PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 DAN NOMOR 2 TAHUN 2002 Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : ALPEN NAMBRI NIM : 1113045000010 PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017/1439
96
Embed
PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41788/1/ALPEN NAMBRI-FSH.pdfpenerapan asas retroaktif dalam tindak pidana ... program
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENERAPAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA
TERORISME MENURUT PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 DAN NOMOR 2 TAHUN 2002
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
ALPEN NAMBRI
NIM : 1113045000010
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017/1439
iv
ABSTRAK
Alpen Nambri. 1113045000010. Penerapan Asas Retroaktif Dalam
Tindak Pidana Terorisme Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Dan Nomor 2 Tahun 2002. Hukum Pidana Islam
(Jinayah). Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatulah Jakarta.
Salah satu kejahatan yang paling berbahaya di Indonesia saat ini adalah
tindak pidana terorisme yang cendurung dilakukan oleh kelompok tertentu dengan
tujuan mengganggu ketertiban umum atau mengguncang pemerintahan yang sah
seperti yang terjadi di Bali pada tahun 2002 yang mengakibatkan ratusan nyawa
menghilang dan miliaran kerugian materil dan secara tidak lansung juga
berdampak pada sektor pariwisata. Peristiwa bom Bali I mengakibatkan negara
dalam keadaan genting sehingga mendesak pemerintah khususunya presiden
bertindak cepat sehingga pada tanggal 18 oktober 2002 dibentuklah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana
terorisme.
Di dalam penelitian skripsi ini membahas mengenai bagaimana penerapan
asas retroaktif pada tindak pidana terorisme menurut ukum positif Indonesia dan
hukum Islam. Metode penelitian dalam penelitian ini berjenis penelitian hukum
normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library
research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder. Pada jenis penelitian hukum normatif, penelitian ini
berjenis penelitian perbandingan hukum. Sedangkan metode penelitian yang
digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif yang berasal dari bahan-bahan
hukum.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa asas retroaktif yang berlaku pada
Peraturan Pemerintah Nomor 1 dan Nomor 2 Tahun 2002 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme masih belum sempurna karena pada dasarnya hukum
pidana Indonesia menganut asas legalitas, bertentangan dengan Undang-undang
dasar 1945 dan juga terdapat banyak pasal yang tidak mengandung keadilan.
Sedangkan dalam hukum Islam, asas retroaktif dapat diterapkan pada tindak
pidana yang berkaitan dengan keselamatan orang banyak seperti terorisme atau
jarimah al-baghyu.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Retroaktif, Terorisme, HAM.
Pembimbing : Dr. Burhanudin, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1968 sampai Tahun 2016
v
KATA PENGANTAR
حيم حمن اللر بسم الله الر
Segala puji beserta syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan semesta alam yang
telah menciptakan seluruh makhluk, dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul PENERAPAN ASAS
RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 DAN NOMOR 2 TAHUN
2002. Selawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad Shollallohu’alaihi
Wassallam.
Penulis sangat bersyukur karena pada akhirnya tugas akhir dalam jenjang pendidikan
Strata Satu (S1) yang dihadapi telah selesai dikerjakan. Penulis berharap semoga skripsi ini
bermamfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Pengerjaan skripsi ini dapat
diselesaikan karena dukungan dari berbagia pihak, untuk itu sebagai rasa hormat yang teramat
dalam penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Proggram Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah) yang telah memberikan kontibusi atas draft proposal skripsi pada saat seminar
skripsi ini.
4. Bapak Nurrohim, LLM selaku sekertaris Jurusan Prodi Hukum Pidana Islam (Jinayah) yang
telah memberikan arahan,dorongan,motivasi serta kontibusi lain kepada penulis baik pada
saat perkuliahan hingga proses penelitian skripsi.
5. Bapak Dr. Burhanuddin, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing skripsi yang tidak kenal lelah
meluangkan waktunya untuk memberikan sumbangan piliran serta arahan kepada penulis
pada penyusunan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen fakultas syariah dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya kepada bapak dan ibu dosen yang telah mendidik penulis selama kuliah. Seluruh
vi
staf perpustakaan umum dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan fasilitas sehingga memudahkan penulis melakukan studi kepustakaan.
7. Kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda Ismail (Apa) dan Ibunda Nova Hartini
(Ama), yang telah mencurahkan do’a, kasih sayang dan pengorbanan kepada penulis selama
ini dan menjadi motifasi terbesar bagi penulis “allahummagfirlii waliwalidayya
warhamhuma kama rabbayani shogiro”. Kakek Nasmir Ongku Marajo yang memberikan
nasehat-nasehat dan guru bagi penulis, serta untuk adik-adik penulis Rahmatina Muhira dan
Fauzi akbar yang telah memberikan semangat dan penghibur.
8. Pak Etek Salman sekeluarga yang telah memberikan semangat penghibur dan dukungan
untuk menyelesaikan penelitian ini dengan baik serta menjadi keluarga kedua bagi penulis
selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh teman-teman angkatan Jurusan Hukum pidana Rahmat, Fahmi Afrikal, iip, wiwit,
1. Pada jariamah yang sangat berbahaya dan mengancam ketertiban
umum
Ada beberapa jarimah yang ditetapkan berlaku surut, artinya perbuatan
tersebut dianggap tindak pidana dan pelakunya dikenakan hukuman walaupun
belum ada nash yang melarangnya. Alasan diterapkannya pengecualian berlaku
surut karena tindak pidana yang berat dan sangat berbahaya apabila tidak
diterapkan sehingga akan terjadi kekacauan dan kehebohan. Tindak pidana dalam
Islam yang dibolehkan menggunakan asas retroaktif adalah jarimah qadzaf dan
hirabah yang dikenakan hubungan atas peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
sebelum adanya nash yang melarangnya.
1.Qadzaf
Nash tentang qadzaf dan hukumannya tercantum dalam dalam surat
an-Nur ayat 4 yang berbunyi:
والت قب لوا والذين ي رمون المحصنات ث ل يأتوا بأرب عة شهدآء فاجلدوهم ثانني جلدة لم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik. (QS. 24:4)
Ayat tersebut diturunkan setelah adanya peristiwa fitnah atas diri Aisya,
dimana beliau dituduh berzina dengan Shafwan. Tuduhan ini ternyata hanya
fitnah. Tindakan terhadap para penuduhnya, Nabi memberikan hukuman had
sebagaimana yang diterangkan dalam surat an-Nur tersebut, walaupun tuduhan
tersebut terjadi sebelum turunnya nash. Sehingga dengan kata lain nash mengenai
jarimah qadzaf dan hukumannya ini berlaku surut, alasnnya adalahnya tuduhan
tersebut mengancam ketertiban umum dan menimbulkan kehebohan dikalangan
kaum muslim, bahkan hampir tejadi pertengkaran dikalangan Aus dan Khajraz
karena fitnah tersebut. Penjatuhan hukuman ini dengan sendirinya menimbulkan
42
ketenangan kembali dan mengembalikan nama baik korban serta menghapuskan
kesan buruk dari masyarakat.
1. Hirabah
Ketentuan tentang jarimah hirabah dan hukumnya tercantum dalam surat
Al-Maidah ayat 33 yang berbunyi:
ا لوا أو يصلبوا أوت إن قطع جزاؤا الذين ياربون اهلل ورسوله ويسعون ف األرض فسادا أن ي قت ن يا ولم ف األ ف الد ن خالف أو ينفوا من األرض ذلك لم خزي خرة أيديهم وأرجلهم م
يم عذاب ع
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya danmembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang
besar, (QS. 5:33)
Tentang sebab turunnya ayat tersebut para ulama berbeda pendapat,
menurut sebagian riwayat ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang
kabilah Urainah yang datang ke Madinah tetapi merela tidak betah tinggal disana.
Ketika mereka akan kembali kedaerahnya, Rasulullah memberikan bantuan
kendaraan unta dan pengembalanya, mereka dibolehkan untuk minum air susu
unta tersebut. Sewaktu dalam perjalanan pulang mereka menyalahgunakan
kesempatan yang diberikan Rasulullah. Mereka membunuh para pengembalanya
dan membawa lari unta-unta tersebut. Ketika Rasulullah mendengan peristiwa
tersebut, beliau memerintahkan untuk mengejar mereka dan akhirnya mereka
ditangkap. Kemudian Rasulullah menjatuhkan hukuman kepada mereka
berdasarkan ketentuan ayat tersebut.
Tujuan utama dari pemberlakuan surut adalah untuk memelihara
keamanan dan ketentraman masyarakat, namun berlakunya surut tersebut hanya
43
terbatas pada jarimah-jarimah yang dinilai berbahaya dan sangat mengganggu
kepentingan umum.76
2. Menguntungkan tersangka
Agama islam juga mengatur apabila ada ketentuan baru yang lebih ringan
tentang hukuman yang akan dijatuhkan sebagia akibat dari melakukan tindak
pidana, hukuman tersebut harus diberlakukan kepada belaku walaupun kejahatan
tersebut ia lakukan ketika sanksi lama masih berlaku. Apabila pelaku tindak
pidana tersebut telah diberikan sanksi berdasarkan aturan yang lama, maka ia
tidak dibenarkan diberi sanksi berdasarkan aturan yang baru karena sanksi
dimaksud untuk menjaga agar kejahatan tidak terulang dan keamanan masyarakat
terjamin. Oleh karena itu, hukuman harus disesuaikan dengan kadar kemaslahatan
yang akan dicapai walaupun menurut aturan baru hukumannya lebih ringan, dilain
sisi hukuman yang lebih berat belum tentu menjadi jalan untuk tercapainya
keamanan. Sebaliknya, apabila peraturan yang baru berisikan hukuman yang lebih
berat daripada peraturan yang lama maka peraturan baru itu tidak berlaku surut
dan tersangka tetap diadili berdasarkan peraturan yang lama.77
Contohnya adalah
yang terjadi pada kasus Aws Shamit dengan istrinya Khawlah Binti Tsa‟labah. Ia
berkata kepada istrinya “engaku bagaikan tulang punggung ibuku”, kemudian
istrinya menghadap Rasul dan melaporkan bahwa hubungannya dengan suaminya
sudah lama sekali dan suaminya telah menabur benih dalam perutnya, namun
ketika umurnya sudah tua dan suaminya malah menziharnya. Rasulullah bersabda
“kamu haram untuk bersatu dengannya”, ia berkata “aku akan mengadu kepada
Allah sebab Dialah tempat meminta segala kebutuhanku”. Kemudian turunlah
wahyu yang QS al-Mujadalah ayat 1-4 yang berbunyi:
76
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal. 50-51 77
Abd Al-Qadir Awdah, Al-Tasri Al-Jina‟i Al-Islami, (Kairo; Maktabah Dar Al-Ubara,
1968), hal. 271.
44
ع اهلل ق ول الت تادلك ف زوجها وت يع بصري قد س شتكي إل اهلل واهلل يسمع تاوركمآ إن اهلل سهات هم إال الئى ولدن هم وإ 1} هاتم إن أم اهن أم ن نسآءهم م ن هم { الذين ياهرون منكم م
ن القول و { والذين ياهرون من نسآئهم ث ي عودون 2زورا وإن اهلل لعفو غفور }لي قولون منكرا ما ذلكم توعون به واهلل با ت عملون خبري } ن ق بل أن ي تمآس د 3لما قالوا ف تحرير رق بة م { فمن ل ي
ا فمن ل يستطع فإطعام ستني مسكينا ذلك لت ؤمن فصيام وا باهلل شهرين متتابعني من ق بل أن ي تمآس ورسوله وتلك حدود اهلل وللكافرين عذاب أليم
Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan yang memajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah.Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (1)Orang-orang yang menzihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya bagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu-ibu mereka.Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka.Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan
suatu perkataan yang mungkar dan dusta.Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf
lagi Maha Pengampun. (2)Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri
itubercampur.Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (3)Barangsiapa yang tidak mendapatkan
(budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum
keduanya bercampur.Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi
makan enam puluh orang miskin.Demikianlah supaya kamu beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya.Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih. (4)
Menurut hukum yang berlaku pada masa jahiliyah, sanksi bagi yang
melakukan zihar adalah perpisahan dengan istrinya selamanya. Sedangkan sanksi
yang diterapkan dalam islam adalah khifarat. Apabila dibandingakn dengan sanksi
yang ada pada zaman jahiliah, sanksi zihar dalam Islam lebih ringan. Ketentuan
45
tersebut memperlihatan bahwa Islam mementingkan kemaslahatan dan menjaga
ketentraman masyarakat.78
C. Faktor-Faktor Terbentuknya Perpu Tindak Pidana Terorisme
Peraturan perundang-undangan yang berlaku sampi saat ini belum secara
memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme, oleh karena itu pemerintah
membuat peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang belum termuat dalam
KUHP. Dalam hal ini pemerintah diberi kewenangan untuk membuat Perpu
(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) dengan ketentuan norma
hukum yang hendak dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan
tersebut benar-benar telah disusun berdasarkan pemikiran matang yang semata-
mata untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan.79
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang merupakan salah satu
hukum tertulis yang tergabung dalam hierarki peraturan perundang-undangan,
maksudnya adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.80
Hierarki menurut undang-undang no 12 tahun 2011 pasal 7 undangan terdiri
atas :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah.
5. Peraturan Presiden.
6. Peraturan Daerah Provinsi.
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota81
.
78
Rachmat Syafe‟i, Asas Retroaktif dalam Perspektif Hukum Islam, 2010, Vol.XII, no. 1,
hal. 77. 79
Jimly Asshiddqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Serikat Jenderal
Mahkama Konstitusi Republik Indonesia,2006), hal. 320. 80
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), hal. 37. 81
UU No 12 tahun 2011.
46
peraturan yang berada dibawah UUD 1945 harus bersumber dan berdasar
pada UUD, baik itu berupa aspek prosedurnya maupun dalam hal materi muatan
yang tidak bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.82
Penulis disini mencoba sedikit menjabarkan tentang poin c yaitu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Pada dasarnya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang sama dengan undang-undang, hanya saja karena ada
kegentinagn yang memaksa, maka ditetapkanlah dalam peraturan pemerintah83
.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang memang diakui sebagai salah
satu bentuk peraturan perundang-undangan sebagiamana yang diamksud dalam
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 22 bahwa
(1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan
peraturan pemerintah sebagi pengganti undang-undang, (2) peraturan pemerintah
itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan
yang berikut, (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah
pengganti undang-undang harus dicabut .84
Kegentingan yang memaksa dapat digambarkan sebagai suatu kondisi
abnormal yang membutuhkan upaya-upaya diluar kebiasaan untuk mengahiri
kondisi tersebut. Dalam kondisi abnormal itu diperlukan adanya norma-norma
hukum yang bersifat khusus, baik dari segi substansinya maupun proses
terbentuknya, sehingga dalam kondisi yang seperti itu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang sangan diperlukan seperti halnya undang-undang.
Setidaknya ada tiga unsur penting yang dapat menimbulkan suatu kegentingan
yang memaksa, yaitu :
1. Unsur ancaman yang membahayakan (dangerous threat).
2. Unsur kebutuhan yang mengharuskan (reasonable necessity).
82
Jimli Asshiddqie, teori Hans Kelsen tentang hukum, (Jakarta: Serikat Jenderal Mahkama
Konstitusi Republik Indonesia,2007), hal.171. 83
Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darutat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2007), edisi ke-1, hal.3. 84
Undang-undang Dasar 1945.
47
3. Unsur keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia85
.
Sedangkan menurut Prof. Ismail Sunny mengenai keluarnya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai keadaan darurat, lebih dari itu
tidak ada. Namum, pemerintah bisa mengartikan hal tersebut secara luas. Bila kita
menelaah sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, hampir sebagian Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang dikeluarkan presiden dalam keadaan
darurat. Sementara dalam penjelasan pasal 22 ayat 1 UUD 1945 sebelum
perubahan, memerikan penjelasan bahwa pasal tersebut mengenai posisi darurat
(noodverordeningsrecht), dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan
negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, sehingga
memaksa pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat. Meskipun demikian,
pemerintah tidak dapat lepas dari pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan
pemerintah dalam pasal 22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU harus
disahkan pula oleh DPR.
Maka dari itu, persepsi yang timbul dalam masyarakat bahwa hal ikhwal
kegentingan yang memaksa yaitu suatu keadaan dimana negara dalam keadaan
darurat untuk segera melakukan penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus
merujuk pada UU 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Namun demikian pasal
II aturan tambahan UUD 1945 menyatakan bahwa dengan ditetapkannya
perubahan undang-undang dasar ini, Undang-undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal, sehingga hal ikhwal
kegentingan yang memaksa sebagai yang dimaksud dalam pasal 22 ayat 1 UUD
1945 sebenarnya tidak sama dengan „keadaan bahaya‟ seperti yang dimaksud
dalam pasal 12 UUD 1945 dan pengaturannya yang tertuang dalam UU 23 tahun
1959 tentang keadaan bahaya, yang memang harus didasarkan atas kondisi
obyektif sebagaimana ditetapkan dengan undang-undang.86
85
J. Ronald Mawuntu, “Eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
dalam Sistem Norma Hukum Indonesia”, dalam Jurnal Hukum Unsrat, 2011, Vol.XIX, No.5,
hal.122-123. 86
Janpatar Simamora, “Multitafsir pengertian ihwal kegentingan yang memaksa dalam
penerbitan perpu”, dalam jurnal mimbar hukum, 2010, Vol 22, No 1, hal. 67.
48
Dalam hal ini presiden berhak membuat sebuah undang-undang tetapi bukan
berarti tanpa campur tangan DPR, dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 pasal 22 ayat 2 amandemen ke-4 mengatakan bahwa
“peraturan pemerintah ini harus berdasarkan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat dalam persidangan berikut” dan “jika tidak mendapat persetujuan maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut”.87
Selanjutnya pada tahun 2002 tepatnya pada tanggal 12 Oktober terjadi
ledakan di Paddys Pub dan Sari Club di jalan Legian, Kuta Bali yang kemudian
yang dikenal dengan peristiwa bom Bali I, peristiwa tersebut menelan lebih dari
200 jiwa. Di antara korban tersebut warga negara asing yang paling banyak, yaitu
yang berasal dari Australia serta sebagian lagi dari Amerika.88
Selanjutnya
peristiwa bom Bali I juga merusak 513 banguan, sebanyak 22 mobil dan 24 motor
hancur. Dari kerusakan yang besar tersebut diperkirankan kerugian mencapai 7,2
miliar.
Bom Bali I juga berdampak pada sektor pariwisata yang secara keuangan
juga merugikan Indonesia. Sebelum terjadi bom bali I, jumlah kunjungan ke Bali
setiap bulannya rata-rata mencapai 153 ribu orang. Namun, setelah kejadian
tesebut tidak lebih dari 31 ribu wisatawan. Penurunan jumlah wisatawan ini secara
drastis menurunkan tingkat hunian hotel. Jika sebelum terjadi peristiwa bom Bali I
tingkkat hunian hotel mencapai 80 persen lebih setiap bulannya, maka setelah
peristiwa tersebut hanya mencapai 10 sampai 15 persen. Direktur Perdagangan
dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Rusman Hermawan mengatakan pemerintah
kehilangan devisa sedikitnya 850 USD sepanjang tahun 2002 dari sektor
periwisata dari peristiwa bom Bali I. Angka ini belum termasuk kerugian yang
diderita masyarakat sebagai efek berantai dari peristiwa bom Bali I tersebut.89
87
Undang-undang Dasar 1945 amandement ke-4. 88
Ruslan Renggong , Hukum Pidana Khusus Memahani Delik-Delik Diluar KUHP,
(Jakarta:Prenada Media Group, 2016), hal.103-104 89
Ardison Muhammad,terorisme ideilogi peneba kekuatan,(Surabaya:liris,2010), hal 175-
176.
49
Peristiwa ini mendorong dunia internasional khususnya Amerika dan
sekutunya Australia untuk mendesak Indonesia menuntaskan kasus bom yang
terjadi di Bali. Oleh karena tekanan tersebut, presiden Megawti Soekarno Putri
menanda tangani Peraturan Penerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kemudian pada masa
sidang DPR setahun berikutnya ditetapkap sebagai Undang-undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi
Undang-undang.
Perpu tesebut dibentuk dengan berbagai pertimbangan, diantaranya bahwa
rangkaian peristiwa yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah menyebabkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban, menimbulkan
ketakutan masyarakat secara luas, dan merugikan harta benda sehingga
mengakibatkan dampak yang serius bagi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan
hubungan internasional. Selain itu terorisme merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi dan mempunyai jaringan yang luas, sehingga mengancam keamanan
dunia.90
Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme dibagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Tindak pidana terorisme dalam pasal 6 sampai pasal 19.
2. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme dalam
pasal 20 sampai pasal 24.
Sebagai undang-undang yang bersifat khusus, sudah tentu undang-undang
ini berisi ketentuan-ketentuan yang merupakan pengecualian dari ketentuan-
ketentuan hukum acara pidana yang ada dalam KUHAP. Pengecualian tersebut
adalah:
90
Ruslan Renggong , Hukum Pidana Khusus memahani delik-delik diluar KUHP,
(Jakarta:Prenada Media Group, 2016), hal.104.
50
a. Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi
wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama
6 bulan.
b. Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen.
c. Penetapan sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang harus
dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan
Negeri.
d. Proses pemeriksaan yang dimaksud dilakukan secara tertutup dalam
waktu paling lama 3 hari.
e. Jika dalam pemeriksaan ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup,
maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan segera
penyelidikan.
f. Penyidik dapat melakukan penangkapan kepada setiap orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti
permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (2)
untuk paling lama 7 x 24 jam.
g. Penyidik, penuntut umum atau hakim bewenang memerintahkan kepeda
bank atau jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta
kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil
tindak pidana terorisme dan atau tindak pidana yang berkaitan dengan
terorisme.
h. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di
sidang pengadilan dengan alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa
dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
i. Alasan bukti dalam perkara tindak pidana terorisme, selain yang
dimaksud dalam hukum acara pidana, juga alat bukti yang lain berupa
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan sacara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan data, atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
51
diatas kertas, benda fisik ataupun selain kertas atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada foto atau sejenisnya;
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
j. Hak korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme,
mendapatkan kompensasi atau ganti rugi.91
91
Ibid., hal.106-107
52
BAB IV
KAJIAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP ASAS
RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME
A. Analisis Asas Retroaktif Dalam Perpu Tindak Pidana Terorisme Menurut
Hukum Positif
Dalam sejarah dan praktik perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas
retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana
tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran pelarangan pemberlakuan asas
retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan,
apalagi dengan adanya berbagai perkembangan zaman menuntut peranan hukum,
khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas
retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah
dilemahkan dengan sendirinya
Telah disebukan bahwa asas retroaktif akan berhenti jika aparat penegak
hukum hanya berpatokan pada pasal 1 ayat 2 KUHP, karena pasal tersebut
membatasi pengertian retroaktif hanya pada keadaan transisioner atau menjadi
hukum transitoir. Hal ini dimungkinkan pada Perpu pemberantasan tindak pidana
terorisme mengingat bahwa Perpu tersebut termasuk kedalam ketentuan hukum
pidana yang bersifat khusus, ketentuan hukum pidana yang bersifat khusus ini
tercipta karena :
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam
masyarakat karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan
pandangan pada masyarakat.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap
perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat,
sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap
memakan banyak waktu.
53
3. Suatu keadaan yang memaksa sehingga dianggap perlu diciptakan suatu
peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses
yang diatur didalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan
mengalami kesulitan dalam pembuktian.92
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 dan 2 tentang tindak
pidana terorisme mengatur secara formil dan materiil sekaligus, sehingga terdapat
pengecualian dari asas secara umum diatur dalam KUHP maupun KUHAP sesuai
dengan asas lex specialis derogat lex generalis, syaratnya apabila asas tersebut
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Bahwa pengecualian terhadap undang-udang yang bersifat umum,
dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya yaitu undang-
undang.
2. Bahwa pengecualian termasuk dinyatakan dalam undang-undang khusus
tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian
yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksaan undang-undang khusus
tersebut.93
Apabila kita merujuk kembali kepada hierarki perundang-perundangan yang
mengatakan bahwa undang-undang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1 dan 2 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bertentangan dengan Undang-undang
Dasar Tahun 1945 pasal 281 ayat 1 yang berbunyi “hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi didepan hukum, dan hak untuk tidak
92
Loebby Loqman, Analisisn Hukum dan Perundang-undangan Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara di Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hal.98.
93
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1996), hal.17.
54
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apaun”.
Jika ditelaah lebih lanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No 1 dan 2 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme, maka terdapat banyak
kekurangan contohnya yang terdapat pada pada pasal 7 dimana kata-kata
“bermaksud” yang bermanakna niat dapat ditindak dan diartikan sebagai tindak
pidana. Padahal niat tersebut masih belum terialisasi menjadi sebuah ancaman
yang mengandung rasa ketakutan dan teror. Secara tidak lansung hal ini akan
memberikan kewenangan secara bebas kepada intelijen untuk menangkap siapa
saja yang belum tentu terbukti melakukan tindakakan teror dan ancaman rasa
takut tanpa adanya proses penyelidikan dan pembuktian secara hukum.
Kewenangan yang digunakan ini dapat digunakan untuk menyadap atau lebih
lanjutnya menangkap seseorang tanpa seseorang tersebut berbuat sesuatu. Pasal
ini menjadi celah bagi penyidik atau penyelidik untuk dapat melakukan
manipulasi dan diskriminasi terhadap sesorang.
Pasal selanjutnya yang yang tidak mengandung unsur keadilan terdapat pada
pasal 26 ayat 1 “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen” hal ini menjadi masalah karena laporan
intelijen ada yang bersifat prediktif sehingga sulit diuji dan memerlukan tindak
lanjut sehingga sulit dijadikan sebagai permuaan yang cukup, hal ini akan
berdampak buruk pada tersangka yang mana akan hilangnya hak pembelaan diri
dan timbulnya keputusan yang subjektif.94
Yusril Ihza Mahendara yang mana
pada saat itu menjabat sebagai mentri hukum dan hak asasi manusia berpendapat
bahwa tidak semua laporan intelijen dapat diajukan sebagai bukti permulaan, dan
hanya laporan intelijen yang bersifat faktual dan disapaikan secara kelembagaan
dan berupa fakta intelijen, bukan berupa analisis atau perkiraan intelijen. Tatapi
pada kenyataannya pendapat Yusril tersebut tidak dinyatakan secara tegas didalam
94
Nasrullah, “Tinjauan Yuridis Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap UU. No.
15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” dalam jurnal Kriminologi Indonesia,
2005, Vol.4, No 1, hal. 67.
55
Perpu pemerantasan tindak pidana terorisme.95
oleh karena itu Perpu
pemberantasan tindak pidana terorisme harus memberikan penjelasan secara jelas
dan tegas mengenai laporan intelijen yang dapat diajukan sebagi bukti permulaan,
sehingga tidak semua laporan intelijen dapat diajukan karena tidak semua laporan
intelijen berupa fakta, namun juga bisa dalam bentuk analisis dan perkiraan.
Pada pasal 28 yang berbunyi “Penyidik dapat melakukan penangkapan
terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme
berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam”, jika ditinjau
dari perspektif HAM maka akan mempermasalahkan validitas proses hukum
penangkapan seseorang. Dalam hal ini mengingat terorisme merupakan
extraordinary crime maka diperlukan pengecualian dan penyesuaian sesuai
konteks dan anatomi kejahatan terorisme sehingga proses hukum dapat berjalan
tanpa menabrak nilai-nilai HAM.96
Kriminalisasi terhadap terorisme dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :
1. Melalui sistem evolusi melalui amandemen terhadap pasal-pasal dalam
KUHP
2. Melalui sistem kompromi dengan memasukkan bab baru mengenai
kejahatan terorisme dalam KUHP
3. Memalui sistem global dengan membuat pengaturan secara khusus
dalam undang-undang tersendiri diluar KUHP, termasuk kekhususan
dalam acaranya.
Apabila diperhatikan dari ketiga cara tersebut maka Indonesia memilih
menggunakan sistem global, yaitu melalui undang-undang khusus diluat KUHP.
Indonesia baru memiliki undang-undang khusus mengenai tindak pidana
terorisme pada tanggal 18 Oktober atau enam hari setelah peristiwa peledakan
95
Abdul Wahid, kejahatan terorisme,(Bandung: Fefika Aditama,2004), hal.110. 96
Ibid., hal. 67.
56
bom di Bali pada tanggal 12 Oktober. 97
Perpu yang dibuat setelah terjadinya
tindak pidana terorisme ini dinyatakan berlaku surut untuk diberlakukan terhadap
peristiwa bom Bali I. Dalam tenggang waktu kurang dari enam bulan tepatnya 4
april 2003, maka dangan persetujuan DPR, Perpu No. 1 Tahun 2002 di ubah
menjadi UU No. 15 tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang dan Undang-undang No. 16 tahun
2003 Tentang Penerapan Perautan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2
Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kemudian para pelaku bom Bali I diputus bersalah melakukan tindak pidana
terorisme dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 7 Agustus 2003. Permasalahan
muncul ketika penerapan UU No.16 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku oleh
Mahkama Konstitusi pada tanggal 23 Juli 2004 karena penerapan asas retroaktif,
hal ini dikarenakan Indonesia menganut asas legalitas yang mana seseorang baru
bisa di pidana berdasarkan undang-undang yang sudah di buat dan sudah
mengatur.98
Memberlakukan undang-undang berdasaran asas retroaktif akan di
khawatirkan menjadikan tindakan tersebut sebagi pelanggaran HAM karena sifat
undang-undangnya yang mengekang dan kental dengan kepentingan penguasa,
hal tersebut dapat dilihat pada Perpu tindak pidana terorisme pasal 45 yang
berbunyi “Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan
kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini” pasal tersebut memberikan wewenang yang tidak
terbatas kepada presiden dalam mengambil langkah-langkah untuk merumuskan
kebijakan dan langkah-langkah operasional dalam pelaksanaan undang-undang
tersebut.
97
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme,Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, (Yogyakarta:Graha Ilmu,2012), hal.87. 98
Frassminggi Kamasa, Terorisme, Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015), hal.226
57
Padahal negara masih bisa menjerat pelaku bom Bali I menggukan KUHP
dan undang-undang nomor 12/1951 tentang kepemilikan senjata api dan bahan
peledak, bahkan dalam dengan menggunakan KUHP tersebut negara bisa
menjatuhkan hukuman mati sekalipun.
B. Analisis Asas Retroaktif DalamTindak Pidana Terorisme Menurut Hukum
Islam
Berkenaan dengan perbuatan yang berkaitan dengan pribadi seseorang, hukum
islam mengutamakan asas asas legalitas sebagaimana firman Allah dalam surat al-
Anfal 38:
اقد سلف و لني قل للذين كفروا إن ينت هوا ي غفر لم م إن ي عودوا ف قد مضت سنة األو
Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :"Jika mereka berhenti (dari
kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa
mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan
berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu". (QS.
8:38)
Ayat ini memberikan keringanan kepada seseorang hamba yang melakukan
kemaksiatan pada masa lalunya, tetapi berbeda halnya dengan tindak pidana yang
merugikan dan membuat kegaduhan bagi ketertiban umum, maka diterapkanlah
asas retroaktif. Asas Retroaktif merupakan Suatu hukum yang mengubah akibat
hukum terhadap tindakan yang dilakukan atau kedudukan hukum yang
berdasarkan fakta dan hubungan yang ada sebelum suatu hukum tersebut
diundangkan. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, asas retroaktif dapat
diaplikasikan pada suatu tindakan yang legal atau memiliki hukuman yang lebih
ringan sewaktu dilakukan pada kasus jarimah qadzaf sehingga dengan kejadian
tersebut Allah menurunkan surat an-Nur ayat 4:
58
ب عة شهدآء فاجلدوهم ثانني جلدة والت قب لوا لم والذين ي رمون المحصنات ث ل يأتوا بأر
شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik”. (QS. 24:4)
Disebabkan tuduhan tersebut terjadilah kehebohan dikalangan umat
muslimin, bahkan ampir terjadi pertemputn antara kaum Aus dan Kharaj. Dengan
dijatuhan hukuman yang berlaku surut kapada para penuduh tersebut maka
dengan sendirinyanya menimbulkan ketenangan kembali dan mengembalikan
nama baik korban.
Begitu pula pada tindak pidana hirabah yang tercantum dalam surat al-
Maidah ayat 33, pada saat itu kaum Urainah datang ke Madinah dan tidak betah
disana sehingga sewaktu ingin kembali kedaerahnya, meraka diberi bantuan
berupa kendaraan dan pengembalanya. Tetapi meraka menyalah gunakan bantuan
tersebut dengan membunuh pengembalanya dan membawa kabur unta. Ketika
Rasul mendengan kabar tersebut, beliah menyuruh menangkap para pelakunyanya
dan dijatuhi hukuman berdasarkan surat al-maidah ayat 33:
ا جزا لوا أو يصلبوا أوت قط إن ع ؤا الذين ياربون اهلل ورسوله ويسعون ف األرض فسادا أن ي قت
ن يا ولم ف األخ ف الد ن خالف أو ينفوا من األرض ذلك لم خزي ة عذاب ر أيديهم وأرجلهم م
يم ع
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya danmembuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau
59
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan diakhirat mereka beroleh siksaan yang
besar, (QS. 5:33)
Dijelaskan bahwa dalam penjatuhan hukuman bagi para pelaku hirabah
tersebut, Rasul menerapkan asas retroaktif karena surat al-Maidah ayat 33 tersebut
turun setelah terjadi tindak pidana. Dalam tafsir Jalalain dijelaskan tentang ayat
ini huruf ا ؤ (au) yang diartikan atau disini berfungsi untuk menunjukkan urutan.
(teroris) yang membunuh, hukumannya adalah dibunuh. (teroris) yang membunuh
dan merampas harta, hukumannya dibunuh lalu disalib. (teroris) yang hanya
marampas harta dan tidak membunuh, hukumannya potong tangan.(teroris) yang
hanya membuat teror (tidak membunuh dan merampas harta) hukumanya
diasingkan dari negerinya.99
Kemajuan zaman yang pesat juga perdampak pada kemajuan tindak pidana,
salah satunya terorisme atau dapat disama dengan baghyu. Padahal islam secara
gamblang menghargai nyawa manusia, membunuh satu orang tanpa alasan yang
dibenarkan sama halnya dengan membunuh seluruh umat manusia, sebaliknya
menjaga hidup satu orang disamakan pahalanya menjaga hidup seluruh umat
manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32:
نا على بن إسراءيل أنه من ق تل ن فسا بغري ن فس أو فساد ف األرض من أجل ذلك كتب
يعا ولقد جآءت هم رسلنا ا أحيا الناس ج يعا ومن أحياها فكأن ا ق تل الناس ج نات ث إن فكأن بالب ي
هم ب عد ذلك ف األرض لمسرفون كثريا م ن
Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israel, bahwa: barang
siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, ataubukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara
kehidupan menusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul Kami dengan (keterangan-keterangan) yang jelas, kemudian banyak
99
Ibid., hal.224.
60
di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi. (QS. 5:32)
Dapat diketahui bahwa untuk menjatuhkan hukuman bagi pelaku baghyu
harus dilakukan hati-hati dan tidak boleh gegabah. Sebab yang dihadapi
pemerintah bukan musuh yang harus dibunuh, melainkan sedang berhadapan
dengan pihak yang sedang kecewa terhadap kebijakan yang selama ini dijalankan.
Selain itu ada kemungkinan pemeberontak tersebut beragama Islam, sama dengan
pemerintah yang mau menghukumnya, jadi dalam pandangan hukum Islam asas
retroaktif dapat diterapkan terhadap tindak pidana terorisme karena tergolong
kedalam jarimah yang berdampak kepada keselamatan masyarakat luas.100
Berdasarkan beberapa pemaparan dari bab sebelumnya, maka penulis
berkesimpulan sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 dan 2 tentang
tindak pidana terorisme mengatur secara formil dan materiil sekaligus,
sehingga terdapat pengecualian dari asas secara umum diatur dalam
KUHP maupun KUHAP sesuai dengan asas lex specialis derogat lex
generalis, syaratnya apabila asas tersebut memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut, diantaranya bahwa pengecualian terhadap undang-
udang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat
dengan dirinya yaitu undang-undang dan bahwa pengecualian termasuk
dinyatakan dalam undang-undang khusus tersebut, sehingga
pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan
dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan pelaksaan undang-undang khusus tersebut. tetapi
pada kenyataanya apabila merujuk kembali kepada hierarki perundang-
undangan maka Perpu tindak pidana terorisme bertentang dengan
Undang-undang Dasar 1945 pasal 281 ayat 1.
2. Dalam hukum Islam, terorisme sendiri bisa disamakan dengan baghyu
(pemberontakan) yaitu sekelompok orang yang kelur dari
ketundukannya terhadap penguasa, walaupun penguasa yang berkuasa di
daerah tersebut dzalim dan bentuk pemberontakan tersebut
menggunakan senjata dengan cara mengacau ketertiban umum. Ada juga
sebagian para pelaku tindak pidana terorisme menyamakan aksi mereka
dengan jihad, padahal sangat berberbeda. Jihad semata-mata dilakukan
untuk menegakkan agama Allah atau membela hak-hak indivitu maupun
masyarakat yang terdzalimi, sedangkan terorisme mendatangkan
62
kerusuhan dengan cara menciptakan kepanikan ditengah-tengah
masyarakat. Asas retroaktif dalam islam dapat diterapkan pada Perpu no
1dan 2 tersebut karena teroris tergolong kedalam kejahatan luar biasa
yang dampaknya dapat merugikan masyarakat luas.
B. Saran Penulis
1. Sebaiknya pemerintah memperbaiki lagi undang-undang tindak pidana
terorisme karena masih terdapat pasal yang kurang sempurna.
2. Jika Perpu atau undang-undang tersebut tidak dapat digunakan lagi, maka
sebaiknya pemerintah memasukkan bab tentang tindak pidana terorisme
kedalam KUHP.
3. Jika pemerintah ingin merevisi Perpu pemberantasan tindak pidana
terorisme sebaiknya jangan terburu-buru salah satunya dengan menelaah
ulang Perpu sebelumnya.
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalamPembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untukmemajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa danikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukanpenegakan hukum dan ketertiban secara konsisten danberkesinambungan;
b. bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korbandan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnyakemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perludilaksanakan langkah-langkah pemberantasan;
c. bahwa terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakanancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupuninternasional;
d. bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional daninternasional dengan membentuk peraturan perundang-undangannasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat inibelum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindakpidana terorisme;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,dan huruf e, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlumengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang;
Mengingat :
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubahdengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGTENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yangdimaksud dengan:
1. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yangmemenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuandalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
2. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baiksipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secaraindividual, atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yangterorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukanbadan hukum.
4. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatanfisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawanhukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dankemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atautidak berdaya.
5. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengansengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatanmengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkanrasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.
6. Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah RepublikIndonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
7. Perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik dankonsuler asing beserta anggota-anggotanya.
8. Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalamlingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atauorganisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili PerserikatanBangsa-Bangsa.
9. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidakbergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
10. Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunanyang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, danpertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasukfasilitas internasional.
11. Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untukkepentingan masyarakat secara umum.
12. Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak,semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan,atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lainyang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.
Pasal 2
Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkahstrategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatanmasyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasimanusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras,maupun antargolongan.
BAB II
LINGKUP BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
Pasal 3
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku terhadapsetiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindakpidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/ataunegara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnyauntuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
(2) Negara lain mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), apabila:
a. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yangbersangkutan;
b. kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yangbersangkutan;
c. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
d. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitaspemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeritermasuk perwakilan negara asing atau tempat kediamanpejabat diplomatik atau konsuler dari negara yangbersangkutan;
e. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancamankekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukansesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
f. kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikanoleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
g. kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negaratersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkanundang-undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatanitu dilakukan.
Pasal 4
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku jugaterhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan:
a. terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negaraRepublik Indonesia;
b. terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeritermasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsulerRepublik Indonesia;
c. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksapemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidakmelakukan sesuatu;
d. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukansesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
e. di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia ataupesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negaraRepublik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
f. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan danbertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 5
Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan PemerintahPengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik,tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidanadengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yangmenghambat proses ekstradisi.
BAB III
TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atauancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takutterhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifatmassal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa danharta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuranterhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup ataufasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana matiatau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atauancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror ataurasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yangbersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnyanyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakanatau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, ataulingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional,dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Pasal 8
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yangsama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusakbangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkanusaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknyabangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnyausaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak,mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamananpenerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alattersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untukpengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindahatau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untukpengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan ataumembuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnyaatau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan,menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusakpesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur,tidak dapat dipakai, atau rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang laindengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkankebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan ataumembuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yangdipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkanmuatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutanmuatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telahditerima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum,merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasaipesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasanatau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas ataumempertahankan perampasan atau menguasai pengendalianpesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat,dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkanluka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawatudara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukandengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskanmerampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatankekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalampenerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakankeselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udaradalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara
tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang ataumembahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan ataumenyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalamdinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapatmenghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapatterbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebutyang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagaikelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengandirencanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagiseseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l,huruf m, dan huruf n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karenaperbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalampenerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapatmembahayakan keamanan dalam pesawat udara dalampenerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapatmengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udaradalam penerbangan.
Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia,membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan ataumencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaanpadanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut,menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dariIndonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak danbahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukantindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjaraseumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengajamenggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme,radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, ataurasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yangbersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauanterhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadikerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis,lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengajamenyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakanatau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untukmelakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidanapenjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan ataumengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patutdiketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan:
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan,menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia,senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif ataukomponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkankematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ;
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir,senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktifatau komponennya;
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi,mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atauancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e. mengancam :
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis,radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untukmenimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan hartabenda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf bdengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasiinternasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidakmelakukan sesuatu.
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalamhuruf a, huruf b, atau huruf c; dan
g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam huruf a sampai dengan huruf f.
Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan ataukemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau hartakekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan palinglama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 14
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lainuntuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalamPasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, ataupembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindakpidananya.
Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikanbantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindakpidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelakutindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Pasal 17
(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas namasuatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukanterhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindakpidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan
hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungankorporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, makakorporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
Pasal 18
(1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, makapanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilantersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurusatau di tempat pengurus berkantor.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyadipidana dengan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).
(3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan ataudicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.
Pasal 19
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimanadimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidanamati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalamPasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yangberusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
BAB IV
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA TERORISME
Pasal 20
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancamankekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntutumum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidanaterorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana denganpidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun.
Pasal 21
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alatbukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secaramelawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyeranganterhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindakpidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, ataumenggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindakpidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.
Pasal 23
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurunganpaling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 24
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimanadimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untukpelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas)tahun.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalamperkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukumacara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang ini.
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberiwewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka palinglama 6 (enam) bulan.
Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapatmenggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yangcukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukanproses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka KetuaPengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.
Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupadengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ataudidengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatusarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selainkertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidakterbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki maknaatau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca ataumemahaminya.
Pasal 28
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yangdiduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan buktipermulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2)untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.
Pasal 29
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkankepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukanpemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahuiatau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atautindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis denganmenyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank danlembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atauterdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat harta kekayaan berada.
(3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintahpenyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalamayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah suratperintah pemblokiran diterima.
(4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acarapelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atauhakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggalpelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank danlembaga jasa keuangan yang bersangkutan.
(6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuansebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksiadministratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 30
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidanaterorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenanguntuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuanganmengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patutdiduga melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku
ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dankerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis denganmenyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang diketahui atau patut didugamelakukan tindak pidana terorisme;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat harta kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :
a. Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat padatingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan olehpenuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yangbersangkutan.
Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksuddalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaluipos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungandengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasilain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untukjangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harusdilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.
Pasal 32
(1) Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apayang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan.
(2) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi danorang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme
dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lainyang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitaspelapor.
(3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksuddalam ayat (2) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 33
Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa besertakeluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberiperlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yangmembahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama,maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 34
(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan olehaparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
a. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik danmental;
b. kerahasiaan identitas saksi;
c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidangpengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
(2) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir disidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapatdiperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusandijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangansaksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnyadianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan olehpenuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantorPemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusansebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan danterdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutanpenuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telahdisita.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatankepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimanadimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitungsejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
Pasal 36
(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorismeberhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannyadibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan gantikerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahliwarisnya.
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkansekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 37
(1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilandiputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yangputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalamputusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 38
(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepadaMenteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepadapelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada MenteriKehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Pasal 39
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) danpelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikankompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerjaterhitung sejak penerimaan permohonan.
Pasal 40
(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkanoleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada KetuaPengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda buktipelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasitersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/ataurestitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepadakorban atau ahli warisnya.
(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimanadimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkanpelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yangbersangkutan.
Pasal 41
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusikepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimanadimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapatmelaporkan hal tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segeramemerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untukmelaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) harikerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Pasal 42
Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukansecara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatanpelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 43
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme,Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasionaldengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknislainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Ketentuan mengenai :
a. kewenangan atasan yang berhak menghukum yakni :
1) melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada dibawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukanoleh penyidik polisi militer atau penyidik oditur;
2) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik polisimiliter atau penyidik oditur;
3) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik polisimiliter atau penyidik oditur; dan
4) melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannyayang ada di bawah wewenang komandonya.
b. kewenangan perwira penyerah perkara yang :
1) memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan;
2) menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
3) memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
4) memperpanjang penahanan;
5) menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentangpenyelesaian suatu perkara;
6) menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untukmemeriksa dan mengadili;
7) menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplinprajurit; dan
8) menutup perkara demi kepentingan hukum atau demikepentingan umum/militer,
dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorismemenurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 45
Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskankebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Pasal 46
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang inidapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentusebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atauPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.
Pasal 47
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku padatanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 106
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERLAKUAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME,
PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALITANGGAL 12 OKTOBER 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka mencegah dan memberantas tindakpidana terorisme, Presiden Republik Indonesia telahmenetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangNomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme;
b. bahwa peristiwa pemboman yang terjadi di Bali pada tanggal12 Oktober 2002 telah menimbulkan suasana teror atau rasatakut terhadap orang secara meluas serta mengakibatkanhilangnya nyawa dan harta benda orang lain;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksuddalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-undang tentang PemberlakuanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober
2002;
Mengingat :
1. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimanatelah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-UndangDasar 1945;
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor106, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4232);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANGTENTANG PEMBERLAKUAN PERATURAN PEMERINTAHPENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME,PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALI TANGGAL 12
OKTOBER 2002.
Pasal 1
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangNomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak PidanaTerorisme, dinyatakan berlaku terhadap peristiwa peledakan bom
yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Pasal 2
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundanganPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakartapada tanggal 18 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 107
Salinan sesuai dengan aslinyaDeputi Sekretaris KabinetBidang Hukum dan Perundang-undangan,
ttd.
Lambock V. Nahattands
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 2 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERLAKUAN
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME,
PADA PERISTIWA PELEDAKAN BOM DI BALI
TANGGAL 12 OKTOBER 2002
UMUM
Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, negara Republik Indonesiaadalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut sertasecara aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintahwajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranyadari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakansalah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme sudahmerupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadapkeamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perludilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi
orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme, Presiden RepublikIndonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Sehubungan dengan terjadinya tindak pidana terorisme di Bali pada tanggal 12 Oktober2002 serta adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk mengatasi masalah tersebut,Presiden Republik Indonesia berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentangPemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali
tanggal 12 Oktober 2002.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4233