-
PENGAJUAN KEBERATAN ATAS KETETAPAN PBB:PERSEPSI WAJIB PAJAK
MENGENAI TERJADINYAPERBEDAAN ANTARA KETETAPAN PBB DENGAN
KONDISI RIIL OBJEK PAJAK(STUDI KASUS PADA KP PBB MALANG)
SKRIPSI
Disusun oleh:
JOKO SUBIYANTO0510212015
Diajukan Sebagai Salah satu SyaratUntuk Meraih Derajat Sarjana
Ekonomi
JURUSAN IESP-PERPAJAKANFAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG
2007
-
iKATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT.
karenaatas rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
Skripsi yangberjudul :
Pengajuan Keberatan atas Ketetapan Pajak Bumi danBangunan:
Persepsi Wajib Pajak Mengenai Terjadinya Perbedaanantara Ketetapan
PBB dengan Kondisi Riil Objek Pajak.
Penyusunan Skripsi ini ditujukan untuk melengkapi
persyaratandalam mencapai derajat Sarjana Ekonomi pada jurusan IESP
FakultasEkonomi Universitas Brawijaya Malang. Ide awal penulisan
Skripsi initimbul karena adanya pengajuan keberatan atas Ketetapan
Pajak Bumidan Bangunan. Pengajuan keberatan ini dapat disebabkan
oleh beberapahal antara lain: adanya perbedaan antara Ketetapan PBB
dengan kondisiriil dan adanya perbedaan penafsiran antara Wajib
Pajak dengan fiskus.
Dengan selesainya penyusunan Skripsi ini, penulis
menyampaikanrasa hormat dan ucapan terima kasih serta penghargaan
yang tinggikepada :1. Bapak Prof. Dr. Bambang Subroto, SE., MM.,
Ak. selaku Dekan
Fakultas Ekonomi2. Bapak Dr. Ghozali Maski, SE. MS. selaku Ketua
Jurusan IESP.3. Ibu Sri Muljaningsih, SE., M.Sp. selaku Sekretaris
Jurusan IESP.4. Ibu Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME. selaku dosen
pembimbing,
yang telah memberikan banyak arahan dalam penyelesaian
skripsiini.
5. Ibu Dra. Marlina Ekawaty, M.Si selaku dosen penguji I.6.
Bapak Agung Darono, SE., MM selaku dosen penguji II.7. Seluruh
karyawan dan karyawati jurusan IESP yang telah
memberikan bantuan dan kemudahan bagi penulis.8. Seluruh
karyawan dan karyawati KP PBB Malang khususnya seksi
keberatan dan pengurangan yang telah memberikan kemudahanserta
saran kepada penulis.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telahmembantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Penulis
menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat
diharapkandemi kesempurnaan Skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap
semoga karyaini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.
Amin.....
Malang, Januari 2008
Penulis
-
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...................................................................................
iDAFTAR ISI
................................................................................................
iiDAFTAR TABEL
.........................................................................................
ivDAFTAR GAMBAR
.....................................................................................
vABSTRAKSI
................................................................................................
vi
BAB I : PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
.....................................................................
1 1.2. Rumusan Masalah
............................................................... 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
............................................. 4
1.3.1. Tujuan Penelitian
........................................................ 41.3.2.
Manfaat Penelitian
...................................................... 4
BAB II : KAJIAN PUSTAKA2.1. Tinjauan Umum
...................................................................
5
2.1.1. Definisi Pajak
............................................................. 5
2.1.2. Asas Pemungutan
...................................................... 6 2.1.3.
Sistem Pemungutan Pajak .........................................
6
2.1.4. Pembagian Pajak
....................................................... 72.1.5.
Fungsi Pajak
..............................................................
92.1.6. Cara Pemungutan Pajak
............................................ 9
2.1.7. Teori Pembenaran Pemungutan Pajak ......................
102.1.8. Pembagian Hukum Pajak
........................................... 12
2.2. Pajak Bumi dan Bangunan
.................................................. 132.2.1.
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ....................... 132.2.2.
Latar Belakang Pajak Bumi dan Bangunan ................ 142.2.3.
Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan .................. 15
2.2.4. Terminologi Pajak Bumi dan Bangunan .....................
16 2.3. Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
..................... 17
2.3.1. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
............................. 172.3.2. Objek Pajak Bumi dan
Bangunan .............................. 182.3.3. Pengecualian Objek
Pajak Bumi dan Bangunan......... 19
2.4. Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung PBB
..................... 202.4.1. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan ........... 202.4.2. Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan ...... 202.4.3. Tarif dan Cara Penghitungan PBB
............................ 21
2.4.3.1. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ..................
212.4.3.2. Cara Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan ..................................................
212.5. Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan
................................. 22
BAB III : METODE PENELITIAN3.1. Lokasi Penelitian
.................................................................
283.2. Jenis Penelitian
...................................................................
283.3. Sumber Data
.......................................................................
283.4. Metode Pengumpulan Data
................................................. 29
-
iii
3.5. Variabel Penelitian
...............................................................
303.6. Skala pengukuran
................................................................
313.7. Teknik Analisis Data
............................................................ 31
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Gambaran Umum Instansi
................................................... 34
4.1.1. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Bumi danBangunan
(KP PBB) Malang .................................... 34
4.2. Struktur Organisasi dan Uraian Jabatan
.............................. 384.2.1. Struktur Organisasi
.................................................... 384.2.2.
Uraian Jabatan
.......................................................... 41
4.3. Karakteristik Responden
...................................................... 454.4.
Pengujian Hipotesis Dengan Uji Chi Square ........................
504.5. Pembahasan
.......................................................................
55
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan
..........................................................................
595.2. Saran
...................................................................................
59
DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
-
vi
ABSTRAKSI
Subiyanto, Joko. 2007. Pengajuan Keberatan atas Ketetapan Pajak
Bumidan Bangunan: Persepsi Wajib Pajak Mengenai TerjadinyaPerbedaan
antara Ketetapan PBB dengan Kondisi Riil Objek Pajak.Skripsi.
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FakultasEkonomi,
Universitas Brawijaya. Tyas Danarti Hascaryani, SE., ME.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi
Wajib
Pajak mengenai terjadinya perbedaan antara Ketetapan Pajak Bumi
dan
Bangunan (PBB) dengan kondisi riil Objek Pajak. Selain itu,
tujuan lain yang ingin
dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang
menyebabkan
terjadinya perbedaan Ketetapan PBB dengan kondisi riil Objek
Pajak. Untuk
mengetahui proporsi jawaban ya dan tidak, digunakan metode
statistik Chi
Square yang bertujuan untuk menguji perbedaan proporsi jawaban
ya dan
tidak.
Dari hasil penelitian, diperoleh fakta bahwa ada beberapa hal
yang
mendasari Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan atas ketetapan
PBB, antara
lain pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP, kesalahan pengukuran
luas tanah,
kesalahan prosedur pengukuran tanah, dan pengetahuan Wajib Pajak
tentang
klas klasifikasi.
Kata Kunci: Pajak Bumi dan Bangunan, Wajib Pajak, pengajuan
keberatan,pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP, kesalahan
pengukuran
luas tanah, kesalahan prosedur pengukuran tanah, dan
pengetahuan Wajib Pajak tentang klas klasifikasi.
-
1BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi
negara.
Pajak yang menurut sifatnya lebih bersifat paksaan merupakan
pembayaran
yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah, akan tetapi
jumlah yang
dibayarkan oleh masyarakat tersebut tidak dapat dirasakan
langsung manfaatnya
oleh masyarakat. Hasil pajak hanya dapat dirasakan melalui
dibangunnya
sarana-sarana umum yang disediakan oleh pemerintah dari hasil
pajak yang
sudah dibayar, seperti gedung sekolah, fasilitas rumah sakit,
jalan raya, lapangan
udara, terminal, dan sebagainya. Oleh karena itu bagi mereka
yang memperoleh
manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
wajar jika
menyerahkan sebagian dari kenikmatan yang diperolehnya kepada
negara
melalui pembayaran pajak.
Di Indonesia, terdapat beberapa jenis pajak yang berlaku, salah
satunya
adalah Pajak Bumi dan Bangunan. Pajak Bumi dan Bangunan adalah
pajak yang
dikenakan terhadap bumi (tanah) dan atau bangunan yang terdapat
di wilayah
Republik Indonesia. Penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan
sangat penting
bagi Pemerintah Daerah, selain dari sumber-sumber penerimaan
yang lain. Hal
ini disebabkan oleh besarnya jumlah pembagian hasil penerimaan
Pajak Bumi
dan Bangunan, yaitu sebesar 90% untuk Pemerintah Daerah dan 10%
untuk
Pemerintah Pusat. Hal ini seperti yang tercantum dalam Peraturan
Pemerintah
nomor 16 tahun 2000 tentang pembagian hasil penerimaan PBB
antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Oleh sebab itu Pajak
Bumi dan
Bangunan sangat penting untuk membantu penerimaan daerah karena
besarnya
jumlah pembagian hasil penerimaan PBB.
-
2Sebagai Warga Negara, setiap orang mempunyai hak dan
kewajiban
tidak terkecuali Wajib Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan. Wajib
Pajak
berkewajiban membayar pajak sesuai dengan tarif yang telah
ditentukan
berdasarkan luas objek bumi (tanah) dan atau bangunan, Nilai
Jual Objek Pajak
(NJOP) bumi dan atau bangunan yang tercantum dalam Surat
Pemberitahuan
Pajak Terutang (SPPT) dan atau Surat Ketetapan Pajak (SKP). Pada
saat
menerima SPPT terkadang Wajib Pajak keberatan dengan apa yang
tercantum
dalam SPPT karena tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
yang pada
akhirnya Wajib Pajak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan
keberatan
kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini Kantor Pelayanan
Pajak Bumi
dan Bangunan. Keberatan ini dapat terjadi dikarenakan beberapa
hal, antara
lain:
1. Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang yang
tercantum
dalam SPPT tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Hal
ini
terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti:
Kesalahan pada luas objek Pajak Bumi dan Bangunan.
Kesalahan klasifikasi objek Pajak Bumi dan Bangunan.
Kesalahan pada nama dan atau alamat Wajib Pajak.
2. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan
perundang-
undangan tentang pajak antara Wajib Pajak dengan aparat
pajak
(fiskus), misalnya:
Penetapan subjek pajak sebagai Wajib Pajak.
Objek pajak yang seharusnya tidak dikenakan PBB.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, dalam jangka waktu 3 bulan
sejak
diterimanya surat pemberitahuan atau ketetapan, Wajib Pajak
diberi hak untuk
mengajukan keberatan kepada Dirjen Pajak dalam hal ini ditujukan
kepada
-
3Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dimana objek
berada.
Apabila ternyata batas waktu 3 bulan tersebut tidak dapat
dipenuhi oleh Wajib
Pajak karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) maka
tenggang
waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang
oleh Dirjen
Pajak.
Berikut ini adalah data pengajuan permohonan keberatan Pajak
Bumi dan
Bangunan (PBB) di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan
Malang selama 5 tahun terakhir, yaitu dari tahun 2002 sampai
tahun 2006:
193
857
457392
897
0100200300400500600700800900
1000
2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Jum
lah
pengajuan keberatan
Sumber: KP PBB Malang
Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah pengajuan keberatan
Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) sempat mengalami penurunan pada tahun
2004 dan
tahun 2005, akan tetapi pada tahun 2006 jumlah pengajuan
keberatan PBB
mengalami peningkatan yang besar. Berdasarkan data-data diatas,
yang
menunjukkkan bahwa masih banyaknya Wajib Pajak yang
mengajukan
keberatan, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengambil
topik tentang
Pengajuan Keberatan atas Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan:
Persepsi Wajib
-
4Pajak Mengenai Terjadinya Perbedaan antara Ketetapan PBB dengan
Kondisi
Riil Objek Pajak.
1.2 Rumusan masalah
Bagaimanakah persepsi masyarakat (Wajib Pajak) tentang
terjadinya
perbedaan antara Ketetapan PBB dengan kondisi riil Objek
Pajak?
1.3 Tujuan penelitian dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat (Wajib Pajak)
tentang
terjadinya perbedaan antara Ketetapan PBB dengan kondisi riil
Objek Pajak.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menerapkan ilmu yang selama ini diperoleh di bangku kuliah
dan
untuk mempraktekkannya sesuai dengan kondisi yang ada di
lapangan.
2. Bagi Instansi
Memberikan masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak
yang
berwenang dalam menentukan kebijakan khususnya tentang keberatan
guna
mendukung meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan.
3. Bagi Fakultas
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan bacaan untuk
menambah
pengetahuan tentang Pajak Bumi dan Bangunan sekaligus
sebagai
pembanding bagi peneliti serupa di masa yang akan datang dalam
rangka
pengembangan ilmu perpajakan.
-
5BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum
2.1.1 Definisi Pajak
Beberapa ahli memberikan pengertian yang sedikit beragam
tentang
definisi pajak, diantaranya adalah sebagai berikut :
Soemitro (1990), menjelaskan bahwa:
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
Undang-Undang(yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal balik(kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untukpengeluaran umum
Selanjutnya, Djajadiningrat (Munawir,1995) memberikan definisi
tentang
pajak:
suatu kewajiban menyerahkan sebagian daripada kekayaan ke kas
negaradisebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikankedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan yangditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi
tidak ada jasa timbalbalik dari negara secara langsung, untuk
memelihara kesejahteraan umum
Dari pengertian-pengertian diatas, dapat di simpulkan sebagai
berikut:
Pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan kepada masyarakat
dengan tidakmendapatkan timbal balik secara langsung dan bertujuan
untuk membiayaipembangunan.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang
melekat
pada pengertian pajak adalah :
1. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang serta aturan
pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi
secara langsung oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun
pemerintah
daerah.
-
64. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah,
yang bila
dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk
membiayai
public investment.
5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang bukan budgetair, yaitu
mengatur.
2.1.2 Asas Pemungutan
Terdapat tiga asas pemungutan pajak di negara kita. Menurut
Mardiasmo
(2002), asas pemungutan pajak tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Asas Domisili (asas tempat tinggal)
Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib
Pajak
yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang
berasal dari
dalam maupun luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak
dalam negeri (
pasal 4 Undang-Undang pajak penghasilan ).
b. Asas sumber
Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan
yang
bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib
Pajak.
c. Asas kebangsaan
Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara,
misalnya
pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan pada setiap orang yang
bukan
berkebangsaan Indonesia yang bertempat tinggal di Indonesia.
Asas ini
berlaku untuk Wajib Pajak Luar Negeri.
2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Seperti dikatakan Waluyo dan Ilyas (1999), sistem pemungutan
pajak
dapat dibagi menjadi berikut:
a. Self Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang,
kepercayaan, tanggung jawab, kepada Wajib Pajak untuk
menghitung,
-
7memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang
harus dibayar. Sistem ini memiliki ciri-ciri : (i) Wajib Pajak
mempunyai
wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang; (ii) Wajib
Pajak
bersifat aktif, mulai dari menghitung, memperhitungkan,
membayar, dan
melaporkan sendiri pajak terutang.
b. Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah ( fiskus ) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh
Wajib Pajak. Dalam sistem Official Assesment System,
karakteristik yang
dimiliki adalah : (i) Fiskus mempunyai wewenang untuk
menentukan
besarnya pajak terutang; (ii) Wajib Pajak bersifat aktif; (iii)
Utang pajak timbul
setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh fiskus.
c. With Holding System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada
pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang
terutang
oleh Wajib Pajak.
2.1.4 Pembagian Pajak
Pembagian pajak menurut Tjahjono dan Husein (2000) dapat
digolongkan
menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya. Lebih rincinya
adalah
sebagai berikut:
a. Menurut golongan
Pajak langsung adalah pajak yang bebannya harus dipikul sendiri
oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan, tidak boleh dilimpahkan kepada
orang
lain. Dalam pengertian administratif, pajak langsung adalah
pajak yang
dipungut secara berkala.
Contoh: Pajak Penghasilan
-
8 Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat
dilimpahkan
kepada pihak lain ketiga atau konsumen. Dalam pengertian
administratif,
pajak tidak langsung adalah pajak yang dipungut setiap terjadi
peristiwa
atau perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misalnya
terjadi
penyerahan barang, pembuatan akte.
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, bea materai, bea balik
nama.
b. Menurut sifatnya
Pajak Subjektif adalah pajak yang pertama-tama memperhatikan
keadaan
pribadi Wajib Pajak. Dalam menetapkan pajaknya harus
ditemukan
alasan-alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan
keadaan
materialnya, yaitu yang disebut gaya pikul. Menurut Sinninghe
Damste,
gaya pikul adalah suatu akibat dari beberapa komponen,
terutama
pendapatan, kekayaan, susunan keluarga dari Wajib Pajak,
dengan
mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya (dalam
Achmad
dan M. Fakhri, 2000)
Pajak Objektif adalah pajak yang pertama-tama melihat kepada
objeknya
baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan
atau
peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar,
kemudian
barulah dicari subjeknya (orang atau badan hukum) yang
bersangkutan
langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah subjek pajak ini
berkediaman di Indonesia ataupun tidak.
c. Menurut lembaga pemungut
Pajak Negara (Pajak Pusat) adalah pajak yang dipungut oleh
pemerintah
pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Departemen
Keuangan dan hasilnya akan digunakan untuk pembiayaan rumah
tangga
negara pada umumnya.
-
9 Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
seperti
Propinsi, Kabupaten maupun kotamadya berdasarkan peraturan
daerah
masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah
tangga
daerah masing-masing dan digunakan untuk membiayai rumah
tangga
daerah masing-masing.
2.1.5 Fungsi Pajak
Seperti telah diketahui ada karakter khusus yang ada pada
pengertian
pajak, Mardiasmo (2002) mengatakan terdapat dua fungsi pajak,
yaitu:
a. Fungsi penerimaan ( budgetair )
Pajak berfungsi sebagai sumber dana bagi pemerintah yang
diperuntukkan
membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
b. Fungsi mengatur ( reguler )
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi, misalnya
pajak
yang tinggi pada barang mewah.
2.1.6 Cara Pemungutan Pajak
Tjahjono dan Husein (2000) mengatakan bahwa cara pemungutan
pajak
dilakukan berdasarkan tiga stelsel, yaitu:
1. Stelsel nyata (riil stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata,
sehingga
pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni
setelah
penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui.
2. Stelsel anggapan (fictive stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh
Undang-
Undang. Misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan
tahun
-
10
sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat
ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.
3. Stelsel campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dan stelsel
anggapan.
Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan
kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan
keadaan
yang sebenarnya.
2.1.7 Teori Pembenaran Pemungutan Pajak
Menurut Suandy (2002), beberapa teori yang memberikan dasar
pembenaran (justification) untuk menjawab berbagai perdebatan
yang ada di
kalangan para sarjana dan pemikir masalah pemungutan pajak
mengenai
apakah negara dibenarkan memungut pajak dari rakyat? Teori
tersebut adalah :
1. Teori Asuransi
Negara dalam melaksanakan tugasnya, mencakup pula tugas
melindungi
jiwa raga dan harta benda perseorangan. Oleh sebab itu, negara
disamakan
dengan perusahaan asuransi, untuk mendapatkan perlindungan
warga
negara membayar pajak sebagai premi. Teori ini sudah lama
ditinggalkan,
sebab selain perbandingan ini tidak cocok dengan kenyataan,
yakni jika
orang misalnya meninggal, kecelakaan atau kehilangan, negara
tidak akan
mengganti kerugian seperti halnya dalam asuransi. Di samping
itu, tidak ada
hubungan lansung antara pembayaran pajak dengan nilai
perlindungannya
terhadap pembayar pajak.
2. Teori Kepentingan
Menurut teori ini, pembayaran pajak mempunyai hubungan
dengan
kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara. Makin
banyak
individu mengenyam atau menikmati jasa dari pekerjaan
pemerintah, makin
-
11
besar juga pajaknya. Meskipun teori ini masih berlaku pada
retribusi sukar
pula dipertahankan, sebab seorang miskin dan penganggur yang
memperoleh bantuan dari pemerintah menikmati banyak sekali jasa
dari
pekerjaan negara, tetapi mereka justru tidak membayar pajak.
3. Teori Daya Pikul / Teori Gaya Pikul
Teori ini mengemukakan bahwa pemungutan pajak harus sesuai
dengan
kekuatan membayar dari si Wajib Pajak (individu-individu). Jadi,
tekanan
semua pajak harus sesuai dengan daya pikul si Wajib Pajak
dengan
memperhatikan pada besarnya penghasilan dan kekayaan, juga
pengeluaran
belanja si Wajib Pajak tersebut. Kelemahan dari teori ini adalah
sulitnya
menentukan secara tepat daya pikul seseorang, karena akan
berbeda-beda
dan selalu berubah. Teori ini diterapkan dalam Pajak
Penghasilan, di mana
Wajib Pajak baru dikenakan Pajak Penghasilan jika memperoleh
penghasilan
melebihi dari Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
4. Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti
Teori ini didasari paham organisasi negara (Organische
Staatsleer) yang
mengajarkan bahwa negara sebagai organisasi mempunyai tugas
untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Negara harus mengambil
tindakan
atau keputusan yang diperlukan termasuk keputusan di bidang
pajak.
Dengan sifat seperti ini, maka negara mempunyai hak mutlak
untuk
memungut pajak dan rakyat harus membayar pajak sebagai tanda
baktinya.
Menurut teori ini, dasar hukum pajak terletak pada hubungan
antara rakyat
dengan negara, dimana negara berhak memungut pajak dan
rakyat
berkewajiban membayar pajak. Kelemahan teori ini adalah negara
bisa
menjadi otoriter sehingga mengabaikan aspek keadilan dalam
pemungutan
pajak.
-
12
5. Teori Daya Beli
Teori ini adalah teori modern, teori ini tidak mempersoalkan
asal mula negara
memungut pajak melainkan banyak melihat kepada efeknya dan
memandang efek yang baik itu sebagai dasar keadilannya. Menurut
teori ini
maka fungsi pemungutan pajak jika dipandang sebagai gejala dalam
dalam
masyarakat, yaitu mengambil daya beli dari rumah tangga
masyarakat untuk
rumah tangga negara dan kemudian memelihara hidup masyarakat
dan
membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan, bahwa
menyelenggarakan kepentingan masyarakat inilah yang dapat
dianggap
sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan
individu , pun
bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang
meliputi
keduanya itu. Teori ini menitik beratkan ajarannya kepada fungsi
dari
pemungutan pajak, yakni fungsi mengatur.
2.1.8 Pembagian Hukum Pajak
Hukum Pajak adalah kumpulan peraturan-peraturan yang
mengatur
hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan
masyarakat
sebagai Wajib Pajak yang antara lain mengatur siapa-siapa yang
sebenarnya
sebagai subjek atau Wajib Pajak, apa yang sebenarnya menjadi
objek pajak,
timbulnya kewajiban pajak, cara menghitung pajak terutang,
sistem atau tata
cara penagihan, pembayaran, pelaporan, dan sebagainya (Munawir,
2003).
Dalam hukum pajak terdapat ketentuan-ketentuan material (hukum
pajak
material) dan ketentuan-ketentuan formal (hukum pajak
formal).
1. Hukum pajak material
adalah hukum yang memuat norma-norma yang menerangkan
keadaan-
keadaan dan perbuatan-perbuatan atau peristiwa hukum yang
harus
dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, cara
penghitungan
-
13
penghasilan dan pajak terutang, atau segala sesuatu tentang
timbulnya utang
pajak, besarnya utang pajak dan hapusnya utang pajak, dan
hubungan
hukum antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan
masyarakat
sebagai Wajib Pajak.
2. Hukum pajak formal
disebut sebagai hukum pajak formal kalau hukum tersebut
memuat
ketentuan-ketentuan tentang bentuk atau cara-cara untuk
menjelmakan
hukum pajak material menjadi suatu kenyataan atau berisi tentang
cara untuk
melaksanakan hukum pajak material. Dengan demikian hukum pajak
formal
memuat antara lain : (i) Tata cara atau prosedur penagihan dan
pembayaran
pajak; (ii) Wewenang atau hak fiskus untuk mengadakan
pengawasan
kepada para Wajib Pajak yang berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan,
keadaan-keadaan dan peristiwa-peristiwa yang menimbulkan utang
pajak,
wewenang untuk melakukan penagihan pajak; (iii) Saat dan
tempat
pembayaran pajak; (iv) Kewajiban pembukuan, pelaporan dan
pemberian
keterangan; (v) Hak Wajib Pajak untuk menunda penyampaian
SPT,
membetulkan SPT yang telah disampaikan, hak mengajukan
keberatan,
mengajukan banding ke badan peradilan pajak yang lebih
tinggi.
2.2 Pajak Bumi dan Bangunan
2.2.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Menurut Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan
Bangunan (PBB) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.
12
tahun 1994 yang dimaksud dengan Pajak Bumi dan Bangunan adalah
pajak
yang dikenakan atas bumi (tanah) dan atau bangunan yang terdapat
di wilayah
Indonesia.
-
14
2.2.2 Latar Belakang Pajak Bumi dan Bangunan
Beberapa landasan pemikiran yang melatarbelakangi lahirnya
Undang-
undang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:
1. Adanya peraturan pajak atas tanah yang tumpang tindih.
Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan disusun
sebagai
pengganti dari 7 ordonansi /Undang-undang yang pelaksanaannya
dulu
tumpang tindih (berganda). Tujuh ordonansi/Undang-undang itu
adalah
sebagai berikut:
a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1906,
b. Ordonansi Verponding Indonesia 1923.
c. Ordonansi Verponding 1928.
d. Ordonansi Pajak Kekayaan 1932.
e. Ordonansi Pajak Jalan 1942.
f. Undang-undang Darurat No. 11 tahun 1957 tentang Peraturan
Umum
Pajak Daerah, pasal 14 huruf j, k dan l.
g. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 11 tahun
1959
tentang Pajak Hasil Bumi.
2. Amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam
GBHN telah
mengisyaratkan perlu adanya pembaruan sistem perpajakan guna
meningkatkan kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai
pembangunan yang dibiayai dari sumber-sumber dalam negeri.
Makin
meningkatnya penerimaan yang bersumber dari dalam negeri berarti
makin
meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan
pembangunan.
3. Manfaat Bumi dan Bangunan.
Bumi dan bangunan tidak dapat disangkal lagi telah memberikan
keuntungan
dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang
atau badan
yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat
daripadanya.
-
15
Oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan
sebagian
manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara.
Memperhatikan beberapa landasan pemikiran tersebut wajar
apabila
peraturan atau ordonansi yang tumpang tindih harus dicabut dan
diganti
dengan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan.
Disamping itu Pajak Bumi dan Bangunan mempunyai maksud dan
tujuan:
a. Pajak Bumi dan Bangunan dilaksanakan dengan harapan agar
Pendapatan Daerah akan lebih meningkat, sehingga dengan
meningkatnya Pendapatan Daerah akan lebih dapat mendorong
laju
Pembangunan Daerah.
b. Keberadaaan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut ingin
mewujudkan
adanya kesederhanaan, kemudahan dan kepastian hukum bagi
Wajib
Pajak. Hal ini diwujudkan dengan tarif tunggal. Selain itu
dengan Undang-
undang Pajak Bumi dan Bangunan yang baru, objek yang sama
tidak
dipungut pajak berkali-kali.
2.2.3 Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar hukum yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan
adalah
Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 tahun 1994
tentang
perubahan atas Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak
Bumi dan
Bangunan. Dalam pelaksanaannya, PBB juga diatur dengan
Peraturan
Pemerintah serta Keputusan Menteri Keuangan. Dasar hukum Pajak
Bumi dan
Bangunan diuraikan secara lengkap oleh Tjahjono dan Husein
sebagai berikut:
1. Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 12 tahun
1994.
-
16
2. Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 1985 tentang Persentase
Nilai Jual
Kena Pajak untuk Pajak Bumi dan Bangunan.
3. Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1985 tentang tata
cara
pendaftaran objek PBB.
4. Keputusan Menteri Keuangan No. 1006/KMK.04/1985 tentang tata
cara
penagihan PBB dan penunjukan Pejabat yang berwenang
mengeluarkan
surat paksa.
5. Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK.04/1985 tentang
pelimpahan wewenang penagihan Pajak Bumi dan Bangunan kepada
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan/atau Bupati/Walikota
Madya
Kepala Daerah Tingkat II.
6. Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK.04/1998 tentang
Penentuan
Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai
Dasar
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
7. Keputuan Menteri Keuangan No. 201/KMK.04/2000 tentang
Penyesuaian
Besarnya NJOPTKP sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan.
2.2.4 Terminologi Pajak Bumi dan Bangunan
Untuk memahami hal-hal yang berkaitan dengan Pajak Bumi dan
Bangunan perlu diketahui pengertian dasar tentang Pajak Bumi dan
Bangunan.
Untuk itu Tjahjono dan Husein menguraikan beberapa
istilah-istilah dalam
pembahasan Pajak Bumi dan Bangunan tersebut, antara lain:
Bumi
Yang dimaksud dengan Bumi dalam Undang-undang No.12 tahun
1994
tentang Pajak Bumi dan Bangunan adalah permukaan bumi dan
tubuh
bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan
-
17
perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa tambak pengairan) serta
laut
wilayah Republik Indonesia.
Bangunan
Yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam
atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk
tempat
tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Yang dimaksud dengan Nilai Jual Objek Pajak adalah harga
rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, dan
bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek
Pajak
ditentukan melalui perbandingan harga dengan dengan objek lain
yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak
Pengganti.
Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
Yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah
surat
yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek
pajak
menurut ketentuan Undang-undang.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
Yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
adalah
surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk
memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak.
2.3 Subjek dan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
2.3.1 Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi subjek PBB adalah orang pribadi atau badan yang
secara
nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat
atas
bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat
atas
-
18
bangunan, yang meliputi antara lain pemilik, penghuni,
pengontrak, penggarap,
pemakai dan penyewa.
Jika suatu objek pajak belum diketahui secara pasti siapa
Wajib
Pajaknya, maka yang menjadi subjek pajak dapat ditunjuk oleh
Dirjen Pajak.
Beberapa ketentuan khusus tentang siapa saja yang menjadi subjek
dalam hal
ini adalah:
1. Jika suatu subjek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi
dan/atau
bangunan milik orang lain bukan karena sesuatu hak
berdasarkan
Undang-undang atau bukan karena perjanjian, maka subjek pajak
yang
memanfaatkan/menggunakan bumi dan/atau bangunan ditetapkan
sebagai Wajib Pajak.
2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di
pengadilan,
maka orang atau badan yang memanfaatkan/menggunakan objek
pajak
tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah
letak objek
pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan
kepada
orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa
dapat
ditunjuk sebagai Wajib Pajak.
2.3.2 Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah Bumi
dan/atau
Bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada
di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman
(termasuk
rawa-rawa tambak pengairan) serta laut wilayah Republik
Indonesia. Bangunan
adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah
dan/atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat
yang
diusahakan.
-
19
Termasuk dalam pengertian bangunan di sini adalah:
Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan,
seperti
hotel, pabrik dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan
satu
kesatuan dengan komplek bangunan tersebut;
Jalan tol;
Kolam renang;
Pagar mewah;
Tempat olah raga;
Galangan kapal, dermaga;
Tempat penampungan atau kilang minyak, air dan gas, pipa
minyak;
Fasilitas lain yang memberi manfaat.
2.3.3 Pengecualian Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah
objek pajak yang:
1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional,
yang
tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan.
Yang dimaksud tidak mencari keuntungan di sini adalah bahwa
objek
pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan
nyata-nyata
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Untuk mengetahuinya
dapat
dilihat pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari
yayasan
atau badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial,
kesehatan,
pendidikan, dan kebudayaan nasional tersebut.
2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang
sejenis
dengan itu.
-
20
3. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman
nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan
tanah
negara yang belum dibebani suatu hak.
4. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat, berdasarkan
asas
perlakuan timbal balik.
5. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional
yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan.
2.4 Dasar Pengenaan dan Cara Menghitung Pajak Bumi dan
Bangunan
2.4.1 Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah Nilai Jual
Objek
Pajak (NJOP). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga
rata-rata yang
diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar,
dan bilamana tidak
terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui
perbandingan harga dengan
objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai
Jual Objek Pajak
Pengganti.
2.4.2 Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual
Kena
Pajak (NJKP). Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu
persentase tertentu dari
nilai jual sebenarnya. Untuk tidak terlalu membebani Wajib Pajak
dan tetap
memperhatikan penerimaan negara, maka telah ditetapkan besarnya
persentase
untuk menentukan besarnya NJKP yaitu serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-
tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
Persentase Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) berdasarkan PP No. 25
tahun
2002 adalah sebagai berikut:
-
21
1. Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar
40% dari
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. Objek pajak lainnya:
a. Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOPnya
Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) atau lebih.
b. Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila NJOPnya
kurang
dari Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
2.4.3 Tarif dan Cara Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
2.4.3.1 Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar 0,5%, yang
merupakan
tarif tunggal.
2.4.3.2 Cara Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Secara lebih ringkas besarnya Pajak Bumi dan Bangunan,
menurut
Undang-undang Pajak No.12 tahun 1994 dapat pula dihitung dengan
menjumlah
seluruh nilai objek pajak yang dimiliki Wajib Pajak kemudian
dikurangi dengan
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Hasil
pengurangan
tersebut dikalikan dengan persentase Nilai Jual Kena Pajak,
sehingga diperoleh
Nilai Jual Kena Pajak. PBB merupakan perkalian antara NJKP
dengan
persentase tarif Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan demikian
besarnya PBB
terutang adalah:
PBB terutang = Tarif Pajak x NJKP
= 0,5% x 20% (NJOP-NJOPTKP)
atau
0,5% x 40% (NJOP-NJOPTKP)
-
22
2. 5. Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan
Atas suatu surat pemberitahuan pajak terutang/SPPT dan surat
ketetapan
pajak/SKP, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada
Direktur Jenderal
Pajak dalam hal ini ditujukan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak Bumi dan
Bangunan dimana objek berada. Keberatan diajukan karena beberapa
hal,
antara lain:
1. Keberatan dalam hal Wajib Pajak merasa SPPT atau SKP tidak
sesuai
dengan kondisi sebenarnya yaitu kesalahan luas bumi dan atau
bangunan, kesalahan penetapan atau pengenaan PBB.
2. Keberatan dalam hal terdapat perbedaan penafsiran
Undang-undang
antara Wajib Pajak dan fiskus, yakni:
a. Penetapan sebagai Wajib Pajak.
b. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB.
Syarat-syarat pengajuan keberatan:
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
2. Menyatakan alasan secara jelas.
3. Harus diajukan paling lambat 3 bulan sejak diterimanya SKP
atau SPPT,
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu
itu
tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya (force
majeur),
maka tenggang waktu tersebut masih dapat dipertimbangkan
untuk
diperpanjang.
4. Harus disertai bukti-bukti yang jelas dan mendukung.
5. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan
pelaksanaan pajak terutang.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 bulan
sejak
tanggal surat keberatan diterima, harus memberikan keputusan
atas keberatan
yang diajukan. Jika jangka waktu telah lewat dan Direktur
Jenderal Pajak belum
-
23
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
memberikan keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut
dianggap
diterima. Secara singkat, penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak
Terutang
(SPPT) dan penyelesaian keberatan atas Ketetapan Pajak Bumi dan
Bangunan
dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.1. bagan alur penerbitan SPPT sesuai dengan
KeputusanDirektur Jenderal Pajak No. 533/PJ/2000
Wajib Pajak
PelayananSatu
Tempat(PST)
SeksiPendataan
danPenilaian
SeksiPengolahan
Data danInformasi
SeksiPenetapan
KepalaKantor
SPOP
Tandabukti
SPPT
ProsesPendataan dan
Penilaian
BerkasSPOP
PerbaikanBasis Data
BerkasSPOP
Cap/stempelpada SPPT
Berita AcaraPenerbitan
Arsip
Berita AcaraPenerbitan
PemeriksaanBerkas
A
A
MencetakSPPT
SPPT
Berita AcaraPenerbitan
SPPT
B
B
C
C
TandaTangan
arsip
SPPT
-
24
Keterangan:
1. Wajib Pajak (WP) mengisi SPOP dan mengirimkan ke Pelayanan
Satu
Tempat (PST)
2. PST memberikan tanda bukti penerimaan kepada WP dan
mengirimkan
berkas kepada Seksi Pendataan dan Penilaian untuk diperiksa
3. Seksi Pendataan dan Penilaian meneliti dan memproses sesuai
dengan
ketentuan yang berlaku dan meneruskan ke Seksi Pengolahan Data
dan
Informasi
4. Seksi Pengolahan Data dan Informasi melakukan perbaikan basis
data yang
lama
5. Seksi Pengolahan Data dan Informasi mencetak SPPT
sekaligus
menyimpan berkas SPOP untuk dijadikan arsip
6. SPPT yang telah dicetak diberi cap/stempel tanda tangan
Kepala Kantor oleh
Seksi Penetapan
7. Seksi Penetapan membuat Berita Acara Penerbitan SPPT
8. Kepala Kantor menandatangani Berita Acara Penerbitan SPPT
9. Berita Acara Penerbitan SPPT yang telah ditanda tangani oleh
Kepala Kantor
disimpan di Seksi Penetapan untuk dijadikan arsip
10. SPPT yang telah diberi cap/stempel tanda tangan Kepala
Kantor diserahkan
kepada Wajib Pajak
-
25
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
Gambar 2.2. bagan alur penyelesaian keberatan sesuai dengan
KeputusanDirektur Jenderal Pajak Nomor KEP-59/PJ/2000
Wajib PajakPelayanan
Satu Tempat(PST)
SeksiKeberatan
danPengurangan
SeksiPengolahan
Data danInformasi
KepalaKantor
Keterangan:
1. WP mengirimkan berkas kepada KP PBB melalui Pelayanan Satu
Tempat
(PST) paling lambat 3 bulan sejak diterimanya surat ketetapan,
kecuali
keadaan force major
PermohonanPengajuanKeberatan
Tanda buktipengajuan
Berita AcaraPemeriksaan
Pemeriksaansederhana
kantor/lapangan
PerbaikanBasis Data
PemeriksaanBerkas
2Surat 1Keputusan
MencetakSurat
Keputusan
A
SuratKeputusan
arsip
2Surat 1Keputusan
TandaTangan
A
-
26
2. PST memberikan tanda bukti penerimaan berkas kepada WP
3. PST meneruskan berkas ke Seksi Keberatan dan Pengurangan
4. Seksi Keberatan dan Pengurangan meneliti dan memproses
sesuai
ketentuan
5. Seksi Keberatan dan Pengurangan memberikan Berita Acara
Pemeriksaan
kepada Seksi Pengolahan Data dan Informasi untuk dilakukan
perbaikan
basis data
6. Setelah Seksi Pengolahan Data dan Informasi melakukan
perbaikan basis
data, Seksi Keberatan dan Pengurangan mencetak Surat
Keputusan
7. Seksi Keberatan dan Pengurangan mencetak Surat Keputusan yang
berupa
menerima atau menolak pengajuan keberatan
8. Surat Keputusan diajukan kepada Kepala Kantor untuk ditanda
tangani
9. Surat Keputusan Pengajuan Keberatan yang telah ditanda
tangani oleh
Kepala Kantor disimpan sebagai arsip di Seksi Keberatan dan
Pengurangan
10. Surat Keputusan Pengajuan Keberatan yang telah ditanda
tangani oleh
Kepala Kantor dikirimkan kepada WP paling lambat 12 bulan
sejak
diterimanya pengajuan keberatan
-
27
Gambar 2.3. Kerangka Pikir
Objek Pajakdan
Subjek Pajak
PerubahanData
SPPT
selesai
AlasanKeberatan?
Keputusan: Diterima
seluruhnya Diterima sebagian Ditolak Menambah pajak Tidak
dapat
diterima
PengajuanKeberatan
SPPT tidak sesuaidengan kondisisebenarnya.
perbedaanpenafsiranUndang-undang
Pendataan danPenilaian Rutin
Terbit SPPTbaru
Pendataan danPenilaianInsidentil
PengisianSPOP
-
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dan pengumpulan data untuk penulisan ini dilakukan di
Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KP PBB) Malang yang berlokasi
di jalan
Jaksa Agung Suprapto No. 29-31 Malang.
3.2 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
dilakukan untuk
mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih
(independen)
tanpa membuat perbandingan, atau menghubungkan antara variabel
satu
dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2003).
3.3 Sumber Data
Indriantoro (1999) mengatakan bahwa sumber data penelitian
merupakan
faktor penting yang menjadi pertimbangan dalam penentuan
metode
pengumpulan data. Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas
sumber data
primer dan sumber data sekunder.
1. Data Primer
Merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara langsung
dari
sumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer secara
khusus
dikumpulkan oleh peneliti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang
berkaitan dengan penelitian. Cara yang digunakan untuk
memperoleh data
primer ini adalah dalam bentuk kuisioner dan wawancara. Data
primer ini
diperoleh dari sumber yang berkaitan langsung dengan penelitian,
dalam hal ini
-
29
adalah pegawai KP PBB Malang terutama yang bertugas di seksi
keberatan.
Selain itu, data primer juga diperoleh dari Wajib Pajak yang
mengajukan
keberatan PBB.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh
peneliti
secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan
dicatat oleh pihak
lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan
historis yang
telah tersusun dalam arsip yang dipublikasikan maupun yang
tidak
dipublikasikan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah dalam
bentuk laporan
jumlah Wajib Pajak, laporan jumlah Wajib Pajak yang mengajukan
keberatan
PBB.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam memperoleh dan mengumpulkan data-data yang diperlukan
untuk
penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara,
antara lain:
1. Metode Dokumenter
Metode pengumpulan data dengan menggunakan dan mempelajari
catatan-
catatan instansi yang diteliti, antara lain laporan jumlah Wajib
Pajak kota
Malang, laporan jumlah Wajib Pajak yang mengajukan keberatan
PBB.
2. Metode Wawancara
Metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara
lisan
terhadap pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, dalam hal
ini adalah
pegawai KP PBB khususnya seksi keberatan.
3. Metode Angket atau Kuesioner
Metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara
tertulis
yang berkaitan dengan variabel yang diteliti dan disebarkan
kepada para
responden. Yang dimaksud dengan responden di sini adalah Wajib
Pajak
-
30
yang pernah mengajukan keberatan PBB. Cara pengambilan sampel
dalam
penelitian ini menggunakan metode Purposive Sample atau
sampel
bertujuan. Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil
subjek bukan
didasarkan atas strata, ramdom atau daerah tetapi didasarkan
atas adanya
tujuan tertentu (Arikunto, 2006). Besarnya sampel yang digunakan
dalam
penelitian ini adalah sebesar 90 responden. Dasar penghitungan
sampel
adalah dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Hasan,
2002):
21 ( )N
nN e
Keterangan :
n : jumlah sampel
N : jumlah populasi = 897
e : prosentase kelonggaran ketelitian karena kesalahan =
0,10
Sehingga aplikasi rumus di atas adalah :
2897
1 897(0,10)n = 90
3.5 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah alasan pengajuan keberatan
atas
PBB yang terdiri atas 7 attribut yaitu :
1. Mengetahui cara menghitung PBB
2. Mengetahui NJOP
3. Kesalahan pengukuran luas tanah
4. Mengetahui cara menghitung luas tanah
5. Kesalahan ukur akibat bentuk tanah
6. Kesalahan ukur akibat teknis (prosedur) ukur tanah
7. Mengetahui klas klasifikasi tanah
-
31
Dalam penelitian ini, kesalahan pengukuran luas bangunan tidak
dimasukkan ke
dalam attribut penelitian dikarenakan di wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KP PBB) Malang jumlah pengajuan keberatan
dengan
alasan kesalahan luas bangunan sangatlah sedikit.
3.6 Skala Pengukuran
Skala pengukuran merupakan kesepakatan yang digunakan
sebagai
acuan untuk menentukan panjang pendeknya interval yang ada dalam
alat ukur,
sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam pengukuran
akan
menghasilkan data kuantitatif (Sugiyono:2003). Dalam penelitian
ini, skala
pengukuran yang digunakan adalah skala Guttman dengan jawaban
ya-tidak.
3.7 Teknik Analisis Data
Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data
berdasarkan
variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan
variabel dari seluruh
responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti,
melakukan perhitungan
untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk
menguji
hipotesis yang telah diajukan (Sugiyono:2003). Analisis data
dalam penelitian ini
adalah menggunakan metode statistik yang bersifat deskriptif dan
inferensial.
a. Statistik deskriptif
Pada bagian ini analisis didasarkan hasil distribusi frekuensi
setiap jawaban
terhadap item-item pertanyaan yang ada dalam instrumen
penelitian.
b. Statistik inferensial
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana
persepsi
masyarakat (Wajib Pajak) tentang terjadinya perbedaan antara
Ketetapan
PBB dengan kondisi riil Objek Pajak. Alasan pengajuan keberatan
dibuktikan
-
32
berdasarkan proporsi jawaban ya dan tidak, sehingga akan
digunakan
metode statistik yang bertujuan untuk menguji perbedaan
proporsi.
Metode statistik yang bersifat inferensial dalam penelitian ini
menggunakan
uji proporsi satu sampel. Dalam instrumen penelitian variabel
penelitian
diukur dengan jawaban ya dengan nilai 1 dan tidak dengan nilai
0. Analisis
ini berhubungan dengan hipotesis statistik :
H0 : Pya = Ptidak atau proporsi jawaban ya tidak berbeda
dengan
jawaban tidak
H1 : Pya Ptidak atau proporsi jawaban ya berbeda dengan
jawabantidak
Pengujian terhadap hipotesis statistik dilakukan dengan
menggunakan
rumus chi kuadrat. sering terjadi, penelitian dijalankan untuk
mengetahui banyak
subyek, obyek, jawaban respon, yang terdapat dalam berbagai
kategori.
Misalnya, orang mungkin dikategorikan menurut apakah mereka
mendukung,
acuh tak acuh, atau menentang pernyataan tertentu , guna
memungkinkan
peneliti menguji hipotesis bahwa jawaban itu akan berbeda dalam
hal
frekuensinya, dan tes chi kuadrat cocok untuk menganalisis data
semacam itu
(siegel,1994). Rumus chi kuadrat adalah:
2221 1
i i
i
O EE
dengan: Oi = proporsi jawaban kelompok ke-i (O1 = kelompok
jawaban ya, O2
= kelompok jawaban tidak)
Ei = proporsi harapan jawaban kelompok ke-i (E1 = E2 = n/2)
N = jumlah sampel
2 = 2hitung (2 dibaca chi kuadrat)
-
33
Nilai 2 akan dibandingkan dengan nilai kritis 2 pada taraf nyata
= 0,05dan derajat bebas 1 yang ditulis dengan 2(;1) = 3,84.
Pengambilan keputusanterhadap hipotesis statistik dilakukan sebagai
berikut :
- Jika 2 lebih besar dari 2(;1) = 3,84 maka H0 ditolak, artinya
secarastatistik proporsi jawaban ya berbeda signifikan dengan
proporsi
jawaban tidak.
- Jika 2 lebih kecil atau sama dengan 2(;1) = 3,84 maka H0
diterima,artinya secara statistik proporsi jawaban ya berbeda tidak
signifikan
dengan proporsi jawaban tidak.
Pengambilan keputusan terhadap hipotesis statistik bisa juga
dilakukan
dengan membandingkan hasil p-value dari perhitungan software
komputer
dengan taraf nyata = 0,05.
- Jika p-value = 0,05 maka H0 ditolak, artinya secara statistik
proporsi
jawaban ya berbeda signifikan dengan proporsi jawaban tidak.
- Jika p-value > = 0,05, maka H0 diterima, artinya secara
statistik
proporsi jawaban ya berbeda tidak signifikan dengan proporsi
jawaban
tidak.
-
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Instansi
4.1.1. Sejarah Singkat Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
(KP
PBB) Malang
Sejak abad ke-19, Pajak atas Bumi dan Bangunan telah ada di
Indonesia
pada saat dikuasai bangsa Inggris yang dipimpin oleh Jenderal
Stanford Rafles,
yang kemudian dianggap sebagai pencipta Pajak Bumi. Pada masa
kolonial
tersebut pajak yang dikenakan kepada rakyat hanya untuk
kepentingan
pemerintah kolonial. Perkembangan Pajak Bumi dan Bangunan di
Indonesia
dapat digambarkan sebagai berikut:
Tahun 1811-1943
Pada masa kolonial Inggris, Pajak Bumi yang dikenakan kepada
rakyat dikenal
dengan nama Landrent. Sedangkan pada masa kolonial Belanda,
Pajak Bumi
dan Bangunan dikenal dengan nama Landrente.
Tahun1943-1945
Pada masa penjajahan Jepang, Pajak Bumi juga dikenakan kepada
rakyat tetapi
dengan nama Pajak Tanah.
Tahun 1945-1951
Setelah Indonesia merdeka Pajak Tanah diganti dengan nama Pajak
Bumi. Pada
tahun 1951, Pajak Bumi tersebut dihapus karena adanya UU No. 14
Tahun 1951
tentang penghasilan atas tanah pertanian yang dikelola dan
dipungut.
-
35
Tahun 1951-1959
Jawatan Pajak diganti dengan Jawatan Pendaftaran dan Pajak
Penghasilan
Tanah milik Indonesia, yang mempunyai tugas pendaftaran atas
tanah-tanah
milik adat yang ada di Indonesia.
Tahun 1959-1965
Tanggal 26 September 1959 dikeluarkan PP No. 11 Tahun 1959 yang
mengatur
tentang Pajak Hasil Bumi. Peraturan Pemerintah ini kemudian
disahkan sebagai
Undang-undang berdasarkan UU No. 1 Tahun 1961 dengan nama
jawatannya
adalah Direktorat Jenderal Pajak Hasil Bumi.
Tahun 1965
Berdasarkan SK Menteri Iuran Negara tanggal 29 November 1965 No.
PMPU 1-
1-3, nama Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat
Iuran
Pembangunan Daerah (IPEDA). IPEDA ini dikenakan untuk sektor
pedesaan,
perkotaan perhutanan, perkebunan dan pertambangan.
Tahun 1985
Tanggal 27 Desember 1985 dikeluarkan UU No. 12 tahun 1985
tentang Pajak
Bumi dan Bangunan. Pemberlakuan UU No. 12 tahun 1985 ini
dilaksanakan
mulai tangal 1 Januari 1986 nama kantornya adalah Kantor
Inspeksi Pajak Bumi
dan Bangunan. Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan No.
176/KMK.01/1986 Kantor Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan diubah
menjadi
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
Tahun 1994
Tanggal 9 November 1994 dikeluarkan UU No. 12 tahun 1994 tentang
Pajak
Bumi dan Bangunan yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 12
tahun
1985. pemberlakuan UU ini bertujuan untuk memberikan perubahan
sehingga
-
36
dapat menciptakan aspek perpajakan bagi bentuk dan praktek
penyelenggaraan
kegiatan usaha yang terus berkembang.
Pemungutan pajak hasil bumi dikelola antara lain oleh Direktorat
Pajak
Hasil Bumi, jawatan yang berada dibawah Departemen Iuran
Pembangunan
Daerah. Kemudian pada tanggal 26 November 1965 diubah menjadi
Direktorat
Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Penggantian nama ini untuk
menyelaraskan dengan nama departemennya.
Ada beberapa hal yang mendorong lahirnya UU tentang Pajak Bumi
dan
Bangunan. Salah satunya adalah karena landasan hukum Iuran
Pembangunan
Daerah (IPEDA) kurang jelas serta UU yang selama ini menjadi
dasar
pemungutan pajak atas tanah dan bangunan disusun pada masa
kolonial
Belanda sehingga tidak sesuai lagi dengan falsafah Pancasila dan
tuntutan
pembangunan yang selalu meningkat.
Sebagai realisasi dari amanat Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN)
tahun 1983, Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi
dan
Bangunan, kemudian disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 12
tahun
1994 yang merupakan pembaharuan sistem perpajakan nasional.
Maksud dari
pembaharuan sistem perpajakan nasional ini adalah untuk
meningkatkan
penerimaan pajak, sehingga negara mampu membiayai pembangunan
dari
sumber-sumber penerimaan dalam negeri. Dengan demikian
pembangunan itu
sendiri dapat terjamin kelangsungannya.
Undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan itu sendiri
disusun
sebagai pengganti dari tujuh ordonansi atau Undang-undang
terdahulu yang
pelaksanaannya kurang jelas. Tujuh ordonansi atau Undang-undang
itu adalah:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga 1906
2. Ordonansi Verponding Indonesia 1923
3. Ordonansi Verponding 1928
-
37
4. Ordonansi Pajak Kekeayaan 1923
5. Ordonansi Pajak Jalan 1942
6. Undang-undang darurat No. 11 tahun 1957 tentang peraturan
umum Pajak Daerah pasal 14 huruf J, K, dan L.
7. Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang No. 11 tahun
1959 tentang Pajak Hasil Bumi.
Sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 12 tahun 1985 maka
Pajak
Hasil Bumi berganti nama menjadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
dan
Direktorat Iuran Pembangunan Daerah menjadi Direktorat Pajak
Bumi dan
Bangunan. Nama Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan ini
berlaku sejak
1 April 1989. Kantor Pelayanan PBB Malang dibawah naungan
Departemen
Keuangan RI dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa
Bagian Timur
III. Kantor Pelayanan PBB malang beralamat di jalan Jaksa Agung
Suprapto 29-
31 Malang 65112, kotak pos 38.
Pajak Bumi dan Bangunan perlu dimantapkan pelaksanaannya
karena
tidak dapat dipungkiri bahwa PBB dapat memberikan keuntungan
yang besar
bagi negara. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No.
276/KMK.
01/1992 menyatakan bahwa KP PBB dibagi menjadi dua tipe
yaitu:
Kantor Pelayanan PBB Tipe A
Kantor Pelayanan PBB Tipe B
Adapun dasar tipe penetapan kantor didasarkan pada
pertimbangan:
Volume kerja
Jumlah Wajib Pajak
Luas daerah wewenang
Kantor pelayanan PBB Malang termasuk tipe A yang meliputi
wilayah kerja:
Kotamadya Malang
-
38
Kota Administratif Batu
4.2. Strutur Oganisasi dan Uraian Jabatan
4.2.1. Sruktur Organisasi
Pengertian struktur organisasi adalah proses penetapan dan
pembagian
pekerjaan yang akan dilakukan pembatasan tugas atau tanggung
jawab serta
wewenang dan penetapan hubungan antar organisasi sehingga
memungkinkan
orang-orang bekerja sama seefektif mungkin untuk tujuan
tertentu.
Dengan adanya pengertian di atas dapat diketahui bahwa fungsi
struktur
organisasi dalam suatu instansi merupakan hal yang sangat
penting untuk
mempertegas garis tanggung jawab dan wewenang masing-masing
bagan dalam
kelancaran kegiatan organisasi serta tujuannya.
Susunan dalam organisasi digambarkan dalam suatu bagan
struktur
organisasi yang dapat dijadikan dasar untuk menyusun job
despcription dari
masing-masing pegawai dalam suatu instansi sesuai dengan tugas
dan
fungsinya, karena dengan mengetahui job description maka seorang
pegawai
dapat dengan jelas mengetahui dimana kedudukannya, apa tanggung
jawab dan
wewenang serta bagaimana hubungannya dengan pegawai-pegawai
lainnya
sesuai dengan garis struktural.
Bedasarkan surat Menteri Keuangan No. 94/KMK/01/1994 tanggal
29
Maret 1994 tentang tugas, fungsi dan klasifikasi maka kedudukan
Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebagai berikut :
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan adalah unsure
pelaksana
Dirjen Pajak yang berada dibawah tanggung jawab langsung
kepada
Kepala Kantor Wilayah.
-
39
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dipimpin oleh
seorang
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan yang
berfungsi
sebagai penyelenggara kegiatan operasional Dirjen Pajak di
bidang Pajak
Bumi dan Bangunan dalam wilayah wewenangnya berdasarkan
kebijaksanaan teknis yang ditetapkan Direktorat Jenderal
Pajak.
Bentuk struktur organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi
dan
Bangunan adalah berbentuk lini yang berarti bahwa garis tanggung
jawab serta
instrukturisasi kegiatan langsung dari pimpinan diatasnya dan
terlepas dari
pejabat-pejabat di bidang lainnya.
Hal ini dapat dilihat bahwa pimpinan dipegang oleh seorang
Kepala
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan selaku penanggung jawab
tunggal
yang secara fungsional mempunyai kedudukan diatas serta
bertanggung jawab
langsung kepada Kantor Wilayah.
Struktur organisasi pada Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan
Malang dapat dilihat pada gambar berikut :
-
40
-
41
4.2.2. Uraian Jabatan
Dalam keputusan Direktorat Jenderal Pajak No.
KEP.05/PJ.11/1993
tentang petunjuk pekerjaan di Direktorat Jederal Pajak,
disebutkan bahwa untuk
melaksanakan tugas pokok fungsi Direktorat Jenderal Pajak perlu
adanya
kejelasan mengenai petunjuk pelaksanaan pekerjaan untuk setiap
unit organisasi
yang berada di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Kantor
Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan dibagi menjadi sub bagian atau seksi-seksi dan
kelompok
kerja fungsional. Sedangkan tugas dan tanggung jawab
masing-masing bagian
tersebut adalah :
1. Sub Bagian Umum
Tugas dari Sub Bagian Umum adalah melaksanakan urusan tata
usaha,
kepegawaian, laporan keuangan, rumah tangga dan perlengkapan.
Sedangkan
fungsi dari Sub Bagian Umum ini adalah :
Pengawasan tata usaha, kepegawaian, dan laporan keuangan.
Pengurusan keuangan.
Pengurusan rumah tangga dan perlengkapan.
Sub Bagian Umum ini terdiri dari :
Urusan tata usaha dan kepegawaian.
Urusan keuangan.
Urusan rumah tangga.
2. Seksi Pendataan dan Penilaian
Seksi ini mempunyai tugas melakukan urusan pendataan objek pajak
dan
subjek pajak serta mengadakan penilaian objek pajak.
Fungsi seksi ini adalah :
Pendaftaran dan tata usaha pendataan objek dan subjek PBB.
Penatausahaan, penailaian dan klasifikasi objek PBB.
-
42
Verifikasi Nilai Jual Objek Pajak atau NJOP.
Sedangkan koordinator pelaksananya adalah :
Koordinator Pelaksana Klasifikasi
Koordinator Pelaksana Pemitakhiran Data
Koordinator Pelaksana Monografi 3
Seksi Pengolahan Data dan Informasi
3. Seksi Pengolahan Data dan Informasi
Fungsi dari seksi pengolahan data dan informasi adalah :
Penyajian data masukan dan keluaran
Merekam dan mengolah data PBB
Analisis dan penyajian informasi tetang PBB
Seksi Pengolahan Data dan Informasi ini terdiri atas beberapa
koordinator
pelaksana yaitu :
Koordinator Pelaksana Pengolahan Data
Koordinator Pelaksana Dukungan Komputer
Koodinator Pelayanan Terpadu
4. Seksi Penetapan
Seksi ini melakukan penetapan PBB di semua sektor dan
melakukan
intensifikasi dan ekstensifikasi penetapan PBB.
Fungsi dari seksi penetapan ini adalah :
Penetapan PBB di sektor pedesaan.
Penetapan PBB dis ektor perkebunan, kehutanan dan
pertambangan.
Seksi penetapan ini terdiri dari beberapa koordinator pelaksana
yaitu :
Koordinator Pelaksanaan Penetapan dan Pedesaan dan Perkotaan
Koordinator Pelaksanaan Penetapan Perkebunan, Kehutanan dan
Pertambangan
-
43
Koordinator Pelaksanaan Intensifikasi dan Ekstensifikasi
5. Seksi Penerimaan
Seksi ini mempunyai tugas melaksanakan penatausahaan
pembayaran,
penyetoran, pelimpahan dan pembagian hasil, pemantauan,
penyetoran PBB
serta pembagian biaya pemungutan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku
untuk kelancaran pelaksanaan penerimaan PBB/BPHTB.
Fungsi dari seksi penerimaan adalah :
Menyiapkan konsep penyusunan rencana kerja di bidang
penerimaan
restitusi.
Melaksanakan penatausahaan, pemantauan, pembayaran, dan
pelimpahan hasil penerimaan PBB dan BPHTB.
Seksi penerimaan terdiri dari beberapa koordinator yaitu :
Koordinator Pelaksanaan Tata Usaha Penerimaan Restitusi
Koordinator Palaksanaan Pemantauan Penyetoran dan Pembagian
penerimaan PBB/BPHTB
6. Seksi Penagihan
Seksi ini mempunyai tugas melakukan urusan penatausahaan
penagihan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk kelancaran
pelaksanaan penagihan
piutang PBB/BPHTB.
Fungsi seksi penagihan adalah :
Menyiapkan bahan dalam rangka penagihan secara aktif
terhadap
kewajiban PBB/BPHTB bagi Wajib Pajak yang belum melunasi
kewajibannya dan telah jatuh tempo, yang berupa surat paksa
sebagai bahan untuk menyusun konsep Surat Perintah Melakukan
Penyitaan.
-
44
Menentukan piutang PBB dengan cara mengadakan penelitian
administratif dan atau penelitian setempat dan menyiapkan
penghapusan piutang PBB dalam rangka tertib administrstif.
Beberapa koordinator seksi penagihan :
Koordinator Pelaksana Penagihan Aktif
Koordinator Pelaksana Tata Usaha Piutang Pajak
7. Seksi Keberatan dan Pengurangan
Seksi keberatan dan pengurangan mempunyai tugas melakukan
penyelesaian keberatan, uraian banding, dan verifikasi atas
permohonan
pengurangan dan keberatan PBB.
Fungsi seksi keberatan dan pengurangan adalah :
Penyelesaian keberatan dan uraian banding PBB
Penyelesaian pengurangan PBB
Verifikasi atas permohonan keberatan dan pengurangan PBB
Beberapa koordinator seksi keberatan dan pengurangan :
Koordinator Keberatan dan Banding
Koordinator Pelaksana Pengurangan
8. Kelompok Tenaga Fungsional Penilaian PBB
Kelompok ini mempunyai tugas melakukan kegiatan pendataan
dan
penilaian PBB. Untuk penyelenggaraan tugas tersebut maka
dibentuk kelompok
tenaga fungsional penilaian PBB yang terdiri dari :
Sejumlah tenaga penilai PBB yang terbagi dalam beberapa
kelompok
sesuai dengan bidang keahliannya
Setiap kelompok dipimpin oleh seorang tenaga penilai PBB yag
paling
senior yang ditnjuk oleh Dirjen Pajak
-
45
Jenis jabatan penilai PBB diatur sesuai dengan peraturan
perundang-
undangan yang berlaku
9. Pelayanan Satu Tempat (PST)
Bertugas melayani Wajib Pajak yang datang ke Kantor Pelayanan
Pajak
Bumi dan Bangunan untuk melakukan permohonan keberatan dan
pengurangan.
Setelah itu permohonan tersebut disalurkan pada masing-masing
seksi yang
dituju.
Dalam KP PBB Malang, Seksi Pendataan dan Penilaian, Seksi
Pengolahan Data dan Informasi, Seksi Penetapan dan Seksi
Keberatan dan
Pengurangan saling bekerjasama (berkoordinasi) dalam
menyelesaikan setiap
pengajuan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
4.3. Karakteristik Responden
Karakteristik responden dapat digunakan untuk mengetahui
gambaran
umum responden yang mengisi kuisioner dalam penelitian ini.
Karakteristik
responden yang ada dalam penelitian ini antara lain usia,
pekerjaan, status
kepemilikan dan sumber informasi tentang pajak. Secara
keseluruhan pengajuan
keberatan PBB terbagi atas 2 kelompok yaitu (1) tanah saja
sebanyak 18
responden (20%) dan (2) tanah dan bangunan sebanyak 72 responden
(80%).
Pengajuan keberatan yang dilakukan oleh WP tidak hanya sekali,
ada
yang lebih dari sekali (51,1%) yaitu 2 hingga 3 kali. Dari Wajib
Pajak yang
menyatakan pernah mengajukan keberatan lebih dari satu kali,
menjelaskan
bahwa pengajuan keberatan ini bukan terhadap properti yang sama,
melainkan
properti yang berbeda.
Permohonan keberatan atas ketetapan PBB yang dilakukan oleh
Wajib
Pajak tidak selalu disetujui. Berdasarkan hasil data yang
diteliti, hanya ada
54,4% responden yang selalu mendapat persetujuan dari KP PBB
pada saat
-
46
mengajukan keberatan, sedangkan sebanyak 45,6% tidak selalu
disetujui. Dalam
hal ini keberatan yang tidak disetujui bukan berarti ditolak
sepenuhnya. Akan
tetapi dapat berupa keberatan diterima sebagian, keberatan
ditolak, keberatan
tidak dapat diterima.
Persoalan pengajuan keberatan yang berlatarbelakang luas tanah
lebih
banyak bersumber dari kesalahan pengukuran luas tanah. Selisih
kesalahan luas
yang tertera pada SPPT dibandingkan dengan luas yang sebenarnya
yang
menjadi dasar untuk Wajib Pajak mengajukan keberatan berkisar
antara 50m2.
Pendataan dan penilaian, dalam hal ini untuk mengukur luas
tanah
seharusnya disaksikan oleh pihak WP selaku pemilik dan petugas
serta aparat
desa yang berwenang sebagai saksi. Namun pada kenyataannya,
pendataan
dan penilaian yang dilakukan oleh petugas lebih banyak tidak
didampingi oleh
WP selaku pemilik. Hal ini dapat dilihat dari hasil data yang
diteliti, yaitu
sebanyak 70% responden mengaku tidak mendampingi petugas pada
saat
pemeriksaan. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya koordinasi
antara pihak KP
PBB dengan pihak Wajib Pajak. Dari hasil penelitian, sebanyak
64% responden
mengaku tidak pernah dihubungi terlebih dahulu oleh petugas dari
KP PBB
sehingga mereka tidak bisa mendampingi petugas pada saat
pendataan dan
penilaian.
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan
bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman
serta untuk
memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Klasifikasi ini
dibagi dalam
rangka memenuhi asas keadilan pembayaran pajak. Objek Pajak Bumi
dan
Bangunan tersebut diklasifikasikan menurut penggolongan
kelas-kelas nilai
jualnya, ketentuan mengenai klasifikasi diatur berdasarkan
keputusan Menteri
keuangan.
-
47
Meskipun diantara WP ada yang tidak mengetahui secara pasti
masalah
klas klasifikasi tanah, namun mereka bisa merasakan bahwa klas
klasifikasi
tanah dalam SPPT adalah tidak sesuai dengan kondisi objek pajak.
Hal ini
mereka ketahui dari klasifikasi tanah milik tetangga yang berada
pada
daerah(blok) yang sama.
Gambar 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Gambar 4.2 menunjukkan usia responden, yang dikelompokkan
menjadi
5 kelompok usia, yaitu: kelompok 1: usia 25-30 tahun; kelompok
2: usia 31-35
tahun; kelompok 3: usia 36-40 tahun; kelompok 4: usia 41-45
tahun; kelompok 5:
usia diatas 45 tahun. Berdasarkan Gambar 1, proporsi responden
berusia 25
30 tahun adalah 6%, 31 35 tahun adalah 3%, 36 40 tahun sebanyak
3%, 41
45 tahun sebanyak 26% dan lebih dari 45 tahun sebanyak 62%.
Komposisi ini
mengindikasikan bahwa pengajuan keberatan PBB lebih banyak
berasal dari
keluarga dewasa (bukan keluarga muda). Dari keterangan diatas
dapat
disimpulkan pada usia 41 tahun keatas Wajib Pajak pernah
mengajukan
keberatan atas PBB. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia ini
seseorang
Lebih dari 45 tahun;56; 62%
25-30 tahun; 5; 6%31-35 tahun; 3; 3%
36-40 tahun; 3; 3%
41-45 tahun; 23; 26%
-
48
diasumsikan lebih mengenal tentang Pajak Bumi dan Bangunan,
khususnya
tentang keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.
Gambar 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Gambar 4.3 merupakan proporsi jumlah responden yang
mengajukan
keberatan berdasarkan jenis pekerjaan. Untuk memudahkan
penggolongannya,
penulis membagi dalam 5 jenis pekerjaan, yaitu : PNS,
wiraswasta, dosen/guru,
pegawai swasta, dan profesional. Selain 5 jenis pekerjaan
tersebut, penulis
memberikan alternatif jawaban lain yang bisa diisi atau dijawab
oleh responden
apabila jenis pekerjaannya tidak sesuai dengan pilihan yang
tersedia.
Berdasarkan gambar 4.3 tersebut dapat dilihat bahwa
mayoritas
responden yang pernah mengajukan keberatan berstatus sebagai
dosen/guru
yaitu sebanyak 19 atau 21% dari total seluruh responden.
Selanjutnya, sebanyak
20% adalah responden yang berstatus sebagai pegawai swasta dan
profesional,
sebanyak 18% berprofesi sebagai PNS, jenis pekerjaan lainnya
sebesar 14%
dan wiraswasta sebesar 7%.
Lainnya; 13; 14%
Profesional; 18; 20%
PNS; 16; 18%
Wiraswasta; 6; 7%
Dosen/Guru; 19; 21%
Peg.Swasta; 18; 20%
-
49
Gambar 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Sumber Informasi
Pajak
Gambar 4.4 adalah distribusi tentang sumber informasi yang
diperoleh
responden mengenai perpajakan. Sumber-sumber informasi tersebut
bisa
diperoleh dari petugas KP PBB, buku tentang pajak, majalah
perpajakan dan
lainnya. Mayoritas pengetahuan responden tentang pajak diperoleh
dari
informasi lainnya yaitu sebesar 67,8%, dari buku dan majalah
tentang perpajakan
sebesar 22,2% dan sumber informasi terkecil yang diperoleh
responden tentang
perpajakan berasal dari petugas KP PBB.
Gambar 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Status
Kepemilikan
Milik sendiri; 81; 90%
Warisan; 9; 10%
Buku dan majalahperpajakan;22,2%
Petugas KPPBB;10%
Lainnya;67,8%
-
50
Gambar 4.5 adalah distribusi status kepemilikan rumah responden
yang
mengajukan keberatan. Pilihan status kepemilikan rumah dibagi
menjadi 3 yaitu
milik sendiri, sewa/kontrak dan warisan. Dari diagram lingkaran
di atas dapat
disimpulkan bahwa responden yang mengajukan keberatan hanya
responden
yang berstatus rumah milik sendiri dan warisan. Mayoritas
responden yang
mengajukan keberatan adalah berstatus milik sendiri sebesar 90%
dan warisan
sebesar 10%, sedangkan untuk status kepemilikan sewa/kontrak
tidak ada
dikarenakan pada saat penelitian dilakukan, tidak ditemui Wajib
Pajak yang
pernah mengajukan keberatan,status kepemilikannya
sewa/kontrak.
4.4. Pengujian Hipotesis Dengan Uji Chi Square
Pemakaian uji chi sqaure bertujuan untuk membandingkan
proporsi
jawaban ya terhadap tidak pada beberapa attribut yang diduga
menjadi alasan
pengajuan keberatan.
Tabel 4.1. Hasil Uji Chi Square Attribut Mengetahui Cara
Menghitung PBB
Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 44 48.9 45 -1Tidak 46
51.1 45 1Chi square = 0,044db = 1p-value = 0,833Sumber : Data
primer diolah (2007).
Sebanyak 44 responden (48,9%) yang mengajukan keberatan PBB
mengetahui cara menghitung PBB, sedangkan 46 responden lainnya
(51,1%)
menjawab tidak tahu. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap
perbedaan
proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square =
0,044 dan p-value
= 0,833. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value >
0,05 maka H0diterima, artinya secara statistik proporsi jawaban ya
berbeda tidak signifikan
-
51
dengan proporsi jawaban tidak. Sehingga bisa diambil kesimpulan
bahwa
pengetahuan wajib pajak tentang cara menghitung PBB tidak
terbukti menjadi
dasar pertimbangan pengajuan keberatan.
Tabel 4.2. Hasil Uji Chi Square Attribut mengetahui NJOP saat
mengajukan
keberatan
Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 83 92.2 45 38Tidak 7
7.8 45 -38Chi square = 64.178db = 1p-value = 0.000Sumber: Data
primer diolah (2007)
Dari tabel diatas sebanyak 83 responden (92,2%) yang
mengajukan
keberatan PBB mengetahui NJOP saat mengajukan keberatan,
sedangkan 7
responden lainnya (7,8%) menjawab tidak mengetahui NJOP saat
mengajukan
keberatan. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap perbedaan
proporsi
jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square = 64,178 dan
p-value = 0,000.
Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value < 0,05 maka H0
ditolak, artinyasecara statistik proporsi jawaban ya berbeda
signifikan dengan proporsi
jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat diambil kesimpulan
bahwa
pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP terbukti menjadi dasar
pertimbangan
Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan.
-
52
Tabel 4.3. Hasil Uji Chi Square Attribut keberatan karena
kesalahan pengukuranluas tanahJawaban Frekuensi % Ekspektasi
ResidualYa 86 95.6 45 41Tidak 4 4.4 45 -41Chi square = 74.711db =
1p-value = 0.000Sumber: Data primer diolah (2007)
Dari tabel diatas, sebanyak 86 responden (95,6%) yang pernah
mengajukan keberatan PBB, menyatakan bahwa kesalahan pengukuran
luas
tanah menjadi alasan untuk mengajukan keberatan, sedangkan 4
responden
lainnya (4,4%) menyatakan bahwa pengajuan keberatan bukan
didasarkan atas
kesalahan pengukuran luas tanah. Berdasarkan hasil uji chi
square terhadap
perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi
square = 74,711
dan p-value = 0,000. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena
p-value < 0,05maka H0 ditolak, artinya secara statistik proporsi
jawaban ya berbeda signifikan
dengan proporsi jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat
disimpulkan bahwa
kesalahan atas pengukuran luas tanah menjadi dasar pertimbangan
Wajib Pajak
untuk mengajukan keberatan.
Tabel 4.4. Hasil Uji Chi Square Attribut Mengetahui Cara
Menghitung luas tanah
Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 51 56.7 45 6Tidak 39
43.3 45 -6Chi square = 1,600db = 1p-value = 0,206Sumber : Data
primer diolah (2007).
-
53
Sebanyak 51 responden (56,7%) yang mengajukan keberatan PBB
mengetahui cara menghitung luas tanah yang dimiliki, sedangkan
39 responden
lainnya (43,3%) menjawab tidak tahu. Berdasarkan hasil uji chi
square terhadap
perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi
square = 1,600
dan p-value = 0,206. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena
p-value > 0,05maka H0 diterima, artinya secara statistik
proporsi jawaban ya berbeda tidak
signifikan dengan proporsi jawaban tidak. Sehingga bisa diambil
kesimpulan
bahwa bisa tidaknya Wajib Pajak menghitung luas tanah yang
dimiliki tidak
terbukti menjadi dasar pertimbangan pengajuan keberatan.
Tabel 4.5. Hasil Uji Chi Square Attribut ukuran tanah salah
karena bentuk tanah
Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 40 44.4 45 -5Tidak 50
55.6 45 5Chi square = 1,111db = 1p-value = 0,292Sumber : Data
primer diolah (2007).
Sebanyak 40 responden (44,4%) yang pernah mengajukan
keberatan
PBB, menyatakan bahwa kesalahan ukuran tanah disebabkan karena
bentuk
tanah yang dimiliki, sedangkan 50 responden lainnya (55,6%)
menyatakan
bahwa bentuk tanah bukan menjadi penyebab ukuran tanah salah.
Berdasarkan
hasil uji chi square terhadap perbedaan proporsi jawaban ya dan
tidak
dihasilkan nilai chi square = 1,111 dan p-value = 0,292. Pada
taraf signifikansi = 0,05, karena p-value > 0,05 maka H0
diterima, artinya secara statistik proporsi
jawaban ya berbeda tidak signifikan dengan proporsi jawaban
tidak. Sehingga
bisa diambil kesimpulan bahwa bentuk tanah bukan merupakan
penyebab
-
54
terjadinya kesalahan ukuran tanah, yang nantinya menjadi
pertimbangan Wajib
Pajak untuk mengajukan keberatan.
Tabel 4.6. Hasil Uji Chi Square Attribut ukuran tanah salah
karena teknis(prosedur) ukur tanahJawaban Frekuensi % Ekspektasi
ResidualYa 59 65.6 45 14Tidak 31 34.4 45 -14Chi square = 8.711db =
1p-value = 0.003Sumber: Data primer diolah (2007)
Dari tabel 4.6 diatas, sebanyak 59 responden (65,6%) yang
pernah
mengajukan keberatan PBB, menyatakan bahwa ukuran tanah
salah
dikarenakan teknis (prosedur) ukur tanah, sedangkan 31 responden
lainnya
(34,4%) menyatakan bahwa ukuran tanah salah bukan disebabkan
karena teknis
(prosedur) ukur tanah. Berdasarkan hasil uji chi square terhadap
perbedaan
proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi square =
8,711 dan p-value
= 0,003. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena p-value <
0,05 maka H0 ditolak,artinya secara statistik proporsi jawaban ya
berbeda signifikan dengan proporsi
jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa
teknis (prosedur)
ukur tanah menjadi penyebab terjadinya ukuran tanah salah, yang
pada akhirnya
menjadi dasar pertimbangan Wajib Pajak untuk mengajukan
keberatan.
Tabel 4.7. Hasil Uji Chi Square Attribut mengetahui klas
klasifikasi tanah
Jawaban Frekuensi % Ekspektasi ResidualYa 60 66.7 45 15Tidak 30
33.3 45 -15Chi square = 10,000db = 1p-value = 0.002Sumber: Data
primer diolah (2007)
-
55
Dari tabel diatas sebanyak 60 responden (66,7%) yang
mengajukan
keberatan PBB mengetahui klas klasifikasi saat mengajukan
keberatan,
sedangkan 30 responden lainnya (33,3%) menjawab tidak mengetahui
klas
klasifikasi saat mengajukan keberatan. Berdasarkan hasil uji chi
square terhadap
perbedaan proporsi jawaban ya dan tidak dihasilkan nilai chi
square = 10,000
dan p-value = 0,002. Pada taraf signifikansi = 0,05, karena
p-value < 0,05maka H0 ditolak, artinya secara statistik proporsi
jawaban ya berbeda signifikan
dengan proporsi jawaban tidak. Dari keterangan ini dapat diambil
kesimpulan
bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang klas klasifikasi terbukti
menjadi dasar
pertimbangan Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan. Secara
keseluruhan
hasil uji terhadap attribut yang mendasari pengajuan keberatan
dijelaskan pada
Tabel berikut.
Tabel 4.8. Ringkasan hasil uji Chi Square
No Attribut ChiSquare
p-value Keterangan
1 Mengetahui cara menghitungPBB
0.044 0.833 Tidak signikan
2 Mengetahui NJOP saatmengajukan keberatan
64.178 0.000 Signifikan
3 Keberatan karena kesalahanpengukuran luas tanah
74.711 0.000 Signifikan
4 Tahu cara menghitung luastanah
1.600 0.206 Tidak Signifikan
5 Ukuran tanah salah karenabentuk tanah
1.111 0.292 Tidak Signifikan
6 Ukuran tanah salah karenateknis (prosedur) ukur tanah
8.711 0.003 Signifikan
7 Mengetahui klas klasifikasitanah
10.000 0.002 Signifikan
4.5 Pembahasan
Berdasarkan hasil peneilitian dan hasil uji analisis, dapat
disimpulkan
beberapa hal, antara lain:
-
56
1. pengetahuan NJOP
pengetahuan Wajib Pajak tentang NJOP mempengaruhi Wajib
Pajak
untuk melakukan keberatan atas surat ketetapan PBB yang telah
diterimanya.
Berdasarkan hasil kuisioner, 92,2% responden mengetahui NJOP
ketika
mengajukan keberatan. Para responden ini mengetahui bahwa NJOP
atas
properti yang dimilikinya berbeda dengan NJOP yang dimiliki oleh
orang lain,
padahal properti yang mereka miliki berada di area/daerah yang
sama.
Sedangkan 7,8% responden menyatakan tidak mengetahui NJOP dengan
alasan
mereka mengajukan keberatan atas surat ketetapan PBB
dikarenakan
perbedaan atas luas tanah saja.
2. kesalahan pengukuran luas tanah
kesalahan luas tanah merupakan salah satu alasan Wajib Pajak
mengajukan keberatan. Hal ini sesuai dengan hasil kuisioner,
dimana 95,6%
responden setuju bahwa kesalahan pengukuran luas tanah menjadi
alasan untuk
mengajukan keberatan. Menurut mereka, luas tanah yang tercantum
dalam
SPPT tidak sama dengan kondisi riil di lapangan. Perbedaan
ukuran luas tanah
ini disebabkan karena kesalahan dalam prosedur pengukuran luas
tanah. Hal ini
tersebut dalam hasil kuisioner, dimana 65,6% setuju bahwa
kesalahan ukuran
luas tanah disebabkan karena kesalahan prosedur pengukuran luas
tanah.
Menurut mereka ketika pendataan dan penilaian sedang dilakukan
oleh fiskus,
Wajib Pajak sedang tidak berada di tempat, sehingga proses
pengukuran hanya
diwakili oleh pejabat berwenang setempat (aparat desa). Hal ini
menurut mereka
tidak sesuai dengan prosedur pengukuran luas tanah karena pada
saat
pendataan dan penilaian tidak disaksikan pemilik secara
langsung, meskipun
sudah didampingi oleh pejabat berwenang setempat (aparat
desa).
-
57
3. pengetahuan klas klasifikasi
Selain perbedaan ukuran luas tanah, Wajib Pajak mempunyai
pertimbangan lain untuk mengajukan keberatan, yaitu pengetahuan
Wajib Pajak
tentang klas klasifikasi. Menurut mereka, klas klasifikasi yang
berbeda dapat
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh mereka menjadi
lebih tinggi
dari seharusnya.
Selain pembahasan diatas, penulis juga memperoleh tambahan
pengetahuan yang berkaitan de