Top Banner
i PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU 802008120 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2013
49

Pengalaman Kesepian pada Wanita yang Berperan Sebagai ......traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang pada usia berapa pun (DeGenova & Rice, 2005). Hoyer dan Roodin (2003) menyatakan

Feb 06, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • i

    PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG

    BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL

    DALAM PERIODE EMPTY-NEST

    Oleh:

    MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU

    802008120

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi

    guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar

    Sarjana Psikologi

    PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2013

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG

    BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM

    PERIODE EMPTY-NEST

    Maria Nugraheni Mardi Rahayu

    Chr. Hari Soetjiningsih

    Aloysius L. S. Soesilo Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana

    ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian

    yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena

    kematian suami pada periode empty-nest, mencakup anteseden kesepian,

    perasaan yang muncul saat kesepian, serta respon terhadap perasaan

    kesepian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian

    kualitatif dan partisipan penelitian ini berjumlah tiga orang. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa kesepian yang dialami oleh ketiga partisipan muncul

    karena adanya kesenjangan antara harapan terhadap keberadaan orang-orang

    yang dikasihi dengan kenyataan yang terjadi. Anteseden kesepian yang

    dialami oleh partisipan antara lain ialah terminasi, perpisahan fisik,

    perubahan situasi, kekhawatiran akan stigma masyarakat, kondisi kesehatan

    partisipan, dan pengalaman masa kecil yang terbiasa dikelilingi banyak

    orang. Selain anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor yang

    membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara berlarut-larut, yaitu

    perubahan perkembangan, kondisi lingkungan yang akrab dan mendukung,

    kehadiran teman atau orang lain yang dipercaya, dan memiliki pekerjaan dan

    aktivitas yang produktif. Perasaan yang muncul saat para partisipan merasa

    kesepian antara lain kekosongan dalam hidup, perasaan tidak berguna,

    pemikiran tentang kematian dan kesendirian saat meninggal, merindukan

    kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masa-

    masa yang telah berlalu. Respon partisipan terhadap perasaan kesepian ialah

    dengan melakukan strategi koping yang dapat meringankan perasaan

    kesepian yaitu peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama

    dan keyakinan.

    Kata kunci: wanita, orangtua tunggal, kematian pasangan hidup, periode

    empty nest, pengalaman kesepian.

  • 1

    PENDAHULUAN

    Dalam proses pengasuhan anak, orangtua akan diperhadapkan pada

    proses untuk melepaskan, yaitu ketika anak-anak telah beranjak dewasa

    dan meninggalkan rumah untuk membangun kehidupannya sendiri.

    Tahap transisi orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari

    rumah dikenal dengan istilah empty-nest period atau periode sarang

    kosong (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Laswell dan Laswell (1987)

    mengemukakan bahwa kepergian anak terakhir dari rumah merupakan

    fase empty-nest dalam kehidupan keluarga. Marks, Bumpass, dan Jun

    (dalam Papalia dkk., 2009) menyatakan bahwa proses tersebut biasanya

    mendekati atau mencapai puncaknya ketika orangtua memasuki usia

    dewasa madya.

    Masa empty-nest dapat dianggap sebagai salah satu kejadian

    penting dan menantang yang dihadapi saat dewasa madya (Clelland &

    Chaytors, 1981). Fase ini dapat menimbulkan berbagai emosi yang

    bertentangan. Beberapa orangtua menganggap masa empty-nest sebagai

    masa kebebasan dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang

    tidak bisa dilakukan saat memiliki tanggungjawab mengasuh anak

    (DeGenova & Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian

    anak-anak yang sudah dewasa dapat memberi peluang adanya bulan

    madu kedua (Papalia dkk., 2009). Akan tetapi bagi orangtua lain fase ini

    terasa lebih sulit dilalui karena mereka beranggapan bahwa tugas mereka

    sebagai orangtua berakhir (Papalia dkk., 2009). Anggapan ini membuat

    banyak orangtua menjadi stres dan meningkatkan emosi negatif ketika

    masa tersebut hampir tiba. Akibatnya masa tua menjadi masa yang tidak

    menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang kehilangan makna hidup

    setelah bertahun-tahun dirinya memiliki peran sentral dalam kehidupan

    anak-anak.

    Hasil penelitian Lai (2002) menunjukkan bahwa masa empty-nest

    menimbulkan berbagai perasaan yang campur aduk dan rumit pada ibu,

  • 2

    antara lain sedih, merasa hidup kembali, bertanya-tanya tentang diri

    sendiri, merasa rindu pada anak-anak, menyesuaikan diri dengan

    perubahan, mengatasi kecemasan, serta mencari dukungan dari orang-

    orang di sekitar.

    Dalam menghadapi transisi ini, kerjasama antara suami dengan istri

    akan sangat diperlukan dan dapat membuat keadaan rumah tangga

    menjadi lebih baik, serta memperkuat pernikahan. Ketika anak-anak telah

    pergi dari rumah dan membina kehidupannya sendiri, orangtua akan

    memiliki waktu yang lebih banyak dan dapat melakukan aktivitas-

    aktivitas bersama. Kemudian mereka juga dapat saling mendukung untuk

    melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi, serta mengatasi

    kesepian dan kekosongan yang kerap kali muncul pada periode ini. Hal

    ini dapat membuat para ibu menjadi lebih mudah merelakan kepergian

    anak-anaknya dan menikmati keberhasilan menjadi orangtua.

    Di lain sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini tidak sedikit

    wanita yang menjadi orangtua tunggal (single parent) dalam mengasuh

    anak-anaknya. Mereka tidak memiliki pasangan (suami) yang dapat

    bersama-sama menghadapi transisi ini. Ada beberapa peristiwa yang

    menyebabkan seorang wanita menjadi orangtua tunggal, antara lain

    adalah kematian pasangan hidup, perceraian, perpisahan, atau

    ditinggalkan oleh pasangannya tanpa tanggung jawab atau bantuan untuk

    merawat anak (Kotwal & Prabhakar, 2009). Dari berbagai peristiwa

    tersebut kematian pasangan hidup merupakan kejadian yang paling

    traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang pada usia berapa pun

    (DeGenova & Rice, 2005). Hoyer dan Roodin (2003) menyatakan bahwa

    dalam peringkat kejadian yang menyebabkan stres, kematian pasangan

    hidup secara konsisten merupakan kejadian yang paling menyebabkan

    stres.

    Hal ini menjadi lebih rumit ketika kematian suami terjadi ketika

    istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa dewasa

  • 3

    madya. Berk (2012) memaparkan bahwa kehilangan pasangan hidup di

    masa dewasa awal atau pertengahan merupakan sebuah peristiwa tidak

    biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Ketika hal ini terjadi, tidak

    jarang di antara mereka menjadi terpuruk dalam duka cita, kesulitan

    keuangan, merasa kesepian, merasakan gangguan fisik dan mengalami

    gangguan psikologis (Santrock, 1999).

    Selain bergelut dengan perasaan kehilangan, individu yang

    kehilangan pasangan hidupnya pada usia muda dan paruh baya seringkali

    harus menanggung peran lebih besar dalam menghibur orang lain,

    terutama anak-anak (Lopata, dalam Berk, 2012). Kemudian mereka pun

    harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini adalah orangtua tunggal

    dalam mengasuh anak-anaknya. Wanita yang menjadi orangtua tunggal

    harus mengambil tanggung jawab untuk berperan sebagai ayah dan ibu

    sekaligus.

    Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kotwal dan Prabhakar (2009)

    di India menunjukkan bahwa wanita yang menjadi orangtua tunggal

    melaporkan bahwa mereka merasa kesepian, tidak memiliki harapan,

    mengalami depresi, serta kesulitan dalam mengambil tanggung jawab

    merawat anak-anak sendirian. Ketika masa-masa sulit mengasuh anak

    telah dilalui, wanita yang menjadi orangtua tunggal pada saatnya akan

    mengalami masa ketika anak-anak harus pergi meninggalkan rumah

    sehingga kekosongan dalam rumah pun akan semakin terasa (Andriyani,

    2007). Dalam masa ini, perasaan kesepian menjadi semakin sulit

    terelakkan.

    Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang individu

    rasakan pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri penting (Sears,

    Freedman, & Peplau, 1985). Kesepian dapat berlangsung ketika

    seseorang mengalami hubungan yang memuaskan sampai perubahan

    tertentu terjadi dalam hidupnya, seperti terpisah dari teman dan orang

    yang dicintai, atau mengakhiri hubungan yang penting karena kematian,

  • 4

    perceraian atau perpisahan. Lebih lanjut, Perlman dan Peplau (1981)

    menyatakan bahwa kesepian akan lebih dirasakan oleh seseorang kurang

    dari enam tahun pertama setelah perpisahan. Perpisahan dengan orang

    terdekat dapat mengurangi frekuensi interaksi dan membuat kepuasan

    terhadap hubungan menjadi kurang, serta dapat menimbulkan ketakutan

    bahwa hubungan tersebut akan semakin melemah karenanya (Perlman &

    Peplau, 1981).

    Dengan demikian, pengalaman kesepian merupakan pengalaman

    emosi yang sering ditemui pada wanita yang berperan sebagai orangtua

    tunggal dalam periode empty-nest. Peristiwa kematian pasangan hidup

    yang diikuti dengan perpisahan dengan anak-anaknya yang telah dewasa

    merupakan kejadian yang dapat memicu timbulnya perasaan kesepian.

    Ketika mengalami kesepian, individu akan cenderung merasakan

    keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient

    boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression)

    (Rubenstein, Shaver, dan Peplau, 1979). Hal ini tidak berarti bahwa

    kesepian akan terasa sama setiap waktu. Individu yang berbeda bisa saja

    memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang berbeda pula

    (Lopata, 1969 dalam Sinaga, 2007).

    Individu tidak hanya dapat mengalami perasaan kesepian saja,

    tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan kesepian

    yang ia rasakan. Dalam mengatasi perasaan tersebut, setiap individu

    memiliki strategi koping yang berbeda-beda. Hasil penelitian yang

    dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) menyatakan terdapat enam

    jenis strategi koping yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi

    kesepian. Keenam strategi tersebut adalah refleksi dan penerimaan

    (reflection and acceptance), pengembangan dan pemahaman diri (self-

    development and understanding), jaringan dukungan sosial (social

    support network), menjaga jarak dan penyangkalan (distancing and

  • 5

    denial), agama dan iman (religion and faith), serta peningkatan aktivitas

    (increased activity).

    Kesepian merupakan pengalaman subyektif dan tentunya dirasakan

    berbeda-beda oleh setiap orang yang mengalaminya. Penelitian yang

    mengkaji mengenai pengalaman kesepian telah dilakukan melalui

    berbagai metode penelitian dan juga dalam berbagai kelompok sosial

    yang memiliki resiko tinggi mengalami kesepian. Meskipun demikian,

    masih perlu dilakukan penelitian yang dapat mendeskripsikan secara

    detail pengalaman kesepian yang dialami oleh kelompok sosial yang

    memiliki resiko tinggi mengalami kesepian, yang salah satunya ialah

    pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode

    empty-nest.

    Peplau (1982) menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian

    mengenai pengalaman kesepian terdapat beberapa kunci pertanyaan yang

    perlu dipaparkan lebih lanjut, diantaranya adalah anteseden dari perasaan

    kesepian yang dialami, perasaan dan pikiran yang sering muncul pada

    orang-orang yang mengalami kesepian, dan strategi koping yang sering

    dilakukan serta dampak dari satu strategi koping dibandingkan dengan

    yang lain. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian

    untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita

    yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest, yang

    mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta strategi

    koping terhadap kesepian.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah

    penelitian ini adalah: Seperti apakah pengalaman kesepian pada wanita

    yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest yang

    mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta strategi

    koping terhadap kesepian?

  • 6

    Tujuan dan Manfaat Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan

    pengalaman kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua

    tunggal dalam periode empty-nest yang mencakup anteseden kesepian,

    perasaan saat kesepian serta strategi koping terhadap kesepian.

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan

    ilmiah untuk perkembangan teori-teori psikologi khususnya dalam bidang

    psikologi perkembangan dan psikologi sosial khususnya mengenai

    pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai

    orangtua tunggal dalam periode empty-nest. Bagi wanita yang berperan

    sebagai orangtua tunggal dan keluarga, hasil penelitian ini dapat

    bermanfaat untuk memberikan deskripsi pengalaman kesepian sehingga

    dapat lebih mampu mengatasi kesepian yang dialami serta membangun

    komunikasi yang baik.

    TINJAUAN PUSTAKA

    Kesepian

    Sears dkk., (1985) menyatakan kesepian (loneliness) berbeda

    dengan kesendirian (aloneness). Kesepian merupakan pengalaman

    subjektif, tergantung interpretasi orang tersebut terhadap berbagai situasi.

    Sedangkan kesendirian merupakan kondisi objektif yang dapat diamati.

    Hawkley (2006) mendefinisikan kesepian sebagai pengalaman yang

    menyebabkan stres yang muncul ketika hubungan sosial seseorang yang

    diterima kurang dalam kuantitas, dan lebih lagi dalam kualitas,

    dibandingkan dengan yang diharapkan.

    Selaras dengan hal tersebut, Perlman dan Peplau (1982)

    mengemukakan bahwa kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif

    yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan ciri-ciri

    pentingnya. Lebih lanjut Perlman dan Peplau (1981) mengemukakan

    bahwa kesepian memiliki tiga hal pokok yang perlu diperhatikan, yang

    pertama kesepian merupakan hasil dari kekurangan dalam hubungan

  • 7

    sosial seseorang. Kedua, kesepian merupakan fenomena subyektif (bukan

    merupakan sinonim dari isolasi obyektif, dimana seseorang bisa sendirian

    tanpa merasa kesepian). Ketiga, kesepian merupakan hal yang tidak

    menyenangkan dan menimbulkan distres.

    Terdapat beberapa hal yang dapat dipakai untuk membedakan

    jenis-jenis kesepian. Menurut Weiss (dalam Perlman & Peplau, 1981)

    terdapat 2 tipe kesepian, yang didasarkan pada kurangnya keterlibatan

    sosial. Dua tipe kesepian yang dikemukakan oleh Weiss yaitu kesepian

    emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social loneliness).

    Pada perkembangan selanjutnya, Perlman dan Peplau (1981)

    menyatakan bahwa waktu juga dapat digunakan sebagai dasar untuk

    membedakan jenis kesepian. Kesepian dapat dipandang sebagai

    “keadaan” sementara yang mungkin dihubungkan dengan kejadian

    spesifik seperti pindah ke dalam komunitas baru. Kesepian dapat juga

    dipandang sebagai “sifat” yang lebih kronis. Individu dapat merasakan

    “pengalaman” kesepian dalam jangka waktu yang relatif yang singkat,

    atau individu tersebut merupakan “orang yang kesepian”.

    Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

    bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subyektif yang tidak

    menyenangkan dan dapat menimbulkan distres yang terjadi karena

    adanya kekurangan hubungan sosial yang dicapai dibandingkan dengan

    yang diharapkan baik dalam kuantitas maupun kualitas.

    1. Dimensi Kesepian

    De Jong Gierveld (1998) mengemukakan bahwa kesepian merupakan

    fenomena yang multidimensi. Lebih lanjut De Jong Gierveld

    mengemukakan tiga dimensi kesepian, yaitu bentuk keterpisahan sosial,

    perspektif waktu, dan dimensi emosi.

  • 8

    2. Anteseden Kesepian

    Menurut Perlman dan Peplau (1981) anteseden kesepian dapat

    dibedakan menjadi dua yaitu kejadian-kejadian yang memicu munculnya

    kesepian (precipitating events) dan faktor-faktor penyerta individu untuk

    menjadi kesepian (predisposing factors). Kejadian yang memicu

    munculnya kesepian terbagi menjadi dua kategori yaitu perubahan pada

    pencapaian hubungan sosial seseorang yang terdiri dari terminasi,

    perpisahan fisik, dan perubahan status, dan perubahan dalam hasrat

    seseorang akan hubungan sosial yang terdiri dari perubahan

    perkembangan, perubahan situasional, dan perubahan dalam ekspektasi.

    Sedangkan faktor penyerta individu merupakan faktor-faktor yang ada

    dalam diri individu seperti karakteristik personal, kepribadian, budaya

    dan situasi sosial yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang untuk

    mengalami kesepian.

    3. Perasaan yang muncul saat Kesepian

    Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang. Berdasarkan survei

    yang dilakukan oleh Rubenstein dkk., (1979) terdapat empat jenis

    perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu keputusasaan

    (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient boredom),

    pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression).

    Keempat jenis perasaan kesepian ini menunjukkan adanya

    peningkatan dari ketidakpuasan yang terkadang muncul pada satu situasi

    sosial, menjadi lebih kronis dan keidakpuasan yang lebih intens, dan pada

    akhirnya, jika hal tersebut tidak menjadi lebih baik, akan menjadi

    kebencian diri (self-hatred) dan mengasihani diri (self-pity).

    4. Respon terhadap Kesepian

    Seperti perasaan yang muncul saat kesepian, respon atau reaksi

    individu terhadap pengalaman kesepian juga berbeda-beda. Rubenstein

    dkk., (1979) menyatakan bahwa saat mengalami kesepian, ada beberapa

    orang yang menjadi pasif (sad passivity). Di sisi lain, ada pula orang

  • 9

    yang aktif melakukan kegiatan (active solitude) dalam usaha melupakan

    kesepian mereka. Selain itu, ada pula orang yang melakukan kontak

    sosial (social contact) saat mengalami kesepian atau dengan

    menghabiskan uang (spending money) yaitu dengan berbelanja.

    Penelitian lain yang mengkaji tentang bagaimana seseorang

    memberikan respon terhadap rasa kesepian, khususnya melalui strategi

    koping, dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) yang menghasilkan

    enam jenis strategi koping terhadap kesepian, yaitu:

    a. Refleksi dan penerimaan (Reflection and acceptance)

    b. Pertumbuhan dan pemahaman diri (Self-Development and

    understanding)

    c. Agama dan keyakinan (Religion and faith)

    d. Jaringan dukungan sosial (Social Support Network)

    e. Pemisahan dan penyangkalan (Distancing and denial)

    f. Peningkatan aktivitas (Increased activity)

    Wanita yang berperan sebagai Orangtua Tunggal

    Menurut Duval dan Miller (dalam Sinaga, 2007), orangtua tunggal

    didefinisikan sebagai orangtua yang secara sendirian membesarkan anak

    tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya.

    Sedangkan Kotwal dan Prabhakar (2009) mendefinisikan keluarga

    dengan orangtua tunggal sebagai keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah

    tunggal yang merawat sendiri anak-anak mereka. Dengan demikian

    dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal adalah

    keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah tunggal yang merawat sendiri

    anak-anak mereka tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab

    pasangannya, yang disebabkan oleh meninggalnya pasangan atau karena

    perceraian.

    Keluarga dengan orangtua tunggal dapat terjadi antara lain karena

    kematian salah satu orangtua atau perceraian (Papalia dkk., 2009). Dari

    kedua penyebab tersebut peristiwa kematian pasangan hidup merupakan

  • 10

    kejadian yang paling traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang

    pada usia berapa pun (DeGenova & Rice, 2005).

    Matlin (2008) menyatakan bahwa lebih banyak wanita yang

    kehilangan pasangan hidupnya karena kematian dibandingkan pria. Hal

    ini disebabkan antara lain karena harapan hidup wanita cenderung lebih

    panjang dibandingkan pria, wanita cenderung menikah dengan pria yang

    lebih tua darinya, dan lebih sedikit wanita yang memutuskan untuk

    menikah kembali setelah pasangannya meninggal dibandingkan dengan

    pria.

    Peristiwa kematian pasangan hidup akan menjadi lebih berat ketika

    terjadi ketika istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa

    dewasa madya. Menurut Berk (2012), kematian pasangan hidup di masa

    dewasa awal atau pertengahan merupakan suatu peristiwa yang tidak

    biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Kemudian wanita yang

    kehilangan pasangan hidupnya pun harus menghadapi kenyataan bahwa

    mereka adalah orangtua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya, yang

    menuntut mereka untuk berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus.

    Periode Empty-Nest

    Kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah orangtua

    mereka adalah sesuatu yang wajar dalam siklus kehidupan berkeluarga.

    Anak-anak yang telah dewasa pada masanya akan mulai membangun

    kehidupannya sendiri. Masa ini biasa dikenal dengan istilah empty-nest

    period, atau periode sarang kosong. Clelland dan Chaytors (1981)

    menyatakan bahwa masa empty-nest adalah masa dalam kehidupan

    orangtua ketika anak-anak telah mulai beranjak dewasa dan

    meninggalkan rumah mereka. Senada dengan itu, Papalia dkk. (2009)

    mendefinisikan periode sarang kosong sebagai sebuah tahap transisi

    orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari rumah orangtua.

    Masa empty-nest dianggap sebagai salah satu kejadian yang

    penting dan menantang yang perlu dihadapi oleh individu pada usia

  • 11

    dewasa madya (Clelland & Chaytors, 1981). Pada masa ini, orangtua

    akan merasakan berbagai emosi-emosi yang bertentangan. Beberapa

    orangtua menganggap masa empty-nest membuat mereka menjadi lebih

    bahagia dibandingkan masa-masa sebelumnya (Lee, dalam DeGenova &

    Rice, 2005) dan sebagian lainnya berpendapat bahwa masa itu menjadi

    sesuatu yang mengesalkan (Lewis, Volk & Duncan, dalam DeGenova &

    Rice, 2005).

    Orangtua yang menganggap masa ini membuat mereka menjadi

    lebih bahagia, akan merasakan masa empty-nest sebagai masa kebebasan

    dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa

    dilakukan saat memiliki tanggung jawab mengasuh anak (DeGenova &

    Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak yang

    sudah dewasa dapat memberikan peluang adanya bulan madu kedua

    (Papalia dkk., 2009).

    Pada pasangan yang identitasnya bergantung pada peran

    orangtua, masa empty-nest akan terasa lebih sulit untuk dilalui (Papalia

    dkk., 2009). Mereka beranggapan bahwa tugas sebagai orangtua berakhir

    sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah untuk menjalani

    kehidupan mereka masing-masing. Tidak jarang orangtua merasakan

    kesepian, kesedihan, dan perasaan kosong akan rumah mereka yang

    terasa menjadi semakin sepi (Shakya, 2009). Akibatnya masa tua menjadi

    masa yang tampaknya tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang

    merasa kehilangan arti atau makna hidup setelah bertahun-tahun dirinya

    memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak (Papalia dkk., 2009).

    Meskipun demikian, sebenarnya kepergian anak-anak yang telah

    dewasa dari rumah orangtua mereka tidak menandai akhir menjadi

    orangtua. Sebaliknya, hal ini merupakan masa peralihan ke tahapan baru

    hubungan antara orangtua dengan anak-anak yang sudah dewasa (Papalia

    dkk., 2009).

  • 12

    METODE PENELITIAN

    Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

    metode penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini

    disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga menghasilkan

    karakteristik yaitu, wanita yang suaminya meninggal pada saat ia berusia

    dewasa madya (40-65 tahun), pada saat pengambilan data anak-anak

    telah pergi dari rumah untuk berkuliah, atau bekerja, atau telah menikah,

    dan tinggal di kota yang berbeda dengan ibunya, dan rentang waktu anak

    terakhir yang meninggalkan rumah orangtuanya dengan pengambilan

    data tidak lebih dari 6 tahun. Dalam penelitian ini sumber data akan

    disebut sebagai partisipan penelitian. Partisipan penelitian akan dipilih

    oleh peneliti secara purposif, yaitu memilih partisipan penelitian yang

    sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan. Berdasarkan

    karakteristik tersebut peneliti memperoleh tiga partisipan penelitian yang

    bersedia terlibat dalam penelitian ini.

    Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua metode

    pengumpulan data, yaitu wawancara semi-terstruktur dan observasi.

    Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan terdiri dari empat

    tahapan, menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2012), yaitu:

    1. Pengumpulan data

    2. Reduksi data

    3. Display data

    4. Kesimpulan

    Pengujian keabsahan data digunakan untuk memastikan kebenaran

    dari data yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti akan

    menggunakan teknik trianggulasi dan member check.

  • 13

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Gambaran Umum Partisipan

    Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita yang

    menjadi orangtua tunggal sejak suami mereka meninggal dan saat

    pengambilan data sedang berada dalam periode empty-nest, yaitu Ibu

    Kenanga, Ibu Lavender dan Ibu Seruni (nama samaran). Berikut akan

    dijabarkan gambaran partisipan dalam tabel di bawah ini:

    Ibu Kenanga (P1) Ibu Lavender (P2) Ibu Seruni (P3)

    Usia 52 tahun 64 tahun 58 tahun

    Pekerjaan Ibu rumah tangga Karwayan swasta

    (13ension)

    Guru SMA

    Jumlah anak 2 orang anak

    perempuan

    2 orang anak (laki-laki

    dan perempuan)

    2 orang anak

    perempuan

    Tempat

    tinggal anak

    Tangerang Jakarta Jakarta

    Agama Kristen Kristen Kristen

    Lama suami

    meninggal

    6 tahun 8 tahun 6 tahun

    Lama tinggal

    sendiri

    1 tahun 2 tahun 2 tahun

    Tabel 1. Gambaran Partisipan

    Peristiwa Kematian Pasangan Hidup dan Peran sebagai Orangtua

    Tunggal

    Ketiga partisipan penelitian kehilangan pasangan hidup masing-

    masing saat mereka berada pada usia dewasa madya (40-65 tahun).

    Kesedihan dan dukacita akibat kehilangan sosok yang penting dalam

    hidup mereka menjadi perasaan yang tidak terhindarkan. Kekagetan atas

    kepergian suami yang sedemikian cepat dan tiba-tiba juga dirasakan oleh

    ketiga partisipan. DeGenova dan Rice (2005) mengemukakan bahwa

  • 14

    kematian pasangan hidup merupakan salah satu kejadian yang paling

    traumatis pada usia berapa pun. Selain itu, Schaie dan Willis (dalam

    Sawitri, 2007) juga menyatakan bahwa kematian suami pada masa

    dewasa madya merupakan episode yang mungkin terlalu cepat dalam

    kehidupan individu.

    Dalam menghadapi dukacita atas kematian pasangan hidup mereka,

    para partisipan merasa amat terbantu dengan kehadiran serta dukungan

    dari keluarga serta teman-teman terdekat. Partisipan pertama (Ibu

    Kenanga) berusaha menjadi tegar dan kuat dalam menghadapi kehilangan

    ini untuk anak-anaknya. P1 juga merasa bersyukur dengan adanya

    dukungan dari keluarganya serta teman-teman dekatnya. Demikian pula

    dengan partisipan kedua (Ibu Lavender) yang merasa sangat terbantu

    dengan adanya salah seorang saudara yang bersedia tinggal di Salatiga

    dan menemaninya melewati masa-masa berduka, sementara kedua

    anaknya harus kembali melanjutkan studi mereka di luar kota. Partisipan

    ketiga (Ibu Seruni) juga merasa sangat terbantu dengan kehadiran

    keponakan yang bersedia tinggal di rumahnya untuk menemaninya

    selama beberapa waktu setelah suaminya meninggal.

    Selain menghadapi dukacita, kehilangan sosok penting yang

    dicintai juga menyebabkan berbagai perubahan dalam kehidupan para

    partisipan. Kepergian suami yang berperan sebagai tulang punggung

    keluarga membuat para partisipan mengalami perubahan kondisi

    keuangan, terutama pada P1 dan P2 yang masih harus menghidupi anak-

    anak yang belum mandiri. Dalam menghadapi perubahan kondisi

    keuangan keluarga tersebut, baik P1 maupun P2 mampu menemukan

    jalan keluar untuk menghidupi keluarganya dan menyesuaikan diri

    dengan perubahan yang ada. Berbeda dengan P3 yang memiliki

    pekerjaan tetap dan anak-anaknya telah bekerja tidak mengalami

    kesulitan dalam kondisi keuangan keluarganya.

  • 15

    Kepergian suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga tentu

    juga membawa perubahan dalam kehidupan keluarga. Ketiadaan sosok

    kepala rumah tangga yang seringkali menjadi pengambil keputusan

    dalam keluarga mendorong para partisipan berusaha untuk mengambil

    peran tersebut dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru. Dalam

    menghadapi berbagai perubahan ini, para partisipan juga merasa terbantu

    dengan anak-anak mereka yang dapat bekerja sama dan memahami

    kondisi keluarga.

    Periode Empty-Nest sebagai tahap dalam kehidupan berkeluarga

    Dalam kehidupan berkeluarga, ada masanya ketika anak-anak yang

    telah dewasa memutuskan untuk pergi dari rumah dan membangun

    kehidupannya sendiri. Masa tersebut dikenal dengan istilah periode

    empty-nest. Kepergian anak-anak dari rumah orangtuanya dapat didorong

    oleh beberapa hal diantaranya melanjutkan pendidikan di luar kota,

    memperoleh pekerjaan di kota lain, atau menikah dan membangun rumah

    tangganya sendiri. Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan

    penelitian. Anak-anak para partisipan yang telah dewasa kemudian

    memutuskan untuk tinggal di luar kota dan meninggalkan rumah

    orangtua mereka.

    Peristiwa kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah

    orangtua mereka menimbulkan berbagai perasaan yang berbeda-beda

    bagi ketiga partisipan. P1 merasa sangat kehilangan terutama ketika anak

    bungsunya menyusul kakaknya untuk tinggal di luar kota karena

    memperoleh pekerjaan di kota tersebut. P1 merasa bahwa ia dan anak

    bungsunya masih saling membutuhkan dan belum bisa berpisah. Akan

    tetapi P1 juga tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki

    anaknya, sehingga ia berusaha untuk merelakan anak bungsunya pergi.

    Perasaan sedih dan kehilangan dirasakan oleh P1 saat berpisah dengan

    anak bungsunya. Di sisi lain P1 juga merasa bahagia karena anak-

    anaknya kini telah dewasa dan dapat membangun kehidupannya sendiri.

  • 16

    Berbeda dengan P1, P2 tidak merasa berkeberatan saat anak-

    anaknya melanjutkan pendidikan maupun bekerja di luar kota, bahkan di

    luar negeri. Pengalaman merantau dan jauh dari orangtua saat muda

    membuat P2 tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki anak-

    anaknya dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk

    mengambil keputusan dalam hidup. Demikian pula dengan P3. Sejak

    masa pengasuhan, P3 dan suaminya memberikan kelonggaran kepada

    anak-anaknya dalam mengambil keputusan. Sebagai orangtua, P3 dan

    suami hanya memberikan nasehat atau pandangan kepada anak-anaknya,

    akan tetapi tidak memaksakan keinginan mereka pada anak-anak.

    Demikian pula halnya saat anak-anak P3 memutuskan untuk bekerja di

    luar kota, P3 menilai anak-anaknya telah dewasa dan menghormati

    keputusan yang diambil oleh anak-anaknya.

    Pengalaman yang berbeda dialami oleh P3 beberapa tahun

    sebelumnya, yaitu pada saat anak bungsunya ingin melanjutkan

    pendidikan di luar kota setelah lulus SMP. P3 yang merasa anaknya

    belum cukup dewasa dan mandiri sebenarnya merasa keberatan dan

    khawatir. Ia juga merasa sangat kehilangan karena tidak dapat berjumpa

    dengan anaknya setiap hari. Akan tetapi karena telah berjanji, P3 tetap

    mengijinkan anaknya bersekolah di luar kota dan tinggal di rumah

    saudara. P3 juga sebenarnya merasa keberatan saat anak sulungnya akan

    menerima pekerjaan di luar Jawa karena dirasa terlalu jauh serta memiliki

    kondisi daerah yang kurang nyaman. Meskipun pada akhirnya P3

    menyerahkan keputusan kepada anaknya, perasaan keberatan dan tidak

    rela tetap dirasakan oleh P3. Jarak yang terlalu jauh dan kondisi

    lingkungan yang kurang sehat menjadi faktor yang membuat P3 merasa

    tidak rela, dan lebih lega saat anaknya memutuskan untuk menolak

    pekerjaan tersebut.

    Saat anak-anak mulai meninggalkan rumah, sebenarnya para

    partisipan mengaku memiliki harapan untuk dapat tinggal berdekatan

  • 17

    atau bersama-sama dengan anak-anak. Meskipun demikian, ketiga

    partisipan penelitian menyadari bahwa anak-anak mereka telah dewasa

    dan memiliki kehidupan masing-masih serta membuat mereka tidak lagi

    tinggal di rumah orangtuanya. Demikian halnya dengan para partisipan

    yang juga memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan. Dengan

    pertimbangan-pertimbangan tersebut ketiga partisipan memutuskan untuk

    tetap tinggal di rumah dan melanjutkan pekerjaan atau aktivitas yang

    dimiliki meskipun harus sendiri. Perasaan tidak ingin meninggalkan

    rumah yang telah ditempati bertahun-tahun dan memiliki kenangan

    bersama orang yang dicintai juga menjadi alasan ketiga partisipan tidak

    memilih tinggal bersama dengan anak-anak mereka.

    Seperti yang dialami oleh ketiga partisipan, hal serupa

    dikemukakan oleh Gonyea, Hudson, dan Seltzer (1990, dalam Papalia

    dkk., 2009) bahwa “tua di rumah sendiri” merupakan sebuah hal yang

    masuk akal bagi mereka yang mampu mengatur diri sendiri atau hanya

    membutuhkan sedikit bantuan, memiliki pendapatan yang cukup untuk

    perawatan rumah dan keperluan sehari-hari, serta merasa bahagia di

    lingkungannya dan ingin mandiri, memiliki privasi, tetap dekat dengan

    teman-teman. Ketiga partisipan menyampaikan bahwa mereka memiliki

    pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri, memiliki teman-

    teman yang dekat, merasa nyaman dengan lingkungan yang ditempati,

    serta memiliki kondisi kesehatan yang masih baik. Pada P2, meskipun

    mulai mengalami penurunan kondisi fisik seiring bertambahnya usia,

    namun ia masih dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Selain itu

    P2 juga memperoleh bantuan dari pembantu rumah tangga untuk

    melakukan pekerjaan rumah tangga.

    Hubungan dengan Anak-anak yang Telah Dewasa

    Meskipun berpisah dengan anak-anak yang telah dewasa, kemajuan

    teknologi memudahkan para partisipan untuk tetap berkomunikasi

    dengan anak-anak mereka. Berbagai fasilitas komunikasi yang ada

  • 18

    dimanfaatkan oleh para partisipan untuk berkomunikasi dengan anak-

    anak meskipun dipisahkan oleh jarak. Hal ini selaras dengan yang

    dikemukakan oleh DeGenova dan Rice (2005) bahwa orangtua terutama

    ibu, secara konsisten memiliki derajat tinggi dalam melakukan

    komunikasi dengan anggota keluarga yang lain termasuk anak-anak yang

    telah menikah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa biasanya wanita lansia

    lebih dekat dengan anak-anak mereka, dibandingkan dengan pria lansia

    meskipun telah tinggal di tempat yang berbeda. Diungkapkan oleh

    Papalia dkk., (2009) bahwa hal tersebut dipengaruhi antara lain karena

    peran sebagai ibu membuat mereka melewatkan waktu lebih banyak

    dalam pengasuhan sejak kecil sehingga menciptakan kedekatan antara

    keduanya.

    Kendati demikian, para partisipan menyadari kesibukan dan

    tanggung jawab anak-anak mereka, sehingga para partisipan berusaha

    untuk menyesuaikan waktu untuk berkomunikasi. P1 mengaku tidak

    memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya. P1

    memutuskan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya saat merasa

    ingin namun tetap menyesuaikan dengan waktu kesibukan anak-anaknya.

    Demikian pula P2 dan P3, yang lebih sering berkomunikasi dengan anak-

    anaknya di malam hari ataupun akhir pekan supaya tidak mengganggu

    pekerjaan anak-anaknya.

    Meskipun tidak lagi tinggal bersama, kedekatan para partisipan

    dengan anak-anak mereka dirasakan tetap sama oleh para partisipan.

    Anak-anak partisipan yang telah dewasa masih sering menceritakan hal-

    hal yang dialami kepada ibunya, baik dalam pekerjaan ataupun

    permasalahan yang sedang dihadapi. Demikian juga sebaliknya, para

    partisipan juga tidak segan untuk menceritakan hal-hal yang mereka

    alami kepada anak-anak. Kedekatan yang terbangun antara para

    partisipan dengan anak-anak mereka yang telah dewasa tidak terlepas

    dari hubungan baik yang terbentuk sejak masa pengasuhan.

  • 19

    P1 mengaku merasa dekat dengan anak-anaknya dan memiliki

    hubungan yang terbuka. Akan tetapi di sisi lain, P1 juga menyadari

    bahwa kedua anaknya membatasi pembicaraan mereka pada hal

    kesehatan dan pekerjaan namun lebih tertutup dalam masalah pribadi.

    Menurut P1, anak-anaknya memang cenderung tertutup untuk hal-hal

    tertentu. Oleh sebab itu, P1 mencoba untuk memancing anak-anaknya

    supaya menceritakan hal-hal yang belum diceritakan tanpa memaksa

    mereka.

    Sedangkan P2 merasa anak-anaknya sangat terbuka kepadanya dan

    menceritakan hal-hal yang mereka alami baik dalam pekerjaan maupun

    hubungan dengan orang lain. P2 mengungkapkan bahwa sejak kecil

    mereka memang sering bercerita kepada ibunya mengenai hal-hal yang

    dialami di sekolah atau di lingkungan rumah. P2 menilai bahwa

    keterbukaan tersebut juga nampak dari hubungan antara kedua anaknya

    yang tidak ragu untuk bercerita atau meminta saran kepada satu sama

    lain.

    Pengalaman yang berbeda dirasakan oleh P3, yang menilai bahwa

    anak sulungnya lebih terbuka kepada orangtuanya dibandingkan dengan

    anak bungsunya. P3 menilai bahwa kurang terbukanya anak bungsu

    kepada orangtuanya antara lain karena anak bungsunya telah tinggal di

    luar kota sejak remaja. Keterbatasan fasilitas untuk berkomunikasi saat

    itu membuat mereka jarang berbicara panjang lebar dan hanya bertemu

    satu minggu sekali. Sedangkan anak sulung yang tinggal di rumah hingga

    selesai kuliah lebih terbiasa berdiskusi dengan kedua orangtuanya.

    Secara umum ketiga partisipan memiliki hubungan yang baik dan

    dekat dengan anak-anak mereka bahkan ketika anak-anak telah dewasa

    dan tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Hal tersebut tidak terlepas

    dari hubungan yang terbentuk sejak anak-anak masih dalam pengasuhan

    kedua orangtuanya. Belsky (dalam Lasswell & Laswell, 1987)

    mengungkapkan bahwa orangtua yang dulu hangat dan mendukung saat

  • 20

    di masa kanak-kanak pertengahan dan remaja lebih berpeluang memiliki

    kontak dan kedekatan dengan anak mereka di masa dewasa awal.

    Pengalaman Kesepian

    Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan

    kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal bersama anak-

    anak dan terlebih lagi setelah pasangan hidup tiada, menimbulkan

    perasaan kesepian dalam diri para partisipan pada waktu-waktu tertentu.

    Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Sears dkk., (1985)

    mengungkapkan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif

    individu, yaitu tergantung pada interpretasi individu terhadap berbagai

    situasi yang dialaminya. Kesepian berbeda dengan kesendirian, yang

    merupakan kondisi objektif yang dapat diamati. Selaras dengan

    pandangan tersebut, ketiga partisipan dalam penelitian ini mempunyai

    pandangannya masing-masing terhadap pengalaman kesepian yang

    mereka alami.

    P1 memandang bahwa perasaan kesepiannya tidak selalu muncul

    setiap ia sendirian di rumahnya. Bagi P1, perasaan kesepian ia rasakan

    ketika tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan yang harus dilakukan saat

    berada di rumah sendiri. Tidak memiliki kegiatan dan teman di rumah

    membuat P1 sering memikirkan ketidakhadiran orang-orang yang

    disayanginya dan pemikiran tersebut memunculkan perasaan kesepian

    pada diri P1.

    Perasaan kesepian yang dirasakan P1 juga muncul karena adanya

    kesenjangan antara harapan dengan apa yang ia alami. Meskipun

    merelakan anak-anaknya tinggal di luar kota, P1 sebenarnya memiliki

    keinginan untuk dapat selalu berkumpul dan dekat dengan keluarganya,

    terutama dengan anak bungsunya. Ketika anak bungsunya memutuskan

    untuk tinggal di luar kota, sebenarnya P1 masih meyakini bahwa ia dan

    anak bungsunya masih saling membutuhkan. Karena tidak ingin

    menghalangi masa depan dan kesempatan yang dimiliki anaknya, P1

  • 21

    berusaha merelakan anaknya pindah ke luar kota. Akan tetapi perpisahan

    tersebut tetap membuatnya merasa sedih dan kesepian jika mengingat hal

    tersebut. Perasaan kesepian yang dialami oleh P1 merupakan kesepian

    emosional, yang muncul karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim.

    Sedangkan bagi P2, kesepian dirasakan ketika ia tidak dapat

    berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya pada waktu-waktu

    yang ia harapkan yaitu pada saat hari raya keagamaan seperti paskah atau

    natal. Sudah menjadi tradisi bagi keluarga P2 bahwa hari-hari raya

    merupakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Akan tetapi

    setelah anak-anaknya bekerja di luar kota, tidak setiap hari libur mereka

    dapat berkumpul dikarenakan kesibukan masing-masing sehingga ketika

    pada hari-hari tersebut ia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya

    partisipan merasa kesepian. Kenangan akan kebersamaan keluarganya

    menimbulkan perasaan kehilangan dalam diri P2.

    Hal serupa juga dirasakan oleh P3. Kebiasaan berkumpul pada

    saat hari raya keagamaan membuat partisipan merasa tidak lengkap jika

    tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Perasaan kesepian juga

    dirasakan oleh P3 saat ia harus menghadapi suatu masalah sendirian. P3

    yang terbiasa memperoleh bantuan dari suaminya merasa kehilangan

    teman berdiskusi dan kesepian saat harus menyelesaikan masalah atau

    mengambil keputusan sendirian.

    Dari pandangan ketiga partisipan tersebut, dapat ditarik

    kesimpulan bahwa perasaan kesepian yang dialami oleh wanita yang

    berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty nest tidak selalu

    muncul, namun merupakan keadaan sementara dan dirasakan pada

    waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama saat harapan

    partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihinya pada saat-saat

    tertentu tidak terpenuhi. Rubenstein dan Shaver (dalam Peplau, 1982)

    mengemukakan bahwa kesepian seperti rasa lapar, yang merupakan

    sinyal alami yang memberitahu bahwa salah satu kebutuhan penting tidak

  • 22

    terpenuhi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kesepian merupakan respon

    terhadap kekurangan dua kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan

    keintiman yaitu hubungan yang dekat dengan satu atau lebih orang yang

    istimewa dan kebutuhan akan komunitas yaitu perasaan memiliki pada

    jaringan dengan teman-teman atau rekan.

    Selain itu perasaan kesepian juga muncul saat partisipan

    mengingat atau memikirkan kembali kenangan-kenangan mereka

    bersama dengan orang-orang yang dikasihi namun telah tiada atau

    berpisah. Kenangan bersama dengan orang-orang yang dikasihi dapat

    menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi sesuatu

    yang menimbulkan perasaan kesepian serta kesadaran bahwa masa-masa

    tersebut telah berlalu.

    Anteseden Kesepian

    Perlman dan Peplau (1981) menyebutkan bahwa anteseden

    kesepian dapat dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian-kejadian

    yang memicu kesepian dan faktor-faktor penyerta kesepian.

    Kejadian yang memicu perasaan kesepian

    Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kejadian-kejadian yang

    memicu kesepian (precipitating events) yang dialami oleh para partisipan

    antara lain adalah terminasi (termination), perpisahan fisik (physical

    separation), dan perubahan situasional (situational changes) yang akan

    dipaparkan berikut ini:

    a. Terminasi (termination)

    Berakhirnya hubungan emosional yang dekat merupakan salah satu

    penyebab yang paling umum dalam munculnya perasaan kesepian.

    Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan setelah kepergian

    pasangan hidup mereka. Kematian pasangan hidup yang telah menikah

    dan hidup bersama dengan mereka selama bertahun-tahun menimbulkan

    perasaan kehilangan dan kekosongan tiba-tiba dalam diri ketiga

    partisipan. Ketidakhadiran sosok suami di rumah yang telah ditempati

  • 23

    keluarga mereka selama bertahun-tahun tentu dapat menimbulkan

    perasaan kesepian pada ketiga partisipan.

    Bagi P3 perasaan kekosongan tersebut terutama juga diperkuat

    karena selama beberapa tahun ia hanya tinggal berdua dengan suaminya

    setelah anak pertama mereka bekerja di luar kota lalu menikah dan anak

    kedua melanjutkan pendidikan di kota lain. Meskipun anak kedua masih

    rutin pulang ke rumah beberapa kali dalam satu bulan, P3 lebih banyak

    melewatkan waktu di rumah hanya berdua dengan suaminya.

    Selain itu, P3 dan suaminya juga sering mengikuti berbagai

    aktivitas bersama-sama. Oleh karena itu kepergian suami yang begitu

    tiba-tiba menimbulkan perasaan kesepian pada diri P3. Bahkan pada

    awal-awal kematian suaminya, P3 seringkali lupa bahwa suaminya sudah

    meninggal dan masih menunggu suaminya pulang ke rumah. Keyakinan

    bahwa ada Tuhan yang tetap menjaganya meski suaminya telah tiada

    membuat P3 merasa lebih kuat dan dapat menyesuaikan diri dengan

    kepergian suaminya.

    b. Perpisahan fisik (physical separation)

    Selain terminasi, perpisahan fisik dengan anak-anak sebagai orang-

    orang yang dekat dan disayangi, juga memicu munculnya perasaan

    kesepian pada diri partisipan. Perpisahan fisik tentu mengurangi

    frekuensi interaksi antara para partisipan dengan anak-anak mereka. Jarak

    yang cukup jauh antara tempat tinggal para partisipan dengan tempat

    tinggal anak-anak mereka membuat mereka tidak dapat bertemu setiap

    hari dan hanya bertemu tiga atau empat kali dalam setahun serta hanya

    berkomunikasi melalui telepon atau surat elektronik.

    Perpisahan fisik membuat para partisipan tidak dapat berjumpa

    dengan anak-anak atau cucu mereka kapan pun mereka ingin. Meskipun

    dapat berkomunikasi melalui telepon, hal tersebut tentu tidak sama jika

    dibandingkan dengan kepuasan yang dirasakan para partisipan saat

    bertemu secara langsung dengan orang-orang yang dikasihi.

  • 24

    c. Perubahan situasi (situational changes)

    Perubahan situasi juga merupakan pemicu perasaan kesepian yang

    dialami oleh para partisipan. Seperti yang telah dikemukakan oleh

    Perlman dan Peplau (1981), bahwa hasrat seseorang untuk bersama

    dengan orang lain bukan merupakan sesuatu yang konstan. Demikian

    halnya yang dirasakan oleh para partisipan. Harapan untuk dapat bersama

    anak-anak dan orang-orang yang dikasihi muncul lebih kuat dalam diri

    para partisipan pada situasi-situasi tertentu. Keinginan P1 untuk bersama

    dengan anak-anaknya muncul lebih kuat saat ia sendirian di rumah dan

    tidak memiliki kegiatan. Bagi P1 pada saat-saat seperti itu ia merasa lebih

    nyaman jika ada orang lain yang bisa menemaninya. Kenangan akan

    kebersamaan dengan anak-anak dan suami di waktu lampau membuat P1

    menyadari bahwa saat ini ia telah sendiri dan hal tersebut menimbulkan

    perasaan kesepian.

    Hal yang berbeda dirasakan oleh P2 dan P3 yang memiliki

    keinginan untuk bersama keluarganya (anak-anak) saat hari-hari raya

    keagamaan. Berbeda dengan P1 yang selalu dapat berkumpul bersama

    anak-anak di hari raya atau libur, P2 dan P3 tidak selalu bisa berkumpul

    dengan anak-anaknya pada waktu-waktu tersebut. Kesibukan pekerjaan

    dan kegiatan P2 dan P3 serta anak-anaknya membuat mereka tidak selalu

    dapat berkumpul bersama. Sedangkan pada waktu-waktu yang lampau,

    berkumpul bersama dengan keluarga di waktu-waktu istimewa sudah

    menjadi tradisi dan kebiasaan keluarga, sehingga ketika para partisipan

    yang telah kehilangan suaminya tidak dapat berkumpul dengan anak-

    anak di waktu yang diinginkan menyebabkan perasaan rindu dan juga

    kesepian. Bahkan ketika P3 ditemani oleh anggota keluarganya yang lain

    pun perasaan kekosongan akibat tidak dapat bertemu langsung dengan

    anak-anaknya masih tetap terasa.

    Bagi P3, keinginan untuk bersama orang lain terutama suami dan

    anak-anaknya juga muncul saat ia harus menghadapi suatu permasalahan

  • 25

    sendirian. P3 sudah terbiasa dengan bantuan dan nasehat dari suaminya

    saat mengalami suatu masalah atau harus mengambil keputusan, sehingga

    ketidakhadiran suami di saat-saat penting tersebut membuatnya merasa

    sangat kesepian dan merindukan suaminya. Tidak jarang pula P3 masih

    mengharapkan dan mengangankan suaminya masih ada di sampingnya.

    Pemikiran tersebut membuat partisipan semakin merasa kesepian dan

    sendirian.

    Faktor penyerta perasaan kesepian

    Selain kejadian yang memicu, terdapat pula faktor-faktor penyerta

    (predisposing factors) kesepian pada para partisipan. Faktor penyerta

    kesepian merupakan faktor yang lebih berisfat personal seperti

    kepribadian, nilai, juga karakteristik demografis dari individu yang

    mengalami kesepian yang dapat berkontribusi terhadap perasaan kesepian

    yang dialami.

    Setelah suaminya meninggal, P1 memiliki kekhawatiran terhadap

    pandangan negatif orang-orang disekitarnya yang dapat muncul jika ia

    terlalu sering bepergian atau dikunjungi oleh tamu pria yang bukan

    keluarga atau teman dari gereja yang sama. Dengan adanya kekhawatiran

    tersebut, P1 membatasi kegiatannya di luar rumah dan hanya bepergian

    untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rutin yang sering diikutinya atau

    untuk berbelanja.

    Untuk mencegah munculnya pandangan negatif dari orang-orang

    disekitarnya, P1 juga membatasi orang-orang yang boleh berkunjung ke

    tempat tinggalnya. P1 kerap kali menghindari percakapan dengan pria

    yang tidak terlalu dekat dan tidak mengatakan kondisi keluarganya yang

    sebenarnya. P1 bahkan tidak terlalu sering mengunjungi keluarganya

    yang berada di Salatiga jika tidak ada keperluan yang terlalu mendesak.

    Penelitian yang dilakukan Susanti (2010) menegaskan bahwa terdapat

    stigma masyarakat terhadap status “janda” yang seringkali dianggap

    sebagai makhluk lemah dan pantas untuk digoda. Adanya stigma

  • 26

    masyarakat tersebut terhadap status “janda” menimbulkan kekhawatiran

    pada diri P1 jika ia bisa mengalami kejadian buruk seperti dipandang

    rendah digoda oleh orang asing jika mereka mengetahui statusnya.

    Dengan adanya kekhawatiran tersebut, P1 mengurangi

    kesempatannya untuk berinteraksi dengan orang lain serta lebih banyak

    meluangkan waktu sendiri di rumah jika tidak ada kegiatan yang harus

    diikuti.

    Berbeda dengan P1, kondisi kesehatan P2 yang semakin menurun

    membuatnya memutuskan untuk mengurangi kegiatan yang

    mengharuskannya bepergian jauh atau melakukan aktivitas yang berat.

    Selain itu karena tidak memiliki kendaraan pribadi, P2 terkadang

    memutuskan untuk tidak menghadiri ibadah atau pertemuan jika

    dilakukan di tempat yang jauh dari rumahnya atau jika tidak ada

    tumpangan dari teman. Keterbatasan kondisi fisik dan fasilitas yang

    dimiliki, membuat interaksi P2 dengan orang lain berkurang

    dibandingkan dengan saat ia masih dalam kondisi fisik yang lebih baik.

    Hal tersebut membuat P2 lebih sering berada di rumah.

    Sedangkan pada P3, faktor penyerta yang berkontribusi pada

    perasaan kesepian yang dialami ialah perasaan terbiasa bersama dengan

    orang lain. Lahir dalam keluarga yang besar dan memiliki enam saudara

    membuat P3 lebih terbiasa hidup bersama banyak orang. Selain itu pada

    masa kecil, keluarga P3 tinggal bersama orangtua ibunya sehingga ia

    nyaris tidak pernah sendirian. Pengalaman masa kecil tersebut juga

    berlanjut hingga P3 berkeluarga. P3 mengaku bahwa ia tidak pernah

    benar-benar hidup sendiri dan kurang mandiri. Dengan pengalaman

    kehidupan seperti itu, P3 lebih merasa nyaman jika bisa bersama dengan

    orang lain dan kurang terbiasa dengan kesendirian, terutama setelah

    suaminya meninggal.

    Selain terdapat kejadian-kejadian yang memicu perasaan kesepian

    maupun faktor penyerta kesepian, ternyata ditemukan pula beberapa

  • 27

    faktor yang membuat partisipan tidak merasa kesepian secara terus

    menerus atau mengalami kesepian kronis. Faktor yang pertama ialah

    perubahan perkembangan (developmental changes). Perlman dan Peplau

    (1982) mengemukakan bahwa perubahan perkembangan akan berdampak

    pada harapan akan hubungan sosial, yang dapat memicu timbulnya

    kesepian. Para partisipan yang sedang berada dalam masa dewasa madya,

    bahkan sudah mendekati masa dewasa akhir menyadari bahwa anak-anak

    mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing.

    Berada dalam masa dewasa madya membuat ketiga partisipan juga

    menyadari bahwa pada waktunya setiap orangtua akan melepaskan anak-

    anaknya yang telah dewasa dan merangkai masa depan. Kesadaran

    tersebut membuat para partisipan tidak ingin menjadi penghalang bagi

    anak-anak untuk membangun kehidupannya sendiri. Berbagai

    pengalaman hidup yang telah dilalui juga memberikan pengaruh pada

    para partisipan sehingga mereka memahami bahwa tanggungjawab dan

    pekerjaan anak-anak mereka membuat mereka harus berpisah, seperti

    saat mereka mulai meninggalkan orangtua mereka dulu.

    Perubahan perkembangan yang dialami oleh partisipan juga

    diiringi dengan bertambahnya pengalaman hidup. Dalam pengalaman

    hidupnya, P3 seringkali diingatkan oleh suaminya bahwa manusia tidak

    bisa selalu mendapatkan apa yang diinginkan, sehingga setiap manusia

    harus belajar untuk menerima keadaan yang ada dan senantiasa

    bersyukur. Melalui pengalaman hidup tersebut, P3 belajar untuk berusaha

    menerima kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan yang ia inginkan

    dan tetap bersyukur.

    Meskipun memiliki harapan untuk dapat tinggal bersama atau lebih

    sering bertemu dengan anak-anak mereka, ketiga partisipan memiliki

    pendapat bahwa masa ini merupakan masa bagi anak-anaknya untuk

    membangun kehidupannya sendiri. Para partisipan tidak ingin

    menghambat atau menghalangi masa depan anak-anak mereka. Dengan

  • 28

    adanya kesadaran tersebut maka terciptalah penerimaan akan kondisi dari

    periode yang sedang mereka alami saat ini sehingga para partisipan tidak

    berlarut-larut memikirkan keterpisahan mereka dengan anak-anak.

    Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal juga menjadi salah satu

    faktor yang membuat para partisipan tidak selalu merasa kesepian. Baik

    P1 dan P3 tinggal di lingkungan yang sama selama bertahun-tahun dan

    mengenal baik tetangga-tetangga di sekitarnya. P1 dan P3 pun terlibat

    secara aktif dalam aktivitas sosial di lingkungan tempat tinggal mereka.

    Bahkan P3 mengaku ia sangat bersyukur dengan keberadaan tetangga-

    tetangga dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para

    tetangganya. Kedekatan tersebut juga tampak dari kesediaan tetangga di

    sekitar rumah P3 untuk membantu jika terdapat pekerjaan perawatan

    rumah yang tidak dapat dikerjakan oleh P3 setelah suaminya meninggal.

    Sedangkan pada P1, ia memiliki hubungan yang baik dengan para

    tetangganya serta memiliki teman baik yang tinggal tidak jauh dari

    rumahnya. Keberadaan tetangga yang membantu saat P1 dan P2

    mengalami kesulitan atau membutuhkan bantuan membuat mereka

    merasa nyaman tinggal di lingkungan tersebut dan terlebih lagi membuat

    mereka tidak merasa sendiri.

    Berbeda dengan P1 dan P3, kondisi lingkungan sekitar tempat

    tinggal P2 tidak tampak terlalu akrab dan hangat. Hal tersebut nampak

    dari jarak rumah satu dengan yang lainnya yang tidak terlalu rapat, serta

    pagar-pagar tinggi yang ada di setiap rumah. Selain itu, P2 juga mengaku

    ia tidak banyak terlibat dalam kegiatan di lingkungan tersebut, yang juga

    jarang dilakukan. Namun, P2 memiliki pembantu rumah tangga yang

    tinggal bersamanya di pagi hingga sore hari. Selain membantu dalam

    mengerjakan pekerjaan rumah tangga, P2 juga menilai bahwa kehadiran

    pembantu rumah tangga juga menjadi teman untuk bercakap-cakap.

    Meskipun hubungan antara P2 dengan pembantu rumah tangganya tidak

  • 29

    sangat dekat, tetapi kehadiran pembantu rumah tangga cukup untuk

    membuat P2 merasa terbantu dan memiliki teman di rumah.

    Memiliki hobi juga menjadi faktor lain yang membuat P1 dan P2

    tidak merasa kesepian, bahkan menjadi salah satu strategi koping saat

    mengalami kesepian. Dengan memiliki hobi, P1 dan P2 memiliki

    kegiatan yang dapat dilakukan di rumah saat tidak memiliki pekerjaan

    yang harus dilakukan dengan demikian mereka tidak memiliki waktu

    untuk melamun dan memikirkan kesendirian.

    Hal tersebut sedikit berbeda dengan yang dialami oleh P3 yang

    tidak memiliki hobi khusus namun masih memiliki pekerjaan dan

    berbagai kesibukan. Pekerjaan sebagai guru SMA membuat P3 harus

    berada di sekolah dari pagi hingga siang. Selain mengajar, P3 juga

    menjadi pendamping siswa yang mengikuti lomba penelitian atau

    olimpiade mata pelajaran sehingga membuatnya berada di sekolah hingga

    sore hari pada waktu-waktu tertentu. Tidak jarang pula P3 masih harus

    melanjutkan pekerjaannya di rumah sehingga menurutnya tidak ada

    waktu untuk menganggur atau melamun.

    Di sisi lain kesibukan pekerjaan juga membuat frekuensi

    interaksinya dengan keluarga besar maupun kawan lama menjadi

    berkurang. Padatnya aktivitas juga membuatnya tidak dapat mengunjungi

    anak-anaknya meskipun sudah merasa sangat rindu sehingga hal ini juga

    dapat menjadi pemicu kesepian yang dialami oleh P3.

    Perasaan yang Muncul saat Kesepian

    Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang, demikian halnya

    yang dirasakan oleh ketiga partisipan. Saat mengalami kesepian, P1

    merasa sangat merindukan kehadiran orang-orang yang disayanginya.

    Kesepian juga membuat P1 merasakan kekosongan dalam hidupnya dan

    muncul perasaan tidak berguna. P1 yang merasa masih muda dan

    seharusnya masih dapat melakukan sesuatu dan tidak hanya berada di

  • 30

    rumah membuatnya merasa tidak berguna. Meskipun demikian, P1 juga

    merasa lebih tenang karena memiliki waktu untuk sendiri.

    Saat mengalami kesepian P2 juga memiliki keinginan untuk

    bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Selain itu perasaan

    kesepian seringkali memunculkan pemikiran tentang kematian dalam diri

    P2. Pemikiran tentang kematian membuat P2 merasa khawatir jika suatu

    saat ia meninggal saat sendirian dan tidak ada orang lain yang

    mengetahui. Pemikiran tersebut tentunya menimbulkan perasaan yang

    tidak menyenangkan dan membuat P2 merasa tidak nyaman dengan

    kesendirian terutama saat akan beristirahat di malam hari.

    Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 dan P3,

    namun dengan cara yang berbeda. Pemikiran tentang kematian yang

    dialami oleh P1 muncul saat memikirkan harapannya akan masa depan.

    P1 menyatakan akan siap “dipanggil Tuhan” ketika anak bungsunya

    sudah menikah, sehingga tanggung jawabnya sebagai orangtua telah

    selesai. Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 ketika ia

    mengingat almarhum suaminya. P1 mengingatkan diri sendiri bahwa

    suaminya sudah bahagia di surga, sehingga ia tidak perlu bersedih lagi.

    Sedangkan bagi P3 pemikiran tentang kematian telah menjadi topik

    percakapannya dengan suami semasa hidup. Melalui percakapan-

    percakapannya dengan suami mengenai kematian, P3 tidak memiliki

    kekhawatiran tentang kematian. P3 meyakini bahwa Tuhan telah

    merencanakan hidup setiap manusia dan manusia hanya menjalaninya.

    Seperti dua partisipan yang lain, saat mengalami kesepian P3

    merasakan keinginan untuk ditemani oleh orang lain, terutama suaminya.

    P3 yang kerap mengalami kesepian saat harus menyelesaikan masalahnya

    sendiri, merasa sangat merindukan kehadiran suaminya dan berharap

    suaminya masih hidup. P3 juga berpikir bahwa jika suaminya masih

    hidup ia tidak akan merasa kesepian seperti yang dirasakannya, dan hal

    tersebut menimbulkan perasaan sedih dalam diri P3. P3 juga merasakan

  • 31

    kekosongan dan kurang lengkap saat harus melewatkan perayaan

    keagamaan tanpa anak-anaknya meskipun ia sedang bersama dengan

    sanak keluarganya yang lain.

    Dari ketiga partisipan dapat disimpulkan bahwa perasaan yang

    muncul saat partisipan mengalami kesepian ialah kekosongan yang

    muncul dari ketiadaan orang-orang yang dikasihi, perasaan tidak

    berguna, pemikiran tentang kesendirian saat meninggal, dan timbulnya

    keinginan untuk bersama orang lain, terutama keluarga. Selain itu

    kenangan akan masa-masa yang telah berlalu juga sering menjadi muncul

    saat para partisipan merasa kesepian, meskipun pada beberapa situasi

    kenangan justru menjadi salah satu pemicu timbulnya perasaan kesepian.

    Strategi Koping untuk meringankan perasaan kesepian

    Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ketiga partisipan menyadari

    akan perasaan kesepian yang dialami. Kesadaran tersebut ditunjukkan

    dari kemampuan partisipan untuk menjelaskan hal-hal yang memicu

    perasaan kesepiannya, serta apa yang dirasakan saat mengalami kesepian.

    Dengan menyadari perasaan kesepian yang dialami, partisipan memiliki

    kesadaran untuk melakukan strategi koping yang dapat meringankan

    perasaan kesepian. Saat merasa kesepian, para partisipan berusaha untuk

    melakukan sesuatu sehingga perasaan kesepian yang dialami bisa

    menjadi lebih ringan. Dari keenam strategi koping terhadap kesepian

    yang dikemukakan oleh Rokach dan Brook (1998), terdapat tiga strategi

    koping yang diterapkan oleh partisipan, yaitu:

    a. Peningkatan aktivitas

    Rokach dan Brook (1998) mengemukakan bahwa peningkatan

    aktivitas menekankan pada usaha individu mencurahkan perhatian pada

    pekerjaan serta mengikuti kegiatan tambahan yang dapat membuat waktu

    yang seringkali dilewatkan sendirian menjadi lebih menyenangkan,

    produktif, dan berarti, atau bahkan dapat meningkatkan kontak dan

    hubungan sosial. Pada P1 dan P2 yang tidak memiliki pekerjaan tetap

  • 32

    peningkatan aktivitas dilakukan dengan terlibat dalam kegiatan-kegiatan

    sosial atau mengerjakan hobi.

    Dengan adanya kegiatan sosial di lingkungan seperti Posyandu dan

    PKK, P1 dapat memiliki kegiatan yang produktif serta meningkatkan

    interaksinya dengan orang lain. P1 menjelaskan bahwa ia memiliki

    beberapa teman yang dekat melalui keikutsertaan dalam kegiatan

    tersebut. Selain itu terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan

    masyarakat menimbulkan perasaan menyenangkan dan berguna dalam

    diri P1. Meskipun bagi P1 apa yang dilakukan olehnya tidak seberapa,

    tetapi hal tersebut menimbulkan perasaan dibutuhkan dan dihargai

    sehingga ia memiliki penghargaan yang lebih baik pada dirinya.

    Sedangkan bagi P2, peningkatan aktivitas dilakukan dengan

    mengikuti program penyediaan tempat tinggal (homestay) bagi

    mahasiswa dari luar negeri yang belajar bahasa dan budaya Indonesia di

    Salatiga. Melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, P2 tidak

    hanya memperoleh tambahan pendapatan namun juga aktivitas untuk

    mempersiapkan kebutuhan mahasiswa asing. Selain itu P2 juga merasa

    senang karena ada orang lain yang menemaninya di rumah selama

    beberapa waktu serta dapat mempelajari lagi kemampuan bahasa asing

    yang dimilikinya.

    Selain kegiatan-kegiatan tersebut P1 dan P2 memilih untuk

    mengerjakan hobi mereka masing-masing di waktu luang yang dimiliki.

    P1 yang memiliki hobi menjahit serta berkebun mengaku bahwa dengan

    adanya hobi tersebut ia bisa mengisi waktu luangnya dengan kegiatan

    yang lebih produktif. Dengan hobi menjahit, P1 bisa menciptakan

    beberapa benda yang memanfaatkan kain-kain perca atau yang tidak

    terpakai. Ketika melihat hasil karyanya, P1 merasa senang dan bangga

    akan dirinya sendiri.

    Perasaan serupa juga dialami oleh P2 melalui hobi yang berbeda,

    yaitu memasak. Dalam waktu-waktu luangnya, P2 mencoba berbagai

  • 33

    resep masakan yang baru dipelajarinya atau yang sedang ingin ia buat.

    Melalui hobi itu pula, P2 dapat memperoleh tambahan pendapatan

    dengan membuat kue-kue yang dipesan oleh teman-temannya.

    Memiliki aktivitas atau hobi membuat wanita yang berperan

    sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest dapat merasa bahwa

    masa tua bisa menjadi tetap produktif dan menimbulkan perasaan

    dihargai dan dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan dihargai dan masih

    dapat melakukan hal yang berguna dapat meringankan perasaan kesepian

    yang dialami oleh individu.

    b. Jaringan dukungan sosial

    Berkomunikasi orang lain di saat merasa kesepian merupakan salah

    satu strategi koping yang dilakukan oleh P2 dan P3. Rokach dan Brook

    (1998) menjelaskan bahwa strategi koping ini menekankan pada usaha

    individu untuk meningkatkan keterlibatan dan interaksi sosial dengan

    orang lain. Saat merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak,

    P2 berusaha untuk berkomunikasi melalui telepon dengan anak-anaknya.

    Hal ini juga dilakukan saat P2 tidak dapat berkumpul di hari-hari raya

    bersama dengan kedua anaknya, yang menimbulkan perasaan kesepian

    pada dirinya. Meskipun berkomunikasi melalui telepon tentu tidak

    memberikan kepuasan yang sama dengan jika bertemu secara langsung,

    tetapi dapat sedikit meringankan perasaan kesepian yang dialami oleh P2.

    Serupa dengan yang dialami oleh P2, P3 juga memilih untuk

    berkomunikasi dengan anak-anaknya melalui telepon saat merasa

    kesepian. P3 juga tidak segan untuk menceritakan masalah atau

    pergumulan yang membuatnya merasa kesepian kepada anak-anaknya.

    Selain itu, saat merasa kesepian P3 juga menceritakan pergumulannya

    kepada sahabat yang sudah sangat dekat dengan keluarganya. Meskipun

    anak-anak atau sahabat kadang kala tidak dapat memberikan solusi secara

    konkret terhadap masalahnya, P3 tetap merasa lebih lega setelah

    bercakap-cakap dengan orang lain.

  • 34

    Keberadaan orang lain di sisi individu saat mengalami kesepian

    memiliki peran penting dalam membantu meringankan perasaan

    kesepian. Interaksi dengan orang lain yang dekat dan memberikan

    perhatian menimbulkan perasaan tidak sendiri dan dicintai pada individu

    yang mengalami kesepian. Dengan merasa tidak sendiri serta dicintai

    oleh orang lain, individu akan merasa lebih nyaman dan meringankan

    perasaan kesepian yang dialami.

    c. Agama dan keyakinan

    Agama dan keyakinan sebagai salah satu strategi koping terhadap

    kesepian menekankan pada perasaan memiliki dan bersekutu yang

    muncul melalui keterlibatan dalam kegiatan kerohanian serta kekuatan

    dan ketentraman batin yang diperoleh individu melalui keyakinan pada

    Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi (Rokach & Brook, 1998). Strategi

    koping ini merupakan strategi koping yang dianggap paling baik oleh

    ketiga partisipan penelitian. Baik P1, P2 maupun P3 menyampaikan

    bahwa melakukan ibadah dan berdoa membuat mereka memperoleh

    ketenangan batin yang tidak diperoleh dari kegiatan yang lain.

    Saat mengalami kesepian, ketiga partisipan memilih untuk berdoa

    dan mencurahkan apa yang dirasakan, masalah yang sedang dihadapi

    serta segala kekhawatiran kepada Tuhan. Ketiga partisipan, yang

    semuanya beragama Kristen Protestan, juga memiliki keyakinan yang

    sama yaitu bahwa segala sesuatu telah diatur dan dipersiapkan oleh

    Tuhan bagi kehidupan umatnya. Para partisipan juga meyakini bahwa

    mereka akan diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan hingga

    kematian menjemput. Dengan keyakinan tersebut ketiga partisipan

    memperoleh ketenangan batin, ketentraman, serta kekuatan untuk

    menjalani kehidupannya dan mengatasi masalah-masalah yang mereka

    temui.

    Selain melakukan ibadah dan berdoa secara pribadi, para partisipan

    juga terlibat dalam komunitas keagamaan. Bahkan ketiga partisipan tidak

  • 35

    hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di komunitas

    keagamaan masing-masing, namun juga terlibat secara aktif dalam

    pelayanan gerejawi. P1 menyampaikan bahwa setelah pasangan hidupnya

    meninggal dan anak-anak telah dewasa serta meninggalkan rumah, ia

    ingin mengabdikan hidupnya melalui pelayanan gerejawi. Demikian pula

    dengan P3, yang kini tidak hanya mengikuti paduan suara gerejawi tetapi

    juga mengemban tugas sebagai majelis jemaat di gereja.

    Meskipun mengurangi keikutsertaan dalam pelayanan gereja

    karena kondisi kesehatan yang semakin menurun, P2 tetap terlibat dalam

    kegiatan-kegiatan di gereja sesuai dengan kemampuannya.

    Terlibat dalam komunitas keagamaan membuat para partisipan

    merasa memiliki komunitas yang membangun serta teman bahkan

    saudara seiman yang dapat menjadi tempat berbagi. Perasaan tersebut

    tampak dari perilaku para partisipan yang tidak segan untuk menceritakan

    permasalahan yang sedang dihadapi kepada teman dekat yang berasal

    dari komunitas yang sama. Perasaan kesepian juga menjadi terasa lebih

    ringan dan dapat diatasi dengan adanya keyakinan bahwa teman-teman

    mereka turut mendoakan dan memberikan dukungan sehingga mereka

    memperoleh kekuatan rohani.

    Kegiatan kerohanian serta keyakinan kepada Tuhan atau kekuatan

    yang lebih tinggi dapat memberikan ketenangan batin individu yang

    mengalami kesepian. Keyakinan kepada Tuhan yang senantiasa

    membantu dan memberikan kekuatan juga memunculkan perasaan

    bersyukur dalam diri individu. Melalui perasaan bersyukur, individu

    dapat menerima pengalaman-pengalaman yang pada mulanya dinilai

    pahit dan mengambil makna positif.

  • 36

    KESIMPULAN DAN SARAN

    KESIMPULAN

    Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam

    penelitian ini diperoleh kesimpulan mengenai pengalaman kesepian yang

    dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtunggal dalam periode

    empty-nest yang akan dipaparkan sebagai berikut:

    1. Kehilangan pasangan hidup merupakan salah satu pengalaman

    yang menimbulkan rasa kaget, dukacita dan kesedihan yang

    mendalam dalam diri para partisipan. Adanya dukungan keluarga

    dan kerabat dirasakan sangat membantu para partisipan dalam

    menyesuaikan diri dengan kondisi yang mereka alami.

    2. Setelah menghadapi perasaan dukacita karena kehilangan pasangan

    hidup, para partisipan kemudian juga harus menghadapi periode

    empty-nest. Menyadari bahwa anak-anak telah tumbuh dewasa dan

    memiliki kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik

    membuat para partisipan merelakan kepergian anak-anak mereka.

    Meskipun terdapat perasaan kesedihan dan kehilangan, para

    partisipan memiliki kesadaran bahwa periode empty-nest

    merupakan bagian dan tahapan dalam kehidupan sehingga mereka

    dapat menerima hal tersebut dengan baik.

    3. Harapan untuk dapat tinggal bersama atau berdekatan dengan anak-

    anak dirasakan oleh para partisipan. Akan tetapi pekerjaan dan

    tanggung jawab para partisipan dan anak-anak mereka

    mengharuskan mereka untuk berpisah dan tinggal di kota yang

    berlainan. Para partisipan masih dalam kondisi kesehatan yang

    masih baik serta memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan

    sehari-hari. Para partisipan penelitian juga memiliki keinginan

    untuk dapat berdekatan dengan teman-teman dan tetangga serta

    tidak ingin meninggalkan rumah yang telah ditempati keluarga

    selama bertahun-tahun. Pertimbangan-pertimbangan tersebut

  • 37

    membuat para partisipan penelitian memutuskan untuk tetap

    tinggal di rumah, meskipun harus hidup sendiri.

    4. Meskipun tinggal berjauhan dengan anak-anak, para partisipan

    penelitian tetap berusaha untuk membangun komunikasi yang baik

    dengan anak-anak mereka. Kemajuan teknologi sangat membantu

    para partisipan penelitian untuk berinteraksi dengan anak-anak

    meskipun berada di tempat yang jauh. Meskipun telah beranjak

    dewasa dan tinggal di tempat yang berbeda, anak-anak para

    partisipan tidak segan untuk menceritakan masalah atau kejadian

    yang mereka alami kepada ibunya. Dengan adanya komunikasi

    yang rutin dan keterbukaan, hubungan yang baik tetap terjalin

    antara para partisipan penelitian dengan anak-anak mereka.

    5. Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan

    kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal bersama

    keluarga menimbulkan perasaan kesepian pada diri para partisipan

    pada waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama

    saat harapan partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihi

    pada saat-saat tertentu tidak dapat terpenuhi. Kesenjangan antara

    harapan dengan kenyataan menimbulkan perasaan kesepian dalam

    diri para partisipan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa

    perasaan kesepian yang dirasakan oleh para partisipan cenderung

    mengarah pada kesepian emosional yaitu kesepian yang muncul

    karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim.

    6. Anteseden perasaan kesepian yang dialami oleh partisipan

    dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian yang memicu

    kesepian dan faktor penyerta kesepian. Kejadian yang memicu

    kesepian antara lain terdiri dari terminasi atau berakhirnya

    hubungan emosional, perpisahan fisik dengan orang-orang yang

    dikasihi, dan perubahan situasi yaitu hasrat untuk bersama dengan

    orang lain yang berubah sesuai dengan situasi yang dialami.

  • 38

    Sedangkan faktor penyerta kesepian merupakan faktor yang lebih

    bersifat personal. Dalam penelitian ini ditemukan faktor penyerta

    kesepian dalam diri para partisipan antara lain kekhawatiran akan

    stigma masyarakat yang membuat partisipan membatasi pergaulan,

    kondisi kesehatan partisipan yang mulai menurun seiring

    pertambahan usia yang membuat partisipan mengurangi

    keterlibatan dalam komunitas, dan pengalaman masa kecil yang

    terbiasa dikelilingi banyak orang.

    7. Selain adanya anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor

    yang membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara

    berlarut-larut, yaitu perubahan perkembangan, kondisi lingkungan

    yang akrab dan mendukung, kehadiran teman atau orang lain yang

    dipercaya, dan memiliki pekerjaan atau hobi dan aktivitas yang

    produktif.

    8. Saat partisipan mengalami kesepian, perasaan-perasaan yang

    muncul dalam diri partisipan antara lain ialah kekosongan dalam

    hidup, perasaan tidak berguna, pemikiran tentang kematian dan

    kesendirian saat meninggal, merindukan kehadiran orang-orang

    yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masa-masa yang

    telah berlalu.

    9. Respon terhadap perasaan kesepian ditunjukkan melalui adanya

    usaha untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan perasaan

    kesepian yaitu strategi koping terhadap kesepian. Strategi koping

    terhadap kesepian yang diterapkan oleh partisipan adalah

    peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama dan

    keyakinan. Dengan strategi koping tersebut partisipan dapat

    membuat waktu sendirian menjadi lebih menyenangkan, produktif,

    menimbulkan perasaan yang menyenangkan, dibutuhkan, dihargai,

    dan berguna sehingga meningkatkan penghargaan terhadap diri

  • 39

    sendiri, serta memperoleh ketenangan batin dan kedamaian yang

    diperoleh melalui kegiatan religius.

    SARAN

    Bagi peneliti selanjutnya

    Pengalaman kesepian merupakan pengalaman yang tidak terlepas

    dari pengaruh budaya atau nilai yang dianut oleh individu. Dalam

    penelitian ini faktor budaya serta nilai-nilai yang dianut oleh individu

    masih kurang tergali dan tidak menjadi fokus penelitian. Bagi peneliti

    selanjutnya disarankan untuk dapat meneliti dengan lebih mendalam

    hubungan antara budaya dengan pengalaman kesepian. Selain itu,

    penelitian ini hanya meneliti pengalaman kesepian pada wanita atau ibu

    yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest.

    Bagi peneliti selanjutnya dapat pula mengkaji dan meneliti lebih

    lanjut mengenai pengalaman kesepian yang dialami oleh pria atau ayah

    yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest, atau

    pada kedua orangtua. Dalam penelitian ini, metode observasi kurang

    dapat menghasilkan data yang maksimal dikarenakan pengalaman

    kesepian merupakan fenomena psikologis yang sulit untuk diamati. Maka

    dari itu selain menerapkan metode pengambilan data dengan wawancara

    dan observasi, peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat menerapkan

    metode pengambilan data yang lain sehingga bisa memeroleh data yang

    lebih lengkap dan mendalam.

    Salah satu metode pengambilan data yang disarankan peneliti

    untuk penelitian selanjutnya antara lain penggunaan skala psikologi yang

    dapat mengukur tingkat kesepian pada partisipan penelitian sebelum

    melakukan wawancara. Dengan menggunakan skala pengukuran

    kesepian, peneliti selanjutnya dapat memperoleh gambaran mengenai

    tingkat kesepian yang dialami partisipan penelitian dan dapat menggali

    lebih dalam pengalaman kesepian partisipan melalui wawancara.

  • 40

    Bagi partisipan dan pembaca khususnya wanita yang berperan

    sebagai orangtua tunggal yang akan atau sedang berada dalam

    periode empty-nest

    Melalui penelitian ini, peneliti hendak memberikan saran agar

    wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest

    sebaiknya tetap memiliki kegiatan atau hobi untuk dilakukan di masa tua.

    Dengan memiliki kegiatan atau hobi, pembaca dapat lebih menikmati

    waktu luang yang dimiliki dan tidak larut dalam perasaan kesepian.

    Terlibat secara aktif dalam suatu komunitas sosial atau pelayanan

    keagamaan juga baik untuk dilakukan. Turut serta dalam kegiatan sosial

    atau pelayanan keagamaan dapat membantu pembaca untuk menjalin

    relasi yang baik dengan orang lain serta menimbulkan penghargaan diri

    yang positif. Saran lain untuk pembaca ialah perlunya menyadari

    perasaan-perasaan yang dialami serta mencari solusi atau melakukan

    strategi koping yang positif.

    Bagi keluarga dan kerabat wanita yang berperan sebagai orangtua

    tunggal dalam periode empty-nest

    Meskipun tidak lagi tinggal bersama, komunikasi antar anggota

    keluarga tetap perlu untuk dipertahankan serta ditingkatkan. Komunikasi

    yang baik dan terbuka dapat mencegah munculnya perasaan kesepian,

    juga dapat membantu para wanita yang berperan sebagai orangtua

    tunggal dalam periode empty-nest untuk meringankan perasaan kesepian

    yang dialami. Selain komunikasi, kesempatan untuk berkumpul bersama

    dengan keluarga pada waktu-waktu istimewa juga perlu untuk diadakan

    sehingga para wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dapat

    menikmati momen istimewa bersama orang-orang yang dikasihi.

    Bagi organisasi sosial dan keagamaan

    Melalui penelitian ini, organisasi sosial dan keagamaan disarankan

    untuk dapat menyediakan kegiatan yang produktif untuk orangtua,

    terutama wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, yang memasuki

  • 41

    masa empty-nest. Selain itu organisasi sosial dan keagamaan disarankan

    untuk melibatkan secara aktif wanita yang berperan sebagai orangtua

    tunggal dalam periode empty-nest dalam kegiatan atau pelayanan yang

    ada.

    DAFTAR PUSTAKA

    Andriyani, E. W. (2007). Tingkat kecemasan menghadapi periode empty-

    nest pada wanita single parent. Skripsi (tidak diterbitkan). Salatiga:

    Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.

    Berk, L. E. (2012). Development through lifespan jilid 2 (Edisi Kelima).

    Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Brooks, J. (2009). The process of parenting (8th Ed). New York: McGraw-

    Hill International Edition.

    Clelland, W., & Chaytors, G. (1981). The role of family physicians in

    „empty-nest‟ transitions. Canadian Family Physician, 27, 1827-1830.

    DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate relationships, marriages,

    and families (6th Ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

    De Jong Gierveld, J. (1998). A review of loneliness: concept and definitions,

    determinants and consequences. Clinical Gerontology, 8, 73-80.

    De Jong Gierveld, J., Van Tilburg, T., & Dykstra, P. A. (2006). Loneliness

    and social isolation. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.), Cambridge

    handbook of personal relationships (pp. 485-500). Cambridge:

    Cambridge University Press.

    Hawkley, L. (2007). Loneliness. In R. F. Baumeister & K. D. Vohs (Eds.),

    Encyclopedia of social psychology (pp. 532-534). Newbury Park, CA:

    Sage.

    Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu

    sosial. Jakarta: Salemba Humanika.

    Hoyer, W. J & Roodin, P. A. (2003). Adult development and aging (5th ed).

    New York: McGraw-Hill.

    Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga.

    Kotwal, N., & Prabhakar, B. (2009). Problem faced by single mother.

    Journal of Social Science, 21(3), 197-204.

    Lai, Hui-Ling. (2002). Transition to the empty-nest: a phenomenological

    study. Diakses dari http://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/

    content/91-3/11.pdf tanggal 2 Januari 2012.

    Lasswell, M. & Lasswell, T. (1987). Marriages and family. Belmont:

    Wadsworth Publishing Company.

    Liu, Li-Juan, & Guo, Q. (2008). Life satisfaction in a sample of empty-nest

    elderly: a survey in the rural area of mountainous county in China.

    Quality Life Research, 17, 823-830.

    Matlin, M. W. (2008). The psychology of women (6th Ed). Belmont:

    Thomson Higher Education.

    Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosda.

    http://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/%20content/91-3/11.pdfhttp://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/%20content/91-3/11.pdf

  • 42

    Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Perkembangan

    manusia jilid 2 (Edisi 10). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

    Peplau, L. A. (1982). In search of intimacy: a report on loneliness and what

    to do about it. Journal of Psychosocial Nursing and Mental Health

    Services, 20(11), 38-39.

    Perlman, D., & Peplau, L. A. (1979). Blueprint for a social psychological

    theory of loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love and

    attraction (pp. 99-108). Oxford, England: Pergamon.

    Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a social psychology of

    loneliness. In S. Duck & R. Gilmour (Eds.), Personal relationships in

    disorder (pp. 31-56). London: Academic Press.

    Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on loneliness. In L. A.

    Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of current

    theory, research, and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley

    Interscience Publication.

    Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

    Manusia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana

    Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

    Rokach, A., Orzeck, T., & Neto, F. (2004). Coping with loneliness in old

    age: A cross cultural comparison. Current psychology: Development,

    Learning, Personality, Social, 23(2), 124-137.

    Rokach, A., & Brook, H. (1998). Coping with Loneliness. Journal of

    Psychology, 132(1), 107-127.

    Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L. A. (1979). Loneliness. Human

    Nature, 2, 58-65.

    Sawitri, D. R. (2007). Menjalani hidup sepeninggal suami: kenangan,

    perjuangan, dan harapan. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id

    /8588/1/MenjalaniHidupSepeninggalSuami.pdf pada tanggal 4

    September 2011.

    Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985). Psikologi sosial jilid 1

    (Edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga.

    Setyowanti. (2009). Perbedaan tingkat kesepian pada pensiunan ditinjau dari

    jabatan sebelum pensiun (manager dan mon-manager). Skripsi (tidak

    diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya

    Wacana.

    Shakya, D. R. (2009). Empty nest syndrome – an obstacle for alcohol

    abstinence. Journal of Nepal Health Research Council, 7(15), 135-

    137.

    Sinaga, H. J. (2007). Perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai

    orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan. Skripsi

    (tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera

    Utara.

    Spence, D., & Lonner, T. (1971). T