PENGANTAR Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dipengaruhi oleh emosi yang ada dalam dirinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa emosi sangat berpengaruh dalam penyesuaian sosial dan pribadi seseorang. Melalui emosi seseorang belajar untuk merubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial. Selain itu emosi merupakan sebuah bentuk komunikasi, yang berarti bahwa seseorang dapat mengenal jenis perasaan orang lain melalui perubahan fisik dan mimik wajah yang menyertai emosi (Hurlock, 1994). Perkembangan emosi berkaitan erat dengan perkembangan fisik dan mental seseorang. Pada remaja yang sedang mengalami fase peralihan dari masa kanak- kanak menuju masa dewasa, perkembangan emosi adalah suatu hal yang dinamis yang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja (Sulaeman, 1995). Emosi dapat berkembang dengan baik apabila remaja tumbuh di lingkungan yang kondusif, sebaliknya perkembangan emosi dapat terhambat apabila remaja tumbuh di lingkungan yang buruk (Jerslid, 1965). Perkembangan pengendalian emosi pada remaja berkaitan dengan kematangan emosinya. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila remaja tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa diterima. Remaja sudah dapat berpikir kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Ketika kematangan emosional sudah dicapai maka remaja dapat mengendalikan atau mengontrol
36
Embed
PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENGANTAR
Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu
dipengaruhi oleh emosi yang ada dalam dirinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa
emosi sangat berpengaruh dalam penyesuaian sosial dan pribadi seseorang. Melalui
emosi seseorang belajar untuk merubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri
dengan tuntutan dan ukuran sosial. Selain itu emosi merupakan sebuah bentuk
komunikasi, yang berarti bahwa seseorang dapat mengenal jenis perasaan orang lain
melalui perubahan fisik dan mimik wajah yang menyertai emosi (Hurlock, 1994).
Perkembangan emosi berkaitan erat dengan perkembangan fisik dan mental
seseorang. Pada remaja yang sedang mengalami fase peralihan dari masa kanak-
kanak menuju masa dewasa, perkembangan emosi adalah suatu hal yang dinamis
yang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja
(Sulaeman, 1995). Emosi dapat berkembang dengan baik apabila remaja tumbuh di
lingkungan yang kondusif, sebaliknya perkembangan emosi dapat terhambat apabila
remaja tumbuh di lingkungan yang buruk (Jerslid, 1965).
Perkembangan pengendalian emosi pada remaja berkaitan dengan kematangan
emosinya. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila remaja tidak
meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat yang tepat untuk
mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa diterima. Remaja sudah dapat
berpikir kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Ketika kematangan
emosional sudah dicapai maka remaja dapat mengendalikan atau mengontrol
emosinya sehingga respon emosional yang dimunculkan tepat sasaran atau dengan
kata lain sesuai dengan situasi yang dihadapinya (Hurlock, 1973).
Kematangan emosi dan kontrol emosi adalah dua hal yang mempengaruhi
munculnya respon emosional seseorang. Schneiders (1964) menyatakan bahwa
seseorang dapat memberikan respon emosional yang tepat dan sesuai dengan stimulus
yang diterima apabila orang tersebut memiliki kesehatan emosi yang baik sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Finkelor (Sujarwo, 1972)
seseorang yang dinyatakan sehat emosinya memiliki beberapa tanda, yaitu menyadari
kelebihan dan kekurangannya, mengenal reaksi-reaksi emosinya terhadap orang lain
dan situasi, mengetahui seberapa banyak tekanan-tekanan luar yang
mempengaruhinya, dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
sifat-sifat itu.
Akan tetapi tidak semua remaja mengalami kematangan emosional tepat pada
waktunya. Remaja yang belum mempunyai kematangan emosi, ketika dihadapkan
pada situasi yang sulit akan terganggu emosinya sehingga tidak dapat menyelesaikan
masalahnya (Hurlock, 1973). Ketidakmampuan menyelesaikan masalah mendorong
remaja untuk melakukan hal-hal negatif, diantaranya mengonsumsi alkohol dan obat-
obatan terlarang (Sarwono, 2002).
Berdasarkan laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) diketahui
bahwa kasus penyalahgunaan napza yang dilakukan oleh remaja atau kalangan
pelajar dalam kurun waktu lima tahun terakhir terus meningkat (Kompas online,
2007). Hasil survei yang dilakukan oleh BNN (Kompas online, 2007), menunjukkan
bahwa kelompok yang paling banyak mengonsumsi narkoba adalah kalangan
mahasiswa (9,9 persen), pelajar SLTA (4,8 persen), dan pelajar SLTP (1,4 persen).
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (Gunawan, 2006) menemukan bahwa
pada umumnya pecandu napza mulai mencoba menggunakan napza sejak usia 13 - 17
tahun. Tetapi ada juga yang sudah mengenal napza sejak usia sembilan tahun. Hal ini
berarti ketergantungan terhadap napza telah dimulai sejak individu berusia remaja.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Soeweno (Alfiatin, 2001), bahwa mayoritas
pecandu napza adalah remaja usia 15 – 20 tahun. .
Remaja pecandu napza akan mengalami dampak buruk akibat
penyalahgunaan napza. Dampak buruk yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan
napza meliputi dampak fisik, psikologis, kognitif, dan sosial. Zat-zat psikoaktif yang
terkandung dalam napza memberikan efek ketergantungan secara fisik dan mental
bagi pecandu sehingga dirinya tidak dapat mengendalikan perilakunya lagi untuk
menggunakan zat tersebut (Maslim, 2002).
Salah satu dampak psikologis yang disebabkan oleh penyalahgunaan napza
adalah munculnya Gangguan Mental Organik (GMO) yaitu gangguan mental dan
perilaku sebagai akibat terganggunya fungsi sinyal penghantar saraf
(neurotransmitter) pada sel-sel susunan saraf pusat (Hawari, 2004). GMO
mengakibatkan kesehatan emosi remaja pecandu terganggu sehingga memunculkan
emosi-emosi negatif seperti mudah marah, perasaan putus asa, merasa rendah diri,
dan depresi. Akibat dari terganggunya kesehatan emosi tersebut akan terjadi
perubahan perilaku pada remaja pecandu napza antara lain, merosotnya prestasi
belajar atau bekerja yang semula baik menjadi tidak produktif, perubahan perilaku
dari semula berperilaku santun menjadi liar dan tidak bermoral, tidak mematuhi tata
tertib dan peraturan, dan tidak menjalankan ibadah agama (Hawari, 2004).
Menurut Soewadi (Alfiatin, 2001), penyalahgunaan napza pada remaja
mengakibatkan terganggunya kesehatan emosi sehingga membuat mereka mudah
kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang
marah. Meningkatnya kasus perkelahian antar pelajar adalah salah satu contoh dari
bentuk gangguan kesehatan emosi tersebut (Kompas online, 2007). Perkelahian
pelajar terjadi karena remaja pecandu napza tidak dapat mengontrol emosinya.
Dampak psikologis lain yang diakibatkan oleh penyalahgunaan napza adalah
timbulnya perasaan takut yang berlebihan dan kecurigaan (paranoid) bagi pecandu,
munculnya halusinasi dan delusi, dan euforia yaitu perasaan gembira yang berlebihan
(Gunawan, 2006). Munculnya emosi negatif seperti ini menandai bahwa saat dibawah
pengaruh napza maka kesehatan emosi remaja pecandu menjadi terganggu.
Bastaman (1995) berpendapat bahwa emosi yang tidak sehat akan membuat
manusia mengalami kehampaan hidup, selalu berkeluh kesah, putus asa, serba bosan,
merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan
atas prestasi yang mereka capai. Emosi yang tidak sehat juga meningkatkan resiko
bagi pecandu napza untuk mengalami perasaan putus asa, depresi, kecewa dengan
keadaan dirinya, dan kehilangan semangat untuk sembuh (Hawari, 2004).
Ketergantungan terhadap napza harus segera disembuhkan untuk
mengembalikan kesehatan emosi remaja pecandu napza. Ada bermacam-macam cara
yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan ketergantungan napza. Salah satunya
dengan melakukan metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) yang
diadaptasi dari terapi agama (religious therapy) dan dikembangkan dengan
memperhatikan aspek-aspek pada terapi kognitif (cognitive therapy) dan terapi
tingkah laku (behavioral therapy).
Metode yang digunakan dalam CBRT adalah metode talqin, dzikir, shalat
wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. Dzikir diyakini dapat mempercepat proses
penyembuhan penyakit. Penelitian di rumah sakit jiwa Taif (Saudi Arabia)
menunjukkan bahwa 100 orang pasien ketergantungan napza dapat disembuhkan
dengan metode terapi agama, yaitu dengan berdoa, berdzikir, serta menjalankan
shalat lima waktu (Hawari, 2004). Penelitian ini diperkuat oleh hasil survey oleh
majalah TIME dan CNN tahun 1996 (Hawari, 2004) yang menyatakan bahwa lebih
dari 70 pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat karena memiliki
keimanan yang kuat kepada Tuhan dan selalu melakukan doa dan dzikir.
Hawari (2004) mengungkapkan dalam penelitiannya terhadap remaja pasien
ketergantungan napza bahwa minat pasien terhadap agama rendah bahkan boleh
dikatakan tidak ada sama sekali, hal ini amat berbeda dengan kelompok kontrol yaitu
bukan pasien ketergantungan napza. Kesimpulan yang dapat dipetik adalah bahwa
remaja yang tingkat religiusitasnya rendah mempunyai resiko lebih tinggi terlibat
penyalahgunaan napza.
Hasil dari terapi dan rehabilitasi dengan menggunakan metode psikoreligius
menunjukkan bahwa jumlah penderita napza yang dirawat ulang (re-hospitalisasi)
dapat ditekan dari angka 43,9% menjadi 12,21% dan bila penderita napza itu setelah
menjalani terapi taat menjalankan ibadah agama (shalat dan dzikir) maka angka
kekambuhan hanya 6,83%, sedangkan yang tidak menjalankan ibadah agamanya
angka kekambuhan mencapai 71,67% (Hawari, et.al., 2004).
Penelitian Darajat (1993) tentang terapi agama untuk menyembuhkan
penyakit gangguan jiwa dengan cara membaca al-Qur’an juga menunjukkan hasil
yang sama. Sebagian besar pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat
setelah mengikuti terapi tersebut. Posisi duduk yang tenang dihadapan al-Qur’an dan
membaca setiap ayatnya, memberikan perasaan tenang, dan jiwa yang damai dan
tentram bagi pasien. Keadaan yang tenang dan jiwa yang tentram memberikan
pengaruh teraputik yang penting dalam meredakan syaraf yang timbul akibat berbagai
gangguan emosional yang menyebabkan terganggunya kesehatan emosi (Najati,
1985).
Najati (1985) mengungkapkan lebih lanjut bahwa keadaan tenang dan santai
merupakan sarana yang sering digunakan oleh para ahli psikoterapi modern dalam
menyembuhkan berbagai penyakit jiwa, termasuk ketergantungan terhadap zat-zat
psikoaktif atau napza. Dzikir, doa, shalat, dan membaca al-Qur’an adalah rangkaian
kegiatan ibadah yang jika dilakukan secara rutin akan menjadi latihan terbaik untuk
belajar bersikap tenang.
Proses pembelajaran dan latihan untuk menjalankan ibadah secara rutin dapat
disebut sebagai bagian dari terapi tingkah laku karena akan membentuk sebuah
perilaku baru yaitu rutinitas beribadah. Pada umumnya seseorang yang telah
mempelajari sikap dan keadaan tenang dapat melepaskan diri dari ketegangan syaraf
yang timbul akibat terganggunya kesehatan emosi seseorang tersebut. Perasaan
tenang dan tentram akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengatasi
masalah, hal ini berarti proses terapi agama apabila dikaitkan dengan terapi tingkah
laku akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang.
Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa dan berzikir mempunyai nilai
psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi psikiatrik konvensional. Seseorang
yang sedang menderita kecanduan terhadap napza selain berobat secara medik bila
disertai dengan berdoa dan berdzikir akan meningkatkan kekebalan terhadap zat-zat
adiktif, menimbulkan harapan (optimisme), pemulihan rasa percaya diri, dan
meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan di saat sakaw, sehingga akan
mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002).
Metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sangat berkaitan erat
dengan relaksasi, yang merupakan perpaduan antara meditasi dan yoga. Meditasi
yang digunakan dengan metode CBRT bernaung pada agama Islam dengan bacaan-
bacaan dzikir yang dapat kita rasakan melalui nafas dan pikiran, dan melalui
serangkaian kegiatan lain yang termasuk dalam metode pelatihan CBRT. Berdasarkan
beberapa uraian diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa metode CBRT yang
dilakukan dalam proses penyembuhan ketergantungan napza bagi remaja pecandu
napza diyakini dapat memberikan ketenangan jiwa sekaligus menjaga kesehatan