-
i
PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG
BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL
DALAM PERIODE EMPTY-NEST
Oleh:
MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU
802008120
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar
Sarjana Psikologi
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2013
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG
BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM
PERIODE EMPTY-NEST
Maria Nugraheni Mardi Rahayu
Chr. Hari Soetjiningsih
Aloysius L. S. Soesilo Fakultas Psikologi Universitas Kristen
Satya Wacana
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
pengalaman kesepian
yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal
karena
kematian suami pada periode empty-nest, mencakup anteseden
kesepian,
perasaan yang muncul saat kesepian, serta respon terhadap
perasaan
kesepian. Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian
kualitatif dan partisipan penelitian ini berjumlah tiga orang.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesepian yang dialami oleh ketiga partisipan
muncul
karena adanya kesenjangan antara harapan terhadap keberadaan
orang-orang
yang dikasihi dengan kenyataan yang terjadi. Anteseden kesepian
yang
dialami oleh partisipan antara lain ialah terminasi, perpisahan
fisik,
perubahan situasi, kekhawatiran akan stigma masyarakat, kondisi
kesehatan
partisipan, dan pengalaman masa kecil yang terbiasa dikelilingi
banyak
orang. Selain anteseden kesepian, ditemukan juga faktor-faktor
yang
membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara
berlarut-larut, yaitu
perubahan perkembangan, kondisi lingkungan yang akrab dan
mendukung,
kehadiran teman atau orang lain yang dipercaya, dan memiliki
pekerjaan dan
aktivitas yang produktif. Perasaan yang muncul saat para
partisipan merasa
kesepian antara lain kekosongan dalam hidup, perasaan tidak
berguna,
pemikiran tentang kematian dan kesendirian saat meninggal,
merindukan
kehadiran orang-orang yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan
masa-
masa yang telah berlalu. Respon partisipan terhadap perasaan
kesepian ialah
dengan melakukan strategi koping yang dapat meringankan
perasaan
kesepian yaitu peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial,
serta agama
dan keyakinan.
Kata kunci: wanita, orangtua tunggal, kematian pasangan hidup,
periode
empty nest, pengalaman kesepian.
-
1
PENDAHULUAN
Dalam proses pengasuhan anak, orangtua akan diperhadapkan
pada
proses untuk melepaskan, yaitu ketika anak-anak telah beranjak
dewasa
dan meninggalkan rumah untuk membangun kehidupannya sendiri.
Tahap transisi orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir
dari
rumah dikenal dengan istilah empty-nest period atau periode
sarang
kosong (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Laswell dan Laswell
(1987)
mengemukakan bahwa kepergian anak terakhir dari rumah
merupakan
fase empty-nest dalam kehidupan keluarga. Marks, Bumpass, dan
Jun
(dalam Papalia dkk., 2009) menyatakan bahwa proses tersebut
biasanya
mendekati atau mencapai puncaknya ketika orangtua memasuki
usia
dewasa madya.
Masa empty-nest dapat dianggap sebagai salah satu kejadian
penting dan menantang yang dihadapi saat dewasa madya (Clelland
&
Chaytors, 1981). Fase ini dapat menimbulkan berbagai emosi
yang
bertentangan. Beberapa orangtua menganggap masa empty-nest
sebagai
masa kebebasan dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal
yang
tidak bisa dilakukan saat memiliki tanggungjawab mengasuh
anak
(DeGenova & Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat,
kepergian
anak-anak yang sudah dewasa dapat memberi peluang adanya
bulan
madu kedua (Papalia dkk., 2009). Akan tetapi bagi orangtua lain
fase ini
terasa lebih sulit dilalui karena mereka beranggapan bahwa tugas
mereka
sebagai orangtua berakhir (Papalia dkk., 2009). Anggapan ini
membuat
banyak orangtua menjadi stres dan meningkatkan emosi negatif
ketika
masa tersebut hampir tiba. Akibatnya masa tua menjadi masa yang
tidak
menyenangkan, terutama bagi para ibu, yang kehilangan makna
hidup
setelah bertahun-tahun dirinya memiliki peran sentral dalam
kehidupan
anak-anak.
Hasil penelitian Lai (2002) menunjukkan bahwa masa
empty-nest
menimbulkan berbagai perasaan yang campur aduk dan rumit pada
ibu,
-
2
antara lain sedih, merasa hidup kembali, bertanya-tanya tentang
diri
sendiri, merasa rindu pada anak-anak, menyesuaikan diri
dengan
perubahan, mengatasi kecemasan, serta mencari dukungan dari
orang-
orang di sekitar.
Dalam menghadapi transisi ini, kerjasama antara suami dengan
istri
akan sangat diperlukan dan dapat membuat keadaan rumah
tangga
menjadi lebih baik, serta memperkuat pernikahan. Ketika
anak-anak telah
pergi dari rumah dan membina kehidupannya sendiri, orangtua
akan
memiliki waktu yang lebih banyak dan dapat melakukan
aktivitas-
aktivitas bersama. Kemudian mereka juga dapat saling mendukung
untuk
melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi, serta
mengatasi
kesepian dan kekosongan yang kerap kali muncul pada periode ini.
Hal
ini dapat membuat para ibu menjadi lebih mudah merelakan
kepergian
anak-anaknya dan menikmati keberhasilan menjadi orangtua.
Di lain sisi, tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini tidak
sedikit
wanita yang menjadi orangtua tunggal (single parent) dalam
mengasuh
anak-anaknya. Mereka tidak memiliki pasangan (suami) yang
dapat
bersama-sama menghadapi transisi ini. Ada beberapa peristiwa
yang
menyebabkan seorang wanita menjadi orangtua tunggal, antara
lain
adalah kematian pasangan hidup, perceraian, perpisahan, atau
ditinggalkan oleh pasangannya tanpa tanggung jawab atau bantuan
untuk
merawat anak (Kotwal & Prabhakar, 2009). Dari berbagai
peristiwa
tersebut kematian pasangan hidup merupakan kejadian yang
paling
traumatis dan menyebabkan stres bagi seseorang pada usia berapa
pun
(DeGenova & Rice, 2005). Hoyer dan Roodin (2003) menyatakan
bahwa
dalam peringkat kejadian yang menyebabkan stres, kematian
pasangan
hidup secara konsisten merupakan kejadian yang paling
menyebabkan
stres.
Hal ini menjadi lebih rumit ketika kematian suami terjadi
ketika
istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki masa
dewasa
-
3
madya. Berk (2012) memaparkan bahwa kehilangan pasangan hidup
di
masa dewasa awal atau pertengahan merupakan sebuah peristiwa
tidak
biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Ketika hal ini
terjadi, tidak
jarang di antara mereka menjadi terpuruk dalam duka cita,
kesulitan
keuangan, merasa kesepian, merasakan gangguan fisik dan
mengalami
gangguan psikologis (Santrock, 1999).
Selain bergelut dengan perasaan kehilangan, individu yang
kehilangan pasangan hidupnya pada usia muda dan paruh baya
seringkali
harus menanggung peran lebih besar dalam menghibur orang
lain,
terutama anak-anak (Lopata, dalam Berk, 2012). Kemudian mereka
pun
harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini adalah orangtua
tunggal
dalam mengasuh anak-anaknya. Wanita yang menjadi orangtua
tunggal
harus mengambil tanggung jawab untuk berperan sebagai ayah dan
ibu
sekaligus.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kotwal dan Prabhakar
(2009)
di India menunjukkan bahwa wanita yang menjadi orangtua
tunggal
melaporkan bahwa mereka merasa kesepian, tidak memiliki
harapan,
mengalami depresi, serta kesulitan dalam mengambil tanggung
jawab
merawat anak-anak sendirian. Ketika masa-masa sulit mengasuh
anak
telah dilalui, wanita yang menjadi orangtua tunggal pada saatnya
akan
mengalami masa ketika anak-anak harus pergi meninggalkan
rumah
sehingga kekosongan dalam rumah pun akan semakin terasa
(Andriyani,
2007). Dalam masa ini, perasaan kesepian menjadi semakin
sulit
terelakkan.
Kesepian menunjuk pada kegelisahan subjektif yang individu
rasakan pada saat hubungan sosialnya kehilangan ciri-ciri
penting (Sears,
Freedman, & Peplau, 1985). Kesepian dapat berlangsung
ketika
seseorang mengalami hubungan yang memuaskan sampai perubahan
tertentu terjadi dalam hidupnya, seperti terpisah dari teman dan
orang
yang dicintai, atau mengakhiri hubungan yang penting karena
kematian,
-
4
perceraian atau perpisahan. Lebih lanjut, Perlman dan Peplau
(1981)
menyatakan bahwa kesepian akan lebih dirasakan oleh seseorang
kurang
dari enam tahun pertama setelah perpisahan. Perpisahan dengan
orang
terdekat dapat mengurangi frekuensi interaksi dan membuat
kepuasan
terhadap hubungan menjadi kurang, serta dapat menimbulkan
ketakutan
bahwa hubungan tersebut akan semakin melemah karenanya (Perlman
&
Peplau, 1981).
Dengan demikian, pengalaman kesepian merupakan pengalaman
emosi yang sering ditemui pada wanita yang berperan sebagai
orangtua
tunggal dalam periode empty-nest. Peristiwa kematian pasangan
hidup
yang diikuti dengan perpisahan dengan anak-anaknya yang telah
dewasa
merupakan kejadian yang dapat memicu timbulnya perasaan
kesepian.
Ketika mengalami kesepian, individu akan cenderung merasakan
keputusasaan (desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan
(impatient
boredom), pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi
(depression)
(Rubenstein, Shaver, dan Peplau, 1979). Hal ini tidak berarti
bahwa
kesepian akan terasa sama setiap waktu. Individu yang berbeda
bisa saja
memiliki perasaan kesepian yang berbeda pada situasi yang
berbeda pula
(Lopata, 1969 dalam Sinaga, 2007).
Individu tidak hanya dapat mengalami perasaan kesepian saja,
tetapi juga memiliki kemampuan untuk mengatasi perasaan
kesepian
yang ia rasakan. Dalam mengatasi perasaan tersebut, setiap
individu
memiliki strategi koping yang berbeda-beda. Hasil penelitian
yang
dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) menyatakan terdapat
enam
jenis strategi koping yang dilakukan oleh individu dalam
mengatasi
kesepian. Keenam strategi tersebut adalah refleksi dan
penerimaan
(reflection and acceptance), pengembangan dan pemahaman diri
(self-
development and understanding), jaringan dukungan sosial
(social
support network), menjaga jarak dan penyangkalan (distancing
and
-
5
denial), agama dan iman (religion and faith), serta peningkatan
aktivitas
(increased activity).
Kesepian merupakan pengalaman subyektif dan tentunya
dirasakan
berbeda-beda oleh setiap orang yang mengalaminya. Penelitian
yang
mengkaji mengenai pengalaman kesepian telah dilakukan
melalui
berbagai metode penelitian dan juga dalam berbagai kelompok
sosial
yang memiliki resiko tinggi mengalami kesepian. Meskipun
demikian,
masih perlu dilakukan penelitian yang dapat mendeskripsikan
secara
detail pengalaman kesepian yang dialami oleh kelompok sosial
yang
memiliki resiko tinggi mengalami kesepian, yang salah satunya
ialah
pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam
periode
empty-nest.
Peplau (1982) menyatakan bahwa dalam melakukan penelitian
mengenai pengalaman kesepian terdapat beberapa kunci pertanyaan
yang
perlu dipaparkan lebih lanjut, diantaranya adalah anteseden dari
perasaan
kesepian yang dialami, perasaan dan pikiran yang sering muncul
pada
orang-orang yang mengalami kesepian, dan strategi koping yang
sering
dilakukan serta dampak dari satu strategi koping dibandingkan
dengan
yang lain. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu melakukan
penelitian
untuk mendeskripsikan pengalaman kesepian yang dialami oleh
wanita
yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest,
yang
mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta
strategi
koping terhadap kesepian.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah
penelitian ini adalah: Seperti apakah pengalaman kesepian pada
wanita
yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest
yang
mencakup anteseden kesepian, perasaan saat kesepian, serta
strategi
koping terhadap kesepian?
-
6
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
pengalaman kesepian pada wanita yang berperan sebagai
orangtua
tunggal dalam periode empty-nest yang mencakup anteseden
kesepian,
perasaan saat kesepian serta strategi koping terhadap
kesepian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan
ilmiah untuk perkembangan teori-teori psikologi khususnya dalam
bidang
psikologi perkembangan dan psikologi sosial khususnya
mengenai
pengalaman kesepian yang dialami oleh wanita yang berperan
sebagai
orangtua tunggal dalam periode empty-nest. Bagi wanita yang
berperan
sebagai orangtua tunggal dan keluarga, hasil penelitian ini
dapat
bermanfaat untuk memberikan deskripsi pengalaman kesepian
sehingga
dapat lebih mampu mengatasi kesepian yang dialami serta
membangun
komunikasi yang baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Kesepian
Sears dkk., (1985) menyatakan kesepian (loneliness) berbeda
dengan kesendirian (aloneness). Kesepian merupakan
pengalaman
subjektif, tergantung interpretasi orang tersebut terhadap
berbagai situasi.
Sedangkan kesendirian merupakan kondisi objektif yang dapat
diamati.
Hawkley (2006) mendefinisikan kesepian sebagai pengalaman
yang
menyebabkan stres yang muncul ketika hubungan sosial seseorang
yang
diterima kurang dalam kuantitas, dan lebih lagi dalam
kualitas,
dibandingkan dengan yang diharapkan.
Selaras dengan hal tersebut, Perlman dan Peplau (1982)
mengemukakan bahwa kesepian menunjuk pada kegelisahan
subjektif
yang kita rasakan pada saat hubungan sosial kita kehilangan
ciri-ciri
pentingnya. Lebih lanjut Perlman dan Peplau (1981)
mengemukakan
bahwa kesepian memiliki tiga hal pokok yang perlu diperhatikan,
yang
pertama kesepian merupakan hasil dari kekurangan dalam
hubungan
-
7
sosial seseorang. Kedua, kesepian merupakan fenomena subyektif
(bukan
merupakan sinonim dari isolasi obyektif, dimana seseorang bisa
sendirian
tanpa merasa kesepian). Ketiga, kesepian merupakan hal yang
tidak
menyenangkan dan menimbulkan distres.
Terdapat beberapa hal yang dapat dipakai untuk membedakan
jenis-jenis kesepian. Menurut Weiss (dalam Perlman & Peplau,
1981)
terdapat 2 tipe kesepian, yang didasarkan pada kurangnya
keterlibatan
sosial. Dua tipe kesepian yang dikemukakan oleh Weiss yaitu
kesepian
emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social
loneliness).
Pada perkembangan selanjutnya, Perlman dan Peplau (1981)
menyatakan bahwa waktu juga dapat digunakan sebagai dasar
untuk
membedakan jenis kesepian. Kesepian dapat dipandang sebagai
“keadaan” sementara yang mungkin dihubungkan dengan kejadian
spesifik seperti pindah ke dalam komunitas baru. Kesepian dapat
juga
dipandang sebagai “sifat” yang lebih kronis. Individu dapat
merasakan
“pengalaman” kesepian dalam jangka waktu yang relatif yang
singkat,
atau individu tersebut merupakan “orang yang kesepian”.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subyektif yang tidak
menyenangkan dan dapat menimbulkan distres yang terjadi
karena
adanya kekurangan hubungan sosial yang dicapai dibandingkan
dengan
yang diharapkan baik dalam kuantitas maupun kualitas.
1. Dimensi Kesepian
De Jong Gierveld (1998) mengemukakan bahwa kesepian
merupakan
fenomena yang multidimensi. Lebih lanjut De Jong Gierveld
mengemukakan tiga dimensi kesepian, yaitu bentuk keterpisahan
sosial,
perspektif waktu, dan dimensi emosi.
-
8
2. Anteseden Kesepian
Menurut Perlman dan Peplau (1981) anteseden kesepian dapat
dibedakan menjadi dua yaitu kejadian-kejadian yang memicu
munculnya
kesepian (precipitating events) dan faktor-faktor penyerta
individu untuk
menjadi kesepian (predisposing factors). Kejadian yang
memicu
munculnya kesepian terbagi menjadi dua kategori yaitu perubahan
pada
pencapaian hubungan sosial seseorang yang terdiri dari
terminasi,
perpisahan fisik, dan perubahan status, dan perubahan dalam
hasrat
seseorang akan hubungan sosial yang terdiri dari perubahan
perkembangan, perubahan situasional, dan perubahan dalam
ekspektasi.
Sedangkan faktor penyerta individu merupakan faktor-faktor yang
ada
dalam diri individu seperti karakteristik personal, kepribadian,
budaya
dan situasi sosial yang dapat meningkatkan kerentanan seseorang
untuk
mengalami kesepian.
3. Perasaan yang muncul saat Kesepian
Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang. Berdasarkan
survei
yang dilakukan oleh Rubenstein dkk., (1979) terdapat empat
jenis
perasaan yang dialami oleh orang yang kesepian, yaitu
keputusasaan
(desperation), kejenuhan yang tidak tertahankan (impatient
boredom),
pencelaan diri (self-deprecation) dan depresi (depression).
Keempat jenis perasaan kesepian ini menunjukkan adanya
peningkatan dari ketidakpuasan yang terkadang muncul pada satu
situasi
sosial, menjadi lebih kronis dan keidakpuasan yang lebih intens,
dan pada
akhirnya, jika hal tersebut tidak menjadi lebih baik, akan
menjadi
kebencian diri (self-hatred) dan mengasihani diri
(self-pity).
4. Respon terhadap Kesepian
Seperti perasaan yang muncul saat kesepian, respon atau
reaksi
individu terhadap pengalaman kesepian juga berbeda-beda.
Rubenstein
dkk., (1979) menyatakan bahwa saat mengalami kesepian, ada
beberapa
orang yang menjadi pasif (sad passivity). Di sisi lain, ada pula
orang
-
9
yang aktif melakukan kegiatan (active solitude) dalam usaha
melupakan
kesepian mereka. Selain itu, ada pula orang yang melakukan
kontak
sosial (social contact) saat mengalami kesepian atau dengan
menghabiskan uang (spending money) yaitu dengan berbelanja.
Penelitian lain yang mengkaji tentang bagaimana seseorang
memberikan respon terhadap rasa kesepian, khususnya melalui
strategi
koping, dilakukan oleh Rokach dan Brook (1998) yang
menghasilkan
enam jenis strategi koping terhadap kesepian, yaitu:
a. Refleksi dan penerimaan (Reflection and acceptance)
b. Pertumbuhan dan pemahaman diri (Self-Development and
understanding)
c. Agama dan keyakinan (Religion and faith)
d. Jaringan dukungan sosial (Social Support Network)
e. Pemisahan dan penyangkalan (Distancing and denial)
f. Peningkatan aktivitas (Increased activity)
Wanita yang berperan sebagai Orangtua Tunggal
Menurut Duval dan Miller (dalam Sinaga, 2007), orangtua
tunggal
didefinisikan sebagai orangtua yang secara sendirian membesarkan
anak
tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya.
Sedangkan Kotwal dan Prabhakar (2009) mendefinisikan
keluarga
dengan orangtua tunggal sebagai keluarga yang terdiri dari ibu
atau ayah
tunggal yang merawat sendiri anak-anak mereka. Dengan
demikian
dapat ditarik kesimpulan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal
adalah
keluarga yang terdiri dari ibu atau ayah tunggal yang merawat
sendiri
anak-anak mereka tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung
jawab
pasangannya, yang disebabkan oleh meninggalnya pasangan atau
karena
perceraian.
Keluarga dengan orangtua tunggal dapat terjadi antara lain
karena
kematian salah satu orangtua atau perceraian (Papalia dkk.,
2009). Dari
kedua penyebab tersebut peristiwa kematian pasangan hidup
merupakan
-
10
kejadian yang paling traumatis dan menyebabkan stres bagi
seseorang
pada usia berapa pun (DeGenova & Rice, 2005).
Matlin (2008) menyatakan bahwa lebih banyak wanita yang
kehilangan pasangan hidupnya karena kematian dibandingkan pria.
Hal
ini disebabkan antara lain karena harapan hidup wanita cenderung
lebih
panjang dibandingkan pria, wanita cenderung menikah dengan pria
yang
lebih tua darinya, dan lebih sedikit wanita yang memutuskan
untuk
menikah kembali setelah pasangannya meninggal dibandingkan
dengan
pria.
Peristiwa kematian pasangan hidup akan menjadi lebih berat
ketika
terjadi ketika istri berada dalam masa dewasa awal atau memasuki
masa
dewasa madya. Menurut Berk (2012), kematian pasangan hidup di
masa
dewasa awal atau pertengahan merupakan suatu peristiwa yang
tidak
biasa yang dapat mengganggu rencana hidup. Kemudian wanita
yang
kehilangan pasangan hidupnya pun harus menghadapi kenyataan
bahwa
mereka adalah orangtua tunggal dalam mengasuh anak-anaknya,
yang
menuntut mereka untuk berperan sebagai ayah dan ibu
sekaligus.
Periode Empty-Nest
Kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah orangtua
mereka adalah sesuatu yang wajar dalam siklus kehidupan
berkeluarga.
Anak-anak yang telah dewasa pada masanya akan mulai
membangun
kehidupannya sendiri. Masa ini biasa dikenal dengan istilah
empty-nest
period, atau periode sarang kosong. Clelland dan Chaytors
(1981)
menyatakan bahwa masa empty-nest adalah masa dalam kehidupan
orangtua ketika anak-anak telah mulai beranjak dewasa dan
meninggalkan rumah mereka. Senada dengan itu, Papalia dkk.
(2009)
mendefinisikan periode sarang kosong sebagai sebuah tahap
transisi
orangtua yang mengiringi kepergian anak terakhir dari rumah
orangtua.
Masa empty-nest dianggap sebagai salah satu kejadian yang
penting dan menantang yang perlu dihadapi oleh individu pada
usia
-
11
dewasa madya (Clelland & Chaytors, 1981). Pada masa ini,
orangtua
akan merasakan berbagai emosi-emosi yang bertentangan.
Beberapa
orangtua menganggap masa empty-nest membuat mereka menjadi
lebih
bahagia dibandingkan masa-masa sebelumnya (Lee, dalam DeGenova
&
Rice, 2005) dan sebagian lainnya berpendapat bahwa masa itu
menjadi
sesuatu yang mengesalkan (Lewis, Volk & Duncan, dalam
DeGenova &
Rice, 2005).
Orangtua yang menganggap masa ini membuat mereka menjadi
lebih bahagia, akan merasakan masa empty-nest sebagai masa
kebebasan
dan memberikan peluang untuk melakukan hal-hal yang tidak
bisa
dilakukan saat memiliki tanggung jawab mengasuh anak (DeGenova
&
Rice, 2005) dan dalam pernikahan yang kuat, kepergian anak-anak
yang
sudah dewasa dapat memberikan peluang adanya bulan madu
kedua
(Papalia dkk., 2009).
Pada pasangan yang identitasnya bergantung pada peran
orangtua, masa empty-nest akan terasa lebih sulit untuk dilalui
(Papalia
dkk., 2009). Mereka beranggapan bahwa tugas sebagai orangtua
berakhir
sesaat setelah anak-anak pergi meninggalkan rumah untuk
menjalani
kehidupan mereka masing-masing. Tidak jarang orangtua
merasakan
kesepian, kesedihan, dan perasaan kosong akan rumah mereka
yang
terasa menjadi semakin sepi (Shakya, 2009). Akibatnya masa tua
menjadi
masa yang tampaknya tidak menyenangkan, terutama bagi para ibu,
yang
merasa kehilangan arti atau makna hidup setelah bertahun-tahun
dirinya
memiliki peran sentral dalam kehidupan anak-anak (Papalia dkk.,
2009).
Meskipun demikian, sebenarnya kepergian anak-anak yang telah
dewasa dari rumah orangtua mereka tidak menandai akhir
menjadi
orangtua. Sebaliknya, hal ini merupakan masa peralihan ke
tahapan baru
hubungan antara orangtua dengan anak-anak yang sudah dewasa
(Papalia
dkk., 2009).
-
12
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif. Sumber data dalam penelitian
ini
disesuaikan dengan tujuan penelitian, sehingga menghasilkan
karakteristik yaitu, wanita yang suaminya meninggal pada saat ia
berusia
dewasa madya (40-65 tahun), pada saat pengambilan data
anak-anak
telah pergi dari rumah untuk berkuliah, atau bekerja, atau telah
menikah,
dan tinggal di kota yang berbeda dengan ibunya, dan rentang
waktu anak
terakhir yang meninggalkan rumah orangtuanya dengan
pengambilan
data tidak lebih dari 6 tahun. Dalam penelitian ini sumber data
akan
disebut sebagai partisipan penelitian. Partisipan penelitian
akan dipilih
oleh peneliti secara purposif, yaitu memilih partisipan
penelitian yang
sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan.
Berdasarkan
karakteristik tersebut peneliti memperoleh tiga partisipan
penelitian yang
bersedia terlibat dalam penelitian ini.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua metode
pengumpulan data, yaitu wawancara semi-terstruktur dan
observasi.
Teknik analisis data kualitatif yang akan digunakan terdiri dari
empat
tahapan, menurut Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2012),
yaitu:
1. Pengumpulan data
2. Reduksi data
3. Display data
4. Kesimpulan
Pengujian keabsahan data digunakan untuk memastikan
kebenaran
dari data yang telah diperoleh. Dalam penelitian ini peneliti
akan
menggunakan teknik trianggulasi dan member check.
-
13
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah tiga orang wanita
yang
menjadi orangtua tunggal sejak suami mereka meninggal dan
saat
pengambilan data sedang berada dalam periode empty-nest, yaitu
Ibu
Kenanga, Ibu Lavender dan Ibu Seruni (nama samaran). Berikut
akan
dijabarkan gambaran partisipan dalam tabel di bawah ini:
Ibu Kenanga (P1) Ibu Lavender (P2) Ibu Seruni (P3)
Usia 52 tahun 64 tahun 58 tahun
Pekerjaan Ibu rumah tangga Karwayan swasta
(13ension)
Guru SMA
Jumlah anak 2 orang anak
perempuan
2 orang anak (laki-laki
dan perempuan)
2 orang anak
perempuan
Tempat
tinggal anak
Tangerang Jakarta Jakarta
Agama Kristen Kristen Kristen
Lama suami
meninggal
6 tahun 8 tahun 6 tahun
Lama tinggal
sendiri
1 tahun 2 tahun 2 tahun
Tabel 1. Gambaran Partisipan
Peristiwa Kematian Pasangan Hidup dan Peran sebagai Orangtua
Tunggal
Ketiga partisipan penelitian kehilangan pasangan hidup
masing-
masing saat mereka berada pada usia dewasa madya (40-65
tahun).
Kesedihan dan dukacita akibat kehilangan sosok yang penting
dalam
hidup mereka menjadi perasaan yang tidak terhindarkan. Kekagetan
atas
kepergian suami yang sedemikian cepat dan tiba-tiba juga
dirasakan oleh
ketiga partisipan. DeGenova dan Rice (2005) mengemukakan
bahwa
-
14
kematian pasangan hidup merupakan salah satu kejadian yang
paling
traumatis pada usia berapa pun. Selain itu, Schaie dan Willis
(dalam
Sawitri, 2007) juga menyatakan bahwa kematian suami pada
masa
dewasa madya merupakan episode yang mungkin terlalu cepat
dalam
kehidupan individu.
Dalam menghadapi dukacita atas kematian pasangan hidup
mereka,
para partisipan merasa amat terbantu dengan kehadiran serta
dukungan
dari keluarga serta teman-teman terdekat. Partisipan pertama
(Ibu
Kenanga) berusaha menjadi tegar dan kuat dalam menghadapi
kehilangan
ini untuk anak-anaknya. P1 juga merasa bersyukur dengan
adanya
dukungan dari keluarganya serta teman-teman dekatnya. Demikian
pula
dengan partisipan kedua (Ibu Lavender) yang merasa sangat
terbantu
dengan adanya salah seorang saudara yang bersedia tinggal di
Salatiga
dan menemaninya melewati masa-masa berduka, sementara kedua
anaknya harus kembali melanjutkan studi mereka di luar kota.
Partisipan
ketiga (Ibu Seruni) juga merasa sangat terbantu dengan
kehadiran
keponakan yang bersedia tinggal di rumahnya untuk
menemaninya
selama beberapa waktu setelah suaminya meninggal.
Selain menghadapi dukacita, kehilangan sosok penting yang
dicintai juga menyebabkan berbagai perubahan dalam kehidupan
para
partisipan. Kepergian suami yang berperan sebagai tulang
punggung
keluarga membuat para partisipan mengalami perubahan kondisi
keuangan, terutama pada P1 dan P2 yang masih harus menghidupi
anak-
anak yang belum mandiri. Dalam menghadapi perubahan kondisi
keuangan keluarga tersebut, baik P1 maupun P2 mampu
menemukan
jalan keluar untuk menghidupi keluarganya dan menyesuaikan
diri
dengan perubahan yang ada. Berbeda dengan P3 yang memiliki
pekerjaan tetap dan anak-anaknya telah bekerja tidak
mengalami
kesulitan dalam kondisi keuangan keluarganya.
-
15
Kepergian suami yang berperan sebagai kepala rumah tangga
tentu
juga membawa perubahan dalam kehidupan keluarga. Ketiadaan
sosok
kepala rumah tangga yang seringkali menjadi pengambil
keputusan
dalam keluarga mendorong para partisipan berusaha untuk
mengambil
peran tersebut dan menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru.
Dalam
menghadapi berbagai perubahan ini, para partisipan juga merasa
terbantu
dengan anak-anak mereka yang dapat bekerja sama dan memahami
kondisi keluarga.
Periode Empty-Nest sebagai tahap dalam kehidupan berkeluarga
Dalam kehidupan berkeluarga, ada masanya ketika anak-anak
yang
telah dewasa memutuskan untuk pergi dari rumah dan membangun
kehidupannya sendiri. Masa tersebut dikenal dengan istilah
periode
empty-nest. Kepergian anak-anak dari rumah orangtuanya dapat
didorong
oleh beberapa hal diantaranya melanjutkan pendidikan di luar
kota,
memperoleh pekerjaan di kota lain, atau menikah dan membangun
rumah
tangganya sendiri. Demikian pula yang dialami oleh ketiga
partisipan
penelitian. Anak-anak para partisipan yang telah dewasa
kemudian
memutuskan untuk tinggal di luar kota dan meninggalkan rumah
orangtua mereka.
Peristiwa kepergian anak-anak yang telah dewasa dari rumah
orangtua mereka menimbulkan berbagai perasaan yang
berbeda-beda
bagi ketiga partisipan. P1 merasa sangat kehilangan terutama
ketika anak
bungsunya menyusul kakaknya untuk tinggal di luar kota
karena
memperoleh pekerjaan di kota tersebut. P1 merasa bahwa ia dan
anak
bungsunya masih saling membutuhkan dan belum bisa berpisah.
Akan
tetapi P1 juga tidak ingin menghalangi kesempatan yang
dimiliki
anaknya, sehingga ia berusaha untuk merelakan anak bungsunya
pergi.
Perasaan sedih dan kehilangan dirasakan oleh P1 saat berpisah
dengan
anak bungsunya. Di sisi lain P1 juga merasa bahagia karena
anak-
anaknya kini telah dewasa dan dapat membangun kehidupannya
sendiri.
-
16
Berbeda dengan P1, P2 tidak merasa berkeberatan saat anak-
anaknya melanjutkan pendidikan maupun bekerja di luar kota,
bahkan di
luar negeri. Pengalaman merantau dan jauh dari orangtua saat
muda
membuat P2 tidak ingin menghalangi kesempatan yang dimiliki
anak-
anaknya dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya untuk
mengambil keputusan dalam hidup. Demikian pula dengan P3.
Sejak
masa pengasuhan, P3 dan suaminya memberikan kelonggaran
kepada
anak-anaknya dalam mengambil keputusan. Sebagai orangtua, P3
dan
suami hanya memberikan nasehat atau pandangan kepada
anak-anaknya,
akan tetapi tidak memaksakan keinginan mereka pada
anak-anak.
Demikian pula halnya saat anak-anak P3 memutuskan untuk bekerja
di
luar kota, P3 menilai anak-anaknya telah dewasa dan
menghormati
keputusan yang diambil oleh anak-anaknya.
Pengalaman yang berbeda dialami oleh P3 beberapa tahun
sebelumnya, yaitu pada saat anak bungsunya ingin melanjutkan
pendidikan di luar kota setelah lulus SMP. P3 yang merasa
anaknya
belum cukup dewasa dan mandiri sebenarnya merasa keberatan
dan
khawatir. Ia juga merasa sangat kehilangan karena tidak dapat
berjumpa
dengan anaknya setiap hari. Akan tetapi karena telah berjanji,
P3 tetap
mengijinkan anaknya bersekolah di luar kota dan tinggal di
rumah
saudara. P3 juga sebenarnya merasa keberatan saat anak sulungnya
akan
menerima pekerjaan di luar Jawa karena dirasa terlalu jauh serta
memiliki
kondisi daerah yang kurang nyaman. Meskipun pada akhirnya P3
menyerahkan keputusan kepada anaknya, perasaan keberatan dan
tidak
rela tetap dirasakan oleh P3. Jarak yang terlalu jauh dan
kondisi
lingkungan yang kurang sehat menjadi faktor yang membuat P3
merasa
tidak rela, dan lebih lega saat anaknya memutuskan untuk
menolak
pekerjaan tersebut.
Saat anak-anak mulai meninggalkan rumah, sebenarnya para
partisipan mengaku memiliki harapan untuk dapat tinggal
berdekatan
-
17
atau bersama-sama dengan anak-anak. Meskipun demikian,
ketiga
partisipan penelitian menyadari bahwa anak-anak mereka telah
dewasa
dan memiliki kehidupan masing-masih serta membuat mereka tidak
lagi
tinggal di rumah orangtuanya. Demikian halnya dengan para
partisipan
yang juga memiliki tanggung jawab yang tidak bisa ditinggalkan.
Dengan
pertimbangan-pertimbangan tersebut ketiga partisipan memutuskan
untuk
tetap tinggal di rumah dan melanjutkan pekerjaan atau aktivitas
yang
dimiliki meskipun harus sendiri. Perasaan tidak ingin
meninggalkan
rumah yang telah ditempati bertahun-tahun dan memiliki
kenangan
bersama orang yang dicintai juga menjadi alasan ketiga
partisipan tidak
memilih tinggal bersama dengan anak-anak mereka.
Seperti yang dialami oleh ketiga partisipan, hal serupa
dikemukakan oleh Gonyea, Hudson, dan Seltzer (1990, dalam
Papalia
dkk., 2009) bahwa “tua di rumah sendiri” merupakan sebuah hal
yang
masuk akal bagi mereka yang mampu mengatur diri sendiri atau
hanya
membutuhkan sedikit bantuan, memiliki pendapatan yang cukup
untuk
perawatan rumah dan keperluan sehari-hari, serta merasa bahagia
di
lingkungannya dan ingin mandiri, memiliki privasi, tetap dekat
dengan
teman-teman. Ketiga partisipan menyampaikan bahwa mereka
memiliki
pendapatan yang dapat mencukupi kebutuhan sendiri, memiliki
teman-
teman yang dekat, merasa nyaman dengan lingkungan yang
ditempati,
serta memiliki kondisi kesehatan yang masih baik. Pada P2,
meskipun
mulai mengalami penurunan kondisi fisik seiring bertambahnya
usia,
namun ia masih dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.
Selain itu
P2 juga memperoleh bantuan dari pembantu rumah tangga untuk
melakukan pekerjaan rumah tangga.
Hubungan dengan Anak-anak yang Telah Dewasa
Meskipun berpisah dengan anak-anak yang telah dewasa,
kemajuan
teknologi memudahkan para partisipan untuk tetap
berkomunikasi
dengan anak-anak mereka. Berbagai fasilitas komunikasi yang
ada
-
18
dimanfaatkan oleh para partisipan untuk berkomunikasi dengan
anak-
anak meskipun dipisahkan oleh jarak. Hal ini selaras dengan
yang
dikemukakan oleh DeGenova dan Rice (2005) bahwa orangtua
terutama
ibu, secara konsisten memiliki derajat tinggi dalam
melakukan
komunikasi dengan anggota keluarga yang lain termasuk anak-anak
yang
telah menikah. Lebih lanjut dijelaskan bahwa biasanya wanita
lansia
lebih dekat dengan anak-anak mereka, dibandingkan dengan pria
lansia
meskipun telah tinggal di tempat yang berbeda. Diungkapkan
oleh
Papalia dkk., (2009) bahwa hal tersebut dipengaruhi antara lain
karena
peran sebagai ibu membuat mereka melewatkan waktu lebih
banyak
dalam pengasuhan sejak kecil sehingga menciptakan kedekatan
antara
keduanya.
Kendati demikian, para partisipan menyadari kesibukan dan
tanggung jawab anak-anak mereka, sehingga para partisipan
berusaha
untuk menyesuaikan waktu untuk berkomunikasi. P1 mengaku
tidak
memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya.
P1
memutuskan untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya saat
merasa
ingin namun tetap menyesuaikan dengan waktu kesibukan
anak-anaknya.
Demikian pula P2 dan P3, yang lebih sering berkomunikasi dengan
anak-
anaknya di malam hari ataupun akhir pekan supaya tidak
mengganggu
pekerjaan anak-anaknya.
Meskipun tidak lagi tinggal bersama, kedekatan para
partisipan
dengan anak-anak mereka dirasakan tetap sama oleh para
partisipan.
Anak-anak partisipan yang telah dewasa masih sering menceritakan
hal-
hal yang dialami kepada ibunya, baik dalam pekerjaan ataupun
permasalahan yang sedang dihadapi. Demikian juga sebaliknya,
para
partisipan juga tidak segan untuk menceritakan hal-hal yang
mereka
alami kepada anak-anak. Kedekatan yang terbangun antara para
partisipan dengan anak-anak mereka yang telah dewasa tidak
terlepas
dari hubungan baik yang terbentuk sejak masa pengasuhan.
-
19
P1 mengaku merasa dekat dengan anak-anaknya dan memiliki
hubungan yang terbuka. Akan tetapi di sisi lain, P1 juga
menyadari
bahwa kedua anaknya membatasi pembicaraan mereka pada hal
kesehatan dan pekerjaan namun lebih tertutup dalam masalah
pribadi.
Menurut P1, anak-anaknya memang cenderung tertutup untuk
hal-hal
tertentu. Oleh sebab itu, P1 mencoba untuk memancing
anak-anaknya
supaya menceritakan hal-hal yang belum diceritakan tanpa
memaksa
mereka.
Sedangkan P2 merasa anak-anaknya sangat terbuka kepadanya
dan
menceritakan hal-hal yang mereka alami baik dalam pekerjaan
maupun
hubungan dengan orang lain. P2 mengungkapkan bahwa sejak
kecil
mereka memang sering bercerita kepada ibunya mengenai hal-hal
yang
dialami di sekolah atau di lingkungan rumah. P2 menilai
bahwa
keterbukaan tersebut juga nampak dari hubungan antara kedua
anaknya
yang tidak ragu untuk bercerita atau meminta saran kepada satu
sama
lain.
Pengalaman yang berbeda dirasakan oleh P3, yang menilai
bahwa
anak sulungnya lebih terbuka kepada orangtuanya dibandingkan
dengan
anak bungsunya. P3 menilai bahwa kurang terbukanya anak
bungsu
kepada orangtuanya antara lain karena anak bungsunya telah
tinggal di
luar kota sejak remaja. Keterbatasan fasilitas untuk
berkomunikasi saat
itu membuat mereka jarang berbicara panjang lebar dan hanya
bertemu
satu minggu sekali. Sedangkan anak sulung yang tinggal di rumah
hingga
selesai kuliah lebih terbiasa berdiskusi dengan kedua
orangtuanya.
Secara umum ketiga partisipan memiliki hubungan yang baik
dan
dekat dengan anak-anak mereka bahkan ketika anak-anak telah
dewasa
dan tidak lagi tinggal di rumah orangtuanya. Hal tersebut tidak
terlepas
dari hubungan yang terbentuk sejak anak-anak masih dalam
pengasuhan
kedua orangtuanya. Belsky (dalam Lasswell & Laswell,
1987)
mengungkapkan bahwa orangtua yang dulu hangat dan mendukung
saat
-
20
di masa kanak-kanak pertengahan dan remaja lebih berpeluang
memiliki
kontak dan kedekatan dengan anak mereka di masa dewasa awal.
Pengalaman Kesepian
Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan
kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal
bersama anak-
anak dan terlebih lagi setelah pasangan hidup tiada,
menimbulkan
perasaan kesepian dalam diri para partisipan pada waktu-waktu
tertentu.
Seperti yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, Sears dkk.,
(1985)
mengungkapkan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif
individu, yaitu tergantung pada interpretasi individu terhadap
berbagai
situasi yang dialaminya. Kesepian berbeda dengan kesendirian,
yang
merupakan kondisi objektif yang dapat diamati. Selaras
dengan
pandangan tersebut, ketiga partisipan dalam penelitian ini
mempunyai
pandangannya masing-masing terhadap pengalaman kesepian yang
mereka alami.
P1 memandang bahwa perasaan kesepiannya tidak selalu muncul
setiap ia sendirian di rumahnya. Bagi P1, perasaan kesepian ia
rasakan
ketika tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan yang harus
dilakukan saat
berada di rumah sendiri. Tidak memiliki kegiatan dan teman di
rumah
membuat P1 sering memikirkan ketidakhadiran orang-orang yang
disayanginya dan pemikiran tersebut memunculkan perasaan
kesepian
pada diri P1.
Perasaan kesepian yang dirasakan P1 juga muncul karena
adanya
kesenjangan antara harapan dengan apa yang ia alami.
Meskipun
merelakan anak-anaknya tinggal di luar kota, P1 sebenarnya
memiliki
keinginan untuk dapat selalu berkumpul dan dekat dengan
keluarganya,
terutama dengan anak bungsunya. Ketika anak bungsunya
memutuskan
untuk tinggal di luar kota, sebenarnya P1 masih meyakini bahwa
ia dan
anak bungsunya masih saling membutuhkan. Karena tidak ingin
menghalangi masa depan dan kesempatan yang dimiliki anaknya,
P1
-
21
berusaha merelakan anaknya pindah ke luar kota. Akan tetapi
perpisahan
tersebut tetap membuatnya merasa sedih dan kesepian jika
mengingat hal
tersebut. Perasaan kesepian yang dialami oleh P1 merupakan
kesepian
emosional, yang muncul karena ketiadaan figur kasih sayang yang
intim.
Sedangkan bagi P2, kesepian dirasakan ketika ia tidak dapat
berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya pada
waktu-waktu
yang ia harapkan yaitu pada saat hari raya keagamaan seperti
paskah atau
natal. Sudah menjadi tradisi bagi keluarga P2 bahwa hari-hari
raya
merupakan waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Akan
tetapi
setelah anak-anaknya bekerja di luar kota, tidak setiap hari
libur mereka
dapat berkumpul dikarenakan kesibukan masing-masing sehingga
ketika
pada hari-hari tersebut ia tidak dapat berkumpul dengan
keluarganya
partisipan merasa kesepian. Kenangan akan kebersamaan
keluarganya
menimbulkan perasaan kehilangan dalam diri P2.
Hal serupa juga dirasakan oleh P3. Kebiasaan berkumpul pada
saat hari raya keagamaan membuat partisipan merasa tidak lengkap
jika
tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Perasaan kesepian
juga
dirasakan oleh P3 saat ia harus menghadapi suatu masalah
sendirian. P3
yang terbiasa memperoleh bantuan dari suaminya merasa
kehilangan
teman berdiskusi dan kesepian saat harus menyelesaikan masalah
atau
mengambil keputusan sendirian.
Dari pandangan ketiga partisipan tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa perasaan kesepian yang dialami oleh wanita
yang
berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode empty nest tidak
selalu
muncul, namun merupakan keadaan sementara dan dirasakan pada
waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan terutama saat
harapan
partisipan bersama dengan orang-orang yang dikasihinya pada
saat-saat
tertentu tidak terpenuhi. Rubenstein dan Shaver (dalam Peplau,
1982)
mengemukakan bahwa kesepian seperti rasa lapar, yang
merupakan
sinyal alami yang memberitahu bahwa salah satu kebutuhan penting
tidak
-
22
terpenuhi. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kesepian merupakan
respon
terhadap kekurangan dua kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan
akan
keintiman yaitu hubungan yang dekat dengan satu atau lebih orang
yang
istimewa dan kebutuhan akan komunitas yaitu perasaan memiliki
pada
jaringan dengan teman-teman atau rekan.
Selain itu perasaan kesepian juga muncul saat partisipan
mengingat atau memikirkan kembali kenangan-kenangan mereka
bersama dengan orang-orang yang dikasihi namun telah tiada
atau
berpisah. Kenangan bersama dengan orang-orang yang dikasihi
dapat
menjadi sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga dapat menjadi
sesuatu
yang menimbulkan perasaan kesepian serta kesadaran bahwa
masa-masa
tersebut telah berlalu.
Anteseden Kesepian
Perlman dan Peplau (1981) menyebutkan bahwa anteseden
kesepian dapat dikategorikan dalam dua faktor yaitu
kejadian-kejadian
yang memicu kesepian dan faktor-faktor penyerta kesepian.
Kejadian yang memicu perasaan kesepian
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kejadian-kejadian yang
memicu kesepian (precipitating events) yang dialami oleh para
partisipan
antara lain adalah terminasi (termination), perpisahan fisik
(physical
separation), dan perubahan situasional (situational changes)
yang akan
dipaparkan berikut ini:
a. Terminasi (termination)
Berakhirnya hubungan emosional yang dekat merupakan salah
satu
penyebab yang paling umum dalam munculnya perasaan kesepian.
Demikian pula yang dialami oleh ketiga partisipan setelah
kepergian
pasangan hidup mereka. Kematian pasangan hidup yang telah
menikah
dan hidup bersama dengan mereka selama bertahun-tahun
menimbulkan
perasaan kehilangan dan kekosongan tiba-tiba dalam diri
ketiga
partisipan. Ketidakhadiran sosok suami di rumah yang telah
ditempati
-
23
keluarga mereka selama bertahun-tahun tentu dapat
menimbulkan
perasaan kesepian pada ketiga partisipan.
Bagi P3 perasaan kekosongan tersebut terutama juga diperkuat
karena selama beberapa tahun ia hanya tinggal berdua dengan
suaminya
setelah anak pertama mereka bekerja di luar kota lalu menikah
dan anak
kedua melanjutkan pendidikan di kota lain. Meskipun anak kedua
masih
rutin pulang ke rumah beberapa kali dalam satu bulan, P3 lebih
banyak
melewatkan waktu di rumah hanya berdua dengan suaminya.
Selain itu, P3 dan suaminya juga sering mengikuti berbagai
aktivitas bersama-sama. Oleh karena itu kepergian suami yang
begitu
tiba-tiba menimbulkan perasaan kesepian pada diri P3. Bahkan
pada
awal-awal kematian suaminya, P3 seringkali lupa bahwa suaminya
sudah
meninggal dan masih menunggu suaminya pulang ke rumah.
Keyakinan
bahwa ada Tuhan yang tetap menjaganya meski suaminya telah
tiada
membuat P3 merasa lebih kuat dan dapat menyesuaikan diri
dengan
kepergian suaminya.
b. Perpisahan fisik (physical separation)
Selain terminasi, perpisahan fisik dengan anak-anak sebagai
orang-
orang yang dekat dan disayangi, juga memicu munculnya
perasaan
kesepian pada diri partisipan. Perpisahan fisik tentu
mengurangi
frekuensi interaksi antara para partisipan dengan anak-anak
mereka. Jarak
yang cukup jauh antara tempat tinggal para partisipan dengan
tempat
tinggal anak-anak mereka membuat mereka tidak dapat bertemu
setiap
hari dan hanya bertemu tiga atau empat kali dalam setahun serta
hanya
berkomunikasi melalui telepon atau surat elektronik.
Perpisahan fisik membuat para partisipan tidak dapat
berjumpa
dengan anak-anak atau cucu mereka kapan pun mereka ingin.
Meskipun
dapat berkomunikasi melalui telepon, hal tersebut tentu tidak
sama jika
dibandingkan dengan kepuasan yang dirasakan para partisipan
saat
bertemu secara langsung dengan orang-orang yang dikasihi.
-
24
c. Perubahan situasi (situational changes)
Perubahan situasi juga merupakan pemicu perasaan kesepian
yang
dialami oleh para partisipan. Seperti yang telah dikemukakan
oleh
Perlman dan Peplau (1981), bahwa hasrat seseorang untuk
bersama
dengan orang lain bukan merupakan sesuatu yang konstan.
Demikian
halnya yang dirasakan oleh para partisipan. Harapan untuk dapat
bersama
anak-anak dan orang-orang yang dikasihi muncul lebih kuat dalam
diri
para partisipan pada situasi-situasi tertentu. Keinginan P1
untuk bersama
dengan anak-anaknya muncul lebih kuat saat ia sendirian di rumah
dan
tidak memiliki kegiatan. Bagi P1 pada saat-saat seperti itu ia
merasa lebih
nyaman jika ada orang lain yang bisa menemaninya. Kenangan
akan
kebersamaan dengan anak-anak dan suami di waktu lampau membuat
P1
menyadari bahwa saat ini ia telah sendiri dan hal tersebut
menimbulkan
perasaan kesepian.
Hal yang berbeda dirasakan oleh P2 dan P3 yang memiliki
keinginan untuk bersama keluarganya (anak-anak) saat hari-hari
raya
keagamaan. Berbeda dengan P1 yang selalu dapat berkumpul
bersama
anak-anak di hari raya atau libur, P2 dan P3 tidak selalu bisa
berkumpul
dengan anak-anaknya pada waktu-waktu tersebut. Kesibukan
pekerjaan
dan kegiatan P2 dan P3 serta anak-anaknya membuat mereka tidak
selalu
dapat berkumpul bersama. Sedangkan pada waktu-waktu yang
lampau,
berkumpul bersama dengan keluarga di waktu-waktu istimewa
sudah
menjadi tradisi dan kebiasaan keluarga, sehingga ketika para
partisipan
yang telah kehilangan suaminya tidak dapat berkumpul dengan
anak-
anak di waktu yang diinginkan menyebabkan perasaan rindu dan
juga
kesepian. Bahkan ketika P3 ditemani oleh anggota keluarganya
yang lain
pun perasaan kekosongan akibat tidak dapat bertemu langsung
dengan
anak-anaknya masih tetap terasa.
Bagi P3, keinginan untuk bersama orang lain terutama suami
dan
anak-anaknya juga muncul saat ia harus menghadapi suatu
permasalahan
-
25
sendirian. P3 sudah terbiasa dengan bantuan dan nasehat dari
suaminya
saat mengalami suatu masalah atau harus mengambil keputusan,
sehingga
ketidakhadiran suami di saat-saat penting tersebut membuatnya
merasa
sangat kesepian dan merindukan suaminya. Tidak jarang pula P3
masih
mengharapkan dan mengangankan suaminya masih ada di
sampingnya.
Pemikiran tersebut membuat partisipan semakin merasa kesepian
dan
sendirian.
Faktor penyerta perasaan kesepian
Selain kejadian yang memicu, terdapat pula faktor-faktor
penyerta
(predisposing factors) kesepian pada para partisipan. Faktor
penyerta
kesepian merupakan faktor yang lebih berisfat personal
seperti
kepribadian, nilai, juga karakteristik demografis dari individu
yang
mengalami kesepian yang dapat berkontribusi terhadap perasaan
kesepian
yang dialami.
Setelah suaminya meninggal, P1 memiliki kekhawatiran
terhadap
pandangan negatif orang-orang disekitarnya yang dapat muncul
jika ia
terlalu sering bepergian atau dikunjungi oleh tamu pria yang
bukan
keluarga atau teman dari gereja yang sama. Dengan adanya
kekhawatiran
tersebut, P1 membatasi kegiatannya di luar rumah dan hanya
bepergian
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan rutin yang sering diikutinya
atau
untuk berbelanja.
Untuk mencegah munculnya pandangan negatif dari orang-orang
disekitarnya, P1 juga membatasi orang-orang yang boleh
berkunjung ke
tempat tinggalnya. P1 kerap kali menghindari percakapan dengan
pria
yang tidak terlalu dekat dan tidak mengatakan kondisi
keluarganya yang
sebenarnya. P1 bahkan tidak terlalu sering mengunjungi
keluarganya
yang berada di Salatiga jika tidak ada keperluan yang terlalu
mendesak.
Penelitian yang dilakukan Susanti (2010) menegaskan bahwa
terdapat
stigma masyarakat terhadap status “janda” yang seringkali
dianggap
sebagai makhluk lemah dan pantas untuk digoda. Adanya stigma
-
26
masyarakat tersebut terhadap status “janda” menimbulkan
kekhawatiran
pada diri P1 jika ia bisa mengalami kejadian buruk seperti
dipandang
rendah digoda oleh orang asing jika mereka mengetahui
statusnya.
Dengan adanya kekhawatiran tersebut, P1 mengurangi
kesempatannya untuk berinteraksi dengan orang lain serta lebih
banyak
meluangkan waktu sendiri di rumah jika tidak ada kegiatan yang
harus
diikuti.
Berbeda dengan P1, kondisi kesehatan P2 yang semakin menurun
membuatnya memutuskan untuk mengurangi kegiatan yang
mengharuskannya bepergian jauh atau melakukan aktivitas yang
berat.
Selain itu karena tidak memiliki kendaraan pribadi, P2
terkadang
memutuskan untuk tidak menghadiri ibadah atau pertemuan jika
dilakukan di tempat yang jauh dari rumahnya atau jika tidak
ada
tumpangan dari teman. Keterbatasan kondisi fisik dan fasilitas
yang
dimiliki, membuat interaksi P2 dengan orang lain berkurang
dibandingkan dengan saat ia masih dalam kondisi fisik yang lebih
baik.
Hal tersebut membuat P2 lebih sering berada di rumah.
Sedangkan pada P3, faktor penyerta yang berkontribusi pada
perasaan kesepian yang dialami ialah perasaan terbiasa bersama
dengan
orang lain. Lahir dalam keluarga yang besar dan memiliki enam
saudara
membuat P3 lebih terbiasa hidup bersama banyak orang. Selain itu
pada
masa kecil, keluarga P3 tinggal bersama orangtua ibunya sehingga
ia
nyaris tidak pernah sendirian. Pengalaman masa kecil tersebut
juga
berlanjut hingga P3 berkeluarga. P3 mengaku bahwa ia tidak
pernah
benar-benar hidup sendiri dan kurang mandiri. Dengan
pengalaman
kehidupan seperti itu, P3 lebih merasa nyaman jika bisa bersama
dengan
orang lain dan kurang terbiasa dengan kesendirian, terutama
setelah
suaminya meninggal.
Selain terdapat kejadian-kejadian yang memicu perasaan
kesepian
maupun faktor penyerta kesepian, ternyata ditemukan pula
beberapa
-
27
faktor yang membuat partisipan tidak merasa kesepian secara
terus
menerus atau mengalami kesepian kronis. Faktor yang pertama
ialah
perubahan perkembangan (developmental changes). Perlman dan
Peplau
(1982) mengemukakan bahwa perubahan perkembangan akan
berdampak
pada harapan akan hubungan sosial, yang dapat memicu
timbulnya
kesepian. Para partisipan yang sedang berada dalam masa dewasa
madya,
bahkan sudah mendekati masa dewasa akhir menyadari bahwa
anak-anak
mereka telah dewasa dan memiliki kehidupan masing-masing.
Berada dalam masa dewasa madya membuat ketiga partisipan
juga
menyadari bahwa pada waktunya setiap orangtua akan melepaskan
anak-
anaknya yang telah dewasa dan merangkai masa depan.
Kesadaran
tersebut membuat para partisipan tidak ingin menjadi penghalang
bagi
anak-anak untuk membangun kehidupannya sendiri. Berbagai
pengalaman hidup yang telah dilalui juga memberikan pengaruh
pada
para partisipan sehingga mereka memahami bahwa tanggungjawab
dan
pekerjaan anak-anak mereka membuat mereka harus berpisah,
seperti
saat mereka mulai meninggalkan orangtua mereka dulu.
Perubahan perkembangan yang dialami oleh partisipan juga
diiringi dengan bertambahnya pengalaman hidup. Dalam
pengalaman
hidupnya, P3 seringkali diingatkan oleh suaminya bahwa manusia
tidak
bisa selalu mendapatkan apa yang diinginkan, sehingga setiap
manusia
harus belajar untuk menerima keadaan yang ada dan senantiasa
bersyukur. Melalui pengalaman hidup tersebut, P3 belajar untuk
berusaha
menerima kejadian-kejadian yang tidak sesuai dengan yang ia
inginkan
dan tetap bersyukur.
Meskipun memiliki harapan untuk dapat tinggal bersama atau
lebih
sering bertemu dengan anak-anak mereka, ketiga partisipan
memiliki
pendapat bahwa masa ini merupakan masa bagi anak-anaknya
untuk
membangun kehidupannya sendiri. Para partisipan tidak ingin
menghambat atau menghalangi masa depan anak-anak mereka.
Dengan
-
28
adanya kesadaran tersebut maka terciptalah penerimaan akan
kondisi dari
periode yang sedang mereka alami saat ini sehingga para
partisipan tidak
berlarut-larut memikirkan keterpisahan mereka dengan
anak-anak.
Kondisi fisik lingkungan tempat tinggal juga menjadi salah
satu
faktor yang membuat para partisipan tidak selalu merasa
kesepian. Baik
P1 dan P3 tinggal di lingkungan yang sama selama bertahun-tahun
dan
mengenal baik tetangga-tetangga di sekitarnya. P1 dan P3 pun
terlibat
secara aktif dalam aktivitas sosial di lingkungan tempat tinggal
mereka.
Bahkan P3 mengaku ia sangat bersyukur dengan keberadaan
tetangga-
tetangga dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan para
tetangganya. Kedekatan tersebut juga tampak dari kesediaan
tetangga di
sekitar rumah P3 untuk membantu jika terdapat pekerjaan
perawatan
rumah yang tidak dapat dikerjakan oleh P3 setelah suaminya
meninggal.
Sedangkan pada P1, ia memiliki hubungan yang baik dengan
para
tetangganya serta memiliki teman baik yang tinggal tidak jauh
dari
rumahnya. Keberadaan tetangga yang membantu saat P1 dan P2
mengalami kesulitan atau membutuhkan bantuan membuat mereka
merasa nyaman tinggal di lingkungan tersebut dan terlebih lagi
membuat
mereka tidak merasa sendiri.
Berbeda dengan P1 dan P3, kondisi lingkungan sekitar tempat
tinggal P2 tidak tampak terlalu akrab dan hangat. Hal tersebut
nampak
dari jarak rumah satu dengan yang lainnya yang tidak terlalu
rapat, serta
pagar-pagar tinggi yang ada di setiap rumah. Selain itu, P2 juga
mengaku
ia tidak banyak terlibat dalam kegiatan di lingkungan tersebut,
yang juga
jarang dilakukan. Namun, P2 memiliki pembantu rumah tangga
yang
tinggal bersamanya di pagi hingga sore hari. Selain membantu
dalam
mengerjakan pekerjaan rumah tangga, P2 juga menilai bahwa
kehadiran
pembantu rumah tangga juga menjadi teman untuk
bercakap-cakap.
Meskipun hubungan antara P2 dengan pembantu rumah tangganya
tidak
-
29
sangat dekat, tetapi kehadiran pembantu rumah tangga cukup
untuk
membuat P2 merasa terbantu dan memiliki teman di rumah.
Memiliki hobi juga menjadi faktor lain yang membuat P1 dan
P2
tidak merasa kesepian, bahkan menjadi salah satu strategi koping
saat
mengalami kesepian. Dengan memiliki hobi, P1 dan P2 memiliki
kegiatan yang dapat dilakukan di rumah saat tidak memiliki
pekerjaan
yang harus dilakukan dengan demikian mereka tidak memiliki
waktu
untuk melamun dan memikirkan kesendirian.
Hal tersebut sedikit berbeda dengan yang dialami oleh P3
yang
tidak memiliki hobi khusus namun masih memiliki pekerjaan
dan
berbagai kesibukan. Pekerjaan sebagai guru SMA membuat P3
harus
berada di sekolah dari pagi hingga siang. Selain mengajar, P3
juga
menjadi pendamping siswa yang mengikuti lomba penelitian
atau
olimpiade mata pelajaran sehingga membuatnya berada di sekolah
hingga
sore hari pada waktu-waktu tertentu. Tidak jarang pula P3 masih
harus
melanjutkan pekerjaannya di rumah sehingga menurutnya tidak
ada
waktu untuk menganggur atau melamun.
Di sisi lain kesibukan pekerjaan juga membuat frekuensi
interaksinya dengan keluarga besar maupun kawan lama menjadi
berkurang. Padatnya aktivitas juga membuatnya tidak dapat
mengunjungi
anak-anaknya meskipun sudah merasa sangat rindu sehingga hal ini
juga
dapat menjadi pemicu kesepian yang dialami oleh P3.
Perasaan yang Muncul saat Kesepian
Kesepian tidak terasa sama bagi setiap orang, demikian
halnya
yang dirasakan oleh ketiga partisipan. Saat mengalami kesepian,
P1
merasa sangat merindukan kehadiran orang-orang yang
disayanginya.
Kesepian juga membuat P1 merasakan kekosongan dalam hidupnya
dan
muncul perasaan tidak berguna. P1 yang merasa masih muda dan
seharusnya masih dapat melakukan sesuatu dan tidak hanya berada
di
-
30
rumah membuatnya merasa tidak berguna. Meskipun demikian, P1
juga
merasa lebih tenang karena memiliki waktu untuk sendiri.
Saat mengalami kesepian P2 juga memiliki keinginan untuk
bersama dengan orang-orang yang dikasihinya. Selain itu
perasaan
kesepian seringkali memunculkan pemikiran tentang kematian dalam
diri
P2. Pemikiran tentang kematian membuat P2 merasa khawatir jika
suatu
saat ia meninggal saat sendirian dan tidak ada orang lain
yang
mengetahui. Pemikiran tersebut tentunya menimbulkan perasaan
yang
tidak menyenangkan dan membuat P2 merasa tidak nyaman dengan
kesendirian terutama saat akan beristirahat di malam hari.
Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1 dan P3,
namun dengan cara yang berbeda. Pemikiran tentang kematian
yang
dialami oleh P1 muncul saat memikirkan harapannya akan masa
depan.
P1 menyatakan akan siap “dipanggil Tuhan” ketika anak
bungsunya
sudah menikah, sehingga tanggung jawabnya sebagai orangtua
telah
selesai. Pemikiran tentang kematian juga muncul dalam diri P1
ketika ia
mengingat almarhum suaminya. P1 mengingatkan diri sendiri
bahwa
suaminya sudah bahagia di surga, sehingga ia tidak perlu
bersedih lagi.
Sedangkan bagi P3 pemikiran tentang kematian telah menjadi
topik
percakapannya dengan suami semasa hidup. Melalui percakapan-
percakapannya dengan suami mengenai kematian, P3 tidak
memiliki
kekhawatiran tentang kematian. P3 meyakini bahwa Tuhan telah
merencanakan hidup setiap manusia dan manusia hanya
menjalaninya.
Seperti dua partisipan yang lain, saat mengalami kesepian P3
merasakan keinginan untuk ditemani oleh orang lain, terutama
suaminya.
P3 yang kerap mengalami kesepian saat harus menyelesaikan
masalahnya
sendiri, merasa sangat merindukan kehadiran suaminya dan
berharap
suaminya masih hidup. P3 juga berpikir bahwa jika suaminya
masih
hidup ia tidak akan merasa kesepian seperti yang dirasakannya,
dan hal
tersebut menimbulkan perasaan sedih dalam diri P3. P3 juga
merasakan
-
31
kekosongan dan kurang lengkap saat harus melewatkan perayaan
keagamaan tanpa anak-anaknya meskipun ia sedang bersama
dengan
sanak keluarganya yang lain.
Dari ketiga partisipan dapat disimpulkan bahwa perasaan yang
muncul saat partisipan mengalami kesepian ialah kekosongan
yang
muncul dari ketiadaan orang-orang yang dikasihi, perasaan
tidak
berguna, pemikiran tentang kesendirian saat meninggal, dan
timbulnya
keinginan untuk bersama orang lain, terutama keluarga. Selain
itu
kenangan akan masa-masa yang telah berlalu juga sering menjadi
muncul
saat para partisipan merasa kesepian, meskipun pada beberapa
situasi
kenangan justru menjadi salah satu pemicu timbulnya perasaan
kesepian.
Strategi Koping untuk meringankan perasaan kesepian
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ketiga partisipan
menyadari
akan perasaan kesepian yang dialami. Kesadaran tersebut
ditunjukkan
dari kemampuan partisipan untuk menjelaskan hal-hal yang
memicu
perasaan kesepiannya, serta apa yang dirasakan saat mengalami
kesepian.
Dengan menyadari perasaan kesepian yang dialami, partisipan
memiliki
kesadaran untuk melakukan strategi koping yang dapat
meringankan
perasaan kesepian. Saat merasa kesepian, para partisipan
berusaha untuk
melakukan sesuatu sehingga perasaan kesepian yang dialami
bisa
menjadi lebih ringan. Dari keenam strategi koping terhadap
kesepian
yang dikemukakan oleh Rokach dan Brook (1998), terdapat tiga
strategi
koping yang diterapkan oleh partisipan, yaitu:
a. Peningkatan aktivitas
Rokach dan Brook (1998) mengemukakan bahwa peningkatan
aktivitas menekankan pada usaha individu mencurahkan perhatian
pada
pekerjaan serta mengikuti kegiatan tambahan yang dapat membuat
waktu
yang seringkali dilewatkan sendirian menjadi lebih
menyenangkan,
produktif, dan berarti, atau bahkan dapat meningkatkan kontak
dan
hubungan sosial. Pada P1 dan P2 yang tidak memiliki pekerjaan
tetap
-
32
peningkatan aktivitas dilakukan dengan terlibat dalam
kegiatan-kegiatan
sosial atau mengerjakan hobi.
Dengan adanya kegiatan sosial di lingkungan seperti Posyandu
dan
PKK, P1 dapat memiliki kegiatan yang produktif serta
meningkatkan
interaksinya dengan orang lain. P1 menjelaskan bahwa ia
memiliki
beberapa teman yang dekat melalui keikutsertaan dalam
kegiatan
tersebut. Selain itu terlibat dalam kegiatan sosial di
lingkungan
masyarakat menimbulkan perasaan menyenangkan dan berguna
dalam
diri P1. Meskipun bagi P1 apa yang dilakukan olehnya tidak
seberapa,
tetapi hal tersebut menimbulkan perasaan dibutuhkan dan
dihargai
sehingga ia memiliki penghargaan yang lebih baik pada
dirinya.
Sedangkan bagi P2, peningkatan aktivitas dilakukan dengan
mengikuti program penyediaan tempat tinggal (homestay) bagi
mahasiswa dari luar negeri yang belajar bahasa dan budaya
Indonesia di
Salatiga. Melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, P2
tidak
hanya memperoleh tambahan pendapatan namun juga aktivitas
untuk
mempersiapkan kebutuhan mahasiswa asing. Selain itu P2 juga
merasa
senang karena ada orang lain yang menemaninya di rumah
selama
beberapa waktu serta dapat mempelajari lagi kemampuan bahasa
asing
yang dimilikinya.
Selain kegiatan-kegiatan tersebut P1 dan P2 memilih untuk
mengerjakan hobi mereka masing-masing di waktu luang yang
dimiliki.
P1 yang memiliki hobi menjahit serta berkebun mengaku bahwa
dengan
adanya hobi tersebut ia bisa mengisi waktu luangnya dengan
kegiatan
yang lebih produktif. Dengan hobi menjahit, P1 bisa
menciptakan
beberapa benda yang memanfaatkan kain-kain perca atau yang
tidak
terpakai. Ketika melihat hasil karyanya, P1 merasa senang dan
bangga
akan dirinya sendiri.
Perasaan serupa juga dialami oleh P2 melalui hobi yang
berbeda,
yaitu memasak. Dalam waktu-waktu luangnya, P2 mencoba
berbagai
-
33
resep masakan yang baru dipelajarinya atau yang sedang ingin ia
buat.
Melalui hobi itu pula, P2 dapat memperoleh tambahan
pendapatan
dengan membuat kue-kue yang dipesan oleh teman-temannya.
Memiliki aktivitas atau hobi membuat wanita yang berperan
sebagai orangtua tunggal dalam periode empty-nest dapat merasa
bahwa
masa tua bisa menjadi tetap produktif dan menimbulkan
perasaan
dihargai dan dibutuhkan oleh orang lain. Perasaan dihargai dan
masih
dapat melakukan hal yang berguna dapat meringankan perasaan
kesepian
yang dialami oleh individu.
b. Jaringan dukungan sosial
Berkomunikasi orang lain di saat merasa kesepian merupakan
salah
satu strategi koping yang dilakukan oleh P2 dan P3. Rokach dan
Brook
(1998) menjelaskan bahwa strategi koping ini menekankan pada
usaha
individu untuk meningkatkan keterlibatan dan interaksi sosial
dengan
orang lain. Saat merasa kesepian dan merindukan kehadiran
anak-anak,
P2 berusaha untuk berkomunikasi melalui telepon dengan
anak-anaknya.
Hal ini juga dilakukan saat P2 tidak dapat berkumpul di
hari-hari raya
bersama dengan kedua anaknya, yang menimbulkan perasaan
kesepian
pada dirinya. Meskipun berkomunikasi melalui telepon tentu
tidak
memberikan kepuasan yang sama dengan jika bertemu secara
langsung,
tetapi dapat sedikit meringankan perasaan kesepian yang dialami
oleh P2.
Serupa dengan yang dialami oleh P2, P3 juga memilih untuk
berkomunikasi dengan anak-anaknya melalui telepon saat
merasa
kesepian. P3 juga tidak segan untuk menceritakan masalah
atau
pergumulan yang membuatnya merasa kesepian kepada
anak-anaknya.
Selain itu, saat merasa kesepian P3 juga menceritakan
pergumulannya
kepada sahabat yang sudah sangat dekat dengan keluarganya.
Meskipun
anak-anak atau sahabat kadang kala tidak dapat memberikan solusi
secara
konkret terhadap masalahnya, P3 tetap merasa lebih lega
setelah
bercakap-cakap dengan orang lain.
-
34
Keberadaan orang lain di sisi individu saat mengalami
kesepian
memiliki peran penting dalam membantu meringankan perasaan
kesepian. Interaksi dengan orang lain yang dekat dan
memberikan
perhatian menimbulkan perasaan tidak sendiri dan dicintai pada
individu
yang mengalami kesepian. Dengan merasa tidak sendiri serta
dicintai
oleh orang lain, individu akan merasa lebih nyaman dan
meringankan
perasaan kesepian yang dialami.
c. Agama dan keyakinan
Agama dan keyakinan sebagai salah satu strategi koping
terhadap
kesepian menekankan pada perasaan memiliki dan bersekutu
yang
muncul melalui keterlibatan dalam kegiatan kerohanian serta
kekuatan
dan ketentraman batin yang diperoleh individu melalui keyakinan
pada
Tuhan atau kekuatan yang lebih tinggi (Rokach & Brook,
1998). Strategi
koping ini merupakan strategi koping yang dianggap paling baik
oleh
ketiga partisipan penelitian. Baik P1, P2 maupun P3
menyampaikan
bahwa melakukan ibadah dan berdoa membuat mereka memperoleh
ketenangan batin yang tidak diperoleh dari kegiatan yang
lain.
Saat mengalami kesepian, ketiga partisipan memilih untuk
berdoa
dan mencurahkan apa yang dirasakan, masalah yang sedang
dihadapi
serta segala kekhawatiran kepada Tuhan. Ketiga partisipan,
yang
semuanya beragama Kristen Protestan, juga memiliki keyakinan
yang
sama yaitu bahwa segala sesuatu telah diatur dan dipersiapkan
oleh
Tuhan bagi kehidupan umatnya. Para partisipan juga meyakini
bahwa
mereka akan diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan
hingga
kematian menjemput. Dengan keyakinan tersebut ketiga
partisipan
memperoleh ketenangan batin, ketentraman, serta kekuatan
untuk
menjalani kehidupannya dan mengatasi masalah-masalah yang
mereka
temui.
Selain melakukan ibadah dan berdoa secara pribadi, para
partisipan
juga terlibat dalam komunitas keagamaan. Bahkan ketiga
partisipan tidak
-
35
hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang diadakan di komunitas
keagamaan masing-masing, namun juga terlibat secara aktif
dalam
pelayanan gerejawi. P1 menyampaikan bahwa setelah pasangan
hidupnya
meninggal dan anak-anak telah dewasa serta meninggalkan rumah,
ia
ingin mengabdikan hidupnya melalui pelayanan gerejawi. Demikian
pula
dengan P3, yang kini tidak hanya mengikuti paduan suara gerejawi
tetapi
juga mengemban tugas sebagai majelis jemaat di gereja.
Meskipun mengurangi keikutsertaan dalam pelayanan gereja
karena kondisi kesehatan yang semakin menurun, P2 tetap terlibat
dalam
kegiatan-kegiatan di gereja sesuai dengan kemampuannya.
Terlibat dalam komunitas keagamaan membuat para partisipan
merasa memiliki komunitas yang membangun serta teman bahkan
saudara seiman yang dapat menjadi tempat berbagi. Perasaan
tersebut
tampak dari perilaku para partisipan yang tidak segan untuk
menceritakan
permasalahan yang sedang dihadapi kepada teman dekat yang
berasal
dari komunitas yang sama. Perasaan kesepian juga menjadi terasa
lebih
ringan dan dapat diatasi dengan adanya keyakinan bahwa
teman-teman
mereka turut mendoakan dan memberikan dukungan sehingga
mereka
memperoleh kekuatan rohani.
Kegiatan kerohanian serta keyakinan kepada Tuhan atau
kekuatan
yang lebih tinggi dapat memberikan ketenangan batin individu
yang
mengalami kesepian. Keyakinan kepada Tuhan yang senantiasa
membantu dan memberikan kekuatan juga memunculkan perasaan
bersyukur dalam diri individu. Melalui perasaan bersyukur,
individu
dapat menerima pengalaman-pengalaman yang pada mulanya
dinilai
pahit dan mengambil makna positif.
-
36
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dalam
penelitian ini diperoleh kesimpulan mengenai pengalaman kesepian
yang
dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtunggal dalam
periode
empty-nest yang akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Kehilangan pasangan hidup merupakan salah satu pengalaman
yang menimbulkan rasa kaget, dukacita dan kesedihan yang
mendalam dalam diri para partisipan. Adanya dukungan
keluarga
dan kerabat dirasakan sangat membantu para partisipan dalam
menyesuaikan diri dengan kondisi yang mereka alami.
2. Setelah menghadapi perasaan dukacita karena kehilangan
pasangan
hidup, para partisipan kemudian juga harus menghadapi
periode
empty-nest. Menyadari bahwa anak-anak telah tumbuh dewasa
dan
memiliki kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik
membuat para partisipan merelakan kepergian anak-anak
mereka.
Meskipun terdapat perasaan kesedihan dan kehilangan, para
partisipan memiliki kesadaran bahwa periode empty-nest
merupakan bagian dan tahapan dalam kehidupan sehingga mereka
dapat menerima hal tersebut dengan baik.
3. Harapan untuk dapat tinggal bersama atau berdekatan dengan
anak-
anak dirasakan oleh para partisipan. Akan tetapi pekerjaan
dan
tanggung jawab para partisipan dan anak-anak mereka
mengharuskan mereka untuk berpisah dan tinggal di kota yang
berlainan. Para partisipan masih dalam kondisi kesehatan
yang
masih baik serta memiliki penghasilan yang mencukupi
kebutuhan
sehari-hari. Para partisipan penelitian juga memiliki
keinginan
untuk dapat berdekatan dengan teman-teman dan tetangga serta
tidak ingin meninggalkan rumah yang telah ditempati keluarga
selama bertahun-tahun. Pertimbangan-pertimbangan tersebut
-
37
membuat para partisipan penelitian memutuskan untuk tetap
tinggal di rumah, meskipun harus hidup sendiri.
4. Meskipun tinggal berjauhan dengan anak-anak, para
partisipan
penelitian tetap berusaha untuk membangun komunikasi yang
baik
dengan anak-anak mereka. Kemajuan teknologi sangat membantu
para partisipan penelitian untuk berinteraksi dengan
anak-anak
meskipun berada di tempat yang jauh. Meskipun telah beranjak
dewasa dan tinggal di tempat yang berbeda, anak-anak para
partisipan tidak segan untuk menceritakan masalah atau
kejadian
yang mereka alami kepada ibunya. Dengan adanya komunikasi
yang rutin dan keterbukaan, hubungan yang baik tetap
terjalin
antara para partisipan penelitian dengan anak-anak mereka.
5. Meskipun kesendirian tidak selalu diikuti dengan perasaan
kesepian, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak lagi tinggal
bersama
keluarga menimbulkan perasaan kesepian pada diri para
partisipan
pada waktu-waktu tertentu. Perasaan kesepian dirasakan
terutama
saat harapan partisipan bersama dengan orang-orang yang
dikasihi
pada saat-saat tertentu tidak dapat terpenuhi. Kesenjangan
antara
harapan dengan kenyataan menimbulkan perasaan kesepian dalam
diri para partisipan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
perasaan kesepian yang dirasakan oleh para partisipan
cenderung
mengarah pada kesepian emosional yaitu kesepian yang muncul
karena ketiadaan figur kasih sayang yang intim.
6. Anteseden perasaan kesepian yang dialami oleh partisipan
dikategorikan dalam dua faktor yaitu kejadian yang memicu
kesepian dan faktor penyerta kesepian. Kejadian yang memicu
kesepian antara lain terdiri dari terminasi atau berakhirnya
hubungan emosional, perpisahan fisik dengan orang-orang yang
dikasihi, dan perubahan situasi yaitu hasrat untuk bersama
dengan
orang lain yang berubah sesuai dengan situasi yang dialami.
-
38
Sedangkan faktor penyerta kesepian merupakan faktor yang
lebih
bersifat personal. Dalam penelitian ini ditemukan faktor
penyerta
kesepian dalam diri para partisipan antara lain kekhawatiran
akan
stigma masyarakat yang membuat partisipan membatasi
pergaulan,
kondisi kesehatan partisipan yang mulai menurun seiring
pertambahan usia yang membuat partisipan mengurangi
keterlibatan dalam komunitas, dan pengalaman masa kecil yang
terbiasa dikelilingi banyak orang.
7. Selain adanya anteseden kesepian, ditemukan juga
faktor-faktor
yang membuat partisipan tidak mengalami kesepian secara
berlarut-larut, yaitu perubahan perkembangan, kondisi
lingkungan
yang akrab dan mendukung, kehadiran teman atau orang lain
yang
dipercaya, dan memiliki pekerjaan atau hobi dan aktivitas
yang
produktif.
8. Saat partisipan mengalami kesepian, perasaan-perasaan
yang
muncul dalam diri partisipan antara lain ialah kekosongan
dalam
hidup, perasaan tidak berguna, pemikiran tentang kematian
dan
kesendirian saat meninggal, merindukan kehadiran orang-orang
yang dikasihi, dan munculnya kenangan akan masa-masa yang
telah berlalu.
9. Respon terhadap perasaan kesepian ditunjukkan melalui
adanya
usaha untuk melakukan sesuatu yang dapat meringankan
perasaan
kesepian yaitu strategi koping terhadap kesepian. Strategi
koping
terhadap kesepian yang diterapkan oleh partisipan adalah
peningkatan aktivitas, jaringan dukungan sosial, serta agama
dan
keyakinan. Dengan strategi koping tersebut partisipan dapat
membuat waktu sendirian menjadi lebih menyenangkan,
produktif,
menimbulkan perasaan yang menyenangkan, dibutuhkan,
dihargai,
dan berguna sehingga meningkatkan penghargaan terhadap diri
-
39
sendiri, serta memperoleh ketenangan batin dan kedamaian
yang
diperoleh melalui kegiatan religius.
SARAN
Bagi peneliti selanjutnya
Pengalaman kesepian merupakan pengalaman yang tidak terlepas
dari pengaruh budaya atau nilai yang dianut oleh individu.
Dalam
penelitian ini faktor budaya serta nilai-nilai yang dianut oleh
individu
masih kurang tergali dan tidak menjadi fokus penelitian. Bagi
peneliti
selanjutnya disarankan untuk dapat meneliti dengan lebih
mendalam
hubungan antara budaya dengan pengalaman kesepian. Selain
itu,
penelitian ini hanya meneliti pengalaman kesepian pada wanita
atau ibu
yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode
empty-nest.
Bagi peneliti selanjutnya dapat pula mengkaji dan meneliti
lebih
lanjut mengenai pengalaman kesepian yang dialami oleh pria atau
ayah
yang berperan sebagai orangtua tunggal pada periode empty-nest,
atau
pada kedua orangtua. Dalam penelitian ini, metode observasi
kurang
dapat menghasilkan data yang maksimal dikarenakan pengalaman
kesepian merupakan fenomena psikologis yang sulit untuk diamati.
Maka
dari itu selain menerapkan metode pengambilan data dengan
wawancara
dan observasi, peneliti selanjutnya disarankan untuk dapat
menerapkan
metode pengambilan data yang lain sehingga bisa memeroleh data
yang
lebih lengkap dan mendalam.
Salah satu metode pengambilan data yang disarankan peneliti
untuk penelitian selanjutnya antara lain penggunaan skala
psikologi yang
dapat mengukur tingkat kesepian pada partisipan penelitian
sebelum
melakukan wawancara. Dengan menggunakan skala pengukuran
kesepian, peneliti selanjutnya dapat memperoleh gambaran
mengenai
tingkat kesepian yang dialami partisipan penelitian dan dapat
menggali
lebih dalam pengalaman kesepian partisipan melalui
wawancara.
-
40
Bagi partisipan dan pembaca khususnya wanita yang berperan
sebagai orangtua tunggal yang akan atau sedang berada dalam
periode empty-nest
Melalui penelitian ini, peneliti hendak memberikan saran
agar
wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal dalam periode
empty-nest
sebaiknya tetap memiliki kegiatan atau hobi untuk dilakukan di
masa tua.
Dengan memiliki kegiatan atau hobi, pembaca dapat lebih
menikmati
waktu luang yang dimiliki dan tidak larut dalam perasaan
kesepian.
Terlibat secara aktif dalam suatu komunitas sosial atau
pelayanan
keagamaan juga baik untuk dilakukan. Turut serta dalam kegiatan
sosial
atau pelayanan keagamaan dapat membantu pembaca untuk
menjalin
relasi yang baik dengan orang lain serta menimbulkan penghargaan
diri
yang positif. Saran lain untuk pembaca ialah perlunya
menyadari
perasaan-perasaan yang dialami serta mencari solusi atau
melakukan
strategi koping yang positif.
Bagi keluarga dan kerabat wanita yang berperan sebagai
orangtua
tunggal dalam periode empty-nest
Meskipun tidak lagi tinggal bersama, komunikasi antar
anggota
keluarga tetap perlu untuk dipertahankan serta ditingkatkan.
Komunikasi
yang baik dan terbuka dapat mencegah munculnya perasaan
kesepian,
juga dapat membantu para wanita yang berperan sebagai
orangtua
tunggal dalam periode empty-nest untuk meringankan perasaan
kesepian
yang dialami. Selain komunikasi, kesempatan untuk berkumpul
bersama
dengan keluarga pada waktu-waktu istimewa juga perlu untuk
diadakan
sehingga para wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal
dapat
menikmati momen istimewa bersama orang-orang yang dikasihi.
Bagi organisasi sosial dan keagamaan
Melalui penelitian ini, organisasi sosial dan keagamaan
disarankan
untuk dapat menyediakan kegiatan yang produktif untuk
orangtua,
terutama wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal, yang
memasuki
-
41
masa empty-nest. Selain itu organisasi sosial dan keagamaan
disarankan
untuk melibatkan secara aktif wanita yang berperan sebagai
orangtua
tunggal dalam periode empty-nest dalam kegiatan atau pelayanan
yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, E. W. (2007). Tingkat kecemasan menghadapi periode
empty-
nest pada wanita single parent. Skripsi (tidak diterbitkan).
Salatiga:
Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.
Berk, L. E. (2012). Development through lifespan jilid 2 (Edisi
Kelima).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brooks, J. (2009). The process of parenting (8th Ed). New York:
McGraw-
Hill International Edition.
Clelland, W., & Chaytors, G. (1981). The role of family
physicians in
„empty-nest‟ transitions. Canadian Family Physician, 27,
1827-1830.
DeGenova, M. K., & Rice, F. P. (2005). Intimate
relationships, marriages,
and families (6th Ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
De Jong Gierveld, J. (1998). A review of loneliness: concept and
definitions,
determinants and consequences. Clinical Gerontology, 8,
73-80.
De Jong Gierveld, J., Van Tilburg, T., & Dykstra, P. A.
(2006). Loneliness
and social isolation. In A. Vangelisti & D. Perlman (Eds.),
Cambridge
handbook of personal relationships (pp. 485-500). Cambridge:
Cambridge University Press.
Hawkley, L. (2007). Loneliness. In R. F. Baumeister & K. D.
Vohs (Eds.),
Encyclopedia of social psychology (pp. 532-534). Newbury Park,
CA:
Sage.
Herdiansyah, H. (2012). Metodologi penelitian kualitatif untuk
ilmu-ilmu
sosial. Jakarta: Salemba Humanika.
Hoyer, W. J & Roodin, P. A. (2003). Adult development and
aging (5th ed).
New York: McGraw-Hill.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Jakarta:
Erlangga.
Kotwal, N., & Prabhakar, B. (2009). Problem faced by single
mother.
Journal of Social Science, 21(3), 197-204.
Lai, Hui-Ling. (2002). Transition to the empty-nest: a
phenomenological
study. Diakses dari
http://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/
content/91-3/11.pdf tanggal 2 Januari 2012.
Lasswell, M. & Lasswell, T. (1987). Marriages and family.
Belmont:
Wadsworth Publishing Company.
Liu, Li-Juan, & Guo, Q. (2008). Life satisfaction in a
sample of empty-nest
elderly: a survey in the rural area of mountainous county in
China.
Quality Life Research, 17, 823-830.
Matlin, M. W. (2008). The psychology of women (6th Ed).
Belmont:
Thomson Higher Education.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif.
Bandung: Rosda.
http://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/%20content/91-3/11.pdfhttp://www.tzuchi.com.tw/file/DivIntro/nursing/%20content/91-3/11.pdf
-
42
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009).
Perkembangan
manusia jilid 2 (Edisi 10). Jakarta: Penerbit Salemba
Humanika.
Peplau, L. A. (1982). In search of intimacy: a report on
loneliness and what
to do about it. Journal of Psychosocial Nursing and Mental
Health
Services, 20(11), 38-39.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1979). Blueprint for a social
psychological
theory of loneliness. In M. Cook & G. Wilson (Eds.), Love
and
attraction (pp. 99-108). Oxford, England: Pergamon.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1981). Toward a social
psychology of
loneliness. In S. Duck & R. Gilmour (Eds.), Personal
relationships in
disorder (pp. 31-56). London: Academic Press.
Perlman, D., & Peplau, L. A. (1982). Perspectives on
loneliness. In L. A.
Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: a sourcebook of
current
theory, research, and therapy (pp. 1-18). New York: A Wiley
Interscience Publication.
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk
Penelitian Perilaku
Manusia. Jakarta: Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana
Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Rokach, A., Orzeck, T., & Neto, F. (2004). Coping with
loneliness in old
age: A cross cultural comparison. Current psychology:
Development,
Learning, Personality, Social, 23(2), 124-137.
Rokach, A., & Brook, H. (1998). Coping with Loneliness.
Journal of
Psychology, 132(1), 107-127.
Rubinstein, C., Shaver, P., & Peplau, L. A. (1979).
Loneliness. Human
Nature, 2, 58-65.
Sawitri, D. R. (2007). Menjalani hidup sepeninggal suami:
kenangan,
perjuangan, dan harapan. Diakses dari
http://eprints.undip.ac.id
/8588/1/MenjalaniHidupSepeninggalSuami.pdf pada tanggal 4
September 2011.
Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985).
Psikologi sosial jilid 1
(Edisi 5). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Setyowanti. (2009). Perbedaan tingkat kesepian pada pensiunan
ditinjau dari
jabatan sebelum pensiun (manager dan mon-manager). Skripsi
(tidak
diterbitkan). Salatiga: Fakultas Psikologi, Universitas Kristen
Satya
Wacana.
Shakya, D. R. (2009). Empty nest syndrome – an obstacle for
alcohol
abstinence. Journal of Nepal Health Research Council, 7(15),
135-
137.
Sinaga, H. J. (2007). Perbedaan kesepian pada wanita yang
berperan sebagai
orangtua tunggal karena bercerai dan meninggal pasangan.
Skripsi
(tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi, Universitas
Sumatera
Utara.
Spence, D., & Lonner, T. (1971). T