1 PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM MENJATUHKAN PIDANA KEPADA DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTIK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365/K/PID/2012) Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, Topo Santoso 1.Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia 2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected]Abstrak Malpraktik medis mengandung syarat sikap batin yang terdiri dari kesengajaan atau kelalaian. Kemudian, untuk menilai syarat sikap batin tersebut belum ada suatu patokan baku dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini yang menyebabkan suatu pertentangan antara profesi hukum dan medis dalam mengartikan malpraktik medis sebagai suatu kesengajaan atau kelalaian dan menilai ada tidaknya suatu kesalahan atau kelalaian pada malpraktik medis. Atas dasar tersebut, maka skripsi ini akan membahas penerapan teori kelalaian dalam malpraktik culpoos delict atau malpraktik sebagai delik kelalaian. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Teknik pengumpulan data adalah dengan studi kepustakaan. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 365/K/PID/2012, buku-buku hukum dan kamus. Kesimpulan skripsi ini adalah malpraktik medis sebagai kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan medis kepada pasien. Sedangkan, ruang lingkup malpraktik medis adalah terdiri dari malpraktik sebagai dolus delict atau kesengajaan, dan malpraktik sebagai culpoos delict atau kelalaian. Title in English Abstract Medical Malpractice contains intention consisting of negligence or deliberateness. There is no default standard applicable law, to assess intention. It is still debatable between jurists and medical professional to interpret the term medical malpractice as a negligence or intention and to assess the existence of negligence or intention in a criminal liability. Based on that, this thesis will examine the implementation of negligence theory in the culpoos delict malpractice or malpractice as negligence delict. It is a normative legal research based on literature study. The secondary data used in this study consists of Indonesian Penal Code, Indonesian Law Number 29 of 2004 on Doctor’s Practice, Indonesian Law Number 36 of 2009 on Health, Supreme Court Decision Number 365/K/PID/2012, textbooks, and dictionaries. In conclusion, medical malpractice is a doctor’s error in providing medical services to patient. Whereas, the scope of medical malpractice consists of malpractice as dolus delict or intention, and malpractice as culpoos delict or negligence. Keywords: Medical Malpractice, malpractice as culpoos delict, criminal liability Pendahuluan Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENERAPAN UNSUR KELALAIAN (CULPA) DALAM
MENJATUHKAN PIDANA KEPADA DOKTER YANG MELAKUKAN
MALPRAKTIK (ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 365/K/PID/2012)
Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, Topo Santoso
1.Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia
2. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl.Prof. Mr. Djokosoetono, Depok, 16424, Indonesia
Dokter merupakan salah satu profesi yang mulia, dimana dalam menjalankan profesi
kedokteran dituntut memiliki etika, moral dan keahlian atau keterampilan. Hal ini merupakan
bentuk rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dalam upaya pemberian pelayanan
kesehatan kepada masyarakat yang kemudian diejawantahkan dalam kewajiban dokter yang
tercantum pada Pasal 51 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
yakni:
“(1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2) Merujuk pasien ke dokter
atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3)
Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah
pasien itu meninggal dunia; (4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar
perikemanusiaan, kecuali bila dia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; (5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.”1
Profesi dokter merupakan suatu profesi yang mulia, karena mempunyai tugas untuk
menyelamatkan jiwa orang yang menderita penyakit. Bagi kalangan awam timbul suatu
pendapat bahwa dokter itu tidak mungkin berbuat salah dalam memberikan sebuah tindakan
medis kepada pasien, kendati dia bukan seorang Nabi. Oleh karena itu para pasien biasanya
pasrah total pada dokter yang dipercayai pasien tersebut.2 Pandangan tersebut seharusnya
harus diubah karena dokter juga manusia biasa yang dapat melakukan kesalahan dalam
kehidupan sosial, kehidupan bermasyarakat maupun dalam menjalankan tugas kedokteran
sehari-hari. Sehingga, untuk mencegah terjadinya suatu kesalahan dalam memberikan
tindakan medis kepada pasien, maka diperlukan suatu standar sebagai acuan dalam
memberikan pelayanan medis. Standar tersebut diwujudkan dalam bentuk Standar Profesi
Kedokteran.
Perumusan tentang Standar Profesi Kedokteran ( medische profesionale standaard )
oleh Leenen dalam bahasa aslinya sebagai berikut:
“Zorgvuldig volgens de medische standaard handelen al seen gemiddeld bekwaam
arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandigheden met middelen die in
redelijke verhouding staan tot het concrete handelings doel.” 3
1 Indonesia (1), Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, UU No. 29 Tahun 2004, LN No. 116 Tahun
2004, TLN No.4431, ps. 51.
2Ninik Mariyanti, Malapraktik Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana Dan Perdata, (Jakarta:Bina
Aksara,1988), hal.1. 3Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,(Jakarta:Grafikatama Jaya,1991),hal.86.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
3
Perumusan ini dapat diartikan sebagai:4
“Berbuat secara teliti atau seksama menurut ukuran medis, sebagai seorang dokter
yang memiliki kemampuan rata-rata (average) dibanding dengan dokter dari
kategori keahlian medis yang sama, dalam situasi kondisi yang sama dengan sarana
upaya (middelen) yang sebanding/proposional dengan tujuan konkret
tindakan/perbuatan medis tersebut.”
Kemudian dari rumusan diatas, maka dapat diuraikan kedalam lima unsur, yakni:5
1. Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig handelen) dikaitkan dengan
culpa/kelalaian. Apabila seorang dokter yang bertindak “onvoorzichteg”, tidak
teliti, tidak berhati-hati, maka dia memenuhi unsur kelalaian; bila dia sangat
tidak berhati-hati dia memenuhi culpa lata;
2. Sesuai ukuran ilmu medis (volgens de medische standaard );
3. Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama
( gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie );
4. Situasi kondisi yang sama ( gelijke omstandingheden );
5. Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proposional (azas proporsionalitas),
(met middelen die in redelijke verhouding staan) dengan tujuan konkret
tindakan/perbuatan medis tersebut (tot het concrete handelingsdoel).
Berdasarkan kelima unsur Standar Profesi Kedokteran ini, maka suatu tindakan medis
dapat dinilai telah sesuai dengan prosedur kedokteran dan acuan untuk menilai suatu
kesalahan dalam pemberian tindakan medis yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang
dilakukan dokter ini sangat terkait dengan malpraktik, dimana untuk menilai malpraktik ini
masuk kedalam kelalaian maka akan sangat terkait dengan Standar Profesi Kedokteran.
Sampai sekarang, hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara
mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisa dirumuskan, sehingga isi
pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum seragam bergantung pada sisi
mana orang memandangnya.6 Dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran tidak dimuat ketentuan malpraktik kedokteran karena dalam Pasal 66 ayat (1)
yang berbunyi:
4Ibid.,hal.87.
5Ibid.,hal.87.
6Hal ini dikemukakan oleh Crisdiono M.Achadiat dalam Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam
tantangan Zaman sebagimana dikutip dalam Kanina Cakreswara,”Pertanggungjawaban Pidana Dokter Pada Kasus Malpraktik,”(Skripsi Sarjana UI Jakarta, 2012), hal.2.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
4
“ Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia” 7
Ketentuan ini hanya mengatur tentang kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan
kesehatan. Sehingga untuk mendapatkan pengertian tentang malpraktik kedokteran, maka
diperlukan penjelasan dari berbagai literatur maupun pendapat para sarjana.
Terdapat suatu perbedaan terutama dalam mengartikan malpraktik sebagai suatu
kelalaian (culpa) atau suatu kesengajaan (dolus). Hal ini menjadi hal penting dalam
penanganan suatu malpraktik kedokteran. Oleh karena kelalaian atau kesengajaan (dolus)
sebagai syarat batin, agar suatu kasus malpraktik dapat diajukan kepada peradilan pidana.
Maka, dalam penelitian ini akan dibahas mengenai arti suatu malpraktik kedokteran. Pokok-
pokok malpraktik telah banyak dijelaskan dalam berbagai literatur, dimana oleh George
Gordon Coughlin, bekas Presiden New York State Bar Association, malpractice dirumuskan
sebagai berikut:
“Profesional misconduct on the part of a profesional person, such as a physician,
engineer, lawyer, accountant, dentist, or veterinarian. Malpractice may be the result
of ignorance, neglect, or lack of skill or fidelity in the performance of profesional
duties; intentional wrong doing; or illegal or unethical practice.” 8
Dari definisi ini dapat dikatakan suatu tindakan medis masuk dalam kategori
malpraktik, apabila dokter tersebut melakukan tindakan medis yang salah atau tidak cukup
mengurus pelayanan medis, baik berupa pengobatan maupun perawatan.
Di samping itu, pengertian malpraktik yang diberikan oleh Coughlin ini masih sangat
luas karena tidak hanya mencakup profesi dokter tetapi masuk pula profesi fisikawan,
insinyiur, pengacara maupun akuntan, sehingga perlu dikutip pandangan Henry Campbell
Black mengenai malpraktik karena lebih menjelaskan secara khusus mengenai medical
malpractice:9
“ As applied to physicians and surgeons, this term means, generally, profesional
misconduct towards a patient which is considered reprehensible either because
immoral in itself or because contrary to law or expressly forbidden by law.”
Dari penjelasan Black tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktik merupakan
suatu tindakan yang tidak benar yang melanggar moral dan hukum, serta pengertian ini telah
mengarah kepada profesi kedokteran.
7Indonesia (1), Ibid., ps. 66, ayat 1.
8Soerjono Soekanto dan Herkutanto, Pengantar Hukum Kesehatan,(Bandung:Remadja
Karya,1987),hal.153.
9Ibid.hal.153.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
5
Apabila dilakukan analisa terhadap rumusan malpraktik menurut Couglin, maka
unsur-unsur malpraktik adalah unsur kesengajaan (opzet) dan unsur tindakan yang tidak sah
atau tindakan yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum serta tindakan yang tidak
etis. Sementara itu, Black menyebut antara lain “Unreasonable lack skill” dan mengatakan
bahwa “negligence is the predominant theory of liability in medical malpractice litigation”.
10 Dari penjabaran definisi malpraktik yang diajukan oleh Coughlin dan Black, maka Fred
Ameln mengatakan bahwa akan dapat diperoleh perbedaan, dimana dalam pandangan
Coughlin menonjolkan unsur kesalahan atau schuld, sedangkan Black lebih menonjolkan
unsur kelalaian atau culpa. Sehingga dari pandangan ini akan dapat membedakan antara
malpraktik dolus delict dan malpraktik culpoos delict.11
Maka, berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam mendefinisikan arti
malpraktik tidak dapat langsung dilekatkan dengan unsur “kelalaian” sebagai syarat batin
dalam malpraktik. Oleh karena, dalam malpraktik kedokteran tidak hanya ada sikap batin
berupa “kelalaian (culpa)”, tetapi terdapat pula sikap batin berupa “kesengajaan (dolus)”.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat J.Guwandi yang menyatakan bahwa malpraktik
adalah tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktik, tetapi
di dalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa definisi,
ternyata bahwa malpraktik mempunyai pengertian yang lebih luas dari kelalaian. Karena
selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik mencakup tindakan-tindakan yang
dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan melanggar undang-undang.12
Setelah mengetahui Standar Profesi Kedokteran dan pengertian malpraktik, maka hal
yang penting dibahas adalah mengenai kaitan antara Standar Profesi Kedokteran dengan
malpraktik. Adapun kaitannya adalah mengenai aspek penilaian terhadap suatu penyimpangan
Standar Profesi Kedokteran dapat dimasukkan dalam kategori malpraktik. Kemudian, bentuk
malpraktik tersebut juga harus dinilai apakah masuk kedalam kategori malpraktik dolus delict
maupun malpraktik culpoos delict. Hal ini sangat berkaitan dengan upaya penyelesaian
maupun pertanggungjawaban hukum oleh dokter tersebut.
Di samping itu, dalam malpraktik tidak mudah untuk membuktikan adanya
penyimpangan dari Standar Profesi Kedokteran karena setiap unsur dari standar tersebut harus
diteliti dan selama dokter memenuhi unsur standar profesinya maka dokter tidak melakukan
10Ameln,op.cit.,hal.85.
11
Ibid.
12J.Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), (Jakarta: Balai Penerbit Kedokteran Universitas Indonesia,
2004), hal.20.
Penerapan unsur..., Ahmad Dalmy Iskandar Nasution, FH, 2014
6
tindakan malpraktik.13
Kesulitan mengenai penilaian malpraktik tidak hanya terkait dengan
unsur penilaian penyimpangan, tetapi terkait dengan penilaian terhadap kategori kesalahan
yang melekat pada malpraktik tersebut. Bentuk kesalahan ini menjadi sangat penting dalam
hal pertanggungjawaban hukum, baik perdata, pidana maupun administrasi. Pemilihan unsur
kesalahan dalam penyimpangan standar kedokteran ini sangat penting, karena unsur kesalahan
yang melekat kepada malpraktik adalah berupa kesengajaan (dolus) atau
kelalaian/ketidaksengajaan (culpa) .
Dilihat dari sudut kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan
gradasi kealpaan (culpa) dengan:14
1. Kealpaan yang berat (culpa lata);
2. Kealpaan yang ringan (culpa levis).
Dalam kasus malpraktik yang diselesaikan dengan hukum pidana adalah culpa lata,
sedangkan culpa levis, maka akan diselesaikan dengan hukum perdata maupun hukum
disiplin dokter.
Untuk menyelesaikan suatu kasus malpraktik, maka tidak terlepas dari pengertian
kelalaian dari segi hukum pidana maupun segi medis. Penilaian suatu kelalaian dari segi
medis, maka tidak terlepas dari penilaian terhadap penyimpangan terhadap standar profesi
kedokteran maupun standar prosedur operasional. Pengertian standar profesi kedokteran
dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,yakni:
“Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill, and
profesional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi
untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang
dibuat oleh organisasi profesi.”15
Sedangkan pengertian standar prosedur operasional sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 1 Angka 10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 adalah:
“Standar Prosedur Operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang
dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu, dimana standar
prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan
konsensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan
yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.”16
13Ibid.hal.94.
14
E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,(Jakarta:Storia Grafika,2002), hal.194.
15Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik