PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN LALU LINTAS (Analisis Putusan Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : LIVIA AMALIA NIM :11160480000020 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/ 2021 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM KASUS KECELAKAAN
pendekataan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara Undang-
Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antar Undang-Undang
yang satu dengan Undang-Undang yang lain.17
3. Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan oleh penulis pada penelitian
iniada dua sumber bahan hukum, antara lain:
a. Bahan Hukum Primer
Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas dan mengikat, berupa
peraturan perundang-undangan.18 Adapun dalam penelitian ini
penulis mengambil bahan hukum primer dari Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan,
KUHP, KUHAP, dan salinan putusan pengadilan Nomor:
151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim.
15Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, h.321. 16I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2016) h.165. 17Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014), h.93 18Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014), h.141.
10
b. Bahan Hukum Sekunder
Sumber bahan hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang
diperoleh dari sumber bukan asli yang memuat informasi. Biasanya
berupa doktrin, pendapat hukum, atau teori yang diperoleh dari
literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, juga website yang
terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder ini bermanfaat
untuk memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan untuk
mrmahami atau menganalisis bahan hukum primer.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan yang mempelajari pengetahuan-pengetahuan
dasar mengenai hukum pidana, tindak pidana kealpaan, restorative
justice dan lakalantas.Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data
dengan mengumpulkan data melalui buku-buku, literatur-literatur,
jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen, atau hasil penelitian
yang selaras dengan tema yang diangkat dalam penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Bahan Hukum
Dalam pengolahan bahan hukum dalam penilitian ini yaitu
menggunakan metode kualitatif, yakni dengan cara mengumpulkan
bahan hukum sebanyak-banyaknya yang kemudian diolah dan dijadikan
kesatuan bahan hukum untuk mendeskripsikan permasalahan yang akan
dibahas dengan mengambil materi yang relevan dengan permasalahan
lalu dikomparasikan yaitu dari bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Kemudian sumber-sumber hukum tersebut di klasifikasikan
agar memudahkan dalam menganalisa.
6. Teknik Analisa Bahan Hukum
Proses analisis bahan hukum yang digunakan oleh penulis dalam
penelitian ini yaitu menggunakan metode normatif-kualitatif. Bahan
hukum yang sudah di klasifikasikan dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder kemudian dilakukan analisa dengan cara menguraikan
isi dalam bentuk penafsiran dan argumentasi rasional untuk
11
mempertahankan gambaran yang sudah diperoleh. Selanjutnya penulis
juga menggunakan metode analisis deduktif, yaitu dengan cara
menganalisis bahan hukum yang bertitik tolak dari bahan hukum yang
bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang khusus.
7. Teknik Penulisan
Dalam penyusunan penulisan proposal skripsi ini, penulismerujuk
pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi yang Diterbitkan oleh Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
E. Sistematika Pembahasan
Pembahasan penelitian ini dibagi menjadi beberapa bab-bab agar
dapat memudahkan para pembaca untuk memahami isi dari penelitian ini,
yang terdiri dari:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini memaparkan latar belakang masalah, pokok
permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian
ini yaitu identifikasi masalah, pembatasan masalah
dan perumasan masalah, Terdapat juga tujuan dari
penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan dalam penelitian ini.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE
JUSTICE, DAN KEALPAAN DALAM HUKUM
PIDANA
Dalam bab ini dibagi menjadi tiga sub bab
pembahasan, sub bab yang pertama memaparkan
mengenai tindak pidana kealpaan yang menjelaskan
terkait pengertian tindak pidana kealpaan dan teori-
teorinya. Sub bab kedua yaitu memaparkan terkait
restorative justice dan yang terakhir yaitu sub bab
ketiga yaitu memaparkan mengenai lakalantas.
12
BAB III : RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA
Dalam bab ini terdiri dari dua sub bab pembahasan.
Pertama menjelaskan mengenai restotarive justice
dalam penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas,
yang kedua menjelaskan mengenai restotarive
justice dalam pembaharuan hukum pidana di
Indonesia.
BAB IV : PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE
DALAM KASUS LAKALANTAS
Dalam bab ini terbagi menjadi tiga sub bab
pembahasan, Pertama adalah terkait pemaparan
kronologi kasus, kedua menjelasakan tentang
pertimbangan hakim dalam memutus perkara
Nomor: 151/Pid.Sus/2013/PN. Jkt. Tim. ketiga
menjelaskan tentang analisis penulis terhadap
pertimbangan hakim.
BAB V : PENUTUP
Dalam bab ini berisi kesimpulan atas pertanyaan
penelitian yang telah diajukan dan rekomendasi atas
penelitian ini.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG RESTORATIVE JUSTICE DAN
KEALPAAN DALAM HUKUM PIDANA
A. Kerangka Konseptual
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan beberapa konsep-konsep terkait
beberapa istilah yang akan sering digunakan, sehingga dalam hal ini peneliti
mencoba untuk memberikan berbagai konseptual dalam rangka
menyederhanakan pemahaman terhadap penelitian ini berupa:
1. Penerapan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian
penerapan adalah perbuatan menerapkan, sedangkan menurut beberapa
ahli, penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekkan suatu teori,
metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu
kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang
telah terencana dan tersusun sebelumnya. Menurut Usman, penerapan
(implementasi) adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau
adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas,
tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan
kegiatan.1 Menurut Setiawan penerapan (implementasi) adalah
perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan proses interaksi antara
tujuan dan tindakan untuk mencapainya serta memerlukan jaringan
pelaksana, birokrasi yang efektif.2
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kata penerapan (implementasi) bermuara pada aktifitas, adanya
aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme
mengandung arti bahwa penerapan (implementasi) bukan sekedar
aktifitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara
1 Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum, (Jakarta: Grasindo, 2002),
Properti ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya.19
Menurut F.D. Hobbs mengungkapkan kecelakaan lalu lintas
merupakan kejadian yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya.
Kecelakaan tidak hanya meliputi trauma cidera, ataupun kecacatan
18H.W. Heinrich, Industrial Accident Prevention : A Safety Management Approach, (New
York: McGrawHill, 1980), h. 22. 19Marc M. Schneier, CONSTRUCTION ACCIDENT LAW : A Comprehensive Guide to
Legal Liability and Insurance Claims, (Chicago: American Bar Asscociation, 1999), h. 14.
22
tetapi juga sering kali menyebabkan kematian. Kasus kecelakaan sangat
sulit untuk diminimalisasi dan cenderung meningkat seiring
pertambahan panjang jalan dan banyaknya pergerakan dari kendaraan.
Secara teknis kecelakaan lalu lintas didefinisikan sebagai suatu kejadian
yang disebabkan oleh banyak faktor yang tidak disengaja (Random
Multy Factor Event) yang artinya penyebab kecelakaan itu sendiri bukan
dikarenakan kesengajaan dari si pelaku itu sendiri, melainkan kelalaian
dari si pelaku.20
Menurut Pasal 1 ayat (24) UULLAJ Tahun 2009 menentukan
sebagai berikut : “Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di
Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan
dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban
manusia dan/atau kerugian harta benda. Menurut Pasal 229 UULLAJ
Tahun 2009 menentukan sebagai berikut:
1) Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas :
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan
b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang
c. Kecelakaan Lalu Lintas berat
2) Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan
Kendaraan dan/atau barang.
3) Kecelakaan Lalu Lintas sedang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
4) Kecelakaan Lalu Lintas berat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban
meninggal dunia atau luka berat. 5) Kecelakaan Lalu Lintas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh
20F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 474.
23
kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta
ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.
Sedangkan korban kecelakaan lalu lintas adalah manusia yang
menjadi korban akibat terjadinya kecelakaan lalu lintas, berdasarkan
tingkah keparahan korban kecelakaan dibedakan menjadi 3 macam
yaitu:
1) Korban meninggal dunia atau mati
2) Korban luka berat
3) Korban luka ringan
Klasifikasi kecelakaan pada dasarnya dibuat berdasarkan tingkat
keparahan korban, dengan demikian kecelakaan lalu lintas dibagi dalam
4 macam kelas sebagai berikut :
1) Klasifikasi berat Apabila terdapat korban yag mati (meskipun
hanya satu orang) dengan atau korban luka-luka berat atau
ringan.
2) Klasifikasi sedang Apabila tidak terdapat korban yang mati
namun dijumpai sekurangkurangnya satu orang mengalami
luka-luka berat.
3) Klasifikasi ringan Apabila tidak terdapat korban mati dan luka
luka berat dan hanya dijumpai korban yang luka ringan saja.
4) Klasifikasi lain-lain Apabila tidak ada manusia yang menjadi
korban hanya berupa kerugian materiil saja baik berupa
kerusakan kendaraan, atau fasilitas lain.21
Secara umum, terdapat 3 faktor utama penyebab kecelakaan, yaitu
Faktor Pengemudi, Faktor Kendaraan, dan Faktor Lingkungan Jalan.
Namun dewasa ini yang menjadi penyebab terjadinya kecelakaan pada
21Pengertian Dan Klasifikasi Kecelakaan Lalu Lintas. WWW. Google. Com, Diakses Pada
Hari Sabtu Tanggal 12 September 2020, Jam 02.03.
24
umumnya tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja, melainkan hasil
interaksi antara berbagai faktor lain, yaitu:22
a. Faktor Pengemudi : kondisi fisik pengemudi merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab kecelakaan seperti kondisi fisik
(mabuk, lelah, sakit, dan sebagainya), kemampuan mengemudi,
penyebrang atay pejalan kaki yang lengah.
b. Faktor kendaraan : kondisi kendaraan tidak fit, terdapat
modifikasi, kerusakan pada kendaraan.
c. Faktor Lingkungan : kondisi jalan, lubang, penerangan kurang,
jalan licin, marka lalu lintas minim.
d. Faktor Cuaca : hujan, kabut, asap, salju.
4. Kealpaan
Kealpaan berasal dari kata culpayang berarti kesalahan pada
umumnya. Dalam ilmu pengetahuan hukum memiliki arti yaitu suatu
macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti
kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sifatnya bertingkat-tingkat, ada
orang yang melakukan suatu pekerjaan sangat berhati-hati, ada yang
kurang lagi ada yang lebih kurang lagi.23
Kealpaan (culpa) dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya,
sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa
kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan
adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap
seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.
Menurut pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
kealpaan adalah barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya)
22F.D Hobbs, Perencanaan dan Tehnik Lalu Lintas, Terjemahan oleh : Suprapto, h. 474. 23Debi Aris Siswanto & Marjan Miharja, Tinjauan Diversi Dan Restorative Justice Dalam
Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Pelaku Anak Yang Menyebabkan Korban Meninggal
Dunia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, (Pasuruan: Qiara Media, 2019), h. 8.
25
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Kealpaan
juga diartikan bahwa terdakwa tidak bermasud melangar larangan
undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu, sehingga
tidak berhati-hati dan menimbulkan keadaan yang dilarang. Moeljanto
berpendapat kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak
mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum
dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum.24Berdasarkan pada keterangan KUHP tersebut kejahatan
kealpaan dapat dipahami terjadi bukanlah semata-mata seorang
menentang larangan tersebut dengan justru melakukan yang dilarang itu.
Tetapi dia tidak begitu mengindahkan larangan, hal ini nyata dari
perbuatannya. Hal tersebutlah sehingga oleh Moeljatno disebut dengan
gecompliceerd.
Pada prinspinya seseorang dapat dikatakan mempunyai culpa di
dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan
perbuatannya tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en
oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian
seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka
menurut Simons, culpa itu pada dasarnya mempunyai dua unsur masing-
masing yakni “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van de
voorzienbaarheid” atau “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya
perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”. Sejalan dengan hal
tersebut, menurut Van Hamel, sebagaimana dikutip Moejatno bahwa
kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu: pertama, tidak mengadakan
praduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kedua, tidak
mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.25
Selain apa yang telah disebutkan di atas, ada pula yang disebut
dengan culpa atau kelalaian / kealpaan yang dalam doktrin hukum
24Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 201. 25Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta,1993), h. 217.
26
pidana dikenal sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste
schuld dan kealpaan yang disadari atau bewute schild. Faktor terpenting
dalam unsur ini adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari
perbuatannya itu, atau pelaku kurang berhati-hati. Wilayah culpa ini
terletak diantara sengaja dan kebetulan. Oleh sebab itu, untuk
mempertanggujawabkan perbuatan, hubungan batin terdakwa dengan
akibat yang timbul harus dibuktikan adanya hubungan kausal sehingga
dapat ditentukan kesalahannya.
B. Kerangka Teori
Konsep teori merupakan bagian terpenting dalam membantu
memecahkan masalah. Adanya peran konsep menjadikan peneliti lebih
memahami serta melakukan pembatasan dalam rangka menjawab setiap
permasalahan yang timbul. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti sudah
mempunyai gambaran, harapan, jawaban atau bayangan tentang apa yang
akan ditemukannya melalui penelitian yang dimaksud.
Menurut Muchyar Yahya teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang
mempelajari berbagai aspek teoritis maupun praktis dari hukum positif
tertentu secara tersendiri dan dalam keseluruhannya secara interdisipliner,
yang bertujuan memperoleh pengetahuan dan penjelasan yang lebih baik,
lebih jelas, dan lebih mendasar mengenai hukum positif yang
bersangkutan.26 Selain itu, Bruggink mengartikan teori hukum adalah :
“suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan
sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan
sistem tersebut untuk sebagian penting dipositifkan”.27
Selanjutnya teori-teori yang dipergunakan sebagai alat untuk
menjelaskan masalah yang telah diidentifikasi, yakni sebagai berikut:
1. Teori Pemidanaan
26Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001), h. 87. 27Salim, HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010), h. 20.
27
Pemidanaan didalam hukum Indonesia merupakan suatu cara atau
proses untuk menjatuhkan sanksi atau hukuman untuk seseorang yang
telah melakukan tindak pidana ataupun pelanggaran. Pemidanaan
adalah kata lain dari sebuah penghukuman. Menurut Prof. Sudarto,
bahwa penghukuman berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat
diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang
hukumanya”.28 Dalam artian disini menetapkan hukum tidak hanya
untuk sebuah peristiwa hukum pidana tetapi bisa juga hukum perdata.
Pemidanaan adalah suatu tindakan terhadap seorang pelaku kejahatan,
dimana pemidanaan ditujukan bukan karena seseorang telah berbuat
jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi berbuat jahat dan orang lain
takut melakukan kejahatan serupa. Jadi dari pernyataan diatas bisa kita
simpulkan bahwa pemidanaan ataupun penghukuman itu adalah sebuah
tindakan kepada para pelaku kejahatan yang mana tujuannya bukan
untuk memberikan balas dendam kepada para pelaku melainkan para
pelaku diberikan pembinaan agar nantinya tidak mengulangi
perbuatannya kembali.
Teori pemidanaan dapat digolongkan dala tiga golongan pkok yaitu
golongna teori pembalasan, golonngan teori tujuan, dan golongan teori
gabungan.
a. Teori Pembalasan
Teori pembalasan atau juga bisa disebut dengan teori absolut
adalah dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena
kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi orang lain maka si
pelaku kejahatan pembalasannya adalah harus diberikan penderitaan
juga.29 Teori pembalasan ini menyetujui pemidanaan karna
seseorang telah berbuat tindak pidana. Pencetus teori ini adalah
Imanuel Kant yang mengatakan “Fiat justitia ruat coelum” yang
28 Muladi dan Barda Nawawi, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1984), h.1. 29 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h.
105.
28
maksudnya walaupun besok dunia akan kiamat namun penjahat
terakhir harus tetap menjalakan pidananya. Kant mendasarkan teori
ini berdasarkan prinsip moral dan etika. Pencetus lain adalah Hegel
yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan kemerdekaan,
sedangkan kejahatan adalah tantangan kepada hukum dan keadilan.
Karena itu, menurutnya penjahat harus dilenyapkan. Sedangkan
menurut Thomas Aquinas pembalasan sesuai dengan ajaran tuhan
karena itu harus dilakukan pembalasan kepada penjahat.30
Jadi dalam teori ini adalah pembalasan itu ditujukan untuk
memberikan sebuah hukuman kepada pelaku pidana yang mana
nantinya akan memberikan efek jera dan ketakutan untuk
mengulangi perbuatan pidana tersebut. Teori pembalasan atau teori
absolut dibagi dalam dua macam, yaitu:31
1) Teori pembalasan yang objektif, berorientasi pada pemnuhan
kepuasan dari perasaan dendam dari kalangan masyarakat.
Dalam hal ini perbuatan pelaku pidana harus dibalas dengan
pidana yang berupa suatu bencana atau kerugian yang seimbang
dengan kesengsaraan yg diakibatkan oleh si pelaku pidana.
2) Teori pembalasan subjektif, berorientasi pada pelaku pidana.
Menurut teori ini kesalahan si pelaku kejahatanlah yang harus
mendapat balasan. Apabila kerugian atau kesengsaraan yg besar
disebabkan oleh kesalahan yang ringan, maka si pembuat
kejahatan sudah seharusnya dijatuhi pidana yang ringan.
b. Teori Tujuan
Berdasarkan teori ini, pemidanaan dilaksanakan untuk
memberikan maksud dan tujuan suatu pemidanaan, yakni
memperbaiki ketidakpuasan masyarakat sebagai akibat perbuatan
30 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142. 31 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.
29
kejahatan tersebut. Dalam hal ini teori ini juga dapat diartikan
sebagai pencegahan terjadinya kejaatan dan sebagai perlindungan
terhadap masyarakat. Penganjur teori ini yaitu Paul Anselm van
Feurbach yang mengemukakan “hanya dengan mengadakan
ancaman pidana pidana saja tidak akan memadai, melainkan
diperlukan pemjatuhan pidana kepada si penjahat”. Mengenai tujuan
– tujuan itu terdapat tiga teori yaitu : untuk menakuti, untuk
memperbaiki , dan untuk melindungi. Yang dijelaskan sebagai
berikut:32
1) Untuk menakuti;
Teori dari Anselm van Feurbach, hukuman itu harus diberikan
sedemikian rupa, sehingga orang takut untuk melakukan
kejahatan. Akibat dari teori itu ialah hukuman yang diberikan
harus seberat – beratnya dan bisa saja berupa siksaan.
2) Untuk memperbaiki;
Hukuman yang dijatuhkan dengan tujuan untuk memperbaiki si
terhukum sehingga sehingga di kemudian hari ia menjadi orang
yang berguna bagi masyarakat dan tidak akan melanggar
peraturan hukum.
3) Untuk melindungi;
Tujuan pemidanaan yaitu melindungi masyarakat terhadap
perbuatan kejahatan. Dengan diasingkannya si penjahat itu
untuk semntara, maka masyarakat akan diberikan rasa aman dan
merasa di lindungi oleh orang- orang yang berbuat jahat tersebut.
Jadi dalam teori tujuan yang lebih modern memilki artian bahwa
pemidanaan memebrikan efek jera kepada si pelaku agar tidak
berbuat tindak pidana lagi.
c. Teori Gabungan
32 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), h. 142.
30
Teori gabungan ini lahir sebagai jalan keluar dari teori absolut
dan teori relatif yang belum dapat memberi hasil yang memuaskan.
Aliran ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan
ketertiban masyarakat secara terpadu.33 Artinya penjatuhan pidana
beralasan pada dua alasan yaitu sebagai suatu pembalasan dan
sebagai ketertiban bagi masyarakat.
Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:34
1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi
pembalsan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu
dan cukup untuk dapatnya diperthankan tat tertib masyarakat.
2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib
masyrakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh
lebih berat dari perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori gabungan yang menitik beratkan pada pemblasan ini
didukung oleh Zevenbergen yang bependpat bahwa:35
“makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi
mempunyai maksud melindungi tat tertib hukum, sebab
pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan
ketaatan pada hukum dan pemerintah. Oleh sebab itu pidana
baru dijatuhkan jika jika memang tidak ada jalan lain untuk
memperthankan tata tertib hukum itu”.
Jadi menitik beratkan pada pembalasan itu artinya memberikan
hukuman atau pembalsan kepada penjahat dengan tujuan untuk
menjaga tata tertib hukum agarsupaya dimana masyarakat ataupun
kepentingan umumnya dapat terlindungi dan terjamin dari tindak
pidana kejahatan. Teori gabungan yang mengutamakan
perlindungan tata tertib hukum didukung antara lain oleh Simons
dan Vos. Menurut Simons, dasar primer pidana yaitu pencegahan
33 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.19. 34 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162. 35 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 162.
31
umum dan dasar sekundernya yaitu pencegahan khusus. Dalam
artian pidana primer ialah bertujuan pada pencegahan umum yang
terletak pada ancaman pidananya dlam undang-undang, apabila hal
ini tidak cukup kuat atau tidak efektif dalam hal pencegahan umum,
maka barulah diadakan pencegahan khusus yang bertujuan untuk
menakut-nakuti, memperbaikin dan membuat tidak berdayanya
penjahat. Dalam hal ini harus diingat bahwa pidana yang dijatuhkan
harus sesuai dengan undang-undang atau berdasarkan hukum dari
masyarakaat.36
Jadi teori gabungan yang mengutamakan perlindungan dan tata
tertib hukum ini dalam artian memberikan keadilan bagi para korban
kejahatan demi melindungi hak hak mereka, dan untuk penhat
sendiri bertujuan memberikan efek jera agar tidak mengulangi
perbuatan kejahatannya kembali.
Jenis-jenis Pemidanaan berdasarkan ketentuan yang ada di
KUHP menyangkut tentang sanksi pidana atau jenis pemidanaan
hanya terdapat 2 macam hukuman pidana, yaitu pidana pokok dan
pidana tambahan.37 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
pasal 10 berbunyi sebagai berikut, Pidana terdiri atas:
1. Hukuman pokok (hoofd straffen):
a. Pidana Mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Hukuman tambahan (bijkomende straffen):
a. Pencabutan hak-hak tertentu
b. Perampasan barang-barang tertentu
c. Pengumuman Putusan Hakim
36 Adami Chazaw, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002). h. 163. 37 M. Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h.177.
32
Pidana pokok adalah hukuman yang dapat dijatuhkan terlepas
dari hukuman hukuman-hukuman lain. Sedangakan pidana
tambahan adalah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersama-
sama dengan hukuman pokok.
2. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling
berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan
seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk
mencapai kepastian hukum dengan penegakan hukum secara tegas
adalah melalui kekuasaan kehakiman, di mana hakim merupakan aparat
penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur
tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang-Undang Dasar
1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin adanya
suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan
dalam Pasal 24 terutama dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan
penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan
Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam
ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman
bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,
kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar
1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak
33
mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian pada Pasal 24 ayat (2)
menegaskan bahwa: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut Andi Hamzah dalam bukunya
yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia”, hakim yang bebas dan
tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri
suatu Negara hukum.38
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”. Hakim oleh karena itu dalam memberikan putusan harus
berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang
tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain
yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik, dan
lain-lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan
dalam kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu
dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan
yang berbeda pula. Dalam doktrin hukum pidana sesungguhnya ada
yang dapat dijadikan pedoman sementara waktu sebelum KUHP
Nasional diberlakukan.
39 Nanda Agung Dewantoro, Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Perkara
Pidana, (Jakarta: Aksara Persada, 1987), h.149. 40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), h. 383.
35
Pedoman tersebut dalam konsep KUHP baru Pasal 55 ayat (1), yaitu:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana;
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah tindak pidana dilakukan berencana;
e. Cara melakukan tindak pidana;
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak
pidana;
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Seorang pelaku tindak pidana dapat tidaknya dijatuhi pidana maka
perbuatan pelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini
berdasarkan asas kesalahan Geen Straf Zonder Schuld (tiada suatu
perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada kesalahan). Berdasarkan hal
tersebut, dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku hakim harus
melihat kepada kesalahan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan hukuman
kepada pelaku hakim juga melihat kepada motif, tujuan, cara perbuatan
dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itu dilakukan (perbuatan itu
direncanakan). Konsep KUHP baru yang didasarkan pada Pasal 55
menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku
selain melihat dan mempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat
aspek akibat, korban dan juga keluarga korban. Hal ini merupakan
konsep baru yang harus diperhatikan hakim dalam menjatuhkan pidana
kepada pelaku tindak pidana, karena perbuatan yang dilakukan selain
berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban dan juga
keluarga korban.
36
3. Teori Keadilan
Terkait dengan teori keadilan, ada beberapa ahli yang menjelaskan
tentang bahasan ini antara lain Plato, Aristoteles, dan John Rawls.
Dalam teori Plato terkait tentang keadiaan ia menekankan pada harmoni
atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme
virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self
diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Plato
keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya
keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu
masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.
Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan
individual dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian
yang benar mengenai keadilan individual, terlebih dahulu harus
ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan itu dalam negara, untuk itu
Plato mengatakan41: “let us enquire first what it is the cities, then we will
examine it in the single man, looking for the likeness of the larger in the
shape of the smaller”. Walaupun Plato mengatakan demikian, bukan
berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara.
Hanya saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian
yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang
membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu
masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut
kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.
Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan
dikemukakan oleh Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada
keharmonisan atau keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada
perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala
sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan
kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan
41The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Sumber Sukses, 2002), h. 22.
37
perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat
dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama
diantara orang-orang yang sama42. Maksudnya pada satu sisi memang
benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun
pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti
ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip
persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan
bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlukan secara
sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan
keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut
bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya
proporsional. Di sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang
mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional.
Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan
pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan
negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada
warganya.Sebaliknya keadilan komutatif menyangkut mengenai
masalah penentuan hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi
yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi
non fisik. Dalam hubungan ini maka suatu perserikatan atau
perkumpulan lain sepanjang tidak dalam arti hubungan antara lembaga
tersebut dengan para anggotanya, akan tetapi hubungan antara
perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara perserikatan
dengan manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam
hubungan ini masuk dalam pengertian keadilan komutatif.
Selanjutnya menurut John Rawls keadilan adalah kebajikan utama
dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.
Suatu teori, meskipun begitu elegan dan ekonomisnya, harus ditolak dan
42J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Press, 2019) h. 82.
38
direvisi jika ia tiadak benar, demikian juga dengan hukum dan institusi
tidak peduli seberapa efisien dan rapinya harus direformasi atau
dihapuskan jika tidak adil.43 Subjek utama dalam keadilan adalah
sebuah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-
lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental
serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.44
John Rawls mengemukakan tentang prinsip keadilan yakni, yang
pertama bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan
dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Selanjutnya pinsip keadilan yang dikemukakan oleh John Rawls yaitu,
ketimpangan sosial dan ekonomi mesti diatur sedemikian rupa sehingga
dapat diharapkan memberi keuntungan kepada semua orang dan semua
posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang. 45
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi ditulis oleh Afan Fatkurohman46
Skripsi ini memiliki persamaan dengan tema yang akan peneliti
bahas yaitu membahas tentang pengimplementasian restorative justice
dalam tindak pidana. Adapun mengenai perbedaannya adalah skripsi ini
meneliti tentang prosedur pelaksanaan restorative justice dengan model
diversi terhadap tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak
dengan pengimplementasian oleh kepolisian, sedangkan pada penelitian
ini peneliti akan membahas implementasi restorative justice pada
tindak pidana lakalantas yang dilakukan oleh Muhammad Amrullah
Rajasa yang sudah memasuki usia dewasa.
43John Rawls, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 3. 44John Rawls, Teori Keadilan, h. 7. 45John Rawls, Teori Keadilan, h. 72. 46Afan Fatkurohman, Implementasi Restorative Justice Dalam Tindak Pidana Pencurian
Yang Dilakukan Oleh Anak (Studi Kasus Di Polresta Surakarta, (Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2018). Diakses pada tanggal 17 November 2019 pukul 20.15
39
2. Skripsi ditulis oleh Ethania Yulie S.47
Pada skripsi yang ditulis oleh Ethania Yulie S, dalam skripsinya
memiliki kesamaan dalam membahas terkait peneapan atau
pengimplementasian suatu tindak pidana dengan penyelesain melalui
pendekatan restorative justice. Selanjutnya mengenai perbedaan pada
skripsi tersebut membahas terhadap kasus yang general sedangkan
dalam skripsi yang ditulis oleh penulis lebih membahas penerapan
terhadap kasus yang lebih khusus.
3. Jurnal ilmiah ditulis oleh Lilik Purwastuti Yudaningsih48
Jurnal ini memiliki kesamaan dengan tema yang akan peneliti
bahas yaitu mengenai penyelesaian masalah tindak pidana melalui
restorative justice. Namun memiliki perbedaan, pada jurnal ini
membahas tentang penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh anak
sedangkan yang akan peneliti bahas yaitu penanganan tindak pidana
yang dilakukan bukan oleh anak yakni melainkan dilakukan oleh ukuran
usia dewasa.
47Ethania Yulie S., Penerapan Restorative Justice Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Kecelakaan Lalu Lintas Oleh Anak Di Bawah Umur, (Skripsi Fakultas HukumUniversitas
Tarumanegara, 2014) Diakses pada tanggal 12 September pukul 02.57.
48Lilik Purwastuti Yudaningsih, Penanganan Perkara Anak Melalui Resorative Justice,
(Jurnal Ilmu Hukum Tahun 2014). Diakses pada tangga 17 November 2019 pukul 00.46
40
41
BAB III
RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
A. Restorative Justice dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Hukum yang progresif berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum
adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum bukan sebagai institusi
yang bersifat mutlak dan final, melainkan sebagai institusi bermoral,
bernurani dan karena itu sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk
mengabdi kepada manusia. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan
untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan
membuat manusia bahagia. Kemanusiaan dan keadilan menjadi tujuan dari
segalanya dalam kita berkehidupan hukum. Maka kalimat “hukum untuk
manusia” bermakna juga “hukum untuk keadilan”. Ini berarti, bahwa
kemanusiaan dan keadilan ada di atas hukum. Intinya adalah penekanan
pada penegakan hukum berkeadilan yang di Indonesia yaitu terciptanya
kesejahteraan masyarakat atau yang sering disebut dengan “masyarakat
yang adil dan makmur”.1
Restorative justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian
konflik secara damai di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia
banyak hukum adat yang bisa menjadi restorative justice, namun
keberadaannya tidak diakui negara atau tidak dikodifikasikan dalam hukum
nasional. Hukum adat bisa menyelesaikan konflik yang muncul di
masyarakat dan memberikan kepuasan pada pihak yang berkonflik.
Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem
peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif
menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam
konflik tersebut tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik. Korban tetap
saja menjadi korban, pelaku yang dipenjara juga memunculkan persoalan
1Rudi Rizky, Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir),
(Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008), h. 4.
42
baru bagi keluarga dan sebagainya.2 Menurut Detlev Frehsee, meningkatnya
penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan
antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu
menjadi tidak berfungsi.3
Munculnya konsep restorative justice bukan berarti meniadakan
pidana penjara, dalam perkara-perkara tertentu yang menimbulkan kerugian
secara massal dan berkaitan dengan berharga nyawa seseorang, maka
pidana penjara masih dapat dipergunakan. Konsep restorative justice
merupakan suatu konsep yang mampu berfungsi sebagai akselerator dari
Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan, sehingga lebih menjamin
terpenuhinya kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Di dalam praktek
sistem peradilan di Indonesia terdapat perkembangan mengenai konsep
tujuan pemidanaan, mulai retribution yang merupakan bentuk pembalasan
secara absolut terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan, tanpa
harus melihat dampak dan manfaat lebih jauh. Kemudian ada konsep
restraint yang bertujuan menjauhkan (mengasingkan) pelaku kejahatan dari
kehidupan masyarakat, agar masyarakat aman, tenang, terhindar dari
keresahan dari ulah kejahatan serupa. Ada juga konsep deterrence
individual dan general deterrence, yang dimaksudkan agar hukuman
membuat si pelaku secara individual merasa jera (individual detterance)
atau sekaligus ditujukan supaya dijadikan Sebagai contoh masyarakat agar
tidak melakukan kejahatan serupa (general deterrence) Perkembangan
selanjutnya adalah konsep reformation atau rehabilitation, suatu bentuk
penghukuman yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau merehabilitasi si
pelaku kejahatan agar pulih menjadi orang baik yang dapat diterima kembali
di lingkungan masyarakatnya.
2Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative
Justice,dalam Mimbar Justitia Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Volume 5 Nomor 01, h.