Top Banner
PENGANTAR Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu dipengaruhi oleh emosi yang ada dalam dirinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa emosi sangat berpengaruh dalam penyesuaian sosial dan pribadi seseorang. Melalui emosi seseorang belajar untuk merubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial. Selain itu emosi merupakan sebuah bentuk komunikasi, yang berarti bahwa seseorang dapat mengenal jenis perasaan orang lain melalui perubahan fisik dan mimik wajah yang menyertai emosi (Hurlock, 1994). Perkembangan emosi berkaitan erat dengan perkembangan fisik dan mental seseorang. Pada remaja yang sedang mengalami fase peralihan dari masa kanak- kanak menuju masa dewasa, perkembangan emosi adalah suatu hal yang dinamis yang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja (Sulaeman, 1995). Emosi dapat berkembang dengan baik apabila remaja tumbuh di lingkungan yang kondusif, sebaliknya perkembangan emosi dapat terhambat apabila remaja tumbuh di lingkungan yang buruk (Jerslid, 1965). Perkembangan pengendalian emosi pada remaja berkaitan dengan kematangan emosinya. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila remaja tidak meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa diterima. Remaja sudah dapat berpikir kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Ketika kematangan emosional sudah dicapai maka remaja dapat mengendalikan atau mengontrol
36

PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Feb 15, 2018

Download

Documents

lamkhanh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

PENGANTAR

Semua tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh seorang individu

dipengaruhi oleh emosi yang ada dalam dirinya. Hurlock (1980) menyatakan bahwa

emosi sangat berpengaruh dalam penyesuaian sosial dan pribadi seseorang. Melalui

emosi seseorang belajar untuk merubah perilaku agar dapat menyesuaikan diri

dengan tuntutan dan ukuran sosial. Selain itu emosi merupakan sebuah bentuk

komunikasi, yang berarti bahwa seseorang dapat mengenal jenis perasaan orang lain

melalui perubahan fisik dan mimik wajah yang menyertai emosi (Hurlock, 1994).

Perkembangan emosi berkaitan erat dengan perkembangan fisik dan mental

seseorang. Pada remaja yang sedang mengalami fase peralihan dari masa kanak-

kanak menuju masa dewasa, perkembangan emosi adalah suatu hal yang dinamis

yang bergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja

(Sulaeman, 1995). Emosi dapat berkembang dengan baik apabila remaja tumbuh di

lingkungan yang kondusif, sebaliknya perkembangan emosi dapat terhambat apabila

remaja tumbuh di lingkungan yang buruk (Jerslid, 1965).

Perkembangan pengendalian emosi pada remaja berkaitan dengan kematangan

emosinya. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila remaja tidak

meledakkan emosinya dihadapan orang lain, tetapi menunggu saat yang tepat untuk

mengungkapkan emosinya dengan cara yang lebih bisa diterima. Remaja sudah dapat

berpikir kritis terlebih dulu sebelum bereaksi secara emosional. Ketika kematangan

emosional sudah dicapai maka remaja dapat mengendalikan atau mengontrol

Page 2: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

emosinya sehingga respon emosional yang dimunculkan tepat sasaran atau dengan

kata lain sesuai dengan situasi yang dihadapinya (Hurlock, 1973).

Kematangan emosi dan kontrol emosi adalah dua hal yang mempengaruhi

munculnya respon emosional seseorang. Schneiders (1964) menyatakan bahwa

seseorang dapat memberikan respon emosional yang tepat dan sesuai dengan stimulus

yang diterima apabila orang tersebut memiliki kesehatan emosi yang baik sehingga

dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Finkelor (Sujarwo, 1972)

seseorang yang dinyatakan sehat emosinya memiliki beberapa tanda, yaitu menyadari

kelebihan dan kekurangannya, mengenal reaksi-reaksi emosinya terhadap orang lain

dan situasi, mengetahui seberapa banyak tekanan-tekanan luar yang

mempengaruhinya, dan mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan

sifat-sifat itu.

Akan tetapi tidak semua remaja mengalami kematangan emosional tepat pada

waktunya. Remaja yang belum mempunyai kematangan emosi, ketika dihadapkan

pada situasi yang sulit akan terganggu emosinya sehingga tidak dapat menyelesaikan

masalahnya (Hurlock, 1973). Ketidakmampuan menyelesaikan masalah mendorong

remaja untuk melakukan hal-hal negatif, diantaranya mengonsumsi alkohol dan obat-

obatan terlarang (Sarwono, 2002).

Berdasarkan laporan tahunan Badan Narkotika Nasional (BNN) diketahui

bahwa kasus penyalahgunaan napza yang dilakukan oleh remaja atau kalangan

pelajar dalam kurun waktu lima tahun terakhir terus meningkat (Kompas online,

2007). Hasil survei yang dilakukan oleh BNN (Kompas online, 2007), menunjukkan

Page 3: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

bahwa kelompok yang paling banyak mengonsumsi narkoba adalah kalangan

mahasiswa (9,9 persen), pelajar SLTA (4,8 persen), dan pelajar SLTP (1,4 persen).

Penelitian yang dilakukan oleh Hawari (Gunawan, 2006) menemukan bahwa

pada umumnya pecandu napza mulai mencoba menggunakan napza sejak usia 13 - 17

tahun. Tetapi ada juga yang sudah mengenal napza sejak usia sembilan tahun. Hal ini

berarti ketergantungan terhadap napza telah dimulai sejak individu berusia remaja.

Pendapat serupa diungkapkan oleh Soeweno (Alfiatin, 2001), bahwa mayoritas

pecandu napza adalah remaja usia 15 – 20 tahun. .

Remaja pecandu napza akan mengalami dampak buruk akibat

penyalahgunaan napza. Dampak buruk yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan

napza meliputi dampak fisik, psikologis, kognitif, dan sosial. Zat-zat psikoaktif yang

terkandung dalam napza memberikan efek ketergantungan secara fisik dan mental

bagi pecandu sehingga dirinya tidak dapat mengendalikan perilakunya lagi untuk

menggunakan zat tersebut (Maslim, 2002).

Salah satu dampak psikologis yang disebabkan oleh penyalahgunaan napza

adalah munculnya Gangguan Mental Organik (GMO) yaitu gangguan mental dan

perilaku sebagai akibat terganggunya fungsi sinyal penghantar saraf

(neurotransmitter) pada sel-sel susunan saraf pusat (Hawari, 2004). GMO

mengakibatkan kesehatan emosi remaja pecandu terganggu sehingga memunculkan

emosi-emosi negatif seperti mudah marah, perasaan putus asa, merasa rendah diri,

dan depresi. Akibat dari terganggunya kesehatan emosi tersebut akan terjadi

perubahan perilaku pada remaja pecandu napza antara lain, merosotnya prestasi

Page 4: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

belajar atau bekerja yang semula baik menjadi tidak produktif, perubahan perilaku

dari semula berperilaku santun menjadi liar dan tidak bermoral, tidak mematuhi tata

tertib dan peraturan, dan tidak menjalankan ibadah agama (Hawari, 2004).

Menurut Soewadi (Alfiatin, 2001), penyalahgunaan napza pada remaja

mengakibatkan terganggunya kesehatan emosi sehingga membuat mereka mudah

kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang

marah. Meningkatnya kasus perkelahian antar pelajar adalah salah satu contoh dari

bentuk gangguan kesehatan emosi tersebut (Kompas online, 2007). Perkelahian

pelajar terjadi karena remaja pecandu napza tidak dapat mengontrol emosinya.

Dampak psikologis lain yang diakibatkan oleh penyalahgunaan napza adalah

timbulnya perasaan takut yang berlebihan dan kecurigaan (paranoid) bagi pecandu,

munculnya halusinasi dan delusi, dan euforia yaitu perasaan gembira yang berlebihan

(Gunawan, 2006). Munculnya emosi negatif seperti ini menandai bahwa saat dibawah

pengaruh napza maka kesehatan emosi remaja pecandu menjadi terganggu.

Bastaman (1995) berpendapat bahwa emosi yang tidak sehat akan membuat

manusia mengalami kehampaan hidup, selalu berkeluh kesah, putus asa, serba bosan,

merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

atas prestasi yang mereka capai. Emosi yang tidak sehat juga meningkatkan resiko

bagi pecandu napza untuk mengalami perasaan putus asa, depresi, kecewa dengan

keadaan dirinya, dan kehilangan semangat untuk sembuh (Hawari, 2004).

Ketergantungan terhadap napza harus segera disembuhkan untuk

mengembalikan kesehatan emosi remaja pecandu napza. Ada bermacam-macam cara

Page 5: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

yang dapat dilakukan untuk menyembuhkan ketergantungan napza. Salah satunya

dengan melakukan metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) yang

diadaptasi dari terapi agama (religious therapy) dan dikembangkan dengan

memperhatikan aspek-aspek pada terapi kognitif (cognitive therapy) dan terapi

tingkah laku (behavioral therapy).

Metode yang digunakan dalam CBRT adalah metode talqin, dzikir, shalat

wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. Dzikir diyakini dapat mempercepat proses

penyembuhan penyakit. Penelitian di rumah sakit jiwa Taif (Saudi Arabia)

menunjukkan bahwa 100 orang pasien ketergantungan napza dapat disembuhkan

dengan metode terapi agama, yaitu dengan berdoa, berdzikir, serta menjalankan

shalat lima waktu (Hawari, 2004). Penelitian ini diperkuat oleh hasil survey oleh

majalah TIME dan CNN tahun 1996 (Hawari, 2004) yang menyatakan bahwa lebih

dari 70 pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat karena memiliki

keimanan yang kuat kepada Tuhan dan selalu melakukan doa dan dzikir.

Hawari (2004) mengungkapkan dalam penelitiannya terhadap remaja pasien

ketergantungan napza bahwa minat pasien terhadap agama rendah bahkan boleh

dikatakan tidak ada sama sekali, hal ini amat berbeda dengan kelompok kontrol yaitu

bukan pasien ketergantungan napza. Kesimpulan yang dapat dipetik adalah bahwa

remaja yang tingkat religiusitasnya rendah mempunyai resiko lebih tinggi terlibat

penyalahgunaan napza.

Hasil dari terapi dan rehabilitasi dengan menggunakan metode psikoreligius

menunjukkan bahwa jumlah penderita napza yang dirawat ulang (re-hospitalisasi)

Page 6: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

dapat ditekan dari angka 43,9% menjadi 12,21% dan bila penderita napza itu setelah

menjalani terapi taat menjalankan ibadah agama (shalat dan dzikir) maka angka

kekambuhan hanya 6,83%, sedangkan yang tidak menjalankan ibadah agamanya

angka kekambuhan mencapai 71,67% (Hawari, et.al., 2004).

Penelitian Darajat (1993) tentang terapi agama untuk menyembuhkan

penyakit gangguan jiwa dengan cara membaca al-Qur’an juga menunjukkan hasil

yang sama. Sebagian besar pasien mengalami proses penyembuhan yang lebih cepat

setelah mengikuti terapi tersebut. Posisi duduk yang tenang dihadapan al-Qur’an dan

membaca setiap ayatnya, memberikan perasaan tenang, dan jiwa yang damai dan

tentram bagi pasien. Keadaan yang tenang dan jiwa yang tentram memberikan

pengaruh teraputik yang penting dalam meredakan syaraf yang timbul akibat berbagai

gangguan emosional yang menyebabkan terganggunya kesehatan emosi (Najati,

1985).

Najati (1985) mengungkapkan lebih lanjut bahwa keadaan tenang dan santai

merupakan sarana yang sering digunakan oleh para ahli psikoterapi modern dalam

menyembuhkan berbagai penyakit jiwa, termasuk ketergantungan terhadap zat-zat

psikoaktif atau napza. Dzikir, doa, shalat, dan membaca al-Qur’an adalah rangkaian

kegiatan ibadah yang jika dilakukan secara rutin akan menjadi latihan terbaik untuk

belajar bersikap tenang.

Proses pembelajaran dan latihan untuk menjalankan ibadah secara rutin dapat

disebut sebagai bagian dari terapi tingkah laku karena akan membentuk sebuah

perilaku baru yaitu rutinitas beribadah. Pada umumnya seseorang yang telah

Page 7: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

mempelajari sikap dan keadaan tenang dapat melepaskan diri dari ketegangan syaraf

yang timbul akibat terganggunya kesehatan emosi seseorang tersebut. Perasaan

tenang dan tentram akan mempengaruhi pola pikir seseorang dalam mengatasi

masalah, hal ini berarti proses terapi agama apabila dikaitkan dengan terapi tingkah

laku akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang.

Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa dan berzikir mempunyai nilai

psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi psikiatrik konvensional. Seseorang

yang sedang menderita kecanduan terhadap napza selain berobat secara medik bila

disertai dengan berdoa dan berdzikir akan meningkatkan kekebalan terhadap zat-zat

adiktif, menimbulkan harapan (optimisme), pemulihan rasa percaya diri, dan

meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan di saat sakaw, sehingga akan

mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002).

Metode Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sangat berkaitan erat

dengan relaksasi, yang merupakan perpaduan antara meditasi dan yoga. Meditasi

yang digunakan dengan metode CBRT bernaung pada agama Islam dengan bacaan-

bacaan dzikir yang dapat kita rasakan melalui nafas dan pikiran, dan melalui

serangkaian kegiatan lain yang termasuk dalam metode pelatihan CBRT. Berdasarkan

beberapa uraian diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa metode CBRT yang

dilakukan dalam proses penyembuhan ketergantungan napza bagi remaja pecandu

napza diyakini dapat memberikan ketenangan jiwa sekaligus menjaga kesehatan

emosi pecandu.

Page 8: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza

1. Pengertian Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza

a) Pengertian Kesehatan Emosi

Sebelum membahas mengenai kesehatan emosi remaja pecandu napza,

penulis akan menguraikan pengertian kesehatan emosi dari beberapa pendapat ahli.

Menurut Morgan (1986) kesehatan emosi merupakan keadaan emosi seseorang

dimana ketika mendapat rangsang-rangsang emosional dari luar tidak menimbulkan

gangguan emosional, seperti depresi dan kecemasan. Hal itu disebabkan karena

individu dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Kesehatan emosi individu dapat

dilihat dari perilaku kesehariannya yang tampak pada proses interaksi sosial antar

individu.

Kesehatan emosi dapat dijaga dengan cara mengekspresikan perasaan dan

gejolak emosi yang ada dalam diri kita. Kesehatan emosi juga dapat terwujud apabila

kita dapat mengelola emosi dengan baik dan mengekspresikannya secara tepat (Albin,

1986). Guilford (1959) mengatakan kesehatan emosi adalah suatu keadaan emosi

seseorang yang mudah bergerak untuk menyesuaikan diri antara dirinya dengan

lingkungan sekitar, sehingga apabila orang tersebut mendapat rangsang emosi dari

luar dirinya, tidak menunjukkan ketegangan emosional. Ketegangan emosi dapat

menyebabkan depresi, kurang semangat, kebingungan, kehilangan kepercayaan pada

Page 9: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

diri sendiri dan kesadaran terganggu, sehingga orang tidak dapat berpikir secara

subjektif.

Sehubungan dengan kesehatan emosi, Hurlock (1973) mengatakan bahwa

kesehatan emosi memiliki beberapa kriteria. Kriteria pertama, yaitu kontrol emosi

yang secara sosial dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang emosinya

sehat dapat mengontrol ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial,

atau dapat melepaskan dirinya dari belenggu energi mental dan fisik yang terpendam

dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

Kriteria kedua adalah pemahaman diri. Individu yang memiliki emosi sehat

mampu belajar untuk mengetahui besarnya kontrol yang dibutuhkan untuk

memuasakan kebutuhan-kebutuhannya, menyesuaikan diri dengan harapan-harapan

sosial, serta bersikap emapati yang tinggi terhadap orang lain. Kriteria ketiga adalah

penggunaan fungsi kritis mental. Individu yang sehat emosinya dapat menilai situasi

secara kritis sebelum memberikan responnya secara emosional, kemudian individu

tersebut mengetahui cara yang tepat untuk menghadapi situasi itu. Hurlock (1973)

juga menambahkan perlunya keterbukaan diri (self- disclosure) dan asertivitas untuk

mencapai kesehatan emosi.

McKinney (1950) memberikan definisi kesehatan emosi, ditinjau dari ciri-

cirinya. Dia mengatakan bahwa individu yang mempunyai kesehatan emosi adalah

individu yang mampu mengontrol emosinya, bersikap mandiri, tidak egosentris, dan

memiliki kemasakan seksual.

Page 10: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Berdasarkan beberapa uraian mengenai kesehatan emosi dari para ahli diatas,

penulis menyimpulkan bahwa kesehatan emosi adalah suatu keadaan emosi seseorang

dimana ketika mendapatkan rangsangan dari luar dirinya, orang tersebut dapat

memberikan respon emosional yang sesuai dengan situasi yang dihadapi, mampu

mengontrol emosi sehingga tidak terjadi ketegangan emosional, serta dapat

menampilkan respon emosional yang tidak berlebihan.

b) Faktor-faktor Kesehatan Emosi

Schneiders (1964) mengemukakan bahwa kesehatan emosi didukung oleh tiga

faktor kesehatan emosi dan penyesuaian emosi yang terdiri dari, yaitu (1)

Kematangan emosi (2) Kontrol emosi (3) Adekuasi emosi.

1) Kematangan Emosi

Kematangan emosi adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan respon

emosional yang sesuai dengan rangsangan yang diterima. Kematangan emosi

menuntut adanya suatu perkembangan yang memadai sehingga mampu menjadi dasar

penyesuaian yang baik. Seseorang yang matang emosinya mampu bereaksi secara

emosional sesuai dengan tingkat perkembangan kepribadiannya.

Seorang anak kecil akan menangis, merengek, memukul, atau mengumpat

ketika dia tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Perilaku tersebut

disebabkan karena emosinya yang belum matang dan tidak tahu cara mengatasinya.

Apabila hal ini dilakukan oleh orang dewasa, maka dapat dikatakan bahwa emosi

orang tersebut belum matang atau kekanak-kanakan.

Page 11: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Seseorang yang belum matang emosinya juga dapat dilihat dari sikap-

sikapnya, antara lain tetap bergantung kepada orangtua walaupun sudah dewasa,

mempunyai rasa iri terhadap nasib baik orang lain, merasa takut berada di tempat

yang gelap, serta menertawakan kemalangan yang menimpa orang lain.

McKinney (1950) mengatakan bahwa seseorang yang emosinya matang akan

belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-responnya, dan memiliki

saluran sosial bagi energi emosinya seperti bermain, mengembangkan hobi, dan

sebagainya.

2) Kontrol Emosi

Kontrol emosi ini adalah kemampuan seseorang untuk mengatur dan

mengendalikan emosi. Kontrol emosi yang kurang, maupun yang berlebihan akan

menghambat penyesuaian sosial. Sikap dan perilaku individu yang menunjukkan

kurangnya kontrol emosi, antara lain kemarahan yang meledak-ledak yang

ditunjukkan dengan perilaku emosional, seperti membanting barang, memukul orang

lain, atau berkelahi.

Kontrol emosi berlebihan yang disertai dengan perkembangan emosi yang

kurang memadai dan adanya pengalaman traumatik dapat menyebabkan emosi

menjadi dingin atau kaku. Keadaan ini akan menghambat penyesuaian diri dan

kesehatan mental seseorang. Orang yang mempunyai sifat psikopatik yang tidak

dapat merasakan simpati dan penyesalan, atau orang yang dingin dalam hal seksual

merupakan contoh dari keadaan emosi yang kaku tersebut.

3) Adekuasi Emosi

Page 12: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Adekuasi emosi adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan respon

emosional dengan kadar yang tepat, tidak berlebihan ataupun kurang. Respon emosi

ini menyangkut isi emosi atau macamnya emosi, arah emosi atau kepada siapa emosi

itu ditujukan.

Emosi ada yang adekuat dan ada juga yang tidak adekuat. Emosi yang adekuat

ditunjukkan dengan sikap yang sesuai dengan harapan-harapan sosial, seperti sikap

suka menolong, ramah, dan menghormati orang lain. Sebaliknya emosi yang tidak

adekuat ditunjukkan dengan sikap apatis, tidak mau mencintai, tidak suka menolong,

tidak mau menerima bantuan, memiliki selera humor yang buruk, dan adanya

perasaan bermusuhan yang kuat.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan emosi

memiliki tiga faktor, yaitu kematangan emosi, kontrol emosi, dan adekuasi emosi.

Kematangan emosi berkaitan dengan sikap reaksi emosi yang dewasa sesuai dengan

tingkat perkembangan kepribadiannya. Kontrol emosi berkaitan dengan kemampuan

individu dalam mengatur atau mengendalikan emosinya. Sedangkan adekuasi emosi

berkaitan dengan isi dan arah dari respon-respon emosional.

c) Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza

Remaja pecandu napza adalah individu yang berada dalam fase peralihan dari

kehidupan masa kanak-kanak ke masa dewasa (Sulaeman, 2005), yang sedang

berkembang dalam aspek biologis, kognitif dan sosial emosional (Santrock, 2003),

dan dalam fase peralihan itu individu tersebut mengalami ketergantungan fisik dan

Page 13: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

psikologis terhadap suatu obat bius (Chaplin, 2002), diantaranya narkotika, alkohol,

psikotropika, dan zat-zat adiktif lainnya atau biasa disingkat napza (Sugito, 2004).

Remaja pecandu napza memiliki karakteristik tertentu yang membedakan

perilakunya dengan remaja normal atau bukan pecandu napza. Adapun karakteristik

remaja pecandu napza menurut Karsono (2004), antara lain : (1) Adanya perubahan

tingkah laku yang tiba-tiba, baik dirumah maupun di sekolah, lingkungan keluarga,

dan teman sebaya, (2) Munculnya perilaku marah yang tidak terkendali, (3)

Pembangkangan terhadap disiplin, (4) Sering menipu orang lain, (5) Berat badan

menurun secara drastis, (6) Suka melamun dan berhalusinasi, (7) Munculnya

perilaku suka mencuri, (8) Sering membolos dan tidak dapat berkonsentrasi ketika

menerima pelajaran, (9) Daya tahan tubuh menurun, (10) Melakukan perilaku seks

bebas.

Penyalahgunaan napza dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan

emosional sehingga membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan

kehidupannya, emosi menjadi tidak stabil dan gampang marah (Soewadi dalam

Alfiatin, 2001).

Berdasarkan pengertian dan karakteristik remaja pecandu napza dan

pengertian kesehatan emosi di pembahasan sebelumnya maka penulis menyimpulkan

bahwa kesehatan emosi remaja pecandu napza adalah suatu keadaan emosi seseorang

yang berada dalam fase peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang

sedang mengalami ketergantungan fisik dan psikologis terhadap napza sehingga

menyebabkan kesehatan emosinya terganggu akibat penyalahgunaan napza tersebut.

Page 14: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Emosi

Menurut Young (1950) faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan emosi

antara lain :

a) Faktor Lingkungan

Keadaan lingkungan dapat mempengaruhi keadaan emosi seseorang. Yang

dimaksud dengan faktor lingkungan ialah lingkungan dimana individu itu hidup,

termasuk didalamnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Keadaan keluarga yang

tidak harmonis dan penuh konflik, akan menimbulkan perasaan tidak bahagia dan

ketidaktentraman pada anggota keluarga.

Seorang anak yang cukup mendapat perhatian dan kasih sayang dari

orangtuanya akan mempunyai rasa aman. Perasaan ini akan membantunya dalam

menghadapi problem-problemnya dan dalam usahanya mempertahankan

keseimbangan emosinya. Sebaliknya seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak

bahagia, kurang kasih sayang, kurang rasa aman, mengakibatkan proses menuju

kesehatan emosinya terhambat.

Begitu pula lingkungan sosial yang tidak mendukung dan tidak memberikan

rasa aman seperti banyak terjadinya kasus tindak kriminalitas, misalnya pembunuhan,

perampokan, pemerkosaan, dan sebagainya akan mengganggu kesehatan emosi

individu.

b) Faktor Pengalaman

Faktor pengalaman sangat berpengaruh pada kesehatan emosi seseorang.

Pengalaman yang tidak menyenangkan apabila selalu terulang akan menyebabkan

Page 15: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

perkembangan emosi terganggu. Sebagai contoh yaitu orang yang mengalami

penganiayaan oleh orangtuanya, orang yang mengalami pelecehan seksual, atau orang

yang menderita penyakit sejak kecil. Orang-orang tersebut memerlukan waktu yang

lama untuk memantapkan emosinya.

Gejala yang muncul bisa pula sebaliknya, orang yang sudah terbiasa dengan

pengalaman-pengalaman negatif menjadi tahan banting dengan guncangan yang

dialaminya. Emosinya tetap stabil dalam kondisi apapun. Kebahagiaan tidak akan

membuat emosinya meluap-luap, kesedihanpun akan dihadapinya dengan tegar.

c) Faktor Individu

Yang dimaksud dengan faktor individu yaitu kepribadian yang dimiliki oleh

seseorang. Seseorang yang mempunyai ketahanan mental yang kuat, apabila

menghadapi masalah akan dapat menyesuaikan diri sehingga masalah itu tidak

mengganggu kesehatan emosinya. Sedangkan orang yang mempunyai mental yang

lemah akan cepat merasa putus asa sehingga kesehatan emosinya dapat terganggu.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesehatan emosi dapat

dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor lingkungan, faktor pengalaman, dan faktor

individu. Faktor lingkungan adalah tempat dimana individu tinggal, termasuk

didalamnya lingkungan keluarga dan masyarakat. Faktor pengalaman meliputi

peristiwa atau kejadian-kejadian yang dialami oleh individu semasa hidupnya.

Sedangkan faktor individu berkaitan dengan karakter dan bentuk kepribadian individu

tersebut.

Page 16: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

B. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)

1. Pengertian Terapi

Sebelum membahas mengenai Cognitive Behavioral Religious Therapy

(CBRT), penulis akan menjelaskan pengertian dari terapi terlebih dahulu. Terapi

adalah pemberian satu perlakuan, perawatan, dan pengobatan yang langsung

ditujukan pada penyembuhan suatu kondisi secara patologi ( Chaplin, 2000). Menurut

Corey (2005) terapi merupakan suatu rangkaian proses penyembuhan terhadap

penyakit fisik maupun psikis, yang dapat dilakukan secara medis (klinis), agama

(religius), ataupun psikologis.

2. Bentuk-bentuk Terapi

Terapi-terapi psikologis dapat dilakukan dalam berbagai metode, tergantung

kepada pendekatan teori yang digunakan dan disesuaikan dengan kondisi subyek

yang akan menjalani terapi (Corey, 2005). Jenis-jenis terapi yang sering digunakan

oleh para terapis psikologi adalah, sebagai berikut :

a) Terapi Kognitif (Cognitive Therapy)

Terapi kognitif adalah sebuah terapi psikologis yang menganalisis pikiran-

pikiran seseorang dan mengubah pikiran yang bersifat destruktif menjadi pikiran

positif sehingga membuat hidup seseorang menjadi lebih efektif (Semiun, 2006).

Terapi kognitif mengungkapkan bahwa tingkah laku-tingkah laku dan emosi-emosi

yang bermasalah disebabkan oleh proses pikiran dan kepercayaan yang salah

(Semiun, 2006). Terapi kognitif dapat diaplikasikan dalam berbagai jenis, antara lain:

Page 17: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

1. Terapi Rasional Emotif (TRE)

Terapi Rasional Emotif (TRE) diperkenalkan oleh Albert Ellis pada tahun

1950, dengan tujuan untuk menangani orang yang mengalami kesulitan dalam

mengendalikan emosi (Semiun, 2006). TRE adalah aliran psikoterapi yang

berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir

rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat (Corey, 2005). Dalam

TRE ini terapis berperan dalam membantu klien untuk membebaskan diri dari

gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai

penggantinya (Corey, 2005)..

2. Terapi Kognitif Beck

Terapi kognitif ini ditemukan oleh Aaron Beck pada tahun 1967. Perbedaan

terapi kognitif Beck dengan TRE adalah Beck memilih pendekatan yang jauh lebih

aktif dengan klien-kliennya dan berusaha secara langsung berkonfrontasi dengan

mengubah tingkah laku-tingkah laku yang ada kaitannya dengan kognisi-kognisi

yang negatif. Bentuk perlakuan yang diberikan dalam terapi ini adalah dengan

diberikannya tugas-tugas pekerjaan rumah yang menghendaki klien untuk mencatat

pikiran dan respons-respons emosionalnya (Semiun, 2006).

b) Terapi Tingkah Laku (Behavioral Therapy)

Terapi tingkah laku atau biasa disebut modifikasi tingkah laku adalah penerapan

secara sistematis teknik-teknik yang diambil dari prinsip-prinsip belajar

(pengondisian dan teori belajar sosial) untuk membantu orang-orang melakukan

Page 18: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

tingkah laku yang adaptif (Semiun, 2006). Berlandaskan pada teori belajar, terapi

tingkah laku adalah pendekatan-pendekatan terhadap konseling dan psikoterapi yang

berurusan dengan pengubahan tingkah laku (Corey, 2005).

Terapi tingkah laku pada umumnya dilakukan berdasarkan teori classical

conditioning dan teori operant conditioning oleh terapis-terapis tingkah laku seperti

Pavlov, Skinner, dan Watson. Teknik classical conditioning dan operant conditioning

biasanya digunakan untuk menangani masalah-masalah klinis seperti gangguan

makan, penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, kecanduan merokok, dan

kelainan orientasi seksual (Kazdin, 2001). Menurut Semiun (2006) secara singkat

proses dalam terapi ini dapat dijelaskan dalam paradigma berikut :

? SN (berpasangan dengan) ? ST ? membangkitkan ? RB

? SN ? menjadi ? SK? menimbulkan ? RK

Keterangan : 1. SN : Stimulus Netral 2. ST : Stimulus Tak Terkondisi 3. RB : Respons Bawaan 4. SK : Stimulus Terkondisi 5. RK : Respons Terkondisi

c) Terapi Agama (Religious Therapy)

Terapi agama adalah sebuah metode terapi yang dikembangkan berdasarkan

suatu keyakinan atau kepercayaan pada ajaran atau syariat suatu agama, yang

digunakan sebagai metode terapi untuk menunjang terapi medis pada masalah-

Page 19: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

masalah klinis seperti penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan ketergantungan

alkohol (Hawari, 2004).

Terapi agama menekankan pada aspek keimanan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa, dan dilaksanakan dengan cara melaksanakan ibadah-ibadah agama secara rutin

dalam proses penyembuhan penyakit (Hawari, 2004). Bentuk terapi agama yang

umum dilakukan di Indonesia untuk menangani masalah penyalahgunaan napza

adalah dengan menggunakan metode dzikir, shalat wajib dan sunnah serta mandi

taubat (hydro therapy) (Haryanto. 1999).

3. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)

a) Pengertian Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)

Pada penelitian ini penulis menggabungkan ketiga metode terapi diatas

menjadi sebuah metode terapi baru yang dinamakan Cognitive Behavioral Religious

Therapy (CBRT). CBRT adalah sebuah metode terapi yang bertujuan untuk merubah

fungsi kognitif atau cara berpikir seseorang yang tidak rasional menjadi pikiran

rasional, merubah tingkah laku seseorang yang maladaptif menjadi perilaku adaptif,

dan dilaksanakan dengan menggunakan metode terapi agama antara lain dengan

metode talqin, dzikir, shalat wajib dan sunnah, serta mandi taubat.. CBRT akan

digunakan untuk menangani masalah penyalahgunaan napza yang menggangu

kesehatan emosi pada subyek penelitian ini.

Page 20: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

b) Aspek-aspek Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)

Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) memiliki dua aspek yang terdiri

dari:

a) Perubahan fungsi kognitif

Perubahan fungsi kognitif dalam pelatihan CBRT menekankan pada

perubahan fungsi kognitif negatif menjadi fungsi kognitif yang positif, atau dengan

kata lain merubah keyakinan atau pikiran-pikiran subyek yang tidak rasional dan

tidak tepat menjadi suatu keyakinan yang rasional dan tepat (Semiun, 2006).

Keyakinan subyek yang tidak rasional dalam penelitian ini ditunjukkan pada

pemikiran bahwa masalah-masalah yang dialami dalam hidupnya dapat diatasi atau

dilupakan dengan mengonsumsi napza. Keyakinan yang tidak rasional ini dalam

penelitian akan dirubah menjadi keyakinan yang rasional bahwa mengonsumsi napza

tidak akan dapat mengatasi masalah namun justru semakin menambah masalah bagi

diri subyek.

b) Perubahan tingkah laku

Pelatihan CBRT menekankan pada aspek perubahan tingkah laku dari tingkah

laku yang maladaptif seperti kebiasaan mengonsumsi napza menjadi perilaku yang

adaptif yaitu terbebas dari ketergantungan terhadap napza. Selain itu dalam CBRT ini

setiap subyek akan dilatih untuk melaksanakan ibadah agama secara rutin sehingga

membentuk sebuah perilaku baru yang berdampak positif bagi perkembangan jiwa

subyek penelitian. Salah satu dampak positif yang ditimbulkan dari perilaku rutin

beribadah yaitu dapat mengurangi resiko subyek untuk menyalahgunakan napza

Page 21: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

kembali karena telah timbul kesadaran pada diri subyek untuk menaati ajaran agama

atau dalam ilmu psikologi disebut kesadaran beragama (religion consciousness).

C. Pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) Terhadap

Kesehatan Emosi Remaja Pecandu Napza

Penyalahgunaan napza memberikan pengaruh yang buruk terhadap remaja,

antara lain dapat menyebabkan remaja mengalami gangguan emosional sehingga

membuat mereka mudah kecewa, tidak puas dengan kehidupannya, emosi menjadi

tidak stabil dan gampang marah (Soewadi dalam Alfiatin, 2001).

Akibat dari terganggunya kesehatan emosi bagi remaja pecandu adalah

menjadi mudah tersinggung, berperilaku agresif, kontrol emosi menurun, dan muncul

perasaan gelisah atau cemas tanpa alasan yang jelas (Hawari, 2004). Terganggunya

kesehatan emosi membuat remaja tidak dapat mengendalikan amarahnya sehingga

cenderung berperilaku agresif dan bersikap antisosial dengan lingkungan sekitarnya

(Gunawan, 2006).

Remaja pecandu napza mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosinya

saat berada di bawah pengaruh napza (Hawari, 2004). Dari beberapa uraian diatas

dapat disimpulkan bahwa tingkat kontrol emosi pada remaja pecandu napza rendah

sehingga remaja tersebut menampilkan respon emosional yang tidak adekuat,

misalnya berperilaku agresif dan munculnya perasaan cemas dan gelisah tanpa

penyebab yang jelas.

Page 22: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Metode-metode yang diterapkan dalam Cognitive Behavioral Religious

Therapy (CBRT) diadaptasi dari terapi agama (religious therapy) dan dikembangkan

dengan memperhatikan aspek-aspek pada terapi kognitif (cognitive therapy) dan

terapi tingkah laku (behavioral therapy). Terapi psikoreligius dalam bentuk berdoa

dan berzikir mempunyai nilai psikoterapeutik lebih tinggi daripada psikoterapi

psikiatrik konvensional. Seseorang yang sedang menderita kecanduan terhadap napza

selain berobat secara medik bila disertai dengan berdoa dan berdzikir akan

meningkatkan kekebalan terhadap zat-zat adiktif, menimbulkan harapan (optimisme),

pemulihan rasa percaya diri, dan meningkatkan kemampuan mengatasi penderitaan di

saat sakaw, sehingga akan mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002).

Metode pertama yang digunakan dalam CBRT adalah metode talqin. Talqin

merupakan langkah awal dari rangkaian proses terapi. Talqin adalah proses

pengenalan materi-materi dzikir dan pemberian pemahaman mengenai pentingnya

menjalankan ibadah-ibadah agama dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Tujuan

dari metode talqin ini adalah merubah pola pikir dan persepsi remaja pecandu napza

terhadap penyalahgunaan napza, sehingga muncul kesadaran bahwa perilau yang

selama ini dilakukan adalah tidak benar. Kesadaran dalam proses talqin ini adalah

kesadaran pada tahap awal dalam tahapan perubahan fungsi kognitif, sehingga perlu

dimantapkan dengan melakukan serangkaian kegiatan selanjutnya.

Metode kedua adalah dzikir. Dzikir diyakini dapat memberikan ketenangan

jiwa (Al Badr dalam Dodi, 2002). Jiwa yang tenang membuat seseorang lebih mudah

mengendalikan emosinya. Hal ini bila dikaitkan dengan masalah penyalahgunaan

Page 23: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

napza berarti bahwa seorang remaja pecandu akan lebih mudah mengendalikan

emosinya apabila dia melakukan dzikir karena dengan berdzikir jiwanya menjadi

lebih tenang.

Dzikir dengan penghayatan penuh, seperti halnya mekanisme emosi,

memberikan sinyal pada syaraf simpatetis dan parasimpatetis yang merangsang organ

tubuh memberi reaksi-reaksi faal tertentu, misalnya getaran pada jantung, kulit

(galvania skin response) dan cucuran air mata yang dinikmati. Emosi positif yang

memancar dalam bentuk dzikir mampu memblokade emosi-emosi negatif dan

mengalihkannya menjadi emosi positif (Hude, 2006).

Remaja yang mengalami ketergantungan napza akan merasakan keinginan

dan dorongan yang tak tertahankan untuk mengonsumsi narkoba (Gunawan, 2006).

Zat adiktif yang terkandung dalam narkoba akan memberikan rangsangan (stimulus)

kepada otak dan memberikan reaksi-reaksi dalam kelenjar dan organ tubuh, sehingga

muncul reaksi fisik tertentu atau biasa disebut sakaw (Hawari, 2004). Pada umumnya

ketika tubuh memberikan reaksi-reaksi tersebut pecandu akan segera mengonsumsi

napza agar terhindar dari rasa sakit akibat sakaw.

Dorongan untuk mengonsumsi napza dapat disebut sebagai dorongan atau

emosi negatif. Emosi negatif dapat dialihkan menjadi emosi positif dengan

melakukan dzikir. Emosi positif yang muncul setelah berdzikir antara lain perasaan

tenang, tentram, bahagia, tidak merasa putus asa, dan tidak gampang marah (Hude,

2006).

Page 24: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Metode ketiga adalah shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Saboe

(Haryanto, 1999) mengungkapkan bahwa manfaat yang diperoleh dari gerakan-

gerakan shalat tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniah dan dengan sendirinya

membawa efek pula pada kesehatan rohaniah. Menurut Ancok (Haryanto, 1999) ada

empat terapeutik yang terdapat dalam shalat, antara lain : aspek olahraga, meditasi,

auto sugesti, dan aspek kebersamaan.

Shalat yang diterapkan dalam CBRT adalah shalat berjamaah yang

dilaksanakan secara bersama-sama. Ancok (Haryanto, 1999) menjelaskan bahwa

aspek kebersamaan ini mempunyai nilai terapeutik, yaitu akan menghindarkan

seseorang dari rasa terisolir, terpencil, atau tidak tergabung dalam kelompok. Seorang

remaja pecandu napza yang kesehatan emosinya terganggu akan lebih rentan

mengalami emosi-emosi negatif dibandingkan dengan remaja normal (Hawari, 2004).

Metode yang terakhir adalah mandi taubat (hydro therapy). Menurut Effendy

(Haryanto, 1999) dunia kedokteran mengenal ”Hukum Baruch dan Hidroterapi”.

Teori atau hukum ini mengatakan bahwa air memiliki daya penenang jika suhu air

sama dengan suhu kulit, sedangkan bila suhu lebih rendah atau lebih tinggi akan

memiliki daya stimulasi atau merangsang.

Metode mandi yang dilakukan dalam pelatihan CBRT dilakukan pada dini

hari dan dengan keadaan suhu udara yang dingin, hal ini akan menyebabkan

pembuluh darah kulit menyempit. Su’dan (Haryanto, 1999) mengungkapkan bahwa

penyempitan pembuluh ini akan memperlancar aliran darah ke otak, jantung, paru-

paru, hati, dan ginjal sehingga organ-organ tersebut memperoleh darah lebih banyak

Page 25: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

daripada biasanya. Dengan demikian kerja hati lebih lancar, yaitu memusnahkan

racun narkotik yang ada dalam tubuh.

Ketika racun-racun narkotik didalam tubuh sudah dapat dimusnahkan, maka

dampak-dampak negatif dari ketergantungan napza seperti perasaan gelisah, mudah

marah, putus asa, hingga perasaan sakit akibat sakaw juga dapat dihilangkan. Manfaat

lain dari mandi taubat adalah memberikan efek kesegaran pada tubuh seseorang

sehingga menstimulasi otak untuk menerima rangsangan yang lebih banyak dan

meningkatkan daya konsentrasi seseorang sehingga remaja pecandu napza yang akan

menjalani rangkaian kegiatan CBRT akan lebih mudah memusatkan perhatian pada

kegiatan pelatihan. Hal ini menunjukkan bahwa metode mandi taubat secara tidak

langsung membantu proses pemulihan kesehatan mental pada remaja pecandu napza.

D. Hipotesis

Ada pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) terhadap

kesehatan emosi remaja pecandu napza.

METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah remaja pecandu napza yang sedang menjalani

rehabilitasi narkoba dengan cara terapi religius di Pondok Inabah XIX Suryalaya.

Pemilihan subjek dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu pemilihan

Page 26: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

kelompok subyek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dianggap

berkaitan erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah ada sebelumnya.

Adapun karakteristik subyek dalam penelitian ini adalah :

1. Subjek sedang menjalani rehabilitasi narkoba dengan cara terapi agama atau

terapi religius.

2. Subjek berjenis kelamin laki-laki.

3. Subjek berusia 13 - 21 tahun.

4. Subjek telah mengonsumsi napza minimal satu tahun.

B. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengukuran pretest dan posttest adalah dengan

menggunakan metode skala angket sebagai metode pengumpulan data untuk

mengungkap kesehatan emosi subyek. Skala pengukuran yang akan digunaan pada

penelitian ini disusun dengan model skala Likert. Cara yang dilakukan untuk

memperoleh data adalah dengan membagikan angket kuesioner kepada peserta terapi.

Skala pengukuran yang akan digunakan pada penelitian ini adalah skala

kesehatan emosi yang disusun oleh penulis berdasarkan teori Schneiders (1964).

Tingkat kesehatan emosi diketahui dari total skor yang diperoleh individu atas

jawaban yang diberikan dalam skala tersebut. Faktor-faktor kesehatan emosi yang

akan diukur adalah sebagai berikut :

5. Kematangan emosi (kemampuan individu memunculkan respon emosi yang

sesuai dengan rangsangan yang diterima).

Page 27: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

6. Kontrol emosi (kemampuan individu mengatur emosinya).

7. Adekuasi emosi (kemampuan individu untuk menampilkan respon emosional

yang tidak berlebihan).

C. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah paired

sample t-test. Analisa akan dilakukan pada skor pretest kelompok eksperimen dan

skor posttestnya. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS 12,0

for Windows.

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Uji Asumsi

Uji asumsi yang dipakai dalam penelitian ini adalah uji normalitas. Data yang

digunakan dalam uji asumsi adalah data pre test kesehatan emosi. Dari hasil uji

normalitas diperoleh koefisien K-SZ = 0.411 dengan p = 0.996 (p > 0.05). Hasil uji

normalitas tersebut menunjukkan bahwa data kesehatan emosi terdistribusi atau

tersebar dengan normal.

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada

perbedaan tingkat kesehatan emosi sebelum dan sesudah pelatihan. Uji hipotesis

Page 28: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Uji perbedaan dilakukan dengan melihat skor

pre test dengan skor post test.

Berdasarkan perhitungan statistik deskriptif menunjukkan bahwa terjadi

perubahan skor mean pada responden yaitu skor mean sebelum mengikuti pelatihan

Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sebesar 19.80 dan setelah mengikuti

pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) sebesar 22.04. Uji

hipotesis menunjukkan nilai t = - 3.208 artinya nilai t mutlak atau selisih rata-rata =

3.208 dengan nilai p = 0.004 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan

antara selisih skor pre test dengan skor post test.

3. Analisis Tambahan

Analisis tambahan yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui perbedaan pengaruh Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)

terhadap kesehatan emosi pada masing-masing kelompok responden. Kelompok

responden dibagi berdasarkan kategori skor mean pada pre test, kategori tersebut

dibagi menjadi tiga, yaitu : kategori tinggi, sedang, dan rendah.

a. Analisis tambahan pada kelompok responden kategori tinggi

Berdasarkan hasil uji t, pada responden kategori tinggi mengalami perubahan

nilai mean sebelum mengikuti pelatihan sebesar 23.75 dan setelah mengikuti

pelatihan sebesar 23.13. Pada uji t menunjukkan nilai t = 0.523 dengan nilai p =

0.617 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan

antara selisih skor pre test dengan skor post tes pada responden kategori tinggi.

Page 29: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

b. Analisis tambahan pada kelompok responden kategori sedang.

Berdasarkan hasil uji t, pada responden kategori sedang mengalami perubahan

nilai mean sebelum mengikuti pelatihan sebesar 19.08 dan setelah mengikuti

pelatihan sebesar 21.85. Pada uji t menunjukkan nilai t mutlak = 4.012 dengan nilai p

= 0.002 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara

selisih skor pre test dengan skor post tes pada responden kategori sedang.

c. Analisis tambahan pada kelompok responden kategori rendah

Berdasarkan hasil uji t, pada responden kategori sedang mengalami perubahan

nilai mean sebelum mengikuti pelatihan sebesar 14.25 dan setelah mengikuti

pelatihan sebesar 20.50. Pada uji t menunjukkan nilai t mutlak = 9.934 dengan nilai p

= 0.002 (p>0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara

selisih skor pre test dengan skor post tes pada responden kategori rendah.

B. Pembahasan

Hasil analisis dari data-data yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti melalui nilai mutlak t =

3.028 dengan nilai p = 0.006 (p<0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa ada perbedaan

antara selisih skor pre test dengan skor post test. Artinya Cognitive Behavioral

Religious Therapy (CBRT) terbukti dapat meningkatkan kesehatan emosi pada

responden.

Peningkatan kesehatan emosi responden dapat dilihat dari skor mean pre test

yang lebih rendah (19.80) dibandingkan dengan skor mean post test yang lebih tinggi

Page 30: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

(22.04). Perbedaan nilai skor mean pre test dengan skor mean post test menunjukkan

bahwa kesehatan emosi responden setelah mengikuti pelatihan Cognitive Behavioral

Religious Therapy (CBRT) mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum

mengikuti pelatihan.

Schneiders (1964) mengatakan bahwa seseorang yang kontrol emosinya

kurang menunjukkan perilaku emosional yang tidak terkontrol misalnya kemarahan

yang meledak-ledak, berperilaku agresif, dan senang berkelahi. Hurlock (1973)

berpendapat bahwa individu yang emosinya stabil dapat mengontrol ekspresi emosi

yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial, atau dapat melepaskan dirinya dari

belenggu energi mental dan fisik yang terpendam dengan cara yang dapat diterima

oleh lingkungan sosialnya.

Responden yang belum menjalani sesi Cognitive Behavioral Religious

Therapy (CBRT) pada umumnya memiliki tingkat kesehatan emosi yang rendah, hal

ini ditunjukkan dengan munculnya perilaku agresif akibat kurangnya kontrol emosi

pada responden. Masing-masing responden menunjukkan sikap mudah tersinggung

dan gampang marah sehingga sering terjadi pertengkaran antara sesama responden

yang diawali dengan masalah sepele. Setelah mengikuti Cognitive Behavioral

Religious Therapy (CBRT) tingkat kesehatan emosi meningkat sehingga subjek

menunjukkan perilaku yang lebih tenang dan tidak agresif, serta dapat mengendalikan

emosinya.

Metode dzikir berkaitan erat dengan metode relaksasi yang merupakan

perpaduan antara meditasi dan yoga. Dzikir dapat membuat hati seseorang menjadi

Page 31: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

lebih tentram dan jiwanya menjadi lebih tenang (Hawari, 2004). Jiwa yang tenang

akan membuat remaja pecandu napza dapat mengendalikan emosinya sehingga tidak

memunculkan reaksi emosional yang berlebihan. Menurut Schneiders (1964)

seseorang yang dapat menampilkan reaksi emosional yang sesuai dengan rangsangan

yang diterima atau dengan kata lain tidak berlebihan berarti mempunyai kematangan

emosi yang baik.

Schneiders (1964) mengatakan bahwa emosi yang tidak adekuat ditunjukkan

dengan sikap apatis, tidak perduli terhadap orang lain, tidak suka menolong, tidak

mau menerima bantuan, memiliki selera humor yang buruk, dan adanya perasaan

bermusuhan yang kuat. Sebaliknya emosi yang adekuat ditunjukkan dengan sikap

yang sesuai dengan harapan-harapan sosial, seperti sikap suka menolong, ramah, dan

menghormati orang lain.

Shalat yang diterapkan dalam CBRT adalah shalat berjamaah yang

dilaksanakan secara bersama-sama. Ancok (Haryanto, 1999) menjelaskan bahwa

aspek kebersamaan ini mempunyai nilai terapeutik, yaitu akan menghindarkan

seseorang dari rasa terisolir, terpencil, atau tidak tergabung dalam kelompok.

Pada awal pelatihan, masing-masing responden tidak bertegur sapa dan bersikap

mengacuhkan orang lain. Sikap ketidakpedulian yang ditampilkan oleh responden

menyebabkan tidak terciptanya interaksi sosial. Setelah mengikuti empat kali sesi

pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT), sebagian responden

saling bertegur sapa dan mulai bercakap-cakap. Perubahan sikap responden sebelum

dan setelah mengikuti pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT)

Page 32: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

menunjukkan bahwa reaksi emosional responden yang tidak adekuat dapat berubah

menjadi reaksi emosional yang adekuat setelah mengikuti pelatihan Cognitive

Behavioral Religious Therapy (CBRT).

Hasil analisis tambahan pada masing-masing kelompok responden

berdasarkan kategori skor mean pre test menunjukkan bahwa pada responden

kategori tinggi tidak ada perbedaan antara selisih skor mean pre test dan post test, hal

ini terlihat dari nilai t = 0.523 dengan nilai p = 0.617 (p>0.05). Hasil ini berarti bahwa

pelatihan Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) tidak mempunyai

pengaruh terhadap responden yang mempunyai tingkat kesehatan emosi tinggi sejak

pelatihan belum dimulai.

Pada responden kategori sedang dan rendah pelatihan Cognitive Behavioral

Religious Therapy (CBRT) memberikan hasil yang sebaliknya. Berdasarkan hasil

analisis tambahan diketahui bahwa ada perbedaan skor mean pre test dan skor mean

post test pada kedua kategori responden, dengan nilai t mutlak = 4.012 dengan nilai p

= 0.002 (p>0.05) untuk responden kategori sedang, dan nilai t mutlak = 9.934 dengan

nilai p = 0.002 (p>0.05) untuk responden kategori rendah. Hasil ini menunjukkan

bahwa Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) memberikan pengaruh yang

signifikan bagi kesehatan emosi pada kedua kategori responden. Responden yang

mempunyai tingkat kesehatan emosi sedang dan rendah sebelum mengikuti pelatihan,

mengalami peningkatan pada kesehatan emosinya setelah mengikuti pelatihan.

Kelemahan pada penelitian ini terletak pada tidak terkontrolnya faktor-faktor

lain yang dapat mempengaruhi kondisi subyek, sehingga sulit untuk memastikan

Page 33: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

apakah perubahan tingkah laku subyek adalah murni dari hasil pelatihan Cognitive

Behavioral Religious Therapy (CBRT) atau disebabkan oleh faktor-faktor lain yang

tidak dikontrol dalam penelitian.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesehatan emosi

subjek penelitian sebelum dan sesudah Cognitive Behavioral Religious Therapy

(CBRT) dilaksanakan. Hal ini berarti bahwa CBRT dapat meningkatkan kesehatan

emosi. Jadi hipotesis yang menyatakan ada pengaruh Cognitive Behavioral Religious

Therapy (CBRT) terhadap kesehatan emosi pada remaja pecandu napza dapat

diterima.

Berdasarkan hasil analisis tambahan diperoleh :

1. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) tidak mempunyai pengaruh

terhadap kesehatan emosi pada responden yang masuk dalam kategori tingkat

kesehatan emosi tinggi

2. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap kesehatan emosi pada responden yang masuk dalam

kategori tingkat kesehatan emosi sedang.

3. Cognitive Behavioral Religious Therapy (CBRT) mempunyai pengaruh yang

signifikan terhadap kesehatan emosi pada responden yang masuk dalam

kategori tingkat kesehatan emosi rendah.

Page 34: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

B. Saran

Bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian mengenai Cognitive

Behavioral Religious Therapy (CBRT), disarankan untuk melakukan observasi dan

wawancara dengan masing-masing subyek penelitian. Observasi dan wawancara

tersebut diharapkan dapat mengungkap faktor-faktor lain yang mempengaruhi kondisi

subjek yang tidak dikontrol dalam penelitian. Selain itu Cognitive Behavioral

Religious Therapy (CBRT) sebaiknya dipersiapkan secara matang agar hambatan-

hambatan yang muncul saat pelaksanaan terapi dapat diatasi dengan baik.

Page 35: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

DAFTAR PUSTAKA

Albin, R.S. 1986. Emosi. Bagaimana Mengenal, Menerima dan Menyerahkannya.

Yogyakarta : Kanisius

Alfiatin, T. 2001. Persepsi Terhadap Diri dan Lingkungan pada Remaja

Penyalahguna NAPZA. Psikologika No 12 tahun VI

Azwar, S. 2003. Reliabilitas san Validitas. Yogyakarta. Pustaka Pelajar

Bastaman, H.D. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam. Menuju Psikologi Islami.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar & Yayasan Insan Kamil.

Chaplin, J.P. 1989. Kamus Lengkap Psikologi. Terjemahan : Kartini Kartono. Jakarta

: CV. Rajawali.

Corey, G. 2005. Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung : PT Refika

Aditama.

Feldman, R.S. 2005. Understanding Psychology. 7th edition. New York : Mc Graw

Hill Companies Inc.

Goleman, D.1995. Emotional Intelligence. Sydney : Bantam Books.

Goleman, D. 1999. Kecerdasan Emosi. Alih Bahasa T, Hermaya. Jakarta : PT

Gramedia Pustaka Utama.

Guilford, J. P. 1959. The Nature of Human Intelligence. New York : Mc Graw Hill

Comp. Inc

Gunawan, W. 2006. Keren Tanpa Narkoba. Jakarta : PT Grasindo.

Haryanto, S. 1999. Terapi Religius Korban Penyalahgunaan NAPZA. Buletin

Psikologi. Thun VII, No 1. Yogyakarta

Hawari, D. 2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta :

Balai Penerbit FKUI

Hawari, D. 2004. Al-Qur’an. Ilmu Kedokteran dan Kesehatan Jiwa. Yogyakarta :

Dana Bakti Prima Yasa

Hude, M. D. 2006. Emosi. Penjelasan Religio-Psikologis Tentang Emosi Manusia di

dalam Al-Qur’an. Jakarta : Erlangga

Page 36: PENGANTAR - psychology.uii.ac.idpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · merasa jenuh dengan pekerjaannya, malas dan tidak pernah merasakan kenikmatan

Hurlock, E. B. 1973. Adolescene Development. Tokyo: Mc Graw Hill. Kogakusha,

Ltd

Kazdin, A. A. 2001. Behaviour Modification. In Applied Settings. 6th edition. Canada

: Wadsworth.

NN. Terus Meningkat Pelajar SD yang Menggunakan Narkoba.

http://www.kompas.com. 22/ 11/ 2007.

NN. Meresahkan, Maraknya Narkoba di Kalangan Pelajar.

http://www.kompas.com. 22/ 11/ 2007.

NN. Sekolah Sudah Jadi Sarang Narkoba. http://www.kompas.com. 22/ 11/ 2007.

Maslim, R. 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.

Jakarta

Mc. Kinney, F. 1950. Psychology of Personal Adjusment. 2nd edition. London : John

Wiley and Sons, Inc

Morgan, C.T. 1986. Introduction to Psychology. 7th ed. New York : Mc Graw Hill

Companies Inc.

Rinaldi, Dr. Kolom Dr Rinaldi. Proses Kekambuhan Napza. http://www.kompas.com.

22/ 11/ 2007.

Santrock, J.W. 2003. Adolescence. Edisi VI. Jakarta : Erlangga.

Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Schneiders, A. A. 1964. Personal Adjusment and Mental Health. New York : Holt,

Rinehart and Winston

Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental. Jilid 3. Yogyakarta : Kanisius.

Shihab, M.Q. 2006. Wawasan Al-Qur’an tentang Zikir dan Doa. Jakarta : Lentera

Hati.

Strongman, K.T. 2003. The Psychology of Emotion. From Everyday Live to Theory.

5th edition. Singapore : John Wiley and sons Inc.

Sulaeman, D. 1995. Psikologi Remaja. Dimensi-dimensi Perkembangan. Bandung :

Mandar Maju.

Young, P. T. 1950. Emotion in Man and Animal. New York : Mc Graw Hill