terjadi seringkali punya kecenderungan sepihak
untuk meminggirkan kampung. Kota yang makin menggurita tanpa ampun menghajar
kampung-kampung yang masih tersisa. Di Jakarta, kampung sudah lama kalah, mungkin
hanya tinggal nama-namanya saja yang bisa dijumpai. Jika kondisi di Surabaya dibiarkan
terus, bukan tidak mungkin kampung akan lenyap satu-persatu dan hanya tinggal sejarah.
Saat ini, kampung sudah menjadi entitas yang harus siap tertolak di dalam kota, seperti
ibu yang dikhianati anaknya sendiri. Kampung sepertinya ingin lebih di-beradab-kan
dengan dirubah menjadi kota, dan warga kampung yang belum beradab ala kota harus
siap-siap untuk minggir atau keluar.
Dalam pembuatan masterplan Surabaya, kampung ibarat mosaik yang bisa
dipindah dan digusur begitu saja. Masyarakat kampung tidak pernah diajak berembug
soal masterplan ini, karena tahu-tahu rencana induk itu sudah jadi dan disahkan, baru
kemudian disosialisasikan, kampung pun terkaget-kaget karena daerahnya harus tergusur
terkena proyek-proyek baru kota seperti ringroad (jalan lingkar), jalan tol, pelebaran
jalan, pembangunan perumahan baru, plasa dan mal, atau dituduh menempati lahan
secara ilegal. Seperti penggusuran kampung Simo Gunung Kramat Barat tahun 1995,
juga penggusuran “kampung liar” di sepanjang bantaran Kali Jagir tahun 2003 yang
memilukan. Meskipun Perda Stren Kali sudah disahkan DPRD Jawa Timur di tahun 2007
ini, ternyata masih juga menyisakan kontroversi. Kebijakan yang top-down (dari atas ke
bawah) seperti inilah yang seringkali sangat merugikan warga kota yang tinggal di
kampung-kampung.
Page 7
01
Posisi kampung sedikit-banyak digeser oleh perumahan-perumahan yang
bertebaran yang dibuat oleh para pengembang (developer). Kadang-kadang tampilan
perumahan hanya mengikuti trend yang berkembang secara global, tanpa ada upaya
untuk me-lokal. Wajah perumahan menjadi aneh untuk konteks Surabaya, karena tiba-
tiba saja ada wajah Mediteran, Spanyol, dan bahkan Yunani-Romawi yang tidak punya
akar sejarah di kota Surabaya. Coba lihat saja perumahan di jalan Kertajaya Indah dari
barat sampai ke ujung timur, atau di sepanjang Panjangjiwo-Tenggilis-Jemursari. Kita
sudah tidak bisa menemukan lagi identitas yang nyuroboyo, wajah kota sudah tenggelam
ditelan langgam arsitektur global yang menderas terus-menerus.
Karakter Kota
Selain wajah kota, karakter kota juga mengalami anomali karakter yang tak kalah
hebatnya. Karakter asli kampung yang egaliter, terbuka, kekeluargaan dan gotong-royong
sebagai masyarakat gemeinschaft (paguyuban) mulai terkikis. Jika anda memasuki
kawasan yang sudah dikuasai pengembang tertentu, anda pasti akan menjumpai portal
penghalang berikut satpam yang akan menginterogasi keperluan anda memasuki kawasan
itu. Juga semakin menjamurnya konsep gated community (komunitas tergerbangi yang
menyendiri) yang membuat perumahan menjadi teralienasi dari komunitas kota Surabaya
yang lain. Benarkah masyarakat Surabaya sudah paranoid (takut tetapi tidak tahu apa
yang ditakutkan), sehingga harus mengurung diri satu sama lain? Karakter asli Surabaya
lambat-laun akan hilang dan warga Surabaya menjadi “sakit jiwa”, karena masyarakat
kotanya sendiri sudah menutup diri dalam “bunker-bunker” tanpa alasan yang jelas.
Selain itu, di Surabaya terdapat juga beberapa bagian kota yang berkarakter
inferior (minder), yang merasa tidak percaya diri jika tidak meniru yang dari luar negeri.
Ada yang membikin patung Thomas Stamford Raffles dan Merlion Singapura persis
seperti yang di Singapura sana. Juga makin banyaknya pusat perbelanjaan “internasional”
dalam bentuk mall dan plaza dengan gaya bangunan yang tidak jauh berbeda dengan
bangunan serupa di kota-kota Eropa-Amerika, sementara pasar-pasar tradisional yang ada
justru terbakar (atau dibakar?) sehingga makin tergencet dan tinggal menunggu ajal satu
demi satu. Kota Surabaya memang sedang mengalami disorientasi, bingung memilih
karakter yang mana yang ingin diungkapkan, lalu melahap mentah-mentah apa yang ada
dari kota-kota yang lebih maju di negara lain. Mengapa tidak dibuat riset yang lebih
serius untuk menggali karakter asli kampung Surabaya?
Karakter Surabaya semestinya bisa menjadi seperti Nyai Ontosoroh dalam novel
Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, yang memang mengambil setting di
Surabaya. Nyai Ontosoroh yang berasal dari kampung dan diperistri oleh seorang
Belanda kaya-raya Meneer Melemma, ternyata mampu menyerap budaya Barat secara
sempurna mulai bahasa sampai ke pola berpikirnya. Tetapi dia tetap sadar akan
keberadaanya sebagai pribumi, yang mengakar dan terjangkar di bumi Surabaya. Dia
berani melawan siapa saja jika merasa prinsipnya benar. Siapa menduga kalau Sanikem
gadis lugu desa yang buta huruf bisa menjadi Nyai Ontosoroh yang cerdas dan
pemberani? Punya karakter yang khas, kombinasi unik antara global dan lokal. Masih
terbuka kemungkinan, bahwa Surabaya bisa tetap mengglobal tanpa kehilangan sisi
kampung-nya.
Page 8
01
Nama-nama Tempat
Nama tempat (toponimi) sangat erat dengan sejarah tempat yang bersangkutan.
Contohnya nama-nama kampung di Surabaya, kampung Ampel yang berkaitan dengan
sejarah sunan Ampel. Nama kampung Wonokromo yang dihubungkan dengan legenda
Pangeran Situbondo yang membabat hutan atau wono Surabaya. Atau alun-alun contong
yang menjadi sisa alun-alun (pelataran besar) dari jaman Kadipaten Surabaya masa lalu.
Nama tempat juga berkaitan dengan “penguasa tempat” itu. Orang Belanda memberi
nama salah satu jalan di pusat kota Surabaya sebagai Palmenlaan (karena banyak pohon
palem), lalu oleh Pemerintah Republik Indonesia diganti menjadi Jalan Panglima
Sudirman. Juga gedung Belanda Simpangsche Societeit yang diubah menjadi Balai
Pemuda hingga sekarang.
Penamaan tempat yang terjadi saat ini sepertinya juga semakin menggusarkan
telinga kita sebagai warga Surabaya. Untuk menamai kawasan, ada beberapa
pengembang yang menggunakan nama city, sedikit sulit dipahami, apakah mau menjadi
kota di dalam kota Surabaya? Juga banyak kawasan perumahan yang memakai nama-
nama: housing, residence atau regency. Mengapa menggunakan nama yang meng-Inggris
seperti itu? Pengembang yang memiliki tanah itu memang bisa memberi nama sesuka
hatinya, tetapi seharusnya juga melihat dan mempertimbangkan nama asli tempat itu di
Surabaya. Sehingga nama tempat tidak rancu dengan branding perusahaan. Era industri
dengan kapitalnya sudah ikut mengembangkan kota, mestinya tidak turut membikin
kacau nama-nama tempat di Surabaya.
Ada juga nama bangunan yang salah tempat (atau salah nama?). Di lahan bekas
Pasar Wonokromo yang dulu terbakar dibangun sebuah bangunan baru dan diberi nama
Darmo Trade Center (DTC), padahal semua orang Surabaya tahu bahwa gedung itu tidak
terletak di kawasan Darmo. Mungkin untuk mengubah image, karena Wonokromo punya
image negatif dan dianggap kampungan, lalu dipakailah nama Darmo yang terdengar
lebih elit dan bergengsi. Jika gejala ini berkembang, betapa semakin rancu dan kacaunya
nama-nama tempat di Surabaya. Mungkin sudah mendesak untuk mengatur penamaan
tempat-tempat di Surabaya yang silang-sengkarut seperti ini.
Epilog
Hibriditas Surabaya adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari, sebagai suatu
pertemuan antara Surabaya dan bukan-Surabaya, sehingga terus-menerus menjadi
“Surabaya baru” yang berubah, yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa. Jika
Surabaya menutup diri dari pengaruh luar, jelas akan tamat riwayatnya dan menjadi kota
yang statis. Tetapi, toh kampung-kampung tidak harus dipaksa menjadi kota, kota juga
tidak harus mencaplok kampung yang ada di dalamnya. Meski pada prakteknya,
benturan-benturan antara kampung dan kota masih terus terjadi dan bisa meletup setiap
saat. Kampung dan kota di metropolis Surabaya, selalu berada dalam hubungan pasang-
surut, seperti sebuah poci dalam sajak Gunawan Mohamad: sesuatu yang kelak retak, dan
kita membikinnya abadi.
Page 9
01
Tulisan ini disajikan dalam diskusi “Surabaya Kampung Besar” di ruang Salle France
Pusat Kebudayaan Perancis (CCCL) Surabaya, 13 Nopember 2007.
Page 10
02
Paradoks dan Juling
Surabaya
- Apakah anda tuli?
+ Benar
Paradoks
Paradoks, sebuah istilah yang bisa kita tarik jauh ke masa Yunani Kuno, ketika
filsuf dari Kreta bernama Epimenides menyatakan: semua orang Kreta adalah
pembohong. Lalu berbondong-bondonglah orang Kreta mengecam sang filsuf yang
dianggap ngawur itu. Dengan tenang Epimenides menjelaskan: jika yang saya katakan itu
benar, maka apa yang saya katakan adalah sekaligus bohong juga, karena saya juga orang
Kreta, bukan? Gerombolan pengecam itu lalu bubar dengan agak bingung: kok bisa ya
benar dan bohong terjadi dalam sekali ucap.
Ribuan tahun kemudian, paradigma yang berdasar pada paradoks bisa menjadi
trend dalam kajian-kajian ilmiah. John Naisbitt di tahun 1994 menulis buku yang
berjudul Global Paradox, yang menunjukkan bagaimana masyarakat modern mengalami
guncangan-guncangan kemajuan yang dahsyat. Salah satu contoh misalnya, kemajuan
ekonomi dan teknologi secara umum dianggap semakin melemahkan negara-bangsa yang
tradisional. Tetapi Naisbitt berpendapat sebaliknya, justru kemajuan itu memperkuat
negara-bangsa tradisional, dibuktikan dengan runtuhnya Uni Sovyet atau Yugoslavia
menjadi negara-negara kecil yang sedikit-banyak berbasis tribal tradisional. Kita kembali
menemukan ada negara Bosnia-Herzegovina atau kota St. Petersburg di Rusia, yang
pernah hilang beberapa dekade dari peta dan sejarah dunia.
Paradoks adalah sebuah pernyataan atau realitas yang di dalamnya terkandung
kontradiksi atau perlawanan, persis seperti kalau anda bertanya pada seseorang: apakah
anda tuli? Lalu dia menjawab: benar. Demikian pula dalam perkembangan sebuah kota,
tidak bisa lepas dari paradoks-paradoks yang terjadi di dalamnya. Termasuk kota
Surabaya sebagai metropolis yang terus berkembang, akan muncul paradoks yang
beraneka macam. Paradoks ini menjadi sebuah realitas aktual yang sekaligus sebagai
otokritik, bahwa dari hal yang paradoksal itu akan didapatkan sebuah solusi atas masalah-
masalah yang dihadapi sebuah kota besar seperti Surabaya ini.
Anak-anak yang bermain bola di jalanan adalah pemandangan yang sering kita
jumpai di Surabaya, terutama di gang-gang kampung karena tidak adanya lapangan atau
taman terbuka yang bisa mereka gunakan untuk menyalurkan kegemaran mereka bermain
bola. Lalu jalanan umum yang berbahaya pun mereka gunakan sebagai lapangan. Ini
adalah paradoks, sebuah kota yang makin maju dengan pembangunan sarana kota yang
makin lengkap, justru melupakan kebutuhan anak-anaknya sendiri dan membiarkan
mereka “menciptakan” sendiri tempat bermainnya di jalanan. Ini sebuah peringatan tak
langsung bahwa kota ini kekurangan ruang terbuka dan ruang publik bagi warganya.
Juga gedung-gedung jangkung nan indah yang tersebar di seantero Surabaya tidak
semuanya benar-benar cantik secara menyeluruh, seringkali hanya sebagai kosmetik
Page 11
02
belaka. Kadang-kadang hanya bagian depannya yang terlihat bagus dari jalan besar.
Tetapi cobalah sekali-sekali menengok ke belakangnya, bisa kita temukan pemandangan
yang berbeda sama sekali. Bisa saja kita dapatkan permukiman atau perkampungan yang
kumuh, kotor dan berhimpitan, atau pasar tradisional yang berkembang tak terkendali. Ini
sebuah paradoks juga, bahwa semakin berkembang wajah bagus kota, tidak ketinggalan
berkembang juga wajah “buruk” di sisi yang lain. Ibarat pepatah: semakin tinggi pohon,
maka semakin keras angin menghempasnya. Agaknya bisa menjadi sebuah himbauan
juga, jangan hanya mengejar image sebagai kota metropolis, lalu yang “buruk”, yang
“kumuh”, yang “dekil” ditutup-tutupi, ini seperti menyimpan bom waktu di balik jaket
Gucci. Justru yang dekil itu yang harus didandani agar semakin bermartabat.
Selain itu masih ada paradoks lagi, halte bis yang ada di pinggir-pinggir jalan di
Surabaya dibuat untuk tempat calon penumpang menunggu kedatangan bis atau angkot
sesuai dengan ke mana tujuannya. Namun apa yang terjadi? Beberapa halte ada yang
“dibajak” oleh PKL (Pedagang Kaki Lima) dan digunakan untuk berjualan. Justru calon
penumpang tidak mendapat tempat di situ. Ini adalah paradoks kehidupan urban, orang
harus menyerobot hak orang lain untuk bertahan hidup. Tetapi, apakah harus seperti itu?
sebuah paradoks di mana urusan perut sudah mulai mengikis empati.
Kemudian paradoks yang berkaitan dengan jembatan penyeberangan. Jembatan
penyeberangan merupakan fasilitas yang dibuat oleh pengelola kota Surabaya agar
pejalan kaki bisa aman menyeberang dan lalu lintas di bawahnya tidak terganggu oleh
orang yang menyeberang. Tetapi pemandangan keseharian bisa berbicara lain, kita sering
mendapati orang yang menyeberang tepat di bawah jembatan penyeberangan. Karena
malas atau karena tidak tahu? Ya, ini sebuah paradoks yang berkaitan dengan sikap.
Bagaimana mungkin, sudah tersedia jembatan penyeberangan yang aman, tetapi justru
memilih membahayakan diri menyeberang di tengah ramainya lalu lintas?
Juling
Juling adalah gejala yang mirip paradoks juga, ini merupakan istilah umum bagi
kelainan mata yang dalam bahasa formalnya disebut strabismus convergence. Orang
yang matanya juling, fokus penglihatannya tidak lurus di depan sebagaimana orang
normal, melainkan agak serong ke kiri atau kanan. Sehingga orientasi pandangnya sering
membingungkan, kelihatannya memandang ke arah kita, tetapi yang dituju sebenarnya
justru tempat lain.
Jika kita amati perkembangan desain arsitektur di kota-kota di Indonesia dan di
Surabaya khususnya, pola orientasinya mirip dengan mata juling seperti yang dijelaskan
di atas. Kita berkoar-koar ingin mencari jatidiri, mencari akar sejarah dan lain-lain, tetapi
pada praksisnya (baca: prakteknya) kita masih sering melenceng dari hal itu. Lihat saja,
kita justru sibuk membuat replika Jakarta, replika Singapura atau replika New York di
Surabaya. Bukankah ini bisa dikatakan fenomena rancangan kota yang juling?
Akar dari kejulingan desain kita memang bukan hanya satu, tetapi merupakan
akumulasi dari banyak sebab. Salah satunya adalah kebiasaan kita “melirik” yang dari
luar, lalu menirunya secara mentah-mentah di sini. Karena hanya “melirik”, maka yang
tertangkap bukan esensinya, tetapi hanya permukaannya yang banal (dangkal) yang
hanya berkisar pada kulit luarnya. Kita tidak perlu gengsi belajar dari tempat lain untuk
menangkap spirit, melacak esensi, dan memburu hal-hal baru.
Page 12
02
Menjamurnya ruko-ruko, munculnya trend minimalis tanpa diadaptasi dengan
aspek lokal, adalah contoh-contoh kejulingan arsitektural kita. Itu adalah hasil “melirik”
tempat lain. Kadang kita memang terbius, karena mental kita yang masih inferior
(minder), sehingga milik orang lain terlihat lebih wah, lebih bagus dan lebih hebat. Lalu
kita ingin menirunya begitu saja.
Padahal Surabaya sendiri punya potensi dan sumber-sumber ide desain yang
cukup kaya. Surabaya punya sejarah yang panjang, penduduknya punya watak khas yang
blakasuta atau blak-blakan, juga tidak mudah ditaklukkan. Kejulingan rancang kota ini
tidak bisa disembuhkan oleh dokter mata, tetapi harus dimulai dengan kepercayaan diri
bahwa kita mampu membuat desain dengan berpijak pada bumi Surabaya, tidak lagi
dengan “melirik” tempat lain.
Lalu Bagaimana?
Masih banyak contoh paradoks yang lain di Kota Surabaya. Sebut saja misalnya,
masih banyak kendaraan yang parkir di dekat tanda dilarang parkir. Juga banyak
pedagang yang berjualan persis di depan tanda dilarang berjualan, atau orang yang
membuang sampah seenaknya padahal sudah disediakan tempat sampah. Belum lagi
mereka yang menyerobot lampu merah, menyerobot giliran karena tidak mau mengantri
dan masih banyak lagi.
Kejulingan lain juga masih ada. Surabaya Kota Pahlawan ini, yang pada bulan
Nopember 1945 menjadi ajang perjuangan arek-arek Suroboyo dalam melawan Inggris
yang diboncengi NICA Belanda. Tetapi mengapa bangunan yang dijadikan cagar budaya
adalah bangunan-bangunan kolonial saja? Mengapa bukan kampung? Mengapa bukan
rumahnya pak Cokro yang dulu menjadi tempat kosnya Bung Karno? Atau rumahnya
Bung Tomo? Sudah ada upaya yang bagus dari Surabaya Heritage Track untuk
menawarkan perjalanan menjejak kembali Pecinan misalnya, tidak melulu yang kolonial
saja.
Dengan belajar dari beberapa paradoks dan gejala juling tadi, nampaknya
Surabaya harus terus berbenah untuk menjadi kota yang maju dan konsisten, dengan
penduduk yang berkesadaran tinggi dan bertanggung-jawab. Bukan hanya menjadi
sebuah kampung besar belaka: bercitra metropolis, tapi bermental kampung(an).
Memang, di seluruh dunia tak ada kota yang sepenuhnya terkendali. Selalu ada yang tak
terkoordinasi dan tak terkontrol dalam perkembangan sebuah kota. Tapi, kita harus
berusaha terus untuk mengurangi paradoks dan kejulingan yang ada.
- Sampeyan tinggal di mana, cak?
+ Surabaya, tapi di kampungnya (dengan tersipu)
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 14 Juni 2009
berjudul “Paradoks Surabaya” dan kolom Regol Surabaya Post 28 Juni 2009 berjudul
“Juling”.
Page 13
03
Arsitektur yang Bukan Arsitektur
Kau tak bernama
Kau tak dikenal
(Abdul Hadi WM, dari buku puisi
Pembawa Matahari, 2002)
Pemikiran Modern dimulai oleh filsuf Perancis bernama Rene Descartes yang
ingin mencari kebenaran filosofis yang sekuat matematika, percaya pada satu kebenaran
tunggal. Jika yang satu benar, maka yang lain (harus) salah. Demikian juga dengan
arsitektur Modern yang muncul dengan berpijak pada pemikiran Modern: jika yang ini
adalah arsitektur, maka yang lain jelas bukan arsitektur. Sebuah definisi kaku yang
diterapkan pada semua hal, maka “yang lain” menjadi kelimpungan karena terusir dari
orbit tunggal yang sewenang-wenang.
Pemikiran inilah yang kemudian meluas ke seluruh dunia dan mendasari
pemahaman kita dalam melihat arsitektur, dan juga (masih) diajarkan di sekolah-sekolah
arsitektur. Kita terlanjur dibentuk dengan prasangka bahwa yang disebut arsitektur itu
adalah harus berpondasi, harus permanen, harus sebuah gedung, harus memiliki sentuhan
ala Le Corbusier, Rem Koolhaas, atau Jean Nouvel, juga memiliki taste estetika seni
mutakhir. Jika tidak demikian, berarti bukan arsitektur.
Sehingga ketika melihat bangunan yang tak berpondasi, yang tak permanen,
bukan berupa gedung, tidak memiliki sentuhan ala arsitek terkenal dan tak punya taste
seni masa kini, maka bangunan tersebut tidak layak disebut arsitektur. Bangunan seperti
itu tidak bisa dimasukkan ke dalam ranah arsitektur karena menjadi “aneh” jika dilihat
dengan kriteria tunggal yang tak dapat diganggu-gugat itu.
Meskipun pemikiran Modern tersebut akhirnya menjadi luluh-lantak di jaman
kontemporer saat ini (kebenaran bukan lagi kebenaran tunggal yang hegemonik), tetapi
pemikiran hegemonik tadi ternyata masih ada dan banyak bercokol dalam pikiran para
arsitek dan para pengambil kebijakan kota. Sehingga ada semacam kontradiksi yang
demikian ganjil: jamannya sudah plural, tetapi masih memakai tolok ukur pemikiran
tunggal (singular).
Bangunan Pinggir Kali
Bangunan liar atau biasa disingkat bangli yang berdiri berderet di sepanjang
pinggiran Kali Jagir, Surabaya ini jika dilihat dari kacamata pemikiran tunggal jelas tak
layak disebut arsitektur. Pertama, bangunan itu dibangun tidak permanen dengan bahan
seadanya dan jelas tidak dirancang oleh arsitek. Kedua, ini yang lebih parah lagi, bangli
tersebut dibangun di tempat yang terlarang, karena lahan itu bukan milik mereka. Kalau
mau menelisik lebih jauh ke tingkat ekonomi dan kedudukan mereka di dalam kehidupan
kota Surabaya, mereka yang membangun itu adalah golongan tak berpunya (the have not)
yang tersingkir dalam percaturan politik, ekonomi, sosial dan budaya kota. Mereka
seperti segerombolan makhluk asing yang datang dari planet lain untuk mengadu nasib di
Page 14
03
Surabaya dan kemudian “kalah”, maka arsitektur yang mereka bikin juga arsitektur yang
asing dan harus bersiap-siap untuk “kalah”.
Padahal, jika kita amati secara lebih seksama, sebenarnya arsitektur yang dibuat
oleh “pendatang haram” itu sungguh kontekstual dengan kondisi girli (pinggir kali).
Konstruksi vernakuler ala pinggir kali itulah yang paling tepat menjawab kebutuhan
desain arsitektur di tempat “kritis” seperti itu. Dibuat berkonstruksi panggung sehingga
seperti mengangkangi tebing sungai dengan kaki-kakinya. Bahan penutup dinding dan
atapnya terbuat dari bahan ringan, tipis dan kadang-kadang dari bahan bekas pula.
Tutupan dinding dan atapnya itu tidak benar-benar rapat, tetapi masih memungkinkan
celah bagi angin dan cahaya untuk masuk ke ruang dalam.
Desain yang marjinal itu masih sering juga disebut kumuh, tak layak, merusak
pemandangan serta mengganggu lingkungan. Tetapi mengapa solusinya justru selalu
dengan menghancurkannya lewat penggusuran? Mengapa bukan dengan memperbaikinya
dan membuatnya lebih layak, lebih nyaman dan indah seperti yang dilakukan Romo
Mangun di Kali Code Jogja? Kita masih sering berpikiran secara modern yang satu jalur,
seperti bulldozer yang tak kenal ampun. Meskipun katanya sudah jaman plural yang
mengakomodasi perbedaan, kita masih berarsitektur dengan tangan besi, belum dengan
pikiran terbuka.
Stigma, Kata yang Mendakwa
Di sini, kuasa bahasa menjadi penentunya. Karena sudah dicap dengan stigma
sebagai bangli (bangunan liar) dan girli (pinggir kali), maka bangunan itu sah dan benar
untuk dirobohkan sewaktu-waktu oleh mereka yang berkepentingan. Ketika masa Orde
Lama Sukarno, stigma “kontra-revolusioner”, “setan kota” dan “setan desa” menjadi
momok yang menakutkan bagi mereka yang berseberangan dengan pemerintah.
Kemudian di masa Orde Baru Suharto, stigma “komunis” atau “terlibat G-30-S” menjadi
senjata yang mengerikan untuk membungkam lawan. Di sini juga demikian, stigma
bangli, girli, pendatang tanpa keahlian, kawasan kumuh dan lain-lain cukup akrab bagi
telinga kita, dan mereka tak bisa berbuat apa-apa selain “patuh” pada kekuatan besar
yang tak mungkin mereka lawan.
Di kota-kota modern saat ini, stigma “bangli” (bangunan liar) pada permukiman
di bantaran sungai atau pinggiran rel KA menjadi senjata pamungkas bagi pemerintah
untuk menghancurkannya atas nama penertiban umum. Mereka (manusia dan bangunan
liar) itu menjadi seperti penyakit bagi keindahan dan kenyamanan kota. Yang janggal,
cara pengobatannya hanya satu: amputasi (padahal toh hanya sakit panu).
Sebetulnya, jika dipikir lebih kritis dan mendalam, tak sedikit pula “bangli” yang
berupa gedung-gedung megah atau bangunan yang tinggi. Lihat saja, banyak
pengembang (developer) yang justru menimbulkan masalah. Mulai masalah lingkungan
dengan meninggikan lahannya sendiri dan membiarkan air mengalir ke wilayah sekitar
dan menimbulkan banjir. Juga masalah sosial dengan membangun gated community
(komunitas tergerbangi) yang eksklusif dan tak mau bergaul (dan berbaur) dengan
masyarakat sekitar. Banyak juga bangunan dengan style impor yang “merusak mata”,
tetapi karena mereka bergerak secara legal, maka tak ada yang mempermasalahkan.
Mengapa hingga saat ini, sesuatu “yang lain” dan “bersuara lain” dianggap tidak
boleh ada dan harus disikat. Apakah kita terus meniru kota-kota model Barat yang belum
Page 15
03
tentu bisa membuat bahagia masyarakat di sini? Jika kita membangun kota dengan sistem
amputasi dan hantam kromo seperti itu, kita hanya akan mendapatkan kota yang buntung,
kota yang satu masa depan, tanpa pilihan lain. Jika itu yang dipilih, tunggulah Surabaya
menjadi necropolis (kota mati), yang terlihat gemerlap, berbudaya dan beradab, tetapi
dihuni oleh zombie-zombie yang hanya punya “taring” tanpa “hati”.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 28 Juni 2009
Page 16
04
Perkembangan Surabaya
antara Uang dan Ruang Kota
Dari sepatah kata tak boleh ada satu huruf pun dirampas
(Mephisto dalam Faust, Goethe 1999)
Dari sebuah kota tak boleh ada satu ruang pun dirampas
(alih-konteks untuk Surabaya)
Melihat perkembangan kota Surabaya akhir-akhir ini, yang menjadi masalah
utama dan banyak dibicarakan publik adalah tentang penataan dan pengaturan ruang kota.
Mulai dari heboh soal reklame, pemanfaatan jalur hijau, isu pengalih-gunaan Yani Golf
(sebelumnya, Lapangan Tenis Embong Sawo sudah jadi korban), obrakan para PKL yang
dianggap mendiami tempat ilegal, soal rumah-rumah yang memakan brandgang/jalur
pemadam kebakaran, kemacetan yang makin lama makin parah, perlindungan terhadap
cagar budaya, kurangnya taman kota dan jalur pedestrian untuk pejalan kaki, dan saat ini
kita menyambut musim banjir tahunan yang di beberapa tempat sudah mulai “menyapa”
kita lagi.
Jika kita perhatikan kebijakan Pemkot Surabaya dalam mengatasi masalah-
masalah ini, kebanyakan bersifat reaktif setelah ada pengaduan atau protes dari
masyarakat. Bahkan seringkali sudah terlanjur membikin kesalahan yang kemudian baru
direvisi seperti kasus SPBU yang bertempat di jalur hijau yang kemudian diperintahkan
dibongkar, atau pembongkaran Stasiun KA Semut yang harus dihentikan karena ternyata
termasuk bangunan cagar budaya. Juga ada beberapa masalah akut yang selalu membelit
seakan tanpa henti, seperti PKL yang akan terus muncul walaupun telah dirazia
sepanjang tahun, kemacetan di jalan-jalan utama pada jam berangkat dan pulang kerja,
banjir yang selalu datang tiap tahun meskipun saluran air sudah dibenahi.
Sebagai sebuah metropolis yang terbesar di Indonesia Timur, kota Surabaya
memang menjadi magnet bagi penduduk kawasan timur Indonesia. Tidak heran jika
ruang kota Surabaya semakin penuh sesak dan semakin kompleks permasalahannya. Oleh
sebab itulah, pengelolaan dan penataan ruang kota tidak bisa lagi menggunakan cara-cara
yang konvensional. Kita jangan mengulangi lagi kebijakan lama yang mengatur tata
ruang dengan uang. Gara-gara kebijakan macam itu, dulu kita kehilangan separuh Kebun
Bibit Bratang sebagai paru-paru kota dan berubah menjadi pertokoan. Di saat ini pun,
dalam pembangunan pusat-pusat perbelanjaan besar yang banyak bertebaran di Surabaya,
Pemkot masih lebih banyak mementingkan sisi “uang”nya (baca: investasi) dibanding
protes masyarakat sekitar yang terganggu oleh proyek tersebut.
Memang, investasi merupakan salah satu penggerak ekonomi agar kota Surabaya
semakin maju dan berkembang ke depan, Jembatan Suramadu butuh investasi, proyek
jalur lingkar tengah dan lingkar luar kota Surabaya juga perlu investasi, demikian juga
sarana-prasarana lain, karena anggaran Pemerintah saja tidak akan mencukupi tanpa andil
investor swasta. Tetapi di sisi lain kita juga harus tetap memperhatikan karakter asli arek
Suroboyo yang guyub, egaliter (merakyat), tenggang rasa dan akrab dengan sesama.
Page 17
04
Apakah kita ingin meniru jejak Jakarta? Ibukota negara yang sudah terlanjur hilang
identitasnya, penuh polusi, bising, banjir sangat parah yang bulan lalu terjadi, kemacetan
yang luar biasa, angka kejahatan yang tinggi, banyak orang paranoid sehingga takut dan
curiga dengan orang lain. Jakarta sudah terlalu jauh menjadi “kota uang” yang silang-
sengkarut tata-ruangnya karena hanya mementingkan investasi, menjadi megalopolis
(kota superbesar) yang meraksasa, tetapi wagu karena tanpa “karakter”, tanpa “hati”, kota
yang hampir kehilangan roh humanisnya.
Tentunya kita tidak ingin Surabaya menjadi kota yang demikian, kota Surabaya
harus memiliki masa depan sendiri, tidak hanya meniru alias membebek kepada kota lain
yang lebih besar. Oleh sebab itulah, dalam penataan ruang kota tentunya Pemkot tidak
hanya bekerja dengan “otak” saja, tetapi juga dengan “hati”. Bagaimanapun juga,
reklame tetap harus ditata dan dibatasi agar warga tidak sakit mata memelototi iklan
ilegal di setiap sudut kota. PKL harus di-orang-kan (di-wongke), mereka juga manusia
yang berhak atas penghidupan yang layak di masa krisis seperti saat ini. Sepertinya
Pemkot juga sudah mulai memper-hati-kan pejalan kaki dengan memperbaiki dan
memperlebar pedestrian di Jalan Basuki Rahmat, Jalan Panglima Sudirman dan
sekitarnya. Juga mengatur PKL di Jalan Urip Sumoharjo dengan dibuatkan foodcourt
sebagai tempat berjualan yang lebih layak dan tertib, kemudian penertiban bangunan liar
di stren Kalimas yang rencananya sepanjang 12 kilometer. Ini menjadi sebuah gebrakan
di awal tahun ini yang bisa dibanggakan. Mudah-mudahan bisa berlanjut secara kontinyu
dan tidak menjadi kebijakan rog-rog asem (setengah-setengah) yang cuma bagus di
awalnya saja
Untuk ke depannya, Pemkot juga harus membuat terobosan-terobosan baru untuk
mencari pemecahan masalah-masalah klasik seperi banjir dan kemacetan lalu-lintas.
Kalau perlu misalnya dengan membuat maket raksasa seperti yang dibuat di kota
Shanghai (Cina), sehingga masyarakat bisa melihat langsung ke mana dan bagaimana
arah perkembangan kotanya, sekaligus bisa mengawasi jika ada penyimpangan dan
penyalahgunaan. Di situ semua warga bisa memberikan usulan, pertimbangan ataupun
sanggahan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kota. Di era informasi seperti saat
ini, pengambilan kebijakan kota bisa dilakukan secara lebih interaktif dengan masyarakat
warga kota, agar warga jadi lebih merasa handarbeni (memiliki) terhadap kotanya.
Ruang kota Surabaya yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita, tentunya
harus diatur dan dimanfaatkan untuk kebaikan warga kota semuanya, tidak hanya
menyangkut kepentingan ekonomis semata yang berdasarkan “uang”, tetapi juga dengan
mempertimbangan kelangsungan ekologis (kawasan hijau, resapan air, habitat binatang
liar), historis (bangunan bersejarah, kawasan bernilai nostalgia kota), sosial (tempat untuk
para PKL, PSK, perbaikan kampung), budaya (ruang untuk berkesenian, ekspresi
budaya), rekreatif (taman kota, tempat wisata dan rekreasi untuk warga kota) dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, kota Surabaya kita harapkan menjadi kota yang lebih baik,
maju dan berkembang pesat tetapi tetap punya ciri khas, berkarakter dan humanis (baca:
berperikemanusiaan). Senyampang kota Surabaya masih dalam tahap berkembang, belum
terlalu semrawut dan karut-marut seperti Jakarta. Kita masih punya kesempatan untuk
membuat aturan-aturan dan tatanan agar perkembangan kota ini lebih terencana dan
terarah, tidak tersasar ke arah yang salah. Dan yang paling penting, peraturan yang dibuat
Page 18
04
harus ditaati dengan sepenuh hati. Jangan sampai dilanggar atau diubah-ubah hanya
untuk kepentingan pribadi dan ambisi, apalagi hanya demi uang. Bravo Surabaya!!!
Tulisan ini pernah dimuat di Forum Kompas Jawa Timur 8 Maret 2007
Page 19
05
Surabaya, antara
Idrus, Pram, Rendra dan Akhudiat
Ketika kota dibungkam, sastra harus bicara!
Ada kata-kata yang sangat terkenal berkaitan dengan dunia pers dan sastra,
bunyinya: “ketika pers dibungkam, sastra harus bicara!”. Selama ini, kata-kata itu
menjadi ruh bagi gerakan kritis di banyak negara, terutama di negara dengan sistem
totaliter yang membelenggu kebebasan. Di Indonesia saja, ketika masa Sukarno dan
Suharto yang membelenggu pers sehingga tak berkutik, muncullah sastra-sastra
perlawanan yang mengugat penindasam dan ketidakadilan. Sampai-sampai penyair Widji
Thukul harus membayarnya dengan nyawa dan tubuhnya sekaligus, lenyap tak berbekas.
Tapi harus diingat pula, kota juga tak bisa dipisahkan dengan sastra, atau
sebaliknya, sastra tak bisa dipisahkan dengan kota. Sehingga kalimat perlawanan di atas
tadi bisa dialih-konteks-kan menjadi: “ketika kota dibungkam, sastra harus bicara!” Ya,
kota hampir sama dengan pers, sebuah “tempat” bagi ekspresi kreatif dan kebebasan yang
membutuhkan otokritik agar bisa membangun kota menuju keadaan yang lebih baik di
masa yang akan datang.
Dalam perkembangan kota Surabaya, banyak sastrawan yang mengamatinya juga.
Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi perkembangan kota, tetapi gambaran
sastrawan tentang kota sedikit-banyak juga merupakan sebuah gambaran kritis, humor,
sindiran, atau bahkan ironi yang bisa menjadi bahan bagi kita untuk merenungkan
sejenak: apakah kota yang kita bangun ini sudah berada di jalur yang benar? Ataukah
sedikit melenceng? Atau benar-benar melenceng terlalu jauh?
Idrus
Dalam salah satu cerpennya yang berjudul Surabaya, Idrus menyoroti kondisi
Surabaya di seputar pertempuran 10 Nopember 1945. Dia menggambarkan bagaimana
pada saat itu Surabaya luluh lantak dihajar sekutu (Inggris), mengakibatkan mental dan
karakter manusianya juga luluh lantak. Kita menjadi tahu, meskipun di masa itu arek-
arek Suroboyo bertempur dengan gagah-berani dan tak kenal menyerah, tetapi jiwa-jiwa
mereka sebenarnya sangat terguncang. Meninggalkan rumah, meninggalkan istri dan
kekasih, kehilangan orang-orang tercinta, berebut makanan, membuat jiwa mereka
tertekan hebat.
Dalam buku-buku sejarah tentang pertempuran 10 Nopember 1945, biasanya
selalu diceritakan suasana yang heroik, nasionalis dan patriotik, bahwa arek-arek
Suroboyo bertempur tak kenal takut. Namun dari cerpen Idrus ini kita sedikit bisa lebih
obyektif melihat karakter arek-arek Suroboyo dari sisi lain: yang hampir hancur, putus
asa dan menjadi agresif. Arek-arek Suroboyo juga manusia biasa yang punya sisi positif
dan negatif sekaligus.
Cerpen Idrus masih juga relevan untuk membaca Surabaya saat ini dari sisi tinjau
lain. Ketika kita melihat keberhasilan Surabaya menjadi kota dengan masyarakat yang
Page 20
05
lebih sejahtera, lebih beradab dan berbudaya, ada kemungkinan yang berlawanan di balik
kondisi yang ideal tersebut. Mungkin saja kondisi orang-orang Surabaya ini demikian
rapuh, rentan dan putus asa. Kota ini selalu berkoar menuju kemajuan, tetapi bungkam
terhadap kondisi real yang sebaliknya, siapa yang berani bicara?
Pramudya Ananta Toer
Pramudya Ananta Toer, sastrawan realisme-sosialis yang juga akrab dengan
Surabaya karena pernah menetap di kota ini. Dalam novel Bumi Manusia dan seri
tetralogi Buru, Pram menjadikan Surabaya sebagai latar cerita, yang secara detail
menceritakan kondisi Surabaya di awal abad ke 20. Sedangkan dalam buku Jalan Raya
Pos, Jalan Daendels, Pram membahas Surabaya sebagai salah satu kota di Jawa yang
dilalui oleh groote postweg Daendels.
Dalam Jalan Raya Pos, Pram melihat Surabaya sebagai sebuah “mesin” yang
terus berkembang dengan pesat. Bukan mesin yang mati, tetapi mesin yang hidup.
Kemajuan di Surabaya adalah sebuah hal tak terelakkan. Mulai dari sebuah kampung
kecil, berikutnya menjadi kerajaan, lalu menjadi kadipaten, berubah lagi menjadi kota
benteng dan akhirnya menjelma menjadi kota modern yang dinobatkan sebagai ibukota
Propinsi Jawa Timur, juga menjadi kota terbesar di Indonesia setelah Jakarta.
Pram mengingatkan, sebuah kota harus tetap berpegang pada kemanusiaan. Tetapi
agaknya justru hal inilah yang (agak) terlupakan dalam proses pembangunan Surabaya.
Sisi kemanusiaan semakin terpinggirkan, digantikan oleh semangat pragmatisme yang
mirip hukum rimba: siapa yang kuat, dia menang.
Rendra
Masuknya Rendra dalam tulisan ini bukan karena Rendra menyoroti Surabaya
seperti sastrawan yang lain. Rendra mengkritisi masalah kota di Jogjakarta dan secara
umum di Indonesia, sehingga bisa juga digunakan untuk menyoroti Surabaya saat ini.
Di dalam sebuah essai di majalah Prisma (Juni 1980) dengan judul Kota “Kasur
Tua”, Rendra berpendapat bahwa kota-kota di Indonesia masih ditata dengan cara seperti
menata desa. Dengan kata lain, kota yang metropolis malah dikelola secara agraris.
Bahkan dia mengusulkan hal yang ekstrem, yaitu pembangunan di kota sebaiknya
dihentikan saja. Pemerintah harus membangun desa-desa agar memiliki posisi yang kuat,
setara dengan kota. Kota-kota hanya menjadi distributor produk-produk multinasional
yang melemahkan perekonomian kita.
Mungkin masalah utama kota-kota secara umum di Indonesia adalah bagaimana
menyadarkan masyarakat dan pemegang tampuk pemerintahan kota bahwa mereka
berada di kota, bukan di desa. Lihatlah bagaimana jalanan digali seenaknya tanpa
mempedulikan kemacetan, pemerintah kota yang menggusur semau-maunya (lebih
pantas jika dilakukan di jaman Mataram, bukan di masa kini), pemimpin sebagai satu-
satunya penentu (warisan feodal). Juga bagaimana orang-orang membuang sampah
seenaknya di sungai atau berjualan di badan jalan sehingga mengganggu lalu-lintas. Itu
hanya contoh kecil budaya agraris yang masih hidup di kota-kota di Indonesia.
Page 21
05
Jika dibawa ke dalam konteks Surabaya, sepertinya pendapat Rendra ini masih
cukup mengena. Kita harus siap berbudaya kota dalam hidup dan berkehidupan di kota
Surabaya, bukan mengelolanya secara agraris.
Akhudiat
Sastrawan satu ini cukup intens mengamati perkembangan Surabaya. Pada tahun
2008 yang lalu, dia menulis buku Masuk Kampung Keluar Kampung yang diterbitkan
Henk Publica Surabaya. Dalam buku itu, Akhudiat blusukan dari kampung ke kampung
untuk mencari jejak-jejak Surabaya masa lalu yang makin lama makin terkikis.
Kampung, sebagai salah satu pembentuk kota, harus dijaga agar tidak menjadi wilayah
“lain” di kotanya sendiri.
Tidak hanya itu, Akhudiat juga sering menyinggung Surabaya dalam karya-karya
yang lain. Seperti dalam salah satu puisinya berjudul Kotaku dalam buku Pesta Penyair;
Antologi Puisi Jawa Timur (2009), Akhudiat menuliskan:
Surabayaku terbuat dari baja, beton, kaca
Alangkah ramahnya
Juga dalam pisinya yang lain berjudul Surabaya 700 Tahun, ada kata-kata: Surabayamu
jadi bergairah tapi gerah. Ya, puisi Akhudiat menyoroti gejala kontradiktif yang cukup
kuat. Surabaya yang menurutnya terbuat dari baja, beton, kaca mestinya terlihat kaku,
keras dan dingin. Tapi Akhudiat menyindirnya dengan kata-kata yang tajam: alangkah
ramahnya. Akhudiat menyanjung Surabaya sebagai kota yang bergairah, lalu disentilnya
dengan kata: tapi gerah. Nampaknya Akhudiat masih punya harapan besar pada kota
Surabaya ini, seperti dituliskan di akhir puisinya ini:
Kamu, Surabaya, dengan ruang & waktu
mengalirlah!
Surabaya, Mei 2010
Page 22
06
Surabaya Tempo Doeloe, Lalu Apa?
Tanjung Perak, tepi laut
Siapa suka, boleh ikut
Ketika kita membuka kembali topik Surabaya Tempo Doeloe, yang sering
menjadi acuan adalah nostalgia (ingatan ke masa lalu yang manis) yang antara lain berisi
pelestarian kota lama, kawasan lama, langgam arsitektur lama. Dengan pendekatan itu,
kota Surabaya menjadi kota yang sendirian, yang soliter, meskipun yang muncul di
permukaan adalah idiom: khas, unik, orosinil (original). Sejarah menjadi seperti anak
panah yang arahnya diputar-balik ke masa lalu, hanya segitu.
Mengapa tidak dicari acuan sejarah yang lain? Sejarah juga bisa dilihat seperti
kembang api yang memancar maneka warna, atau seperti balapan Formula 1 yang salip-
menyalip. Contohnya adalah studi sejarah arsitektur yang bersifat antar-kota atau lintas-
kota, seperti yang dilakukan Timoticin Kwanda, yang membandingkan perkembangan
Surabaya dan Batavia di masa lalu (di masa kolonial). Dengan demikian, sejarah
Surabaya menjadi bertaut dan gayut dengan konteks sejarah yang lebih luas, bukan
sejarah yang menyendiri.
Masih terbuka kemungkinan untuk melakukan studi sejarah baru untuk
membandingkan Surabaya dengan kota-kota yang lain. Atau “menabrakkan” sejarah
Surabaya dengan sejarah Indonesia dan bahkan dunia, atau “menjungkirkan” sejarah
Surabaya sehingga menjadi sejarah yang lebih berwarna, bukan sejarah hitam-putih
belaka seperti yang sering kita baca.
Spirit, bukan Desire
Sejarah yang kita pelajari lazimnya berasal dari kaidah history Barat yang
berpijak kepada Ada (Being). Kita terlalu terpukau oleh hasrat (desire) konservasi dari
Barat yang melestarikan benda-benda nyata, yang harus dijaga seperti aslinya, yang tak
boleh diubah tanpa peduli konteks kemajuan dan perkembangan pemikiran historis
manusia. Mestinya, yang dilestarikan juga termasuk semangatnya, spirit yang menjiwai
dan melatari bangunan bersejarah.
Pelestarian yang berdasar pada desire seperti itu hanya akan menjadi pelestarian a
la Lenin di Rusia atau Mao di Cina, yang terus dilestarikan jasadnya, wujud fisiknya,
tetapi semangatnya sudah musnah entah ke mana. Komunisme sudah tak laku lagi di
Rusia dan Cina. Apakah kita ingin melestarikan kota dengan cara seperti itu? Surabaya
yang lestari fisiknya, tapi jiwanya kosong seperti karung jebol.
Mungkin perlu pendekatan spirit a la Jayabaya, di mana raja Kadiri ini jasadnya
sudah lenyap, musnah, mhoksa, tetapi jiwanya masih mempengaruhi orang di jaman kini,
beratus-ratus tahun setelah meninggalnya. Bagi kepercayaan Jawa dan Nusantara,
kematian, kelenyapan dan kehilangan adalah hal yang biasa. Manusia jelas bisa mati, dan
hilang dari peredaran kehidupan mengikuti hukum alam. Demikian juga bangunan atau
arsitektur, justru pelesrtarian spirit itu yang lebih urgen, yang lebih mengena.
Page 23
06
Hal-hal yang non-fisik (baca: jiwa) Surabaya dalam arsitektur yang egaliter,
lugas, terbuka dengan tetangga dalam iklim komunal itulah yang perlu didalami juga. Ini
menjadi dasar paradigma sejarah arsitektur yang “berani melawan” dalam konteks
arsitektur tanding (paralel dengan budaya tanding), berani menentang dominasi trend dan
style dunia yang datang bertubi-tubi. Selama ini (sejak jaman kolonial), Surabaya
menjadi makelar trend dan style, mengikuti yang Jakarta (Jakarta sendiri mengikut
Singapura atau Hongkong), lalu Surabaya menyebarkannya ke Malang, Madiun, Jember,
Kediri dan seterusnya. Apa yang bisa dibanggakan dari makelar trend dan style seperti
itu? Toh sama saja dengan tidak punya sejarah sendiri.
Sejarah juga bisa ditinjau sebagai fragmen-fragmen yang terpisah, yang masing-
masing memiliki sejarah sendiri. Seperti mempreteli sebuah kalimat menjadi kata demi
kata, lalu mencari asal-usul kata itu, sejarahnya dan bagaimana perkembangannya. Atau
gampangnya seperti isi rumah kita: lemari punya sejarahnya sendiri, radio punya
sejarahnya sendiri, vas bunga punya sejarahnya sendiri. Masing-masing punya cerita
sendiri yang bisa dipisahkan dari sejarah induk rumah kita.
Jejak-jejak Sejarah
Surabaya, kota yang kita diami ini, selalu dalam keadaan in between (di antara)
dan becoming (menjadi). Surabaya masa lalu berbeda dengan Surabaya kini, dan akan
berbeda lagi dengan Surabaya masa depan. Surabaya menurut pejabat Pemkot pasti
berbeda dengan Surabaya menurut tukang becak atau tukang tambal ban. Nah, jika kita
mencari keaslian yang tunggal dan abadi, sungguh suatu hal yang sia-sia.
Surabaya terdiri dari jejak-jejak sejarah yang berseliweran, yang saling
bersinggungan atau bahkan bertubrukan satu sama lain. Jejak-jejak itu bisa berasal dari
waktu yang lain dan bisa juga dari tempat yang lain yang jumlahnya sangat banyak.
Perhatikan salah satu foto Surabaya Tempo Doeloe ini, sebuah pemandangan di Kampung
Arab, sekitar Ampel pada tahun 1920.
Dalam foto ini, kita melihat ada beberapa jejak yang membentuk Kampung Arab
dalam foto itu. Jejak-jejak itu antara lain:
Pertama adalah cikar, kereta yang ditarik dua lembu ini merupakan sebuah
kendaraan yang multifungsi pada jamannya. Tidak hanya di kota seperti Surabaya,
bahkan di pelosok desa-desa seperti di Kediri juga ada cikar sebagai alat angkut (foto
sejaman di tahun 1920-an). Jadi, cikar menjadi sebuah kendaraan yang “universal” di
Jawa Timur (mungkin juga di Jawa) pada masa itu.
Kedua adalah rel trem yang tampak di pinggir jalan, bisa ditarik ke jaman pasca
Revolusi Industri di Eropa. Penemuan trem telah mengubah wajah urban kota-kota dunia
sebagai alat transportasi yang penting. Seperti antara lain di kota Sunderland, Inggris
yang sudah menggunakan trem pada tahun 1880. Bahkan masih banyak kota di Eropa
yang masih mengoperasikan trem, sementara di Surabaya sendiri sekarang sudah punah.
Ketiga adalah bangunan beraksen Arab dengan menara sebuah masjid yang cukup
mencolok, ini bisa dibawa ke perkembangan awal Islam ketika agama ini mulai keluar
dari Jazirah Arab dan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan membawa serta
arsitekturnya, seperti permukiman Arab di Kairo dengan Masjid Amr pada tahun 641
sudah memiliki minaret “sederhana” seperti itu.
Page 24
06
Keempat adalah bangunan di bagian kiri foto yang bernuansa kolonial,
membuktikan bahwa ada kemauan warga kampung Arab ini untuk meniru Belanda. Ada
kolom-kolom Doric, sebuah jejak dari Masa Yunani pada periode Hellenic sejak tahun
500 SM. Rumah kampung itu meniru bangunan bergaya Indische Empire yang nge-trend
pada masa itu di Indonesia (yang masih bernama Hindia-Belanda).
Akhiran
Jadi, dari analisa sekilas terhadap sebuah foto itu saja, kita menjadi tahu bahwa
Surabaya bukanlah sebuah kota yang “ada pada dirinya”, tetapi banyak pengaruh dari
luar yang ikut masuk dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kota ini. Jika kita mau
menganalisa dan mempreteli secara lebih teliti dan detail dalam konteks yang lebih luas,
mungkin bisa ditemukan realitas-realitas sejarah yang lebih berwarna dan bahkan
mengejutkan.
Surabaya telah menjadi tempat “persinggungan” antar beberapa elemen sejarah
yang sungguh berbeda-beda. Cikar punya sejarah sendiri, trem punya sejarah sendiri,
minaret punya sejarahnya sendiri, kolom Doric Yunani punya sejarahnya sendiri.
Persinggungan itu tak lantas menjadi penjumlahan ragawi semata seperti penjumlahan
matematis, ada unsur “jiwa” yang berbicara di situ, dari “jiwa” itulah kita bisa
menangkap makna Kampung Arab ini, yang hanya ada di Surabaya dan tak bisa ditemui
di tempat lain. Hanya di sebuah “pojok” Surabaya di tahun 1920, kita melihat ada cikar,
rel trem, minaret dan kolom Doric bertemu dalam satu frame, padahal masing-masing
berasal dari dunia yang saling terpisah jauh. Hal itu membentuk keunikan khas Surabaya
yang masih bisa kita lihat jejaknya lewat foto tempo doeloe.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 1 Nopember
2009 berjudul “Surabaya, Persinggungan Jejak-jejak Sejarah”
Page 25
07
Mewarnai Surabaya Sebuah Interpretasi Imajinatif
Dunia indah karena berwarna
Bukan hitam-putih belaka
Kota Surabaya, yang setiap hari kita lihat dan amati ketika berjalan-jalan atau pergi-
pulang bekerja, makin lama bukannya makin muda, jelas makin tua, lelah dan muram. Dan tentu
saja, kita juga semakin bosan melihatnya karena hampir setiap saat kita melaluinya. Terutama
gedung-gedungnya, yang tetap itu-itu saja. Apa yang awalnya tampak baru, luar biasa dan indah-
mempesona, lama-kelamaan menjadi hal yang biasa, sudah menjadi memori yang tertanam
dalam pikiran kita. Kita tak lagi merasa ada yang baru dan mempesona di sana, lalu tidak
menjadi pusat perhatian lagi. Dengan kata lain: dilihat tapi diabaikan.
Dalam proses itu, tak bisa dipungkiri bahwa bangunan atau gedung yang ada di kota ini
makin kentara juga ke-monoton-annya. Monoton dalam arti hanya diwarnai dengan satu warna
warisan modernitas yang menginginkan tampilan yang simple dan smooth, hanya putih saja, atau
abu-abu saja. Dengan satu warna netral itu, gedung-gedung lama akan terlihat makin tua, dingin,
hambar, dengan ekspresi yang turut memudar seiring berjalannya waktu.
Oleh sebab itulah, arsitek-arsitek di dpavilion architects kemudian berinisiatif untuk
membuat eksperimen imajinatif dengan mewarnai beberapa gedung di Surabaya dengan warna-
warna yang baru. Eksperimen ini bisa membuat beberapa gedung terlihat menjadi baru lagi dan
tampilannya lebih ekspresif. Meskipun ini hanya upaya virtual dan tak ada (atau belum ada)
dalam kenyataan, tetapi kita bisa berimajinasi mendapat pemandangan kota yang berbeda, yang
lebih ceria dan berwarna. Eksperimen ini berawal dari tugas yang diberikan oleh Profesor Josef
Prijotomo ketika memberi seri kuliah di dpavilion architects dengan tema: arsitektur Posmodern
dan Nusantara.
Gedung eks Surabaya Post, Garden Palace Hotel
Salah satunya adalah gedung eks Surabaya Post di Jalan panglima Sudirman ini. Gedung
yang cukup legendaris ini sudah memiliki bentuk yang unik, hanya saja warna tembok luarnya
menggunakan dua warna. Kemudian, gedung itu “dirombak” dari gedung dua warna menjadi
gedung dengan banyak warna (mancawarna), dengan irama yang “acak tapi rancak”, seakan
gedung itu mengalami reinkarnasi dan lahir kembali sebagai karya arsitektur yang baru. Terlihat
lebih “segar” dan “menyala”, bukan?
Hotel Garden Palace yang terletak tak jauh di sebelah utara gedung eks Surabaya Post
juga tak luput dari “serangan” pewarnaan ini. ada bermacam-macam alternatif yang ditawarkan.
Ada yang memberi pewarnaan dengan kotak-kotak yang membuat bangunan tunggal ini seakan-
akan merupakan susunan dari balok-balok lego. Jadi, persepsi orang akan lain sama sekali.
Sebelum diwarnai, façade bangunan ini merupakan bidang besar dengan satu warna, tampak
sebagai sebuah bidang tunggal. Setelah diwarnai, menjadi seperti tumpukan balok-balok dengan
bermacam-macam warna. Kesan tiga dimensionalnya semakin mencolok. Ada kesan “tidak
Page 26
07
selesai” atau “belum selesai” juga, yang dengan bantuan gestalt psychology, pengamat
dibebaskan untuk menyelesaikannya sendiri dalam imajinasinya.
Ada pula yang memberi motif garis-garis vertikal berwarna biru, dengan latar belakang
berwarna biru muda dan hijau lumut. Dindingnya menjadi seperti colonnade (barisan kolom)
yang berada di depan dinding, padahal sebenarnya menempel pada dinding. Bahkan, wajah
depan bangunan ini diberi frame (bingkai) berwarna merah jambu (pink) yang penampilannya
terlihat lebih “muda”. Ada lagi yang memberi warna yang bisa berpendar pada malam hari.
Ketika hari sudah gelap, dinding hotel ini menjadi bisa menyala. Motof dari pewarnaan juga
cukup menarik, dengan motif lengkung dan electric colors (warna elektrik) yang memberi kesan
seperti warna pelangi yang menghiasi dinding hotel ini.
Hotel Bumi dan Siola
Surabaya juga memiliki beberapa ikon arsitektur yang cukup dikenal, terutama di bagian
pusat kota. Antara lain eks Hotel Hyatt (sekarang Hotel Bumi) Surabaya di jalan Basuki Rahmat
dan Siola di pojok jalan Tunjungan. Kedua karya arsitektur ini juga ingin diwarnai secara virtual
oleh arsitek-arsitek dari dpavilion architects. Dengan memberi warna yang berbeda dengan yang
sebelumnya, maka gedung yang diwarnai itu akan memiliki tampilan baru yang lebih unik dan
menarik.
Eks Hotel Hyatt yang sebelumnya hanya punya satu warna tak luput dari sasaran, diberi
banyak macam warna-warna cerah dan menyolok, sehingga mengingatkan kita pada lapisan
demi lapisan dari kue lapis yang biasa kita makan. Jendela-jendela pada towernya pun diberi
beraneka warna pula, tingkat demi tingkat bangunan bangunan menjadi lebih terlihat bedanya
antara satu dengan yang lain. Lalu ada juga yang mengubah dinding polos eks Hotel Hyatt
dengan motif ranting dan dedaunan lengkap dengan kupu-kupunya. Dinding itu jadi lebih mirip
sebuah lukisan mural raksasa yang cukup menarik bagi yang melihatnya. Jika dibandingkan
dengan banyaknya iklan yang menjamur di jalan protokol ini, maka gambar di dinding ini seakan
menjadi oase bagi mata yang sudah “pedih” dengan sorotan iklan di sana-sini.
Zaman Casing, Zaman Kemasan
Di jaman ketika handphone bisa gonta-ganti casing seperti saat ini, mengapa gedung-
gedung tidak gonta-ganti warna, gonta-ganti make-up? Boleh-boleh saja. Sekarang adalah jaman
imagologi, segala sesuatu bisa diubah image-nya. Benda yang biasa bisa menjadi luar biasa,
benda yang murah bisa menjadi sangat mahal, benda yang tadinya diabaikan orang bisa membuat
mata kagum terbelalak.
Arsitektur di jaman kontemporer sangat berbeda dengan arsitektur di masa lalu. Ketika
masa arsitektur Modern, warna dibuat tunggal dan netral, tidak boleh diasosiasikan dengan
rujukan benda lain. Sekarang, warna bisa dibuat sesuka hati dan bahkan bisa diganti-ganti setiap
kali dibutuhkan. Ini memberi keuntungan juga, bangunan tetap bisa meng-kini tanpa harus
merombak struktur dan konstruksi bangunan yang jelas berbiaya mahal dan makan waktu lama,
tetapi cukup dengan mengubah warna dan motif wajah bangunannya saja. Pewarnaan seperti ini
juga bisa disesuaikan dengan tema-tema tertentu, misalnya Hari Ulang Tahun Kota Surabaya,
peringatah Hari Pahlwan dan lain-lain.
Sekarang jaman make-up bung, bangunan pun butuh “bedak dan gincu”.
Page 27
07
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Reka Surabaya Post 21 Desember2008, 28
Desember 2008 dan 4 Januari 2009.
Page 28
08
Surabaya Design Week 2008
Embrio Surabaya Kreatif
Jenius = 1% ide + 99% kerja keras
(Thomas Alva Edison)
Menanggapi tulisan saudara Tjahja Tribinuka di Jawa Pos Sabtu, 25 Oktober
2008 yang bertajuk “Mendiskusikan Desain Dengan Masyarakat”, cukup menarik. Saya
sangat setuju dengan apa yang dijabarkan oleh Tjahja Tribinuka bahwa desain tidak bisa
dipisahkan dari masyarakat sehingga harus dikomunikasikan dan didiskusikan, agar
masyarakat juga melek desain, tidak hanya jadi penonton pasif belaka. Di sini saya hanya
ingin melihat dari sudut pandang yang berbeda saja, terutama menjelang digelarnya
Surabaya Design Week 2008 (SDW08) mulai tanggal 3 sampai 9 Nopember 2008.
Sebulan yang lalu, Obed Bima Wicandra (Jawa Pos 24 September 2008) juga
sudah mengulas tentang tantangan Surabaya untuk menjadi kota kreatif. Ya, sebuah kota
kreatif memang tidak dibangun dalam semalam atau hanya dengan membalikkan telapak
tangan, tetapi memerlukan “iklim kreatif” yang tidak mudah untuk dirintis dan
diwujudkan, apalagi membuatnya untuk terus berkelanjutan. Nah, di sinilah SDW08
menjadi sebuah momentum yang cukup tepat untuk mendobrak dunia kreatif di Surabaya.
Dunia kreatif, dan juga industri kreatif di Surabaya sudah waktunya unjuk gigi, berani
memamerkan karya-karyanya untuk dilihat oleh publik, agar bisa mengukur: seberapa
kreatif dan seberapa tidak kreatifkah para desainer di Surabaya?
Ajang SDW08 ini awalnya dimotori oleh anak-anak muda yang tergabung di
deMaya (Desainer Muda Surabaya) yang kemudian didukung oleh beberapa dosen dan
para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Surabaya. Mereka ingin menunjukkan
eksistensi mereka di percaturan desain di Surabaya khususnya dan di Indonesia
umumnya. Jika Surabaya dianggap sebagai pinggiran (marjinal) dalam dunia desain di
Indonesia, hal itu justru menjadi sebuah potensi yang bagus untuk digali. Justru dari
pinggiran, kita bisa menunjukkan gerak maju yang lebih signifikan agar menjadi oposan
yang diperhitungkan. Sejak jaman Pangeran Pekik, Adipati Jayengrono, Sawunggaling
hingga jaman heroik 10 Nopember 1945, Surabaya adalah pinggiran yang kuat dan tidak
gampang ditaklukkan, bukan?
Industri Kreatif, Kota Kreatif
Industri kreatif adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan aktifitas
entrepreneur di mana nilai-nilai ekonomis digabungkan dengan muatan kultural. Di
jaman yang katanya post-industrial seperti saat ini, industri kreatif menjadi sebuah sektor
yang cukup menjanjikan di dalam perputaran ekonomi global. Banyak kota-kota di
berbagai belahan dunia mulai melirik sektor yang satu ini, seperti St Petersburg di Rusia
dan Helsinki di Finlandia, yang ingin menyusul Berlin atau Milan yang punya 50.000
industri kreatif skala kecil sebagai local industry, yang mampu meningkatkan daya saing
kultural dan sekaligus ekonomisnya.
Page 29
08
Salah satu unsur di dalam industri kreatif adalah desain, termasuk di dalamnya
advertising, arsitektur, kerajinan, fashion, desain produk, grafis hingga interior. Di
Surabaya ada banyak sekali institusi pendidikan dan profesional yang bergerak di bidang
desain tersebut. Tetapi, perkembangan desain di Surabaya tampaknya lebih banyak
sebagai epigon (pengekor) dibandingkan sebagai creator (pencipta). Ini dengan mudah
kita cermati pada iklan-iklan di sepanjang jalan, bentuk-bentuk arsitektur yang merajalela
di berbagai sudut kota, produk fashion yang dijual di gerai-gerai mall dan lain-lain.
Nah, di dalam SDW08 inilah kita bisa menilai kedigdayaan para desainer
Surabaya, apakah lebih berkelas pengekor ataukah kreator? Saya tidak menghakimi, ini
adalah wadah yang tepat untuk mawas diri dan menera “iklim kreatif” yang tumbuh di
Surabaya. Iklim kreatif hanya muncul jika para desainer bermental kreator, bukan
pengekor. SDW08 adalah embrio untuk menumbuhkan iklim kreatif di Kota Surabaya
tercinta ini. Sebagai embrio, masih panjang waktunya untuk terus tumbuh dan
berkembang agar benar-benar menjadi kota kreatif yang sebenanrnya.
Terbentuknya kota kreatif memerlukan strategi yang jitu juga, apa yang dilakukan
setelah SDW08? Hanya even selayang pandang ataukah even yang kontinyu dan ada
keberlanjutannya? Jika SDW08 adalah pemicu, tentunya akan ada gerakan yag lebih
besar sesudahnya, yang melibatkan lebih banyak lagi bidang-bidang lain di industri
kreatif seperti: film, televisi, radio, video, fotografi, musik, seni pertunjukan, permainan
interaktif, layanan dan peranti lunak komputer, riset dan pengembangan, penerbitan,
galeri seni, museum hingga cagar budaya (heritage). Jika semuanya bisa bergerak dalam
irama yang pas sebagai kreator, maka terciptanya Surabaya Kreatif bukan lagi mimpi di
siang bolong.
Jangan Tinggalkan Masyarakat
Di dalam sebuah kota seperti Surabaya, masyarakat merupakan elemen yang
sangat penting dalam perkembangan desain dan industri kreatif. Kita selama ini sering
memosisikan masyarakat sebagai pihak lain, sehingga ada pihak kami sebagai “desainer
yang kreatif”, dan pihak mereka sebagai “bukan desainer, tidak kreatif”. Pemosisian ala
oposisi biner inilah yang membuat desain justru teralienasi (terasing) dari masyarakat dan
kotanya. Jika kita berangkat dari premis yang demikian, masyarakat hanya akan jadi
penonton, jadi obyek penderita, jadi bulan-bulanan perkembangan desain yang kadang
tidak mereka mengerti.
Apakah kita akan membiarkan desain dan kreatifitas meluncur deras sendirian dan
masyarakat Surabaya tertinggal di belakang? Jika ingin mewujudkan Surabaya sebagai
kota kreatif, desainer harus menyatu dan bersinergi dengan masyarakat. Pada dasarnya
setiap orang adalah desainer, sehingga masyarakat juga harus dilibatkan dalam setiap
proses desain, terutama untuk desain fasilitas publik di mana masyarakat sebagai
penggunanya. Masyarakat harus diberi akses dan kesempatan untuk memberi masukan,
memberi kritik dan bahkan menentang desain yang dibuat. Surabaya kreatif bukan hanya
berarti desainer yag kreatif, tetapi juga masyarakat yang kreatif.
SDW08 juga dimaksudkan untuk memasyarakatkan desain dan mendesainkan
masyarakat. Jika desain menjadi sebuah proses dan aktifitas yang inklusif di kota
Surabaya, maka tidak sukar untuk menjadikan kota Surabaya menjadi kota kreatif.
Page 30
08
Desainer menjadi motor penggerak, masyarakat menjadi bahan bakarnya, maka akan
berjalanlah Surabaya sebagai kota yang bergerak dengan kekuatan kreatifnya.
Jika ditinjau dari ilmu hermeneutika (penafsiran), sebenarnya desainer di
Surabaya itu hanyalah penafsir dari permasalahan masyarakat dan kota Surabaya.
Penafsir yang peka bukanlah penafsir yang buta dan tuli, melainkan harus membuka mata
dan telinga untuk bisa menangkap permasalahan desain di kotanya. Jadi, desainer bisa
diumpamakan sebagai bidan, dia hanya membantu melahirkan bayi dari dalam
kandungan sang ibu. Demikian juga untuk kota Surabaya, jika kota dan masyarakat
Surabaya tidak “hamil” dengan permasalahan dan ide-ide desain, maka desainer juga
tidak mungkin untuk membantu melahirkan desain yang baik. Dalam SDW08 nanti, kita
akan bisa melihat sejauh mana pemahaman timbal-balik antara desainer dan masyarakat
Surabaya.
Industri kreatif, di sisi lain, harus kita sikapi dengan hati-hati juga. Industri
biasanya memosisikan masyarakat sebagai obyek, sebagai pasar, bukan sebagai pihak
yang ingin dirangkul dan ingin dibelajarkan. Desain sebagai industri yang bersifat
kapitalistik memang tidak dapat dihindari, tetapi seharusnya juga menoleh kepada
masyarakat pinggiran, yang mau mencari sesuap nasi saja susah. Justru golongan the
have not (tak berpunya) itulah yang lebih memerlukan kreatifitas para desainer. Apa
yang dilakukan Romo Mangun di bantaran Kali Code Jogjakarta adalah salah satu contoh
solusi desain arsitektural yang berpihak pada mereka yang lemah, yang terpinggirkan.
Desain bukan cuma urusan produk dan jasa yang harus dipasarkan, tetapi
bagaimana membuat solusi tepat bagi masalah kota dengan cara yang lebih elegan,
manusiawi dan bermartabat, dengan mengikutsertakan masyarakat kota sebagai subyek.
Mungkin ini yang dinamakan masyarakat convivial, yang bisa mengidentifikasi
masalahnya sendiri dan mencari pemecahannya dengan bantuan “bidan-bidan” desainer
dari industri kreatif. Hidup Surabaya Kreatif!
Tulisan ini pernah dimuat di Ruang Publik Metropolis Jawa Pos 7 Nopember 2008
Page 31
09
balada theme park dari dpavilion architects
Re
ada apa dengan re?
ada reconstruction, reaction, reposition
yang kita alih-lidahkan menjadi: rekonstruksi, reaksi dan reposisi
ada juga istilah yang agak “serem”
seperti: revolusi, reformasi dan juga preman, he he
tulisan ini memang ada hubungannya dengan “re”
sekaligus membawa re ke dalam permainan
anggap saja seperti main kelereng
toh theme park juga main-main dengan architecture
“architecture” tidak lebih mulia dari “nasi goreng” ataupun “koreng”
karena sama-sama mengandung “re”.
tulisan ini adalah gubahan mantra dengan guru lagu re
biarkan re bermain re!
Re Architecturecalcitrant
sering kita dengar kata “republik”
dari bahasa Yunani: res-kembali dan publica-orang banyak
tapi republik sudah identik dengan istilah tata negara
maka di sini ditulis dengan re-publik.
theme park tentunya tidak bisa direnggangkan dari publik
Jatim Park, WBL dan BNS rek!
untuk semua strata sosial, kaum berpunya bisa refreshing
kere pun bisa hore
theme park memang dari genre Disneyland Amerika
yang direproduksi di kantong-kantong budaya besar dunia
riuh-rendah mulai Eropa hingga Jepang dan Hongkong
bagaimana dengan mereka yang jauh di pinggiran?
Jatim Park, WBL dan BNS representasi theme park dunia ketiga
rakyat makin butuh rehat, liburan dan hiburan
apalagi di negeri yang sedang resesi bernama Indonesia
perlu rehabilitasi jiwa-raga, lahir-batin
Meminjam kata-kata Rendra:
kita boleh miskin – bahkan sampai sampai remuk
tapi masih punya kebanggaan sebagai representasi keberadaan
ini realitas bung!
Page 32
09
Tiga theme park ini jadi semacam reproduksi hiperrealitas
Menjual mimpi, dream
Biarkan rakyat kecil-gurem menikmati hiburan a la Barat
Meski kadang masih gemeinschaft makan lesehan bareng
Atau tempat sare dan cangkrukan
Mereka mencari-cari ruang (re)-publik
Yang semakin hilang karena digusur-gusur
dan Negara masih merem, tak peduli dengan manusia-manusia
Golongan Gareng-Petruk lihai membuat re-visi
Bisa mimikri seperti reptil bunglon
theme park yang literer, yang steril, netral, beku
Mereka bikin jadi ruang rekalsitran, ruang perlawanan
Meski mereka belum pernah membaca Henri Levebvre
theme park memang harus selalu multi-interpretasi
agar bisa merengkuh semua golongan
sekaligus melawan reduksi makna ruang
ketika ruang literer bicara ukuran, bakuan, angka dan hitam-putih
ruang rekalsitran bicara waktu, hidup, isyarat, ingatan dan trauma
di ruang literer, kebenaran digenggam rapat
di ruang rekalsitran, kebenaran selalu lepas alias mrucut
biarkan re memaknai re!
Re Architecturebellion
Disneyland adalah kiblat tren theme park global
Jatim Park, WBL dan BNS memang repetisi dari arsitektur global
repetisi yang mengandung rebellion (pemberontakan)
pinjam dan rekam punya mereka, dan direka
dikorelasikan dengan konteks tempatnya berada
Jatim Park dengan rentangan dan kepingan temanya
Tidak beda kerennya dengan theme park negeri lain
Ada jetcoaster, rumah pipa, labirin dan arena game zone
Dunia fantasi mini, perahu terbang yang bisa dinaiki serempak
Lalu arena gokart, bahkan science center
Bird park, Fish park, Reptile park menampilkan kekayaan nature kita
Di sini tidak ada Mickey Mouse atau Cinderella
Tak resah meski tanpa Pocahontas dan Puteri Salju
Yang ada justru sejarah lokal Jawa Timur mulai jaman pre-histori
Dari jaman batu hingga cerita keris patrem Empu Gandring
Ternyata yang lokal pun tak kalah menterengnya
Sebuah nurture, nguri-uri kekayaan budaya dan alam lokal
Page 33
09
WBL dengan tema laut dan dan area pesisirnya
Banyak rekan menyebutnya Jatim park kedua
Memang mirip, meretas jalan yang sama
Memunculkan theme park lokal yang representatif
WBL punya Arena ketangkasan, Bioskop 3D, Video game
Arena gokart, moto-cross, Boom-boom car dan lain-lain
Rumah Sakit Hantu dan arena permainan lain
Tak lupa merekatkan diri dengan konteks baharinya
Ada wahana relung-relung Sarang Bajak Laut,
Space-Shuttle, perahu terbangyang meregang nadi
Galeri keong dan kapal, playground anak dan remaja dengan tema laut
Juga game room yang direka bagaikan istana bawah laut
Bahkan ada Dunia Air dan kolam renang air laut juga
Di depan regol WBL ada souvenir shops yang menjual produk lokal
Serta makanan lokal yang murah-meriah, tidak mahal, beres lah!
Tak ketinggalan konteks religius setempat
Maka dibuat anjungan re-touring wali songo
Mulai Gresik hingga Cirebon
Meski ada pula yang agak anakronistik, agak tidak relevan
Seperti deretan kampung koboi dan rumah sakit hantu
Biarkan re men-dialektik re!
Re architecturecreation
Kata “rekreasi” lazim diartikan sebagai bersenang-senang
lepas diri dari centang perenang rutinitas
satu rel dengan piknik atau berwisata
padahal akar katanya re-kreasi, mencipta kembali
seperti reinkarnasi, menuju paras yang lebih kreatif
arsitek dalam merancang dan merencanakan theme park
harus bisa mencipta kreasi dan re-kreasi yang lebih baik lagi
Untuk bisa menjadi aresitek, resi yang mampu mencipta karya
yang bisa dibanggakan, sekaligus rejuvenasi ide-ide baru
agar bisa menjadi kreator, bukan epigon
hasrat mencipta yang baru tak boleh diredam
Gitu aja kok repot!
Biarkan re mencipta re!
Re
Page 34
10
Jatim Park Goyang Jawa Timuran
Tim Arsitek:
Edwin Nafarin (principal)
Kamawardhana Heksa Putra
Iwan Setiono
Rahmad Nuryanto
Susanto
Guntaryono
inilah kisah tentang Jatim Park
yang berslogan: “Taman Bermain dan Belajar”
di dalamnya lengkap wahana bermain dan belajar
untuk anak-anak sampai dewasa
dari yang ringan hingga yang menguras adrenalin
Jatim Park di Kota Batu ini
salah satu masterpiece dari dpavilion architects
theme park adalah model hiburan yang lahir di Barat
dan kemudian menjadi trend di seluruh dunia
Jatim Park tidak ingin meneruskan proses itu
tapi justru ingin membaliknya
jadi, tidak berangkat dari tema global
melainkan dari tema sangat lokal/setempat
berpijak pada lokalitas akan menemukan penjangkaran
terikat dengan bumi tempatnya berdiri
dengan kata lain: tidak ngambang!
Goyang Candi Candi Jawa Timur punya sosok yang khas
yang berbeda dengan Candi Jawa Tengah yang “gendut”
Candi Jawa Timur memiliki bentuk yang lebih “langsing”
dari bagian kaki ke bagian badannya mengecil
kemudian dari badan ke bagian kepala melebar lagi
dan bagian kepala ke atas mengecil dan meninggi
sampai ke puncaknya
Bentuk itulah yang kemudian di-sekarang-kan dalam perancangan gerbang masuk
(main entrance) taman wisata Jatim Park. Meskipun proses pengambilan bentuk itu
menghasilkan tampilan yang agak “berbeda”, tetapi secara umum masih terlihat jelas
jejak-jejak bentuk candinya, masih memberi image “kepala-badan-kaki” yang kuat.
Sebagai gerbang theme park, tentunya warna-warna yang dipakai juga disesuaikan
dengan tempatnya, maka dipakailah warna-warna biru-kuning yang menyolok, cerah
dan riang. Tetapi toh sentuhan warna terakota batu-bata candi Candi Jawa Timur juga
masih melekat, yakni di bagian “kaki” dan bingkai bovenlight kecil di atas pintu.
Page 35
10
Goyang Lingga-Yoni Lingga-Yoni merupakan artefak
yang biasanya terletak di lokasi candi
kelengkapan simbolik yang melambangkan kesuburan
simbol penyatuan antara laki-laki dan perempuan
laki-laki dilambangkan dengan phallus
yang menjulang ke atas sebagai lingga
sedangkan perempuan dilambangkan sebuah ampuan
yang berlubang sebagai yoni
di mana lingga bisa masuk ke dalamnya
atau ditegakkan di atasnya
Artefak lingga-yoni memang artefak yang jelas-jelas non-arsitektural, tetapi kemudian
dikinikan dalam tampilan arsitektural. Artefak yang tidak meruang dijadikan
bangunan yang meruang. Yoni-nya ditransformasi dan direpetisi menjadi bangunan-
bangunan kecil di Pasar Seni dalam kompleks Jatim Park, sedangkan lingga-nya
diwujudkan dengan julangan atap yang berbentuk silinder dan berdiri tegak
“menantang” langit. Jika diperhatikan, atapnya yang menggunakan ijuk juga sangat
berciri Nusantara, seperti honai Papua, dengan sudut yang cukup besar dan
sosoran/overstek yang menaungi ruang di bawahnya.
Goyang Punden Berundak punden berundak merupakan artefak juga
peninggalan yang lebih tua dari candi
ini merupakan perlengkapan upacara keagamaan
yang “asli” di Jawa/Nusantara
sebelum kedatangan agama Hindu
Candi Sukuh di Jawa Tengah
yang dibangun pasca-Majapahit
mungkin punya hubungan dengan punden berundak ini
Kemudian punden berundak tersebut dipakai untuk perancangan wahana Rumah
Hantu di kompleks Jatim Park. Sebuah pilihan yang tepat, biasanya lokasi punden
berundak dianggap wingit (keramat) oleh masyarakat sekitar, sehingga sangat cocok
bila di sini dipakai untuk wahana angker Rumah Hantu. Jika dilihat sepintas, memang
ini sebuah punden berundak yang ukurannya diperbesar menjadi “raksasa”. Tetapi
bukan hanya itu, pembesaran itu memiliki konsekuensi, yakni munculnya bidang-
bidang yang besar pada tembok bangunan. Bidang-bidang itu tentunya “menuntut”
untuk diisi dengan sesuatu, maka dihiaslah dengan ornamen-ornamen seperti relief
pada dinding candi, atau seperti ukiran pada gebyog omah Jawa. Bukankah arsitektur
Nusantara kaya dengan ornamen?
Goyang Ken Arok kebanyakan theme park di seantero dunia
dibuat dengan tema modern
agar orang mudah menangkap apa yang ditampilkan
misalnya dengan mengambil tokoh-tokoh superhero
Page 36
10
atau tokoh kartun yang sudah terkenal
seperti Superman, Mickey Mouse dan lain-lain
namun Jatim park ini tidak demikian
malah mengambil tema dari sejarah yang sangat lokal
kita tahu bahwa daerah sekitar Malang itu dahulunya
adalah pusat Kerajaan Singosari
yang didirikan oleh Ken Arok
yang terkenal dengan cerita Keris Empu Gandring-nya
Maka, sejarah pendirian kerajaan oleh Ken Arok dengan cerita keris Empu Gandring
menjadi latar belakang utama taman rekreasi ini. Problem dalam proses ini adalah
bagaimana merubah yang intangible menjadi tangible. Selama ini, belum ada
peninggalan atau artefak yang dengan jelas menggambarkan bagaimana sosok Ken
Arok, Ken Dedes, Empu Gandring dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan intuisi
yang kuat dari tim arsitek, untuk mewujudkan statue besar Ken Arok yang menjadi
latar belakang area rekreasi dan belajar ini. Ken Arok yang berwatak keras, pemberani
dan cenderung kasar digambarkan dengan wajah yang “sangar” dan rambut terurai
panjang, tangan kanannya seperti mau mencengkeram dan tangan kirinya memegang
keris Empu Gandring.
Akhir Goyangan demikianlah goyang Jawa Timur
yang di-kini-kan dalam arsitektur
di Jatim Park kebanggaan Kota Batu
jika sudi, mampirlah dulu
kami setia menunggu
Surabaya, akhir Februari 2009
Page 37
11
WBL - Wisata Bahari Lamongan Tanjung Kodok yang Melompat Jauh
Tim Arsitek:
Edwin Nafarin (Pricipal)
Kamawardhana Heksa Putra
Iwan Setiono
Nikko Lendra Herriyanto
Rahmad Nuryanto
Susanto
Deskripsi Awal
Wisata Bahari Lamongan (WBL) merupakan karya dpavilion architects yang
terletak di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Indonesia. Sebelum tahun 2000, daerah
Lamongan lebih dikenal sebagai daerah yang terbelakang jika dibanding daerah-daerah
lain yang ada di Jawa Timur. Ketika musim kemarau, Lamongan mengalami kekeringan,
dan ketika musim hujan mengalami banjir. Di masa lalu, sepertinya sulit bagi Lamongan
untuk bisa maju seperti daerah-daerah lain. Bahkan, Lamongan identik dengan
kemiskinan, sehingga banyak warganya yang merantau ke daerah lain untuk mencari
penghidupan yang lebih baik.
WBL ini merupakan sebuah theme park yang banyak mengeksplorasi konsep-
konsep lokal di Lamongan, seperti tema pantai karena theme park ini terletak di pantai
yang dulunya dikenal sebagai Tanjung Kodok. Juga tema Islam, karena Lamongan tidak
bisa dipisahkan dari sejarah penyebaran Islam di Jawa di masa lalu. Hampir semua kota
di pantai utara Jawa (mulai dari Surabaya sampai Banten) punya jejak penyiaran Islam
dan menjadi daerah kantong muslim tradisional, termasuk salah satunya adalah
Lamongan.
WBL sama sekali bukan tiruan Disneyland yang sudah mendunia, atau Dufan
(Dunia Fantasi) di Jakarta (ibukota Indonesia), tetapi WBL adalah sebuah theme park
seluas 17 hektar dengan 50 lebih wahana permainan yang berdasar pada kere bisa hore
(rakyat kecil bisa bergembira). Selain menggali konsep lokal, juga tetap memberikan
hiburan permainan seperti di tempat-tempat wisata lain di dunia, dengan harga tiket
masuk yang terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah. WBL juga menyediakan
stan-stan (kios) bagi masyarakat sekitar untuk berjualan. WBL juga mampu mengangkat
PAD (Pendapatan Asli Daerah) Lamongan, sehingga Lamongan menjadi daerah yang
cukup maju dan disegani di Jawa Timur.
Proyek ini bermula ketika Pemerintah Kabupaten Lamongan merasa perlu untuk
mengembangkan obyek wisata yang ada di daerahnya. Banyak obyek wisata yang
sebetulnya potensial, tetapi masih dikelola secara konvensional sehingga belum menjadi
andalan untuk meningkatkan perekonomian daerah. Salah satunya adalah wisata Tanjung
Kodok, sebelumnya hanya wisata pantai biasa saja dengan pengunjung yang minim
karena tidak adanya fasilitas penunjang yang memadai. Kemudian dengan menggandeng
pihak swasta, obyek wisata ini disulap menjadi sebuah theme park besar seluas hampir 17
hektar.
Page 38
11
Memasuki kompleks WBL, anda akan disambut sebuah patung kepiting raksasa
di bagian depan, kemudian anda bisa masuk ke lobby yang dikelilingi oleh toko-toko
souvenir yang dikelola oleh masyarakat sekitar WBL. Selanjutnya anda bisa masuk ke
dalam wahana demi wahana yang ada di dalamnya. Sebagian besar wahana
diperuntukkan bagi semua umur, sehingga keluarga-keluarga yang datang bisa menikmati
obyek wisata ini bersama-sama.
Material, Struktur dan Konstruksi
Material yang dipakai di Wisata Bahari Lamongan ini yang dominan adalah
material beton bertulang. Sebenarnya strukturnya adalah struktur konvensional dengan
kolom dan balok biasa, tetapi ada beberapa bagian bangunan yang diselubungi beton
dengan tulangan kawat kassa untuk menampilkan bentuk-bentuk yang lebih atraktif dan
menarik. Sehingga kesan konvensional tadi menjadi tersamarkan dengan selubung
atraktif yang ada di luarnya itu.
Dengan cara itu, biaya untuk membuat bentuk-bentuk yang “aneh” bisa ditekan
seminimal mungkin karena tidak membutuhkan material yang mahal dan sulit didapat.
Juga dengan permainan warna di berbagai tempat yang membuat kompleks ini memiliki
nuansa imajinasi yang tinggi. Jadi, material, struktur dan konstruksinya memang
diarahkan ke tujuan ini. Jelas bahwa imajinasi adalah tulang punggung keberhasilan
sebuah theme park.
Ada juga beberapa wahana yang dibuat dengan cara “letting be”. Seperti ketika di
lokasi ini secara tak sengaja ditemukan gua bawah tanah. Maka gua tersebut dibuat
menjadi sebuah wahana bernama insectarium yang berisi ribuan serangga awetan yang
disimpan dalam kotak-kotak kaca, untuk memperkenalkan dunia serangga (insecta)
kepada masyarakat. Di sekitar WBL ini juga ada industri lokal berupa penambangan batu
putih atau batu kapur yang diambil dari gunung-gunung kapur di sekitar Paciran, maka di
sini juga memakai material lokal dalam pembuatan karya arsitektur ini. Material lokal ini
lebih cocok dengan kondisi geografis di pesisir ini yang panas dengan hembusan angin
laut yang kencang.
Pengaruh dan Pentingnya WBL
WBL terletak di jalur Daendels (Jalan Raya Pos) di pantura (pantai utara Jawa),
jalur ini sekaligus juga sebagai jalur wisata ziarah Wali Songo (sembilan wali) bagi
sebagian besar masyarakat muslim di Jawa. Sembilan wali penyebar Islam di Tanah Jawa
dimakamkan di kota-kota pesisir utara Jawa, salah satunya adalah Sunan Drajad yang
makamnya terletak sekitar 3 kilometer di sebelah timur WBL.
Theme park a la WBL ini memiliki salah satu wahana yang unik, yaitu: Anjungan
Wali Songo, wahana ini merupakan wahana pendidikan untuk memberi gambaran tentang
penyebaran Islam di Jawa dan juga jalur legendaris wisata ziarah Wali Songo di Jawa,
yang dilengkapi dengan miniatur peninggalan Islam dan miniatur makam-makam dari
sembilan wali tersebut.
Di halaman parkir WBL ini terdapat sebuah masjid yang cukup besar, sebagai
sebuah penanda bahwa meskipun WBL ini merupakan sarana hiburan publik, tetapi tetap
Page 39
11
memiliki ciri religius sebagai daerah mayoritas muslim yang kuat, sehingga masjid tetap
menjadi titik orientasi religius yang penting.
WBL membuat masyarakat Lamongan menjadi terbuka terhadap kemajuan.
Dalam arti lebih terbuka terhadap perkembangan baru dari pariwisata modern yang
memberikan keuntungan bagi mereka untuk menangkap peluang, ada beberapa penduduk
sekitar yang menyewa kios cindera mata atau kios makanan di area WBL, banyak juga
yang bekerja di kompleks Hotel Tanjung Kodak Beach Resort yang merupakan sarana
penunjang WBL. Masyarakat juga menjadi terbuka terhadap perbedaan, karena
wisatawan yang datang tentunya berasal dari daerah-daerah lain yang berbeda adat,
agama maupun kebiasaan dengan warga setempat.
Tulisan ini sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikirim ke Jenewa-Swiss,
untuk melengkapi dokumen ketika WBL masuk menjadi nominasi dalam Aga Khan Award
for Architecture tahun 2009.
Page 40
12
BNS Sang Pemicu yang Spektakuler
Tim Arsitek:
Edwin Nafarin (Principal)
Iwan Setiono
Wandoko
M. Arifin
Susanto
BNS atau Batu Night Spectacular rancangan dpavilion architects ini merupakan
obyek wisata yang termasuk baru di kota Batu – Jawa Timur yang dibuka (soft opening)
pada 30 Nopember 2008. Obyek wisata yang unik ini memiliki spesialisasi malam hari
(night), ini merupakan suatu hal yang baru juga, karena kebanyakan wisata sejenis hanya
buka pada pagi hingga sore saja. Dengan mengeksplorasi unsur-unsur cahaya dan warna,
sehingga ketika malam hari BNS benar-benar mandi cahaya yang berwarna-warni,
berkerlap-kerlip, menjadi pemandangan spektakuler dan tentu saja sangat mencolok di
gelapnya malam kawasan Oro-oro Ombo di kota Batu. Dengan adanya obyek wisata
malam ini, Kota Batu menjadi lebih “hidup” dan “bergairah” di malam hari.
Konsep dan Sajian
Konsep yang diambil dalam perancangan BNS ini adalah “dari gelap menuju
terang”, sehingga sajian yang ada di dalamnya sangat berkaitan dengan cahaya, yang
dibuat seterang mungkin untuk menaklukkan gelapnya malam. Pintu masuk atau
entrance di BNS ini diletakkan di tengah-tengah dari areanya yang memanjang. Untuk
menarik pengunjung agar menikmati semua wahana yang ada, maka sajian yang paling
menarik diletakkan di ujung-ujung area. Di bagian paling kiri ada Taman Lampion, yang
sangat menarik pemandangannya pada malam hari. Sedangkan di paling kanan ada Air
Mancur Menari, yang bisa mengikuti irama musik yang berganti-ganti, mulai dangdut,
pop hingga reggae.
Di BNS ini ada banyak macam hiburan yang ditawarkan, mulai hiburan untuk
anak-anak hingga orang dewasa. Ada foodcourt besar dengan atap berupa layar raksasa
yang memanjang yang bisa berubah-ubah tampilannya, di situ juga ada air mancur
menari dan berwarna-warni untuk menghibur para pengunjung. Ada juga lampion garden
(taman lampion) yang berisi lampion dengan berbagai macam bentuk, mulai bentuk
hewan yang lucu-lucu, bunga, boneka, mobil hingga menara yang bercahaya. Banyak
juga permainan-permainan untuk anak-anak, mulai dari mandi bola, bom-bom car,
karousel atau komidi putar, serta masih banyak bentuk permainan atau game yang lain.
Di sini juga terdapat sebuah pasar wisata malam bagi pengunjung yang ingin membeli
barang-barang kerajinan atau cindera mata.
Page 41
12
Pemicu Wisata
BNS nampaknya benar-benar akan menjadi menjadi trigger (pemicu)
perkembangan wisata di kota Batu. Nantinya, Batu bukan hanya menjadi Kota Wisata
seperti yang selama ini kita kenal, tetapi akan dikembangkan menjadi sebuah Sentra
Wisata (Pusat Wisata) yang spektakuler. Sentra Wisata memiliki maksud bahwa ketika
wisatawan berkunjung ke Batu, mau wisata model apa pun tersedia, mulai wisata yang
artificial (buatan) hingga wisata alam, mulai wisata santai berleha-leha hingga yang
menguras adrenalin. Sehingga pada saatnya nanti, berkunjung ke Batu menjadi keharusan
yang tak terelakkan bagi setiap orang. Membuat orang terobsesi: “Jangan bilang pernah
berwisata jika belum pernah datang ke Batu, apalagi selalu ada sajian wisata baru setiap
tahun”.
BNS ini merupakan sebuah terobosan baru. Sebelumnya, di kota Batu hanya ada
beberapa obyek wisata yang buka pada pagi sampai sore hari. Sedangkan pada malam
hari hampir tidak ada obyek wisata representatif yang buka. Sehingga jika malam hari
kota Batu layaknya“kota mati”, hanya ada beberapa spot yang menjadi pusat keramaian
orang-orang pada malam hari seperti di sekitar Alun-alun di pusat kota dan di Payung,
berupa jajaran warung-warung kecil di tebing-tebing yang berada di antara Batu dan
Pujon, Kabupaten Malang.
Harapan
Dengan adanya BNS, Kota Batu diharapkan bisa menggeliatkan potensi
wisatanya pada malam hari juga, agar lebih banyak wisatawan yang datang ke kota Batu
dan lebih lama tinggal. Sebagai trigger (pemicu), tentunya nanti akan ada banyak lagi
obyek wisata yang akan dibangun di kota Batu untuk menjadikannya sebagai Sentra
Wisata. Dalam hal ini, Batu akan berbenah dengan penyebaran obyek wisata yang merata
di seluruh kota, menjadi node-node (simpul-simpul keramaian) baru dan bahkan
landmark-landmark (penanda-penanda tempat) baru. Hal itu masih sangat
memungkinkan, mengingat kota Batu masih berusia sangat muda, dan perkembangannya
ke depan masih punya banyak kemungkinan.
Seperti halnya karya-karya dpavilion yang lain yang bertema wisata, BNS ini juga
sangat kental dengan image “kere bisa hore”, maksudnya: rakyat kecil pun bisa
bergembira. Dengan tiket masuk yang terjangkau oleh siapa pun, semua kalangan bisa
menikmati obyek wisata ini. Jadi, masyarakat golongan atas sampai golongan menengah
ke bawah pun masih bisa menikmati wisata malam yang spektakuler di kota Batu ini,
sebuah landmark baru bernama BNS - Batu Night Spectacular. Apakah anda sudah
mengunjunginya?
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 7 Desember
2008
Page 42
13
Museum Satwa yang Mengguncang dan Mengejutkan
Tim Arsitek:
Edwin Nafarin (principal)
Kamawardhana Heksa Putra
Margaretha Lukmanto
Lily Ferina
Rahmad Nuryanto
Museum Satwa dan Jatim park 2
Kota Batu semakin mengukuhkan keberadaannya sebagai Kota Wisata yang
tersohor di Indonesia. Makin hari wahana wisata yang ada di kota ini makin bertambah
dan makin lengkap. Setelah ada Jatim Park, dan akhir tahun 2008 muncul BNS (Batu
Night Spectacular), sekarang di awal 2010 muncul objek wisata baru Jatim Park 2 yang
dimulai dengan pembukaan Museum Satwa. Museum ini merupakan salah satu sajian
utama dari Jatim Park 2 yang nantinya masih akan terus dilengkapi dengan bangunan-
bangunan yang lain juga.
Museum merupakan institusi permanen yang melayani kebutuhan publik dan
bersifat terbuka, dengan melakukan kegiatan koleksi, konservasi, riset dan komunikasi
terhadap bidang ilmu tertentu. Selain itu, museum juga memamerkan benda nyata kepada
masyarakat untuk keperluan studi, pendidikan dan kesenangan (wisata, hiburan). Di sini,
Museum Satwa menampilkan segala hal yang berhubungan dengan seluk-beluk dunia
satwa. Mulai dari hewan kecil hingga yang raksasa, mulai yang hidup jutaan tahun yang
lalu hingga di masa kini.
Tampak luar museum ini mengingatkan kita pada bangunan ala Yunani Kuno,
seperti Parthenon di Athena. Ini sebuah upaya parodik dengan meminjam image klasik
Barat sebagai sebuah “ke-masalalu-an”, yang menunjukkan bahwa museum merupakan
gedung untuk menyimpan kekayaan masa lalu. Tetapi juga bisa banyak tafsiran atas hal
ini, bisa sebagai jejak bahwa asal museum memang dari Barat (yang awalnya dibuat oleh
orang Barat), bisa juga sebagai sindiran bahwa kita belum bisa melepaskan diri dari
bayang-bayang arsitektur Barat dan juga pengetahuan Barat..
Ragam Sajian
Sajian yang disuguhkan kepada pengunjung di dalam Museum Satwa ini sangat
beragam, di dalamnya ada sekitar 84 diorama satwa dari berbagai penjuru dunia, ada
yang dari dalam negeri maupun luar negeri. Diorama tersebut dibuat berukuran besar,
sehingga pengunjung bisa mengamati dan melihat diorama ini dengan puas. Diorama ini
memberi gambaran yang seakan-akan nyata tentang kehidupan satwa di habitatnya di
alam liar dengan menggunakan hewan awetan murni. Jadi, hewan awetan dibuat agar
“hidup lagi” dengan membuat rekaan persis seperti habitat alaminya.
Juga terdapat insektarium di sini, yang berisi kurang-lebih 5000 jenis serangga
yang didapatkan dari berbagai tempat seperti Peru, Papua Nugini, Kolumbia, Malaysia
dan bahkan dari Pulau Madagaskar di pantai timur Afrika, tak ketinggalan juga dari hutan
Page 43
13
Indonesia. Pengunjung juga bisa menikmati fish diorama berupa diorama kehidupan
bawah air. Baik kehidupan di air tawar seperti sungai, danau maupun rawa, juga di air
laut di beberapa kedalaman yang berbeda-beda. Di sini pengunjung seperti dibawa di
kedalaman air dan melihat langsung ikan di habitatnya.
Tak ketinggalan, terdapat diorama pemandangan alam dari berbagai tempat yang
berbeda di berbagai belahan benua. Seperti diorama pemandangan alam yang berbatu,
bersalju, hutan yang sedang terbakar dan lain-lain. Sajian lain yang cukup menarik adalah
koleksi fosil, fosil yang dipamerkan di sini adalah fosil tiruan dari bahan fiberglass yang
dibuat dengan memberdayakan seniman-seniman lokal Batu sendiri. Fosil-fosil buatan ini
akan memberi pengetahuan kepada pengunjung bagaimana bentuk fosil itu dan
bagaimana para ahli satwa purbakala merekonstruksi gambaran satwa yang hidup di masa
jutaan tahun yang lalu agar bisa dinikmati oleh orang di masa kini.
Museum Satwa juga dilengkapi fasilitas pendukung seperti Teater, yang secara
periodik menyajikan film-film tentang satwa dan kehidupannya di alam liar, ditambah
dengan pelengkap lain seperti simulasi anatomi satwa agar pengunjung bisa mengetahui
seluk-beluk satwa dengan lebih baik, bahkan sampai ke organ dalam dan sistem
kehidupannya. Jika masih kurang puas dengan penjelasan tentang satwa, maka para guide
yang profesional siap memandu wisatawan untuk menerangkan dan memberi informasi
yang dibutuhkan oleh pengunjung.
Akhiran
Museum Satwa ini dirancang oleh dpavilion architects dari Surabaya. Selama ini,
dpavilion architects memang banyak merancang bangunan yang ada kaitannya dengan
wisata dan theme park, sehingga lama-kelamaan hal itu menjadi salah satu spesialisasi
yang khusus karena sudah sering menangani rancangan yang berbau theme park seperti
Museum Satwa ini.
Dari hasil wawancara dengan principal dpavilion, yaitu Edwin Nafarin, Museum
Satwa ini merupakan tahap awal dari pengembangan Jatim Park 2 secara keseluruhan,
nantinya di bagian tengah kompleks ini akan ada pula Hotel dan Resto berbentuk pohon
yang sangat besar. Sedangkan di sisi paling kanan ada Secret Zoo, kebun binatang dengan
konsep kontemporer. Kita tunggu saja kejutan-kejutan berikutnya di Kota Batu.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 7 Pebruari 2010
Page 44
14
Mengkinikan Nusantara
Pada Mulanya adalah Gazebo Tanpa Paku Menurut petuah bijak, membuat sebuah gebrakan sebaiknya dimulai dari hal-hal
yang kecil. Hal yang kecil itu nantinya akan menggelinding bagai bola salju dan menjadi
besar. Mungkin petuah itulah yang menjiwai bahasan tentang karya arsitektur yang
berupa gazebo ini. Gazebo memang bukanlah bangunan besar, tapi hanya bangunan kecil
saja yang lebih sering menjadi tambahan, bisa diletakkan di halaman atau di taman.
Dengan berangkat dari bangunan kecil gazebo inilah kemudian bisa dilakukan sebuah
penggalian khazanah arsitektur Nusantara yang “subversif” terhadap bakuan arsitektur
Barat.
Seorang aktivis di forum deMAYA (desainer muda Surabaya) yang juga seorang
arsitek bernama Mohammad Cahyo Novianto, biasa dipanggil MADcahyo, memulai dari
gazebo di belakang sebuah rumah di daerah Rungkut, Surabaya untuk menelisik kembali
ke-Nusantara-an arsitektur di masa kini. Terinspirasi oleh konstruksi pada arsitektur Jawa
(juga arsitektur Nusantara) yang tanpa paku, MADcahyo berusaha melacak kembali
konstruksi purus-bolongan yang di masa lalu pernah menjadi sebuah trend kosmopolit
yang membentang di jagat Nusantara kita.
Meskipun yang dirancang hanya sebuah gazebo dengan dimensi yang begitu
kecil, tetapi logika yang dipakai untuk membuatnya tidak main-main. Konstruksi purus-
bolongan yang mengandalkan kuncian antar elemen kayu yang tanpa paku, sebenarnya
lebih cocok untuk kondisi geologis di Nusantara kita yang buminya “tidak stabil”. Karena
ketika terkena guncangan, konstruksi ini justru merapatkan kunciannya. Kalau pun ada
yang longgar, bisa dengan mudah dikencangkan kembali.
Jika ditinjau dari kacamata “modern”, mungkin yang dilakukan MADcahyo ini
dianggap kurang gaweyan (kurang kerjaan). Ketika teknik konstruksi memakai paku
sudah jamak dipakai karena lebih cepat dan efisien, mengapa malah “melarikan diri” dan
kembali ke masa lalu? Ketika paku melimpah-ruah dan murah, mengapa mencari-cari
sesuatu yang lebih rumit dan sulit dibuat?
Sebenarnya ini bukan masalah kembali ke masa lalu atau mencari kerumitan,
tetapi berupaya untuk menguak bagaimana agar kecerdasan masa lalu yang lokal (genius
loci) itu tidak hilang begitu saja, tetapi bisa dikinikan sebagai sebuah temuan mutakhir.
Dengan kata lain, bagaimana agar ilmu konstruksi yang Nusantara tidak hanya menjadi
bahan bacaan atau pengamatan di atas kertas, tetapi bisa dijadikan acuan juga untuk
merancang (mendesain) di dalam realitas arsitektural.
MADcahyo tidak membuat persis seperti konstruksi tajug Jawa (sebagai
rekonstruksi), tetapi mengambil “esensi” yang paling mendasar (kalau mau bisa disebut
dekonstruksi), yakni dengan purus-bolongan yang bisa dilogika dengan ilmu konstruksi
masa kini. Ini juga bukan sebuah rasionalisasi, tetapi sebuah aksi yang bisa menunjukkan
kebenaran logis konstruksi purus-bolongan.
Karena masih tahap awal, MADcahyo banyak melakukan trial and error, dan itu
justru memperkokoh proses penemuannya. Dia bisa tahu kelebihan dan kelemahan
konstruksi yang dia buat dan dibandingkan dengan konstruksi Nusantara. Dari situ
Page 45
14
sekaligus belajar untuk mengkombinasikan ke-Nusantara-an dan ke-kini-an, menjadi
sebuah konstruksi yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sekarang MADcahyo masih bereksperimen dengan gazebo, di masa mendatang
sangat mungkin dipakai untuk bangunan yang lebih besar, misalnya untuk rumah tinggal.
Jika itu bisa terwujud, konstruksi purus-bolongan akan menemukan jaman ke-kini-annya
secara lebih nyata.
Belajar dari Konstruksi Kayu Nusantara Setelah membahas tentang gazebo karya Mohammad Cahyo Novianto
(MADcahyo) yang dibuat tanpa paku, dengan menggunakan konstruksi purus-bolongan
yang diilhami dari konstruksi bangunan kayu Nusantara, sekarang kita selami lebih dalam
tentang konstruksi gazebo tersebut. Konstruksi purus-bolongan ini mengandalkan pen
(purus) dan lubang (bolongan) untuk mengikat antar-kayu, selain itu juga memakai
coakan (lubang yang tak sampai tembus). Penggunaan konstruksi kayu a la Nusantara ini
dapat dilihat dari beberapa aspek yang mengikutinya:
Aspek Stabilitas
Membuat sebuah konstruksi erat kaitannya dengan keamanan konstruksi itu
sendiri, bagaimana agar konstruksi itu bisa berdiri dan memberi rasa aman kepada orang
yang mendiami bangunan yang didirikan. Kata yang penting di sini adalah: kuncian, agar
kayu tersebut menjadi stabil (tidak meliuk atau merenggang), tidak bisa bergerak lagi
ketika diletakkan dalam sistem konstruksi.
Stabilitas konstruksi pada ikatan antar kayu ini bersifat elastis. Berbeda misalnya
dengan konstruksi beton bertulang yang rigid, yang jika retak serambut pun sudah tak
bisa disambung lagi. Jika konstruksi kayu ini terkena guncangan yang keras, ikatan antar
kayu hanya akan menjadi longgar saja, jadi bisa dengan mudah dikencangkan lagi dengan
memperketat pertemuan-pertemuan antar coakan atau antara purus dan bolongan.
Aspek Filosofis
Di dalam konstruksi purus-bolongan, penamaannya sering menggunakan metafor
pertemuan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, purus yang berupa pen agak besar
yang berlubang diberi nama purus wadon, sedangkan pasangannya yang berupa pen kecil
tanpa lubang disebut purus lanang. Penamaan tersebut jelas bukan penamaan asal-asalan.
Ada sebuah jejak filosofis di dalamnya. Purus-bolongan bisa ditarik ke filosofi lingga-
yoni, lambang penyatuan laki-laki dan perempuan, ibu bumi dan bapa akasa.
Jadi, di dalam konstruksi purus-bolongan itu terkandung sebuah pepenget
(pengingat) tentang asal dan tujuan semua ciptaan (sangkan paraning dumadi). Bahwa
mendirikan sebuah griya (termasuk gazebo ini) tidak hanya berhubungan dengan ilmu
konstruksi an sich, tetapi berhubungan juga awal mula dan akhir penciptaan. Gazebo itu
bukan barang mati, tetapi “benda hidup” yang “senafas” dengan kehidupan manusia.
Aspek Filologis
Ketika membuat gazebo tanpa paku, MADcahyo secara sadar atau tidak telah
melestarikan bahasa arsitektur (Nusantara) pula. Jika sebuah sistem konstruksi tidak
pernah atau jarang digunakan, maka otomatis terminologi (peristilahan) di dalamnya juga
Page 46
14
menjadi jarang terpakai. Apalagi, kalangan arsitektur di Indonesia sering mengalami
linguistic laziness, lebih suka dengan istilah yang mentereng dari luar. Misalnya, istilah
“site plan” jauh lebih popular dibanding “rencana tapak”.
Di dalam gazebo yang mengambil ide dari konstruksi Jawa ini, maka MADcahyo
juga memakai nama-nama elemen kayu sesuai dengan nama-nama dalam konstruksi kayu
Jawa. Jadi tetap memakai istilah dada peksi, sirah gada, saka guru, sunduk kili, sunduk
bandang dan lain-lain. Meskipun masing-masing elemen itu telah mengalami lompatan
kontemporarisasi yang demikian jauh, tetapi masih tetap bisa dinamai dengan nama-nama
tradisionalnya.
Aspek Ekologis
Dalam perancangan gazebo, MADcahyo menggunakan bahan kayu bekas
bongkaran rumah, dengan kata lain menggunakan material kayu daur ulang. Ini
merupakan sisi positif, kayu bongkaran masih bisa dimanfaatkan kembali untuk membuat
bangunan baru. Ini bisa dikategorikan sebagai ecological architecture, memanfaatkan
bahan yang sudah “dibuang”.
Kadang-kadang keterbatasan seperti ini justru memicu kreatifitas. Misalnya, di
dalam kayu bongkaran itu MADcahyo tidak menemukan kayu yang cukup besar untuk
saka guru, maka dibuatlah saka guru dari dua buah kayu yang disikukan tegak lurus.
Atau ketika MADcahyo kesulitan menemukan kayu yang cukup panjang untuk membuat
bentang sesuai lebar sisi gazebo, maka posisi saka guru diputar 45º agar bentang antar
saka guru tidak terlalu lebar, tetapi tetap mendapat luasan ruang yang sama.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 26 April 2009
dan 3 Mei 2009
Page 47
15
Majapahit dan Layer Sejarah
Bumi ini adalah sebuah bola maharaksasa yang dihuni manusia sejak puluhan ribu tahun
yang lalu. Dari silih-bergantinya generasi manusia yang tumpang-tindih di atas bumi, maka bumi
ini sebenarnya dilingkupi oleh lapis demi lapis sejarah. Secara fisik pun, bumi ini dibentuk oleh
lapisan-lapisan yang dimuntahkannya sendiri, seperti lewat peristiwa gunung meletus atau
semburan lumpur seperti yang terjadi di Porong Sidoarjo. Jadi, tanah yang kita injak ini di
dalamnya ada layer (lapisan) yang secara vertikal menunjukkan sejarah bumi itu sendiri,
termasuk sejarah manusia yang pernah mendiaminya yang kita ketahui dari peninggalan
peradaban dan kebudayaan masa lalu.
Dari sudut pandang ini, jelas bahwa tempat atau place itu tidak satu, melainkan
bertingkat-tingkat. Misalnya, ada layer Surabaya masa Kahuripan, Kediri, Singosari dan
Majapahit, lalu layer Surabaya masa Demak sampai Mataram, layer Surabaya masa Kolonial
Belanda dan Jepang, ada layer Surabaya masa Kemerdekaan hingga kini. Layer-layer tersebut
bukan seperti lapisan kertas dalam buku yang tertata dan teratur, layer sejarah bumi itu saling
silang-menyilang, saling menembus, campur-aduk dan tak teratur. Jadi bisa dianggap sebagai
buku dengan kertas-kertas yang transparan, halaman-halamannya bisa saling menembus dan
tulisannya bercampur antara satu dan yang lain.
Ketika Balai Pemuda yang dari layer Kolonial bertemu dengan Garden Palace Hotel dari
layer Modern di seberangnya, di situ kita bisa menikmati dialog layer yang bagus. Masalahnya
bukan antara masa lalu, saat ini dan nanti, melainkan kesekarangan (presentness). Balai Pemuda
bisa menyekarang ketika bangunan seusianya yang lain sudah musnah, lalu menyapa kita di
generasi kini, bersama-sama dengan bangunan yang baru. Apakah Balai Pemuda adalah masa
lalu? Sama sekali bukan, dia adalah ke-kini-an bagi kita. Yang menganggap Balai Pemuda
adalah bangunan masa lalu adalah golongan nostalgik yang alur-pikirnya bergerak ke belakang,
bukan ke depan.
Balai Pemuda adalah layer lama yang mampu menembus masa kini. Sejenak kita
kesampingkan ke-masalalu-annya sebagai bangunan Kolonial. Jika kita tengok kegunaannya
masa sekarang, bangunan ini dijadikan sebagai pusat kegiatan seni dan budaya di kota Surabaya
mulai seni-budaya yang tradisional hingga kontemporer, sama sekali tak tampak kegunaan masa
lalunya, meski masih ada jejaknya. Tak lagi ada sinyo dan noni Belanda yang dansa-dansi atau
bersantai, tak ada lagi tulisan “verbodden voor inlaander”, layer lama itu sudah tertutup oleh
layer baru.
Majapahit, Mojokerto
Media massa akhir-akhir ini cukup gencar menguak kasus seputar situs Majapahit di
Trowulan Mojokerto, di mana pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit) dianggap sebagai
aksi perusakan situs. Banyak pihak, terutama dari kalangan ilmiah, yang menentang
pembangunan PIM karena pembangunannya yang cenderung “pragmatis” dan dikhawatirkan
justru makin memperparah rusaknya keberadaan situs Majapahit yang masih ada di bawahnya.
Pondasi PIM ternyata bertabrakan dengan pondasi bangunan lama dan sumur dari era Majapahit.
Ada yang mengusulkan agar lokasi pembangunan PIM dipindahkan diluar situs agar tidak
Page 48
15
“membahayakan” peninggalan historis yang ada. Dengan kata lain, situs harus dijaga
kemurniannya, bangunan baru yang dibangun di atasnya lebih dianggap sebagai “pencemar”
yang tak boleh mengotori “kesucian” situs yang dimaksud.
Gampangnya saja, jika sejarah kita baca sebagai sejarah yang lintas waktu, maka waktu
yang berlalu jelas tak akan pernah kembali (dari sudut sejarah model Barat yang kita pakai).
Namun, jika sejarah kita baca sebagai lintas layer yang berlapis-lapis di atas bumi, maka kita
bisa sedikit berpikir bahwa sebenarnya di dalam tanah ini tersimpan ke-masalalu-an yang bisa
dimunculkan untuk menyekarang, persis seperti kasus Balai Pemuda yang saya uraikan di atas.
Apakah bijak jika Balai Pemuda kita netralkan dari kegiatan apapun untuk menjaga
kemurniannya? Lalu kita kosongkan saja dan kita jadikan monumen yang “mati”?
Mestinya, Majapahit juga bisa diperlakukan sebagai sebuah kota kerajaan yang
menyekarang, seperti halnya Balai Pemuda itu. Majapahit dan segala peninggalannya bukanlah
masa lalu, terbukti dia mampu menembus layer-layer setelahnya dan “hidup” di tengah-tengah
kita, ada di antara kita saat ini. Dalam konteks Trowulan, Majapahit hadir di tengah-tengah
kehidupan warga Mojokerto saat ini, jelas-jelas sebagai masa kini. Kolam Segaran misalnya,
tidak hanya menjadi alun-alun air di masa Majapahit, tetapi juga tetap menjadi alun-alun air di
masa sekarang.
Dialog Anter Layer
Sebuah dialog antar layer bukan berarti layer yang lama dilestarikan secara kaku dan
tidak boleh ada layer baru di atasnya. Bukan pula berarti layer baru boleh didirikan seenaknya
dan semaunya di atas layer lama. Yang terpenting adalah bagaimana layer-layer yang ada bisa
sama-sama menyekarang (menjadi sekarang), dikelola sehingga terjadi dialog antar layer yang
toleran dan elegan. Tidak masalah misalnya layer rumah Gajah Mada berada di belakang rumah
penduduk, tidak perlu rumah penduduk itu direlokasi atau dipindahkan ke tempat lain. Ini
namanya dialog layer, bukan penindasan layer. Tidak pula menjadi soal jika layer sebuah pura
dari masa Majapahit berada di halaman sebuah masjid, tidak perlu ada Tuhan atau Dewa yang
diungsikan.
Jadi, tidak ada pemujaan pada masa lalu yang picik, dan tidak ada arogansi masa kini
yang berlebihan. Ada seorang nenek yang masih hidup ketika cucu perempuannya melahirkan,
ada bayi yang meninggal sesaat setelah lahir, semua itu wajar dalam kehidupan. Kita juga bisa
belajar dari “sejarah” pewayangan Jawa, bagaimana seorang ksatria kera bernama Hanuman
yang berasal dari cerita Ramayana bisa hidup sampai masa Mahabharata yang berjarak ratusan
tahun? Karena Hanuman tidak mempersoalkan waktu, dia adalah sosok yang selalu mengkini,
menjadi sekarang.
Nah, pengetahuan tentang konservasi dan pelestarian situs yang sudah puluhan tahun kita
pelajari dari khazanah pengetahuan Barat sudah sepatutnya kita tinjau kembali. Tidak perlu lagi
kita memperlakukan situs seperti nenek-nenek yang kita kirim ke Panti Jompo, yang jelas hanya
dilokalisasi dan “disingkirkan” untuk menunggu mati. Mengapa nenek-nenek tidak itu kita ajak
menjadi satu rumah, agar bisa melihat cucu-cicitnya tumbuh menjadi dewasa, bukankah itu akan
memperkuat kembali daya hidupnya dan menjadikannya merasa lebih dihargai dan dihormati?
Lalu bagaimana dengan situs Majapahit? Perlakuan kitalah yang akan menentukan
keberadan situs itu selanjutnya. Apakah akan kita lokalisasi menjadi situs “panti jompo” dengan
merelokasi rumah-rumah penduduk yang ada di atas situs? Ataukah kita terima sebagai entitas
masa kini, kita kelola sebagai bagian dari kehidupan kita dalam dialog antar layer? Keduanya
Page 49
15
berangkat dari prasangka yang berbeda, dan tentunya akan menghasilkan output yang berbeda
pula.
Semoga peninggalan Majapahit tidak meramal nasib dari namanya sendiri: buah maja
yang pahit. Jika pihak yang berkompeten bisa mendialogkan layer-layer yang ada, bukan tak
mungkin nantinya akan berbuah manis. Mudah-mudahan.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari kolom Regol Surabaya Post 11 Januari 2009
Page 50
16
Ketika Candi Jawa Timur
Menjelma Gunungan
Di dalam banyak literatur mengenai candi di Jawa, biasanya candi dibedakan ke
dalam dua bagian besar, yakni candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Jawa Tengah
dan Jawa Timur di sini lebih pada pembagian era, bukan pada pembagian wilayah
administratif. Dalam banyak literatur tersebut juga dipaparkan perbedaan-perbedaan yang
prinsipil antara dua model candi itu. Salah satu ciri utama yang membedakan itu adalah
postur candi Jawa Tengah lebih tambun, sedangkan candi Jawa Timur lebih langsing.
Pembedaan itu sepertinya sudah mendarah-daging bagi mereka yang secara intens
mempelajari candi-candi di Jawa, terutama yang bergerak di bidang sejarah, antroplogi
dan arkeologi.
Setelah era kerajaan Jawa Timur tamat, secara otomatis candi model Jawa Timur
pun tidak pernah dibangun lagi (hanya ada beberapa sempalan seperti Candi Sukuh
dengan model tak lazim bagi sebuah candi), terutama dimungkinkan karena era sejarah
kerajaan Hindu di Jawa sudah berakhir, ditandai dengan bubarnya kerajaan Majapahit
dan munculnya kerajaan Islam Demak. Candi, sebagai bangunan khas masa Hindu,
kehilangan pamornya yang cemerlang selama berabad-abad sebelumnya.
Terdapat sebuah paradoks sejarah di sini: Ketika candi Jawa Timur yang banyak
mengaktualkan kembali kecerdasan lokal Jawa dalam posisi yang setanding dengan yang
dari India dan mulai menemukan jalan menuju keemasannya, tiba-tiba saja harus terhenti
perkembangannya secara mendadak. Lalu ke mana larinya kecemerlangan yang didapat
melalui proses yang panjang itu? Apakah langsung hilang seperti ditelan bumi begitu
saja?
Berbicara tentang kecerdasan lokal Jawa, lepas dari perkembangan agama dan
politik, rasanya tidak mungkin jika sebuah pencapaian yang demikian tingginya seperti
candi-candi Jawa Timur tiba-tiba terhenti tanpa ada “saluran kreatif” lain untuk
melanjutkannya (atau paling tidak mengawetkannya agar tidak hilang). Jika candi Jawa
Timur katakanlah dianggap sebagai collective memory (ingatan kolektif), tentunya masih
ada memori yang tertanam dalam pikiran orang Jawa sebagai cetak biru yang tak akan
hilang dalam penciptaan-penciptaan yang mereka buat di era berikutnya, meskipun
eranya sudah berganti dengan era Islam.
Sebuah proses kreatif tidak mengenal perbedaan agama. Hal itu akan selalu
muncul untuk disesuaikan dengan konteks jamannya. Seperti tradisi slametan (syukuran)
misalnya, sudah ada sejak jaman pra-Hindu. Ketika agama Hindu masuk dan
berkembang, slametan bisa dicantolkan dalam tatacara keagamaan Hindu. Begitu pula
ketika Islam masuk, slametan menjadi tradisi yang bisa gayut dengan perkembangan
agama Islam. Demikian juga dengan masuknya agama Nasrani, slametan juga bisa masuk
ke dalam ritual keagamaan yang Kristiani. Ini merupakan sebuah contoh, bagaimana
orang Jawa secara kretif mampu meng-konteks-kan adat budayanya ke dalam konsep-
konsep baru yang datang dari luar.
Page 51
16
Jejak Pohon
Jika diamati secara lebih mendalam, perbedaan postur candi Jawa Tengah dan
Jawa Timur sebetulnya tidak sekedar berbeda antara tambun dan langsing belaka. Secara
lebih spesifik, candi Jawa Timur memiliki jejak sebagai sebuah pohon besar. Bagian
bawah kepala candi melebar dulu ke samping melebihi bagian badannya dan kemudian
baru mengerucut ke atas hingga puncaknya, sama seperti pohon yang bagian batangnya
langsing, lalu rimbunan daunnya melebar jauh melebihi batangnya dan kemudian
mengecil lagi ke atas.
Di dalam dunia wayang kulit purwo Jawa, kita bisa menemukan bentukan yang
serupa candi Jawa Timur, tetapi dalam wujud yang 2 dimensi. Bentuk yang dinamakan
gunungan, karena mengerucut ke atas seperti gunung. Disebut juga kayon karena
menggambarkan pepohonan hutan lengkap dengan binatang-binatangnya. Gunungan ini
sebetulnya sudah muncul sejak adanya wayang beber, yakni pertunjukan wayang yang
digemari oleh orang-orang Majapahit. Wayang beber ini seperti komik yang setiap
adegan berupa beberan yang dilanjutkan ke beberan berikutnya. Gunungan wayang beber
itu masih berupa bentukan yang mengerucut yang dihiasi motif bunga-bunga dan sulur-
suluran.
Baru setelah era Majapahit berpindah ke era Islam, muncul ide membuat wayang
personal, di mana setiap tokoh bisa digerakkan sendiri, tak lagi berupa beberan. Dan
gunungan pun juga harus berdiri sendiri. Dan baru pada tahun 1737, Susuhunan
Pakubuwono II memerintahkan para seniman kraton untuk menciptakan jenis gunungan
baru yang dilengkapi dengan gapuran (gapura), ditandai dengan sengkalan “gapura lima
retuning bumi” yang melambangkan tahun Jawa 1659 atau 1737 Masehi.
Yang jelas, bentukan gunungan gapuran atau kayon ini juga langsing di bagian
bawah, kemudian melebar ke samping dan meruncing ke atas. Selain itu, elemen-
elemennya serupa dengan candi Jawa Timur. Di gunungan ada tangga menuju ke pintu,
juga ada pintu dengan penjaganya. Kemudian bagian atas (kepala) diolah dengan ukiran
yang lebih rumit daripada bagian yang bawah. Jika di atas pintu candi ada kalamakara,
maka di gunungan kepala kala itu dilukis di bagian belakang gunungan dengan wujud
menyeramkan dan berambut api merah menyala. Bandingkan gambar candi Jawa Timur
dengan gambar gunungan.
Simpanan Genetik
Gunungan jelas bukan candi, tapi dalam hal ini gunungan bisa dianggap sebagai
sebuah bentukan 2 dimensional yang menjadi penyimpan “gen” candi Jawa Timur yang 3
dimensional. Jika candi-candi Jawa Timur kebanyakan sudah beralih fungsi menjadi
tempat wisata dan kehilangan rohnya, maka gunungan, meskipun “cuma” dalam cerita
wayang, masih menyimpan roh candi itu. Dia menjadi pembuka jagad pewayangan,
menjadi pintu gerbang, menjadi gunung, menjadi pohon, menjadi air, menjadi angin,
menjadi awan, menjadi api, dan juga menjadi penutup jagad pakeliran ketika pertunjukan
wayang usai. Gunungan adalah lambang jagad, sebuah simpanan pengetahuan candi Jawa
Timur yang masih menyapa kita hingga kini.
Bukan tidak mungkin simpanan genetik ini akan bisa diwujudkan lagi menjadi
sebuah bentuk arsitektur kembali yang bersifat 3 dimensional. Atau bahkan berevolusi
Page 52
16
untuk menjadi wujud yang lain lagi. Kenangan orang Jawa akan pohon memang
demikian kuatnya, sehingga menjadi gen tersembunyi yang selalu menunggu untuk
dimunculkan kembali.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 26 Juli 2009
Page 53
17
Contertainer Arsitektur yang Menghindar
Tim Arsitek:
Edwin Nafarin (Principal)
Kamawardhana Heksa Putra
Kartika Ciputera
Bukaan
Contertainer, yang dirancang oleh biro konsultan dpavilion architects dari
Surabaya ini, sebenarnya merupakan gabungan dari dua kata, yakni container dan
entertainer, yang bisa diartikan sebagai: sebuah wadah sekaligus penghibur. Dari
tampilan luarnya secara sekilas saja kita bisa melihat sebuah wujud arsitektural dari
beberapa container yang dicat mencolok dengan warna-warna merah, kuning, biru dan
hijau muda, dengan posisi dan komposisi yang atraktif, membentuk sebuah contertainer.
Principal architects di dpavilion, Edwin Nafarin, pernah berujar: “Saya ingin
menciptakan arsitektur yang menyenangkan banyak orang”. Nah, contertainer ini
menjadi salah satu karya yang membuktikan kredo arsitekturnya itu.
Contertainer ini terletak di Kota Batu, Jawa Timur. Batu adalah kota yang relatif
masih baru, dengan suasana agraris yang masih sangat kental. Bisa dianggap sebagai kota
bersuasana desa. Contertainer ini merupakan bangunan publik (fasilitas umum), yaitu
sebuah poliklinik yang juga sekaligus perpustakaan, di mana masyarakat yang datang
tidak dipungut biaya alias gratis. Munculnya contertainer di kota ini bisa dilihat dari
banyak sudut pandang, karena kemunculan sebuah karya arsitektur niscaya diikuti
dengan banyak efek yang ditimbulkannya.
Contertainer Sosial
Dengan makin majunya kota-kota di Indonesia pada umumnya, selain
meningkatkan kemakmuran, ternyata juga menciptakan gap yang makin menganga antara
kalangan berpunya (the have) dan tak-berpunya (the have not). Kalangan tak-berpunya
makin terpinggirkan, akses mereka ke pelayanan kesehatan dan pendidikan makin sukar
karena semakin mahal. Ini adalah dampak dari perekonomian global yang mekanismenya
lebih mirip hukum rimba. Berdirinya contertainer ini adalah sebuah upaya sosial untuk
meng-entertain masyarakat bawah dengan layanan kesehatan dan bacaan yang tidak perlu
membayar, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan mereka dalam
perkembangan pesat dunia saat ini.
Kata entertain yang diartikan sebagai menghibur, biasanya lebih sering
dikonotasikan dengan hiburan yang gemerlap di kota-kota besar, katakanlah: diskotik,
pub, bioskop, theme park, game zone dan lain-lain, cenderung sebagai hiburan
“artificial”. Tapi di sini, di kota ndeso yang bernama Batu, kata “entertain” tersebut agak
“diselewengkan”, ini sebuah hiburan nyata untuk rakyat kecil. Mereka lebih
Page 54
17
membutuhkan pelayanan kesehatan yang layak dan akses kepada bacaan yang bermutu
untuk bisa menjadikan mereka lebih percaya diri sebagai manusia seutuhnya.
Di pihak lain, pada tahun 1960-an, seorang sastrawan Indonesia bernama Rendra
sudah pernah mengingatkan: “Di negeri kita, kota tumbuh sebagai penyalur hasil
produksi asing”. Dan contertainer ini seakan menjadi perwujudan kritik rendra itu. Hasil
produksi asing yang membanjiri negeri kita biasanya diangkut dengan container-
container yang mungkin puluhan ribu jumlahnya. Jadi, selain meng-entertain masyarakat
bawah, contertainer ini juga menyindir tajam: “Jangan jadikan kota-kota kita hanya
menjadi penyalur produk-produk asing, hentikan, kita pakai saja container-containernya
jadi karya arsitektur!”.
Contertainer Arsitektural
Ada sebuah pertanyaan yang cukup penting untuk diungkap: mengapa dpavilion
architects, sebagai perancang poliklinik dan perpustakaan ini, mengawali idenya dari
container? Kemungkinan memang ada beberapa alasan. Pertama, alasan logis: bahwa
container adalah sebuah wadah kokoh yang sudah meruang dengan skala manusia
(meskipun untuk mengangkut barang), sehingga cukup praktis, cepat dan murah untuk
ditransformasikan menjadi wadah kegiatan arsitektural. Kedua, alasan morfologis:
container sudah memiliki ciri khas dan unik, berbentuk balok besar berongga berukuran
standar tertentu yang sangat potensial untuk dibuat desain dengan tatanan yang ekstrem
dan provokatif. Ketiga, alasan simbolis: beberapa container yang dipakai untuk membuat
poliklinik dan perpustakaan ini pastilah pernah mengelilingi dunia, bergerak dari kota
yang satu ke kota yang lain. Sebetulnya, sebuah container adalah layaknya “seorang
petualang sejati”.
Container atau peti kemas yang digunakan dalam perancangan poliklinik dan
perpustakaan ini adalah container bekas pakai, yang sudah berkeliling ke berbagai negara
di dunia, sehingga sangat cocok bila “disulap” menjadi perpustakaan. Buku sebagai
“jendela dunia” diletakkan di dalam container yang sudah berkeliling dunia, sebuah
konsep “kolaborasi” yang cukup tepat, bukan? semoga menjadi penyemangat bagi anak-
anak pengguna perpustakaan ini untuk selalu memelihara rasa ingin tahu dan kemauan
untuk menjelajah ranah-ranah yang belum dikenal (terra incognita).
Di samping itu, container merupakan wadah yang nature-nya dinamis, bergerak,
berpindah tempat, tapi kemudian diubah menjadi sebuah wujud arsitektural yang statis,
tidak bergerak dan tak bisa berpindah. Menjadi sebuah keanehan, di mana container
“dipaksa” untuk tidak ke mana-mana. Tapi hal itu disiasati oleh perancangnya dengan
membuat komposisi yang dinamis, antara lain dengan perletakan antar container yang
tidak sepenuhnya tegak lurus, tetapi saling melenceng. Apalagi dengan kaki-kaki
penyangga yang centang perenang dan “kacau”, menjadikan contertainer ini tidak
kehilangan sisi gerak dinamisnya.
Juga, contertainer ini menjadi parodi. Di dalam dikotomi antara arsitektur sebagai
wadah kegiatan (yang memperhatikan ukuran manusia) dan sebagai ekspresi arsitektural
(sebagai curahan rasa seperti halnya seni), di sini justru menampilkan wadah barang
untuk mewadahi manusia. Membuat kita boleh sedikit merenung: seberapa pentingkah
manusia bagi arsitektur? Seberapa tidak pentingkah manusia bagi arsitektur?
Page 55
17
Contertainer Kultural
Di kota Batu, budaya kosmopolis dan agraris bertemu. Seperti sudah disinggung
di atas, kota yang bernuansa desa. Sedikit ambigu: disebut kota, tetapi suasananya desa,
disebut desa, tetapi sudah bernama kota. Kota ini memang masih sedang dalam proses
tumbuh dan berkembang, sehingga benturan antara budaya kosmopolis dan agraris masih
sering terjadi. Misalnya: ada yang masih menggarap sawah sebagai sumber penghidupan
dan kehidupan seperti yang sudah dilakukan sejak nenek moyang, tetapi ada yang sudah
melihat sawah itu sebagai investasi industri atau properti di masa depan.
Contertainer ini menjadi perwujudan arsitektural dari pertemuan antara budaya
kosmopolis dan agraris tersebut. Contertainer dibuat dari container sebagai cermin
budaya kosmopolis yang terbuka, bebas, lugas yang kemudian “ditanam” secara agraris
di atas sebuah site yang tetap dalam jangka waktu yang lama. Di samping itu,
contertainer ini memperlihatkan bahwa container tidak hanya punya satu fungsi yang
tetap, tetapi juga punya guna yang lain yang lebih bervariasi. Container ternyata bisa
dibuat menjadi sebuah bangunan, sehingga bisa merangsang kreatifitas masyarakat agar
tidak hanya terpaku pada satu sudut pandang, satu cara penyelesaian dalam membuat atau
menciptakan bangunan. Mereka bisa belajar untuk menggali kecerdasan lokalnya dalam
berarsitektur.
Contertainer Komoditas
Jika kita mencermati banyak diskusi tentang posisi arsitektur dalam kaitannya
dengan pasar, selalu muncul perdebatan tentang komodifikasi arsitektur. Ada yang
berpendapat bahwa arsitektur adalah komoditas, sebagai barang dagangan yang diperjual-
belikan. Sedangkan di pihak lain ada yang mati-matian membela diri bahwa arsitektur
bukan komoditas, melainkan sebuah karya tunggal yang unik dan kontekstual yang tidak
bisa dibangun di tempat lain. Dalam arus besar pendidikan dan profesi arsitektur,
biasanya pendapat arsitektur sebagai komoditas dianggap sebagai pendapat yang
marjinal, arsitektur itu harus “murni”, jangan sampai dikotori oleh virus komodifikasi.
Contertainer ini seperti ingin melawan pendapat “murni” tersebut: “Arsitektur
sebagai komoditas, mengapa tidak?”. Masalah yang sebenarnya adalah bagaimana
membuat arsitektur menjadi komoditas yang bermutu tinggi, bukan komoditas yang
bermutu rendah alias murahan. Di masa sekarang ini, komodifikasi adalah sebuah
keniscayaan yang tak bisa dihindari. Contertainer secara terang-terangan memakai
container sebagai simbol komoditas, sehingga secara tidak langsung mengatakan: “Ini
arsitektur komoditas, tetapi ini komoditas yang bermutu, bukan?”.
Tutupan
Contertainer rancangan dpavilion architects ini adalah contertainer yang bisa
dilihat dari banyak sudut pandang. Sebuah karya arsitektur yang menghindar, yang selalu
berkelit dari satu pandangan ke pandangan yang lain. Yang sekaligus menunjukkan
bahwa sebuah karya arsitektur selalu multiinterpretasi, semua orang boleh menafsirkan
sesuai dengan titik berangkat yang dipilihnya.
Page 56
17
Lalu, apakah contertainer ini sah sebagai sebuah arsitektur? Jangan berpikir
tentang container, entertainer, budaya, ekonomi dan semacamnya, lihat saja. Lihatlah
seakan-akan tubuh anda hanya terdiri dari mata saja, dia akan menunjukkan dirinya dan
sekaligus bersembunyi. Arsitektur yang menghindar. Lepas dari benar-salah, baik-buruk
ataupun bagus-jelek, contertainer masih tetap atraktif dan provokatif. Mau beli?
Page 57
18
Alun-alun Generasi Ketiga
Di kota-kota di Jawa, terutama di kota bekas kadipaten dari jaman dahulu
(terutama jaman Mataram) hampir bisa dipastikan akan ditemui alun-alun. Yang
paling terkenal tentu saja alun-alun di dua pusat kerajaan Jawa Islam, yakni kraton
Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta, dengan dua alun-alun besar di utara
(alun-alun lor) dan di selatan (alun-alun kidul) lengkap dengan beringin kembarnya.
Sebagai pusat dari tata ruang kota di masa lalu (bahkan juga sampai sekarang), alun-
alun telah mengalami masa demi masa perubahan dan perkembangan kota, sehingga
perkembangan alun-alun juga tidak lepas dari dinamika kota itu sendiri.
Jika sesuatu mengalami perkembangan yang terus-menerus seturut waktu,
maka akan lebih mudah memahaminya jika kita memilahnya menjadi beberapa
tahapan yang berbeda karakteristiknya, seperti biasa kita temui dalam ilmu sejarah
(historiografi). Demikian juga alun-alun, di sini bisa dipilah dalam tiga tahap
perkembangan. Pemilahan ini memang belum berdasar pada observasi yang
mendalam, tetapi dengan mencermati “fenomena” yang penulis ketahui selama
mengamati keberadaan alun-alun.
Generasi Pertama
Alun-alun generasi pertama bisa disebut alun-alun kosmologis. Alun-alun ini
menggambarkan kepercayaan kosmik Jawa yang berkaitan dengan empat arah mata
angin, yang disebut keblat papat limo pancer, yang artinya: empat penjuru mata
angin, yang kelima adalah pusatnya (pancer = pusat). Alun-alun kosmologis ini masih
terlihat jejaknya antara lain di Alun-alun Jogjakarta. Alun-alun menjadi halaman
besar dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, di mana di sisi baratnya selalu ada
masjid Jami’ (Masjid Besar), dan di sisi-sisi lain ada pasar dan penjara.
Di tengah alun-alun juga ada sepasang beringin (mandira) yang disebut
dengan waringin kurung (beringin yang dikurung atau dipagari) bernama Kyai
Dewadaru dan Kyai Janadaru. Dua beringin itu menggambarkan makrokosmos (jagad
gede) dan mikrokosmos (jagad cilik) dalam kepercayaan filosofis Jawa. Hal itu
menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta seluruhnya dan juga
dengan manusia sesamanya.
Dalam kasus alun-alun Kraton Jogjakarta, ada sumbu kosmik antara Gunung
Merapi, Tugu, Alun-alun Utara, Keraton, Alun-alun Selatan, Panggung Krapyak dan
Laut Selatan, di mana ketujuhnya berada pada satu garis lurus. Hal itu memperjelas
bahwa alun-alun menjadi bagian dari kepercayaan kosmologis Jawa, yang
menempatkan alun-alun sebagai bagian dari tata-ruang kosmik alam raya. Jadi, alun-
alun bukan sekedar lapangan rumput besar berbentuk segiempat belaka, di balik itu
ada makna keterkaitan kosmologis yang berkaitan dengan asal-usul atau genesis dari
raja dan seluruh warga negara. Oleh sebab itulah, alun-alun juga disakralkan dan
dimitoskan dalam berbagai cerita.
Generasi Kedua
Alun-alun generasi kedua adalah alun-alun ontologis. Sebelumnya, ketika
masa kolonial, alun-alun berada di persimpangan antara generasi pertama dan kedua.
Page 58
18
Baru ketika masa kemerdekaan, ketika jabatan bupati di kota-kota di Jawa menjadi
jabatan karir dan bukan lagi turun-temurun, maka unsur kosmologis menjadi agak
terpinggirkan. Bupati bukan lagi junjungan yang mendapatkan wahyu dari langit
untuk menjadi penguasa, maka halaman kediaman bupati (baca: alun-alun) juga ikut
kehilangan tuahnya. Alun-alun diposisikan (sekadar) sebagai taman kota, sehingga
unsur-unsur yang berkaitan dengan kepercayaan mistis tidak diperhatikan lagi
meskipun masih ada jejak-jejaknya, seperti masih adanya beringin kembar, masih
adanya bekas kadipaten, masjid, pasar dan lain-lain.
Selain sebagai taman, di beberapa kota alun-alun yang luas juga dipakai untuk
tempat upacara bendera. Upacara bendera merupakan kegiatan masal (kadang-kadang
kolosal) untuk menghormati simbol-simbol negara (bendera, dasar negara). Ketika
masa Orde Baru, upacara bendera dijadikan alat untuk mengindoktrinasi masyarakat
(juga anak-anak sekolah) agar menjadi pendukung pemerintah yang patuh dan
disiplin, dan beberapa alun-alun dijadikan sarana untuk kegiatan itu.
Alun-alun menjadi open space, bukan public space. Dianggap “keramat”
bukan karena kekuatan kosmologisnya seperti dulu, tetapi lebih karena kekuatan
negara yang menjadikannya sebagai “tameng” penguasa. Kadang muncul hal-hal
“lucu”, seperti jumlah tiang bendera di alun-alun yang jumlahnya disesuaikan dengan
sila dalam dasar negara, atau jumlah pohon di sekeliling alun-alun yang jumlahnya
sama dengan tanggal kemedekaan. Selain ada proses desakralisasi, sekaligus ada
semacam politisasi di situ.
Generasi Ketiga
Alun-alun generasi ketiga adalah alun-alun populis, atau alun-alun yang
kembali merakyat, yaitu alun-alun yang benar-benar menjadi public space (ruang
publik), bisa digunakan oleh masyarakat umum. Sebagai generasi ketiga, bukan
berarti kemudian menghapus jejak-jejak yang sudah ada dari alun-alun generasi
sebelumnya. Alun-alun justru menjadi semacam tumpukan dari beberapa layer, di situ
kita masih bisa melihat jejak-jejak generasi sebelumnya, baik yang bersifat
kosmologis maupun ontologis (sepanjang belum dihilangkan).
Sebetulnya, alun-alun di masa lalu juga memiliki sifat populis juga, meskipun
kecil. Misalnya, di masa kerajaan dulu alun-alun menjadi tempat pepe (berjemur)
ketika ada rakyat yang tak puas dengan kinerja raja/kerajaan. Dengan pepe, dia
berharap bisa dilihat oleh sultan atau raja yang biasanya kemudian memanggilnya
menghadap. Di situ dia mengungkapkan masalah yang dihadapinya kepada raja secara
langsung. Semacam demokrasi kecil di lingkungan yang jelas-jelas sangat feudal di
masa itu.
Gambar-gambar yang melengkapi tulisan ini adalah usulan dpavilion
architects untuk Alun-alun Lamongan di tahun 2007. Alun-alun (baru) Lamongan ini
adalah contoh dari alun-alun generasi ketiga, di mana kegiatan-kegiatan dalam alun-
alun ini didasarkan pada kebutuhan populis masyarakat Lamongan. Antara lain: bisa
menampung seluruh PKL yang berada di sekitar alun-alun, sarana olahraga yang
memadai (terutama untuk sepak bola dan bola basket), playground untuk anak-anak,
taman bertema Islam (Islamic Garden) yang gayut dengan Masjid Jami’ di sisi
baratnya, taman baca untuk masyarakat, ada juga sculpture Joko Tingkir (dengan
membuat selubung pada menara air peninggalan Belanda) yang berdasar pada sejarah
lokal Lamongan yang mempercayai Joko Tingkir sebagai guru bagi masyarakat
Lamongan dan sekitarnya.
Page 59
18
Catatan Akhir
Pertanyaannya: Adakah yang berani menciptakan alun-alun generasi keempat,
kelima dan seterusnya? Kita tunggu saja perkembangan alun-alun berikutnya, karena
masih akan terus menemui peran baru di dalam tata ruang kota yang juga terus
berubah dan berkembang.
Yang jelas, alun-alun kita bukan alun-alun yang mandheg (berhenti), tetapi
alun-alun yang bisa menyesuaikan dengan perubahan. Alun-alun kita niscaya
kontekstual.
Tulisan ini merupakan pengembangan dari artikel Wastu Surabaya Post 1 Maret
2009
Page 60
19
Multi-Komentar Imajiner Alun-alun (Baru) Lamongan
Seandainya..!
Seandainya Ronggowarsito menyaksikan alun-alun Lamongan
dia mengulang sabdanya: “Amenangi jaman edan, alun-alun melu edan.” (mengalami
jaman edan, alun-alun ikut edan)
Seandainya Hamengkubuwono I tahu akan alun-alun Lamongan,
akan geleng-geleng kepala: “Jelas bukan alun-alun! Siapa sih yang bikin?”
Seandainya Diogenes datang ke alun-alun Lamongan,
dia menetap di situ dan berteriak lantang ketika didatangi Bupati: “Jangan menghalangi
matahari!”
Seandainya Karl Marx tanpa sengaja ada di alun-alun Lamongan,
bisa jadi akan bermanifesto: “Kaum PKL di seluruh dunia, bersatulah!”
Seandainya Epicurus iseng-iseng mampir ke alun-alun Lamongan,
tentu akan mengajak kita: “ Ayo, bersenang-senang, kalau perlu sampai mampus!”
Seandainya Mbah Maridjan jadi juru kunci alun-alun Lamongan:
dia meramal: “Merapi tidak meletus, tapi alun-alun ini nampaknya akan “meledak”!”
Seandainya Agustinus Sutanto berteori-desain soal alun-alun Lamongan
begini: “ini lho contohnya everyday architecture, 63,4 persen bolehlah..”
Seandainya Didi Kempot mau show di alun-alun Lamongan,
dia akan bertanya: “ada panggungnya gak? Saya mau nyanyi “sewu kutho”.
Seandainya Bambang Sukosrono berniat memindah alun-alun Lamongan,
agak bingung juga: “Mas Mantri, ini mau diboyong ke mana? Ke Maespati?”
Seandainya Arsitek abad ke 23 merekonstruksi reruntuhan alun-alun Lamongan,
mungkin akan geli: “alun-alun jaman dulu lucu ya? Sederhana sekali.”
Seandainya Jose Mourinho berkunjung ke alun-alun Lamongan,
berujar dengan pongah: “bagus, ada lapangan bolanya, boleh disewa buat latihan
Chelsea?”
Seandainya Maria Sharapova melihat-lihat alun-alun Lamongan,
menangislah ia karena sedih: “ Lapangan tenisnya kok dibongkar? saya kecewa berat!”
Seandainya Ki Slamet Gundono kesasar ke alun-alun Lamongan,
girang bukan kepalang: “wayang suket pasti sukses, neng kene akeh sukete!” (di sini
banyak rumputnya)
Page 61
19
Seandainya Sutiyoso habis mengadakan kunjungan kerja ke Lamongan,
langsung akan menginstruksikan: “Bongkar Monas, tiru alun-alun Lamongan!”
Seandainya Chairil Anwar menengok alun-alun Lamongan,
bisa-bisa keseleo lidah: “Alun-alun binatang jalang, dari kumpulannya terbuang..”
Seandainya Josef Prijotomo diminta komentar soal alun-alun Lamongan,
kira-kira begini bunyinya: “Ini alun-alun, tapi juga bukan alun-alun. Nah..!”
Seandainya Nia Ramadhani berakting di alun-alun Lamongan,
berkata pada temannya: “Syuting sinetron di sini asyik ya, romantis bangeeed gitu loh..”
Seandainya Asmuni suatu ketika lewat alun-alun Lamongan,
komentarnya singkat: “Gak lucu!”, tapi sambil tertawa: “Ha ha ha...”
Seandainya Inul Daratista diundang ke alun-alun Lamongan:
dia heran: “Alun-alun kok ya bisa ngebor kayak aku ya? Gemesss…”
Seandainya Derrida ingin pergi ke alun-alun Lamongan,
Menggerutu tanpa henti: “Kok gak pernah nyampe sih? Selalu hampir nyampe, dasar..!”
Seandainya Immanuel Kant meluangkan waktu ke alun-alun Lamongan,
dia berjanji: “Aku akan datang ke sini setiap hari di jam yang sama, demi Tuhan.”
Seandainya Edwin Nafarin berkata tentang karyanya, alun-alun Lamongan,
terlontar: “Biar karya saya yang berbicara, dengarkan bisikannya, desahannya…”
Seandainya Heraklitos mengamati dengan jeli alun-alun Lamongan,
dia menyimpulkan: “Alun-alun ini tidak pernah sama setiap hari, sungguh!”
Seandainya Sumanto diberitahu tentang alun-alun Lamongan,
dia mengaku: “Aku sudah pernah makan orang, tapi belum pernah makan alun-alun.”
Seandainya Ki Manteb Sudarsono mengiklankan alun-alun Lamongan,
ditayangkan di televisi: “Alun alun Lamongan pancen o yeee….”
Seandainya Sigmund Freud menganalisa alun-alun Lamongan,
niscaya berteori: “Secara psikonalitis, alun-alun ini akan jadi superego-nya Lamongan.”
Seandainya Junichiro Koizumi berziarah ke alun-alun Lamongan,
dengan ragu dia masuk: “mudah-mudahan ini bukan semacam Kuil Yasukuni.”
Seandainya Michael Polanyi mencoba menafsirkan alun-alun Lamongan,
berguman pasrah: “Hmmm… akan selalu ada yang tak terkatakan….!”
Page 62
19
Seandainya Gunawan Mohamad mencatat perihal alun-alun Lamongan,
muncul di Catatan Pinggir: “Terus-menerus sebuah beda, sebuah ambiguitas.”
Seandainya Gus Mus mengingatkan dampak sosial alun-alun Lamongan,
petuah bijaknya: “Ingat, ada yang atas nama rakyat, menindas rakyat.”
Seandainya Kumbakarna jadi warga patriotik Lamongan,
dia akan bersumpah: “Baik atau buruk gak peduli, pokoknya ini alun-alunku…!”
Seandainya Sisipus membawa batu besar bulatnya ke alun-alun Lamongan,
bakal marah: “Demi Artemis, konturnya payah, sulit untuk menggelindingkan batu!”
Seandainya Sutrisno Murtiyoso menilai alun-alun Lamongan,
mungkin berujar: “Mas, yang beginian sudah banyak di luar negeri.”
Seandainya Pangeran Pekik dari Surabaya melihat alun-alun Lamongan,
dia tersenyum: “saya sangat suka sesuatu yang baru, tapi orang Mataram selalu iri.”
Seandainya Prabu Joyoboyo mengetahui ada alun-alun Lamongan,
buru-buru minta maaf: “sori ya cucu, gak ada dalam kitab ramalan saya.”
Seandainya Peter Eisenman membahas alun-alun Lamongan,
ngomongnya: “superimposisi, superimpossible atau supermie? Aku pusing.”
Seandainya Mohammad Nanda Widyarta berpendapat tentang alun-alun,
dengan rendah hati: “saya cuma tahu dikit, yang jelas saya Marxist, insya Allah”
Seandainya Rene Descartes tiba-tiba berada di alun-alun Lamongan,
heran sekali teorinya tak terbukti: “Alun-alun ini tidak berpikir, tapi kok ada ya?”
Seandainya Gus Dur berkelakar soal alun-alun Lamongan,
fatwanya: “Kalo bikin alun-alun yang bener, jangan seperti Taman Kanak-kanak.”
Seandainya saya Anas Hidayat, saya tentunya lulusan S1 dan S2 (Perancangan dan Kritik
Arsitektur) di ITS Surabaya, dan pasti seorang konseptor freelance (di konsultan
arsitektur d_pavillion Surabaya), dosen freelance (di Universitas Katolik Darma Cendika
Surabaya), kartunis freelance (kadang-kadang saja) dan petani freelance (di bumi Kediri
Selatan). Semboyan yang sepertinya paling disukai: Umwertung Aller Werte (penjungkir-
balikan semua nilai) dari Nietzsche.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Indonesia Design Vol. 3 No. 17 tahun 2006
Page 63
20
Habitat Sebuah ”Alun-alun” Vertikal
Tim Arsitek:
Edwin Nafarin (Principal)
Kamawardhana Heksa putra
Sekilas
Habitat, karya dpavilion architects ini merupakan sebuah landmark yang terletak
di tengah-tengah roundabout (bundaran jalan) di kawasan Kahuripan Nirwana Village
(KNV) di Sidoarjo dengan lahan seluas 3 hektar. Seperti dijelaskan Edwin Nafarin
(principal architect) bahwa rencana awalnya adalah membuat sebuah gigantic sculpture
sebagai penanda utama kawasan ini, sekaligus sebagai ikon yang memberi nilai lebih
pada area sekitarnya. Kemudian muncul gagasan: mengapa tidak dibuat habitable
sculpture (sculpture yang bisa didiami) sekalian? yang bisa menjadi tempat berkegiatan
bagi masyarakat sekitar, dan bukan sekadar monumen pajangan untuk dilihat belaka.
Dari ide habitable sculpture inilah lahir nama: Habitat, tempat berdiam yang
selaras dengan kehidupan manusia, menyesuaikan dengan nama Kahuripan yang berarti
kehidupan. Nama ini juga berkaitan dengan konsep habitus dari seorang sosiolog
Perancis, Pierre Bourdieu, yang menyatakan bahwa manusia selalu hidup terikat dengan
masyarakat di ruang dan waktu tertentu. Meskipun namanya sama dengan habitat-nya
Moshe Safdie, toh itu memang sebuah iterasi, pengulangan untuk ”menguras” makna.
Habitat adalah sebuah sculpture-architecture yang bisa dihuni dan digunakan untuk
aktifitas masyarakat, di dalamnya ada fasilitas publik seperti perpustakaan (library),
museum, plaza, gallery, serta entertainment and commercial space.
Tatanan/Order
Tatanan dari habitat ini didasarkan pada konsep habitat klasik Jawa dalam
mengatur dan menata ruang, yakni: keblat papat limo pancer. Orang Jawa meyakini
bahwa setiap arah mata angin punya watak dan sifat yang berbeda, bahkan punya ”dewa”
penguasa yang berlainan pula. Dalam arsitektur Jawa yang asli, hal ini masih dipercaya.
Keblat papat (empat arah mata angin) di habitat ini ditafsir ulang dan diwujudkan dalam
bentukan empat massa bangunan yang berdiri di empat arah, sedangkan plaza yang
berada di tengah sebagai pancer (pusat), yang merengkuh empat massa bangunan di
sekitarnya.
Konsep tatanan massa ini juga dipakai dalam Alun-alun Jawa masa lalu. Di mana
ada sebuah lapangan besar yang dikelilingi oleh empat bangunan penting di
sekelilingnya. Alun-alun berada di depan Kabupaten/Kraton sebagai halamannya,
sedangkan di sebelah barat Alun-alun ada Masjid Besar/Masjid Jami’. Di sisi-sisi yang
lain ada Pasar sebagai pusat kegiatan ekonomi dan juga Penjara. Di tengah alun-alun
yang luas itu, biasanya terdapat Waringin Kurung (beringin kembar yang
dikurung/dipagari), melambangkan jagad gede (macrocosmos) dan jagad cilik
(microcormos) dalam kepercayaan Jawa.
Page 64
20
Alun-alun, umumnya hampir identik dengan hamparan horisontal berupa
lapangan luas dengan rumput hijau yang menutupi permukaannya, dengan bangunan di
sekelilingnya yang cenderung horisontal pula. Tapi di habitat ini, kawasan alun-alun
”dijungkir-balikkan”, dengan dijadikan sebuah bentukan yang vertikal, namun tetap
mengambil prinsip keblat papat limo pancer yang diwujudkan dalam massa-massa
bangunannya yang berdiri di keempat penjuru mata angin. Dengan demikian, habitat
sekaligus menjadi ”alun-alun yang bukan alun-alun”.
Lapangan besar alun-alun dijelmakan menjadi plaza yang terletak di pusat/pancer,
letaknya yang strategis di tengah-tengah membuat plaza ini begitu instimewa, menjadi
pusat orientasi sekaligus halaman dari keempat massa bangunan di sekelilingnya. Dan
keempat massa bangunannya yang berformasi konsentris berupa museum, gallery,
entertainment center dan library (perpustakaan), masing-masing dilengkapi dengan
commercial spaces. Sedangkan Waringin Kurung di-stretch (ditarik memanjang) menjadi
dua buah jembatan (jembatan kaca dan beton) yang bersilangan di tengah-tengah plasa.
Bentuk/Form
Menurut arsitek senior di dpavilion architects Kamawardhana Heksa Putra, ide
massa bangunannya diambil dari bunga teratai (lotus, padma). Hal ini mengingat habitat
ini berada di tengah buzem/kolam penampungan air di kawasan ini, sehingga ide bunga
teratai (yang berhabitat di air) ini menjadi pilihan yang cukup tepat. Bunga teratai (yang
akarnya berada di dalam air) terdiri dari daun yang melebar di atas air sebagai pelampung
agar tidak tenggelam, dan tangkai bunganya muncul dari antara daun-daun, sedangkan
bunganya mekar mengembang di atas daun. Dengan metafora dari teratai tersebut, maka
lahirlah empat buah lempeng sculptural sebagai metafor dari mahkota/corolla bunga
teratai yang tumbuh menjulang ke atas. Julangannya tidak lurus, melainkan agak
melengkung untuk memberi aksen natural (tidak geometrik).
Sebuah bunga, selalu dimulai dari keadaan kuncup (bud), yang kemudian
berproses menuju kondisi mekar (blossom) yang merupakan fase sempurna sebuah
bunga. Dalam proses tersebut, bunga itu “bergerak” makin lebar, makin besar dan
mengembang. Bunga yang mekar sempurna memiliki kualitas dulce et utile (indah dan
berguna). Secara estetis indah dilihat dan menarik perhatian, dan secara fungsional
sebagai alat reproduksi atau perkembangbiakan demi kelangsungan hidup di masa
berikutnya. Jadi, proses blossom/mekarnya teratai di habitat ini sekaligus sebagai multi-
lambang, bisa berarti: hidup (life), tumbuh (growth), harapan (hope) serta masa depan
(future) yang lebih baik.
Deskripsi
Telah dijelaskan di atas, habitat terdiri atas empat massa bangunan yang
menjulang dan sedikit melengkung di bagian atasnya. Lempeng bagian luarnya dari beton
bertekstur rata, sedangkan bagian dalamnya berupa ruang-ruang terlingkup bidang-
bidang kaca yang ditata sebagai mozaik berpola cut-diamond (potongan berlian),
sehingga memiliki tampilan yang kontras dengan bagian luarnya.
Massa A merupakan massa yang terbesar, sebuah museum dengan 4 lantai.
Bangunan ini adalah museum geologi yang lebih mengkhususkan diri sebagai mud-
Page 65
20
volcano museum (museum lumpur vulkanis). Segala hal yang berkaitan dengan mud
volcano inilah yang akan ditampilkan di museum ini.
Setelah massa A, searah jarum jam adalah massa B terdiri dari 3 lantai. Lantai
pertama untuk commercial spaces, sedangkan lantai kedua dan ketiga untuk gallery.
Gallery ini bisa digunakan untuk kegiatan ekshibisi atau pameran yang ada hubungannya
dengan kebudayaan dan kesenian. Kita tahu, Surabaya masih sangat ketinggalan dalam
hal budaya dan seni jika dibandingkan dengan Jakarta, Bandung dan Jogjakarta. Dengan
adanya gallery ini, diharapkan bisa menarik minat masyarakat dalam hal berkesenian dan
berkebudayaan.
Searah jarum jam setelah massa B adalah massa C yang hanya terdiri dari 2 lantai.
Lantai pertama untuk commercial spaces, dan di lantai dua sebagai entertainment center.
Entertainmanet center merupakan pusat hiburan yang bisa digunakan oleh masyarakat
umum. Maksudnya, habitat ini tidak hanya ingin mendidik dan membelajarkan
masyarakat lewat museum atau perpustakaan, tetapi juga menghibur dan menyenangkan
masyarakat agar bisa bergembira. Selain untuk kegiatan ”serius”, habitat juga
menyediakan tempat untuk bersenang-senang dan bersantai.
Akhirnya massa D dengan 3 lantai. Lantai pertama sebagai commercial spaces,
dan dua lantai di atasnya adalah library (perpustakaan). Adanya perpustakaan ini
menegaskan bahwa habitat sebagai tempat bagi masyarakat untuk belajar dan menambah
wawasan pengetahuan. Akses buku bagi masyarakat Indonesia kebanyakan masih rendah
karena harganya yang mahal, maka di sini dibuat perpustakaan yang bukunya boleh
dibaca oleh siapa saja yang mengunjunginya.
Plasa (habitat plasa) berupa ruang terbuka yang terlingkupi oleh keempat massa
mulai massa A sampai D. Plasa ini adalah pancer/pusat sebagai titik orientasi dari massa-
massa di keempat sisinya. Jembatan kaca dan beton yang menyilang di atasnya ikut
memperkuat ke-pancer-an plasa. Plasa ini menjadi public space, yang bisa dipakai
masyarakat untuk jogging, berjalan-jalan, duduk-duduk, tempat anak-anak bermain-main
dan lain sebagainya.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Indonesia Design Vol. 5 No. 27 tahun 2008
Page 66
21
Hikayat Gereja Puhsarang, Kediri
Maclaine Pont alias Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan Arsitek Kolonial
Gereja Puhsarang di Kediri, dirancang oleh Henri Maclaine Pont pada tahun 1936
dan selesai dibangun pada 1939. Maclaine Pont lahir di Meester Cornelis (Jatinegara)
Batavia pada 21 Juni 1884, pada umur 9 tahun kembali ke Belanda untuk memperoleh
pendidikan di sana. Pada tahun 1902, dia masuk ke Sekolah Tinggi Teknik Delft dan
lulus tahun 1909. Beberapa tahun menjadi pembantu arsitek di Belanda, lalu kembali ke
Jawa pada tahun 1911.
Menurut buku-buku teks sejarah asitektur, Maclaine Pont adalah arsitek Belanda
pada masa Kolonial, sehingga otomatis disebut sebagai arsitek Kolonial pula. Di sini,
saya ingin melihatnya dari sudut pandang lain, bahkan dengan sebutan lain untuk
Maclaine Pont, Ndoro Klepon, karena orang Jawa sering merubah lafal nama orang
Belanda atau orang asing yang sulit agar gampang diucapkan dengan lidah Jawa,
contohnya Jan Pieterzoon Coen menjadi Murjangkung, atau Herman Willem Daendels
menjadi Denmas Guntur Galak, juga Don Lopez Conte du Paris yang menjadi Holopis
Kuntul Baris. Sebuah simplifikasi lokal yang lebih akrab dan mengena.
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Meskipun sampeyan bagian dari wong Londo yang menjajah
Tapi sampeyan tidak seperti mereka
Sampeyan seperti pohon asem di belakang rumah saya di desa
Yang tertancap makin kokoh dan makin dalam di buminya
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Karena sampeyan tak pernah menjajah arsitektur Indonesia/Nusantara
Sampeyan justru ingin membebaskan
Meskipun sampeyan sendiri sakit-sakitan
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Sampeyan bikin Gereja Puhsarang dari batu-batu
Yang tak pernah ada di Holland sana
Ini hanya ada di lereng Wilis, Kediri
Yang dulu pernah dibangun banyak candi-candi
Page 67
21
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Sampeyan bikin Bunda Maria yang pake baju kebaya
Sepertinya rancangan Avantie (hehe…)
Sebuah kontemporerisasi yang bersahaja
Hmmmm… sampeyan bikin Ge-eR ibu-ibu di sini saja
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Sampeyan bikin Gereja yang lesehan seperti di Masjid
Dengan background altar seperti ukiran Candi Hindu
Dengan iringan gamelan seperti pentas wayang orang
Sampeyan bukan hendak mencampur-aduk
Tetapi sampeyan memang jago sintesis-sinkretis
Seperti mencampur kopi, gula dan susu, enak tenan!
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Sampeyan memburu sejarah lokal yang bukan sejarah sampeyan
Sampai ke akar-akarnya, sampai tulang-sumgsumnya
Hanya agar kami bisa ikut mengerti apa yang sebenarnya kami miliki
Lalu kami sekarang “merusaknya” lagi
Sekali lagi Ndoro, jika sampeyan tak berkenan, maafkan kami
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Seandainya kami merdeka pun, tak masalah buat sampeyan
Karena sampeyan tak hendak memaksakan kehendak
Tapi tahukah sampeyan, kemerdekaan arsitektur kami masih semu
Kami masih terjajah dalam pola pikir dan pola desain
Banyak yang merayakannya di kampus-kampus, di biro-biro
Merantai dan memenjara diri sendiri dengan bangga
Ndoro Klepon…
Kalau saja sampeyan hidup di masa sekarang
Sampeyan akan disebut sebagai arsitek Poskolonial
Yang berani menyuarakan jeritan pihak yang dibungkam
Yang ditindas dan dipinggirkan, bahkan ingin ditiadakan
Sampeyan adalah suara “yang lain”
Mungkin saja akan menjadi pahlawan nasional
Page 68
21
Ndoro Klepon…
Dalam polemik sampeyan dengan Ndoro Klaker (Wolff Schoemaker)
Menunjukkan bahwa Ndoro Klaker lebih cenderung pada globalitas
Sedangkan sampeyan lebih condong pada lokalitas
Sampeyan memang ahlinya lokalisasi (proses pelokalan)
Hasilnya ya seperti Gereja Puhsarang ini
Lokalitas yang mengkini, tapi bukan meng-kuno
Ndoro Klepon…
Sampeyan tak bernafsu bikin bangunan besar
Yang monumental seperti istana raja-raja di Eropa
Tapi hanya membuat gereja desa yang kecil
Dengan “daya ledak” yang luar biasa
Hampir semua buku arsitektur Indonesia menyinggungnya
Hampir semua mahasiswa dan arsitek menziarahinya
Ndoro Klepon…
Sampeyan bukan arsitek Kolonial
Sampeyan itu seperti Douwwes Dekker
Tapi bukan di lapangan politik
Lapangan sampeyan adalah arsitektur
Dan sampeyan tak mendapat nama Indonesia yang mentereng
Tapi, semoga sampeyan lega saya sebut Ndoro Klepon saja
Maturnuwun
Kediri, Mei 2010
Page 69
22
Pondok Pesantren Turen, Malang Berarsitektur sebagai Laku
Pondok Pesantren yang terletak di Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten
Malang ini memiliki nama yang panjang. Lengkapnya adalah Pondok Pesantren Bihaaru
Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah). Artinya dalam bahasa Jawa:
Segarane, Segara, Madune, Fadhole Rohmat. Atau dalam bahasa Indonesia:
Samuderanya samudera, madunya, utamanya rahmat. Pondok ini didirikan oleh Romo
Kyai Ahmad Bahru untuk menyembuhkan penyakit hati para santri yang mondok di
pondok ini.
Menginjakkan kaki di pondok pesantren yang satu ini, pasti anda akan terkaget-
kaget dibuatnya. Bagaimana tidak, pondok ini dengan tampil dengan dekorasi yang
berbeda-beda motifnya dan juga ramai dengan warna-warni. Elemen-elemen bangunan
muncul dengan bentuk-bentuk yang “aneh”, janggal, ganjil, lucu dan kadang-kadang
seperti dilebih-lebihkan. Kita bahkan seperti dibawa ke alam imajinasi, dengan warna-
warna mencolok dan menyala di sana-sini, sepertinya sang empunya bangunan ingin
“menghipnotis” pengunjung yang datang. Ada semacam keanehan di sini, terutama
karena kita melihatnya dari kacamata arsitektur formal yang selama ini kita amini sebagai
arsitektur yang benar.
Jika kita melihat lebih jauh tentang proses berarsitektur di pondok pesantren ini,
kita akan tahu bahwa pondok itu dirancang tanpa seorang arsitek dan orang sipil satupun,
semua dikerjakan oleh orang yang awam dengan proses perancangan dan pendirian
bangunan. Dan itu berarti, pondok pesantren ini dibuat tanpa kaidah-kaidah perancangan
dan perencanaan arsitektur seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah arsitektur. Yang
lebih fantastis lagi, tanpa arsitek dan perhitungan struktur yang memadai, pondok
pesantren ini mampu mendirikan sebuah bangunan utama berupa tower setinggi sepuluh
lantai. Luar biasa! Bahkan sampai ada isu yang tak benar bahwa pembangunan pondok
pesantren ini dibantu oleh jin.
Ini sebuah arsitektur indigenous (asli) yang tak seperti arsitektur lain di mana pun
dan kapan pun, dan tidak mirip bangunan lain apapun. Di tempat lain, ada arsitektur
vernacular, arsitektur komunal, arsitektur tradisional, arsitektur adat dan lain-lain. Tapi
ini arsitektur yang sama sekali berbeda. Di sini, berarsitektur dijadikan sebagai laku,
sebagai terapi, sebagai ibadah, sebagai doa yang ditujukan untuk mengobati “penyakit
hati” seperti: iri, dengki, marah, cemburu, serakah, arogan, sombong dan lain-lain.
Bukankah ini juga sebuah metode yang belum ada di tempat lain?
Meski demikian, karya yang dibuat sungguh spektakuler, dengan menara-menara
yang mencuat di sana-sini. Perayaan ornamennya mirip dengan arsitektur Gothik yang
pernah berkembang di Eropa. Arsitektur Gothik erat kaitannya dengan dematerialisasi,
material dihias sedemikian rupa hingga hilang rasa materinya, seperti berubah menjadi
wujud lain. Di pondok pesantren ini, seakan-akan arsitektur Gothik dijadikan sebagai
laku. Jika di Eropa, bangunan Gothik dirancang oleh arsitek, di sini dirancang dan dibuat
berdasarkan petunjuk sang Kyai (Kyai sendiri mendapatkan dari Shalat Istikharah,
mohon petunjuk dari Allah langsung). Petunjuk tadi harus dijalani dengan ikhlas, sabar
dan tekun.
Page 70
22
Di sinilah, arsitektur tercipta dari penyerahan diri secara total kepada petunjuk
Yang Maha Kuasa, manusia hanya sebatas nglakoni (menjalani saja). Sajak Rumi yang
ini seperti menemukan dunianya:
but if you can break free (tapi jika kamu dapat memecah kebebasan)
from this dark prison named body (dari penjara gelap bernama tubuh)
soon you will see (segera kamu akan melihat)
you are the sage and the fountain of life (kamu adalah si bijak dan mata air kehidupan)
Bearsitektur a la Rumi
Jika Jalaluddin Rumi bersufi-ria dengan sajak-sajak yang digubahnya, yang mana
Tuhan diumpamakannya sebagai anggur yang memabukkan, yang membuat jiwanya
seperti melayang-layang, mengalamai ekstase yang luar biasa, yang setiap malam
diajaknya berasyik-masyuk dalam buaian rindu yang tak henti menabuh detak jantungnya
dan menggema terus-menerus di rongga hatinya. Keadaan inis sering disebut sebagai
“dimabuk Tuhan”.
Di pondok pesantren Turen ini, para santri juga mengalami seperti apa yang
dialami oleh Rumi, tetapi bukan dengan media puisi atau syair. Medianya tak tanggung-
tanggung, arsitektur, rancang-bangun gedung. Mereka setiap harinya merancang dan
mencetak detail-detail ornamen, membuat kolom dan balok sebagai struktur bangunan,
mengecat bagian yang perlu dicat, semua itu sebagai alat mendekatkan diri dengan
Tuhan, menghilangkan penyakit-penyakit hati yang menggerogoti manusia (iri, dengki,
marah dan lain-lain). Sedikit demi sedikti, penyakit hati itu dihilangkan dengan secara
khusyu’ berarsitektur. Rumi pernah menyatakan:
Your task is not to seek for love, but merely to seek and find all the barriers within
yourself that you have built against it.”
Artinya kurang lebih: “Tugasmu bukanlah mencari cinta, tetapi hanya mencari dan
menemukan semua penghalang dalam dirimu sendiri yang telah kamu bangun untuk
melawan cinta”.
Jadi, para santri itu berarsitektur bukan untuk menemukan keindahan atau
keelokan, tetapi untuk menghancurkan penghalang-penghalang dalam hati yang menutupi
keindahan dan keelokan itu. Keindahan dan keelokan yang terjadi adalah hasil dari
melawan penghalang-penghalang dalam hatinya itu, dan hasilnya adalah sebuah
penyingkapan yang begitu dahsyat dalam berarsitektur.
“When I am with you, we stay up all night.
When you're not here, I can't go to sleep.
Maka tak heran jika ada santri yang selama berhari-hari asyik membangun tanpa henti,
siang dan malam. Dengan berasitektur itu, dia mampu menemukan keindahan Tuhan
dalam hatinya, yang mampu membuatnya terus terjaga sepanjang siang dan malam.
Hatinya dipenuhi rasa syukur, ikhlas, pasrah dan sabar yang membuatnya tidak tidur.
Page 71
22
Melampaui Mies van Der Rohe
Ludwig Mies van Der Rohe, seorang tokoh arsitektur Modern pernah
menyatakan: God is in the details, Tuhan ada di dalam detail. Maksud dari Mies van der
Rohe adalah detail arsitektur harus dibuat dengan jujur, tidak mengada-ada, sesuai
dengan karakter material, efisien, fungsional dan tepat. Dari situlah akan memancar daya
kebenaran, yang dalam tingkat tertingginya bisa disebut sebagai Tuhan.
Apa yang dikatakan Mies di atas jelas berada dalam konteks Arsitektur Modern,
yang meletakkan kebenaran di atas segalanya. Dalam konteks arsitektur Modern ini,
arsitektur harus logis dan rasional, atau dengan kata lain: arsitektur mesti menggunakan
akal-pikiran, agar tercipta sebuah karya yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
tanpa ada mitos atau takhayul di dalamnya.
Sedangkan yang dilakukan oleh santri-santri di Pondok Pesantren Turen ini jauh
melampaui dari apa yang dinyatakan oleh Mies. Mereka tidak memperlakukan material
sebagai fungsi yang benar belaka. Mereka menjiwai material itu seperti seorang pemuda
yang mencintai kekasihnya, yang setiap malam diajaknya “berkencan” dengan mesra dan
penuh perhatian. Dari situlah jiwanya bisa mengikis kekuatan-kekuatan negatif yang
bercokol dalam hati dan bisa membuatnya menjadi bersih kembali.
Mereka menerima petunjuk dari Kyai bukan sebagai tugas, tetapi sebagai sebuah
jalan hidup yang mesti dijalani (laku), tanpa dialog, tanpa tanya-jawab. Bukankah selama
ini seperti itu juga hidup kita? Kita menerima apa yang yang digariskan oleh Tuhan,
karena apa yang diberikan adalah apa yang terbaik bagi kita. Dari sudut pandang ini (apa
yang kita terima adalah yang terbaik) menjadi energi positif untuk selalu optimis.
Sehingga ketika mereka (yang jelas-jelas awam tentang arsitektur dan ilmu bangun-
membangun gedung) mendapat petunjuk untuk membangun tower sepuluh lantai, mereka
menerima dan yakin bisa membangunnya. Dan akhirnya benar, bangunan itu benar-benar
terwujud. Siapa yang bisa melawan kekuatan hati yang bebas?
Page 72
22
Tentang Penulis
Anas Hidayat, seorang arsiteks (arsitek dengan teks) yang lahir pada Minggu
Wage tanggal 7 Oktober 1973. Pendidikan dasar hingga menengah diselesaikannya di
kota kelahirannya yang indah di Kediri, yang dibelah oleh Kali Brantas dan terletak di
antara Gunung Wilis dan Kelud. Kemudian menempuh pendidikan tinggi arsitektur di
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya antara tahun 1992 – 1999,
pendidikan S2 (magister) ditempuh di ITS juga dengan mengambil bidang keahlian
Perancangan dan Kritik Arsitektur yang dirampungkan pada tahun 2002.
Menyukai studi-studi “bebas” tentang arsitektur, terutama yang berkaitan dengan
Arsitektur Nusantara (khususnya arsitektur Jawa) dan juga studi dengan metode-metode
yang non-konvensional dalam Sejarah Arsitektur dan (tentang) Perancangan Arsitektur.
Pada tesis magisternya mengangkat isu Primbon Jawa yang ditandingkan dengan
Hermenutik (filsafat penafsiran) dari filsuf Jerman Hans-Georg Gadamer. Semboyan
yang paling disukainya adalah umwertung aller werte (penjungkirbalikan semua nilai)
dari sang Uebermensch Friedrich Nietzsche.
Sehari-hari, Anas bekerja di dpavilion think tank, divisi riset dari dpavilion
architects sejak tahun 2007. Selain itu, juga menjadi Dosen Luar Biasa di jurusan
Arsitektur Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya sejak tahun 2002 dan
di program studi Desain Komunikasi Visual/DKV Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” (UPN) Surabaya sejak tahun 2009.
Riwayat kepenulisan arsitekturnya dimulai dari menjadi editor rubrik Arsitekturia
di harian Suara Indonesia (2005-2006), lalu rubrik Wastu di harian Surabaya Post (2008-
2010). Tulisan-tulisannya juga pernah dimuat di Jawa Pos, Surya dan Kompas Jawa
Timur, juga di majalah arsitektur dan desain seperti Indonesia Design, Asri, Laras dan
lain-lain. Makalah seminarnya yang berjudul: Ruang Jawa, Ruang Sangkan-Paran
menjadi bagian dari buku Ruang di arsitektur Jawa; sebuah wacana yang diterbitkan
Wastu Lanas Grafika (2009). Selama di dpavilion think tank ikut membidani lahirnya 3
buku dpavilion architects, yakni Contemporaria (tidak diterbitkan), Arsitektur adalah
Kegelisahan (2008) dan Ubah (2010).
Anas Hidayat tinggal di Surabaya Timur, tepatnya di Jl. Wisma Permai V no 6
Surabaya, no hp: 081 2313 4293, email: [email protected]
Page 73
22
Indeks (Topik-Nomer Tulisan)
A
Agraris 05
Akhudiat 05
Arek Suroboyo 02, 05
Alun-alun 18, 19
Ampel 01
Arab, Kampung 06
Arsitek 10, 11, 12, 13
B
Balai Pemuda 15
Bangli, Bangunan Liar 03
Batavia 06, 21
Batu, Kota 12, 13
Belanda 02, 21
BNS Batu Night Spectacular 09, 12
C
Candi 15, 16
Cikar 06
Container-Contertainer 17
Convivial 08
D
Daendels 05, 21
DeMaya, Desainer Muda Surabaya 14
Desa 05
Desain 02, 08
Descartes, Rene 03
Desire 06
Developer 03
Diorama 13
Doric 06
Dpavilion 9, 10, 11, 12, 13
E
Ecological Architecture 14
Ekonomi 08
Elemen sejarah 06
F
Feodal 05
Fosil 13
G
Garden Palace Hotel 07, 15
Gazebo 14
Gunungan 16
Gereja 21
H
Halte 02
Hibrid 01
Hotel Bumi 07
I
Ide 08
Idrus 05
Indische Empire 06
Indonesia 05
Insectarium 11 13
Interpretasi 07
J
Jalan Raya Pos 05
Jatim Park 9, 10
Jawa 16, 18
Jawa Timur 09, 16
Jejak Sejarah 06
Jogjakarta 05
Jayabaya 06, 19
Juling 02
K
Kali Code 03
Kali Jagir 03
Kampung 01, 02
Kayon 16
Kayu 14
Ken Arok 10
Kere bisa Hore 09, 12
Kediri 21
Kolonial 06, 21
Komoditas 17
Kosmologis 18
Kota 01, 02, 05
Kraton 18
Kreatif 08
Kumuh 03
Kyai 22
Page 74
22
L
Lamongan 11, 18, 19
Lampion Garden 12
Layer Sejarah 15
Lingga-yoni 10
Lokal 15, 16, 21
M
Maclaine Pont, Henry 21
MADcahyo 14
Majapahit 15, 16
Maria, Bunda 21
Marjinal 03
Masterplan 01
Masyarakat 08
Merapi 18
Minaret 06
Modern 03
Mojokerto 15
Museum Satwa 13
N
Nafarin, Edwin 10, 11, 12, 13, 19
NICA 02
Nusantara 14, 21
Nyai Ontosoroh 01
O
Open Space 18
Orde Baru 18
P
Pakubuwono II 16
Paradoks 02
Paranoid 04
Parthenon 13
Pecinan 02
Perpustakaan 17
Pers 05
Pesantren 22
PIM Pusat Informasi Majapahit 15
PKL 02
Poliklinik 17
Poskolonial 21
Pramoedya Ananta Toer 01, 05
Prijotomo, Josef 07, 19
Public Space 18
Puhsarang, Gereja 21
Punden Berundak 10
R
Rendra 05, 09
Reklame 04
Romo Mangun 03
Ruang 04
Rumah 14
Rumi, Jalaluddin 22
S
Sastra 05
SDW Surabaya Design Week 08
Secret Zoo 13
Sejarah 06 10
Sekutu 05
Sidoarjo 20
Siola 07
Slametan 16
Spirit 06
Stigma 03
Sufi 22
Suharto 03, 05
Sukarno 03, 05
Sunan Drajad 11
Surabaya 01, 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08
Surabaya Heritage 02
Surabaya Post 07
T
Tajug 14
Tanjung Kodok 11
Teratai 20
Theme Park 09, 10, 11, 12, 13
Toponimi 01
Trem 06
Trotoar 02
Turen 22
U
Ujung Galuh 01
Uang 04
Page 75
22
W
Warna 07
WBL Wisata Bahari Lamongan 11
Wonokromo 01
Y
Yani Golf 04
Z
Zaman 07
Ziarah 11, 21, 22