PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI PENGADILAN AGAMA (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : KHOLID ABDUL AZIZ NIM. 11140460000088 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENERAPAN METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
OLEH HAKIM DALAM PERKARA EKONOMI SYARIAH DI
PENGADILAN AGAMA
(Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
KHOLID ABDUL AZIZ
NIM. 11140460000088
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH (MUAMALAT)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Kholid Abdul Aziz. NIM 111140460000088. Penerapan Metode
Penemuan Hukum (Rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam Perkara Ekonomi
Syariah di Pengadilan Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama Tangerang
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng). Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. xi + 82 halaman + 57 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah hakim Pengadilan Agama
Tangerang menggunakan metode penemuan hukum sehingga berhak memeriksa perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng, serta mengetahui bagaimana hakim Pengadilan Agama Tangerang menerapkan metode penemuan
hukum dalam menangani perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, jika para pihak telah menunjuk badan arbitrase sebagai tempat penyelesaian perselisihan yang dituangkan dalam kontrak perjanjian, maka Pengadilan Agama tidak berwenang menangani perkara yang timbul dari
perselisihan yang terjadi. Namun, ketentuan tentang tempat penyelesaian perselisihan ekonomi syariah yang terjadi pada kontrak tersebut oleh majelis
hakim dinilai bahwa Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan perkara ekonomi syariah Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library
research dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, wawancara dan penelitian ilmiah yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hakim Pengadilan Agama
Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi syariah dengan nomor perkara 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng melakukan penemuan hukum dengan metode
interpretasi kompeherensif dengan alasan: (1) Dengan menyatakan Pengadilan Agama berwenang mengadili perkara ekonomi syariah setelah adanya putusan sela memberikan arti bahwa kebutuhan masyarakat akan hukum telah dipenuhi
oleh majelis hakim sehingga terciptanya kepastian hukum, (2) Hukum yang terjadi antara penggugat dan tergugat merupakan realitas dan mempunyai dampak
yang besar. Jika tidak segera dipastikan lembaga mana yang berwenang mengadili, maka sengketa ekonomi syariah akan terus berlarut-larut dan tidak memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi para pencari keadilan, (3) Majelis
hakim mencari maksud dibalik klausula dengan melihat alamat yang tertera dan meminta keterangan penggugat atas hadirnya kalusula tersebut. Artinya majelis
hakim dalam hal ini melakukan interpretasi dengan menyelami makna dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat yang terjadi, (4) Dalam memeriksa perkara ini hakim terlihat tidak bersifat too legal terhadap
permasalahan yang terjadi. Namun, hakim menggunakan penalaran logis yang sejalan dengan hati nuraninya dalam menyelesaikan perkara ini termasuk
v
menyikapi klausula tersebut. Hal itu semata-mata demi terwujudnya tujuan hukum
itu sendiri.
Kata Kunci : Penerapan Penemuan Hukum, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Nomor Perkara: 2107/Pdt.G/2016/
PA.Tng
Pembimbing : Mustolih Siradj, S.H.I., M.H., C.L.A
Daftar Pustaka : Tahun 1970 s.d. 2017
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala
yang telah memberikan berkah, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis diberikan kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Penerapan Metode Penemuan Hukum (rechtsvinding) Oleh Hakim Dalam
Perkara Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama”. Shalawat serta salam tak lupa
tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
Skripsi ini penulis persembahkan seutuhnya untuk motivator terbesar dan
terindah sepanjang perjalanan hidup penulis, terkhusus kedua orang tua tercinta,
Ayahanda (Alm) H. Hidayat Syarif dan Ibunda Hj. Farhatun Aeniyah beserta
kakak-kakakku terkasih dan tercinta Syarifah Aeni, Suryani Atikah, Lia Karmila,
Asep Hidayat, Badru Tamam, dan Shodiq Nurcholis yang tiada lelahnya selalu
memberikan semangat, motivasi, bimbingan, dukungan, kasih sayangnya, do’a,
begitu juga keluangan waktu dan senyumannya. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala senantiasa memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka
semua.
Selama proses penulisan skripsi ini, sedikit banyaknya hambatan dan kesulitan
yang penulis hadapi, atas berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
dukungan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
Dengan demikian, sudah sepatutnya penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah membantu, khususnya:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua dan Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku
Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi Syariah yang telah
memberikan arahan dan saran yang terbaik bagi mahasiswanya. Sosok
viii
dosen yang memberikan semangat kepada mahasiswa dengan cara yang
Ketiga), h. 43. 17 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
Cet. Keempat), h., 17. 18 Ibid. h., 13. 19 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h., 9.
11
pemaparan atas realita yang terjadi20 dalam putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor 2107/Pdt.G/2016/Tng, kemudian menghubungkannya
dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang
objektif, logis, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikhendaki.
3. Data Penelitian
Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan terbagi
menjadi dua, yaitu:
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan
melakukan wawancara langsung terhadap pihak-pihak terkait dengan
penelitian ini terutama hakim-hakim yang menerima, memeriksa, dan
mengadili perkara Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data mengenai atau yang berkaitan dengan
objek penelitian yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber
data.21 Data sekunder berisikan informasi tentang bahan primer yang
dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, Al- Qur’an, Hadis, data-data resmi dari instansi
pemerintah yang berwenang, buku-buku, internet, karangan ilmiah,
jurnal, dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Dokumentasi
Melalui studi ini dapat menelaah bahan-bahan atau data-data yang
diambil dari dokumentasi dan berkas yang mengatur tentang
20 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.,183. Menurut Moh. Nazir, Metode deskriptif
adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian
deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual,
dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki, Lihat,
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h., 54. 21 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas
Atma Jaya, 2007), h.,71.
12
pemeriksaan yang terkait perkara ekonomi syariah pada putusan
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng.
b. Studi Pustaka (Library Research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini yaitu Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES), PERMA No 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah, , Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fatwa DSN-
MUI, dan kepustakaan lain yang relevan dengan penelitian ini.
Pengolahan data studi pustaka dilakukan dengan cara dibaca, dikaji,
dan dikelompokan sesuai dengan pokok masalah yang akan diteliti.
c. Penelitian Wawancara (Interview)
Wawancara dilakukan kepada majelis hakim yang menerima,
memeriksa, dan mengadili perkara putusan Nomor
2107/Pdt.G/2016/PA.Tng. Wawancara ini menggunakan metode bebas
dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan refrensi
untuk memperkuat data.
5. Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan deskriptif
analisis, analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
terhadap data primer dan data sekunder.22 Analisis data ini memberikan
telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah,
atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan
terhadap hasil penelitian.23
Pada penelitian ini, sifat deskriptif analisis dengan pendekatan
kualitatif yang akan digunakan pada putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor Register Perkara 2107/Pdt.g/2016/P.A.Tng., dan
22 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h., 107. 23 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris, h., 183.
13
melakukan wawancara terhadap hakim yang memeriksanya, untuk
mengetahui proses dan aturan hukum yang digunakan dalam proses
penemuan hukum dalam putusan ekonomi syariah tersebut.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan
data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, baik data primer maupun
sekunder. Setelah data terkumpul, kemudian dipilih kategori mana yang
relevan dan mana yang tidak relevan terhadap penelitian ini. Setelah itu,
disusun menjadi rancangan yang sistematis untuk ditampilkan sehingga
pada kesimpulan akhir didapatkan suatu simpulan berdasarkan data yang
peroleh secara lengkap.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi nantinya, diperlukan adanya uraian mengenai
susunan penulisan yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu, penulis merencanakan
penulisan ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, yaitu:
BAB I Berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, studi (review) terdahulu,
metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II Penulis menguraikan tentang pengertian penemuan hukum,
sebab penemuan hukum, sistem penemuan hukum, metode
penemuan hukum, prosedur dan teknik pengambilan
putusan dalam penemuan hukum, peran hakim dalam
peneman hukum.
BAB III Penulis membahas mengenai kompetensi peradilan agama
dalam menangani perkara ekonomi syariah yang terdiri dari
kedudukan dan kewenangan peradilan agama, hukum
materiil dan formil di Pengadilan Agama dalam perkara
ekonomi syariah, dan hubungan Pengadilan Agama dengan
arbitrase syariah.
14
BAB IV Dalam bab ini penulis akan memaparkan duduk perkara,
pertimbangan hukum beserta amar putusan terkait Perkara
Nomor 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng dan menganalisisnya
dengan berpedoman pada aturan yang berlaku dan
berdasarkan pada metode penemuan hukum oleh hakim.
BAB V Pada bab akhir ini, penulis akan memberikan kesimpulan
yang disertai dengan saran-saran.
Demikianlah rancangan sistematika penulisan ini, mudah-mudahan rancangan
ini dapat dimengerti dan bermanfaat.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENEMUAN HUKUM
A. Pengertian Penemuan Hukum
Terlepas dari tidak wajibnya mengikuti preseden, diacunya yurisprudensi
kuat bagi penyelesaian sengketa serupa menunjukan bahwa tugas hakim
bukan sekedar menerapkan undang-undang. Melalui putusannya yang menjadi
yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu dalam praktik
penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminologi yang
digunakan oleh undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur
masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan
situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah, hakim dalam hal ini lalu melakukan
pembentukan hukum (rechtvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan
hukum (rechtverfijning), atau penafsiran (interpretative). Kegiatan-kegiatan
semacam itu, dalam sistem hukum kontinental disebut sebagai penemuan
hukum (rechtsvinding).24
Kehadiran penemuan hukum dalam dunia hukum memberikan solusi
antara pandangan legisme, begriffsjurisprudenz yang terlalu tajam dalam
menyikapi pandangannya dalam suatu penyelesaian persoalan hukum.25
Penemuan hukum merupakan aliran yang menyatakan bahwa hakim terikat
pada undang-undang, tetapi tidaklah seketat seperti menurut ajaran legisme,
24 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008, Edisi
Revisi), h., 282. Sudikno Mertokusumo memberikan 5 istilah yang sering dikaitkan dalam
kegiatan penemuan hukum, yaitu Pembentukan Hukum (rechtsvorming), Penerapan Hukum
(rechtstoepassing), Pelaksanaan Hukum (rechtshandhaving), Penciptaan Hukum (rechtschepping),
Penemuan Hukum (rechtsvinding). Lihat, Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, h., 47-48. Yang dimaksud penemuan hukum bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi
hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan untuk diterapkan dalam
peristiwa konkret. Lihat, Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta: UII Press,
2012), h., 53. 25 Aliran begriffsjurisprudenz merupakan aliran yang memperbaiki aliran Legisme. Aliran
ini mengajarkan bahwa sekalipun undang-undang tidak lengkap, tetapi undang-undang masih bisa
menutupi kekurangan-kekurangannya sendiri, karena undang-undang memiliki daya meluas.
Penggunaan hukum logika yang dinamakan silogisme menjadi dasar aliran ini, tujuan dari aliran
ini ialah bagimana kepastian hukum dapat terwujud. Lihat, Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,
155.
16
karena hakim juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim dalam
melaksanakan tugas disebut sebagai kebebasan yang terikat atau keterikatan
yang bebas. Oleh karena itu, tugas hakim disebutkan demikian karena ia
berperan dalam penemuan hukum berdasarkan tuntutan zaman.26
Berdasarkan hal di atas, eksistensi penemuan hukum begitu mendapatkan
perhatian yang berlebih, karena penemuan hukum dirasa mampu memberikan
suatu putusan yang dinamis dengan memadukan aturan yang tertulis dan
aturan yang tidak tertulis. Penemuan hukum diartikan sebagai wadah ijtihad
hakim dalam memberikan keputusan yang memiliki jiwa tujuan hukum.
Sehingga penemuan hukum dirasa memiliki corak yang indah yang menjelma
menjadi suatu putusan hakim yang didambakan. Berdasarkan hal tersebut, lalu
apa yang dimaksud dengan penemuan hukum oleh hakim itu?
Menurut Paul Scholten sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, penemuan
hukum diartikan sebagai sesuatu yang lain daripada hanya penerapan
peraturan-peraturan pada peristiwanya, dimana kadang-kadang atau sering
terjadi bahwa peraturannya harus diketemukan, baik dengan jalan interpretasi
maupun dengan jalan analogi ataupun pengkonkretan hukum.27 Sependapat
dengan Scholten, Panggabean mengartikan penemuan hukum sebagai proses
konkretisasi terhadap peraturan hukum yang bersifat umum dengan
memperhatikan peristiwa konkret yang terjadi dalam perkara tersebut.28
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkrit.
Jadi, yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan
atau menentukan hukumnya untuk peristiwa konkrit.29
Menurut Arif Hidayat, penemuan hukum dapat diartikan sebagai tindakan
untuk menyisiasati terjadinya kesenjangan dalam undang-undang (legal gap),
26 Zainuddin Ali, Metode Penemuan Hukum, h.,146. 27 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 154. 28 H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia,
(Bandung: PT. Alumni, 2014), h., 217. 29 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, h., 49.
17
yang terjadi akibat undang-undang yang cepat atau lambat akan tertinggal oleh
fakta seiring berubahnya tananan sosial tempat hukum itu hidup di dalam alam
kenyataan. Legal gap yang dimaksud antara hukum di atas kertas (law in the
books), dan hukum yang hidup dalam kenyataan (law in action).30
Dari pengertian penemuan hukum di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud penemuan hukum yaitu proses pembentukan hukum
oleh hakim, yang dimana hakim tersebut tidak hanya melihat pada konteks
tekstual atau dalam arti hanya dari undang-undang saja, namun dapat juga dari
sumber hukum yang lain. Pada penemuan hukum pula, hakim harus melihat
apakah undang-undang tersebut tidak memberikan peraturan yang jelas, atau
tidak ada ketentuan yang mengaturnya. Jika terjadi demikian, maka hakim
dapat melakukan penemuan hukum. Hal tersebut bertujuan untuk menciptakan
hukum yang konkrit dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Disisi lain, penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh
subyek atau pelaku penemuan hukum dalam upaya menerapkan peraturan
hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode
tertentu yang dapat dibenarkan dalam ilmu hukum, seperti interpretasi,
penalaran, kontruksi hukum dan lain-lain.31 Menurut Amir Syamsudin
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Rifa’i, kaidah-kaidah atau metode-metode
tertentu yang digunakan oleh hakim dalam pembentukan hukum bertujuan
agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara
30 Arif Hidayat, “Penemuan Hukum Melalui Penafsiran Hakim Dalam Putusan
Pengadilan, Pandecta, Volume 8, Nomor 2, Juli 2013, h.,154. Penyebab terjadinya Legal Gap
dikarenakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik oleh legislatif maupun
eksekutif pada kenyataannya memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan
perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal atau keadaan yang khendak diatur oleh
peraturan tersebut sudah berubah. Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi ketika hal-hal atau
keadaan yang terjadi belum diatur dalam peraturan-perundang-undangan atau sekalipun sudah
diatur namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap. Hal ini sebenarnya selaras dengan pameo yang
menyatakan bahwa “terbentuknya suatu peraturan-perundang-undangan senantiasa tertinggal atau
terbelakang dibandingkan dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.” Lihat,
Muhammad Syukri Albani Nasution, Hukum Dalam Pendekatan Filsafat, (Jakarta: Kencana,
Menurut Soeroso, uraian di atas dengan singkat dapat dikatakan bahwa
hukum itu terbentuk dari kebiasaan, perundang-undangan dan proses
peradilan. 40
Di Indonesia, aliran penemuan hukum juga dikenal terutama dalam
praktik peradilan dan mulai mendapatkan tempatnya dalam peraturan
perundang-undangan terutama yang mengatur tentang kekuasaan
kehakiman yang secara subtansial mengantur mengenai beberapa
ketentuan yang memungkinkan kegiatan penemuan hukum ini dilakukan.41
Jika dicermati, sebenarnya tertera beberapa ketentuan yang menjadi
dasar terjadinya penemuan hukum dalam praktik peradilan di Indonesia.
Apabila melihat undang-undang tentang kekuasaan kehakiman mulai dari
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 197042, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 200443 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 200944 , terdapat
pasal yang menegaskan agar hakim wajib menggali mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Pasal-pasal tersebut tentu berkaitan dengan tugas pokok
hakim yakni memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Selain dalam undang-undang kekuasaan kehakiman, perihal penemuan
hukum pun disinggung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 45) sebagai urutan pertama dalam hirarki
40 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005, Cet. Ketujuh), h.,
96. Disisi lain, menurut aliran rechtsvinding, hukum terbentuk dengan beberapa cara, yaitu: karena
wetgeving (pembentukan undang-undang); karena administrasi (TUN); karena rechspraak atau
peradilan ; karena kebiasaan/tradisi yang sudah mengikat masyarakat ; karena ilmu (wetenschap).
Lihat, “Profil Jurnal Rechtsvinding”, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
http://rechtsvinding.bphn.go.id/?page=profil. 41 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 55. 42 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” 43 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 44 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam mas yarakat.”
peraturan perundang-undangan45, sebagaimana terlihat dalam Pasal 18B
ayat (2)46 , Pasal 28 I ayat (3)47 dan Pasal 28 J ayat (2)48.
Hadirnya pasal-pasal yang termuat dalam undang-undang kekuasaan
kehakiman dan UUD 1945 memberikan arti jelas bahwa wajah penemuan
hukum di Indonesia mendapatkan tempatnya dan sekaligus menjadi
pedoman bagi para hakim dalam menjalankan tugas sebagai penegak
hukum untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai yang hidup dan
memberikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
C. Sistem Penemuan Hukum
Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem
hukum yang ada. Penemuan hukum yang semata-mata mendasarkan pada
undang-undang saja disebut sebagai system oriented, tetapi apabila sistem
tidak memberikan solusi, maka sistem harus dikesampingkan dan menuju
problem oriented.49
Menurut Wiarda sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo, sistem
penemuan hukum terbagi menjadi 2 bagian, yaitu penemuan hukum heteron
dan penemuan hukum otonom. Yang dimaksud penemuan hukum heteron
yaitu hakim dalam menangani perkara mendasarkan pada peraturan peraturan-
peraturan diluar dirinya, seorang hakim tidak mandiri karena harus tunduk
pada undang-undang. Dengan demikian, penemuan hukum ini tidak lain
merupakan penerapan undang-undang yang secara logis-terpaksa sebagai
silogisme. Berbeda dengan penemuan hukum heteron, penemuan hukum
45 Lihat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan 46 Bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan ses uai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 47 Bahwa Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban 48 Menyatakan “dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.” 49 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, h., 62.
25
otonom, hakim dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri
menurut apresiasi pribadi. Disini hakim menjalankan fungsi yang mandiri
dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkret.
Negara Indonesia yang menganut hukum Kontinental mengenal penemuan
hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang tetapi
penemuan hukum ini mempunyai unsur otonom yang kuat, karena sering kali
hakim harus menjelaskan atau lengkapi undang-undang menurut
pandangannya sendiri. Sedangkan hukum precedent yang dianut negara-
negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan hukum otonom sepanjang
pembentukan peraturan dan penerapan peraturan dilakukan oleh hakim, tetapi
sekaligus bersifat heteronom, karena hakim terikat pada putusan-putusan
terdahulu.
Melihat kedua sistem penemuan hukum di atas, rasanya tidak bisa
dipisahkan pada seorang hakim. Karena kedua sistem tersebut sama-sama
membantu hakim dalam melakukan menyelesaikan perkara. Sebagaimana
pendapat Sudikno sendiri “tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum
yang heteronom dan otonom. Kenyataanya di dalam praktik penemuan hukum
mengandung kedua unsur tersebut, yakni heteronom dan otonom”. 50
D. Metode Penemuan Hukum
Peristiwa hukum yang ditemukan oleh hakim dalam memeriksa perkara,
tidak semuanya ditemukan aturan hukum yang pas atau aturan hukum yang
ada tidak relevan pada saat ini, hingga terdapat lebih dari satu aturan hukum
yang saling bertentangan mengatur fakta hukum yang bersangkutan. Sehingga
memerlukan pembaharuan sosial (social engineering). Dalam situasi yang
demikian, hakim diperkenankan menggunakan alat bantu untuk menemukan
dan menentukan hukum yang menguasai fakta itu.
Penggunaan alat bantu dalam penemuan hukum oleh hakim semata-mata
dimaksudkan untuk menegakan hukum dan keadilan. Oleh karena itu,
50 Sudikno Merokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, (Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2010, Edisi Revisi), h., 212-214.
26
penemuan hukum oleh hakim harus dilakukan sangat hati-hati, karena sering
dalam praktik penemuan hukum itu disalah gunakan, yaitu sekedar mencari
dasar pembenaran untuk keuntungan pihak-pihak yang berperkara (karena
keberpihakan).51
Dalam usaha menemukan hukum, hakim dapat mencarinya dalam sumber-
sumber penemuan hukum yang meliputi peraturan perundang-undangan
(hukum tertullis), hukum tidak tertulis (kebiasaan), yurisprudensi, perjanjian
internasional, doktrin (pendapat ahli hukum), dan perilaku manusia. Dalam hal
ini, hakim memiliki metode yang digunakan dalam melakukan penemuan
hukum yakni metode interpretasi dan kontruksi.
Dalam metode tersebut, terdapat perbedaan pandangan tentang metode
yang digunakan, yaitu pandangan yang tidak memisahkan dan yang
memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dan metode konstruksi.52
Interpretasi memiliki arti pemberian kesan, pendapat, pandangan teoritis
terhadap sesuatu atau biasa dikenal dengan sebutan tafsiran.53 Menurut
Soeroso, metode interpretasi atau penafsiran ialah mencari dan menetapkan
pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai
dengan yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. 54
Penafisran juga merupakan salah satu cara mencapai penemuan hukum yang
diperlukan untuk menegakan keadilan.55 Sedangkan metode kontruksi,
memiliki arti bahwa hakim membuat suatu pengertian hukum yang
51 Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh
Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, Hasanudin Law Review, Vol. 1, Issue. 2, (Agustus 2015),
h., 131. 52 Ada perbedaan pandangan tentang metode penemuan hukum oleh hakim menurut yuris
Eropa Kontinentel dengan yuris yang berasal dari Anglo Saxon. Pada umumnya, yuris Eropa
Kontinentel tidak memisahkan secara tegas antara metode interpretasi dengan metode kontruksi.
Hal itu dapat dilihat dari karangan buku-buku karangan Paul Scholten, Pitlo, maupun Sudikno
Mertokusumo di Indonesia. Sebaliknya, penulis yang secara tegas membedakan antara interpretasi
dan kontruksi adalah L.B Curzon, Ahmad Ali, Arif Sidharta, Harifin A Tumpa. Lihat, Ahmad Ali,
Menguak Tabir Hukum, h.,163. Bambang Sutiyoso, Metode Penmuan Hukum, h., 105., dan Harifin
A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus
Suatu Perkara”, h., 131-132 53 https://www.kbbi.web.id/interpretasi , diakses pada 31 Januari 2018. 54 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 97. 55 Muhammad Shiddiq Armia, Perkembangan Pemikiran Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradyna
Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam
proses perundangan, tetapi pasti akan diundangkan.67
h. Interpretasi Restriktif
Interpretasi ini mempersempit pengertian dari suatu istilah. Seperti
contoh kata kerugian dalam pasal 1407 BW yang mengecualikan
kerugian yang tidak berwujud (batin) seperti cacat, sakit dan lain-
lain.68
i. Interpretasi Ekstentif
Interpretasi ekstensif adalah penafsiran yang lebih luas dari
penafsiran gramatikal, karena memperluas makna dari ketentuan
khusus menjadi ketentuan umum sesuai kaidah tata bahasanya.
Disini hakim menafsirkan kaidah tata bahasa, karena maksud dan
tujuannya kurang jelas atau terlalu abstrak agar menajdi jelas dan
konkret, perlu diperluas maknanya. Misalnya, kata “pencurian
barang” dalam Pasal 362KUHPidana, diperluas esensi maknanya
terhadap “aliran listrik” sebagai benda yang tidak berwujud.
Dengan demikian, orang yang menggunakan tenaga listrik tanpa
hak dianggap melakukan pencurian barang. Esensi kata “barang”
diperluas maknanya dari ketentuan khusus menjadi ketentuan
umum.69 Contoh lain, seperti perkataan menjual dalam Pasal 1576
KUH Perdata; ditafsirkan bukan hanya jualbeli semata-mata, tetapi
juga "peralihan hak”.70
j. Penafsiran Komprehensif
Menurut Harifin A Tumpa, hakim dapat menggunakan metode ini,
yang dimana penafsiran ini dapat mereduksi teks undang-undang
atau sebaliknya dapat pula menginduksi makna realitas suatu teks.
Metode ini mempunyai tujuan untuk menghasilkan makna sesuai
67 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h., 151. 68 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2011, Cet.
Ketigapuluh Empat), h.,390. 69 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h., 170. 70 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, h.,
70.
32
kebutuhan masyarakat, bersifat kontemporer yaitu realitas dimana
ia muncul, dan bersifat realistis atas kehidupan dengan segala
problemnya. 71
2. Metode Kontruksi
a. Metode Argumentum Per Analogiam (Analogi)
Konstruksi ini juga disebut dengan "analogi" yang dalam hukum
Islam dikenal dengan "qiyas". Konstruksi hukum model ini
dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam
suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu
mirip dengan yang diatur dalam undang-undang.
Misalnya dalam hal sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal
1756 KUH Perdata yang mengatur tentang mata uang (goldspecie).
Apakah uang kertas termasuk dalam hal yang diatur dalam
peraturan tersebut? Dengan jalan argumentum peranalogian atau
analogi, mata uang tersebut ditafsirkan termasuk juga uang kertas.
Di Indonesia, penggunaan metode argumentum peranalogian, atau
analogi baru terbatas dalam bidang hukum perdata, belum
disepakati oleh pakar hukum untuk dipergunakan dalam bidang
hukum pidana.72
b. Metode Argumentum A’Contrario
Jenis interpretasi ini merupakan cara penafsiran undang-undang
yang berdasarkan perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi
dan dipermasalahkan yang diatur dalam sebuah pasal undang-
undang. Dengan bertitik tolak dari perlawanan pengingkaran
(pengertian) itu dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
permasalahan yang dihadapi itu tidak termuat dalam pasal yang
dimaksud atau dengan kata lain berada diluar pasal tersebut.73
71 Harifin A Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim
Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 131. 72 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama”, h., 8. 73 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, h., 115.
33
Menurut Zaenal Asikin, argumentum a contrario berarti
menggunakan penalaran terhadap undang-undang yang didasarkan
pada pengertian sebaliknya dari peristiwa konkret yang dihadapi.74
Contoh sederhana yang lain apa yang dimaksud “causa yang halal
atau sebab yang diperbolehkan” di dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Untuk menafsirkan hal itu, maka perlu dicari pengertian yang
sebaliknya. Pengertian yang sebaliknya atas “sebab yang halal” itu
dijumpai dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang mengatur “sebab
yang terlarang”, yaitu sebab yang bertentangan dengan undang-
undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
c. Rechtsservijnings (Penghalusan Hukum)
Kadang kala peraturan perundang-undangan mempunyai
cangkupan ruang lingup yang terlalu umum atau sangat luas. Itulah
sebabnya perlu dilakukan penghalusan hukum agar dapat
diterapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Dalam penghalusan
hukum, dibentuklah pngecualian-pengecualian atau
penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang
bersifat umum. Dalam hal ini peraturan yang sifatnya umum
diterapkan pada peristiwa hukum yang khusus atau sesuai dengan
kenyataan sosial. Dengan demikian peristiwa itu dapat diselesaikan
secara adil dan sesuai dengan kondisi kenyataan yanga da dalam
masyarakat.75
Sebagai contoh, ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata tentang
maksud “perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad”
yang pengertiannya masih abstrak dan hanya perbuatan yang
bertentangan dengan undang-undang yang masuk ke dalam
kategori perbuatan melawan hukum kala itu. Namun berdasarkan
74 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, h.,112. 75 Chainur Arrasyid, Dasa-Dasar Ilmu Hukum, h., 95. Dalam istilah rechtsservijnings
banyak pakar hukum yang berbeda dalam pengartian istilah tersebut. Ada yang mengatakan
pengkonkretan hukum, dan ada yang mengatakan penghalusan hukum. Namun, secara materi
muatan perihal metode kontruksi pada rechtsservijnings mengandung arti yang sama.
34
Arrest Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda pada tahun 1919,
bahwa perbuatan melawan hukum itu diperluas atau dikonkretkan
atau dihaluskan, yaitu dengan kriteria melanggar hak subjek
hukum lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, serta
bertentangan dengan kepatutan subjek hukum lain yang diakui
dalam kehidupan masyarakat.76
d. Fiksi Hukum
Fiksi hukum adalah asas yang menganggap semua orang tahu
hukum (presumption iures de iure). Dalam sebuah fiksi hukum,
siapapun tanpa kecuali dianggap tahu hukum. Dalam bahasa Latin
dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat artinya
ketidaktahuan hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa
menghindar dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak
mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan
tertentu.77
Menurut Ahmad Rifai, fiksi hukum dapat dijelaskan lebih lanjut
dengan teori kebijkasanaan, di mana fiksi hukum berangkat dari
pemahaman bahwa setiap orang dianggap tahu akan hukum. Dalam
praktik peradilan, hakim harus bijaksana dalam mengambil
keputusan terhadap seorang pelaku tindak pidana, karena memang
ada kalanya si pelaku benar-benar tidak tahu akan adanya suatu
ketentuan hukum tertentu yang telah diberlakukan oleh negara.
Hakim perlu menjatuhkan putusan yang bijaksana sehingga
bermanfaat dan berkeadilan bagi para pihak.78
Menurut Ahmad Ali, fiksi yang sudah tertuang dalam wujud
putusan hakim bukan lagi fiksi, melainkan telah menjadi judge
made law, telah menjadi kenyataan dan telah menjadi hukum. Fiksi
76 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, h., 174 77 Nurhasanah dan Hotnidah Nasution, “Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”, Jurnal Ahkam, Vol. XVI, No. 2, (Juli, 2016), h., 275. 78 Ahmad Rifa’i, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Prespektif Hukum Progresif, h.,
86.
35
berfungsi pada saat-saat perlihan, manakala peralihan usai,
berakhir pula fungsi fiksi tersebut.79
Teori fiksi sangat mendapat tempat dalam hukum pada abad-abad
sebelumnya, tetapi di abad ke 20 sudah mulai dilupakan orang.80
Meskipun fiksi hukum sudah lama ditinggalkan, tetapi faktanya
pandangan ini dianut dunia peradilan, baik Mahkamah Agung
(MA) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MA No.
645K/Sip/1970 dan putusan MK No. 001/PUU-V/2007 memuat
prinsip yang sama yaitu ketidaktahuan seseorang akan undang-
undang tidak dapat dijadikan alasan pemaaf. Putusan MA No. 77
K/ Kr/1961 menegaskan bahwa tiap-tiap orang dianggap
mengetahui undang-undang setelah undang-undang itu
diundangkan dalam lembaran negara
Hakim dalam menghubungkan antara teks undang-undang dengan suatu
peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya.
untuk memilih metode penemuan mana yang paling cocok dan relevan Untuk
diterapkan dalam suatu perkara. Hakim harus jeli dan memiliki
profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum
sebagaimana tersebut di atas. Apabila seorang hakim dapat mempergunakan
metode hukum yang relevan dan sesuai dengan yang diharapkan dalam kasus
yang sedang diperiksanya, maka putusan yang dilahirkan akan mempunyai
nilai keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan.81
79 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h.,311. 80 Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h.,12. 81 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama." h., 11.
36
E. Prosedur dan Teknik Pengambilan Putusan dalam Penemuan Hukum
Dalam melakukan penemuan hukum, seorang hakim tidak langsung
melakukannya tanpa memperhatikan hal-hal yang secara prosedural harus
dilakukan dalam dunia peradilan. Seorang hakim harus selektif dan ekstra
hati-hati. Proses selektif dan sikap hati-hati oleh hakim memberikan pengaruh
yang besar dalam proses penemuan hukum sehingga terciptanya putusan yang
berjiwa tujuan hukum.
Untuk melakukan penemuan hukum oleh hakim, maka pertama-tama
hakim harus melihat kepada undang-undang yang tersedia yang mengatur
tentang perkara yang ditanganinya, apabila dalam undang-undang tersebut
tidak jelas, maka hakim melakukan penafsiran subtantif, sistematis, historis
ataupun sosiologis. Sedangkan, apabila undang-undang tidak mengaturnya,
maka hakim melakukan penemuan hukum dengan penalaran argumentum
contrario, argumentum peranalogian, ataupun penyempitan/penghalusan
hukum. Dan apabila undang-undang belum mengatur tentang permasalahan
perkara tersebut, maka hakim dengan cara menggali nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan bantuan metode di atas.82
Proses penemuan hukum oleh para hakim dibedakan dalam 2 (dua) tahap.
Pertama, tahap sebelum pengambilan keputusan (ex ante/didasarkan pada
asumsi dan prediksi). Dalam teori penemuan hukum modern disebut dengan
heuristika, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan
pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro kontra
terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan
yang lain untuk ditemukan yang paling tepat. Kedua, tahap setelah
pengambilan keputusan. Dalam teori penemuan hukum modern disebut
dengan legitimasi, yaitu pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan)
82 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan
Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)" , Jurnal
dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran
yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan.83
Menurut Panggabean, proses penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim memerlukan beberapa faktor, antara lain : (1) tahapan pemeriksaan
sesuai anatomi putusan, (2) sistem penemuan hukum, (3) sumber penemuan
hukum, dan (4) berbagai antinomi untuk pengambilan keputusan.84
Adapun Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali
memberikan tiga tahap tugas hakim sebagai berikut :85
1. Tahap Konstatir
Pada tahap ini, hakim mengkonstituir benar atau tidaknya peristiwa yang
diajukan. Misalnya, benarkah si A telah memecahkan jendela rumah B
sehingga si B menderita kerugian? Disini para pihak (dalam perkara
perdata) dan penuntut umum (dalam perkara pidana) yang wajib untuk
membuktikan melalui penggunaan alat-alat bukti. Dalam tahap konstatir
ini, kegiatan hakim bersifat logis. Penguasaan hukum pembuktian bagi
hakim sangat dibutuhkan dalam tahap ini.
2. Tahap Kualifikasi
Disini hakim mengkualifikasi, termasuk hubungan hukum apakah tindakan
si A tadi? Dalam hal ini dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan
hukum (Pasal 1365 BW)
3. Tahap Konstituir
Disini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para
pihak atau terdakwa), hakim menggunakan silogisme, yaitu menarik suatu
simpulan dari premis mayor berupa aturan hukumnya (dalam contoh Pasal
365 BW) dan premis minor berupa tindakan si memecahkan kaca jendela
si B.
Proses penemuan hukum oleh hakim dimulai dari pada tahap kualifikasi
dan berakhir pada tahap konstituir.
83 Alef Musyahadah R, “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan
Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”, h., 300. 84 H.P. Panggabean, Penerapan Teori Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia , h., 218. 85 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 173
38
Adapun teknik pengambilan putusan,dapat memilih 3 (tiga) jenis teknik
pengambilan putusan dan penerapan hukum yakni :86
1. Teknik Analitik
Metode ini juga disebut dengan yuridis giometris. Kalau para Hakim
mempergunakan metode ini maka ia harus menguasai Hukum Acara
secara lengkap. Tehnik Analitik paling cocok di pergunakan pada perkara-
perkara yang berskala besar dan biasanya dalam hukum kebendaan (Zaken
Rech). Metode ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat khusus, lalu ditarik
kesimpulan kepada hal-hal umum (kesimpulan deduktif). Dalam
pertimbangan hukum, Hakim harus menguasai pokok masalahnya terlebih
dahulu secara real dan akurat, lalu disusunlah pertanyaan sehubungan
dengan pokok masalah tersebut, misalnya dalam bidang kewarisan, hakim
harus memulai dengan pernyataan siapa pewaris, lalu siapa ahli warisnya,
barang-barang waris apa saja, berapa bagianmasing-masing, dan
bagaimana pelaksanaannya. Tentu saja analisa dari pertanyaan tersebut
sekaligus mempertimbangkan alat-alat bukti dan menjawab petitum dari
gugatan.
Jika penjelasan tentang Hukum Acara belum begitu lengkap, sebaiknya
jangan pakai metode ini, sebab sangat sulit dalam hal analisa masalah dan
pengambilan keputusan
2. Teknik Equatable
Tehnik ini harus dilihat dari segi kosmistis yang dikembanangkan dari
prinsip keadilan. Isu pokok dulu yang harus dipertimbangkan, lalu alat-alat
bukti yang diajukan penggugat dan tergugat. Apabila alat-alat bukti itu
telah diuji kebenarannya maka hakim menetapkan alat-alat bukti itu dalam
peristiwa konkrit, yang kemudian di cari rule nya (hukumnya).
3. Teknik Silogisme
Tehnik ini paling banyak dipakai oleh Hakim karena ia sederhana dan
dapat diterapkan dalam peristiwa apa saja. Tehnis ini disebut juga dengan
86 Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama." h., 16.
39
metode penalaran induktif, dimulai dari hal-hal yang bersifat ini umum
kepada hal-hal yang bersifat khusus. Penggunaan hukum logika yang
dinamakan dengan silogisme menjadi dasar utama aliran ini, dan hakim
mengambil kesimpulan dari adanya premise mayor, yaitu peraturan
hukumnya, dan primesse minor, yaitu peristiwanya. Sebagai contoh, siapa
mencuri dihukum. A terbukti mencuri, maka A harus dihukum. Jadi rasio
dan logika ditempatkan dalam ranah yang istimewa. Kekurangan undang-
undang dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukum logika
dan memperluas pengertian undang-undang berdasarkan rasio. Kritik
terhadap aliran ini, terutama berpendapat bahwa hukum bukan sekedar
persoalan logika dan rasio, tetapi juga merupakan persoalan hati nurani
maupun pertimbangan akal budi manusia, yang kadang-kadang bersifat
irrasional.
F. Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum
Seorang hakim merupakan organ utama peradilan yang mempunyai tugas
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Ia
berperan sebagai pemberi keadian atas permasalahan yang terjadi. Seorang
hakim dipercaya oleh para pencari keadilan agar memberikan putusan yang
berkeadilan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku, bahkan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Agus Sudaryanto, dalam
pelaksanaan tugas dan perannya, hakim berkewajiban menemukan hukum
didorong oleh beberapa faktor: Pertama, karena hampir semua peristiwa
hukum konkrit tidak sepenuhnya terlukis secara tepat dalam suatu undang-
undang atau peraturan perundang-undangan ; Kedua, karena ketentuan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan tidak jelas atau
bertentangan dengan ketentuan lain, yang memerlukan “pilihan” agar dapat
diterapkan secara tepat, benar, dan adil; Ketiga, akibat dinamika masyarakat,
terjadi beberapa peristiwa hukum yang baru yang tidak terlukis dalam undang-
40
undang atau peraturan perundang-undangan; Keempat, kewajiban menemukan
hukum juga timbul karena ketentuan atau asas hukum yang melarang hakim
menolak memutus suatu perkara atau permohonan atas alasan ketentuan tidak
jelas atau undang-undang kurang mengatur. 87
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan diatas, Ahmad Ali
mengemukakan kapan penemuan hukum harus dilakukan oleh hakim yang
terbagi ke dalam 2 pendapat. Pertama, pendapat dari penganut doktrin seins-
clair yang menyatakan penemuan hukum oleh hakim hanya dibutuhkan ketika:
1) tidak ditemukan peraturan untuk suatu kasus yang konkrit, dan 2) peraturan
yang ada belum/tidak jelas. Kedua, pendapat yang menyatakan hakim selalu
dan tidak pernah tidak melakukan penemuan hukum. 88
Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh hakim di persidangan adalah
mengkonstatasi peristiwa konkrit, yang sekaligus berarti merumuskan
peristiwa konkrit, mengkualifikasi peristwa konkrit yang berarti menetapkan
peristiwa hukumnya dari peristiwa konkrit, dan mengkonstitusi atau memberi
hukum atau hukumannya. Semua itu pada dasrnya sama dengan kegiatan
seorang sarjana hukum yang dihadapkan pada suatu konflik atau kasus dan
87 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan
Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)” h., 54. Harus
diingat bahwa tugas hakim hanyalah menegakan hukum dan keadilan. Ia bukanlah pembuat
undang-undang, sehingga penerapan konsep rechtsvinding hanya boleh dilakukan hakim apabila:
Pertama, tidak ditemukan aturan hukumnya didalam perundang-undangan yang ada. Kedua, diatur
dalam perundang-undangan yang ada tetapi tidak jelas makna atau mengandung pelbagai
penafsiran, Ketiga, aturan yang ada di dalam perundang-undangan tidak lagi memenuhi rasa
keadilan masa kini (out of date). Keempat, didasarkan pada suatu yurisprudensi atau pendapat ahli.
Lihat pula, Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh
Hakim Dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 138. 88 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, h., 164. Menurut Abdul Manan, sekarang doktrin
Sens Clair sudah banyak ditinggalkan, sebab sekarang muncul doktrin baru yang menganggap
bahwa hakim dalam setiap putusannya selalu melakukan penemuan hukum, karena bahasa hukum
senantiasa terlalu miskin bagi pikiran manusia yang sangat bernuansa. Dalam arus globalisasi
seperti sekarang ini banyak hal terus berkembang dan memerlukan interpretasi, sedangkan
peraturan perundang-undangan banyak yang statis dan lamban dalam menyesuaikan diri dengan
kondisi perubahan zaman. Lihat, Abdul Manan, "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek
Hukum Acara Di Peradilan Agama”, h., 5.
41
harus memecahkannya , yaitu meliputu : (1) legal problem identification, (2)
legal problem solving, dan (3) decision making.89
Dalam menjalankan tugasnya di persidangan, hakim harus senantiasa
mengikuti perkembangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar
terciptanya suatu putusan yang berkeadilan. Menurut Bagir Manan, nilai-nilai
hukum sudah tumbuh dalam masyarakat meskipun undang-undang belum
mengaturnya. Hal itu dapat dilihat dari wujud adat istiadat dan keyakinan.
Sebenarnya bukanlah hukumnya yang tidak ada, namun belum ada undang-
undangnya, karena hukum selalu hidup dalam masyarakat, sebagaimana
ungkapan populernya Cicero yang mengatakan “ubi socities ibi ius” (di mana
ada masyarakat disitu ada hukum). Disini terlihat nyata tugas hakim sebagai
organ utama peradilan memikul tanggung jawab dalam melakukan penemuan
hukum melalui hukum tak tertulis.90
Namun, hadirnya paradigma “hakim sekedar terompet atau corong
undang-undang” menegaskan bahwa seorang hakim hanya terpaku pada
aturan dogmatis dalam menerapkan hukum. Dimana ungkapan Montesquieu
itu masih dirasakan saat ini. Hakim tidak memiliki kreativitas-kreativitas atau
memberikan argumentasi yang logis dalam suatu putusan. Menurut Ahmad
Ali, paradigma tersebut harus dihapuskan dari praktik peradilan kita di
Indonesia, jika kita menginginkan lahirnya putusan-putusan hakim yang lebih
responsif.
Berkaitan dengan peran hakim, pada dasarnya peran utama hakim adalah
dalam perisdangan. Karena menjadi penentu penyelesaian kasus yang
dihadapinya melalui putusan hakim.91 Dalam hal memberikan suatu putusan,
seorang hakim tidak boleh terlibat oleh campur tangan orang lain, karena
sebagaimana ungkapan Hans Kelsen menyatakan dengan tegas bahwa salah
satu syarat untuk adanya negara hukum adalah keberadaan peradilan yang
89 Siti Malikhatun Badriyah, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum
(Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum,
Vol. 40, No. 3, (2011), h., 388. 90 Muhammad Noor, dkk, “Quo Vadis Penemuan Hukum”, h., 8. 91 Siti Malikhatun Badriyah, “Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum
(Rechtsscepping) Oleh Hakim Untuk Mewujudkan Keadilan”, h., 389
42
bebas, termasuk bebas dari tekanan opini publik ketika menjatuhkan
putusan.92
Oleh karena itu, seorang hakim mempunyai peran sangat penting dalam
menegakan hukum dan keadilan melalui putusan-putusannya. Sehingga para
pencari keadilan selalu berharap perkara yang diajukannya dapat diputus oleh
hakim yang professional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga
putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum)
tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice
(keadilan masyarakat).93
Seorang hakim kadang-kadang dihadapkan pada persoalan seolah antara
hukum yang dipakai tidak sinkron dengan keadilan yang dicapai. Tidaklah
mudah bagi seorang hakim untuk memadukan antara “hukum” dengan
“keadilan” dalam putusannya. Apalagi jika kita melihat kondisi sekarang yang
sudah dikatakan zaman modern, hukum pun harus senada dengan tuntutan
zaman dan lingkup sosial. Hakim tidak boleh mengabaikan hukum yang ada,
dan tidak boleh pula meninggalkan keadilan yang tumbuh di masyarakat.
Penemuan hukum dapat juga disebut sebagai upaya kreatifitas hakim
dalam menanganai perkara. Hakim berperan mencari hukumnya agar
terciptanya kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan dalam putusanyang
dihasilkan. Dalam hal ini, kerap kali putusan hakim dapat menjadi
yurisprudensi atau berfungsi sebagai a tool of social engineering.94
Harifin A Tumpa memberikan pengertian penemuan hukum oleh hakim,
yang pada dasarnya memberi suatu pengertian konkrit atas suatu peraturan,
dapat dipandang sebagai “landmark decision” yang bila kemuadian diikuti
92 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h., 480. 93 Agus Sudaryanto, “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan
Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)" , h.,56. 94 Hadirnya Yurisprudensi merupakan hal yang penting, karena di dalam yurisprudensi
terdapat banyak garis hukum yang berlaku dalam masyarakat, tetapi tidak terbaca di dalam
undang-undang. Menurut Rechtsvinding, hukum terbentuk karena undang-undang, kebiasaan, dan
peradilan. Peradilan inilah yang menelurkan hukum yang apabila dipergunakan oleh hakim-hakim
lain menjadi yurisprudensi. Lihat, R. Soeroso, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Bagian 2
Tentang Pihak-Pihak Dalam Perkara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, Cet. Kedua), h., xl.
43
hakim-hakim lainnya akan terbentuk yurispridensi sebagai sumber hukum.
Putusan-putusan hakim yang merupakan hasil dari penemuan hukum, bisa
membawa perubahan, penegasan atau pengkonkritan norma yang sudah ada
dalam undang-undang.95
Menurut Arpani, undang-undang memang menuntut hakim untuk
menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang secara filosofis
berarti menuntut hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan
hukum. Namun, dengan dalih kebebasan hakim atau dengan dalih hakim harus
memutus atas alasan keyakinannya hakim tidak boleh sekehendak hatinya
melakukan penyimpangan terhadap undang-undang (contra legem) atau
memberi interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang. Karena hal itu
akan menimbulkan kekacauan dan ketidakpastian hukum. Dalam upaya
penemuan dan penciptaan hukum, maka seorang hakim mengetahui prinsip-
prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini UUD tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.96
Bustanul Arifin sebagaimana dikutip oleh A Salman Manggalatung,
mengatakan bahwa, seorang hakim haruslah learned in law (ahli dalam ilmu
hukum), hakim selain harus memahami substansi dan arti hukum, juga harus
skilled in law (terampil dalam melaksanakan atau menerapkan hukum). Di
tangan hakim, ilmu hukum menjadi pengetahuan yang praktis (applied
science). Para hakimlah yang memberi nyawa dan hidup kepada pasal-pasal
undang-undang dan peraturan yang terdiri dari huruf-huruf mati itu.97
95 Harifin A Tumpa, Harifin A. Tumpa, “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan
Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”, h., 133-134. 96 Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam
Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”., Artikel, h., 9, diakses pada tanggal 25 Maret 2018 dari http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-dalam-penemuan-
117 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah di Bank Syariah, h.,
176.
52
undangan di Bidang Ekonomi Syariah, (c) Kebiasaan-kebiasaan di Bidang
Ekonomi Syariah, (d) Fatwa Dewan Syariah Nasional, (e) Yurisprudensi,
dan (d) Dokrtin.118 Selain itu, dapat kita ketahui bahwa saat ini yang
menjadi hukum materiil yang paling mencolok ialah Kompilasi Hukum
Ekonomi Syraiah (KHES). KHES dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
berupa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.119
Dari macam-macam hukum materiil yang telah disebutkan di atas,
dapat diketahui bahwa urutan pertama yang menajdi dasar hukum materiil
untuk digunakan dalam menangani perkara ekonomi syariah yaitu Akad
atau isi perjanjian. Karena akad tersebut merupakan pacta sunt servanda
(undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian). Dari akad
tersebut dapat diketahui hak, kewajiban, larangan, dan segala macam yang
diatur dalam perjanjian para pihak, sehingga kehadiran dan kedudukan
akad dalam urutan awal hukum materiil dalam menangani perkara
ekonomi syariah merupakan langkah yang tepat. Setelah akad atau isi
perjanjian, barulah aturan-aturan lain yang selaras dengan permasalahan
yang sedang terjadi. Apabila dalam dalam aturan tidak diketemukan atau
terdapat suatu ketidakjelasan, maka Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi “Hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”, harus diterapkan
secara bijaksana oleh hakim Pengadilan Agama. Karena hakim Pengadilan
Agama mempunyai tanggung jawab yang besar, selain menegakan hukum
dan keadilan, ia juga menegakan syariat Islam.
118 Mardani, Hukum Perikatan Syariah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.
Kesatu), h., 271. 119 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) memiliki memiliki isi IV (empat) buku,
yakni buku I tentang subjek hukum dan amwal, buku II tentang akad, buku III tentang zakat dan
hibah, dan buku IV tentang akuntansi syariah.
53
2. Hukum Formil
Undang-Undang Peradilan Agama tidak menjelaskan secara
khusus mengenai hukum acara untuk tata cara penyelesaian sengketa
ekonomi syariah. Yang diketemukan dalam undang-undang hanya hukum
acara yang berlaku pada umumnya untuk digunakan di peradilan agama.
Sebagaimana bunyi Pasal 54 : “Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara
Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus oleh undang-undang
ini”.120
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa terdapat hukum acara
perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dan peradilan agama, dan ada pula hukum acara yang
berlaku hanya pada Pengadilan Agama. Hal terakhir merupakan suatu
kekecualian (istisna) dan kekhususan (takhisis).121
Menurut Abdul Kadir Muhammad, hukum acara perdata
dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian
perkara perdata melalui pengadilan (hakim), sejak diajukan gugatan
sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.122 Sejalan dengan itu, Abdul
Manan mendefinisikan hukum acara perdata merupakan hukum yang
mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan,
bagaimanapun pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan
penggugat, bagaimanpun para hakim bertindak baik sebelum dan sedang
pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara
yang diajukan oleh penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan
putusan tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga hak dan
120 Undang—Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
121 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Cet. Keempat, 2003), h.,241.
122 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2000), h., 15.
54
kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata dapat
berjalan semestinya.123
Berkaitan dengan masih digunakannya hukum acara perdata yang
yang berlaku pada peradilan umum, penyelesaian sengketa ekonomi
syariah juga masih mengikuti hukum acara yang berlaku pada peradilan
umum. Adapun sumber hukum acara yang berlaku meliputi : Reglement
op de Bugerlijke Rechtsvordering (B.Rv), Het Herzience Indonesia
Reglement (HIR) atau disebut juga dengan Reglement Indonesia yang
diperbaharui (RIB, Rechsreglement Voor de Buitengewesten (R.Bg),
Bugerlijke Wetbook voor Indonesia (BW), Wetboek van Koophandel
(WvK), Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, Yurisprudensi,
Surat Edaran Mahkamah Agung RI, Doktrin atau ilmu pengetahuan. 124
Begitupun dengan upaya hukum yang berlaku, tunduk pada tata cara
upaya hukum Peradilan Umum. Dalam upaya banding merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 Tentang Peradilan Ulangan
(Banding) di Jawa dan Madura. Dalam upaya kasasi tunduk pada Pasal 43-
65 Undang-Undang Mahkamah Agung. Begitu pula dalam upaya
Peninjauan Kembali (PK) tunduk pada Pasal 66-79 Undang-Undang
Mahkamah Agung.125
Perkembangan hubungan hukum di masyarakat dalam bidang ekonomi
yang menggunakan prinsip-prinsip syariah mengalami perkembangan
yang signifikan sehingga kemungkinan menimbulkan sengketa diantara
para pelaku ekonomi syariah. Hadirnya sengketa ekonomi syariah sudah
terbukti dengan adanya perkara ekonomi syariah yang diselesaikan di
Pengadilan Agama sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Dalam hal ini para hakim dan masyarakat membutuhkan kepastian hukum
terkait hukum acara yang digunakan dalam perkara ekonomi syariah. Pada
123 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, Cet. Kelima, 2008), h., 2. 124 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Yayasan Al- Hikmah, 2000), h., 5-8.
125 Fathurrahman Djamil, Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Di Bank Syariah, h.,
168.
55
tahun 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) Nomor 14 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara
Ekonomi Syariah. Peraturan tersebut memberikan kategori ruang lingkup
perkara ekonomi syariah yang dapat diajukan ke dalam 2 bentuk , yakni
gugatan sederhana atau gugatan secara biasa.126
Kehadiran Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah memberikan jawaban atas
problematika yang dihadapi para hakim dalam menyelesaiakan perkara
ekonomi syariah sekaligus untuk masyarakat sebagai pencari keadilan.
Dalam hal ini Mahkamah Agung melengkapi hal-hal yang belum cukup
diatur dalam undang-undang atau terjadi kekosongan hukum acara
perdata. Hal itu bertujuan untuk memberikan kelancaran bagi
penyelenggaraan peradilan yang dilaksanakan dengan asas sederhana,
cepat, dan biaya ringan. Meskipun tentang tata cara penyelesaian perkara
ekonomi syariah ini sudah ada, namun ketentuan hukum acara perdata
tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan
Mahkamah Agung tersebut.
C. Hubungan Pengadilan Agama Dengan Arbitrase Syariah
Pada umumnya, apabila terjadi sengketa dalam ekonomi syariah, terdapat
beberapa cara penyelesaian yang dapat ditempuh oleh para pihak yang
berperkara, yang mencangkup :127
1. Proses perdamaian antara para pihak
2. Lembaga peradilan agama sesuai dengan hukum yang mengaturnya, baik
hukum materiil maupun hukum formil
126 Yang dimaksud dengan pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara sederhana
adalah pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah yang nilainya paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan mengacu kepada PERMA No. 2 Tahun 2016
Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana kecuali hal-hal yang diatur secara khusus
dalam PERMA No. 14 Tahun 2016. Penyelesaian perkara dengan gugatan sederhana diselesaikan
paling lama 25 hari. Sedangkan pemeriksaan perkara ekonomi syariah dengan acara biasa adalah
pemeriksaan terhadap perkara ekonomi syariah dengan berpedoman pada hukum acara yang
berlaku kecuali telah diatur secara khusus dalam PERMA ini.
127 Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih, Hukum Acara Peradilan Agama Di Indonesia,
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), h., 369
56
3. Melalui lembaga arbitrase syariah atau alternatif penyelesaian sengketa
(penyelesaian diluar peradilan)
Adapun jika melihat mengenai tentang pilihan forum penyelesaian
sengketa yang ada dalam Fatwa DSN-MUI, maka urutan yang disajikan dalam
menyelesaikan sengketa ialah dilakukannya musyawarah. Apabila tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah, maka langkah yang bisa ditempuh
melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan prinsip syariah sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana disebutkan di atas, diketahui bahwa terdapat 2 sebutan kata
“lembaga” yang dapat menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, yakni
lembaga peradilan dan lembaga arbitrase. Lembaga peradilan masuk ke dalam
kategori penyelenggara kekuasaan kehakiman yang merupakan kekuasaan
negara (lembaga negara) yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna mengakan hukum dan keadilan.128 Sedangkan arbitase merupakan salah
satu alternatif dari beberapa cara penyelelesaian sengketa diluar peengadilan
berdasarkan suatu kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh para pihak.129
Dan yang dimaksud dengan lembaga arbitrase disini merupakan badan yang
dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan suatu putusan
tertentu.130
128 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 129 Cicut Sutarsi, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), H., 21. 130 Penyelesaian sengketa melalui arbitrase, secara teoritis maupun praktek mempunyai
dua bentuk, yakni arbitrase ad hoc (ad hock arbitration) dan arbitrase institusional (institutional
arbitration). Arbitrase ad hoc, yaitu badan arbitrase yang tidak permanen atau juga disebut
arbitrase volunteer. Badan arbitrase ini bersifat sementara, setelah selesai tugasnya, maka badan ini
bubar dengan sendirinya. Sedangkan arbitase institusinal merupakan lembaga arbitase yang
bersifat permanen yang diselenggarakan di bawah supervise suatu lembaga yang sifatnya
permenen pula. Adapun arbitrase yang melembaga di Indonesia adalah: BANI, BAPMI,
BASYARNAS, dll. Lihat, Parman Komarudin, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui
Jalur Non Litigasi”, Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah , Vol.
1, Issues I , (Desember, 2014), h., 91. Atang Abd Hakim dan Sofwan Al- Hakim, “Kerangka
permasalahan yang terjadi, sehingga dalam putusan hakim tidak ada yang
tidak mengandung penemuan hukum. Hal itu selaras seperti yang dikatakan
oleh Yayuk Alfiyanah bahwa hakim selalu melakukan penemuan hukum
setiap saat ketika memeriksa perkara.142
Putusan yang dihasilkan hakim atas penemuan hukumnya tidak menutup
kemungkinan dapat menjadi yurisprudensi jika putusan tersebut merupakan
suatu terobosan-terbosoan baru yang bersifat landmark decision. Apalagi
putusan tersebut disertai pertimbangan-pertimbangan hukum yang sesuai
dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Penerapan penemuan hukum memang sangat penting dilakukan oleh
hakim Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah.
Karena, persoalan ekonomi syariah merupakan bidang muamalah yang tidak
bersifat statis, ia selalu berubah seiring perkembangan zaman. Berbagai jenis
transaksi dan bisnis terus berkembang dinamis karena persoalan muamalah
selalu boleh dilakukan kecuali terdapat dalil yang melarangnya, sebagimana
kaidah fiqh:
لت في صل ا
عاملا
ال
باحة
ال
ن إل
أ ى دليل ل يد
حريمها عل
ت
“pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
Seorang hakim harus berani melakukan penemuan hukum dalam bidang
ekonomi syariah. Meskipun ekonomi syariah merupakan bidang baru bagi
para hakim peradilan agama, namun hakim peradilan agama harus memiliki
kreatifitas-kreatifitas berupa hasil penemuan hukumnya yang dapat
memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia.
Dengan dilakukannya penemuan hukum, seorang hakim tidak boleh asal-
asalan dan menganggap perkara ekonomi syariah layaknya seperti ekonomi
yang bersifat konvensional. Tetapi, hakim harus memiliki pemahamannya
142 Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Interview Pribadi,
Tangerang, 16 Maret 2018.
73
terhadap persoalan ekonomi syariah, baik dengan cara pendidikan maupun
pelatihan.
Pada dasarnya, hukum Islam telah memberikan ruang untuk melakukan
Ijtihad atau menemukan hukum di bidang ekonomi syariah dengan merujuk
kepada al- Qur’an, Sunnah, dan sumber hukum Islam lainnya. Hukum Islam
yang merupakan pemberian dari Allah SWT yang harus dilestarikan dalam
formulasi baru sesuai dengan konteks zaman, tempat, dan keadaan di mana
masyarakat berinterkasi.143 Hakim yang melakukan penemuan hukum juga
diagungkan sebagai bentuk pencurahan tenaga untuk mengambil kesimpulan
hukum dan dasarnya dengan penelitian yang dapat menyampaikan kepada
tujuan terhadap persoalan-persoalan yang terjadi.144 Seorang hakim harus
berlaku adil dan bersungguh-sungguh berijtihad dalam mencari kebenaran.
Meskipun hasil penemuan hukumnya salah, hakim tetap mendapatkan
kebaikan, seperti yang tercantum dalam Hadis Riwayat Abu Hurairah:145
ل الله صلى الله عليه وسلم وحد يث عمر و بن العاص رضي الله عنه : أنه سمع رس
فله أجران وإذا حكم فا جتهد ثم أخطأ فله أجر. إذا حكم الحاكم فا جتهد ثم أصاب : قا ل
Diriwayatkan dari Amr bin Asy radhiyallahu ‘anhu, beliau telah berkata:
Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan
berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan mendapatkan dua
pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan suatu perkara dengan berijtihad,
tetapi ijtihadnya itu tidak benar, maka ia akan memperoleh satu pahala”
Dorongan untuk melakukan penemuan hukum dalam praktik peradilan di
Indonesia juga memiliki dasar yang kuat. Apabila melihat undang-undang
tentang kekuasaan kehakiman mulai dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun
143 Munawir Haris, “Metodologi Penemuan Hukum Islam”, Ulumuna Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 16, No. 1, (Juni, 2012), h., 19 144 Abdul Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), h., 81. 145 Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muttafaq ‘Alaih, (Jakarta:
Kencana, 2004), h., 78.
74
1970146, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004147 dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009148 , terdapat pasal yang menegaskan agar hakim wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Maksud dari isi pasal tersebut memberikan arti
bahwa hakim harus menyadari betul nilai-nilai hukum terhadap permasalahan
yang terjadi, sehingga dalam memutus perkara hakim memiliki dasar hukum
yang kuat sekaligus memberikan rasa keadilan di dalam putusannya.
Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan cara menerapkan metode penemuan
hukum dalam setiap perkara yang sedang ditanganinya.
Demikian atas putusan Pengadilan Agama Tangerang tentang ekonomi
syariah yang memberikan putusan dengan menggunakan penemuan hukum
dengan metode interpretasi komprehensif. Langkah tersebut dapat dijadikan
contoh bagi hakim-hakim lain yang memeriksa perkara ekonomi syariah
dikarenakan dalam menemukan permasalahan pada ketidakjelasan hukum
harus diinterpretasikan secara menyeleluruh dan lengkap, baik dilakukan
terhadap hukum materiil maupun hukum formiil. Alhasil, kepastian hukum,
kemanfaatan, dan keadilan dapat dirasakan oleh para pihak.
146 Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman berbunyi “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” 147 Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 148 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman berbunyi “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa perkara ekonomi
syariah dengan nomor perkara 2107/Pdt.G/2016/PA.Tng menggunakan
metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang digunakan oleh
hakim ialah metode penafsiran komprehensif. Dalam hal ini, majelis
hakim menginterpretasi secara keseluruhan dan lengkap dalam menyikapi
hadirnya pencantuman klausla “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama
Tangerang” pada surat gugatan penggugat dan isi perjanjian musyarakah
antara penggugat dan tergugat. Metode penemuan hukum itu membantu
majelis hakim dalam menyikapi kalusula tersebut hingga pada kesimpulan
yang menyatakan kewenangannya dan berhak memeriksa perkara ekonomi
syariah meskipun terdapat kata badan arbitrase. Hal itu berdasar pada
interpretasinya yang menyatakan tidak adanya badan arbitrase yang
menangani perkara ekonomi syariah pada wilayah Tangerang dan alamat
yang tertera dalam surat gugatan penggugat hanya dimiliki oleh
Pengadilan Agama Tangerang dan tidak termasuk didalamnya terdapat
badan arbitrase.
2. Dalam menerapkan metode penemuan hukum terhadap perkara ekonomi
syariah ini, majelis hakim menerapkannya berdasarkan permasalahan yang
terjadi. Dimana permasalahan yang terjadi pada perkara ini ialah berupa
pencantuman klausula “Badan Arbitrase pada Pengadilan Agama” dalam
surat gugatan penggugat dan isi perjanjian para pihak. Yang mana dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ditemukan badan
arbitrase masuk ke dalam peradilan agama. Atas permaslahan tersebut
majelis hakim menerapkan metode penemuan hukum sesuai dengan
permasalahan dengan dikaitkan pada aturan-aturan hukum yang berlaku,
76
ekonomi syariah dan dalil-dalil kesyariahaan. Kesemuanya itu dilakukan
demi terciptanya tujuan hukum bagi para pihak.
B. Saran
Bagi hakim yang memeriksa perkara ekonomi syariah hendaknya
memeriksa dan memperhatikan terlebih dahulu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak meskipun perjanjian itu sudah dibuat sesempurna mungkin.
Karena, kalimat-kalimat dalam perjanjian tidaklah selalu sama dalam hal
menafsirkannya.
Selain itu, hakim juga harus piawai dalam memeriksa perkara ekonomi
syariah dikarenakan kegiatan ekonomi syariah tidak bersifat statis tetapi
dinamis, yang memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat
cepat, sehingga hakim harus selalu mengikuti perkembangan ekonomi syariah
dan selalu melakukan penemuan hukum untuk memberikan suatu putusan
yang sesuai dengan permasalahan, nilai-nilai hukum dan keadilan dalam suatu
masyarakat.
77
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Andi Zainal, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, 2006.
AF, Hasanuddin, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Ciputat: UIN Jakarta Press, 2003.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Komarudin, Parman, “Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Melalui Jalur Non Litigasi”. Al- Iqtishadiyah; Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi
Syariah. Vol. 1, Issues I, Desember, 2014.
Lubis, Gala Perdana Putra. “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/ 2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia”. Premise Law Jurnal, Vol 6, 2015.
Manan, Abdul. "Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama." Jurnal Hukum dan Peradilan. Vol. 2, No. 2, Juli, 2013.
Manggalatung, A Salman. “Hubungan Antara Fakta, Norma, Moral, dan Doktrin
Hukum Dalam Pertimbangan Putusan Hakim”. Jurnal Cita Hukum. Vol. II, No. 2, Desember, 2014.
Muliadi, Nur. "Rechtvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)". Jurnal Ilmiah Al-
Syir'ah. Vol 2.1, 2016
Musyahdah R, Alef. “Hermeneutika Hukum Sebagai Alternatif Metode Penemuan Hukum Bagi Hakim Untuk Menunjang Keadilan Gender”. Jurnal
Dinamika Hukum. Vol. 13 No. 2, Mei, 2013.
Noor, Muhammad, dkk. “Karena Hakim Bukan Corong Undang-Undang”. Quo Vadis Penemuan Hukum; Majalah Peradilan Agama. Edisi 2, September-
November, 2013.
Nurhasanah dan Hotnidah Nasution. “Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah”. Ahkam. Vol. XVI, No. 2, Juli, 2016.
Poesko, Herowati. “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Penyelesaian Perkara Perdata”. Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER. Vol. 1, No. 2, Juli-Desember, 2015.
81
Sudaryanto, Agus. “Tugas dan Peran Hakim Dalam Melakukan Penemuan
Hukum/Rechtvinding (Penafsiran Konstitusi Sebagai Metode Penemuan Hukum)". Jurnal Konstitusi. Vol. 1, No. 1, November, 2012.
Tektona, Rahmadi Indra. “Arbitrase Sebagai Alternatif Solusi Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan”. Pandecta. Vol. 6, No.1, Januari,
2011.
Tumpa, Harifin A. “Penerapan Konsep Rechtsvinding dan Rechtsschepping Oleh Hakim dalam Memutus Suatu Perkara”. Hasanudin Law Review. Vol. 1,
Issue. 2, Agustus 2015.
Wantu, Fence M. “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim Di Peradilan Perdata”. Jurnal Dinamika Hukum,
Vol. 12, No. 3, September, 2010.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES)
Internet
Profil Jurnal Rechtsvinding, diakses pada tanggal 30 Januari 2018 dari
Arpani, “Peran Hakim Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Dalam
Menyelesaikan Perkara di Pengadilan”. Artikel, diakses pada tanggal 25 Maret 2018 dari http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/peran-hakim-dalam-penemuan-hukum-dan-penciptaan-hukum-dalam-menyelesaikan-perkara-di-pengadilan-oleh-drs-h-arpani-sh-mh-64.
Wawancara
Interview Pribadi dengan Yayuk Alfiyanah, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Tangerang, 16 Maret 2018.