Page 1
1
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N)
PENERAPAN PERAWATAN LUKA MODERN DRESSING
DENGAN METODE MOIST WOUND HEALING PADA
OTITIS MEDIA DI RUANG THT RSUD DR. ACHMAD
MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019
OLEH :
ANITA WIDIYASTUTI
1914901712
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
STIKES PERINTIS PADANG
TAHUN AJARAN 2020
Page 2
i
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N)
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ners Program Studi
Pendidikan Profesi Ners STIKes Perintis Padang
PENERAPAN PERAWATAN LUKA MODERN DRESSING
DENGAN METODE MOIST WOUND HEALING PADA
OTITIS MEDIA DI RUANG THT RSUD DR. ACHMAD
MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019
OLEH :
ANITA WIDIYASTUTI
1914901712
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
STIKES PERINTIS PADANG
TAHUN AJARAN 2020
Page 6
v
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERINTIS PADANG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIAN), 02 September 2020
ANITA WIDIYASTUTI
1914901712
PENERAPAN PERAWATAN LUKA MODERN DRESSING DENGAN
METODE MOIST WOUND HEALING PADA OTITIS MEDIA DI RUANG
THT RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2019
xii + 102 halaman + 6 gambar + 3 tabel + 3 lampiran
ABSTRAK
Secara global World Health Organization (WHO) tahun 2013 menyebutkan 360 juta
orang atau 5,2 % diseluruh dunia memiliki gangguan pendengaran. Di Asia Tenggara,
Indonesia termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan telinga tertinggi (4,6%).
Tujuan dari karya ilmiah ini untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam
menerapkan perawatan luka dalam memberikan asuhan keperawatan pada An. A dengan
post operasi Otitis Media di Ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.
Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi kasus dengan pemberian
intervensi perawatan luka moist pada pasien post operasi. Intervensi diberikan sebanyak 1
kali sehari selama 3 hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan perawatan
luka dengan menggunakan teknik modern dressing selama 3 hari didapatkan hasil bahwa
balutan luka sudah diganti, luka terpasang perban, luka tampak mulai mengering, tidak
terdapat pus dan jaringan nekrotik, warna kemerahan disekitar luka post operasi
berkurang dan pasien mengatakan nyeri berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
perubahan setelah dilakukan perawatan luka menggunakan teknik modern dressing pada
luka An. A. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan asuhan
keperawatan yang telah dilakukan pada An. A selama 3 hari, yaitu pada tanggal 09
Oktober sampai 11 Oktober dengan kasus Otitis Media, di Ruang THT RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi, sudah diterapkan salah satu intervensi dari jurnal terkait
dalam asuhan keperawatan pada An. A ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi. Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar
pengembangan menajemen asuhan keperawatan dan membantu perawat diruang
perawatan dalam meningkatkan kepuasan pasien terhadap pelayanan asuhan keperawatan
yang diberikan.
Kata Kunci : Perawatan Luka, Resiko Infeksi, Otitis Media
Kepustakaan : 60 (2000 – 2019)
Page 7
vi
NURSING SCIENCE PROFESSIONAL PROGRAM
PERINTIS COLLEGE OF HEALTH SCIENCE WEST SUMATERA
KARYA ILMIAH AKHIR NERS (KIA-N), 02 September 2020
ANITA WIDIYASTUTI
1914901712
APPLICATION OF MODERN DRESSING WOUND CARE WITH MOIST
WOUND HEALING METHOD IN OTITICAL MEDIA AT ENT ROOM
DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI IN 2019
xii + 102 pages + 6 pictures + 3 tables + 3 attachments
ABSTRACT
Globally, the World Health Organization (WHO) in 2013 stated that 360 million people
or 5.2% worldwide have hearing problems. In Southeast Asia, Indonesia is among the
four countries with the highest ear disorder prevalence (4.6%). The purpose of this
scientific work is to increase knowledge and ability in applying wound care in providing
nursing care to An. A with postoperative Otitis Media in the ENT Room Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi. The method used in this paper is a case study by providing moist
wound care interventions in postoperative patients. The intervention was given once a day
for 3 days. This study showed that after 3 days of wound care using modern dressing
techniques, the results showed that the wound dressing had been replaced, the wound was
attached to a bandage, the wound appeared to be drying, there was no pus and necrotic
tissue, the redness around the postoperative wound was reduced and the patient said less
pain. This shows that there are changes after being carried out by wound care using
modern dressing techniques on An's wound. A. Based on these results it can be concluded
that based on the nursing care that has been carried out on An. A for 3 days, from October
9 to October 11 with the Otitis Media case, in the ENT Room Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi, an intervention has been implemented from related journals in nursing care
to An. A ENT room Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi. The results of writing scientific
papers are expected to be used as a basis for developing nursing care management and
assisting nurses in the care room in increasing patient satisfaction with the nursing care
services provided.
Keywords : Wound Care, Risk of Infection, Otitis Media
Bibliography : 60 (2000 - 2019)
Page 8
vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Identitas Diri
Nama : Anita Widiyastuti
Umur : 25 Tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 01 Agustus 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Inspektur Marzuki Lorong. Anggrek Nomor
2321, Kecamatan Ilir Barat I, Palembang
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Jumlah Saudara : 2 Orang
Anak Ke : 1
Identitas Orang Tua
Nama Ayah : Akhmadan
Nama Ibu : Hairani
Alamat : Jalan Inspektur Marzuki Lorong. Anggrek Nomor 2321
Kecamatan Ilir Barat I, Palembang
Riwayat Pendidikan
2000 - 2001 : TK Nikita II Palembang
2001 - 2007 : Madrasah Ibtidaiyah Negeri 2 Palembang
2007 - 2010 : Madrasah Tsanawiyah Negeri 2 Palembang
2010 - 2013 : Madrasah Aliyah Negeri 1 Palembang
2013 - 2017 : S1 Keperawatan STIK Bina Husada Palembang
2019 - 2020 : Profesi Ners STIKes Perintis Padang
Page 9
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang selalu
tercurah sehingga memberikan penulis kekuatan dan kemampuan yang luar biasa
dalam menjalani hidup ini. Shalawat beserta salam penulis haturkan kepada
junjungan umat sepanjang zaman Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan
para sahabat yang memberikan tauladan terindah sehingga memberikan motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) dengan
judul “Penerapan Perawatan Luka Modern Dressing Dengan Metode Moist
Wound Healing Pada Otitis Media Di Ruang THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2019”. Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini
diajukan untuk menyelesaikan pendidikan Profesi Ners. Dalam penyusunan Karya
Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Yendrizal Jafri, S.Kp, M.Biomed selaku Ketua STIKes Perintis
Padang.
2. Ibu Ns. Mera Delima, M.Kep selaku Ketua Program Studi Pendidikan Profesi
Ners STIKes Perintis Padang.
3. Ibu Ns. Dia Resti DND, M.Kep selaku pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan -
masukan yang bermanfaat bagi penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N)
ini dan juga memberi motivasi, semangat dan dukungan kepada penulis
selama proses penyelesaian Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.
Page 10
ix
4. Ibu Ns. Vera Sesrianty, M.Kep selaku pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta memberikan masukan-masukan
yang bermanfaat bagi penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini dan
juga memberi motivasi, semangat dan dukungan kepada penulis selama
proses penyelesaian Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.
5. Bapak Ns. Andrye Fernandes, M.Kep, Sp.Kep.An selaku penguji yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan, kritik maupun saran yang
bermanfaat dalam penulisan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.
6. Dosen dan staff pengajar Program Studi Pendidikan Profesi Ners STIKes
Perintis Padang yang telah memberikan bekal ilmu dan bimbingan selama
penulis dalam pendidikan.
7. Kepada perawat serta staff RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi yang
telah mendukung, memotivasi, dan mengarahkan selama stase Keperawatan
Dasar berlangsung.
8. Teristimewa untuk orang tua dan keluarga tercinta, yang telah dengan sangat
luar biasa memberikan dukungan baik secara moril maupun secara materil
serta do’a, perhatian dan kasih sayang yang tak terhingga sehingga membuat
penulis lebih bersemangat dalam menyelesaikan Studi Pendidikan Profesi
Ners dan pembuatan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.
9. Kepada teman-teman seperjuangan Profesi Ners angkatan 2019, terima kasih
untuk kekompakan teman-teman semuanya dan telah memberikan banyak
masukan dan bantuan berharga dalam penyelesaian Karya Ilmiah Akhir Ners
(KIA-N) ini, dan kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu
persatu.
Page 11
x
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini
masih banyak terdapat kekurangan. Hal ini bukanlah suatu kesengajaan melainkan
karena keterbatasan ilmu dan kemampuan penulis. Untuk itu penulis
mengharapkan tanggapan, kritikan dan saran yang bersifat membangun dari
semua pihak demi kesempurnaan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-Nya kepada
semua pihak yang telah membantu penulis. Semoga Karya Ilmiah Akhir Ners
(KIA-N) ini bermanfaat dalam memberikan informasi dibidang kesehatan
terutama di Bidang Pendidikan Profesi Ners.
Bukittinggi, 02 September 2020
Anita Widiyastuti
Page 12
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HARD COVER ........................................................................................... i
COVER KERTAS BERWARNA ................................................................. ii
LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ............................................................ iii
LEMBAR PERSETUJUAN .......................................................................... iv
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vi
ABSTRACT .................................................................................................. vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 5
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 7
1.4.1 Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittingi .............................. 7
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan .............................................................. 7
1.4.3 Bagi Penulis .................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Otitis Media ................................................................................ 8
2.1.1 Definisi Otitis Media .................................................................... 8
2.1.2 Anatomi Fisiologi ......................................................................... 9
2.1.3 Klasifikasi Otitis Media ................................................................ 13
2.1.4 Etiologi Otitis Media ................................................................... 18
2.1.5 Faktor Resiko Otitis Media........................................................... 20
2.1.6 Tanda dan Gejala Otitis Media ..................................................... 22
2.1.7 Patofisiologi dan WOC Otitis Media ........................................... 23
2.1.8 Penatalaksanaan Otitis Media ....................................................... 28
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar.......................................................................... 31
2.2.1 Gangguan Rasa Nyaman .............................................................. 32
2.2.2 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri .................................................... 33
2.3 Konsep Perawatan Luka ........................................................................... 37
2.3.1 Definisi Perawatan Luka ............................................................... 37
2.3.2 Tujuan Perawatan Luka ................................................................ 37
2.3.3 Alat dan Bahan Perawatan Luka ................................................... 38
2.3.4 Prosedur Perawatan Luka ............................................................. 38
2.3.5 Evaluasi ......................................................................................... 40
2.3.6 Proses Penyembuhan Luka ........................................................... 40
Page 13
xii
2.4 Asuhan Keperawatan Teoritis .................................................................. 43
2.4.1 Pengkajian Keperawatan ............................................................... 43
2.4.2 Diagnosa Keperawatan ................................................................. 46
2.4.3 Intervensi ....................................................................................... 47
2.4.4 Implementasi ................................................................................. 51
2.4.5 Evaluasi ......................................................................................... 51
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN KASUS KELOLAAN
3.1 Pengkajian Keperawatan .......................................................................... 52
3.2 Diagnosa Keperawatan ............................................................................. 71
3.3 Intervensi ................................................................................................. 72
3.4 Implementasi dan Evaluasi ....................................................................... 74
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Analisis Asuhan Keperawatan dengan Konsep Terkait ........................... 85
4.2 Analisis Intervensi dengan Konsep Penelitian Terkait ............................. 96
4.3 Alternatif Pemecahan yang dapat dilakukan ............................................ 100
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 101
5.2 Saran ......................................................................................................... 103
5.2.1 Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi ............................ 103
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan .............................................................. 103
5.2.3 Bagi Penulis .................................................................................. 103
Daftar Pustaka
Daftar Lampiran
Page 14
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Skor OMA ....................................................................................... 23
Tabel 2.2 Klasifikasi nyeri ............................................................................... 34
Tabel 3.1 Data aktivitas sehari-hari ................................................................. 56
Page 15
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Anatomi telinga tengah ................................................................ 9
Gambar 2.2 Membran timpani normal ............................................................. 13
Gambar 2.3 Membran timpani hiperemis ........................................................ 15
Gambar 2.4 Membran timpani bulging dengan pus purulen ............................ 16
Gambar 2.5 Membran timpani perforasi .......................................................... 17
Gambar 2.6 Perbedaan antara tuba eustachius pada anak dan orang dewasa .. 26
Page 16
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Standar Operasional Prosedur
Lampiran 2 : Lembar Konsul
Lampiran 3 : Jurnal Terkait Penelitian
Page 17
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media adalah infeksi pada telinga tengah yang menyebabkan
peradangan (kemerahan dan pembengkakan) dan penumpukan cairan di
belakang gendang telinga (Haryono, 2019). Otitis media dapat terjadi akibat
terganggunya tuba eusthacius, dimana paling sering disebabkan oleh infeksi
virus pada saluran pernapasan atas dan diperparah oleh infeksi sekunder oleh
bakteri (Shaikh & Hoberman, 2010). Gejala dan tanda klinik lokal atau
sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia,
demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi
perforasi membran timpani tengah (Buchman, 2003).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut telinga tengah. Penyakit
ini masih merupakan masalah kesehatan khususnya pada anak - anak.
Diperkirakan 70% anak mengalami satu atau lebih episode otitis media
menjelang usia 3 tahun. Penyakit ini terjadi terutama pada anak dari baru
lahir sampai umur sekitar 7 tahun (Healy & Rosbe, 2003).
Berdasarkan data World Health Organization (2012) terdapat 5,3% atau
360 juta penduduk di dunia yang mengalami gangguan pendengaran, 91%
atau 328 juta diantaranya orang dewasa dan 9% atau 32 juta adalah anak-
anak. Prevalensi gangguan pendengaran akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Menurut Samuel dkk (2014) di Asia Tenggara, Indonesia
Page 18
2
termasuk keempat negara dengan prevalensi gangguan telinga tertinggi yaitu
4,6%.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2013) menunjukkan bahwa penduduk Indonesia usia 5
tahun keatas 2,6 % mengalami gangguan pendengaran, 0,09 % mengalami
ketulian, 18,8 % ada sumbatan serumen dan 2,4 % ada sekret diliang telinga.
Data tersebut menunjukkan bahwa gangguan pendengaran masih menjadi
permasalahan kesehatan masyarakat.
Prevalensi gangguan pendengaran nasional didapatkan sebesar 2,6 %,
dimana angka tertinggi didapatkan di Nusa Tenggara Timur (3,7%) dan
terendah di Banten (1,6%). Data prevalensi gangguan pendengaran penduduk
usia diatas lima tahun di provinsi Sumatera Barat didapatkan sebesar 2,5 %
(KemenKes, 2013).
Berdasarkan data dari RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun
2019 didapatkan 192 pasien OMA dengan kejadian tertinggi, pada musim
hujan (65,6%), usia 6-12 tahun (30,7%), laki - laki (56,3%), keluhan otalgia
(57,3%), stadium hiperemis (unilateral) (46,7%) dan hiperemis – hiperemis
(bilateral, sinistra-dextra) (36,8%), serta riwayat infeksi saluran napas atan
(85,9%).
Otitis Media sering terjadi pada anak-anak dan berhubungan dengan
saluran pernapasan atas baik berasal dari virus atau bakteri. Dalam banyak
kasus Otitis Media merespon antibiotik, namun infeksi berulang biasanya
memerlukan operasi, yang memerlukan pembuatan sebuah lubang di gendang
telinga untuk mengurangi tekanan dan mengalirkan sekresi telinga tengah
Page 19
3
(David, 2012). Biasanya setelah dilakukan operasi akan ditemukan keluhan
seperti demam, nyeri telinga, iritabilitas, muntah, resiko infeksi, dan juga
gejala saluran pernapasan akut lainnya (Lieberthal et al., 2013).
Pada umumnya anak – anak sangat rentan untuk memegang dan menekan
area luka, bahkan saat tidur tanpa sengaja mengenai luka. Hal ini
menyebabkan resiko infeksi menjadi masalah yang sering ditemui setelah
post operasi. Anak-anak yang mengalami infeksi akan menimbulkan
penyembuhan luka lambat. Beberapa faktor penyebab infeksi adalah lamanya
waktu terbuka setelah kejadian, peningkatan trauma kulit sekitar, kontaminasi
bakteri, adanya benda asing dan pencucian yang tidak adekuat (Arisanty,
2013). Untuk itu agar angka infeksi tidak meningkat, maka diperlukan
perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi silang (Yusra & Aprilani,
2015).
Perawatan luka bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi jaringan yang menunjang proses penyembuhan luka (Tarigan, 2007).
Saat ini teknik perawatan luka yang berkembang adalah perawatan luka
konvensional dan modern (Fata dkk, 2016).
Perawatan luka konvensional saat ini masih cenderung menggunakan
bahan-bahan perawatan yang konvensional atau wet dry dan tidak
mendukung penyembuhan luka, seperti penggunaan povidone iodine, alkohol
70%. Cairan antiseptik ini akan menyebabkan luka mengering serta
menggunakan kasa lembab. Ketika kasa lembab menjadi kering, akan
menekan permukaan jaringan, yang berarti segera harus diganti dengan
balutan kering berikutnya. Hal ini mengakibatkan tidak hanya pertumbuhan
Page 20
4
jaringan sehat yang terganggu, tetapi juga menimbulkan rasa nyeri yang
berlebihan. Luka dianggap telah sembuh walau akhirnya malah menimbulkan
bekas menghitam dan jaringan parut. Anggapan bahwa luka yang telah
mengering adalah kondisi luka yang telah sembuh inilah yang harus dirubah
karena tidak sesuai dengan prinsip penyembuhan luka (Baroroh, 2011 dalam
Naralia dan Ariani, 2018).
Banyak teknik yang bisa dilakukan untuk perawatan luka salah satunya
perawatan luka modern dressing dengan metode moist wound healing.
Modern wound dressing merupakan salah satu metode perawatan luka
dengan cara tertutup dan lembab yang difokuskan untuk menjaga luka dari
dehidrasi dan meningkatkan proses penyembuhan luka (Dhivya, Padma, &
Santhini, 2015). Luka dengan suasana lembab dapat mempercepat
fibrinolisis, angiogenesis, menurunkan resiko infeksi, pembentukan growth
factor, dan pembentukan sel aktif (Handayani, 2016).
Gito dan Rochmawati (2018) menuliskan bahwa modern dressing dapat
mempercepat penyembuhan luka karena dalam beberapa jenis modern
dressing, mengandung antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan
bakteri gram positif dan gram negatif. Modern dressing dinilai efektif dan
efisien dalam proses penyembuhan luka klien dari segi biaya, waktu, dan
pencegahan infeksi. Oleh karena ini, hal ini penting untuk diketahui perawat
yang bertanggung jawab terhadap klien dalam masa proses penyembuhan
lukanya.
Page 21
5
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penerapan Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) dengan judul “Penerapan
Perawatan Luka Modern Dressing Dengan Metode Moist Wound Healing
Pada Otitis Media Di Ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Tahun 2019”.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam Karya Ilmiah Akhir Ners (KIA-N) ini adalah
“Bagaimana Penerapan Perawatan Luka Modern Dressing Dengan Metode
Moist Wound Healing Pada Otitis Media Di Ruang THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2019?”.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
dalam menerapkan asuhan keperawatan pada An. A dengan post
operasi Otitis Media di Ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2020.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang konsep
dasar Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2020.
Page 22
6
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada An. A dengan
post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.
3. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An.
A dengan post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.
4. Mahasiswa mampu melakukan intervensi pada An. A dengan post
operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2020.
5. Mahasiswa mampu menerapkan implementasi pada An. A dengan
post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.
6. Mahasiswa mampu melakukan evaluasi pada An. A dengan post
operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi Tahun 2020.
7. Mahasiswa mampu melakukan pendokumentasian pada An. A
dengan post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.
8. Mahasiswa mampu menerapkan perawatan luka pada An. A
dengan post operasi Otitis Media di ruang THT RSUD Dr.
Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2020.
Page 23
7
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat digunakan sebagai
dasar pengembangan manajemen asuhan keperawatan dan membantu
perawat diruang perawatan dalam meningkatkan kepuasan pasien
terhadap pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan khususnya
dalam melakukan penerapan aplikasi modern wound care sebagai
salah satu intervensi perawatan luka.
1.4.2 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan juga sebagai acuan dalam mengembangkan ilmu
keperawatan dasar bagi peserta didik khususnya Prodi Profesi Ners
Stikes Perintis Padang. Hasil ini dapat diproses menjadi dasar atau
data yang mendukung untuk badan pengajaran ilmu keperawatan
dasar.
1.4.3 Bagi Penulis
Hasil penulisan karya ilmiah ini diharapkan memberikan pengetahuan
dan memperkaya pengalaman bagi penulis dalam memberikan dan
menyusun asuhan keperawatan pada pasien Otitis Media sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi
Profesi Ners Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Perintis Padang.
Page 24
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Otitis Media Akut
2.1.1 Definisi Otitis Media Akut
Otitis media akut adalah peradangan telinga tengah yang
gejalanya berlangsung cepat seperti tanda-tanda dari efusi telinga
tengah dan tanda inflamasi pada telinga tengah. Otalgia dan demam
adalah tanda paling klasik dari otitis media akut yang telah terjadi
pernanahan. Penemuan spesifik dari pemeriksaan otoskop adalah
hilangnya reflek cahaya, hilangnya bentuk normal membran timpani,
dan pembengkakan pada membran timpani (Toll & Nunez, 2012).
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah
dengan gejala dan tanda - tanda yang bersifat cepat dan singkat.
Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara
lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual,
muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran
timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga
tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau
inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran
timpani atau bulging, mobilitas yang terhadap pada membran timpani,
terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner,
2007).
Page 25
9
2.1.2 Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Telinga
Telinga tengah adalah suatu rongga yang terletak di tulang
tengkorak dan terdiri dari membran timpani, kavum timpani,
antrum mastoid dan tuba eustakhius (Ghanie, 2010).
Gambar 2.1. Anatomi telinga tengah
(Sumber : tortora 13th
edition 2011)
a. Membran Timpani
Membran timpani dibagi menjadi dua bagian, yaitu pars
tensa (membran sharpnell) yang terletak dibagian atas dan
pars tensa (membran propria) yang terletak dibagian bawah
(Luklukaningsih, 2014). Pars tensa merupakan bagian paling
besar terdiri dari tiga lapisan. Lapisan luar disebut lapisan
kutaneus (cutaneous layer) terdiri dari lapisan epitel berlapis
semu halus yang normalnya mereflesikan cahaya. Lapisan
Page 26
10
dalam disebut lapisan mukosa (mucosal layer) merupakan
lapisan yang berbatasan dengan cavum timpani serta lapisan
yang terletak diantara keduanya. Lapisan ini terdiri dari dua
lapis jaringan ikat fibrosa yang bersatu dengan cincin
fibrokartilago yang mengelilingi membran timpani. Pars
flaksida tidak memiliki lapisan fibrosa, sehingga bagian inilah
yang pertama kali akan mengalami retraksi bila terjadi tekanan
negatif dalam telinga (Shaikh & Hoberman, 2010).
b. Kavum Timpani
Kavum timpani dibagi menjadi tiga bagian yang
berhubungan dengan lempeng membran timpani, yaitu
epitimpanum, mesotimpanum dan hipotimpanum (Ghanie,
2010).
1) Epitimpanum, dibatasi oleh suatu penonjolan tipis, yaitu
tegmen timpani. Bagian anterior epitimpanum terdapat
ampula kanalis superior. Pada bagian anterior ampula
kanalis superior terdapat ganglion genikulatum yang
merupakan tanda ujung anterior ruang atik. Atik pada
bagian posterior menyempit menjadi jalan masuk ke
antrum mastoid yaitu aditus ad antrum (Budiyono, 2011).
2) Mesotimpanum, pada bagian medial dibatasi oleh kapsul
otik yang terletak lebih rendah daripada n.Fasialis pars
timpani. Promotorium berisi saraf-saraf yang membentuk
pleksus timpanikus. Promotorium pada bagian
Page 27
11
posterosuperior terdapat foramen ovale (vestibuler), dan
pada bagian posteroinferior terdapat foramen rotundum
(koklear). Orificium timpani tuba eustakhius terletak pada
anterosuperior mesotimpanum (Luklukaningsih, 2014).
Hipotimpanum merupakan suatu ruang dangkal yang
terletak lebih rendah dari membran timpani.
Hipotimpanum membentang dari kanalis semisirkularis
lateralis sampai kanalis semisirkularis posterior disebelah
anteromedial sinus sigmoid. Sudut ini akan ditemukan
dengan membuang sebersih-bersihnya sel-sel pneumatisasi
mastoid diantara kanalis semisirkularis lateral dengan
sudut sinodura. Segitiga trautman adalah daerah yang
terletak dibalik antrum yang dibatasi oleh sinus sigmoid,
sinus lateral dan tulang labirin. Batas medialnya adalah
lempeng dura fossa posterior (Koksal & Reisli, 2002).
c. Tuba Eustakhius
Tuba eustakhius menghubungkan telinga tengah dengan
nasofaring. Panjang tuba eustakhius dewasa bervariasi antara
31 - 38 mm. Pada bayi dan anak-anak ukurannya lebih pendek
dan lebih horisontal sehingga sekret dari nasofaring lebih
mudah masuk ke telinga tengah. Dua pertiga bagian
anteromedial tuba (arah nasofaring) berdinding tulang rawan,
sedangkan sisanya (arah cavum timpani) berdinding tulang.
Dinding tulang rawan ini tidak lengkap, dinding bawah dan
Page 28
12
lateral bawah merupakan jaringan ikat yang bergabung dengan
M. Tensor dan levator velli palatini. Tuba eustakhius akan
terus berkembang bertambah panjang dan akan membentuk
sudut yang lebih besar dari bidang horisontal pada usia 5-7
tahun (Budiyono, 2011).
2. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi
oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui
udara atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan
membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian
tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran Proses
mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara
atau tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran
timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya
ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah di
amplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara
membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan
rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
Page 29
13
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi
pelepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan
ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis (Soetirto, Hendarmin, & Bashiruddin, 2012).
2.1.3 Klasifikasi Otitis Media Akut
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium,
bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu
stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-
supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi
(Djaafar, 2007).
Gambar 2.2. Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang
ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan
intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya
Page 30
14
absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi
malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang.
Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya
tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap
normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat.
Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium
ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada
stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di
membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani
mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat
serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba
yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh
mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga
tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini
merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien
mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran
mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung
dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat
tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala
berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar,
2007; Dhingra, 2007).
Page 31
15
Gambar 2.3. Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat
purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel
mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi
makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya
eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran
timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.
Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien
selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai
dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam
tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan
baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat
timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani.
Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum
timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga
tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan
Page 32
16
nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna
kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan
miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan
insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari
telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada
membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila
terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup
kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali
jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.4. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani
sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan
mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang
pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya
virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi
lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.
Page 33
17
Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret
atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan
ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan
tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai
dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif
kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).
Gambar 2.5. Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali
dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi
ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi
membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan
berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal.
Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika
membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan
virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut
menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini
berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang
Page 34
18
keluar secara terus-menerus atau hilang timbul (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).
2.1.4 Etiologi Otitis Media Akut
1. Bakteri
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering.
Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis
bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan
atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non-
patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah
Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus
influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-
kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta-hemolytic), Staphylococcus
aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan
organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan
neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus
influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme
yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang
dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).
Sekitar 70% pasien dengan otitis media akut, bakteri
ditemukan pada kultur pada telinga tengah. Spesies yang paling
sering adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae. Kultur pada nasofaring dapat memberikan informasi
Page 35
19
berguna dalam keterlibatan bakteri pada otitis media akut.
Heikkinen dkk menemukan pada 25% dari pasiennya disebabkan
oleh steptococcus penumoniae, haemophilus influenzae pada 23%,
moraxella catarrhalis sekitar 15%. Telah didemostrasikan bahwa
kekambuhan dari otitis media akut memiliki hubungan positif
dengan hasil kultur bakteri yang positif pada nasofaring (Corbeel,
2007).
2. Virus
Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai
tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain.
Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu
respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus
(sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza
virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak
buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun
lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya
(Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase
chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked
immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari
cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75%
kasus (Buchman, 2003).
Kebanyakan anak-anak terinfeksi oleh respiratory syncytial
virus (RSV) pada awal tahun kehidupan. Prevalensi virus saluran
Page 36
20
pernafasan pada cairan pada telinga tengah dari 456 anak berumur
tujuh bulan sampai tujuh tahun dengan otitis media akut adalah
41%. RSV adalah yang paling sering ditemukan, diikuti dengan
parainfluenza, influenza, enterovirus dan adenovirus. Penemuan
ini dikonfirmasi dengan penelitian lain dan ditambahkan beberapa
virus ke dalam daftar seperti rhinovirus, coronavirus,
metapheumovirus (Corbeel, 2007).
2.1.5 Faktor Resiko Otitis Media
Faktor risiko dari otitis media pada populasi anak-anak (pediatric)
tergantung pada banyak faktor seperti faktor inang dan faktor
lingkungan. Faktor risiko ini adalah usia, kolonisasi bakteri,
menyusui, dan merokok pasif (Bardy dkk., 2014).
1. Usia
Puncak insiden dari otitis media akut adalah pada dua tahun
pertama kehidupan, khususnya pada 6-12 bulan. Peningkatan
kerentanan terhadap otitis media akut dapat dikaitkan dengan
keadaan anatomi, dimana tuba Eusthacius lebih pendek dan lebih
horizontal dibandingkan dengan dewasa dan juga karena faktor
imunitas (Shaikh & Hoberman, 2010).
2. Kolonisasi bakteri
Kolonisasi pada nasofaring oleh otopathogen memprediksi
onset awal dan frekuensi dari otitis media pada semua anak-anak.
Penelitian pada kelompok pribumi menunjukan bahwa kolonisasi
Page 37
21
otopathogen ini lebih sering pada usia muda dan dengan jumlah
bakteri yang terkandung lebih tinggi (Bardy dkk., 2014).
3. Kondisi lingkungan
Risiko terkena otitis media meningkat dengan adanya kontak
dengan anak lain, rumah dengan jumlah anggota keluarga yang
melebihi seharusnya, kumuh, dan interaksi dengan individual
dengan otitis media akut. Beberapa studi meneliti antara kondisi
lingkungan yang tidak baik dengan risiko otitis media pada
komunitas pribumi. Lingkungan yang padat sudah dipastikan
sebagai masalah utama pada komunitas pribumi (Bardy dkk.,
2014).
4. ASI
Literatur internasional menyatakan bahwa kekurangan ASI
ekslusif pada enam bulan pertama kehidupan meningkatkan risiko
otitis media akut pada bayi di bawah satu tahun, tetapi pada
penilitan 280 anak - anak pribumi menunjukan bahwa kurangnya
ASI ekslusif tidak meningkatkan risiko otitis media pada enam
bulan awal kehidupan (Bardy dkk, 2014).
5. Merokok
Merokok pasif merupakan resiko yang penting terjadinya otitis
media pada anak-anak (Bardy dkk, 2014).
Page 38
22
2.1.6 Tanda dan Gejala Otitis Media Akut
Menurut Smeltzer & Bare (2001) Gejala otitis media akut dapat
bervariasi antara lain : Nyeri telinga (otalgia), keluarnya cairan dari
telinga, demam, kehilangan pendengaran, tinitus, membran timpani
tampak merah dan menggelembung.
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur
pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah
rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi.
Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang
lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat
gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu
tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak
gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare,
kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit.
Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang
telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau
ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran
temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan
menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan
dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari
(2005), skor OMA adalah seperti berikut:
Page 39
23
Tabel 2.1. Skor OMA
Skor Suhu
(ºC)
Gelisah Tarik
telinga
Kemerahan
pada membran
timpani
Bengkak pada
membran timpani
(bulging)
0 <38,0 Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
1 38,0-38,5 Ringan Ringan Ringan Ringan
2 38,6-39,0 Sedang Sedang Sedang Sedang
3 >39,0 Berat Berat Berat Berat termasuk
otore
Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan
angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti
OMA berat.
Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat
otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral atau
39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam
kurang dari 39°C oral atau 39,5°C rektal (Titisari, 2005).
2.1.7 Patofisiologi Otitis Media Akut
Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting
pada otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang
menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring, yang
terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan
sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).
Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan
baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau
pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba
dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila terjadi
perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20
sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi
penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi
Page 40
24
berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung
telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret
atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan
untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring
(Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).
Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh
infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi
kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk
nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit,
sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan
aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah
melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba
Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari
nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan
mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke
dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA
dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat,
drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi
akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang
dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus
Page 41
25
respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri,
sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi
lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan
tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap
getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi
(Kerschner, 2007).
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan
ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana
proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta
akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal
dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba
terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid
(Kerschner, 2007).
Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding
dengan orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih
pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba
orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah
menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan
pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini
meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu
drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis media
Page 42
26
pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah
berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat,
sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem
pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA
lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ
di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh.
Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi
adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga
adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius.
Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar
ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).
Gambar 2.6. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan
Orang Dewasa
Page 43
27
WOC Otitis Media
Sumber : Corbeel, 2007
Usia, kolonisasi bakteri, kondisi lingkungan, ASI,
merokok.
Bakteri Streptococcus pneumoniae, haemophilus influenzae dan moraxella
catarhalis serta respiratory syncytial virus, influenza virus atau adenovirus.
Infeksi virus ini akan menyebabkan pembengkakan dan menghasilkan penumpukan sekresi mukosa.
Akumulasi sputum di belakang gendang telinga
Invasi bakteri
Otitis Media
Proses peradangan pada telinga tengah
Kuman melepaskan endotoksin
Merangsang tubuh mengeluarkan zat pirogen oleh leukosit
Suhu tubuh meningkat
Hipertermia
Tekanan udara pada telinga tengah
Retraksi membran timpani
Hantaran suara / udara yang diterima menurun
Gg komunikasi verbal
Perubahan status kesehatan
Kurang informasi
Defisit pengetahuan
Tindakan pembedahan
Luka terbuka
Terputusnya kontinuitas jaringan
Resiko infeksi
Infasi bakteri
Mengaktivasi reseptor nyeri
Melalui sistem
saraf ascenden
Merangsang thalamus
& korteks serebri
Muncul sensasi nyeri
Nyeri akut
Page 44
28
2.1.8 Penatalaksanaan Otitis Media Akut
1. Pengobatan
Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga
tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 %
dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl
efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas
12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan
pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).
Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes
hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan
penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan
kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya
adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan
kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila
pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak,
diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam
empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).
Page 45
29
Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien
harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran
timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur (Djaafar, 2007).
Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar,
kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga
(ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan
hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai
dengan 10 hari (Djaafar, 2007).
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal
kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak
terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar
melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan,
mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).
2. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat
menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba
timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
a. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa
membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga
tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan
Page 46
30
secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi
miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi
yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu
dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar,
2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah
nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus
fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.
Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada
satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau
timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon
kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner,
2007).
b. Timpanosintesis
Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005),
timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani,
dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk
tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi
antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif,
pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh
rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah,
Page 47
31
gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan
plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial
yang telah dijalankan.
c. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi
otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang
pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba
timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada
anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului
dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali
jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren
(Kerschner, 2007).
2.2 Konsep Kebutuhan Dasar
Kenyamanan atau rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan
yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah
terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah
dan nyeri). Kenyamanan harus dipandang secara holistik yang mencakup
empat aspek yaitu:
1. Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
2. Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial.
3. Psikososial, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri
yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan.
Page 48
32
4. Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah
lainnya (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
Dalam meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat lebih
memberikan kekuatan, harapan, dorongan, hiburan, dukungan dan bantuan.
Secara umum dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah
kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo / hipertermia. Hal ini
disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo / hipertermia merupakan kondisi
yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukkan dengan
timbulnya gejala dan tanda pada pasien (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
2.2.1 Gangguan Rasa Nyaman
1. Definsi gangguan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman adalah perasaan kurang senang, lega dan
sempurna dalam dimensi fisik, psikospiritual, lingkungan dan
emosional (SDKI PPNI, 2016).
2. Penyebab gangguan rasa nyaman
Gejala penyakit, kurang pengendalian situasional / lingkungan,
ketidakadekuatan sumber daya, kurangnya privasi, gangguan
stimulus lingkungan, efek samping terapi (misal medikasi, radiasi
dan kemoterapi).
3. Gejala dan tanda mayor
Subjektif : Mengeluh tidak nyaman
Objektif : Gelisah
Page 49
33
4. Gejala dan tanda minor
Subjektif : Mengeluh sulit tidur dan mengeluh lelah, tidak mampu
rileks, mengeluh kedinginan/kepanasan, merasa gatal, mengeluh
mual.
Objektif : Menunjukkan gejala distres, tampak merintih/menangis,
pola eleminasi berubah, postur tubuh berubah, iritabilitas
5. Kondisi klinis terkait:
- Penyakit kronis dan Keganasan
- Distres psikologis, Kehamilan (SDKI PPNI, 2016).
2.2.2 Gangguan Rasa Nyaman Nyeri
1. Pengertian nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial yang dirasakan dalam kejadian dimana
terjadi kerusakan jaringan tubuh (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
Nyeri adalah pengalaman sensori atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang
berlangsung kurang dari 3 bulan (SDKI PPNI, 2016).
2. Fisiologi nyeri
Terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi,
presepsi, dan relaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan
impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki
medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf
Page 50
34
dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abu-abu di medula
spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel
saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai
otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka
otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi
tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi
kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri (Wahyudi &
Abd.Wahid, 2016).
3. Klasifikasi nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.
Tabel 2.2 Klasifikasi Nyeri
Nyeri Akut Nyeri Kronis
Nyeri akut adalah pengalaman
sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau
fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga
berat yang berlangsung
kurang dari kurang 3 bulan.
Nyeri kronis adalah
pengalaman sensorik atau
emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan
onset mendadak atau lambat
dan berintensitas ringan hingga
berat dan konstan, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan.
Penyebab nyeri akut :
1. Agen pencedera fisiologis
(mis: inflamasi, iskemia,
meoplasma)
2. Agen pencedera kimiawi
(mis: terbakar, bahan kimia
iritan)
3. Agen pencedera fisik (mis:
abses, amputasi, terbakar,
terpotong, mengangkat
berat, prosedur operasi,
trauma, latihan fisik
berlebihan)
Penyebab nyeri kronis :
1. Kondisi muskuloskeletal kronis
2. Kerusakan sistem saraf
3. Penekanan saraf
4. Infiltrasi tumor
5. Ketidakseimbangan
neuromedulator dan reseptor
6. Gangguan imunitas (mis:
neuropati terkait HIV, virus
vericella-zoster)
7. Gangguan fungsi metabolik
8. Riwayat posisi kerja statis
9. Peningkatan indeks massa tubuh
10. Kondisi pasca trauma
11. Tekanan emosional
12. Riwayat penganiayaan (mis:
fisik, psikologis, seksual)
13. Riwayat penyalahgunaan obat /
zat.
Sumber: (SDKI PPNI, 2016).
Page 51
35
4. Efek yang ditimbulkan oleh nyeri
Nyeri merupakan kejadian ketidaknyamanan yang dalam
perkembangannya akan mempengaruhi berbagai komponen dalam
tubuh. Efek nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan
pengaruhnya pada aktivitas sehari-hari (Andarmoyo, 2017).
a. Tanda dan gejala
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang
berupaya untuk tidak mengeluh atau mengakui
ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengobservasi
keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut
jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan meningkat
(Wahyudi & Abd.Wahid, 2016).
b. Efek fisik
1) Nyeri akut
Pada nyeri akut, nyeri yang tidak diatasi secara adekuat
mempunyai efek yang membahayakan diluar
ketidaknyamanan yang disebabkannya. Selain merasakan
ketidaknyamanan dan mengganggu, nyeri akut yang tidak
kunjung mereda dapat memengaruhi sistem pulmonary,
kardiovaskuler,gastrointestinal, endokrin, dan imunologik
(Andarmoyo, 2017).
Page 52
36
2) Nyeri kronis
Seperti halnya nyeri akut, nyeri kronis juga mempunyai
efek negatif dan merugikan. Supresi atau penekanan yang
terlalu lama pada fungsi imun yang berkaitan dengan nyeri
kronis dapat meningkatkan pertumbuhan tumor
(Andarmoyo, 2017).
c. Efek perilaku
Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah
dan gerakan tubuh yang khas dan berespons secara vokal serta
mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali
meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah,
imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan
melindungi bagian tubuh sampai dengan menghindari
percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada
aktivitas menghilangkan nyeri (Wahyudi & Abd.Wahid,
2016).
d. Pengaruh pada aktivitas sehari-hari
Pasien mengalami nyeri setiap hari kurang mampu
berpartisipasi dalam aktivitas rutin, seperti mengalami
kesulitan dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat
mengganggu aktivitas sosial dan hubungan seksual (Wahyudi
& Abd.Wahid, 2016).
Page 53
37
2.3 Konsep Perawatan Luka
2.3.1 Definisi Perawatan Luka
Perawatan luka adalah membersihkan luka, mengobati dan
menutup luka dengan memperhatikan teknik steril (Ghofar, 2012).
Perawatan luka merupakan salah satu teknik dalam pengendalian
infeksi pada luka karena infeksi dapat menghambat proses
penyembuhan luka. Infeksi luka post operasi merupakan salah satu
masalah utama dalam praktek pembedahan (Potter & Perry, 2006).
Moist Wound Care atau nama lain dari Moist Wound Healing
merupakan proses penyembuhan luka secara lembab atau moist
dengan mempertahankan isolasi lingkungan luka berbahan oklusive
dan semi oklusive (Fatmadona & Oktarina, 2016). Moist Wound Care
mendukung terjadinya proses penyembuhan luka sehingga terjadi
pertumbuhan jaringan secara alami yang bersifat lembab dan dapat
mengembang apabila jumlah eksudat berlebih, dan mencegah
kontaminasi bakteri dari luar (Ose, Utami, & Damayanti, 2018).
2.3.2 Tujuan Perawatan Luka
Menurut Ghofar (2012) tujuan perawatan luka adalah:
1. Mencegah masuknya kuman dan kotoran ke dalam luka.
2. Mencegah penyebaran oleh cairan dan kuman yang berasal dari
luka ke daerah sekitar.
3. Mengobati luka dengan obat yang telah di tentukan.
Page 54
38
2.3.3 Alat dan Bahan Perawatan Luka
Menurut Ghofar (2012) alat dan bahan yang digunakan pada saat
perawatan luka :
1. Satu set perawatan luka steril / bak steril, terdiri dari:
Sarung tangan, pinset anatomis, pinset chirurgis, gunting jaringan,
kassa steril, kom berisi larutan pembersih (normal salin 0,9%).
2. Alat non steril, terdiri dari :
Sarung tangan non steril, cairan Nacl 0,9%, pengalas sesuai luas
luka, kapas alkohol, korentang, perlak atau penghalas, bengkok,
kom berisi lysol 1% , gunting verban / plester, verban, plester,
schort, masker, obat sesuai program terapi, tempat sampah.
2.3.4 Prosedur Perawatan Luka
Menurut Ghofar (2012), prosedur perawatan luka ialah:
1. Tahap pra interaksi.
a. Melakukan pengecekan pada care plan pasien.
b. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.
c. Mencuci tangan.
d. Menempatkan alat di dekat pasien dengan benar.
2. Tahap orientasi.
a. Memberikan salam dan menyapa pasien.
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan.
c. Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan.
Page 55
39
3. Tahap kerja.
a. Menjaga privacy.
b. Mengatur posisi pasien sehingga luka dapat terlihat jelas.
c. Membuka peralatan.
d. Memakai sarung tangan.
e. Membasahi balutan dengan alkohol / swah bensin dan buka
dengan menggunakan pinset.
f. Membuka balutan lapisan terluar.
g. Membersihkan sekitar luka dan bekas plester.
h. Membuka balutan lapisan dalam.
i. Menekan tepi luka (sepanjang luka) untuk mengeluarkan pus.
j. Melakukan debridement.
k. Membersihkan luka dengan menggunakan NaCl.
l. Melakukan kompres desinfektan dan tutup dengan kassa.
m. Memasang plester atau verband.
n. Merapihkan pasien.
4. Tahap terminasi
a. Melakukan evaluasi tindakan yang dilakukan.
b. Berpamitan dengan klien.
c. Membereskan alat-alat.
d. Mencuci tangan.
e. Mencatat kegiatan dalam lembar / catatan keperawatan.
Page 56
40
2.3.5 Evaluasi
Menurut Supartini (2009) untuk melihat perkembangan pasien
setelah dilakukan tindakan keperawatan luka : Tanda-tanda
penyembuhan luka, karakteristik drainage, tanda - tanda inflamasi,
tingkat nyeri.
2.3.6 Proses Penyembuhan Luka
Menurut Yasmara dkk (2017), saat terjadi luka, tubuh akan
memberikan respons melalui tiga fase proses penyembuhan luka.
Proses tersebut adalah :
1. Fase Inflamasi (devensif)
Fase ini terjadi 3-4 hari dengan adanya hemostasis dan
inflamasi. Hemostasis atau pengehentian perdarahan terjadi
dengan adanya vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah
yang terkena. Trombosit akan diaktivasi menjadi plug trombosit
dan menghentikan perdarahan. Selanjutnya akan terbentuk fibrin
dan jaringan fibrinosa yang akan menangkap trombosit dan sel
lainnya. Proses ini akan menghasilkan pembentukan gumpalan
fibrin yang akan menjadi penutup awal luka, mencegah
kehilangan darah dan cairan tubuh serta menghambat kontaminasi
luka oleh mikroorganisme. Inflamasi merupakan reaksi adaptasi
tubuh terhadap adanya cedera pada tubuh dan melibatkan respon
vaskuler dan sekuler. Pada respon vaskuler, akan dikeluarkan
histamin, serotonin, komplemen dan kinin. Zat-zat ini merupakan
substansi vasoaktif yang akan menyebabkan pembuluh darah
Page 57
41
vasodilatasi dan lebih permeabel, sehingga aliran darah akan
meningkat dan cairan serosa akan keluar disekeliling jaringan.
Peningkatan suplay darah ini akan membawa nutrisi dan oksigen
yang sangat diperlukan untuk proses penyembuhan luka dan
membawa leukosit ke daerah luka untuk melakukan fagositosis
untuk membuang mikroorganisme. Peningkatan aliran darah ini
juga akan membuang kotoran termasuk sel mati, bakteria, eksudat
atau materi dan buangan sel dari pembuluh darah. Daerah ini akan
menjadi merah, edema, dan hangat ketika disentuh. Pada fase
selular, leukosit akan bergerak ke luar pembuluh darah, masuk ke
rongga interstisial. Neutrofil datang pada sel yang terluka dan
melakukan fagositosis. Mereka akan mati dan digantikan oleh
makrofag yang muncul dari monosit darah. Makrofag ini akan
berperan seperti neutrofil dan bekerja untuk jangka waktu yang
lebih lama. Makrofag ini juga sangat berperan dalam proses
penyembuhan luka karena mengeluarkan fibroblast activating
factor (FAF) dan angiogenesis factor (AGF). FAF membentuk
fibroblast yang kemudian akan membentuk kolagen atau prekusor
kolagen. AGF akan menstimulasi pembentukan darah baru.
2. Fase Rekontruksi
Fase ini mulai hari ketiga tau keempat setelah terjadinya luka
dan dapat bertahan hingga 2-3 minggu. Fase ini terdiri dari proses
deposisi kolagen, angiogenesis, perkembangan jaringan granulasi,
dan kontraksi luka. Fibrolast akan bermigrasi ke dalam luka
Page 58
42
karena adanya mediator seluler. Pada fase ini terbentuk sistesi dan
sekresi dari kolagen. Kolagen ini akan saling menyilang untuk
membentuk jaring kolagen dan menguatkan tahanan luka. Jika
luka semakin kuat, risiko terjadinya luka terbuka akan semakin
kecil. Angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) dimulai
beberapa jam setelah terjadinya luka. Sel endotel mulai
membentuk enzim yang akan merusak membran dasar luka.
Membran terbuka dan sel endoteliat baru akan membentuk
pembuluh darah baru. Kapiler ini akan menuju luka dan
meningkatkan aliran pembuluh darah. Yang akan meningkatkan
suplai nutrisi dan oksigenasi. Proses penyembuhan dimulai
dengan adanya jaringan granulasi atau jaringan baru yang tumbuh
dari sekeliling jaringan yang sehat. Jaringan granulasi terdiri dari
pembuluh darah kapiler yang rapuh dan mudah berdarah,
sehingga berwarna merah. Setelah jaringan granulasi terbentuk,
akan mulai terjadi epitelisasi atau pertumbuhan jaringan epitel.
Sel epitel akan berpindah dari sisi luar jaringan yang luka ke
bagian dalam. Kontruksi luka merupakan tahap akhir dari fase
rekontruksi penyembuhan luka. Kontruksi akan terjadi dalam 6-12
hari setelah terluka dan luka akan ditutup.
3. Fase Maturasi
Fase ini dimulasi pada hari ke-21 dan akan terus berlanjut
hingga 2 tahun atau lebih bergantung pada kedalaman dan kondisi
luka. Selama fase ini akan terbentuk jaringan parut.
Page 59
43
2.4 Asuhan Keperawatan Teoritis
2.4.1 Pengkajian Keperawatan
1. Identitas Klien
Kaji Data klien secara lengkap yang mencakup ; nama, umur,
jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku bangsa, status
perkawinan, alamat, diagnosa medis, No RM / CM, tanggal
masuk, tanggal kaji, dan ruangan tempat klien dirawat.
Data penanggung jawab mencakup nama, umur, jenis kelamin,
agama, pekerjaan, suku bangsa, hubungan dengan klien dan
alamat.
2. Keluhan
Klien dengan Otitis Media Akut datang dengan keluhan nyeri
pada telinga bagian tengah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien pada saat di
anamnesa, seperti penjabaran dari riwayat adanya kelainan nyeri
yang dirasakan. Biasanya alasan klien Otitis Media Akut datang
memeriksakan diri ke rumah sakit yaitu adanya nyeri pada telinga
tengah disertai terganggunya fungsi pendengaran.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah ada kebiasaan berenang, apakah pernah menderita
gangguan pendengaran (kapan, berapa lama, pengobatan apa yang
dilakukan, bagaimana kebiasaan membersihkan telinga, keadaan
lingkungan tenan, daerah industri, daerah polusi).
Page 60
44
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji ada atau tidak salah satu keluarga yang mengalami
penyakit yang sama. Ada atau tidaknya riwayat infeksi saluran
nafas atas yang berulang dan riwayat alergi pada keluarga.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
- Telinga : Lakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan di daerah
telinga dengan menggunakan senter ataupun alat-alat lain
nya apakah ada cairan yang keluar dari telinga, bagaimana
warna, bau, dan jumlahnya. Apakah ada tanda-tanda
radang.
- Kaji adanya nyeri pada telinga
- Leher : Kaji adanya pembesaran kelenjar limfe di daerah
leher
- Dada / thorak, jantung, perut / abdomen, genitourinaria,
ekstremitas, sistem integumen, sistem neurologi.
b. Data pola kebiasaan sehari-hari
- Nutrisi
Bagaimana pola makan dan minum klien pada saat sehat
dan sakit,apakah ada perbedaan konsumsi diit nya.
- Eliminasi
Kaji miksi,dan defekasi klien
Page 61
45
- Aktivitas sehari-hari dan perawatan diri
Biasanya klien dengan gangguan otitis media ini, agak
susah untuk berkomunikasi dengan orang lain karena ada
gangguan pada telinga nya sehingga ia kurang mendengar
/ kurang nyambung tentang apa yang di bicarakan orang
lain.
7. Pemeriksaan diagnostik
a. Otoskopi
- Perhatikan adanya lesi pada telinga luar
- Amati adanya oedema pada membran tympani Periksa
adanya pus dan ruptur pada membran tympani
- Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada
membran tympani
b. Tes bisik
- Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi,
kemudian dilakukan tes bisik, pada klien dengan OMA
dapat terjadi penurunan pendengaran pada sisi telinga
yang sakit.
c. Tes garpu tala
d. Tes Rinne didapatkan hasil negatif
e. Tes Weber didapatkan lateralisasi ke arah telinga yang sakit
f. Tes Audiometri : AC menurun
g. Xray : terhadap kondisi patologi
Page 62
46
2.4.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien Otitis Media yaitu :
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan
dengan suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa
hangat.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan
pendengaran dibuktikan dengan tidak mampu mendengar,
menunjukkan respon tidak sesuai, sulit memahami komunikasi.
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar
informasi dibuktikan dengan menunjukkan perilaku tidak sesuai
anjuran.
5. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Page 63
47
2.4.3 Intervensi
No. Diagnosa
keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil
(SLKI)
Intervensi keperawatan
(SIKI)
1. Nyeri akut
berhubungan
dengan agen
pencedera
fisik
dibuktikan
dengan
mengeluh
nyeri,
meringis,
gelisah, sulit
tidur,
diaforesis.
Setelah dilakukan intervensi
selama 3 x 24 jam
diharapkan tingkat nyeri
menurun dengan kriteria
hasil :
- Keluhan nyeri menurun
- Meringis menurun
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Kesulitan tidur menurun
Manajemen nyeri
Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri.
3. Identifikasi respons nyeri non verbal.
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri.
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri.
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri.
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup.
8. Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan.
9. Monitor efek samping penggunaan analgetik.
Terapeutik :
1. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri.
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
Page 64
48
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat.
5. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2. Hipertermia
berhubungan
dengan
proses
penyakit
dibuktikan
dengan suhu
tubuh diatas
batas
normal, kulit
merah, kulit
terasa
hangat.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan
termoregulasi membaik
dengan kriteria hasil:
- Suhu tubuh membaik
- Suhu kulit membaik
- Kadar glukosa darah
membaik
- Pengisian kapiler
membaik
- Ventilasi membaik
- Tekanan darah membaik
Manajemen hipertermia
Observasi :
1. Identifikasi penyebab hipertermia.
2. Monitor suhu tubuh.
3. Monitor kadar elektrolit.
4. Monitor haluaran urine.
5. Monitor komplikasi akibat hipertermia.
Terapeutik :
1. Sediakan lingkungan yang dingin.
2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
3. Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
4. Berikan cairan oral.
5. Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis.
6. Lakukan pendinginan eksternal.
7. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin.
8. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu.
3. Gangguan
komunikasi
verbal
berhubungan
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan komunikasi
verbal meningkat dengan
Promosi komunikasi : defisit pendengaran
Observasi :
1. Periksa kemampuan pendengaran.
2. Monitor akumulasi serumen berlebihan.
Page 65
49
dengan
gangguan
pendengaran
dibuktikan
dengan tidak
mampu
mendengar,
menunjukka
n respon
tidak sesuai,
sulit
memahami
komunikasi.
kriteria hasil:
- Kemampuan berbicara
meningkat
- Kemampuan mendengar
- Kesesuaian ekspresi wajah
/ tubuh meningkat
- Kontak mata meningkat
3. Identifikasi metode komunikasi yang disukai pasien
Terapeutik :
1. Gunakan bahasa sederhana.
2. Gunakan bahasa isyarat, jika perlu.
3. Verifikasi apa yang dikatakan atau ditulis pasien.
4. Fasilitasi penggunaan alat bantu dengar.
5. Berhadapan dengan pasien secara langsung selama berkomunikasi.
6. Pertahankan kontak mata selama berkomunikasi.
7. Hindari merokok, mengunyah makanan atau permen karet dan menutup
mulut saat berbicara.
8. Hindari kebisingan saat berkomunikasi.
9. Hindari berkomunikasi lebih dari 1meter dari pasien.
10. Lakukan irigasi telinga, jika perlu.
11. Pertahankan kebersihan telinga.
Edukasi :
1. Anjurkan menyampaikan pesan dengan isyarat.
2. Ajarkan cara membersihkan serumen dengan tepat.
4. Defisit
pengetahuan
berhubungan
dengan
kurang
terpapar
informasi
dibuktikan
dengan
menunjukka
n perilaku
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan tingkat
pengetahuan meningkat
dengan kriteria hasil:
- Perilaku sesuai anjuran
meningkat
- Verbalisasi minat dalam
belajar meningkat
- Perilaku sesuai dengan
pengetahuan meningkat
Edukasi kesehatan
Observasi :
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan
motivasi perilaku hidup bersih dan sehat.
Terapeutik :
1. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan.
2. Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan.
3. Berikan kesempatan untuk bertanya.
Edukasi :
1. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan.
Page 66
50
tidak sesuai
anjuran.
2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Anjarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat.
5. Resiko
infeksi
dibuktikan
dengan efek
prosedur
invasif.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan tingkat
infeksi menurun dengan
kriteria hasil:
- Demam menurun
- Kemerahan menurun
- Nyeri menurun
- Bengkak menurun
Perawatan Area Insisi
Observasi :
1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda
dehisen atau eviserasi.
2. Identifikasi karakteristik drainase.
3. Monitor proses penyembuhan area insisi.
4. Monitor tanda dan gejala infeksi.
Terapeutik :
1. Bersihkan area insisi dengan pembersih yang tepat.
2. Usap area insisi dari area yang bersih menuju area yang kurang bersih.
3. Bersihkan area disekitar tempat pembuangan atau tabung drainase.
4. Pertahankan posisi tabung drainase.
5. Berikan salep antiseptik, bila perlu.
6. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.
Page 67
51
2.4.4 Implementasi
Pelaksanaan keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana
intervensi untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan
dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada nursing
orders untuk membantu pasien mencapai tujuan yang diharapkan.
Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk
memodifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan
klien. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu pasien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan, dan
memfasilitasi koping. Selama tahap pelaksanaan, perawat terus
melakukan pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang
paling sesuai dengan kebutuhan pasien (Nursalam, 2008).
2.4.5 Evaluasi
Evalusi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil
akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada
tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan
dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Jika hasil
evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa
keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan
masuk kembali kedalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang
(reassessment) (Asmadi, 2008).
Page 68
52
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS KELOLAAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
3.1.1 Identitas Klien
Nama : An. A
Tempat/tgl lahir : Padang Panjang, 03 Januari 2012
Umur : 7 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Suku : Koto
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Komplek cendana 2 garageh Bukittinggi
Tanggal masuk : 07 Oktober 2019
Sumber informasi : Pasien dan keluarga pasien
No MR : 395384
Tanggal pengkajian : 09 Oktober 2019
Keluarga terdekat yang dapat dihubungi (orang tua) :
Nama : Tn. I
Umur : 42 Tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Page 69
53
3.1.2 Riwayat Kesehatan Saat Ini
1. Keluhan Utama :
Pasien datang ke rumah sakit melalui IGD RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi pada tanggal 08 Oktober 2019 pukul 09.00
WIB dengan keluhan utama nyeri dibelakang telinga sebelah
kanan dan ketajaman pendengarannya menurun disertai dengan
keluarnya kotoran telinga yang berbau. Nyeri dirasakan sejak 5
hari yang lalu, skala nyeri 6. Telinga keduanya sering sakit
terutama yang kanan.
Keluhan lain : pusing (+), badan panas (+), mual (-), muntah (-).
BAB dan BAK tidak ada masalah, tidak ada kejang, pola makan
tidak ada gangguan. Keluarga mengatakan hidung sering
tersumbat sejak 6 bulan terakhir dan flu terus menerus. Ingus
berwarna bening.
Hasil pemeriksaan fisik : didapat kemerahan dan penonjolan pada
bagian belakang telinga sebelah kanan, panas (+).
2. Keluhan yang dirasakan saat ini
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 09 Oktober 2019
didapatkan data bahwa keluarga mengatakan ada luka bekas
operasi dibagian belakang telinga sebelah kanan, tampak luka
memiliki jumlah jahitan 1, panjang ±3cm dan kedalaman ±1 cm,
keluarga mengatakan luka masih basah, terdapat pus dan tidak ada
nekrotik, luka terpasang perban dan kondisi perban tampak masih
basah. Keluarga mengatakan luka jahitan belum dilakukan
Page 70
54
perawatan luka. Pasien juga mengeluh nyeri pada bagian belakang
telinga sebelah kanan, nyeri pada sekeliling area luka bekas
operasi, nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk jarum, skala nyeri 6,
nyeri terasa hilang timbul. Pasien tampak gelisah dan cemas. Pada
saat dilakukan pengkajian keluarga mengatakan pasien demam
naik turun sejak 3 hari yang lalu.
3. Faktor Pencetus
Keluarga pasien mengatakan pasien sering mengorek kuping
dengan cotton bud bahkan pernah sampai berdarah. Hasil
pemeriksaan otoskopis diperoleh membrane timpani tampak
merah, menggelembung.
4. Lama keluhan
Keluarga pasien mengatakan keluhan utama dirasakan sejak 5 hari
yang lalu sampai sekarang pada saat pengkajian. Keluarga pasien
mengatakan pasien sering mengalami batuk dan pilek sejak 6
bulan terkhir.
5. Timbulnya keluhan
Klien mengatakan keluhan dirasakan secara mendadak.
6. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Sendiri : Keluarga mengatakan pasien meminta tolong ke keluarga
untuk di bawa berobat.
Oleh orang lain : Keluarga mengatakan langsung membawa
pasien ke pusat pelayanan kesehatan terdekat atau rumah sakit.
7. Diagnosa medik : Otitis Media tanggal 08 Oktober 2019
Page 71
55
3.1.3 Riwayat Kesehatan Dahulu
1. Penyakit yang pernah dialami :
a. Anak – anak
Riwayat masa lalu pernah keluar cairan dari kedua telinga dan
berbau, sudah berobat ke Puskesmas.
b. Kecelakaan
Keluarga mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah
mengalami kecelakaan.
c. Pernah dirawat : Tidak
Keluarga mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah dirawat
di Rumah Sakit.
d. Alergi
Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki alergi terhadap
makanan maupun obat-obatan.
2. Kebiasaan
Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki kebiasan seperti
merokok, minum alkohol maupun mengkonsumsi obat-obatan
terlarang.
3.1.4 Riwayat Kesehatan Keluarga
1. Riwayat penyakit keluarga
Pada saat dilakukan pengkajian didapatkan data bahwa keluarga
mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memilki riwayat
penyakit yang sama dengan pasien dan penyakit lain seperti
hipertensi, DM, asma, jantung koroner dll.
Page 72
56
2. Genogram (3 Generasi)
Keterangan :
: Laki-laki : Tinggal serumah
: Perempuan : Menikah
X : Meninggal : Klien
3.1.5 Data Aktivitas Sehari – hari
Tabel 3.1 Data aktivitas sehari-hari
No Aktivitas Dirumah Dirumah Sakit
1 POLA NUTRISI
DAN CAIRAN
Frekuensi
makan
Keluarga mengatakan
biasanya pasien
dirumah makan
kadang 2x – 3x sehari.
Keluarga mengatakan
selama dirumah sakit
pasien makan 3x sehari.
Porsi
Keluarga mengatakan
biasanya pasien
dirumah selalu
menghabiskan
makanan nya.
Keluarga mengatakan
selama dirumah sakit
pasien makan hanya
sedikit, hanya
menghabiskan ½ porsi saja.
Intake cairan Keluarga mengatakan
biasanya pasien
dirumah sering
minum, pasien minum
±8 gelas/ hari.
Keluarga mengatakan
selama dirawat dirumah
sakit, pasien minum 5-7
gelas / hari. Pasien tampak
terpasang infus RL 20 tts/i.
Diet Keluarga mengatakan
biasanya dirumah
pasien dibatasi makan
yang manis seperti
permen dan coklat.
Keluarga mengatakan
selama dirumah sakit
pasien tidak boleh
mengkonsumsi makanan
selain yang didapatkan dari
rumah sakit. Pasien diet
makanan lunak.
X
A
A
X
X
Page 73
57
Makanan dan
minuman yang
disukai
Keluarga mengatakan
dirumah pasien
menyukai ayam
goreng.
Keluarga mengatakan
pasien tidak begitu
menyukai makanan rumah
sakit karena tidak enak dan
hambar.
Makanan dan
minuman yang
tidak disukai
Keluarga mengatakan
pasien tidak menyukai
sayuran
Keluarga mengatakan
pasien tidak menyukai
makanan dari rumah sakit.
Makanan
pantangan
Keluarga mengatakan
pasien tidak diberikan
pantangan makanan.
Keluarga mengatakan
pasien makan sesuai
makanan yang didapatkan
dari rumah sakit.
Napsu makan Keluarga mengatakan
napsu makan pasien
dirumah baik.
Keluarga mengatakan
selama dirawat napsu
makan menurun, karena
makanan dirumah sakit
tidak disukai oleh pasien.
Perubahan BB
3 bulan
terakhir
Keluarga mengatakan
BB pasien 23 kg.
Keluarga mengatakan
pasien tidak mengalami
penurunan BB.
Keluhan yang
dirasakan saat
ini
Keluarga mengatakan
dirumah pasien tidak
mengalami mual dan
muntah. Tidak ada
keluhan
Keluarga mengatakan
pasien merasa pusing dan
susah melakukan aktifitas.
2 POLA
ELIMINASI
BAB
Frekuensi
Warna
Bau
Output
BAB 1x sehari,
biasanya di pagi hari
Berwarna kuning,
konsistensi lembut
Bau tak sedap
tidak pernah
menggunakan
pencahar dirumah
BAB tidak lancar kadang
sekali dua hari, waktu
tidak menentu
Warna agak kehitaman,
konsistensi keras
Bau tak sedap
tidak pernah
menggunakan pencahar
selama dirumah sakit
BAK
Frekuensi
Warna
Bau
Output
BAK 6x sehari
warna kuning
seperti bau pesing
jumlah ±35 cc
BAK 7-8x sehari
warna kuning
bau seperti bau obat
jumlahnya ±40–50 cc
3 POLA TIDUR
DAN
ISTIRAHAT
Waktu tidur
(jam)
Jam tidur 21.00
Jam tidur 23.00
Page 74
58
Lama / hari
Kebiasaan
pengantar tidur
Kesulitan
dalam hal tidur
10-11 jam sehari
kebiasaan sebelum
tidur biasanya
menonton tv
kesulitan tidur tidak
ada
8 jam sehari
Kebiasaan sebelum tidur
pasien mengobrol dengan
orangtua.
Keluarga mengatakan
pasien dirumah sakit
sering tebangun karena
nyeri namun pasien dapat
tertidur lagi.
Pola aktivitas dan latihan
Keluarga mengatakan pasien merasa kesulitan dalam melakukan
aktivitas selama perawatan seperti berjalan dan mandi karena
badan pasien lemas, keluarga mengatakan pasien sulit untuk
memasang pakaian dan harus dibantu oleh keluarga dan perawat
karena terpasang infus, pasien sulit untuk BAB. Keluarga
mengatakan pasien tidak mengalami sesak nafas setelah
melakukan aktivitas.
3.1.6 Data Lingkungan
Keluarga mengatakan rumah pasien bersih, tidak ada bahaya yang ada
disekitar rumah pasien, dan juga rumah berada dilingkungan yang
banyak pepohonan dan asri sehingga jauh dari polusi udara dan jalan
raya serta tidak ada polusi pabrik di lingkungan rumah pasien.
3.1.7 Data Psikososial
1. Pola pikir dan persepsi
a. Alat bantu yang digunakan
Pasien tidak menggunakan alat bantu untuk melihat seperti
kacamata dan alat bantu mendengar.
Page 75
59
b. Kesulitan yang dialami
[ √ ] kadang kadang pusing
[ ] menurunnya sesitifitas terhadap sakit
[ ] menurunnya sensitifitas terhadap panas / dingin
[ ] membaca / menulis
2. Persepsi diri
Hal yang dipikirkan saat ini
Keluarga mengatakan pasien ingin cepat sembuh dan segera
pulang kerumah.
Harapan setelah menjalani perawatan
Keluarga berharap agar cepat sembuh total dan dapat
menjalani aktifitas sehari-hari seperti biasa dan bermain
bersama teman-temannya.
Perubahan yang dirasa setelah sakit
Keluarga mengatakan setelah sakit pasien mengalami
perubahan dalam beraktifitas dan bermain, pola makan dan
pola tidur.
Kesan terhadap perawat
Keluarga mengatakan percaya kepada perawat tentang
kesembuhannya.
3. Suasana hati
Pada saat pengkajian keluarga mengatakan pasien dalam suasana
atau mood yang baik namun keluarga mengatakan pasien cemas
dengan kondisi kesehatannya saat ini.
Page 76
60
4. Hubungan / komunikasi
a. Bicara
Bahasa utama : bahasa minang
Bahasa daerah : bahasa minang
Pasien tampak mampu berbicara dengan jelas dan dapat
dimengerti oleh orang lain serta dapat mengekpresikan apa
yang disampaikan.
b. Tempat tinggal
Pasien tinggal bersama orangtua nya.
c. Kehidupan keluarga
Adat istiadat yang dianut : pasien menganut adat
minangkabau
Pembuatan keputusan dalam keluarga : dilakukan dengan
cara bermusyawarah
Pola komunikasi : komunikasi terbuka
Keuangan : dipegang oleh ibu
d. Kesulitan dalam keluarga
Tidak ada kesulitan dalam keluarga pada saat pengkajian
dilakukan. keluarga mengatakan hubungan dengan orang tua
dan semua sanak saudara baik.
5. Kebiasaan seksual
Pasien masih termasuk dalam tahap perkembangan remaja awal
dan belum menikah.
Page 77
61
6. Pertahanan koping
a. Pengambilan keputusan
Dalam hal pengambilan keputusan keluarga mengatakan
diambil oleh ayah.
b. Yang disukai tentang diri sendiri
Pasien menyukai semua hal yang ada pada dirinya.
c. Yang ingin dirubah dari kehidupan
Pasien mengatakan tidak mau lagi terlalu sering menggunakan
cottonbud untuk membersihkan telinga.
d. Yang dilakukan jika stress
Pasien selalu pergi bermain atau menonton tv.
e. Apa yang dilakukan perawat agar anda nyaman
Pasien mengatakan perawat selalu memberikan support dan
motivasi untuk cepat sembuh dan mengajarkan teknik
relaksasi napas dalam.
7. Sistem nilai kepercayaan
a. Siapa atau apa sumber kekuatan
Allah SWT.
b. Apakah Tuhan, Agama, Kepercayaan penting untuk anda
Pasien mengatakan Tuhan, Agama, Kepercayaan penting
untuknya.
c. Kegiatan agama atau kepercayaan yang dilakukan
Pasien melaksanakan solat dan mengaji.
Page 78
62
d. Kegiatan agama atau kepercayaan yang ingin dilakukan
selama dirumah sakit, sebutkan :
Pasien mengatakan ingin bisa shalat dengan rajin.
3.1.8 Pengkajian Fisik
1. Tingkat kesadaran : composmentis (GCS : 15, E:4, M:6, V:5)
2. Keadaan umum : sedang
3. Tanda-tanda Vital :
Tekanan darah : - mmHg
Nadi : 98 x/i
Respiratory Rate : 22 x/i
Suhu : 38,1’C
4. BB : 23 Kg
TB : 122 cm
Pemeriksaan Head To Toe
1. Kepala
Tampak tidak ada benjolan / pembengkakan, bentuk bulat, rambut
tampak berwarna hitam, pertumbuhan rambut lebat, subur dan
merata, rambut tampak lepek dan berminyak, mengakibatkan
rambut pasien ada ketombe dan rontok. Pasien mengatakan sakit
kepala dan pusing.
2. Mata
Ukuran pupil berdiameter 3mm, bereaksi pada mata kanan dan
kiri, mata isokor, tidak ada nyeri tekan, kedua mata simetris
kanan dan kiri, sklera tidak ikterus, reaksi pupil terhadap cahaya
Page 79
63
isokor, tidak ada benjolan atau massa, visus 6 ml, conjungtiva
anemis, tidak ada menggunakan alat bantu penglihatan, dan fungsi
penglihatan baik. Pasien tidak pernah melakukan operasi mata.
3. Hidung
Tampak tidak ada abses pada batang hidung, tidak ada pus, tidak
terasa nyeri pada saat ditekan. Tampak tidak ada reaksi alergi
pada hidung pasien, tidak ada sinusitis, tidak ada polip, tampak
tidak ada perdarahan pada hidung, hidung berfungsi dengan baik
dan pasien mengatakan tidak ada keluhan pada hidung. Pasien
tidak terpasang O2.
4. Telinga
Telinga tampak ada kotoran, tampak ada luka bekas operasi di
bagian belakang telinga sebelah kanan, tampak luka memiliki
jumlah jahitan 1, panjang ±3cm dan kedalaman ±1 cm, luka
tampak masih basah dan dibalut dengan perban, kondisi perban
tampak basah, terdapat pus dan tidak ada nekrotik, tampak telinga
tidak terpasang anting.
5. Mulut dan tenggorokan
Mulut pasien tidak berbau dan gigi tampak bersih, masih terdapat
gigi susu, mukosa bibir kering dan merah, tidak ada
pembengkakan pada gusi pasien. Pasien tampak sedikit kesulitan
dalam berbicara serta sulit menelan karena nyeri. Mukosa bibir
kering.
Page 80
64
6. Leher
Pada leher pasien teraba arteri carotis, dan tidak ada pembesaran
yang terjadi pada kelenjar tyroid, tidak ada kelainan pada leher
pasien, tidak ada nyeri tekan dibagian leher. Tidak ada
pembesaran getah bening. Tidak ada keluhan pada leher.
7. Dada
Inspeksi : bentuk dada flat, dada tampak simetris antara kiri
dan kanan, warna kulit sama, tampak frekuensi nafas 22 x/i,
pola nafas teratur.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada bunyi krepitasi, vokal
premitus normal kiri dan kanan.
Perkusi : terdapat bunyi sonor pada lapang paru pada saat
dilakukan perkusi.
Auskultasi : pada pemeriksaan auskultasi suara paru vesikuler,
dan nafas teratur, tidak ada suara napas tambahan.
8. Kardiovaskuler
Inspeksi : tampak denyutan arteri carotis, dan tidak ada
tampak denyutan vena jugularis, tidak ada edema, dan tidak
ada perubahan warna pada kulit atau sianosis, kuku maupun
pada bibir pasien.
Palpasi : pada pemeriksaan palpasi terdapat ada denyutan pada
vena jugularis dan arteri carotis, dan pada tes capilllary refill
kembali dalam 3 detik, tidak ada nyeri tekan atau nyeri lepas.
Page 81
65
Perkusi : batas jantung kiri melakukan perkusi dari arah lateral
ke medial bunyi sonor dari paru-paru ke redup, terdapat batas
jantung normal sebelah kanan disekitar ruang interkostal III-
IV kanan, di linea parasternalis kanan, batas atas diruang
interkostal II kanan linea parastemalis kanan, pada saat
diketuk terdapat suara pekak pada daerah aorta. Tidak ada
pembesaran pada jantung.
Auskultasi : terdengar suara jantung S1 suara getaran akibat
menutupnya katup mitral dan katup trikuspid, terdengar pada
sisi sternum kiri bawah (lup) dan SII suara penutup katup
aorta dan katup pulmonal terdengar pada inspirasi suaranya
terdengar (dup), tidak ada bunyi jantung tambahan, irama
jantung teratur, murmur tidak ada.
9. Abdomen
Inspeksi : bentuk abdomen flat, tidak ada massa atau benjolan
pada perut, tidak tampak bayangan pembuluh darah pada
abdomen, tidak ada luka atau lesi.
Auskultasi : Pada auskultasi terdapat bising usus 6 x/menit,
irama reguler.
Perkusi : saat di perkusi terdengar timpani bunyi bernada lebih
tinggi daripada resonan lokasinya diatas viscera yang terisi
oleh udara, teraba batas hepar pada kuadran kanan atas
abdomen, tidak ada keluhan pada saat dilakukan perkusi.
Page 82
66
Palpasi : hepar tidak teraba, abdomen teraba lembek, tidak ada
pembengkakan atau massa, tidak ada nyeri tekan maupun
nyeri lepas.
10. Punggung
Punggung terlihat tulang belakang sejajar, lurus ke bawah dan
sedikit melengkung, tidak ada kelainan tulang seperti scoliosis
dan lordosis.
11. Genitourinaria
Tidak ada lesi atau kemerahan, terdapat bagian-bagian labia
mayora dan monira dengan lengkap. Pasien tidak merasakan nyeri
saat berkemih, pasien tampak tidak ada menggunakan kateter, dan
tidak ada kelainan yang ditemui. Pasien tampak berjalan ke kamar
mandi dengan bantuan keluarga.
12. Ekstremitas
Atas
Pasien terpasang infuse dengar cairan Ringer Laknat 20 tetes /
menit pada ekstremitas atas sebelah kiri. Jari-jari tangan
lengkap, tidak ada sianosis, pergerakan sendi sesuai perintah
dari perawat.
Bawah
Kedua kaki dapat bergerak bebas, jari-jari kaki lengkap,
tampak tidak ada edema pada kedua kaki. Tidak ada
gangguan.
Page 83
67
Kekuatan otot :
5555 5555
5555 5555
13. Kulit
Kulit pasien berwarna sawo matang, turgor kulit elastis, kulit
teraba hangat, kulit tampak lembab dan tampak tidak sianosis
pada bibir dan juga kuku, kuku pendek dan bersih. Pasien tampak
berkeringat berlebihan.
3.1.9 Hasil Pemeriksaan Penunjang
Tanggal pemeriksaan : 08-10-2019
Jam pemeriksaan : 10.10 WIB
No Nama pemeriksaan Hasil Nilai normal
1. LED 22mm/jam 0-10/jam
2. WBC 15.77x10^3/Ul 4.00-12.00
3. RBC 5.65x10^6/Ul 3.50-5.20
4. HGB 12.7 g/Dl 12.0-16.0
3.1.10 Pengobatan / Therapy
Nama obat Frekuensi Dosis Cara
pemberian
Ibuprofen
Cefadroxil
Tarivid
Iliadin
Gentamicyn
3x1 hari
2x1 hari
2x1 hari
2x1 hari
2x1 hari
3x200 mg
2x250 mg
2xV
2x2 (0,025)
2x40 mg
Oral
Oral
Diteteskan
Diteteskan
Injeksi
Page 84
68
DATA FOKUS
Nama Klien : An. A
Tempat Praktek : RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi Ruang THT
DATA SUBJEKTIF
1. Keluarga mengatakan ada luka bekas operasi dibagian belakang telinga
sebelah kanan.
2. Keluarga mengatakan luka masih basah dan terdapat nanah.
3. Keluarga mengatakan luka terpasang perban dan kondisi perban basah.
4. Keluarga mengatakan luka jahitan belum dilakukan perawatan luka.
5. P : Pasien mengeluh nyeri pada sekeliling area luka bekas operasi.
6. Q : Pasien mengatakan nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk jarum.
7. R : Pasien mengeluh nyeri pada bagian belakang telinga sebelah kanan.
8. S : Skala nyeri 6
9. T : Pasien mengatakan nyeri terasa hilang timbul.
10. Keluarga mengatakan pasien deman naik turun sejak 3 hari yang lalu.
11. Keluarga mengatakan pasien sering terbangun namun dapat tertidur lagi.
DATA OBJEKTIF
1. Tampak ada luka insisi pada bagian belakang telinga sebelah kanan dengan
jumlah jahitan 1, panjang ±3 cm dan kedalaman ±1cm.
2. Luka tampak masih basah, terdapat pus dan tidak ada nekrotik.
3. Luka tampak terpasang perban dan kondisi perban masih tampak basah.
4. Pasien tampak meringis.
Page 85
69
5. Pasien tampak bersikap protektif terhadap nyeri.
6. Pasien tampak berkeringat berlebihan.
7. Tanda – tanda vital
TD : - mmHg
N : 98x /i
RR : 22x / i
T : 38,1ºC
8. Pasien tampak gelisah.
9. Pasien tampak cemas.
10. Kulit pasien teraba hangat.
11. Mukosa bibir kering.
12. Hasil pemeriksaan laboratorium
LED : 22mm/jam
WBC : 15.77 gr/dl
13. Tampak tangan kiri pasien terpasang infus RL 20 tetes/i.
Page 86
70
ANALISA DATA
DATA Etiologi Masalah Keperawatan
Data Subjektif
1. P : Pasien mengeluh nyeri pada
sekeliling area luka bekas
operasi.
2. Q : Pasien mengatakan nyeri
terasa seperti tertusuk-tusuk
jarum.
3. R : Pasien mengeluh nyeri pada
bagian belakang telinga sebelah
kanan.
4. S : Skala nyeri 6
5. T : Pasien mengatakan nyeri
terasa hilang timbul.
6. Keluarga mengatakan pasien
sering terbangun namun dapat
tertidur lagi.
Data Objektif
1. Pasien tampak meringis.
2. Pasien tampak bersikap
protektif terhadap nyeri.
3. Pasien tampak gelisah.
4. Pasien tampak berkeringat
berlebihan.
5. Tanda – tanda vital
N : 98x /i
RR : 22x / i
Agen pencedera
fisik
Nyeri akut
Data Subjektif
1. Keluarga mengatakan pasien
deman naik turun sejak 3hari
yang lalu
Data Objektif
1. Kulit pasien teraba hangat
2. Pasien tampak berkeringat
berlebihan.
3. Mukosa bibir kering
4. Tanda – tanda vital
S : 38,1ºC
Proses penyakit Hipertermia
Data Subjektif
1. Keluarga mengatakan ada luka
bekas operasi dibagian belakang
telinga sebelah kanan.
2. Keluarga mengatakan luka
masih basah dan terdapat nanah.
Efek prosedur
invasif
Infeksi
Page 87
71
3. Keluarga mengatakan luka
terpasang perban dan kondisi
perban basah.
4. Keluarga mengatakan luka
jahitan belum dilakukan
perawatan luka.
Data Objektif
1. Tampak ada luka insisi pada
bagian belakang telinga sebelah
kanan dengan jumlah jahitan 1,
panjang ±3 cm dan kedalaman
±1 cm.
2. Luka tampak masih basah,
terdapat pus dan tidak ada
nekrotik.
3. Luka tampak terpasang perban
dan kondisi perban masih
tampak basah.
4. Hasil pemeriksaan laboratorium
WBC : 15.77 gr/dl
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan
mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan
suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.
3. Infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Page 88
72
INTERVENSI
No. Diagnosa
keperawatan
Tujuan dan kriteria hasil
(SLKI)
Intervensi keperawatan
(SIKI)
1. Nyeri akut
berhubungan
dengan agen
pencedera fisik
dibuktikan
dengan
mengeluh
nyeri, meringis,
gelisah, sulit
tidur,
diaforesis.
Setelah dilakukan intervensi
selama 3x24 jam diharapkan
tingkat nyeri menurun dengan
kriteria hasil :
- Keluhan nyeri menurun
- Meringis menurun
- Sikap protektif menurun
- Gelisah menurun
- Kesulitan tidur menurun
Manajemen nyeri
Observasi :
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri.
2. Identifikasi skala nyeri.
Terapeutik :
1. Berikan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri.
3. Fasilitasi istirahat dan tidur.
Edukasi :
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri.
2. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
3. Anjurkan menggunakan ibuprofen secara tepat.
4. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian ibuprofen.
2. Hipertermia
berhubungan
dengan proses
penyakit
dibuktikan
dengan suhu
tubuh diatas
nilai normal,
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan termoregulasi
membaik dengan kriteria hasil:
- Menggigil menurun
- Suhu tubuh membaik
- Suhu kulit membaik
Manajemen hipertermia
Observasi :
1. Identifikasi penyebab hipertermia.
2. Monitor suhu tubuh.
Terapeutik :
1. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
2. Berikan cairan oral.
3. Lakukan pendinginan eksternal (kompres).
Page 89
73
kulit merah,
kulit terasa
hangat.
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
1. Pemberian obat ibuprofen.
3. Infeksi
dibuktikan
dengan efek
prosedur
invasif.
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam
diharapkan tingkat infeksi
menurun dengan kriteria hasil:
- Demam menurun
- Kemerahan menurun
- Nyeri menurun
- Bengkak menurun
Perawatan Area Insisi
Observasi :
1. Periksa lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda
dehisen atau eviserasi.
2. Monitor proses penyembuhan area insisi.
3. Monitor tanda dan gejala infeksi.
Terapeutik :
1. Ganti balutan luka sesuai jadwal.
Edukasi :
1. Jelaskan prosedur kepada pasien, dengan menggunakan alat bantu.
2. Ajarkan meminimalkan tekanan pada tempat insisi.
3. Ajarkan cara merawat area insisi.
Page 90
74
IMPLEMENTASI
Nama pasien : An. A Ruangan : THT
No MR : 395384
SDKI Hari / Tanggal Implementasi Jam Evaluasi Paraf
Nyeri
akut
Rabu 09-10-19
09.30
09.33
09.35
09.39
09.40
09.42
Manajemen nyeri
Observasi :
1. Mengidentifikasi nyeri diarea
luka operasi, nyeri terasa
seperti tertusuk jarum, nyeri
berada di belakang telinga
sebelah kanan, nyeri terasa
hilang timbul.
2. Mengukur skala nyeri dengan
instrumen Visual Analog Scale : nyeri sedang.
Terapeutik :
3. Mengkontrol lingkungan
dengan membatasi tamu.
4. Memfasilitasi istirahat dengan
posisi semi fowler.
Edukasi :
5. Mengajarkan teknik relaksasi
napas dalam untuk mengurangi
rasa nyeri.
Kolaborasi :
6. Memberikan obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg
14.00
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan An. A sering
mengeluh nyeri pada bagian bekas
operasi.
P : nyeri di area luka operasi.
Q : seperti tertusuk-tusuk jarum
R : nyeri di belakang telinga sebelah
kanan.
S : skala nyeri 5
T : hilang timbul.
2. Keluarga mengatakan sudah melakukan
teknik relaksasi napas dalam.
Objektif :
1. Pasien tampak meringis.
2. Pasien tampak melakukan teknik
relaksasi napas dalam.
3. Pasien tampak duduk dengan posisi
semi fowler.
4. Pasien tampak tidak nyaman karena
nyeri.
5. RR 22 x/ menit
Analisis :
Tingkat nyeri An. A sedang
Anita
Widiyastuti
Page 91
75
melalui oral.
Planning :
Intervensi 1,2,3,4,5,6 dilanjutkan
1. Mengukur lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
dengan cara memeriksa luka pasien.
2. Mengukur skala nyeri dengan teknik
skala nyeri numerik.
3. Mengkontrol lingkungan dengan
membatasi tamu.
4. Memfasilitasi istirahat dengan posisi
semi fowler.
5. Mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
6. Memberikan obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Hiperter
mia
Rabu 09-10-19
09.50
09.52
09.55
09.57
09.59
Manajemen hipertermia
Observasi :
1. Mengukur suhu tubuh dibagian
aksila.
Terapeutik :
2. Melonggarkan pakaian pasien.
3. Memberikan cairan oral
(banyak minum air putih).
4. Melakukan pendinginan
eksternal dengan menggunakan
kompres air hangat.
Edukasi :
5. Menganjurkan tirah baring
14.00
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan badan An. A
masih panas tinggi.
2. Keluarga mengatakan An. A tidak mau
dilonggarkan bajunya.
3. Keluarga mengatakan An. A sudah
diberikan kompres hangat.
4. Keluarga mengatakan An. A mau
minum air putih namun hanya sedikit.
5. Keluarga mengatakan An. A nyaman
dengan tidur miring ke kanan dan kiri.
Objektif :
1. Kulit pasien teraba hangat.
Anita
Widiyastuti
Page 92
76
10.02
(miring kanan kiri).
Kolaborasi :
6. Memberikan obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg
melalui oral.
2. Pasien tampak terbaring.
3. Pasien tampak nyaman saat dikompres
4. Pasien tampak minum obat ibuprofen
5. S : 38,0ºC
Analisis :
Termoregulasi An. A sedang
Planning :
Intervensi 1,2,3,4,5,6 dilanjutkan
1. Mengukur suhu tubuh dibagian aksila.
2. Melonggarkan pakaian pasien.
3. Memberikan cairan oral (banyak minum
air putih).
4. Melakukan pendinginan eksternal
dengan menggunakan kompres air
hangat.
5. Menganjurkan tirah baring (miring
kanan kiri).
6. Membemberian obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Infeksi Rabu 09-10-19
10.05
10.07
Perawatan Area Insisi
Observasi :
1. Memonitor adanya gatal,
kemerahan, sakit, bengkak,
panas.
Terapeutik :
2. Mengganti balutan luka sesuai
jadwal.
Edukasi :
14.00
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan luka An. A
terpasang perban dan kondisi perban
basah.
2. Keluarga mengatakan An. A sering
memegang dan menekan luka nya.
Objektif :
1. Tampak luka terpasang perban dan
kondisi perban masih tampak basah.
Anita
Widiyastuti
Page 93
77
10.09
10.11
10.13
3. Menjelaskan tujuan dan
manfaat dilakukan perawatan
luka kepada pasien.
4. Mengajarkan untuk tidak
memegang dan menekan area
luka.
5. Mengajarkan cara merawat
area luka.
2. Kulit sekitar area luka post operasi
tampak kemerahan.
Analisis :
Tingkat infeksi An. A sedang
Planning :
Intervensi 1,2,3,4 dilanjutkan
1. Memonitor adanya gatal, kemerahan,
sakit, bengkak, panas.
2. Mengganti balutan luka sesuai jadwal.
3. Menjelaskan tujuan dan manfaat
dilakukan perawatan luka kepada
pasien.
4. Mengajarkan untuk tidak memegang
dan menekan area luka.
Page 94
78
IMPLEMENTASI
Nama pasien : An. A Ruangan : THT
No MR : 395384
SDKI Hari / Tanggal Implementasi Jam Evaluasi Paraf
Nyeri
akut
Kamis 10-10-19
08.10
08.13
08.15
08.19
08.20
08. 22
Manajemen nyeri
Observasi
1. Mengidentifikasi nyeri diarea
luka operasi, nyeri terasa
seperti tertusuk jarum, nyeri
berada di belakang telinga
sebelah kanan, nyeri terasa
hilang timbul.
2. Mengukur skala nyeri dengan
instrumen Visual Analog Scale
: nyeri sedang.
Terapeutik :
3. Mengkontrol lingkungan
dengan membatasi tamu.
4. Memfasilitasi istirahat dengan
posisi semi fowler.
Edukasi
5. Mengajarkan teknik relaksasi
napas dalam untuk mengurangi
rasa nyeri.
Kolaborasi :
6. Memberikan obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg
13.30
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan An. A masih
sering mengeluh nyeri namun tidak
seperti kemarin.
P : nyeri di area luka operasi.
Q : seperti ditusuk-tusuk jarum
R : nyeri di belakang telinga sebelah
kanan.
S : skala nyeri 3
T : hilang timbul
2. Keluarga mengatakan An. A sudah
melakukan teknik relaksasi napas
dalam.
3. Keluarga mengatakan hanya menerima
2 tamu.
Objektif :
1. Pasien tampak meringis.
2. Pasien tampak lebih tenang.
3. Pasien tampak nyaman duduk dengan
posisi semi fowler.
Anita
Widiyastuti
Page 95
79
melalui oral.
4. RR 22x/menit
Analisis :
Tingkat nyeri An. A cukup menurun
Planning :
Intervensi 2,3,4,5,6 dilanjutkan
1. Mengukur skala nyeri dengan teknik
skala nyeri numerik.
2. Mengkontrol lingkungan dengan
membatasi tamu.
3. Memfasilitasi istirahat dengan posisi
semi fowler.
4. Mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
Kolaborasi :
5. Memberikan obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Hiperter
mia
Kamis 10-10-19
08.30
08.32
08.35
08.37
Manajemen hipertermia
Observasi :
1. Mengukur suhu tubuh dibagian
aksila.
Terapeutik :
2. Melonggarkan pakaian pasien.
3. Memberikan cairan oral
(banyak minum air putih).
4. Melakukan pendinginan
eksternal dengan menggunakan
kompres air hangat.
13.30
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan badan An. A
panas nya sudah mulai turun.
2. Keluarga mengatakan An. A mau
dilonggarkan bajunya.
3. Keluarga mengatakan An. A sudah
diberikan kompres hangat.
4. Keluarga mengatakan An. A sudah
mulai banyak minum air putih.
5. Keluarga mengatakan An. A nyaman
dengan tidur miring ke kanan dan kiri.
Anita
Widiyastuti
Page 96
80
08.39
08.41
Edukasi :
5. Menganjurkan tirah baring
(miring kanan kiri).
Kolaborasi :
6. Membemberian obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg
melalui oral.
Objektif :
1. Pasien tampak terbaring.
2. Badan pasien tidak terlalu hangat.
3. Pasien tampak nyaman saat dikompres
4. Pasien tampak minum obat ibuprofen
tepat waktu.
5. S : 37,7ºC
Analisis :
Termoregulasi An. A cukup membaik
Planning :
Intervensi 1,3,4,6 dilanjutkan
1. Mengukur suhu tubuh dibagian aksila.
2. Memberikan cairan oral (banyak minum
air putih).
3. Melakukan pendinginan eksternal
dengan menggunakan kompres air
hangat.
4. Membemberian obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Infeksi Kamis 10-10-19
08.43
08.45
Perawatan Area Insisi
Observasi :
1. Memonitor adanya gatal,
kemerahan, sakit, bengkak,
panas.
Terapeutik :
2. Mengganti balutan luka sesuai
jadwal.
Edukasi :
13.30
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan luka An. A
terpasang perban dan kondisi perban
mulai mengering.
2. Keluarga mengatakan An. A tidak lagi
memegang dan menekan luka nya.
Objektif :
1. Tampak luka terpasang perban dan
kondisi perban mulai mengering.
Anita
Widiyastuti
Page 97
81
08.47
08.49
3. Menjelaskan tujuan dan
manfaat dilakukan perawatan
luka kepada pasien.
4. Mengajarkan untuk tidak
memegang dan menekan area
luka.
2. Kulit sekitar area luka post operasi
tampak kemerahan.
Analisis :
Tingkat infeksi An. A cukup membaik
Planning :
Intervensi 1,2,4 dilanjutkan
1. Memonitor adanya gatal, kemerahan,
sakit, bengkak, panas.
2. Mengganti balutan luka sesuai jadwal.
3. Mengajarkan untuk tidak memegang
dan menekan area luka.
Page 98
82
IMPLEMENTASI
Nama pasien : An. A Ruangan : THT
No MR : 395384
SDKI Hari / Tanggal Implementasi Jam Evaluasi Paraf
Nyeri
akut
Jum’at 11-10-19
08.10
08.13
08.15
08.19
08.21
Manajemen nyeri
Observasi :
1. Mengukur skala nyeri dengan
instrumen Visual Analog Scale : nyeri ringan.
Terapeutik :
2. Mengkontrol lingkungan
dengan membatasi tamu.
3. Memfasilitasi istirahat dengan
posisi semi fowler.
Edukasi :
4. Mengajarkan teknik relaksasi
napas dalam untuk mengurangi
rasa nyeri.
Kolaborasi :
5. Memberikan obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg
melalui oral.
11.00
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan An. A sudah
jarang mengeluh nyeri.
P : nyeri di area luka operasi.
Q : nyeri seperti tertusuk-tusuk jarum
R : nyeri di belakang telinga sebelah
kanan.
S : skala nyeri 1
T : hilang timbul.
2. Keluarga mengatakan An. A sudah
dapat bermain.
Objektif :
1. Pasien tampak lebih rileks.
2. Pasien tampak bermain dan tertawa.
Analisis :
Tingkat nyeri An. A menurun
Planning :
Intervensi 1,4,5 dilanjutkan
1. Mengukur skala nyeri dengan teknik
skala nyeri numerik.
2. Mengajarkan teknik relaksasi napas
Anita
Widiyastuti
Page 99
83
dalam untuk mengurangi rasa nyeri.
3. Memberikan obat ibuprofen 3x1 hari
dengan dosis 200mg melalui oral.
Hiperter
mia
Jum’at 11-10-19
08.30
08.32
08.35
08.37
Manajemen hipertermia
Observasi :
1. Mengukur suhu tubuh dibagian
aksila.
Terapeutik :
2. Memberikan cairan oral
(banyak minum air putih).
3. Melakukan pendinginan
eksternal dengan menggunakan
kompres air hangat.
Kolaborasi :
4. Membemberian obat ibuprofen
3x1 hari dengan dosis 200mg
melalui oral.
11.00
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan badan An. A
tidak panas lagi.
2. Keluarga mengatakan kompres hangat
mampu mengatasi demam An. A.
3. Keluarga mengatakan An. A sudah
banyak minum air putih.
Objektif :
1. Badan pasien tidak hangat.
2. Pasien tampak minum obat ibuprofen
tepat waktu.
3. S : 36,9ºC
Analisis :
Termoregulasi An. A membaik
Planning :
Intervensi dihentikan
Anita
Widiyastuti
Infeksi Jum’at 11-10-19
08.43
08.45
Perawatan Area Insisi
Observasi :
1. Memonitor adanya gatal,
kemerahan, sakit, bengkak,
panas.
Terapeutik :
2. Mengganti balutan luka sesuai
jadwal.
Edukasi :
11.00
WIB
Subjektif :
1. Keluarga mengatakan luka An. A
terpasang perban.
2. Keluarga mengatakan perban sudah
diganti.
3. Keluarga mengatakan An. A tidak lagi
memegang dan menekan luka nya.
Objektif :
1. Tampak luka terpasang perban
Anita
Widiyastuti
Page 100
84
08.47
3. Mengajarkan untuk tidak
memegang dan menekan area
luka.
2. Tampak luka mulai mengering.
3. Kemerahan disekitar kulit area luka
tampak berkurang.
Analisis :
Tingkat infeksi An. A membaik
Planning :
Intervensi 1,2,3 dilanjutkan
1. Memonitor adanya gatal, kemerahan,
sakit, bengkak, panas.
2. Mengganti balutan luka sesuai jadwal.
3. Mengajarkan untuk tidak memegang
dan menekan area luka.
Page 101
85
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Analisis Asuhan Keperawatan Dengan Konsep Terkait
Langkah pertama yang dilakukan penulis dalam melakukan pengkajian
terhadap pasien adalah mengkaji identitas pasien, keluhan yang dialami
pasien, gejala klinis faktor resiko, menetapkan diagnosa keperawatan,
membuat intervensi, melakukan implementasi sampai pada evaluasi pada
pasien Otitis Media.
4.1.1 Pengkajian
Dimulai dari data yang didapatkan saat pengkajian An. A masuk
dengan diagnosa medis Otitis Media dengan keluhan nyeri pada
bagian belakang telinga sebelah kanan, nyeri pada sekeliling area luka
bekas operasi, nyeri terasa seperti tertusuk-tusuk jarum, skala nyeri 6,
nyeri terasa hilang timbul. Hal ini sesuai dengan teori bahwa gejala
otitis media yaitu nyeri telinga (otalgia), keluarnya cairan dari telinga,
demam, kehilangan pendengaran, tinitus, membran timpani tampak
merah dan menggelembung (Smeltzer & Bare, 2001).
Menurut Silbernagl & Lang (2000) hal ini terjadi karena
rangsangan nyeri diterima oleh nociceptors pada kulit bisa intesitas
tinggi maupun rendah seperti perenggangan dan suhu serta oleh lesi
jaringan. Sel yang mengalami nekrotik akan merilis K + dan protein
intraseluler . Peningkatan kadar K + ekstraseluler akan menyebabkan
depolarisasi nociceptor, sedangkan protein pada beberapa keadaan
Page 102
86
akan menginfiltrasi mikroorganisme sehingga menyebabkan
peradangan / inflamasi. Akibatnya, mediator nyeri dilepaskan seperti
leukotrien, prostaglandin E2, dan histamin yang akan merangasng
nosiseptor sehingga rangsangan berbahaya dan tidak berbahaya dapat
menyebabkan nyeri (hiperalgesia atau allodynia).
Pada saat pengkajian keluarga mengatakan An. A badan nya
panas sejak 3 hari yang lalu, di dapatkan data bahwa suhu tubuh
pasien 38,10C, kulit pasien teraba hangat, mukosa bibir kering,
konjungtiva anemis. Hal ini sesuai dengan teori Otitis media akut
didiagnosis jika ditemukan cairan pada telinga tengah dan anak
mengalami demam, sakit telinga, iritabilitas, bersamaan dengan gejala
gangguan sistem pernafasan akut (Anonim, 2014).
Pada saat pengkajian keluarga mengatakan ada luka bekas operasi
dibagian belakang telinga sebelah kanan, tampak luka memiliki
jumlah jahitan 1, panjang ±3cm dan kedalaman ±1 cm, keluarga
mengatakan luka masih basah, terdapat pus dan tidak ada nekrotik,
luka terpasang perban dan kondisi perban tampak masih basah.
Keluarga mengatakan luka jahitan belum dilakukan perawatan luka.
Pada umumnya luka dapat sembuh dengan sendirinya. Luka akan
mengalami kegagalan penyembuhan jika ada faktor yang
menghambat sehingga luka yang awalnya biasa menjadi luar biasa
sulit untuk sembuh. Beberapa faktor penyebab infeksi diantaranya
adalah lamanya waktu terbuka setelah kejadian, peningkatan trauma
Page 103
87
kulit sekitarnya, kontaminasi bakteri, adanya benda asing dan
pencucian yang tidak adekuat (Arisanty, 2013).
4.1.2 Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan data yang diperoleh penulis merumuskan masalah
keperawatan pada An. A yaitu : Nyeri akut berhubungan dengan agen
pencedera fisik, hipertermia berhubungan dengan proses penyakit,
resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif. Diagnosis
keperawatan yang tidak ada sesuai dengan teori pada An. A
diantaranya gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan
gangguan pendengaran, defisit pengetahuan berhubungan dengan
kurang terpapar informasi dibuktikan dengan menunjukkan perilaku
tidak sesuai anjuran.
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan nyeri terasa dibagian belakang telinga sebelah kanan,
nyeri pada sekeliling area luka bekas operasi, nyeri terasa seperti
tertusuk-tusuk jarum, skala nyeri 6, nyeri terasa hilang timbul,
RR: 22x / menit. Nyeri terjadi akibat dari proses peradangan.
Pasien tampak meringis dan gelisah. Nyeri adalah pengalaman
sensori dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial
yang dirasakan dalam kejadian dimana terjadi kerusakan jaringan
tubuh (Wahyudi & Abd.Wahid, 2016). Nyeri akut
mengidentifikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.
Nyeri ini umumnya kurang dari enam bulan dan biasanya kurang
Page 104
88
dari satu bulan. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat dijelaskan
sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam
bulan (Brunner & Suddarth, 2016).
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan
dengan suhu pasien meningkat, badan teraba hangat, mukosa bibir
kering. Demam atau Hipertermi, pathogenesis demam berasal dari
toksin bakteri. Misalnya : Endotoxin yang bekerja pada monosit,
makrofag dan sel-sel kupffer untuk menghasilkan beberapa
macam sitoksin yang bekerja sebagai pirogen endogen kemudian
mengaktifkan daerah preptik hipotalamus, sitokin juga dihasilkan
dari sel-sel SSP (system syaraf pusat) apabila terjadi rangsangan
oleh infeksi dan sitoksin tersebut mungkin bekerja secara
langsung pada pusat - pusat pengatur suhu. Demam yang
ditimbulkan oleh sitoksin mungkin disebabkan oleh pelepasan
prostaglandin ke dalam hipotalamus yang menyebabkan demam
(Suzanne, 2001).
3. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif dibuktikan
dengan adanya luka bekas operasi dibagian belakang telinga
sebelah kanan dengan jumlah jahitan 1, panjang ±3 cm dan
kedalaman ±1 cm. , luka terpasang perban dan kondisi perban
basah. Umumnya, luka terinfeksi polymicrobial dan
terkontaminasi oleh patogen yang ditemukan di lingkungan
terdekat. Bakteri adalah penyebab utama infeksi luka di antara
mikroorganisme lain yang hadir pada kulit. Tahap awal
Page 105
89
pembentukan luka kronis ditandai dengan munculnya organisme
Gram-positif seperti Staphylococcus Aureus dan Escherichia coli.
Pada tahap selanjutnya, Gram-negatif spesies Pseudomonas yang
umum dan cenderung menyerang lapisan yang lebih dalam pada
luka (Sarheed et al., 2016).
Diagnosa pada teori yang tidak ditemukan di kasus :
1. Gangguan komunikasi verbal
Gangguan komunikasi verbal adalah penurunan, perlambatan atau
ketiadaan kemampuan untuk menerima, memproses, mengirim
dan menggunakan sistem simbol (Tim Pokja SDKI DPP PPNI,
2016). Menurut analisa penulis tidak munculnya diagnosa
gangguan komunikasi verbal pada An. A karena tidak ditemukan
data mayor maupun data minor yang didapatkan pada saat
pengkajian. Data mayor seperti tidak mampu berbicara atau
mendengar, menunjukkan respon tidak sesuai. Begitu pula dengan
data minor yaitu tidak ada kontak mata, sulit memahami
komunikasi, sulit mempertahankan komunikasi, sulit
menggunakan ekspresi wajah atau tubuh.
2. Defisit pengetahuan
Pengetahuan adalah suatu struktur pengetahuan yang terkait
dengan struktur fakta prosedur yang jika dilakukan akan
memenuhi suatu kinerja. Pengetahuan adalah ingatan-ingatan
yang telah dipelajari dan suatu proses mengingat kembali
sekumpulan hal yang telah dipelajari (Ngatimin, 2012). Defisit
Page 106
90
pengetahuan adalah ketiadaan atau kurangnya informasi kognitif
yang berkaitan dengan topik tertentu (Tim Pokja SDKI DPP
PPNI, 2016). Menurut analisa penulis tidak munculnya diagnosa
defisit pengetahuan pada An. A karena tidak ditemukan data
mayor maupun data minor yang didapatkan pada saat pengkajian.
Data mayor seperti menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran,
menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah, menanyakan
masalah yang dihadapi. Begitu pula dengan data minor yaitu
menjalani pemeriksaan yang tidak tepat, menunjukkan perilaku
berlebihan semisal apatis, agitasi, bermusuhan dan histeria tidak
ditemukan.
4.1.3 Intervensi
Intervensi Keperawatan adalah semua tindakan asuhan yang
perawat lakukan atas nama klien. Tindakan ini termasuk intervensi
yang di prakarsai oleh perawat, dokter, atau intervensi kolaboratif
(Mc. Closky & Bulechek, 2010).
Dalam menyusun rencana tindakan keperawatan kepada klien
berdasarkan prioritas masalah yang ditemukan tidak semua rencana
tindakan pada teori dapat ditegakkan pada tinjauan kasus. Karena
tindakan pada tinjauan kasus disesuaikan dengan keluhan dan
keadaan klien pada saat pengkajian.
1. Diagnosa pertama
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah nyeri akut
berhubungan dengan agen pencedera fisik yang tujuannya setelah
Page 107
91
mendapatkan tindakan intervensi keperawatan 3x24 jam
diharapkan masalah pada tingkat nyeri dapat teratasi dengan
kriteria hasil yaitu keluhan nyeri menurun, meringis menurun,
sikap protektif menurun, gelisah menurun, kesulitan tidur
menurun. Tindakannya adalah dengan identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri,
identifikasi skala nyeri bertujuan untuk membantu dalam
mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan, berikan teknik
relaksasi napas dalam bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri,
kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri dengan cara
membatasi tamu, fasilitasi istirahat dan tidur bertujuan untuk
menghilangkan stress pada otot-otot punggung, anjurkan
menggunakan ibuprofen secara tepat.
2. Diagnosa Kedua
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah hipertermi
berhubungan dengan proses penyakit. Tujuannya setelah
mendapat tindakan intervensi keperawatan 3 x 24 jam diharapkan
termoregulasi membaik dengan kriteria hasil menggigil menurun,
suhu tubuh membaik dan suhu kulit membaik. Tindakannya
adalah dengan identifikasi penyebab hipertermi bertujuan untuk
mengetahui penyebab demam, monitor suhu tubuh bertujuan
untuk mengetahui kenaikan suhu, longgarkan atau lepaskan
pakaian bertujuan untuk membantu dan mempermudah
penguapan panas, berikan cairan oral bertujuan untuk mencegah
Page 108
92
terjadinya dehidrasi, melakukan pendinginan eksternal dengan
cara kompres hangat bertujuan untuk mempercepat dalam
penurunan produksi panas dan anjurkan tirah baring bertujuan
untuk meminimalisir produksi panas yang diproduksi oleh tubuh
dan pemberian obat ibuprofen bertujuan untuk membantu dalam
penurunan panas secara farmakologi.
3. Diagnosa Ketiga
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah resiko
infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif. Tujuannya
setelah mendapat tindakan intervensi keperawatan 3 x 24 jam
tingkat infeksi menurun dengan kriteria hasil demam menurun,
kemerahan menurun, nyeri menurun, bengkak menurun.
Tindakannya adalah dengan periksa lokasi insisi adanya
kemerahan, bengkak atau tanda-tanda dehisen atau eviserasi,
monitor proses penyembuhan area insisi, monitor tanda dan gejala
infeksi, ganti balutan luka sesuai jadwal, jelaskan prosedur kepada
pasien dengan menggunakan alat bantu, ajarkan meminimalkan
tekanan pada tempat insisi, ajarkan cara merawat area insisi.
4.1.4 Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang
dilakukan oleh perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu
pasien dalam proses penyembuhan dan perawatan serta masalah
kesehatan yang dihadapi pasien yang sebelumnya disusun dalam
rencana keperawatan (Nursallam, 2011).
Page 109
93
Setelah rencana tindakan ditetapkan, maka dilanjutkan dengan
melakukan rencana tersebut dalam bentuk nyata. Terlebih dahulu
penulis menulis strategi agar tindakan keperawatan dapat
terlaksanakan, yang dimulai dengan melakukan pendekatan pada
pasien dan keluarga agar nantinya pasien mau melaksanakan apa yang
perawat anjurkan, sehingga seluruh rencana tindakan keperawatan
yang dilaksanakan sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien.
1. Diagnosa pertama
Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik.
Dilakukan implementasi manajemen nyeri dengan
mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri, mengidentifikasi skala nyeri bertujuan untuk
membantu dalam mengidentifikasi derajat ketidaknyamanan,
memberikan teknik relaksasi napas dalam bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri, mengontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri dengan cara membatasi tamu, memfasilitasi istirahat
dan tidur bertujuan untuk menghilangkan stress pada otot-otot
punggung, menganjurkan menggunakan ibuprofen 200 mg
melalui oral secara tepat.
2. Diagnosa kedua
Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit. Dilakukan
implementasi manajemen hipertermia dengan mengidentifikasi
penyebab hipertermi bertujuan untuk mengetahui penyebab
demam, memonitor suhu tubuh bertujuan untuk mengetahui
Page 110
94
kenaikan suhu, melonggarkan atau melepaskan pakaian bertujuan
untuk membantu dan mempermudah penguapan panas,
memberikan cairan oral bertujuan untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, melakukan pendinginan eksternal dengan cara kompres
hangat bertujuan untuk mempercepat dalam penurunan produksi
panas dan menganjurkan tirah baring bertujuan untuk
meminimalisir produksi panas yang diproduksi oleh tubuh dan
memberian obat ibuprofen bertujuan untuk membantu dalam
penurunan panas secara farmakologi.
3. Diagnosa Ketiga
Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Dilakukan implementasi perawatan area insisi dengan memeriksa
lokasi insisi adanya kemerahan, bengkak atau tanda-tanda dehisen
atau eviserasi, memonitor proses penyembuhan area insisi,
memonitor tanda dan gejala infeksi, ganti balutan luka sesuai
jadwal, menjelaskan prosedur kepada pasien dengan
menggunakan alat bantu, mengajarkan meminimalkan tekanan
pada tempat insisi, mengajarkan cara merawat area insisi.
4.1.5 Evaluasi
Evaluasi merupakan tahapan terakhir dari asuhan keperawatan,
dimana pada tahapan ini dilihat apakah tindakan yang dilakukan
sudah efektif atau belum untuk mengatasi masalah keperawatan
pasien atau dengan kata lain, tujuan tercapai atau tidak (Purwanto,
2016).
Page 111
95
Setelah penulis melakukan tindakan keperawatan maka langkah
terakhir dari proses keperawatan adalah mengevaluasi sejauh mana
tindakan-tindakan yang telah diberikan pada pasien berhasil atau
tidak. Hal ini didukung dengan kerjasama antara tenaga kesehatan dan
keluarga, keberhasilan tersebut dapat dilihat dari evaluasi yang telah
dicapai antara lain hasil evaluasi pada ketiga masalah keperawatan
tersebut yang meliputi nyeri akut berhubungan dengan agen
pencedera fisik, hipertermi berhubungan dengan proses penyakit,
resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Pada kasus ini menunjukkan bahwa adanya kemajuan atau
keberhasilan dalam mengatasi masalah pasien. Pada kasus An. A
yang dirawat di ruang THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan sebagai metode
pemecahan masalah, hasil evaluasi akhir yaitu 09 Oktober – 11
Oktober 2019 dari diagnosa keperawatan yang ditemukan dalam
kasus sebagian diagnosa telah teratasi dan ada beberapa diagnosa
yang masih teratasi sebagian.
Pada diagnosa pertama setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam masalah nyeri akut , masalah teratasi sebagian.
Dibuktikan dengan teknik relaksasi napas dalam dengan hasil An. A
tampak lebih rileks, pasien tampak bermain dan tertawa.
Pada diagnosa kedua setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam masalah hipertermia, masalah teratasi. Dibuktikan
Page 112
96
dengan hasil badan An. A tidak lagi hangat, suhu tubuh membaik,
suhu 36,9ºC.
Pada diagnosa ketiga setelah dilakukan asuhan keperawatan
selama 3x24 jam masalah resiko infeksi, masalah teratasi sebagian.
Dibuktikan dengan perawatan luka, dengan hasil tidak terdapat tanda-
tanda infeksi, perban sudah diganti, kemerahan disekitar kulit area
luka tampak berkurang, luka tampak mengering dan tidak ada
nekrotik, An. A tidak memegang dan menekan lukanya.
4.2 Analisis Intervensi Dengan Konsep Penelitian Terkait
Setelah mendapatkan ketiga masalah keperawatan pada tinjauan kasus,
salah satu intervensi yang dilakukan penulis yaitu sehubungan dengan
masalah keperawatan yaitu resiko infeksi, penulis melakukan salah satu
intervensi yang dapat dilakukan untuk mempercepat proses penyembuhan
luka insisi yang salah satunya yaitu perawatan luka dengan menggunakan
metode modern dressing.
Salah satu asuhan perawatan pada penderita post operasi Otitis Media
adalah teknik perawatan luka. Perawatan luka merupakan asuhan
keperawatan yang dilakukan perawat di bangsal, terutama pada ruang
perawatan medical surgincal. Perawat dituntut untuk mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan
luka yang dimulai dari pengkajian yang komprehensif, perencanaan
intervensi yang tepat, implementasi tindakan, evaluasi hasil yang ditemukan
selama perawatan serta dokumentasi hasil yang sistematis (Agustina, 2009).
Page 113
97
Perawatan luka merupakan salah satu teknik dalam pengendalian infeksi
pada luka karena infeksi dapat menghambat proses penyembuhan luka.
Infeksi luka post operasi merupakan salah satu masalah utama dalam praktek
pembedahan (Potter & Perry, 2006). Teknik perawatan luka terkini di dunia
keperawatan yaitu dengan menggunakan prinsip lembab dan tertutup,
suasana lembab mendukung terjadinya proses penyembuhan luka (Blackley,
2004). Teknik perawatan luka lembab dan tertutup atau yang dikenal moist
wound healing adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka
dengan menggunakan bahan balutan penahan kelembaban sehingga
menyembuhkan luka, pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami.
Munculnya konsep moist wound healing, menjadi dasar munculnya
pembalutan luka modern (Mutiara, 2009).
Sejalan dengan teori yang mengatakan bahwa balutan yang dapat
menjaga kelembaban pada permukaan luka akan memfasilitasi proses
angiogenesis, pada angiogenesis terjadi pembentukan kapiler darah baru
dimana suplai oksigen dan nutrisi mengalami peningkatan. Proses lain adalah
peningkatan autolitik debridemen, pada kondisi moist neutrophil meningkat
sehingga jaringan nekrotik dapat diangkat dan tidak menimbulkan respon
nyeri. Proses ini pula menstimulasi makrofag untuk menghasilkan hormon
pertumbuhan yang dapat merangsang pertumbuhan sel baru (Keast & Orsted,
2008).
Pada saat dilakukan asuhan keperawatan didapatkan hasil bahwa sebelum
dilakukan perawatan menggunakan moist wound healing luka tampak
terpasang perban, kondisi perban masih basah, kulit sekitar area luka post
Page 114
98
operasi tampak kemerahan dan pasien merasakan nyeri saat luka dibersihkan.
Namun setelah dilakukan perawatan luka menggunakan teknik moist wound
healing selama 3 hari tampak kemerahan disekitar kulit area luka berkurang,
tampak luka mulai mengering, pada saat dilakukan perawatan luka, pasien
meringis menahan sakit dan pasien mengatakan nyeri berkurang. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perubahan setelah dilakukan perawatan luka
menggunakan teknik moist wound healing pada luka An. A.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maria Imaculata
Ose, dkk (2018) tentang Efektivitas Perawatan Luka Teknik Balutan Wet-Dry
Dan Moist Wound Healing Pada Penyembuhan Ulkus Diabetik yang
mendapatkan hasil bahwa perawatan luka pada ulkus diabetik dengan teknik
moist healing lebih cepat proses penyembuhannya sehingga pasien
mendapatkan perawatan lebih efektif dan efisien baik dari segi waktu dan
biaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Angriani, Sri dkk tahun 2019 dengan
judul efektifitas perawatan luka modern dressing dengan metode moist
wound healing pada ulkus diabetik di klinik perawatan luka etn centre
makassar. Adapun hasil yang didapatkan pada penelitian ini adalah
perawatan luka modern dengan metode moist wound healing efektif terhadap
proses penyembuhan luka ulkus diabetik.
Santoso dan Purnomo (2017) menuliskan bahwa perawatan luka
menggunakan metode modern dressing merupakan metode yang efektif
dalam penyembuhan luka pasien rawat jalan di daerah Mojokerto (p=0,001).
Lebih lanjut lagi peneliti menuliskan bahwa perawatan luka menggunakan
Page 115
99
modern dressing membuat kondisi area luka menjadi lembab sehingga
membantu mempercepat proses granulasi sel kulit.
Fife et al (2012) mendapatkan hasil penelitian bahwa modern wound
dressing atau balutan luka modern yang digunakan untuk perawatan luka
pada saat ini dapat merangsang pertumbuhan dan sitokin sehingga
penyembuhan luka terjadi begitu cepat. Dalam penelitian yang telah
dilakukan sekitar 50,8 % setengah dari luka yang telah sembuh menggunakan
perawatan luka lembap tanpa memerlukan terapi lanjutan.
Balutan Modern dressing bersifat lembut dan dapat mengembang apabila
luka mempunyai jumlah eksudat yang banyak dan tetap memberikan kesan
lembab dan mencegah kontaminasi dari bakteri yang ada diluar luka. Untuk
balutan basah kering apabila luka memiliki eksudat dalam jumlah banyak
maka harus segera diganti balutannya. Terutama apabila eksudat tersebut
sampai merembes keluar dari balutan yang menyebabkan balutan tampak
kotor. Selain itu teknik moist healing tidak memberikan nyeri maupun
perdarahan saat balutan diangkat dari luka. Sedangkan untuk penggunaan
perawatan luka balutan basah kering akan sangat sulit saat ingin membuka
balutan tersebut dikarenakan balutan tersebut menjadi kering dan akan
menimbulkan nyeri dan juga perdarahan apabila balutan tersebut diangkat
(Abun, 2013).
Page 116
100
4.3 Alternatif Pemecahan Yang Dapat Dilakukan
Dari implementasi yang dilakukan selama 3 hari penulis tidak ada
mendapatkan kendala apapun. Hal ini dikarenakan tidak adanya biaya yang
besar ataupun peralatan khusus yang digunakan untuk melakukan perawatan
luka dengan metode moist wound healing. Intervensi ini juga sangat mudah
dilakukan oleh perawat dan keluarga.
Selain dengan teknik perawatan luka metode moist wound healing, ada
juga teknik lain yaitu perawatan luka modern dressing salep tribee banyak
dilakukan untuk perawatan luka. Modern dressing salep tribee merupakan
salah satu perawatan luka modern yang dapat meringankan komplikasi dan
mempercepat lama hari rawatan (Tusyanawati, Sutrisna & Tohri, 2019).
Page 117
101
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada An. A
selama 3 hari, yaitu pada tanggal 09 Oktober sampai 11 Oktober 2019
dengan kasus post operasi Otitis Media, di ruang THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi, maka dapat diketahui hal-hal seperti berikut :
1. Penulis sudah mampu memahami konsep teori Otitis Media : definisi,
etiologi, klasifikasi, patofisiologi, tanda dan gejala, komplikasi,
penatalaksanaan.
2. Setelah dilakukan pegkajian didapatkan bahwa pasien An. A mengalami
Otitis Media dengan post operasi pada bagian belakang telinga sebelah
kanan terdapat luka, tampak luka memiliki jumlah jahitan 1, panjang
±3cm dan kedalaman ±1 cm, keluarga mengatakan luka masih basah,
terdapat pus dan tidak ada nekrotik, luka terpasang perban dan kondisi
perban tampak masih basah.
3. Masalah keperawatan yang muncul pada kasus yaitu :
- Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan
dengan mengeluh nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.
- Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan
suhu tubuh diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.
- Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Page 118
102
4. Untuk mengatasi masalah keperawatan yang muncul tersebut maka
disusunlah rencana asuhan keperawatan sesuai dengan teoritis dan kasus
yang ditemukan pada An. A dengan post operasi Otitis Media di ruangan
THT RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.
5. Implementasi keperawatan yang telah dilakukan sesuai dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun dan disesuaikan dengan kondisi An. A
dengan post operasi Otitis Media di ruangan THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi.
6. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 hari pada An. A dengan
post operasi Otitis Media di ruangan THT RSUD Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi selama 3 hari didapatkan bahwa sudah memperlihatkan
adanya perbaikan.
7. Penulis telah mampu menerapkan perawatan luka menggunakan metode
moist wound healing dalam meningkatkan penyembuhan luka post
operasi Otitis Media pada An. A di ruangan THT RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi
8. Hasil implemetasi perawatan luka menggunakan metode moist wound
healing An. A selama 3 hari didapatkan hasil bahwa balutan luka sudah
diganti, luka terpasang perban, luka tampak mulai mengering, tidak
terdapat pus dan jaringan nekrotik, warna kemerahan disekitar luka post
operasi berkurang dan pasien mengatakan nyeri berkurang.
Page 119
103
5.2 Saran
5.2.1 Bagi RSUD Dr.Achmad Mochtar Bukittinggi
Diharapkan pihak RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi dapat
mengembangkan standar operasional prosedur dalam penerapan
perawatan luka modern dressing dengan metode moist wound healing
khususnya pada pasien Otitis Media. Dan juga dapat memberikan
pelatihan bersertifikat ataupun house training di rumah sakit. Bagi
perawat diharapkan dapat menjadi acuan dan informasi dalam
penambahan skill pada perawatan luka dengan diadakannya worshop
pelatihan perawatan luka dengan metode moist wound healing di
RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.
5.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan dapat digunakan oleh institusi pendidikan sebagai
bahan ajar pratikum di laboratorium untuk penerapan perawatan luka
modern dressing dengan metode moist wound healing serta masukkan
dan perbandingan untuk karya ilmiah.
5.2.3 Bagi Penulis
Diharapkan penulis mampu menambah pengetahuan dan
memperkaya pengalaman dalam memberikan dan menyusun asuhan
keperawatan khususnya pada pasien Otitis Media.
Page 120
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofar. (2012). Pedoman lengkap keterampilan perawatan klinik. Yogyakarta:
Mitramedia
Agustina, H. R. (2009). Perawatan Luka Modern, diperoleh tanggal 15 Agustus 2013,
dari http://www.unpad.ac.id
Andarmoyo . 2017. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: AR-RUZZ
MEDIA
Angriani S, Hariani, Dwianti U. 2019. Efektifitas Perawatan Luka Modern Dressing
Dengan Metode Moist Wound Healing Pada Ulkus Diabetik Di Klinik Perawatan
Luka Etn Centre Makassar. Jurnal Media Keperawatan : Politeknik Kesehatan
Makassar
Anonim . 2014. Clinical Practice Guideline : The Diagnosis and Management of Acute
Otitis Media. The American Academy of Pediatric.
Arisanty, Irma P. (2013). Konsep Dasar Manajemen Perawatan Luka. Jakarta : EGC.
Jakarta
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Edisi 1. EGC. Jakarta.
Blackley, P. (2004). Practical Stoma Wound and Continence Management. Australia:
Research Publications Pty Ltd 27A Boronia, Vermont, Victoria, Australia.
Brunner, & Suddarth. (2016). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Buchman, C.A., 2003. Infection of The Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 8 th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.
Budiyono, Setiadi. 2011. Anatomi Tubuh Manusia. Bekasi : Laskar Aksara
Corbeel, L. What Is New with Otitis Media. Eur J Pediatr, 2007 ;166: 511-519
David EL, David LB. Anesthesia for Otorhinolaryngologic (Ear, Nose, Throat) Surgery.
Anesthesiology. 2nd. 2012.
Djaafar ZA, 2007. Kelainan Telinga Tengah, dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung, Tenggorok Kepala Leher. Balai Penerbit FK UI. Jakarta.
Dhingra PL, Dhingra S (2007). Diseases of ear, nose and throat, 4th ed, India: Elsevier,
pp: 4-5, 70.
Dhivya S, Padma VV, Santhini E. Wound dressings - a review. BioMedicine.
2015;5(4):24–8.
Fata U. H, Rahmawati A, Wulandari N, Fanani Z & Prayogi B .2016. Pusat Perawatan
Luka Patricia Care Blitar Unit Pelayanan Perawatan Luka, Konseling, Produk Salep
Luka dan Pelatihan Luka. Jurnal Dedikasi : 9-15.
Page 121
Fatmadona, R., & Oktarina, E. (2016). Aplikasi modern wound care pada perawatan luka
infeksi di rs pemerintah kota padang. Ners Jurnal Keperawatan, 12 (2), 159-165.
Diakses dari http://ners.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/download/147/120
Fife., & Carter. (2012). Wound care outcomes and associated cost among patients treated
in US outpatient wound centers: Data from the US wound registry. Retrieved from
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25875947
Ghanie, A. (2010). Penatalaksanaan otitis media pada anak. palembang : Fakultas
kedokteran universitas sriwijaya
Gito & Rochmawati, E. (2018). Efektifitas kandungan modern wound dressing terhadap
perkembangan bakteri staphylococcus aureus. Jurnal Keperawatan, 9(2), 88-99.
https://doi.org/10.22219/jk.v9i2.5160
Handayani, L. T. (2016). Studi Meta Analisis Perawatan Luka Kaki Diabetes Dengan
Modern Dressing. The Indonesian Journal Of Health Science, 6(2).
Haryono, R. (2019). Keperawatan Medikal Bedah 2. Yogjakarta: Pustaka Baru Press.
Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. In: Snow JB, Ballenger
JJ,eds. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. 16th edition. New
York: BC Decker; 2003. p.249-59.
Jervis-Bardy, J, Sanchez, L. and Carney, A. S. Otitis Media in Indigenous Australian
Children : Review of Epidemiology and Risk Factor. The Journal of laryngology &
Otology, 2013 ;128 : S16-S27.
Keast dan Orsted. (2008). The Basic Principles of Wound Healing, (online)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Telinga Sehat Investasi Masa Depan. Biro
Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Available
from:http://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20180302/4725111/telinga-
sehat-investasi-masa-depan/
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
Koksal, V. & Reisli, I. (2002). Acute otitis media in children. J Ank. Med Sch56, 19–24
Lieberthal, A. S., Carroll, A. E., Chonmaitree, T., Ganiats, T. G., Hoberman, A., Jackson,
M. A., Joffe, M. D., Miller, D. T., Rosenfeld, R. M., Sevilla, X. D., Schwartz, R. H.,
Thomas, P. A., & Tunkel, D. E. (2013). The diagnosis and management of acute
otitis media. Pediatrics, 131(3). https://doi.org/10.1542/peds.2012-3488
Luklukaningsih, Zuyina. 2014. Anatomi Fisiologi dan Fisioterapi. Yogyakarta: Nuha
Medika.
McCloskey, J. C. & Bulechek, G. M. 2010. Nursing Intervention Clasification (NIC).
Mosby.
Page 122
Mutiara. (2009). Peranan serat alam untuk bahan tekstil medis pembalut luka (wound
dressing), Jurnal area tekstil. (Vol. 24, no2), diakses dari
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/242097993.pdf
Naralia,T.W & Ariani, Y.(2018). Pengetahuan Perawat Tentang Perawatan Luka Dengan
Metode Moist Wound Healing di RSUD H.Adam Malik Medan.
Ngatimin. 2012. Pengertian Pengetahuan Menurut Para Ahli. dari GloryCorner :
http://glorycorner.blogspot.com/2012/10/pengertian-pengetahuan-menurut-para-
ahli.html.
Nurarif A.H & Kusuma H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc ed 1. Jogjakarta : Penerbit Mediaction
Nursalam. (2011). Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan.
Jakarta : Salemba Medika
Ose, M. I., Utami, P. A., & Damayanti, A. (2018). Efektivitas Perawatan Luka Teknik
Balutan Wet-Dry dan Moist Wound Healing Pada Penyembuhan Ulkus Diabetik.
Journal of Borneo Holistic Health, 1(1), 108-120.
Potter, Perry. 2006. Fundamental Keperawatan. Volume 2 Edisi. 4 Jakarta: EGC
Purwanto .2016. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Samuel S, Kardinan B, Soeng S. 2014. Karakteristik Pasien Rawat Inap Otitis Media
Akut di Rumah Sakit Immanuel Bandung Periode Januari-Desember 2013.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha.
Santoso, W., Purnomo, J. (2017). Effectiveness wound care using modern dressing
method to diabetic wound healing process of patient with diabetes mellitus in home
wound care. International Journal of Nursing and Midwifery, 1(2), 172- 181.
Diakses dari http://ijnms.net/index.php/ijnms/article/view/68/33
Sarheed, O., Ahmed, A., Shouqair, D., & Boateng, J. (2016). Antimicrobial Dressings for
Improving Wound Healing. In V. A. Alexandrescu (Ed.), Wound Healing - New
insights into Ancient Challenges. InTech.
Shaikh, N. And Hoberman. A. Update: Acute Otitis Media. Pediatric Annal. 2010; 39:1
Silbernagl & Lang, 2000, Pain in Color Atlas of Pathophysiology , Thieme New York.
320-321
Smeltzer, S. C., Bare, B. G., 2001, “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
&Suddarth. Vol. 2. E/8”, EGC, Jakarta.
Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J (2012). Gangguan pendengaran. Dalam: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi ke 7. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Press. pp: 10 – 22
Supartini. (2009). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Jakarta. EGC
Page 123
Suzanne, C. Smeltzer. (2001). Keperawatan medikal bedah, edisi 8. Jakarta : EGC
Tarigan, R. (2007). Perawatan luka. ( http://Moistwoundhealingtrend.html diakses
tanggal 18 September 2020).
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI
Titisari, H. 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media
Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Toll, E. C., and Nunez, D. A. Diagnosis and Treatment of Acute Otitis Media : Review.
The Journal of laryngology & Otology, 126: 976-983.
Tortora, GJ, Derrickson, B. 2011. Principles of Anatomy & Physiology 13th Edition.
United States of America: John Wiley & Sons, Inc.
Wahidin Abun. 2013. Perawatan luka modern dressing. ( http://Mediacostore.com )
Wahyudi, Andri Setiya & Wahid, Abd. (2016). Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
World Health Organization. 2012. Situation Review and Update on Deafnes, Hearing
Loss dan Intervention Program. Geneva: Regional Office for Geneva.
Yasmara, D., Nursiswati, & Arafat, R. (2017), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-
Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017 Intervensi NIC Hasil NOC. Jakarta: EGC.
Yusra, S & Aprilani, I. 2015. Perawatan Luka Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes
Mellitus Di Cindara Wound Care Center Jepara. Jurnal Profesi Keperawatan : 117.
Page 124
Lampiran 1
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)
Sumber : POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III, 2019
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
PERAWATAN LUKA
PENGERTIAN Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk merawat luka agar dapat mencegah
terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran
mukosa atau jaringan lain.
TUJUAN Tujuan diberikan perawatan luka yaitu :
1. Mencegah terjadinya infeksi
2. Mengurangi nyeri dan mempercepat proses
penyembuhan luka
3. Mengobservasi drainase
4. Menghambat atau membunuh mikroorganisme
5. Mecegah perdarahan dan meningkatkan
kenyamanan fisik
PERSIAPAN ALAT 1. Seperangkat set perawatan luka steril
2. Larutan pembersih yang di resepkan
3. Gunting verban/plester
4. Sarung tangan sekali pakai
5. Plester, pengikat atau balutan sesuai kebutuhan
6. Bengkok
7. Perlak pengalas
8. Kantong untuk sampah
9. Troli
PROSEDUR Tahap pra interaksi
1. Membaca rekam medis pasien dan catatan untuk rencana perawatan luka
2. Mengeksplorasi perasaan, analisis kekuatan dan keterbatasan
profesional pada diri sendiri
3. Menyiapkan alat :
a. Seperangkat set perawatan luka steril
b. Larutan pembersih yang diresepkan
c. Gunting verban/plester
d. Sarung tangan sekali pakai
e. Plester, pengikat atau balutan sesuai kebutuhan
f. Bengkok
g. Perlak penghalas
h. Kantong untuk sampah
i. Troli
Tahap Orientasi
1. Memberikan salam, memasukkan dengan menanyakan nama, alamat,
dan umur pasien
Page 125
2. Memanggil nama pasien sesuai dengan persetujuan pasien
3. Menjelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan pada
pasien/keluarga pasien
4. Memberikan kesempatan pada pasien untuk bertanya sebelum tindakan
dimulai
5. Meminta persetujuan
6. Menjaga privacy pasien dengan menutup tirai
7. Mencuci tangan sebelum melakukan tindakan
Tahap Kerja
1. Menyusun semua peralatan yang diperlukan di troli dekat pasien (tidak
membuka peralatan steril dulu)
2. Meletekkan bengkok didekat pasien
3. Memasangkan perlak penghalas
4. Mengatur posisi klien dan mengintruksikan klien untuk tidak
menyentuh area luka atau peralatan steril
5. Menggunakan sarung tangan sekali pakai dan melepaskan plester,
ikatan atau balutan dengan menggunakan pinset
6. Jika balutan lengket pada luka, melepaskan balutan dengan
memberikan larutan steril/NaCl
7. Observasi karakter dan jumlah drainnase pada balutan
8. Buang balutan kotor pada bengkok, lepaskan sarung tangan dan bulang
pada tempatnya
9. Buka bak instrumen balutan steril. Balutan, gunting dan pinset, harus
tetap pada bak intrumen steril.
10. Kenakan sarung tangan steril
11. Inspeksi luka. Perhatikan kondisinya, letak drain, integritas balutan
atau penutup kulit, dan karakter drainase.
12. Membersihkan luka dengan larutan antiseptic yang diresepkan
13. Menggunakan satu kassa untuk satu kali usapan
14. Membersihkan luka dari area kurang terkontiminasi ke area
terkontaminasi
15. Gunakan kassa baru untuk mengeringkan luka atau insisi
16. Berikan salep antiseptic bila dipesankan
Tahap Terminasi
1. Mengevaluasi perasaan klien setelah dilakukan tindakan
2. Menyimpulkan hasil tindakan
3. Melakukan kontrak untuk tindakan selanjutnya
4. Mencuci dan membereskan alat setelah digunakan
5. Mencuci tangan setelah melakukan tindakan
Dokumentasi
1. Mencatat tanggal dan jam perawatan luka
2. Mencatat nama, alamat dan umur klien
3. Mencatat hasil tindakan sesuai dengan SOAP
4. Paraf dan nama petugas/perawat yang melakukan tindakan Standar
Operasional Prosedur
Catatan : Perawat menggunakan teknik bersih dalam melakukan perawatan luka.