Top Banner
102 DHARMASMRTI Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134 Abstract The Government of Bali focus on accelerating development to improve peoples welfare. Regional economic development is an activity where local governments and communities manage existing resources and form partnerships between local governments and the private sector to create new jobs and stimulate the development of economic activities within the region, in support of economic business need to pay attention to the values ethics consistent with religious teachings. The inhabitants of Bali including its entrepreneurs are supporters of a culture that is imbued with religion. As a supporter of culture, their role is crucial in the growth and development of religious life, culture and the activity of economic development. The main pattern of Balinese development establishes the culture that complete the Hindu spirit as the basic capital of regional development. There are two interrelated things between business economics and ethics, business can not be separated by the social culture where ethics is implemented. A business activity must be carried out with the ethical values prevailing in the business community. Keywords: Business Ethics, Entrepreuner, Hinduism and Economic Development Abstrak Pemerintah Bali fokus melakukan akselerasi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu aktivitas dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk partnership antara pemerintah dengan swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut, dalam menunjang aktivitas ekonomi (bisnis) perlu memperhatikan nilai-nilai etika yang sesuai dengan ajaran agama. Penduduk Bali termasuk para entrepreneurnya merupakan pendukung kebudayaan yang dijiwai oleh agama. Sebagai pendukung kebudayaan, peran mereka sangat menentukan dalam tumbuh dan berkembangnya kehidupan agama, kebudayaan maupun akititas pembangunan ekonomi. Pola pokok pembangunan Bali menetapkan kebudayaan yang bernafaskan spirit Hindu sebagai modal dasar pembangunan daerah. Ada dua hal yang saling terkait antara ekonomi bisnis dan etika, bisnis tak dapat dipisahkan dengan sosial budaya dimana etika diimplementasikan. Suatu kegiatan bisnis wajib dilakukan dengan nilai etika yang berlaku dalam masyarakat bisnis. Kata Kunci: Etika Bisnis, Entrepreuner, Hindu dan Pembangunan Ekonomi PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNG Oleh: I Putu Sarjana Fakultas Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Denpasar [email protected]
14

penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

Jan 18, 2023

Download

Documents

Khang Minh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

102DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

Abstract

The Government of Bali focus on accelerating development to improve peoples welfare. Regional economic development is an activity where local governments and communities manage existing resources and form partnerships between local governments and the private sector to create new jobs and stimulate the development of economic activities within the region, in support of economic business need to pay attention to the values ethics consistent with religious teachings. The inhabitants of Bali including its entrepreneurs are supporters of a culture that is imbued with religion. As a supporter of culture, their role is crucial in the growth and development of religious life, culture and the activity of economic development. The main pattern of Balinese development establishes the culture that complete the Hindu spirit as the basic capital of regional development. There are two interrelated things between business economics and ethics, business can not be separated by the social culture where ethics is implemented. A business activity must be carried out with the ethical values prevailing in the business community.

Keywords: Business Ethics, Entrepreuner, Hinduism and Economic Development

Abstrak

Pemerintah Bali fokus melakukan akselerasi pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu aktivitas dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk partnership antara pemerintah dengan swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut, dalam menunjang aktivitas ekonomi (bisnis) perlu memperhatikan nilai-nilai etika yang sesuai dengan ajaran agama. Penduduk Bali termasuk para entrepreneurnya merupakan pendukung kebudayaan yang dijiwai oleh agama. Sebagai pendukung kebudayaan, peran mereka sangat menentukan dalam tumbuh dan berkembangnya kehidupan agama, kebudayaan maupun akititas pembangunan ekonomi. Pola pokok pembangunan Bali menetapkan kebudayaan yang bernafaskan spirit Hindu sebagai modal dasar pembangunan daerah. Ada dua hal yang saling terkait antara ekonomi bisnis dan etika, bisnis tak dapat dipisahkan dengan sosial budaya dimana etika diimplementasikan. Suatu kegiatan bisnis wajib dilakukan dengan nilai etika yang berlaku dalam masyarakat bisnis.

Kata Kunci: Etika Bisnis, Entrepreuner, Hindu dan Pembangunan Ekonomi

PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA, KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN

BADUNG

Oleh:I Putu Sarjana

Fakultas Ilmu Agama dan KebudayaanUniversitas Hindu Indonesia

[email protected]

Page 2: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

103PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

I. PENDAHULUAN

Bali merupakan salah satu provinsi yang memiliki adat istiadat, tradisi, dan budaya di Indonesia. Disetiap daerah memiliki keunikan yang menjadi ciri khas masing-masing. Keanekaragaman tersebut menggambarkan adat dan kebiasaan serta budaya yang berbeda yang merupakan warisan budaya yang adiluhung. Daerah Bali dengan penduduk yang mayoritas memeluk Agama Hindu, dengan menghimpun diri dalam suatu bentuk organisasi tradisional.

Organisasi tradisional yang masih bersifat religious dan magis untuk melindungi roh daripada kesatuan masyarakat tradisional, seperti Desa Pakraman, Dadia, Subak, Karang Taruna. Untuk menjaga keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan lingkungan menggunakan ritual keagamaan pada tempat-tempat suci yang disebut Pura. Konsep ini merupakan dasar untuk menjaga keseimbangan alam semesta yang dilakukan oleh seluruh umat Hindu yang berada di wilayah Bali. Ritual keagamaan yang diselenggarakan sesuai dengan desa kala patra.

Desa Pakraman adalah suatu masyarakat hukum adat. Dalam kepustakaan hukum adat, istilah masyarakat hukum adat yang lazim disebut dengan persekutuan hukum (rechtsgemeenschap) diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai satu kesatuan terhadap dunia luar, lahir batin. Kelompok-kelompok ini mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang yang ada di dalamnya masing-masing mengalami kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, yang menurut kodrat alam, dan tidak ada seseorangpun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompoknya itu. Kelompok manusia tersebut mempunyai harta benda, milik keduniawian dan milik gaib (R. Soepomo, 1967 : 43-44).

Dalam pasal 18 UUD 1945 dijelaskan lembaga tradisional merupakan daerah yang bersifat istimewa karena mempunyai susunan asli berdasarkan Hukum Adat. Di Bali suatu desa Adat/Pakraman merupakan kesatuan masyarakat Hukum Adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat Hindu secara turun temurun dalam ikatan (Kahyangan Tiga/kahyangan Desa), serta mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam Pasal 1 angka 4 disebutkan bahwa Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Desa Pakraman diikuti oleh adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat yang dikenal dengan “awig-awig” merupakan pedoman dasar dari desa pakraman dalam pemerintahannya. Awig-awig merupakan aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan desa mawacara, desa kalapatra dan darma agama di desa pakraman atau banjar pakraman masing-masing. (Suasthawa Dharmayuda, 2001 : 18).

Bali yang kental dengan ritual keagamaan yang menginginkan adanya kedamaian, ketentraman dalam kehidupan baik sekala dan niskala namun dalam perjalanan sebagai manusia masih ada saja suatu peristiwa atau kejadian yang mengakibatkan reaksi sosial yang dapat mengabaikan tujuan serta makna dari setiap ritual keagamaan. Reaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Bali akibat kurang tepatnya bentuk awig-awig yang dibentuk untuk mengatur kesatuan hukum masyarakat adat yang harus disesuaikan dengan jaman sekarang sehingga prodak hukum yang dibentuk bisa dijalankan dan memiliki hubungan harmonis antara manusia dengan hukum adat itu sendiri.

Manusia sebagai subyek hukum, membuat, mengatur serta memberikan sanksi terhadap pelanggarnya. Sanksi adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat. Oleh karena pelanggaran adat (delik adat) dapat menimbulkan gangguan keseimbangan dalam kehidupan nyata maupun tidak nyata, maka dalam hukum adat Bali dikenal golong-golongan

Page 3: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

104DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

sanksi adat yang menyangkut perbaikan kehidupan alam nyata dan tidak nyata (sekala niskala) pula. Ada tiga golongan sanksi adat yang dalam masyarakat Bali disebut Pamidanda. Tiga golongan sanksi adat tersebut dikenal dengan sebutan Tri Danda, yaitu artha danda, yaitu tindakan hukum berupa penjatuhan denda (berupa uang atau barang), jiwa danda, yaitu tindakan hukum berupa pengenaan penderitaan jasmani maupun rohani bagi pelaku pelanggaran (hukuman fisik dan psikis) serta sangaskara danda, yaitu berupa tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis (hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama). (Suasthawa Dharmayuda, 2001 : 45).

Terdapat banyak bentuk pamidanda yang dapat dikualifikasikan dalam tiga golongan pamidanda tersebut. Sekedar untuk menunjukkan beberapa contoh bentuk pamidanda, antara lain adalah dosa atau dedosan, yaitu hukuman berupa pembayaran berupa uang (artha danda), kasepekang (jiwa danda), maprayascita, nyarunin desa yaitu kewajiban melakukan upacara keagamaan untuk menghilangkan leteh atau kekotoran gaib (panyangaskara danda). (Windia, Sudantra, 2006 : 144).

Membicarakan masalah hukum, satu hal yang tidak dapat dipisahkan adalah sanksi sebagai salah satu ciri dari hukum. Hukum bersifat memaksa, semua tindakan-tindakan hukum untuk memaksa orang menepati janji atau mentaati ketentuan-ketentuan undang-undang. Sanksi yang dijatuhkan oleh Negara terhadap pelanggaran hukum yang berbentuk pidana lebih dirasakan sebagai derita atau nestapa, merupakan pencabutan kebebasan untuk menikmati hidup dalam masyarakat baik untuk selama-lamanya (hukuman mati), dan penjara seumur hidup maupun sementara waktu (pidana penjara waktu tertentu, kurungan tutupan atau denda) sanksi tersebut tidak menghalangi upaya manusia secara fisik untuk mengenyam kebebasan hidup terutama materil. (Artadi, 2006 : 1).

Akan tetapi dalam kehidupan masyarakat Bali yang memilki paras paros sarpanaya tidak berlaku apabila telah terjadi suatu bentuk pelanggaran. Aturan-aturan yang ditetapkan dilakukan bukan semata-mata untuk menakuti serta membuat jera akan tetapi lebih mengutamakan kelangsungan adat dan budaya

Bali sehingga tidak cemar oleh orang-orang yang tidak taat lagi dengan aturan-aturan. Konflik yang berkepanjangan akan menimbulkan ketegangan dalam kehidupan masyarakat, jika demikian aman, nyaman dan tentram yang menjadi dambaan tidak akan bisa terwujud. Desa pakraman di Bali dalam membuat awig-awig terhadap bentuk sanksi dalam setiap pelanggaran tentu tidak bertentangan dengan undang-undang.

Penjatuhan sanksi adat berupa sanksi Sangaskara danda dilakukan melalui pararem desa, sebagai lembaga adat tertinggi yang berwenang menetapkan keputusan-keputusan penting dalam mengisi kehidupan masyarakat adat. Peristiwa ini terjadi di Desa Pakraman Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Ketika pelaksanaan Nyepi yang merupakan hari besar umat Hindu dalam pelaksanaanya terdapat Paberataan Nyepi diantaranya: (1) Amati Geni artinya tiada berapi-api, (2) Amati Karya artinya tiada bekerja/menghentikan kerja, (3) Amati Lelungan artinya tidak bepergian, (4) Amati Lelanguan artinya tidak melampiaskan indria. (Surpha, 2006 : 201).

Seorang warga bernama I Made Kado pada saat upacara panyepian tahun saka 1935 melakukan perjalanan melewati Desa Pakraman Darmasaba, yang diketahui dan ditangkap oleh pecalang desa, sanksi ini bersifat universal berlaku kedalam dan keluar Desa Pakraman. Sanksi adat sangaskara danda dilakukan untuk keseimbangan alam ini, karena beberapa rangkaian upacara keagamaan dalam upacara nyepi diantaranya : Memben (membersihkan pretima dan ngiyas), Melasti, Melis (Disucikan ke pantai), Mepiak (Melakukan Pecaruan alit dan mengembalikan pratima-pratima ke Pura masing-masing), Pengerupukan (Upacara pecaruan di perempatan jalan), Upacara Nyepi (Melaksanakan suci laksana), Pengembak Geni (Membuka puasa Nyepi).

Sanksi adat ini telah ditetapkan dalam pararem Desa Pakraman Darmasaba, pengenaan sanksi adat di samping diberlakukan untuk warganya sendiri juga terhadap warga lain yang melewati daerah Desa Pakraman Darmasaba pada saat upacara nyepi. Bendesa Adat Desa Pakraman Darmasaba, Bapak Made Suardana mengatakan bahwa sudah kali kedua terjadinya pelanggaran ini. Warga yang melanggar

Page 4: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

105PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

merupakan warga tetangga yang berasal dari banjar Den Yeh Peguyangan, Denpasar Utara.

Pelanggaran yang dilakukan merupakan melanggar awig-awig desa adat dan barata panyepian yakni amati lelungan. Bepergian yang dilakukan oleh Warga dengan tidak memiliki alasan yang jelas. Bepergian yang diperkenankan apabila seseorang dalam keadaan sakit, melahirkan yang harus dibawa ke rumah sakit dengan membawa surat ijin dari prajuru desa (Bendesa adat) serta diantar oleh seorang pecalang desa adat. Berdasarkan pararem Desa Pakraman Darmasaba, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung terhadap orang yang melakukan bepergian pada saat nyepi dikenakan sanksi Sangaskara danda, yakni hukuman yang diberikan kepada pelanggarnya berupa pengembalian keseimbangan alam sekala niskala berupa upacara pecaruan desa. Pararem ini tidak hanya berlaku bagi warga Desa Pakraman Darmasaba, bagi siapa yang melewati daerah desa pakraman pada saat nyepi berlangsung tetap dikenakan sanksi Sangaskara danda.

II. PEMBAHASAN

2.1 Sangaskara DandaKata Sangaskara dalam Kamus Bahasa Bali

Indonesia berarti pelihara, upacara pensucian (Tim Penyusun Pemda Tk.I Bali, 1993 : ). Kata danda berarti sanksi dikalangan masyarakat tradisonal atau masyarakat adat, dikenal dengan sebutan “sanksi adat”, “koreksi adat”, atau “reaksi adat”. Untuk di Bali, sanksi adat itu umumnya disebut danda, atau pamidanda. (Widnyana, 1993 : 11). Sanksi Sangaskara danda yakni sanksi yang dijatuhkan kepada seseorang berupa tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan magis, hukuman dalam bentuk melakukan upacara agama. (Suastawa Dharmayuda, 2001 : 145).

Sanksi adat atau denda, Sangaskara danda di Bali adalah sanksi yang kenakan oleh desa pakraman atau kelembagaan adat lainnya kepada seseorang atau kelompok orang dan atau keluarganya, karena dianggap terbukti telah melakukan pelanggaran terhadap norma adat dan norma Agama Hindu, dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib) dalam masyarakat. (Windia, Dan Sudantra, (2006 :

143).Terdapat banyak bentuk pamidanda yang

dapat dikualifikasikan dalam tiga golongan pamidanda, antara lain adalah dosa atau dedosan yaitu hukuman denda berupa pembayaran sejumlah uang (artha danda), kasepekang (jiwa danda), maprayascita, nyarunin desa yaitu kewajiban melakukan upacara keagamaan untuk menghilangkan leteh atau kekotoran gaib (panyaskara danda).

Kaler, (1994 : 21) Sangaskara, yakni upacara-upacara keagamaan, sehingga ia dapat dinilai selaku umat yang suci menurut ketentuan Agama (Manusa yadnya); misalnya Tiga bulanan, Otonan, Potong gigi, Upacara Perkawinan; (Pitra yadnya)” misalnya Ngaben, (Dewa yadnya); misalnya: Piodalan, Ngusaba, Labuh gentuh, Mlaspas, Ngenteg linggih dan lain-lain.

2.2 Hukum HinduManavadharmasastra sebuah kitab Dharma

yang dihimpun dalam bentuk sistematis oleh Bhagavan Bhrgu, salah seorang penganut ajaran Manu. Nama otoritas kitab dharmasastra ini disebut Manu dan dari nama itulah lahirnya nama dharmasastra. Seluruh ajaran dalam kitab ini dianggap memuat ajaran Bhagavan Manu. Bhagavan Bhrgu penerima ajaran Manu, adalah salah seorang dari sapta maharsi.

Kitab ini dianggap paling penting dan menarik dari sekian banyak kitab-kitab sastra yang memuat himpunan pokok ajaran Hindu dan dikenal sebagai salah satu dari kitab Vedanga. Vedanga adalah kitab Veda yang merupakan bagian batang tubuh dari Veda. Kitab ini tidak tak dapat dipisahkan dari kitab Veda Sruti lainnya. Veda dibagi menjadi dua kelompok yaitu, Veda Sruti dan Veda Smrti. Baik kitab Veda Sruti maupun kitab Veda Smrti, kedua-duanya dikenal dengan nama Veda. Tentang hubungan antara kedua jenis Veda ini merupakan hubungan antara umum dan khusus yang tak dapat dipisahkan dari yang satu dengan lainnya.

Adapun jenis Vedanga terpenting dan yang ada hubungan dengan kitab Manawadharmasastra ini adalah jenis Kalpa. Berdasarkan penggunaannya, kelompok Kalpa. Vedanga ini terdiri atas empat jenis menurut topiknya sendiri-sendiri. Keempat kelompok itu yakni:

a. Srauta-sutra, (manual untuk upacara

Page 5: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

106DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

besar)b. Grhya-sutra, (manual untuk orang

berumah tangga)c. Dharma-sutra, (manual untuk melakukan

pemerintahan)d. Sulva-sutra, (manual untuk membuat

bangun-bangunan agama)Srauta-sutra dan Grhya-sutra kedua-duanya

alah kitab yang memuat petunjuk-petunjuk tentang tata cara seseorang dalam melakukan upacara yajna seperti upacara homa, persembahyangan di sanggar-sanggar. Adapun Grhya-sutra terutama memuat petunjuk tentang upacara samskara (sangaskara) dan Panca Mahayajna yang harus diperhatikan oleh seseorang yang hidup berkeluarga. Upacara samskara (sangaskara) itu diatur mulai daru upacara-upacara praenatal sampai pada upacara kematian (antyesti) yang merupakan masalah yang selalu dihadapi oleh seseorang yang hidup berumah tangga.

Pentingnya kedudukan kitab ini karena sejak jaman dahulu hingga sekarang dianggap sebagai kitab yang memuat ajaran-ajaran pokok dari agama Hindu. Kitab ini memuat dasar-dasar umum mengenai hukum Hindu yang kemudian dikembangkan menjadi sumber ajaran dharma bagi masyarakat Hindu di masa penyebaran agama Hindu ke seluruh pelosok India ke Indonesia. Kitab ini merupakan kitab Fiqih bagi masyarakat Hindu.

Hukum tatanegara dan tatapraja serta hukum pidana yang berlaku dalam masyarakat Hindu adalah hukum-hukum yang sebagian besar merupakan hukum yang bersumber pada ajaran Manudharmasastra yang kemudian dikenal sebagai hukum kebiasaan. Seluk beluk peraturan keagamaan agama Hindu dengan kehidupan hukum kebiasaan seperti yang telah berkembang di Indonesia telah banyak menarik perhatian dunia luar sehingga banyak riset telah dilakukan oleh sarjana-sarjana.

Isi Manusmrti atau Dharmasastra seperti halnya itu menurut berbagai koleksi akan tampak bahwa Dharmasastra ini adalah sebuah buku hukum yang telah diatur secara sistimatik dari bab ke bab, dibagi atas 12 bab atau adhyaya. Masalah hukum inilah yang lazim dikenal dengan titel-titel hukum dimana Manavadharmasastra memuat delapan belas macam titel hukum (vyavahara) yang dapat dikatagorikan dalam bentuk hukum perdata

agama, pidana dan peraturan-peraturan yang bersifat mengatur secara umum.

Sehubungan dengan peranan kitab Manavadharmasastra tidak mungkin dapat diperlakukan secara penuh untuk praktisnya telah dibuat gubahan-gubahan, yang mengambil peraturan-peraturan hukum dari dharmasastra itu dan dituangkan kedalam berbagai bentuk produk sastra (ilmu) hukum, sosial dan ketatamasyarakatan sebagai kitab yang berdiri sendiri. (Pudja dan Sudharta, 2004 : vii-xii) Manavadharmasastra II.1 menyebutkan:

Vidvidbhih sevitah sadbhir Nityam advesa ragibhih Hrdate nabhyanu janto Yo dharmastam nibodhata.

Artinya: Pelajarilah hukum-hukum suci yang

diikuti oleh orang yang mendalami ajaran veda, hukum yang diresapkan dalam hati oleh orang-orang budiman, mereka yang tak pernah punya rasa benci maupun cinta berlebihan.

Berdasarkan kutipan diatas yang selalu tidak mempunyai rasa benci dan cinta yang berlebihan. Dharma-hukum atau peraturan-peraturan suci. Dalam kitab Manavadharmasastra istilah Dharma sangat banyak dipakai dan dimaksudkan sama dengan undang-undang atas hukum yang mengatur hiduap manusia menuju jalan kebajikan, lawan katanya “adharma” yang artinya kebalikan dari kata dharma. (Pudja dan Sudharta, 2004 : 30).

Itihasa, Maharsi Manu, peletak dasar Hukum Hindu (Manavadharmasastra II.6) menjelaskan bahwa Veda adalah sumber dari segala Dharma atau Hukum Hindu.

Vedo ‘khilo dharma mulam smrtisile ca tadvidam Acarascaiva sadhunam atmanastustir eva ca.

Artinya: Veda adalah sumber dari segala Dharma,

kemudian barulah Smrti, disamping Sila, Acara dan Atmanastuti.

Berdasarkan kutipan diatas, kita mengenal sumber-sumber Hukum Hindu menurut kronologisnya, sebagai berikut: Veda (Sruti),

Page 6: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

107PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

Smrti (Dharmasastra), Sila (tingkah laku orang suci), Acara (tradisi yang baik), dan Atmanastuti (keheningan lebih jauh, Manavadharmasastra (II.10) menyatakan :

srutis tu vedo vijneyo dharmasastram tu vai smrtih te sarvarthesva mimamsye tabhyam dharmo hi nirbabhau

Artinya: Sesungguhnya Sruti adalah Veda, Smrti

adalah Dharmasastra, keduanya tidak boleh diragukan kebenarannya dalam keadaan apapun, sebab keduanya adalah sumber kebenaran agama dan hukum.

Melihat kronologis sumber hukum Hindu seperti tersebut diatas, maka hemat kami sumber hukum yang tertinggi, dalam arti yang sempit adalah kitab-kitab Catur Veda dan sampai merujuk kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad maka yang dimaksud adalah kitab suci Veda (Sruti) dalam arti yang luas. Keempat kelompok kitab-kitab tersebut, yakni Catur Veda Samhita, Brahmana, Aranyaka dan termasuk dalam kelompok kitab-kitab Sruti. Demikian pula untuk merujuk kitab-kitab Smrti, acuanya sangat jelas, yakni kitab-kitab Dharmasastra yang jumlahnya 20 buah, yaitu : Manu, Yajnavalkya, Harita, Usana, Angira, Yama, Atri, Samvarta, Katyayana, Vrhaspati, Daksa, Satatapa, Likhita, Vyasa, Parasara, Sankha, Apastamba, Visnu, Gautama dan Vasistha Dharmasastra.

Begitu juga kitab-kitab Itihasa dapat disebut sebagai salah satu sumber Hukum Hindu, khususnya Sila (teladan dari orang bijak) banyak kita temukan dalam Ramayana dan Mahabharata, demikian pula halnya dengan acara dan tradisi yang baik dan benar, kitab Itihasa dan Purana selalu menjadi acuannya. (Titib, 2008 : 43).

Parasara Dharmasastra merupakan salah satu dari 20 dharmasastra yang diberlakukan pada Kali Yuga sekarang ini, dharmasastra secara umum memuat aturan-aturan kebajikan bagi catur warna dalam sistem sosial masyarakat Hindu. Dharmasastra adalah yuga dharma, yang artinya tiap-tiap yuga memiliki aturan-aturan kebajikan tersendiri sesuai dengan sifat dari yuga itu.

Pelaksanaan penebusan dosa (avidya)

melalui tapas, merupakan kebajikan pada masa Satya Yuga, pengamalan pengetahuan sang Diri (jnana) merupakan jalan untuk mengatasi avidya pada masa Treta Yuga, pelaksanaan upacara kurban (yadnya) pada masa Dvapara Yuga dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kali Yuga.

Kitab hukum yang terdiri dari 12 Adhyaya (bab) ini, dimulai dengan uraian pertapaan, aturan moral serta Dharmasastra yang tepat untuk setiap yuga, nilai perilaku bajik, definisi seorang atithi (tamu), berbagai macam upacara (agnihotra), kewajiban hidup dalam masyarakat, Parasara dharmasastra, (Adhyaya I.24) menyatakan :

krte tu manavo dharmas tretayam gautamah smrtah,

dvapare sankha likhitau kalau parasarah smrtah

Artinya : Hukum-hukum dari Manu diberlakukan

pada jaman Satya; hukum dari Gautama pada jaman Treta; hukum Sankha dan Likhita pada masa Dvapara; dan hukum Parasara pada jaman Kaliyuga.

Berdasarkan kutipan diatas bahwa menurut ajaran Hindu, masa atau jaman ini dibagi menjadi empat yuga , dan setiap samhita diperuntukan bagi setiap yuga. Parasara memandang bahwa Manu Samhita sesuai bagi Satya Yuga; Gautama Samhita bagi Treta Yuga; Sankha dan Likhita sesuai bagi Dvapara Yuga, sedangkan Samhita-nya Parasara sendiri diperuntukkan bagi Kali Yuga, namun pembagian ini tak pernah diselidiki secara sungguh-sungguh. (Maswinara, 1999 : 2)

2.3 Penerapan Sangaskara Danda2.3.1 Dasar Berlakunya Sangaskara

DandaDesa Pakraman adalah kesatuan masyarakat

hukum adat. Sebagai masyarakat hukum, desa pakraman mempunyai tata hukum sendiri yang bersendikan kepada adat istiadat (dresta) setempat. Tatanan hukum yang berlaku bagi karma desa pakraman lazim disebut dengan istilah awig-awig desa pakraman.Berikut adalah lampiran pararem nyepi di Desa Pakraman Darmasaba:

Page 7: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

108DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

Keputusan Desa Adat Darmasaba Terkait Dengan Hari Raya Nyepi

Disahkannya Pararem Desa Adat Darmasaba27 Januari 2012

Point PararemA. Biaya Upakara kesanga/Tawur kesanga

ditanggung oleh Desa Adat.B. Ida Betara melasti ke Taman Beji Cengana

2 (dua) kali ke segara (pantai) sekaliC. Ayah-ayahan kepah dados kalih inggih

punika krama desa sibak kelod lan krama desa sibak kaler sane ngarap ngiring melasti krama desa sareng sami.

Catur Brata PenyepianA. Amati geni, Amati karya, Amati Lelungan,

lan Amati LelanguanB. Yening wenten silih sinunggil krama desa

ten setinut ring Catur Brata Penyepian kadanda antuk upakara banten. Caru Panca Sata nganggen lima ayam (panca warna) sekadi manut ring dresta same sampun memargi. Caru kaatur ring ajeng Bale Agung, kesaksiang olih prajuru desa lan kapuput olih Jero Mangku Kahyangan Tiga, tur sane ten setinut patut nunas ampura..

C. Pararem niki maangge ring krama desa utawi siosan desa.

Darmasaba, 27 Januari 2012

Mengetahui,

Bendesa Adat Darmasaba

(I Made Suardana)

Petajuh Desa Adat Darmasaba

(I Nyoman Jiguh)

Inilah pararem nyepi yang diberlakukan di Desa Pakraman Darmasaba. Pararem yang dibuat berisi larangan dalam pelaksanaan nyepi, serta sanksi yang jelas terhadap pelanggaran. Secara umum dengan awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku, baik tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh

masyarakat yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatuhan yang hidup dalam masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa pakraman) dengan Tuhan, antara sesama krama, maupun dengan lingkungannya (Astiti dikutip Windia, 2006 : 55).

Pasal 1 angka 11 Perda Provinsi Bali Nomor 3 tahun 2001 memberikan defisi awig-awig adalah”… aturan yang dibuat oleh krama Desa Pakraman dan atau krama Banjar Pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan Desa Mawacara dan Dharma agama di Desa Pakraman/Banjar Pakraman masing-masing.

Dengan pengertian awig-awig diatas, maka dapat dipastikan semua desa pakraman di Bali mempunyai awig-awig walaupun bentuknya belum tertulis. Pada masa lalu, ketika masyarakat Bali belum banyak yang mengenal budaya baca tulis, terutama dipelosok-pelosok perdesaan, awig-awig umumnya dibuat dalam bentuk tidak tertulis, dibuat secara lisan dalam bentuk keputusan-keputusan sangkepan (rapat) desa. Setelah prajuru-prajuru adat di Bali banyak yang mengenal baca tulis, awig-awig yang diputuskan dalam sangkepan desa kemudian dicatat oleh prajuru desa.

Pemerintah Daerah secara rutin melakukan pembinaan awig-awig ke pelosok-pelosok desa di Bali dengan membawa format baku berupa Pedoman/Teknis Penyusunan Awig-awig. Tujuannya adalah agar setiap desa pakraman di Bali mempunyai awig-awig yang tertulis. Penulisan awig-awig oleh pemerintah berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain:

a. Pertama, untuk kepastian hukum (rechtzekkerheid). Dalam bentuknya yang tertulis hukum adat (awig-awig) akan memberi rasa kepastian hukum dalam bersikap dan bertindak hingga tidak ada keragu-raguan dalam penerapan hukumnya.

b. Kedua, untuk memudahkan penemuan hukum (rechtsvinding). Dengan adanya awig-awig tetulis maka hukum adat mudah untuk ditemukan, terutama oleh kalangan petugas hukum dan generasi yang akan datang. (Biro Hukum Prov.Bali dikutip Windia, 2006 : 57).

Windia Dan Sudantra, (2006:57) Dalam pengertian luas, awig-awig disamakan

Page 8: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

109PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

pengertiannya dengan pararem, yaitu peraturan-peraturan desa yang lahir dari keputusan-keputusan sangkepan, yang juga wajib dituruti oleh semua krama desa. Belakangan, terutama setelah diberlakukannya awig-awig tertulis yang dibuat secara khusus, pararem kemudian mempunyai pengertian khusus, yaitu sebagai peraturan-peraturan desa pakraman yang masih berupa aturan keputusan-keputusan sangkepan desa.

Berdasarkan wawancara dengan Bendesa Desa Pakraman Darmasaba, 6 Juli 2015, pukul 19.00 wita mengatakan bahwa dasar berlaku pararem merupakan hasil sangkep prajuru desa tentang aturan-aturan yang termuat dalam pararem nyepi. Pararem ini dibuat dan diberlakukan karena krama (warga) pada saat catur berata penyepian melakukan aktivitas diluar rumah. Tujuan dari pararem ini untuk menjadikan desa pakraman lebih tenang, damai, serta hening dalam melaksanakan nyepi.

Dilihat dari substansinya, pararem dalam pengertian khusus ini meliputi tiga hal antara lain:

a. Pertama, pararem yang berupa aturan pelaksanaan dari pawos-pawos (pasal) yang sudah ada di dalam awig-awig sehingga disebut pararem penyahcah awig;

b. Kedua, pararem dapat berupa pararem ngele atau lepas, yaitu berupa peraturan-peraturan baru yang dibuat melalui sangkepan desa untuk memenuhi kebutuhan dan perkembangan jaman.

c. Ketiga, pararem penepas wicara, wicara adalah masalah-masalah yang terjadi dilingkungan desa pakraman, baik berupa pelanggaran hukum (pelanggaran awig-awig) maupun yang berupa sengketa.

2.3.2 Penerapan Sangaskara DandaLestawi, (1999 : 65) segala perbuatan atau

kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya misalnya:

a. Melahirkan anak di sawah/ladang;b. Melahirkan anak kembar yang satu laki

dan yang satu perempuan, kalua di Bali disebut “Buncing” (manak salah)

c. Orang mencemarkan tempat suci seperti surau, gereja, mata air, pura dan sebagainya.

Sebagai upaya pertahanan (reaksi atau koreksi) dari para petugas hukum terhadap kejadian-kejadian demikian itu diadakan upacara pembersihan masyarakat, supaya kesucian dalam suatu batin masyarakat tersebut dapat pulih kembali.

Kaler (1979: 21) Tri pramana adalah satu istilah umum dalam perbendaharaan bahasa daerah kita. Ia berarti “kekuatan tiga serangkai”. Umum artinya bahwa ia digunakan untuk menanamkan berbagai-bagai kekuatan serupa itu. Ada Tri Pramana selaku unsur tubuh manusia (bayu-sada-idep), ada selaku jenjang tata belajar (pratyaksa-anumana-agama), lain lagi selaku unsur/sarana berlogika (desa-kala-patra), disamping untuk sarana dalam peradilan (bukti-saksi-ilikita), dan lain-lain.

Tri pramana yang kita perkatakan maka:a. Dari segi sulur (garis kekeluargaan secara

formal);b. Upajiwa (pemeliharaan, makan, minum,

jaminan kesehatan, perumahan dan sebagainya); berupa biaya sekolah, pendidikan, dan lain-lain;

c. Sangaskara, yakni upacara-upacara keagamaan, sehingga ia dapat dinilai selaku umat yang suci menurut ketentuan agama (manusa yadnya); misalnya tiga bulanan, otonan, potong gigi, upacara perkawinan, dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa pemikiran diatas bahwa terjadinya sangaskara danda adalah bentuk pelanggaran adat yang dilakukan oleh seorang warga yang merupakan pelanggaran awig-awig berdasarkan pararem Desa Pakraman Darmasaba adapun kewajiban antara lain :

a. Krama atau Warga pada hakikatnya wajib mentaati peraturan-peraturan yang berlaku bagi karma Banjar yaitu awig-awig, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.

b. Krama berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban wilayahnya.

Kewajiban dalam kehidupan melaksanakan gotong-royong dan persekutuan hidup bersama, baik dalam suka maupun dalam keadaan duka (Surpha, 2006 : 82)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Jro

Page 9: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

110DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

Bendesa Desa Pakraman Darmasaba Made Suardana, Senin, 6 Juli 2015 bahwa Desa Pakraman Darmasaba telah memiliki pararem desa pakraman untuk mengatur dan menjaga ketertiban dalam segala kegiatan krama (warga). Pararem yang dibuat dan ditetapkan untuk mengatur tentang larangan saat perayaan hari suci Nyepi. Larangan yang ditetap kan dalam pararem berlaku untuk krama (warga) Desa Pakraman Darmasaba juga berlaku bagi keluar, yang artinya krama (warga) diluar krama Desa Pakraman Darmasaba yang melewati daerah desa pakraman saat penyepian tetap dikenai sanksi sangaskara danda (Lampiran foto 1)

Apabila dilihat dari teori hukum yang digunakan untuk pemecahan masalah ini adalah bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dengan manusia, dengan demikian bahwa pararem yang dibuat dalam sangkepan yang oleh warga (krama) desa pakraman tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 serta dengan isi dalam Pancasila.

Ada baiknya diketahui pendapat Emile Durkheim (1976: 502), yang mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud. Dengan mengikuti pandangan tersebut, dapat dikemukakan bahwa sanksi adat (reaksi adat, koreksi adat) merupakan bentuk tindakan ataupun usaha-usaha untuk mengembalikan ketidak-seimbangan termasuk pula ketidak seimbangan yang bersifat magis akibat adanya gangguan yang merupakan pelanggaran adat.

Wawancara dengan Bapak I Nyoman Jiguh, sebagai petajuh desa 7 Juli 2015 pukul 20.00 wita mengemukakan bahwa penerapan sangaskara danda ini telah berdasarkan sangkepan (rapat) desa yang dilakukan prajuru Desa Pakraman Darmasaba. Dasar diterapkannya pararem ini adalah sangkepan prajuru dan telah disampaikan ke krama desa oleh prajuru desa. Pararem ini diterapkan bertujuan untuk menjaga keheningan daripada hari raya berata panyepian.

Sebelum dibentuknya pararem ini seringkali ditemukan pada saat sipeng beberapa krama desa melakukan aktivitas diluar rumah, anak-anak bermain di jalan raya, dengan demikian

apa yang telah ditetapkan dalam aturan panyepian terdapat catur brata penyepian, diantaranya: 1. Amati geni artinya : tiada berapi-api, 2. Amati Karya artinya : tidak bekerja, 3. Amati Lelungan artinya : tidak bepergian, 4. Amati Lelanguan artinya : tidak melampiaskan indria. Berdasarkan dengan aturan Amati lelungan inilah pararem nyepi dibuat. Pararem ini telah diterapkan dalam Desa Pakraman Darmasaba telah kali 2 (kedua) terjadi pelanggaran adat. Pelanggaran adat yang pertama dilakukan oleh krama Desa Pakraman Darmasaba, sedangkan kedua dilakukan oleh warga yang berasal dari Desa Pakraman Peguyangan (Lampiran foto 2)

Terkait dengan alam pikiran Indonesia yang bersifat kosmis, Soepomo (1979: 112) mengemukakan bahwa yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang menganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna memulihkan kembali perimbangan hukum. Dengan demikian sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilitasator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Sanksi dalam fungsi tersebut, mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat adat di Bali. Demikan pentingnya sehingga terhadap tindak pidana (kejahatan dan pelanggaran) biasapun adakalanya dibebani sanksi adat meskipun pelakunya sudah dipidana sesuai dengan hukum positif (KUHP) http://yuliutomo.blogspot.com/2012/02/pidana-adat-tinjauan-kasus-adat-di-bali.html, diakses 12 Juli 2015.

Soerjono Soekanto dalam Wulansari, (2009 : 158) berpendapat bahwa hukum adat sebagai sarana pengendalian sosial dapat dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok lainnya atau oleh satu kelompok terhadap individu. Itu semuanya merupakan proses pengendalian social yang terjadi sehari-hari, walaupun seringkali manusia tidak menyadarinya. Pengendalian sosial pada dasarnya merupakan pengekangan atau pembatasan terhadap satu tingkah laku dan pembetulan tingkah laku dari individu maupun

Page 10: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

111PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

kelompok yang pada dasarnya sebagai usaha untuk menciptakan satu tata nilai atau kaidah-kaidah agar tercipta satu kedamaian atau ketentraman di dalam masyarakat. Oleh karena itu, pengendalian sosial juga merupakan usaha untuk menilai tingkah laku karena perbaikan itu berangkat dari penilaian yang diberikan oleh satu kelompok kepada individu atau sebaliknya. Penilaian inilah kemudian yang disebut sesuai atau tidak sesuai dengan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang ada, menjadi panutan bersama, landasan panutan yang kemudian disebut hukum, dan dalam hal ini yang dimaksudkan adalah hukum adat.

Wawancara dengan Bapak I Wayan Rajiawan, 10 Juli 2015, pukul 18.00 Wita mengatakan bahwa dasar berlaku daripada sangaskara/dewa danda berdasarkan pararem Desa Pakraman Darmasaba yang telah melalui tahapan, dengan diakhiri dengan sosialisasi kepada krama (warga). Dasar ditetapkan pararem ini untuk menjaga keheningan dan kedamaian dalam perayaan hari nyepi. Sebelum ditetapkan pararem ini aktivitas krama (warga) serta anak-anak melakukan kegiatan pada saat catur brata penyepian ini dilakukan sehingga dalam hari nyepi aktivitas diluar rumah serta dijalan seperti biasa dilakukan. Menunjuk daripada keadaan tersebut krama dan prajuru desa melakukan sangkepan (rapat) untuk membahas tentang krama (warga) desa pakraman tentang aturan-aturan yang bisa diterapkan untuk menghormati kegiatan nyepi. Berdasarkan hasil sangkepan desa pakraman bersama prajuru desa dibuat dan ditetapkan serta disosialisasikan kepada krama (warga) Desa Pakraman Darmasaba yang masih berlaku sampai sekarang. Didalam penerapan ini telah dilanggar 2 (dua) kali oleh krama (warga), pertama oleh krama (warga) Desa Pakraman Darmasaba, dan dari krama (warga) dari Desa Pakraman Peguyangan (Lampiran foto 3).

Soerojo Wignjodipoero, (1982 : 14-15) dalam Wulansari, (2012 : 105) mengatakan bahwa disamping Penjelasan UUD 1945 dapat kita lihat dalam pembukaan UUD 1945 pada pokok-pokok pikiran yang menjiwai perwujudan cita-cita hukum dasar negara adalah Pancasila. Dengan demikian, bangsa Indonesia mempunyai dasar-dasar ataupun sumber tertib hukum baru, hukum yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia untuk mengatur tata tertib hidup

bangsa dan masyarakat Indonesia baru yang bebas dari sisa-sisa ciri penjajahan.

Penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum inilah sangat besar artinya bagi hukum adat, karena hukum adat justru berurat berakar kepada kebudayaan rakyat, sehingga dapat menjelmakan perasaan hukum yang nyata dan hidup di kalangan rakyat dan dengan demikian mencerminkan kepribadian bangsa dan masyarakat Indonesia. Maka pada hakikatnya menempatkan hukum adat pada posisi yang baru dalam tata perundang-undangan negara Indonesia. Secara tersirat, sebenarnya hukum adat dapat juga ditemukan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang masih menetapkan bahwa segala Bangsa dan Negara serta Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini, sehingga Pasal 131 ayat (6) jo Pasal 131 (ayat 2) sub b IS masih tetap berlaku, namun dengan penegasan Pancasila sebagai sumber tertib hukum dimaksud diatas, maka penerapan pasal-pasal perundang-undangan warisan zaman kolonial tersebut kini dijiwai oleh pokok-pokok pikiran yang bersumber pada Pancasila dan tidak lagi berorientasi pada “Aglemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie”. Hukum adat merupakan satu-satunya hukum yang berkembang diatas kerangka dasar pandangan hidup rakyat dan bangsa Indonesia, maka hukum adat selanjutnya akan merupakan sumber yang paling utama dalam pembinaan tata hukum nasional Negara Republik Indonesia.

Pararem nyepi di Desa Pakraman Darmasaba yang telah dibuat dan ditetapkan oleh prajuru desa berlaku :

1. Intern (Bagi krama Desa Pakraman Darmasaba)

Pararem ini dibuat untuk mengatur ketertiban dalam melaksanakan perayaan catur brata penyepian untuk wilayah Desa Pakraman Darmasaba. Perayaan hari raya nyepi merupakan Tahun Baru Saka, yang disambut dengan melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, sesuai dengan Catur Brata Penyepian, yaitu :1. Amati Geni Secara lahiriah tidak menyalakan api

baik siang maupun malam, tidak memasak dan tidak menyalakan lampu penerangan. Tidak memasak

Page 11: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

112DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

makanan, karena bagi mereka yang berpuasa, mereka tidak akan menikmati makanan atau minuman, sedang bagi yang tidak berpuasa (anak-anak, orang sakit) makanannya dipersiapkan sehari sebelum dan lampu pun dapat dinyalakan (diberikan semacam dispensasi) pada keluarga yang mempunyai bayi, keluarga sakit atau ada kematian. Dengan padam api secara Sekala maka diri (rohani/jnana) dan bhakti kepada Sang Hyang Widhi dapat ditingkatkan.

2. Amati Karya Berarti tidak melaksanakan kerja

phisik sebagai upaya untuk melaksanakan tapa, brta, yoga, semadhi. Tapa berarti pengekangan indriya, brata berarti taat dan tangguh terhadap janji/tekad untuk melaksanakan yoga. Yoga berarti menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi dan Semadhi berarti pemusatan pikiran untuk mencapai kebahagiaan sejati. Amati Karya secara phisik, bagi umat yang awam dapat dialihkan dengan membaca kitab-kitab suci, seperti Bhagawadgita, Upanisad dan lain-lain.

3. Amati Lelungan Kata lunga berarti pergi atau

bepergian. Amati lelungan dimaksudkan tidak bepergian kemanapun. Jadi harus tinggal di dalam rumah. Tidak bepergian kemanapun dalam arti tidak keluar rumah adalah upaya mendukung kegiatan tapa, brata, yoga, dan semadhi.

4. Amati Lelanguan Kata langu berarti indah, asyik,

mulia, mempesona dan sejenisnya. Amati lelanguan berarti tidak menikmati keindahan atau sesuatu yang mengasikan seperti menikmati hiburan music, lagu, tari, dan lain-lainya. Pikiran dipusatkan untuk menenangkan keagunganNya, untuk mulat sarira (introspeksi) dan mendengar suara alam tanpa

aktivitas manusia.

2. Ekstern (berlaku bagi krama diluar Desa Pakaraman Darmasaba)

Pararem ini, khusus catur brata penyepian aturan-aturan yang dibuat dan berlaku sama dengan aturan-aturan yang berlaku bagi krama (warga) Desa Pakraman Darmasaba. Aturan-aturan yang dimaksud larangan catur brata penyepian, amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelanguan.

Wawancara dengan Bapak I Wayan Gatra, 10 Juli 2015, pukul 15.00 wita mengatakan bahwa pararem nyepi dibuat untuk menjaga ketertiban, kedamaian, serta lebih memaknai hari raya yang merupakan hari suci umat Hindu, kalau tidak kita menjaga siapa lagi? Pararem ini pernah terjadi pelanggaran 2 (dua) kali, pertama dari krama Desa Pakraman Darmasaba, yang kedua dari krama (warga) Desa Pakraman Peguyangan. Penerapan kedalam dan keluar merupakan pararem yang telah disahkan dan bertujuan untuk menghormati proses upacara dalam hari penyepian, di antaranya: Melasti, Tawur kesanga, Catur berata penyepian, Ngembak geni (Lampiran foto 4).

Pararem ini bersifat universal dan telah disetujui, dan ditetapkan oleh prajuru Desa Pakraman Darmasaba untuk menjaga ketertiban, kedamaian, keheningan, ketenangan, serta kebahagiaan lahir dan bathin sesuai dengan konsep ajaran ‘Samkhya Yoga”, yaitu mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi, dimana didalamnya terkandung ajaran-ajaran kesucian, ajaran pengendalian diri.

2.4 Bentuk Sangaskara Danda2.4.1 Keberlakuan Hukum adat BaliDalam Perundang-undangan, praktek

peradilan dan ilmu pengetahuan dikenal suatu istilah yakni: Hukum Adat. Prof Imam Sudayat, berpendapat bahwa istilah hukum adat itu adalah terjemahan dari suatu istilah asing, yaitu recht. Orang yang pertama kali menggunakan istilah Adat Recht adalah Dr.C.Snauck Hugronje. Istilah tersebut dipergunakan dalam buku karangannya yang berjudul “De Atjehers” (Orang Atjeh). Yang mempergunakan istilah tersebut adalah C.Van Vollenhoven.

Dikalangan rakyat istilah yang dikenal bukanlah hukum adat melainkan adat. Adapula

Page 12: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

113PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

yang mengatakan berasal dari Bahasa Sanskerta yakni : a yang berarti : bukan dan dato yang berarti: sifat kebendaan. Dengan demikian maka adat sebenarnya berarti sifat inmaterial, artinya adat yang menyangkut hal-hal yang berkaitan sistem kepercayaan (Lestari, 1999 : 4).

Hukum adat Bali adalah kompleks norma-norma, baik dalam wujudnya yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan hukum adalah tujuan hidup itu sendiri yaitu terciptanya kesejahteraan umat manusia yang diterjemahkan sebagai kehidupan “sukerta sakala niskala”. Dalam konsep orang Bali, untuk mencapai tujuan hidup tersebut, maka harus senantiasa dijaga dan diusahakan adanya keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama manusia, hubungan antara manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan Tuhan. Apabila keharmonisan hubungan itu terganggu maka haruslah ada upaya-upaya atau tindakan-tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan tersebut, berupa reaksi adat atau sanksi adat.

Untuk membedakan adat yang tidak bersifat hukum dan adat yang mempunyai sifat hukum (hukum adat) dapat ditemukan banyak contoh dalam kehidupan masyarakat Bali. Salah satunya adalah adat kundangan dan adat majenukan. Keduanya adalah bentuk konkrit dari asas tolong menolong (manyama braya) yang masih sangat kuat diikuti dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam kedua perbuatan tersebut, umumnya ada barang-barang bawaan yang diberikan kepada keluarga yang dikunjungi. Dalam hal ini kundangan, sudah lama menjadi adat kebiasaan orang Bali untuk membawa barang berupa benda (“kado”) ataupun belakangan sudah sering berupa uang dalam amplop yang diserahkan kepada keluarga yang mengundang. Apabila pengunjung tidak membawa apa-apa, tidak menimbulkan akibat hukum (sanksi hukum), paling-paling rasa malu sebagai bentuk sanksi moral.

Dalam kepustakaan hukum adat, perbuatan illegal tersebut sering disebut dengan istilah delik adat atau pelanggarana adat atau pidana adat. Masyarakat Bali istilah yang lazim

digunakan adalah istilah-istilah seperti : salah, sisip, dosa dan lain-lain. Dalam awig-awig, dikenal suatu istilah teknis untuk menyebut hal itu,yaitu istilah “wicara” yang mengandung makna sebagai persoalan hukum yang berupa pelanggaran hukum adat (awig-awig) ataupun persoalan hukum yang berupa sengketa.

Ter Haar dikutip Windia, (2006 : 137) Mengenai pelanggaran adat (delik adat), menulis bahwa “...di masyarakat-masyarakat hukum kecil rupa-rupanya yang dianggap suatu pelanggaran (delict) ialah setiap gangguan segi satu pada (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-barang kehidupan materiil dan imatereel orang seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan); tindakan itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya ditetapkan oleh hukum adat ialah reaksi adat (adatreactie); karena reaksi mana keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).

Sebelum istilah hukum adat ditemukan, ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut hukum yang berlaku bagi golongan Bumi Putra pada zaman pemeriantahan Kolonial Belanda, seperti : Van Imhoff (1747) (de Javanese wetten, voorsover ze bij ons tollerabel zinj). Undang-undang Jawa sejauh dapat kita terima”. William Marsden (1754) customs of the country dan customs and manners of the native inhabitants. Staatsblad No, 42 (1825) “undang-undang peribumi atau agama (Islandse of godsdienstige wetten). Dalam Indische Staatsregeling/I.S (1929) Pasal 134 ayat 2, baru dipergunakan istilah “hukum adat” (adattrecht). Istilah hukum adat Bali diperkenalkan sekita tahun 1932 oleh V.E Korn dalam bukunya Het Adatrecht van Bali. (Windia, 2014 : 70)

III. PENUTUP

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, di antaranya :

1. Bahwa penerapan sangaskara danda di Desa Pakraman Darmasaba, didasarkan atas Pararem nyepi di Desa Pakraman Darmasaba yang telah dibuat dan ditetapkan oleh prajuru desa berlaku

Page 13: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

114DHARMASMRTI

Nomor 18 Vol. I Mei 2018 : 1 - 134

Bagi krama Desa Pakraman Darmasaba dan krama diluar Desa Pakaraman Darmasaba.

2. Adapun bentuk sangaskara danda yang masih diberlakukan di Desa Pakraman Darmasaba, berupa upacara: a) Mecaru desa, Panca Sata Upacara ini dilaksanakan di Pura Bale Agung tepatnya di natar Bale Agung, dipuput oleh Jro Mangku Kahyangan Tiga, Pura Desa, Pura Puseh Dan Pura Dalem yang dihadiri juga oleh pelanggar adat dan keluarganya, serta disaksikan oleh prajuru desa Pakraman Darmasaba. b). Nyapuh ring Kahyangan, upacara ini dilaksanakan karena melakukan kegiatan membunyikan kulkul pejenengan Ida Bhatara yang hanya bisa dibunyikan oleh Jro Mangku Desa Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Darmasaba.

3. Proses Penyelesaian Sangaskara danda di Desa Pakraman Darmasaba digunakan Proses mediasi. Proses mediasi yang dilakukan oleh Desa Pakraman Darmasaba dalam menyelesaikan sanksi pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan proses mediasi yang dikembangkan pada era modern. Secara

garis besar proses mediasi dalam hukum adat dapat dikemukakan sebagai berikut : Pertama, Sangkep (rapat) prajuru dan pemangku kahyangan tiga Desa Pakaraman Darmasaba membahas tentang pelanggaran hukum adat di wantilan Pura Desa; Kedua, Mesadok (mengunjungi) ke rumah si pelaku untuk melakukan pendekatan dan memberikan surat tentang pelanggaran pararem nyepi; Ketiga, Melakukan mediasi dengan si pelaku serta keluarga untuk musyawarah mufakat tentang sanksi yang dikenakan; Keempat, Sangkep (rapat) prajuru beserta pemangku kahyangan tiga Desa Pakraman Darmasaba dihadiri si pelaku atau keluarga dekat serta kelian adat bersangkutan untuk kesanggupan hari baik pelaksanaan mecaru desa, Panca Sata. Kelima, Pelaksanaan upacara mecaru, Panca Sata di natar Pura Bale Agung Desa Pakraman Darmasaba, dihadiri sebagai saksi : a) Pemangku Kahyangan Tiga, Desa Pakraman Darmasaba; b). Prajuru Desa; c). Si pelaku dan keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Artadi, I Ketut, 2012, Hukum Adat Bali Dengan Aneka Masalahnya. Denpasar: Pustaka Bali Post.Bernard L. Tanya, dkk. 2010. “Teori Hukum” Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi.

Yogyakarta : Genta Publishing.Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis Ke Arah Ragam

varian Kontemporer. Jakarta: PT.Rajagrafindo Persada.Courbery, HM & White, ND 1966; Textbook on Jurisprudence, London: Blackstone Press Limited.Dewi, Ni Ketut Suryati Puspita, 2014. “Peranan Prajuru Adat Dalam Penyelesaian Kasus Drati Krama

Di Desa Pakraman Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli”. Program Studi Hukum Agama Hindu, Fakultas Dharma Duta, Institut Hindu Dharma Denpasar.

Dharmayudha, I Made Suasthawa, 2001. Desa Adat Kesatuan Ekasana, I Made swastika. 2002. Hukum Acara Pidana (Vyavahara Acara) Sekolah Agama Hindu

Negeri.Gulo. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia Widia Sarana IndonesiaH. Hilman Hadikusuma, 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat: Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian

Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, dan Seni. Yogyakarta: ParadigmaKaler, I Gusti Ketut, 1994. Butir-Butir Tercecer Tentang Adat Bali. Denpasar: Kayumas Agung. Kusumadi Pudjosewojo. 1976. Pedoman Pelajaran tata Hukum Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.

Page 14: penerapan sangaskara danda di desa pakraman darmasaba ...

115PENERAPAN SANGASKARA DANDA DI DESA PAKRAMAN DARMASABA,

KECAMATAN ABIANSEMAL, KABUPATEN BADUNGI Putu Sarjana

Lorens, Bagus, 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.Maswinara, I Wayan, 1999. Parasara Dharmasastra (Smrti Kaliyuga). Surabaya: Paramita.Moleong, Lexy J.2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pustaka Pelajar.Nasution. 1992. Metode Research. Jakarta: Bumi AksaraOtje Salman Dan Anthon F.Susanto. Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembal).

Bandung: PT.Refika Aditama.Parimarta I Gde, 1998. Desa Adat dalam Perspektif Sejarah”, Dinamika Kebudayaan Vol.1. Denpasar:

Universitas Udayana.Pudja G dan Sudharta Tjokorda Rai, 2004. Manava Dharmasastra (Manu Dharmasastra/Weda Smrti

(Compendium Hukum Hindu). Surabaya: ParamitaPurbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 1983. Menelusuri Sosiologi Hukum Negara. Jakarta:

CV. Rajawali.R. Soepomo, 1967. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.………. 1977. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita.R. Van Dijk, 1964. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Sumur.Rifahi Al Hanif, 2000. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya.Sabian Utsman, 2014. Metodologi Penelitian Hukum Progresif. Jakarta: Pustaka PelajarSoerojo Wignjodipuro, 1973. Pengantar dan asas-asas Hukum Adat. Bandung: Alumni.Santika, Gede, 2011. “Penerapan Sanksi Adat Terhadap Perkelahian Menurut Awig-awig Adat Desa

Keliki Kawan, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar” Program Hukum Agama Hindu, Fakultas Dharma Duta, Institut Hindu Dharma Negeri Indonesia.

Solaeman Biasane Taneko, 1981 . Dasar-dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat. Bandung: Alumni.Soerjono Soekanto, 1976. Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di

Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.Sudantra, I Ketut, 2001. Pola Penyelesaian Persoalan-persoalan Hukum Oleh Desa Adat. Dinamika

Kebudayaan III (1). Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar.Sugiyono, 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D).

Bandung: AlfabetaSusila, I Made Ngurah Agus, 2014. “Peranan Desa Pakraman Dalam Penerapan Awig-awig Sebagai

Salah Satu Nilai Budaya Di Desa Pakraman Pengrerengan, Kecamatan Selemadeg Barat, Kabupaten Tabanan”. Program Studi Hukum Agama Hindu, Fakultas Dharma Duta, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Suyasa, I Wayan Iwan, 2012. “Penerapan Sanksi Adat Kasepekang Terhadap Pelaku Penggelapan Tanah Adat di Banjar Tohjiwa Desa Pakraman Nyambu, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan”. Program Studi Hukum Agama Hindu, Fakultas Dharma Duta, Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Tim Peneliti Pusat Studi Hukum Adat, 2001. Kedudukan Desa Adat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Setelah Berlakunya UU No.22 Tahun 1999 di Kabupaten Gianyar. Lembaga Penelitian Universitas Udayana, Denpasar.

Tim Penyusun Penyempurnaan Kamus Bahsa Bali-Indonesia. 1993. Kamus Bahasa Bali- Indonesia. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali

Widnyana, Made, 1993. Kapita Selekta Hukum Pidana Adat. Bandung: PT.Eresco.Windia, Wayan P. Dan Sudantra I Ketut, P. 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. Denpasar: Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Negeri Udayana. ,2014. Hukum Adat Bali Aneka Kasus dan Penyelesaiannya. Denpasar: Udayana University

Press.Wiana, I Ketut, 2004. Mengapa Bali disebut Bali. Surabaya: Paramita.Wulansari, C, Dewi. 2014. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Cetakan ke-II. Bandung: PT.Refika

Aditama.Zamroni, 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana