i PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH DALAM FATWA MUI NOMOR 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : Yusuf Djamaluddin NIM: 1111043100017 KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
75
Embed
PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH DALAM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/42577...pernikahan beda agama menyebabkan salah satu dari suami istri yg beragama Islam untuk
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH DALAM FATWA MUI NOMOR
4/MUNAS VII/MUI/8/2005 TENTANG PERKAWINAN
BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Yusuf Djamaluddin
NIM: 1111043100017
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
ii
PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH DALAM FATWA MUI NOMOR
4/MUNAS VII/MUI/8/2005 TENTANG PERKAWINAN
BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Yusuf Djamaluddin
NIM: 1111043100017
Di Bawah Bimbingan:
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH
PRODI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
v
ABSTRAK
Yusuf Djamaluddin (1111043100017), Penerapan Sadd al-Dzari’ah Dalam
Fatwa Mui Nomor 4/Munas VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda
Agama. Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di Indonesia terdapat lembaga yang bertugas mengeluarkan fatwa
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat,
khususnya dalam persoalan agama islam yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI),
mengenai pernikahan beda agama MUI memberikan fatwa haram dengan
berhujjad berdasarkan Sadd al-Dzari‟ah. Adapun pengertian Sadd al-Dzari‟ah
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah, Untuk
mengetahui bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa MUI tentang
perkawinan beda agama.
Metode penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif dengan
pendekatan normatif, serta metode perbandingan hukum. Adapun teknik
pengumpulan data dilakukan dengan kajian kepustakaan, dan penelitian lapangan
Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisa pendapat beberapa ulama dari
beberapa madzhab. Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan
melakukan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai tokoh
dari dua organisasi masyarakat terkemuka yaitu Nahdhatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Dalam penelitian ini salah satu anggota MUI Prof. Huzaemah Tahido
Yanggo, menerangkan aspek penerapan saad adzariah dalam fatwa ini karena
pernikahan beda agama menyebabkan salah satu dari suami istri yg beragama
Islam untuk pindah beragama, oleh sebab itu nikah beda agam dicegah oleh ulama
untuk mencega madharat yang nyata yakni terjadinya pindah agama. Selain itu
pelarangan nikah beda agama bertujuan agar terwujud ketentraman keluarga dan
dikhawatirkan anak dari hasil pernikahan dengan non muslim ini kelak mengikuti
agama non muslim. Selain itu agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga.
Kata Kunci : Fiqih, Fatwa MUI, Pernikahan Beda Agama
Dosen Pembimbing: Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA, dan H. M. Riza Afwi, LC,
MA
Daftar Pustaka: Tahun 1975 s/d 2015
vi
بسن هللا الشحوي الشحن
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa
memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul
“Penerapan Sadd al-Dzari’ah Dalam Fatwa Mui Nomor 4/Munas
VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama” dapat terselesaikan.
Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah menuju
zaman Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, sahabat-sahabat-Nya, tabi‟in,
tabi‟it tabi‟in, dan kita sebagai umat-Nya semoga mendapatkan syafa‟at-Nya
kelak.
Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing,
membantu dan memotivasi penulis, terutama:
1. Bapak. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1. Bapak. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna,
S.Ag, Lc, MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan
vii
Hukum yang sekaligus merangkap sebagai Dosen Pembimbing Akademik
yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada
penulis selama masih dalam masa kuliah.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji. MA dan Bapak H. M. Riza Afwi, LC,
MA. Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta
memberikan bimbingan, pengarahan dan dorongan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah membekali
dengan ilmu yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang
memberikan motivasi, serta kesabaran dalam mendidik selama penulis
melakukan studi.
4. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu
memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian
prosedur kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah berkenan
meminjamkan buku-buku penunjang, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang tua tercinta, Ayahanda KH. Djamaluddin Abu Bakar Sulaiman dan
Ibunda Hj. Ratu Kuraesyin Tohir Falak yang sangat berperan dalam
mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran
dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do‟a dan dukungan baik
viii
secara moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
6. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung
dan menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Ajiz, Uje,
yang lainnya, semoga Allah memberikan kemudahan dalam menyusuri
kehidupan kita selanjutnya.
7. Terimakasih kepada Ayu Larasati Munfiq yang selalu memberikan
semangat, dan selalu bersedia mendengarkan keluh kesah selama proses
penulisan skripsi ini.
8. Semua pihak yang telah membantu, serta memberi nasehat, sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, dan semoga mereka yang
telah membantu diberikan ganjaran yang setimpal. Amin.
Jakarta: 22 April 2016 M
14 Rajab 1437 H
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 5
D. Review Studi Terdahulu .................................................... 6
E. Metode Penelitian .............................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................ 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH BEDA AGAMA 13
A. Pengertian Tentang Nikah Beda Agama ............................ 13
B. Hukum Pernikahan Beda Agama ....................................... 16
C. Ayat dan Tafsir Tentang Nikah Beda Agama .................... 25
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS
ULAMA INDONESIA ........................................................ 28
A. Sejarah Majlis Ulama Indonesia ........................................ 28
B. Metode pengambilan Fatwa MUI ...................................... 31
C. Fatwa MUI Tentang Nikah Beda Agama .......................... 36
x
BAB IV : ANALISIS PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH TERHADAP
FATWA MUI TENTANG KAWIN BEDA AGAMA 41
A. Analisis Kedudukan Sadd al-Dzari‟ah
Dalam Hukum Islam.......................................................... 41
B. Analisis Penerapan Sadd al-Dzari‟ah Terhadap Fatwa MUI Tentang
Nikah Beda Agama............................................................ 51
BAB V : PENUTUP............................................................................ 59
A. Kesimpulan......................................................................... 59
B. Saran................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan bagaian dari dimensi kehidupan yang bernilai
ibadah sehingga menjadi sangat membutuhkan teman hidup untuk
mewujudkan ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dalam hidup
berumah tangga, dengan perkawinan itu pula manusia dapat membentuk
keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa. Karena begitu pentingnya institusi
perkawinan tersebut sehingga agama-agama yang ada didunia ini ikut
mengatur masalah perkawinan itu, bahkan adat masyarakat serta institusi
Negara pun mengambil bagian dalam pengaturan masalah perkawinan.1
Perkawinan lintas agama dan atau beda agama dikalangan umat islam
menjadi topik perdebatan pro dan kontra, khususnya di Indonesia. Bagi
sementara kalangan yang mendukung kebolehan perkawinan beda agama
secara umum berpendapat bahwa kebolehan itu berdasarkan sitiran ayat yang
menyatakan kehalalan “Ahlul Kitab”, yaitu mereka yang mengikuti salah satu
ajaran agama Samawi. Dan bagi yang mengharamkan hubungan perkawinan
antara seorang muslim kepada non-muslim pun juga berargumentasi dengan
Nash yang dipahami sebagai larangan. Bahkan kelompok ini cendrung
menyamakan antara “Ahlil Kitab” dan “Musyrik”.2
1 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, (PT.Prima
Heza Lestari, tt), h. 75.
2 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, h. 75.
2
Bagi mereka yang berpendapat boleh melakukan perkawinan muslim
kepada non muslim memberi penjelasan bahwa kebolehan itu terbatas pada kaum
ahlul kitab dan bukan musyrik. Menurut kelempok tersebut, memang terdapat
perbedaan yang signifikan diantara keduanya, sehingga penyebutannya perlu
diwaspadai.3
Dalam konteks ini, kepercayaan agama merupakan suatu landasan yang
mengisi setiap jiwa, mempengaruhinya, menggambarkannya perasaannya,
membatasi semua pengaruh jiwa dan kehendaknya serta menentukan jalan
kehidupan yang bakal ditempuhnya. Walaupun demikian masih banyak orang
yang terkecoh dengan masalah agama sehingga mereka menduga bahwa masalah
agama hanyalah sekedar perasaan yang ada dalam jiwa saja dan bisa diganti
dengan beberapa filsafat atau beberapa aliran sosial. Hal semacam ini merupakan
suatu asusmsi yang diakibatkan karena kepicikan pengetahuan tentang hakikat
jiwa insan dan elemen-elemen yang realitis dan disebabkan kebodohannya
terhadap realita jiwa dan pembawaan kodratnya.4
Kedatangan Islam membawa nilai-nilai yang agung. Islam
menyempurnakan tata cara perkawinan dari sifat-sifat kebinatangan, serta
berusaha menempatkannya pada kedudukan yang mulia guna mengatur
hubungan laki-laki dan wanita yang berderajat tinggi dan sebagai makhluk yang
3 Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan Dan Solusinya, h. 75.
4 Abdul Mutaal Muhammad Al-Jabry, Perkawinan Campuran Menurut Pandangan
Islam,( Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1991), h. 14.
3
mulia dan utama dibanding dengan makhluk Tuhan lainnya. Kedatangan Islam
juga menyikap makna-makna hakiki sebuah perkawinan.5
Di Indonesia mengenai perkawinan beda agama diatur dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 2 yang menjelaskan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya.
Sehingga penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan
agama. Hal ini juga berarti bahwa hukum agama menyatakan perkawinan beda
agama adalah tidak boleh, maka begitupula pula menurut hukum Negara. Jadi
dalam perkawinan berbeda agama yang menjadi boleh tidaknya tergantung pada
ketentuan agama.6
Perkawinan beda agama bagi masing-masing pihak menyangkut akidah
dan hukum yang sangat penting bagi seseorang hal ini berarti menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara
pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agama masing-masing.
Kenyataannya dalam kehidupan masyarakat bahwa dalam perkawinan beda
agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku secara positif di Indonesia, telah jelas dan
tegas menyatakan bahwa sebenarnya perkawinan beda agama tidak diinginkan,
karena bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Tetapi ternyata
5 Kholid Bin Ali Muhammad Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1993), h. 18-19.
6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2.
4
perkawinan beda agama itu masih saja terjadi dan akan terus terjadi sebagai
interaksi sosial diantara seluruh warga Indonesia yang pluralis agamanya.7
Kemudian hukum positif selanjutnya yang membahas mengenai
pernikahan beda agama terdapat di dalam KHI pasal 40 dimana seorang pria
dilarang melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam,
dan pada pasal 44 disebutkan bahwa seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.8
Di Indonesia terdapat lembaga yang bertugas mengeluarkan fatwa
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam masyarakat,
khususnya dalam persoalan agama islam yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI),
mengenai pernikahan beda agama MUI memberikan fatwa haram dengan
berhujjad berdasarkan Sadd al-Dzari‟ah. Adapun pengertian Sadd al-Dzari‟ah
adalah menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau kejahatan.9
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengangkat masalah
tersebut untuk dijadikan penelitian dalam bentuk karya ilmiah (skripsi) dengan
judul “Penerapan Sadd al-Dzari’ah Dalam Fatwa MUI Nomor 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama
7 Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta:Kencana, 2005), h. 172
8 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h. 172.
9 Satria Efendi, Ushul Fiqh, h. 172.
5
B. Batasan Dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perlu adanya
pembatasan yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. untuk
mengefektifkan dan memudahkan pembahasan, maka penulis membatasi
permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada penerapan sadd al-Dzari‟ah
dalam fatwa MUI tentang perkawinn beda agama.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
permasalahan yaitu :
1. Bagaimana kedudukan sadd al-Dzari‟ah dalam hukum Islam?
2. Bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa MUI?
3. Bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa MUI tentang
perkawinan beda agama?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan sadd al-Dzari‟ah dalam
hukum Islam
b. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam
fatwa MUI
c. Untuk mengetahui bagaimana penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam
fatwa MUI tentang perkawinan beda agama
6
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan informasi pada masyarakat umum khususnya warga
muslim terhadap fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor : 04
Tahun 2005 Tentang Perkawinan Beda Agama.
b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi
peneliti
4. Review Studi Terdahulu
Penelitian tentang pembahasan ini memang bukan penelitian yang
pertama, penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh:
1. Wahyu Sunandar, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, 2011 berjudul Fatwa Majlis
Ulama Indonesia (MUI) tentang beda agama dan respon para pemuka agama
tehadapnya. Dalam penelitian ini membatasi masalah pada perbedaan antara
perkawinan beda agama menurut fatwa MUI No: 4/MunasVII/MUI/8/2005
penelitian ini berkesimpulan bahwa fatwa yang dikeluarkan oleh Majlis
Ulama Indonesia tentang pernikahan beda agama adalah kurang relevan.
Karena sepertinga MUI hanya mengambil keputusan berdasarkan teks-teks
suci tanpa melihat realita dan pendapat dari agama-agama lain. Karena
pernikahan beda agama bukan menyangkut Islam saja tetapi lebih bersifat
umum antar agama lainnya.
Persamaan penelitian saudara Wahyu dengan penlitian saya sama-sama
membahas pernikahan beda agama menurut Islam. Adapun perbedaannya yang
7
menjadi subyek penelitian ini adalah penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa
MUI tentang perkawinan beda agama.
2. Liza Suci Amalia, SH, Tesis, Fakultas Hukum, 2003 berjudul Perkawinn Beda
Agama Menurut Hukum Islam. Dalam penelitian ini membatasi masalah pada
perbedaan antara perkawinan beda agama menurut hokum Islam, penelitian
ini berkesimpulan bahwa al-Qur‟an membolehkan laki-laki muslim menikah
dengan perempuan ahli kitab, dan sebgaian ulama juga ada yang
membolehkan pesempuan Muslim kawin dengan laki-laki non-muslim apabila
keadaan memungkinkan, tetapi hokum perkawinan di Indonesia melarangnya.
Bagi umat Islam, yang menjadi acuan larangan diadakannya perkawinan beda
agama adalah Kompilasi Hukum Islam, fatwa Majlis Ulama Indonesia, dan
organisasi-organisasi Islam ( seperti Muhammadiyah dan NU), serta beberapa
hokum Islam dan kitab-kitab fikih, yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-
Hadist.
Persamaan penelitian saudari Liza Suci Amalia dengan penlitian saya
sama-sama membahas pernikahan beda agama menurut Islam. Adapun
perbedaannya yang menjadi subyek penelitian ini adalah penerapan sadd al-
Dzari‟ah dalam fatwa MUI tentang perkawinan beda agama.
3. Dedi Irawan, Skripsi, Fakultas Ushuluddin, 2010 berjdul pernikahan beda
keyakinan dalam al-Qru‟an (Analisis penafsiran al-Maraghi atas Q.S al-
Maidah ayat 5 dan Q.S al-Baqarah ayat 221). Dalam penelitian ini membatasi
masalah dengan melihat bagaimana pemahaman Al-Maraghi tentang
8
pernikahan beda agama melalui surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Maidah ayat
5. Kesimpulan dari penelitian ini adalah laki-laki muslim tidak boleh
menikahi wanita musyrik, karena walaupun laki-laki adalah pemimpin rumah
tangga, akan tetapi orang musyrik itu selalu mengajak untuk terjerumus dalam
kemusyrikan. Wanita muslimah tidak boleh menikahi laki-laki non-muslim
baik dari kalangan musyrikin maupun kalangan ahlul kitab, karena ditakutkan
wanita tersebut akan mengikuti agama suaminya.
Persamaan penelitian saudara Dedi Irawan dengan penelitian saya adalah
bagaimana pernikahan beda agama menurut hokum Islam pada ayat al-Quran.
Adapun perbedaannya, lebih focus pada penerapan sadd al-Dzari‟ah dalam fatwa
MUI tentang perkawinan beda agama.
5. Metode Penelitian
Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta
mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang
sistematis. Dalam ilmu metode penelitian terdapat berbagai macam jenis
penelitian yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi
tercapainya hasil yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas metode
penelitiannya, mulai dari jenisnya, sumber-sumbernya dan teknik-teknik
pengolahan datanya, seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan cara
9
menguraikan dan mendeskripsikan hasil dari penelitian yang peneliti dapatkan
melalui penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini bersifat terbatas yang
berusaha mengungkapkan masalah dan keadaan sebagaimana adanya, sehingga
hanya merupakan penyingkapan fakta.10
Adapun corak penelitian yang dipakai adalah studi kepustakaan dan
penelitian lapangan. Studi pustaka adalah suatu karangan ilmiah yang berisi
pendapat berbagai pakar mengenai suatu masalah, yang kemudian ditelaah,
dibandingkan, dan ditarik kesimpulannya.11
Dalam penelitian ini, peneliti akan
menganalisa pendapat beberapa ulama dari beberapa madzhab. Penelitian
lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan melakukan wawancara.
Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai tokoh dari dua organisasi
masyarakat terkemuka yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
1. Sumber Data
a) Data Primer
Yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah
penelitian. Seperti kitab-kitab fiqih yang berkaitan dengan pokok pembahasan
penelitian dan hasil wawancara yang dicatat dan direkam oleh peneliti dengan
informan yang sedang dijadikan sampel dalam penelitian.
10
Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1992), h. 10.
11
Haryanto A.G., Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah, (Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran, 2000), h. 78.
10
b) Data sekunder
Data sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian yang didapat dari bahan-bahan pustaka berupa
buku, artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.12
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kajian kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematis dan melakukan
analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan
dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. 13
Selain itu,
peneliti juga akan melakukan wawancara yakni proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan menggunakan instrument pengumpulan data yang
dinamakan interview guide (panduan wawancara).14
3. Teknik Analisis Data
12
J.Moelang, Metode Penelitian Kualitatif, cet. Ke-8 (Bandung:Remaja Rosada Karya,
1997), h. 112-116.
13
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.
14
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.
11
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan
diinformasikan kepada orang lain.15
Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut
dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode
menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu
gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
6. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang
masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud
tulisan ini. Pembagian kedalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk
memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun pembagiannya
adalah sebagai berikut :
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004),
h.244
12
BAB I PENDAHULUAN
Meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
Meliputi pengertian tentang nikah beda agama, ayat dan tafsir
tentang kawin beda agama, hukum pernikahan beda agama.
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS ULAMA
INDONESIA
Meliputi Sejarah Majlesi Ulama Indonesia, Metode
Pengambilan Fatwa MUI, Fatwa MUI tentang kawin beda
agama.
BAB IV ANALISIS PENERAPAN SADD AL-DZARI’AH
TERHADAP FATWA MUI TENTANG KAWIN BEDA
AGAMA
Dengan bab ini penulis akan membahas mengenai analisis
kedudukan sadd al-dzariah dalam hukum Islam, analisis
penerapan sadd al-dzariah dalam fatwa MUI tentang kawin
beda agama.
BAB V PENUTUP YANG MELIPUTI KESIMPULAN DAN
SARAN
13
Dengan bab ini penulis akan mengakhiri penulisan ini dengan
memberikan beberapa kesimpulan dan juga akan
menyampaikan beberapa saran yang berhubungan dengan
kajian penulisan.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
A. Pengertian Tentang Nikah Beda Agama
Nikah secara bahasa adalah berkumpul atau bersetubuh atau akad secara
bersamaan adapun secara syariat, nikah adalah sebuah akad yang mana di
dalamnya terdapat kebolehan untuk bersenang-senang dengan perempuan yang
dinikahi.16
Adapun yang dimaksud perkawinan lintas agama adalah perkawinan
antara agama yaitu perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau seorang
wanita yang beragama Islam dengan seorang wanita atau dengan seorang pria
yang beragama Islam perkawinan antar agama di sini dapat terjadi dalam dua
bentuk, Pertama: Calon istri beragama Islam sedangkan calon suami tidak
beragama Islam baik itu Ahlul kitab atau orang musyrik. Kedua: Calon suami
beragama Islam sedangkan calon istri tidak beragama Islam atau musyrik.17
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai
upaya untuk menyalurkan nafsu seksualnya dalam bentuk rumah tangga yang
16
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, (Beirut: dar al-fikr, 2005), juz 3, h.
26.
17
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, h. 55.
14
bahagia sakinah mawadah warohmah guna melanjutkan keturunannya
dan dipandang ibadah bagi yang melaksanakannya sedangkan perkawinan
lintas agama adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria atau wanita
muslim dengan seorang pria atau wanita non muslim.18
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan lintas agama adalah perkawinan antar umat beragama yang
berbeda maka yang menjadi permasalahan rumit dan pelik di sini adalah
hukum perkawinan antar agama ini, hal ini disebabkan dalam sejumlah ayat
yang secara literal melarang dan mengharamkan perkawinan beda agama.
Itulah sebabnya mengapa kelompok eksklusif melarang dan mengharamkan
hukum perkawinan beda agama. Yang dimaksud dengan perkawinan beda
agama ialah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Misalnya perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang
wanita protestan dan sebaliknya.19
Beberapa karya yang membahas atau sekedar menyinggung
perkawinan beda agama antara lain: Hazairin dalam karyanya, peninjauan
mengenai undang-undang No. 1 tahun 1974. Ia secara tegas menyatakan
bahwa orang islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang
18
Wahbah Zuhaili, al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, h. 55.
19
Soetojo Prawirohamidjodjo, Pluralism dalam Perundang Undangan Perkawinan
di Indonesia, (Surabaya: airlangga Univesity press, 1988), h. 39.
15
hindu budha seperti yang dijumpai orang Indonesia.20
Selanjutnya Rusli dan
R. Tama mengemukakan, bahwa dari pengertian perkawinan yang
dirumuskan dalam pasal 1 undang-undang No.1 tahun 1974, maka yang
dimaksud dengan perkawinan beda agama ialah ikatan lahir dan ikatan batin
antara seorang pria dengan wanita, karena berbeda agama, menyebabkan
tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata
cara pelaksanaan perkawinan seusai dengan hokum agamanya masing-masng,
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekalberdasarkan ke-
Tuhanan yang Maha Esa. Dari rumusan tersebut, dapat diketahui bahwa
dalam perkawinan beda agama terkait adanya dua peraturan (hukum) agama
(yang berbeda) yaitu mengenai syarat-syaratnya dan tata cara pelaksanaan
perkawinan.21
Menurut I Ketut Manra SH dan I Ketut Artadi SH, perkawinan beda
agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
yang masing berbeda agamanya sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan
yang Maha Esa.22
Sedangkan menurut Abdurahman, SH perkawinan beda
20
Abdurachman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Bandung: Alumni 1978), h. 20.
21
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Pionir
Jaya, 1986), h. 17.
22
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja
Grapindo 1996), h. 36.
16
agama yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang
memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.23
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak memuat
ketentuan yang secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, tetapi
hanya mengatur perkawinan campuran yang mempunyai arti berbeda dengan
perkawinan beda agama. Dalam pasal 57 menyebutkan: Yang dimaksud
perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hokum yang berlainan karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan Indonesia. Karena
itu hal ini menjadi tidak jelas apakah perkawinan beda agama dilarang atau
diperbolehkan. Dalam pasal 29 ayat (2) undang-undang dasar 1945
ditentukan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agmanya
dan kepercayannya itu. Selanjutnya dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945
ditentukan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.24
B. Hukum pernikahan beda agama
1. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab
Menurut mayoritas ulama sepakat membolehkan laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab namun kebolehan tersebut juga terdapat perbedaan
pendapat yaitu:
23
O.S. Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek, h. 36.
24
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, h. 17.
17
a. Menurut mazhab Hanafi Maliki Syafi‟i dan Hambali laki-laki muslim
menikahi wanita ahli kitab hukumnya makruh.
b. Menurut sebagian pengikut mazhab Maliki seperti Ibnu Qosim dan
Holil menyatakan bahwa pernikahan tersebut diperbolehkan secara
mutlak.
c. Menurut Al Zarkasyi salah satu ulama Syafi‟i beliau berpendapat
bahwa pernikahan tersebut disunnahkan apabila wanita ahli kitab
tersebut diharapkan dapat masuk Islam seperti pernikahan Utsman bin
Affan dengan Nayla.25
2. Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita musyrik
Pernikahan laki-laki muslim dengan wanita kafir yang bukan ahli
kitab seperti wanita penyembah berhala atau majusi atau salah satu dari kedua
orang tuanya adalah orang kafir maka hukum menikahinya adalah haram.26
Dalam hal ini Yusuf Qardhawi juga mengharamkan perkawinan antara laki-
laki Muslim dengan wanita musyrik hal ini didasarkan pada firman Allah
surat al-Baqarah ayat 221:
25
M Ali Hasan, Masail Fiqhiyyah Al-Haditsah , Jakarta: PT Raja Grafindo 1998,
h. 13.
26
Imam Ghozali, A. Ma‟ruf Asrori (ed) Ahkamul Fukaha, Solusi Problematika
Aktual Hukum, Surabaya: Diantama, 2004, h. 435.
18
(/)البقشة:/
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik
dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”(Qs. Al-Baqarah:2 / 221)
Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama
tentang siapakah musyrikat yang haram dinikahi sebagaimana dimaksud ayat
di atas menurut Abdul Jarir Abdul Bari bahwa musyrikat yang dilarang untuk
dinikahi adalah musyrikat dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada
waktu turunnya al-Qur‟an memang tidak mengenal kitab suci dan mereka
menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang laki-laki muslim
boleh menikah dengan wanita musyrik dari non Arab wanita Cina, India, dan
Jepang yang diduga mempunyai kitab suci. Muhammad Abduh juga
sependapat dengan Ibnu Jarir Ath Thabari sedangkan menurut mayoritas
ulama yang dimaksud musyrik adalah semua wanita musyrik baik dari bangsa
Arab maupun non Arab tidak boleh dinikahi menurut pendapat ini siapa pun
yang bukan muslim atau ahli kitab hukumnya haram dinikahi.27
27
Masyhuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta, Haji Mas Agung: 1991), h. 5.
19
Menurut Yusuf Qaradhawi,28
yang dimaksud dengan wanita musyrik
adalah perempuan-perempuan kafir yakni perempuan-perempuan penyembah
berhala berdasarkan pada ayat al-Mumtahanah ayat 10:
:( /0)الووخحنت
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal
bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka
apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka
bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu.
dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(Qs. Al-
Mumtahanah: 60/10)
28
Yusuf Qorodhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: insani press, 1995), h.
580.
20
3. Pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim
Ulama sepakat bahwa pernikahan antara wanita muslimah dengan
laki-laki non muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang. Dan
disepakati pula tidak sah wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir
baik merdeka maupun budak tidak sah pula wanita murtad menikah dengan
siapa pun tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan
tidak mengakui apapun dan tidak sah pula wanita muslimah menikah dengan
laki-laki kafir karena masih adanya ikatan Islam pada dirinya.29
Menurut Muhammad Jawad Islam melarang perkawinan antara
seorang wanita muslim dengan pria non muslim baik calon suaminya itu
termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Kristen dan
Yahudi atau pun pemeluk agama yang mempunyai kitab yang menyerupai
kitab suci seperti Buddhisme Hinduisme pemeluk agama atau kepercayaan
yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang menyerupai kitab suci
termasuk pula di sini penganut animisme atheisme polytheisme dan
sebagainya.30
Hal ini didasarkan oleh surat al-Baqarah ayat 221 sebagai
berikut:
29
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khomsah, (Jakarta:
PT. Lentera Basri Tama:T.t), h. 336.
30
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh ala al-Mazahib al-Khomsah, h. 336.
21
(/)البقشة:/
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”(Qs. Al-Baqarah:2 / 221)
Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan laki-laki
Muslim, bisa diberikan sebuah alasan hukum bahwa surat al-Baqarah ayat
221 memang sama-sama melarang wanita dan pria muslim untuk menikah
dengan musyrik atau musyrikat akan tetapi pada sisi lain Allah juga berfirman
dalam surat al-Maidah ayat 5 yang menyatakan bahwa terdapat wanita
Muhshanat (yang terpelihara) dari mu‟minat dan ahli kitab serta adanya
sunnah nabi dan praktik sahabat. Dengan landasan ini maka kebolehan
menikah dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi laki-laki muslim bukan
sebaliknya. Al-Jujawi, Ali Al-Shabuni, dan Yusuf Qaradhawi memberikan
penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab
semata-mata untuk menjaga Iman sebab lumrahnya istri yg mudah
terpengaruh jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan terperdaya ke
agama lain.31
31
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Jakarta: insani press 1995), h. 580.
22
Dari penjelasan di atas dapat ditarik garis besar bahwa ada tiga
pendapat yang berkembang seputar pernikahan antara muslim atau muslimah
dengan non muslim pertama pendapat yang melarang secara mutlak tidak ada
ruang dan salah sama sekali untuk melakukan pernikahan beda agama baik
antara seorang muslim dengan wanita musyrik atau ahli kitab maupun antara
muslimah dengan laki-laki musyrik atau ahli kitab.32
kedua pendapat yang membolehkan secara mutlak. Pendapat ini
membuka ruang dan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pernikahan
beda agama baik antara seorang muslim atau ahli kitab maupun antara wanita
muslim dengan laki-laki musyrik atau ahli kitab. Ketiga pendapat
pertengahan yang membolehkan pernikahan beda agama dalam lingkup
terbatas antara seorang muslim dengan perempuan ahli kitab dengan
persyaratan tertentu:
1. Pendapat yang melarang secara mutlak
Para ulama yang melarang pernikahan beda agama melandaskan
pendapatnya pada beberapa dalil dan penafsiran pertama, Allah melarang
pernikahan antara seorang muslim atau muslimah dengan musik atau musica
sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221, dalam
pandangan ulama kelompok pertama ini kata musyrik diartikan sebagai orang
yang menyekutukan Allah. Daengan demikian, Penganut Agama selain Islam
32
Yusuf Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, h. 580.
23
adalah orang musyrik sebab hanya Islamlah satu-satunya agama yang
memelihara kepercayaan tauhid secara murni.33
Kedua penganut Agama Yahudi dan Nasrani juga melakukan
kemusyrikan hingga tidak boleh menikah atau dinikahi oleh orang Islam. Di
dalam al-Quran penganut Agama Yahudi dan Nasrani memang diberi
tingkatan khusus dengan sebutan Ahlul kitab dan para wanitanya boleh
dinikahi berdasarkan surat Al Maidah ayat 5 kebolehan menikahi wanita
sebagaimana pada ayat tersebut telah dinas sah atau digugurkan oleh
ketentuan yang terdapat di dalam surat Al Baqarah ayat 221.34
Hal ini disebabkan konsep kepercayaan yang dimiliki penganut
Yahudi dan Nasrani mengandung kemusrikan yang nyata salah satu
contohnya adalah orang Nasrani meyakini bahwa Nabi Isa adalah Tuhan
sedangkan Isa adalah salah seorang hamba.35
Pendapat pertama ini dikeluarkan oleh sahabat Nabi SAW Abdullah
bin Umar dan sekte Syiah Imamiyah pendapat ini juga banyak diikuti oleh
kalangan Syafi‟iyah seperti di Indonesia sebagaimana tercermin dalam
pandangan umum ulama dan masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI)
dalam fatwanya tanggal 8 Juni 1980 Allah mengharamkan pernikahan antara
laki-laki Muslim dan wanita musyrik atau wanita ahli kitab dan Demikian
33
M. Quraiys sihab, Wawasan Al-Quran Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat,
(Jakarta: tp, 1996), h. 166. 34
M. Quraiys sihab, Wawasan Al-Quran Tafsir atas Berbagai Persoalan Umat, h.
166.
35
Al-Bukhari, Shahih Bukhari, ibn katsir, beirut 1987, juz 5 h. 2024.
24
pula sebaliknya hal ini kembali melalui keputusan fatwa MUI nomor 4 yang
ditetapkan pada tanggal 29 Juli 2005. Pendapat umum ini pula yang
kemudian diadopsi dan diikuti oleh hukum dan peraturan undang-undang
yang berlaku di Indonesia seperti undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan dan Instruksi Presiden RI Nomor 1 tahun 1991 tentang
kompilasi hukum Islam di Indonesia.36
2. Pendapat yang membolehkan secara mutlak
Pendapat ini membolehkan pernikahan beda agama dalam segala
macam dan bentuknya juga mendasarkan pendapatnya kepada dalil-dalil yang
digunakan oleh kelompok yang pertama namun berbeda dalam penafsirannya
dan ditambah dengan berbagai argumentasi yang rasional, pertama surat Al-
Baqarah ayat 221 memang melarang pernikahan orang muslim dengan orang
musyrik baik laki-laki maupun perempuan namun perlu dicermati dengan
seksama siapa yang dimaksud dengan musyrik atau musyrikat pada ayat itu.
Kelompok ini memahami dan menafsirkan kata musyrik atau musyrikat
terdapat pada kaum yang hidup pada masa nabi yang sekarang sudah tidak
ada lagi dengan demikian tidak ada halangan untuk menikah dengan orang
musyrik yang ada pada saat ini, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Jarir Ath
Thabari, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha dalam tafsir Manar.37
Kedua menurut ulama yang mendukung pendapat ini mereka
menafsirkan surat al-Maidah ayat 5 dengan penafsiran yang luas terhadap
36
Rudi Santoso, Pendapat Ulama Tentang Pernikahan Beda Agama, Artikel di akses pada 05 April 2016, dari https://rudisantosomhi.wordpress.com/2014/01/08/pendapat-ulama-tentang-hukum-pernikahan-beda-agama/
37 Rasyid Ridha, Tafsir Manar, (Cairo: Dar Al-Manar: 1367 H), h. 187-193.