1 Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pada Perkara Kebakaran Hutan PT. Kallista Alam Dan PT. Bumi Mekar Hijau Adlul Hamidi Zalnur dan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana 1. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected]Abstrak Skripsi ini membahas mengenai penerapan konsep pertanggungjawaban perdata dalam penegakan hukum lingkungan pada perkara kebakaran hutan PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam pembahasan skripsi ini dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum perdata lingkungan dalam kebakaran hutan dapat menerapkan konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH), res ipsa loquitur dan strict liability. Namun demikian, hal tersebut sering dicampur adukkan satu sama lainnya yang menimbulkan pandangan yang keliru dalam setiap putusannya. Kata kunci: perbuatan melawan hukum, strict liability, kebakaran hutan. Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau Abstract This thesis discussing about Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau. Normative and juridical study are used in this thesis with the secondary data through the literature research. The results show enforcement of environmental civil law in forest fires can apply the concept of negligence, res ipsa loquitur and strict liability. However, this is often mixed with one another, giving rise to false views in every court decision. Keywords: negligence, strict liability, forest fire case Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
23
Embed
Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Penerapan Konsep Pertanggungjawaban Perdata Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Pada Perkara Kebakaran Hutan PT. Kallista Alam Dan PT.
Bumi Mekar Hijau
Adlul Hamidi Zalnur dan Muhammad Ramdan Andri Gunawan Wibisana
1. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
2. Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
Skripsi ini membahas mengenai penerapan konsep pertanggungjawaban perdata dalam penegakan hukum lingkungan pada perkara kebakaran hutan PT. Kallista Alam dan PT. Bumi Mekar Hijau. Penelitian yuridis normatif digunakan dalam pembahasan skripsi ini dengan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa penegakan hukum perdata lingkungan dalam kebakaran hutan dapat menerapkan konsep Perbuatan Melawan Hukum (PMH), res ipsa loquitur dan strict liability. Namun demikian, hal tersebut sering dicampur adukkan satu sama lainnya yang menimbulkan pandangan yang keliru dalam setiap putusannya.
Kata kunci: perbuatan melawan hukum, strict liability, kebakaran hutan.
Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT.
Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau
Abstract
This thesis discussing about Implementation of Tort in Environmental Law Enforcement in Forest Fires Case by PT. Kallista Alam and PT. Bumi Mekar Hijau. Normative and juridical study are used in this thesis with the secondary data through the literature research. The results show enforcement of environmental civil law in forest fires can apply the concept of negligence, res ipsa loquitur and strict liability. However, this is often mixed with one another, giving rise to false views in every court decision.
Keywords: negligence, strict liability, forest fire case
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
2
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan negara ketiga yang memiliki ekosistem hutan tropis terbesar di
dunia. Sejak tahun 2009 hingga tahun 2013, luas hutan Indonesia yang hilang mencapai 4,6 juta
hektar, sama dengan luas Provinsi Sumatera Barat. Bahkan dalam 10 tahun ke depan, Forest
Watch Indonesia memprediksi hutan di Riau akan hilang, diikuti dengan Kalimantan Tengah dan
Jambi.1 Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan adanya
permasalahan serius dalam pengelolaan hutan di Indonesia terutama peristiwa kebakaran hutan
yang melonjak hingga 10 kali lipat sejak tahun 2010 hingga tahun 2014.2 Tentunya dengan
meningkatnya tingkat kebakaran hutan di Indonesia maka berdampak langsung pada adanya
pencemaran asap. Dalam hal ini, Indonesia menjadi penyumbang terbesar dalam pencemaran
asap di Asia Tenggara yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan, selanjutnya disebut
karhutla, yang tidak terkendali.3 Faktor dominan dari terjadi karhutla di Indonesia adalah faktor
unsur manusia.4
Pada tahun 2015 merupakan kasus kebakaran hutan terparah sejak terakhir tahun 1997.5
Menurut Robert Field, ilmuwan Columbia University yang juga bekerja untuk NASA
menjelaskan bahwa kondisi di Singapura dan tenggara Sumatera serupa dengan 1997.6 Singapura
dan Malaysia sempat menutup sekolah-sekolah dan kantor publik dan melayangkan protes
kepada Indonesia.7 Biaya kebakaran hutan ditaksir mencapai US$ 16 milyar.8 Karena hal
1 http://www.wwf.or.id/?44824/resolusibumi-2016-hutan, diakses tanggal 8 Februari 2017 2 Statistik Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. 2014. Rekapitulasi Luas Kebakaran Lahan Per
Provinsi di Indonesia Tahun 2010- 2014 antara lain pada tahun 2010: 3.500,12ha, 2011: 2.612,09ha, 2012:
9.606,53ha, 2013: 4.918,74ha, 2014: 32.761,26ha. Hal. 202 3 David B. Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement of Transboundary
Haze Pollution”, Journal Sustainable Development Law & Policy, Vol. 14, No. 1, (Washington: Digital Commons
@ American University Washington College of Law, 2014), hlm. 35. 4 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan bahwa 99% karhutla terjadi karena ulah
manusia. Lihat: Gema BNPB, “Indonesia Darurat”, hlm 7 5 “NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah Dalam Sejarah,” http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-
indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969, diakses pada 1 Juli 2017. 6 Ibid. 7 Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. http://www.dw.com/id/lebih-20-perusahaan-
pembakar-hutan-kena-sanksi/a-18933976, diakses pada 9 Februari 2017.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
3
tersebut, Indonesia memiliki kewajiban untuk mengambil langkah yang tepat (due diligence)
guna mencegah pencemaran lintas batas yang timbul kebakaran hutan tersebut. Dan yang harus
diperhatikan jika kerusakan telah disebabkan oleh badan swasta, kewajiban negara adalah untuk
melaksanakan penegakan hukum untuk memberikan sanksi yang pantas atas perilaku badan
swasta tersebut.9
Dalam instrumen hukum di Indonesia sendiri diakomodir kemungkinan penegakan
hukum lingkungan di bidang administrasi, perdata, dan pidana. Dalam penelitian ini secara
khusus membahas penegakan hukum lingkungan terutama tentang pertanggungjawaban perdata
yang ditinjau dari unsur kesalahan fault sebagai salah satu dasar unsur pertanggungjawaban
perdata. Ditinjau dari gugatan perdata yang diajukan Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) terhadap kasus kebakaran hutan yang dilakukan oleh PT. Kallista Alam.10
dan PT. Bumi Mekar Hijau11. Penelitian ini meninjau lebih lanjut materi gugatan hingga putusan
hakim baik dari putusan dari setiap tingkat pengadilan yang memiliki perbedaan hasil putusan
yang sangat signifikan.12
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, dan memperjelas hal-hal yang akan
diteliti maka penulis mencoba menguraikan masalah-masalah sebagai berikut
1. Apa saja dasar pertanggungjawaban perdata yang dapat dikenakan dalam kasus
8 Ibid. 9 Alan Khee-Jin TAN, “The ‘Haze’ Crisis In Southeast Asia: Assessing Singapore’s Transboundary Haze
Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper Series 2015/002, February 2015, hlm. 6 10 PN Meulaboh, Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT.
Kallista Alam (2012), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.KA (PN. Meulaboh, 2012); PT Banda Aceh, Putusan
No. 50/Pdt/2014/PT.BNA, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2014), selanjutnya
disebut Menteri LHK v. PT.KA (PT, Banda Aceh, 2014), dan Mahkamah Agung , Putusan No. 651/K/Pdt/2015,
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2015), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.KA
(MA, 2015). 11 PN Palembang, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT.
Bumi Mekar Hijau (2015), selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.BMH (PN. Palembang, 2015) dan PT Palembang,
Putusan No. 51/Pdt/2016/PT.PLG, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2016),
selanjutnya disebut Menteri LHK v. PT.BMH (PT, Palembang, 2016). 12 Putusan dalam Menteri LHK v. PT.BMH (PN, Palembang, 2015) menolak gugatan penggugat, sedangkan
dalam , Menteri LHK v. PT.BMH (PT. Palembang, 2016) menerima banding pembanding/penggugat.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
4
pembakaran lahan akibat kebakaran hutan?
2. Bagaimana pandangan hakim atas dasar pertanggungjawaban perdata yang diterapkan
para pihak dalam gugatan di setiap tingkat pengadilan?
3. Bagaimana penggunaan dasar pertanggungjawaban Strict Liability yang tepat
digunakan di dalam sistem penegakan hukum lingkungan di Indonesia?
Pembatasan masalah: Unsur kesalahan fault sebagai dasar unsur pertanggungjawaban perdata
yang akan dibahas lebih lanjut didalam penelitian ini.
B. Tinjauan Teoritis
Di Indonesia dikenal dua jenis dasar pertanggungjawaban perdata saat mengajukan
gugatan ke pengadilan, yaitu berdasarkan wanprestasi dan perbuatan melawan (melanggar)
hukum (PMH).13 Perbuatan melawan hukum (PMH) yang dikenal dalam sistem hukum common
law sebagai dasar pertanggungjawaban perdata (tort).14 Secara umum berdasarkan Pasal 1365
KUHPer, suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur:
a. Perbuatan; (baik aktif/sengaja ataupun pasif/lalai)
b. Perbuatan tersebut melawan hukum;
13 Terminologi “Perbuatan Melawan Hukum” merupakan terjemahan dari kata onrechtmatigedaad, yang
diatur dalam pasal 1365-1380 KUHPer Buku III tentang Perikatan. Beberapa sarjana ada yang menggunakan istilah
‘melanggar’ dan ada yang menggunakan istilah ‘melawan’. Istilah onrechtmatigedaad dalam bahasa Belanda
lazimnya mempunyai arti yang sempit, yaitu arti yang dipakai dalam pasal 1365 KUHPer. Rosa Agustina dalam
bukunya memilih menggunakan terminology “Perbuatan Melawan Hukum” karena mengacu kepada pendapat dari
para ahlihukum Indonesia, salah satunya M.A. Moegni Djojodirjo yang berpendapat bahwa dalam kata ‘melawan’
melekat sifat aktif dan pasif. Selain itu, Rosa Agustina juga berpendapat dengan Mariam Darus Badrulzaman yang
berpendapat bahwa terminology “melawan hukum” mencakup substansi yang lebih luas yaitu baik perbuatan yang
didasarkan pada kesengajaan maupun kelalaian. Sehingga , “Perbuatan Melawan Hukum” diartikan sebagai
perbuatan yang melanggar hak (subjektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat) yang bertentangan dengan
kewajiban menurut undang-undang atau bertentangan dengan apa yang menurut hukum tidak tertulis yang
seharusnya dijalankan oleh seseorang dalam pergaulannya dengan sesame warga masyarakat dengan mengingat
adanya alasan pembenar menurut hakim. Lihat: Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hlm. 8-11 14 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran
Dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, Jurnal
Bina Hukum Lingkungan, Vol.1 No.1, Oktober 2016, hlm. 38
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
5
c. Adanya kesalahan;
d. Adanya kerugian;
e. Terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.
Selanjutnya, menurut Agustina, agar sesuatu dapat dikualifisir melawan hukum, harus
dipenuhi salah satu dari 4 syarat berikut:15
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain;
c. Bertentangan dengan kesusilaan;
d. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian
Ditinjau dari unsur kesalahan (fault), menurut Cantu, sebagaimana dikutip Wibisana
membagi pertanggungjawaban perdata ke dalam dua kelompok besar yaitu fault-based liability,
dan liability without fault. Kelompok fault-based liability, terdiri dari intentional tort dan
negligence. Fault di dalam intentional tort ditunjukan dengan kesengajaan pihak tergugat untuk
menghasilkan kerugian pada penggugat, sedangkan fault pada negligence ditentukkan dengan
pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam
masyarakat. Sedangkan liability without fault, yaitu strict liability, merupakan
pertanggungjawaban yang tidak berdasarkan pada fault dalam kedua bentuk tersebut.16. Pada
tanggung jawab berdasarkan kesalahan, pihak yang menuntut ganti rugi (penggugat) diharuskan
untuk membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan
dari pihak yang ia tuntut untuk membawa ganti rugi tersebut (tergugat).
Sedangkan pada tanggung jawab yang tidak berdasarkan kesalahan (liability without
fault), seseorang telah bertanggung jawab setelah kerugian terjadi, terlepas dari ada atau tidaknya
15 Rosa Agustina,“Perbuatan Melawan”, hlm. 117 16 Wibisana,”Beberapa Pelajaran”. hlm 38. sebagaimana mengutip Charles E. Cantu, “Distinguishing the
Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa Unveiled”, The University of Memphis Law
Review, Vol. 33, 2003, hlm. 826.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
6
kesalahan pada dirinya.17 Dapat disimpulkan bahwa strict liability berbeda dengan perbuatan
melawan hukum (negligence liability) yakni tidak memerlukan pembuktian kesalahan
seseorang.18 Karena itulah strict liability disebut juga dengan liability without fault. Namun
sebenarnya istilah liability without fault menimbulkan kerancuan apakah fault yang dimaksud
adalah kesalahan dalam arti subjektif atau kesalahan dalam arti objektif.19 Tanggungjawab tanpa
kesalahan yang dibagi lagi menjadi ranggungjawab secara langsung dan seketika (strict liability)
dan tanggungjawab mutlak (absolute liability).20 Akan tetapi, di Indonesia penyebutan strict
liability sering disamakan dengan tanggung jawab mutlak.21
1. Strict Liability
Ditelusuri lebih jauh dari sejarah mulainya diterapkan strict liability. Dapat dilihat dalam
penyelesaian kasus Rylands vs. Fletcher di Inggris pada tahun 1868. Perlu diperhatikan adalah
tidak semua kegiatan dapat dikenakan strict liability. Hanya kegiatan yang abnormally dangerous
yang dapat dimintai pertanggungjawaban mutlak tersebut. Di Amerika, terdapat enam faktor yang
dapat dijadikan penentu apakah suatu kegiatan termasuk dalam kategori abnormally dangerous
activity, yaitu:22
1. Terdapat risiko bahaya yang tinggi bagi pihak lain (existence of a high degree of risk
of some harm to person, land, or chattel of others);
2. Kemungkinan bahaya tersebut menjadi besar ( likelihood that the harm that results
from it will be great);
17 M. Ridwan Andri G. Wibisana, “Perbandingan Asas Tanggung Jawab Secara Langsung dan Seketika
(Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan di Indonesia dan Belanda.” (Depok: Skripsi Universias Indonesia, 1999),
hlm 1 18 S. Shavell, “Economic Analysis Of Accident Law”, Harvard Law School John M. Olin Center for Law,
Economics and Business Discussion Paper Series. No. 396. Chapter 2, 2002, hlm. 6 19 Vernon Palmer, “A General Theory of The Inner Structure Of Strict Liability: Common Law, Civil Law,
And Comparative Law”,Tulane Law Review, Vol. 62, 1988, hlm. 1305 20 Wibisana,“Perbandingan Asas”, hlm 1 21 Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 32, LN No. 140 tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 88 22 Restatement (Second) of Torts, § 520
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
7
3. Risiko tidak dapat dihilangkan walaupun telah menerapkan segala tindakan dengan
penuh kehati-hatian inability to eliminate the risk by the exercise of reasonable
care;);
4. Kegiatan tersebut bukanlah kegiatan yang lazim dilakukan (extent to which the
activity is not a matter of common usage);
5. Kegiatan tersebut tidak sesuai dengan temapat di mana kegiatan itu dilakukan
(inappropriateness of the activity to the place where it is carried on);
6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (extent to which its value to the
community is outweighed by its dangerous attributes);
Maka dapat disimpulkan bahwa Restatement of The Law of Torts menarik perbedaan
antara risiko bahaya biasa, dengan risiko bahaya luar biasa. Pada risiko bahaya biasa, yang
berlaku adalah aturan negligence sedangkan pada risiko bahaya luar biasa dikenai strict
liability.23
Selanjutnya dalam pertanggungjawaban perdata hukum lingkungan di Indonesia, konsep
strict liability ini dapat ditemui pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:“Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
[garis bawah dari penulis]. Adapun unsur-unsur Strict liability diatur dalam Undang-Undang No.
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan dalam Pasal
88 yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya ditentukan secara limitatif,
yaitu:
a. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3;
b. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menghasilkan B3;
c. Tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya mengelola limbah B3
23 William K. Jones, “Strict Liability For Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 92, No. 7
Nov.1992, hlm. 1710.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
8
2. Terjadi sesuatu kerugian
3. Terdapat hubungan kausalitas antara tindakan, usaha, dan/atau kegiatan tersebut dengan
kerugian yang terjadi.
Selanjutnya SK KMA 36/2013 juga memberikan penjelasan sebagai berikut:24
“Proses pembuktian pertanggungjawaban perdata:
a. Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata);
b. Pembuktian penerapan prinsip Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak).”
Dalam uraian tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan strict liability adalah
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi.
2. Res Ipsa Loquitur
Secara bahasa, res ipsa loquitur dalam bahasa latin yaitu the thing speaks for itself, secara
harfiah berarti fakta berbicara sendiri.25 Ini adalah sebuah doktrin dalam torts yang mirip dengan
pembuktian terbalik.26 Menurut doktrin ini, (dalam arti perbuatan melawan hukum, negligence)
dari tergugat diasumsikan telah ada, sehingga tergugat lah yang memiliki beban untuk
membuktikan bahwa ia tidak bersalah.27 Walaupun res ipsa loquitur sebelumnya didefenisikan
sebagai doktrin hukum, sebagaimana Lord Megaw dikutip oleh Harpwood yang menyebutkan
bahwa doktrin ini “tidak lebih dari sekedar pendekatan logis berdasarkan akal sehat semata,
tidak terbatas oleh aturan teknis, terhadap penilaian atas alat bukti dalam keadaan-keadan
tertentu”.28
Lebih lanjut Harpwood mengemukakan beberapa syarat agar doktrin ini dapat digunakan
antara lain: (a) kerugian harus merupakan kerugian yang sulit dibuktikan penyebabnya, dalam hal
24 Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara
36 sebagaimana mengutip Andreas Pramudianto, “Soft Law Dalam Perkembangan Hukum Lingkungan
Internasional”, Pro Justitia, Tahun XIII Nomor 4, Oktober 1995, hlm, 91-96 32 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia: Penegakan Hukum Administrasi, Hukum
Perdata, dan Hukum Pidana menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), hlm.
211 33 Siahaan, Hukum Lingkungan, hlm 317
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
10
ZEE, dan rumusan Article III Paragraph (2) dan (3) CLC.34 Dan juga terdapat penjelasan Pasal
30 PP nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang merumuskan bahwa pemilik
izin/tergugat bertanggungjawab mutlak atas areal kerjanya, namun tergugat terlepas dari ancaman
sanksi apabila yang dapat membuktikan pihaknya tidak bersalah.
Di sisi yang lain, Santosa menjelaskan bahwa latar belakang penemuan konsep strict
liability dalam perkara Rylands v. Fletcher (1868) dan dalam pembuktiannya tergugat
membuktikan pihaknya memenuhi faktor pemaaf (defence).35 Faktor pemaaf inilah yang
kemudian diatur dalam Pasal 35 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.36 Sehingga dapat ditemukan kekeliruan yang mengatakan pembuktian
defence dari tergugat sebagai pembuktian terbalik. Selanjutnya Santosa menambahkan dengan
tegas bahwa dalam konsep strict liability, yang terjadi justru pembebasan beban pembuktian
unsur kesalahan (fault).37 Apabila terdapat hal-hal yang dibuktikan tergugat merupakan
pembuktian dari faktor-faktor pemaaf (defence), maka hal ini tidak dapat disamakan dengan
pembuktian terbalik.38 Karena sebagaimana mestinya beban defence memang dimiliki oleh
tergugat sejak awal, sehingga tidak ada perpindahan/pembalikan (shifting) beban pembuktian.39
Dengan demikian, penjelasan Pasal 30 PP nomor 45 tahun 2004 yang menggabungkan antara
strict liability dengan res ipsa loquitur dalam satu rumusan pasal sejak dari pembuatan undang-
undang telah keliru dan hasilnya saling menegasikan antar satu dengan lainnya.
Selanjutnya Wibisana menjelaskan hubungan antara res ipsa loquitur dan strict liability
sebagai berikut:
“Pertama, strict liability tidak menganut pembuktian terbalik. Di dalam strict liability
penggugat masih harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara
34 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa, hlm 37-40 35 Santosa menjelaskan bahwa Penanggung jawab kegiatan yang berbahaya tersebut hanya dapat dibebaskan
dari pertanggungjawaban (liability) apabila ia dapat membuktikan bahwa kerugian yang timbul adalah akibat dari
kesalahan penggugat sendiri atau akibat bencana alam (lihat pertimbangan Court of Exchequer Chamber dalam
Rylands v. Fletcher). Pembuktian ini merupakan defence dari tergugat, bukanlah termasuk dari pembuktian terbalik.
Cantu, Charles E. (2003). “Distinguishing the Concept of StrictLiability in Tort from Strict ProductsLiability: Medusa Unveiled”. The University of Memphis Law Review, Vol. 33
Gema BNPB, “Indonesia Darurat Asap”, Vol. 6, No. 3. Jakarta: Desember 2015 Jerger, David B. (2014) “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement
of Transboundary Haze Pollution”, Journal Sustainable Development Law & Policy, Vol. 14, No. 1. Washington: Digital Commons @ American University Washington College of Law
Jones, William K. (1992). “Strict Liability For Hazardous Enterprise”. Columbia Law
Review, Vol. 92, No. 7. Palmer, Vernon. (1988). “A General Theory of The Inner Structure Of Strict Liability:
Common Law, Civil Law, And Comparative Law”,Tulane Law Review, Vol. 62. TAN, Alan Khee-Jin. (2015) “The ‘Haze’ Crisis In Southeast Asia: Assessing
Singapore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper Series 2015/002.
Penerapan konsep ..., Adlul Hamidi Zalnur, FH UI, 2017
23
Shavell, S. (2002) “Economic Analysis Of Accident Law”, Harvard Law School John M.
Olin Center for Law, Economics and Business Discussion Paper Series. No. 396. Chapter 2. Wibisana, M. Ridwan Andri G. (1999). “Perbandingan Asas Tanggung Jawab Secara
Langsung dan Seketika (Strict Liability) dalam Hukum Lingkungan di Indonesia dan Belanda.” Skripsi Universias Indonesia.
Wibisana, Andri G. (2016) “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan:
Beberapa Pelajaran Dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan (KLHK) vs PT. Bumi Mekar Hijau (BMH)”, Jurnal Bina Hukum Lingkungan, Vol.1 No.1.
PUTUSAN PENGADILAN DAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA LAIN: Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179K/Pdt/2004 Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 36 Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Perkara
Lingkungan Hidup Pengadilan Negeri Meulaboh, Putusan No. 12/Pdt.G/2012/PN.MBO, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2012), Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Putusan No. 50/Pdt/2014/PT.BNA, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan v. PT. Kallista Alam (2014), Mahkamah Agung , Putusan No. 651/K/Pdt/2015, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v.
PT. Kallista Alam (2015) Pengadilan Negeri Palembang, Putusan No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2015 Pengadilan Tinggi Palembang, Putusan No. 51/Pdt/2016/PT.PLG, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan v. PT. Bumi Mekar Hijau (2016) INTERNET
“NASA: Kabut Asap Indonesia Terparah Dalam Sejarah,” http://www.dw.com/id/nasa-kabut-asap-indonesia-terparah-dalam-sejarah/a-18756969, 2017.
Lebih 20 Perusahaan Pembakar Hutan Kena Sanksi. http://www.dw.com/id/lebih-20-
perusahaan-pembakar-hutan-kena-sanksi/a-18933976, 2017. Resolusi Bumi, Hutan. http://www.wwf.or.id/?44824/resolusibumi-2016-hutan, 2017 Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. 2017.