PENERAPAN ANALITICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) DALAM PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS UNTUK MENJAGA KINERJA SALURAN IRIGASI (STUDI KASUS SALURAN INDUK MATARAM DI D.I YOGYAKARTA) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Magister Teknik Sipil Sekolah Pascasarjana oleh: MUHAMMAD HIDAYAT ANWAR NIM : S . 100120014 MAGISTER TEKNIK SIPIL SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018
48
Embed
PENERAPAN ANALITICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) …eprints.ums.ac.id/62273/10/10. Naskah publikasi.pdfDALAM PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS UNTUK MENJAGA KINERJA SALURAN IRIGASI (STUDI KASUS
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENERAPAN ANALITICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
DALAM PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS
UNTUK MENJAGA KINERJA SALURAN IRIGASI
(STUDI KASUS SALURAN INDUK MATARAM DI
D.I YOGYAKARTA)
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi
Magister Teknik Sipil Sekolah Pascasarjana
oleh:
MUHAMMAD HIDAYAT ANWAR
NIM : S . 100120014
MAGISTER TEKNIK SIPIL
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
2
i
3
ii
4
1
PENERAPAN ANALITICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
DALAM PENYUSUNAN SKALA PRIORITAS
UNTUK MENJAGA KINERJA SALURAN IRIGASI
(STUDI KASUS SALURAN INDUK MATARAM DI
D.I YOGYAKARTA)
ABSTRAK
Daerah Irigasi Mataram mempunyai bangunan penangkap air (intake)
berupa bendung dengan nama Bendung Karang Talun yang dibangun pada tahun
1970 dan direhabilitasi oleh Proyek Kali Progo tahun 1980 yang mengairi 30.000
ha. Kerusakan yang terjadi disebabkan karena faktor usia dari bangunan fisik
tersebut, pembebanan yang bertambah karena juga untuk saluran pembungan
limbah rumah tangga, juga menjadi saluran drainase.
Metode penelitian dilakukan dengan cara penelusuran pada 16 jaringan
irigasi Mataram di D.I Yogyakarta untuk mendapatkan data kondisi prasarana
fisik, wawancara untuk mendapatkan data produktifitas tanam, sarana penunjang,
dokumentasi. Dari data yang diperoleh, dibuat kriteria evaluasi penilaian kinerja
sisten irigasi.
Dari hasil penelitian diperoleh hasil : Nilai RPPA lebih dari 1,25 ada 5
saluran (Induk mataram, Induk van der wijk, Sekunder sedayu rewulu, Sekunder
sendang pitu, Sekunder brongkol), nilai RPPA 0,75 sampai 1,25 ( baik) ada 6
saluran (Sekunder sedayu, Sekunder rewulu I, Sekunder jamur kulon, Sekunder
cerbonan kulon, Sekunder gancahan sekunder kergan), nilai RPPA kurang dari
0,75 ada 5 saluran (Sekunder sedayu selatan, Sekunder sedayu barat, Sekunder
jamur wetan, Sekunder rewulu II, Sekunder cerbonan wetan).
Dengan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) dilakukan
perhitungan bobot dari tiap kriteria dan alternatif, didapat urutan skala prioritas
rehabilitasi Prioritas 1 : Saluran Rewulu II dengan nilai 0,23913; Prioritas 2:
Saluran Jamur Wetan dengan nilai 0,22157; Prioritas 3: Saluran Sedayu Barat
dengan nilai 0,21969; Prioritas 4: Saluran Sedayu Selatan dengan nilai 0,19505;
Prioritas 5: Saluran Cerbonan Wetan dengan nilai 0,1775.
Kata kunci : AHP, Kinerja Sistem Irigasi, Skala Prioritas.
ABSTRACT
The Mataram Irrigation Area has a water catchment building (intake) in
the form of a dam named Bendung Karang Talun which was built in 1970 and
rehabilitated by the Kali Progo Project in 1980 which irrigates 30,000 ha. The
damage that occurs due to the age factor of the physical building, the increased
loading as well as for the sewerage channel of household waste, is also a drainage
channel.
2
The research method was conducted by tracing on 16 Mataram irrigation
networks in D.I Yogyakarta to get physical condition condition data, interview to
get plant productivity data, supporting facilities, documentation. From the data
obtained, the evaluation criteria of irrigation system performance evaluation were
made.
The results of the research showed that RPPA values were more than 1.25,
there were 5 channels (Parent mataram, Parent van der Wijk, Secondary sedayu
rewulu, Secondary pitu, Brongkol Secondary), RPPA value 0.75 to 1.25 (good) 6
channels (Secondary secondary, Secondary rewulu I, Secondary cultivated kulon,
Secondary congondon of kulon, Secondary gancahan secondary kergan), RPPA
value less than 0.75 there are 5 channels (Secondary south sedayu, Secondary
sedayu barat, Secondary mushroom wetan, Secondary rewulu II , Secondary
conglomerate wetan)
By using analytical hierarchy process (AHP) we calculate the weight of
each criteria and alternatives, obtained priority scale of rehabilitation priority 1:
Rewulu II channel with value 0,23913; Priority 2: Wetan Mushroom Channel with
value 0,22157; Priority 3: Western Sedayu Channel with a value of 0.21969;
Priority 4: South Sedayu channel with a value of 0.19505; Priority 5: Wetan
Cerbonan with value 0,1775.
Keywords: AHP, Irrigation System Performance, Priority Scale.
1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesuai dengan UU No. 11 tahun 1974 Tentang Pengairan, bahwasannya
air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai manfaat serba
guna dan dibutuhkan manusia sepanjang masa, baik di bidang ekonomi, sosial
maupun budaya. Namun masalah yang dihadapi ialah ketidakseimbangan sumber
daya air antara kesediaan air (water available) yang cenderung menurun dan
kebutuhan air (water demand) yang semakin meningkat sehingga perlu dikelola
dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara
selaras agar sumber daya air dapat memberikan manfaat untuk kepentingan
rakyat. Pengelolaan sumber daya air diarahkan guna mewujudkan sinergi dan
keterpaduan yang harmonis antar wilayah, antar sektor, dan antar generasi.
Permasalahan yang dihadapi di lapangan adalah menurunnya kinerja
prasarana irigasi disebabkan faktor usia bangunan yang telah lama juga minimnya
3
biaya operasi pemeliharaan yang dibutuhkan mengakibatkan turunnya
kemampuan jaringan irigasi untuk mendistribusikan ketersediaan air ke areal
irigasi, terutama untuk daerah-daerah irigasi berskala besar (> 3000 Ha), seperti
Daerah Irigasi Mataram dengan luas 5.159 Ha dan saat ini daerah irigasi tersebut
telah menjadi kewenangan BBWS Serayu Opak.
Daerah Irigasi Mataram mempunyai bangunan penangkap air (intake)
berupa bendung dengan nama Bendung Karang Talun yang dibangun pada tahun
1970 dan direhabilitasi oleh Proyek Kali Progo tahun 1980 yang mengairi 30.000
ha. Secara umum kondisi fisik dari jaringan irigasi Mataram 25% kondisinya baik,
28% kondisinya rusak ringan, 32% kondisinya rusak sedang dan 15% kondisinya
rusak berat (DPU, 2015). Kerusakan yang terjadi disebabkan karena faktor usia
dari bangunan fisik tersebut, pembebanan yang bertambah karena juga untuk
saluran pembungan limbah rumah tangga, juga menjadi saluran drainase.
Berdasarkan hasil inventarisasi kondisi di lapangan jaringan irigasi
Mataram menunjukan adanya kerusakan badan saluran, sedimentasi dan bocornya
pintu pintu air. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas air
saluran dan menurunkan kinerja sistem operasi jaringan irigasi. Guna mengurangi
volume kehilangan air di saluran dan upaya meningkatkan kinerja sistem secara
keseluruhan, maka perlu dilakukan rehabilitasi pada lokasi lokasi kerusakan.
Sumber kerumitan masalah dalam pengambilan suatu keputusan tidak
hanya karena ketidakpastian atau ketidaksempurnaan informasi. Penyebab lain
dikarenakan adanya faktor yang berpengaruh terhadap pilihan pilihan yang telah
ada, beragamnya kriteria, pemilihan dan jika pengambilan keputusan melebihi
satu pilihan keputusan. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, metode AHP
tidak hanya digunakan untuk menentukan skala prioritas dari berbagai pilihan
dengan banyak alternatif kriteria, tetapi sudah meluas untuk menyelesaikan
berbagai masalah; seperti analisis biaya, memilih portofolio, peramalan dan lain
lain. AHP menawarkan dalam penyelesaian masalah dengan keputusan yang
melibatkan seluruh sumber kerumitan. Pada hakekatnya AHP adalah suatu teori
umum tentang pengukuran yang digunakan untuk menemukan skala rasio baik
4
dari perbandingan pasangan yang diskrit maupun yang kontinyu.AHP mempunyai
perhatian khusus tentang penyimpangan dari konsistensi, pengukuran juga pada
ketergantungan di dalam juga diantara kelompok elemen strukturnya.
Tindakan yang dilakukan Pemerintah, perusahaan besar, atau individu
sering kali berdampak macam macam pada berbagai sektor dalam kehidupan.
Yang kemudian menjadi pertanyaan apakah tindakan yang sudah diambil itu
sudah lebih baik dari tindakan yang lain. Kesulitan dalam menjawab pertanyaan
ini disebabkan karena pengaruh pengaruh itu terkadang saling bersinggungan,
yang artinya perbaikan pengaruh yang satu hanya dapat dicapai dengan
memperburuk faktor yang lain. Alasan ini menyulitkan kita dalam menentukan
ekuivalensi antar pengaruh. Berdasarkan hal ini, maka diperlukan suatu skala
yang luwes yang kita sebut skala prioritas, yaitu suatu ukuran abstrak yang
berlaku untuk semua skala. Penentuan prioritas dalam pengambilan keputusan
inilah yang akan dilakukan dengan menggunakan AHP (Mulyono, 1996)
Metode AHP yang dikembangkan oleh Thomas L Saaty, dapat digunakan
untuk memecahkan suatu masalah yang kompleks, dimana aspek atau kriteria
yang tersedia sangat banyak. Kompleksitas ini juga disebabkan oleh struktur
masalah yang belum jelas, ketidakpastian persepsi dalam menentukan suatu
keputusan serta belum tersedianya data statistik yang akurat atau bahkan tidak
ada. Ketika timbul suatu masalah dan harus diambil suatu keputusan secepat
mungkin untuk menyelesaiakannya, namun variasi tergolong rumit sehingga data
dari permasalahan tersebut tidak mungkin dapat diselesaiakan secara manual
ataupun dicacat secara numerik maka pengunaan metode AHP ini dapat menjadi
alternatif cara untuk pengambilan keputusan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan diatas, maka dapat kita rumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana penilaian kondisi debit atau faktor keseimbangan debit (RPPA)
saluran irigasi di D.I Mataram Yogyakarta.
5
2. Bagaimanakah skala prioritas untuk menjaga kinerja saluran irigasi di saluran
induk Mataram dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process
(AHP).
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan paparan di latar belakang, maka penelitian ini dilakukan
dengan tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui kondisi saluran irigasi di saluran induk Mataram.
2. Menentukan skala prioritas untuk menjaga kinerja saluran irigasi di saluran
induk Mataram dengan menggunakan metode Analitical Hierarchy Process
(AHP).
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan rekomendasi
Operasi dan Pemeliharaan untuk mengantisipasi penyebab penurunan kinerja
jaringan irigasi kepada BBWS Serayu Opak.
E. Batasan Penelitian
Penelitian ini perlu dibatasi agar tidak menyimpang dari rumusan masalah.
Batasan penelitian yang digunakan antara lain :
1. Lokasi penelitian secara administratif berada di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, seperti terlihat pada Gambar 1.1.
2. Data penelitian merupakan data sekunder dari instansi BBWS SerayuOpak.
3. Besarnya kehilangan air pada saluran pembawa diasumsikan sesuai dengan
tingkat kerusakan fungsi saluran.
4. Penilaian kondisi fisik dan fungsi jaringan irigasi dan pemberian bobot pada
komponen saluran memakai pedoman Subdit, Ditjen Air, Departemen
Pekerjaan Umum, 1999.
6
5. Penentuan skala prioritas perbaikan saluran irigasi berdasarkan pada kriteria
tingkat kerusakan, estimasi biaya, luas areal, panjang saluran primer
menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP).
Gambar 1.1 Lokasi Penelitian
F. Keaslian Penelitian
Atmaja,IT.,2008 menggunakan metode Analitical Hierarchy Process
(AHP) dalam penentuan skala prioritas rehabilitasi daerah irigasi Bapang, Sragen.
Dengan hasil berbagai alternatif rehabilitasi.
Anton Zamroni, Magister Pemeliharaan dan Rehabilitasi Infrastruktur,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. 2013, “ Skala Prioritas Pemeliharaan Dan
Rehabilitasi Jaringan Irigasi Sederhana (Studi Kasus Di Kabupaten Semarang)
dengan hasil menggunakan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) diperoleh
penilaian kinerja sistem jaringan irigasi di Kecamatan Susukan Kabupaten
Semarang sebesar 69,21% yang berarti Indeks kinerjanya kurang dan perlu
mendapat perhatian
Evaluasi Kinerja Daerah Irigasi Jragung Kabupaten Demak oleh Eka
Wulandari Srihadi Putri, Donny harisuseno dan Endang Purwati. Magister Teknik
Pengairan universitas Brawijaya Malang, 2014, dengan hasil berdasarkan metode
Analitical Hierarchy Process (AHP) prioritas utama rehabilitasi adalah bendung
Jragung.
7
Taryono, 2016 Magister Pemeliharaan dan Rehabilitasi Infrastruktur,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta. dalam Evaluasi Kinerja Infrastruktur
Jaringan Irigasi Daerah Irigasi Sarangan Kecamatan Wonoasri Kabupaten
Madiun dengan hasil penentuan prioritas rehabilitasi menggunakan metode
Analitical Hierarchy Process (AHP) dititik beratkan pada saluran pembawa pada
perbaikan profil saluran.
Mengukur Potensi Air Conflict: Prinsip dasar , Purwanti Sri Pudyastuti,
Jaji Abdurrosyid. 2012. Menurut beberapa penelitian dan laporan, ada beberapa
indikator penting yang dapat digunakan dalam mengukur potensi konflik air,
seperti Indeks Kerawanan Manusia (IHI), Indeks Tekanan Air (WSI), dan Indeks
Tekanan Air Sosial (SWSI).
Penelitian mengenai penyusunan skala prioritas untuk menjaga kinerja
saluran irigasi di Saluran Induk Mataram dengan menggunakan Analitical
Hierarchy Process (AHP) belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya
berdasarkan studi pustaka dan kajian berbagai laporan.
LANDASAN TEORI
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2006 Tentang Irigasi menyebutkan
bahwa irigasi diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat petani dan
menempatkan perkumpulan petani pemakai air (P3A) sebagai pengambil dan
pelaku utama dalam pengelolaan irigasi di wilayahnya.
Irigasi bermakna luas yaitu proses kegiatan memanfaatan jaringan irigasi
agar dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga terjadi keseimbangan antara
kebutuhan air dan ketersediaan air. Dalam arti sempit Operasi Irigasi merupakan
proses kegiatan pengaturan, pengambilan air dari sumber air, pengaliran air ke
jaringan irigasi dan pembagian air secara rasional ke areal tanah yang diairi secara
efektif, efisien, adil juga merata serta pembuangan kelebihan air ke saluran-
saluran pembuang.
8
A. Pemeliharaan Jaringan Irigasi
Pengertian Pemeliharaan Jaringan Irigasi menurut Peraturan Pemerintah No. 20
Tahun 2006 adalah upaya menjaga dan mengamankan jaringan irigasi supaya
selalu dapat berfungsi dengan baik untuk memperlancar pelaksanaan operasi dan
mempertahankan kelestariannya. Pemeliharaan yang benar adalah pengoperasian
sistem irigasi yang efisien. Pemeliharan yang buruk mengurangi usia kerja sistem.
Pemeliharaan sistem jaringan irigasi yang benar adalah :
1. Memastikan suatu sistem bekerja pada kondisi yang baik di setiap waktu,
2. Dapat menghasilkan penggunaan fasilitas sistem dengan pemeliharaan dan
penggantian yang tepat,
3. Memastikan umur kerja dari suatu sistem tanpa harus melakukan rehabilitasi
sebelum batas waktu yang telah ditentukan,
4. Melaksanakan program pemeliharaan dengan biaya rendah.
Pelaksanaan pekerjaan untuk pemeliharaan dibagi menjadi
pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala dan pemeliharaan darurat. Tugas
pemeliharaan rutin dilaksanakan oleh staf lapangan, dengan beberapa pekerjaan
membutuhkan penambahan tenaga terampil di bawah rencana swakelola.
Perawatan berkala dilaksanakan secara swakelola atau melalui kontrak kecil yang
diurus oleh Dinas Pengairan Kabupaten. Perbaikan darurat dapat dilaksanakan
oleh salah satu atau gabungan dari rencana di atas dengan bantuan dari petani dan
masyarakat tergantung dari kegawatan dan kegentingan pekerjaan perbaikan.
B. Analisis Neraca Air
Bertujuan untuk mengetahui gambaran global mengenai ketersediaan dan
kebutuhan air, dan pengaturan pemberian air yang wajar sesuai hasil perhitungan
neraca air tersebut. Saluran Induk Mataram merupakan daerah irigasi
interkoneksi, dimana sumber air dan areal irigasi layanannya tidak hanya satu,
maka metode perhitungan neraca dilakukan secara seksama dan sesuai standar
perencanaan irigasi. Adapun tahapannya meliputi :
9
1. Analisis Hidrologi
Kondisi hidrologi juga iklim di daerah irigasi berpengaruh pada pola
tanam budi daya yang diusahakan untuk mencapai peningkatan produksi dan
pendapatan petani. Data air di lahan persawahan seperti curah hujan, tinggi muka
air sungai, debit air dan kualitas air digunakan sebagai dasar dalam penetapan
perencanaan jaringan, bangunan bangunan pengatur dan pelengkap lain yang
dibutuhkan dalam kegiatan pengembangan irigasi.
2. Analisis Klimatologi
Metode ini dikembangkan berdasarkan hasil empiris yang merupakan
pendekatan konsep keseimbangan energi radiasi matahari. Selain itu, metode
tersebut menggunakan variabel suhu rerata bulanan, kelembaban relatif bulanan
rerata, kecerahan matahari bulanan, kecepatan angin bulanan rerata, letak lintang
daerah, dan angka koreksi (c) sesuai dengan bulan yang ditinjau.
Evapotranspirasi (ET) yang merupakan kombinasi antara evaporasi dan
transpirasi, adalah penguapan total baik dari permukaan air, daratan, maupun dari
tumbuh-tumbuhan. Banyak faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi ini antara
lain: suhu udara, kembaban udara, kecepatan angin, tekanan udara, sinar matahari,
ketinggian lokasi proyek, dan lain sebagainya. Umumnya besar kebutuhan air bagi
tanaman secara detail terbentur pada kesukaran untuk mendapatkan hasil
pengukuran yang teliti di lapangan.
H.L. Penman (1948) mengembangkan rumus empiris radiasi guna
perhitungan ET0 sebagai berikut :
Perhitungan untuk evapotransporasi potensial adalah sebagai berikut:
Data terukur yang diperlukan antara lain :
1. Suhu rerata bulanan (oC)
2. Kelembaban relatif bulanan rerata, RH (%)
3. Kecerahan matahari bulanan, n/N (%)
10
4. Kecepatan angin bulanan rerata U (m/s)
5. Letak lintang daerah
3. Koefisien Tanaman
Hubungan antara koefisien tanaman dan evapotranspirasi potensial
menentukan besarnya penggunaan air konsumtif (ETc) untuk tanaman tanaman.
Penggunaan air konsumtif merupakan kedalaman air yang dibutuhkan guna
memenuhi evapotranspirasi tanaman.
4. Kebutuhan Air
Kebutuhan air irigasi bisa ditentukan berdasarkan pada kebutuhan air
irigasi di daerah irigasi sekitarnya atau kebiasaan yang sudah berjalan selama ini
dengan mempertimbangkan karakteristik dan kondisi yang berbeda. Faktor–faktor
yang mempengaruhi kebutuhan irigasi adalah sebagai berikut :
1. Penyiapan lahan
2. Kebutuhan air untuk tanaman
3. Perkolasi dan rembesan
4. Penggantian lapisan air
5. Curah hujan efektif
1) Penyiapan lahan
Kebutuhan air untuk penyiapan lahan, umumnya mempunyai nilai yang
paling besar. Oleh karenanya, kebutuhan maksimum air irigasi pada suatu proyek
irigasi umumnya ditentukan berdasarkan kebutuhan air untuk penyiapan lahan.
Besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan ditentukan olah faktor-faktor
berikut ini, yaitu jangka waktu untuk penyiapan lahan dan jumlah air untuk
penjenuhan serta lapisan air. Dalam kegiatan ini jangka waktu untuk penyiapan
lahan diambil 1 bulan. Sedangkan jumlah air untuk penjenuhan dan lapisan air
11
untuk lahan yang tidak dibiarkan bera sebesar 250 mm (200 mm untuk
penjenuhan tanah dan 50 mm untuk penggenangan lapisan air awal setelah
transplantasi atau pemindahan bibit ke petak sawah selesai).
Besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan dihitung dengan rumus
yang dikembangkan oleh Van De Goor dan Zijlstra, seperti diperlihatkan pada
rumus:
2) Perkolasi dan rembesan
Laju perkolasi sangat tergantung pada jenis dan sifat tanah. Selanjutnya
digunakan standar kriteria “Pedoman Proyek Proyek Pengairan”. Perkolasi adalah
kehilangan air pada petak sawah baik yang meresap kesamping ke bawah
(vertikal) maupun yang meresap ke samping (horisontal). Besarnya perkolasi
dipengaruhi oleh sifat tanah dan kedalaman permukaan tanah terutama sifat fisik
tanah seperti clay, clayloam, loam, silty clay, & sebagainya. Struktur tanah lahan
sawah baru belum padat dan belum terbentuk lapisan yang jenuh air sehingga
kebutuhan air (lt/det/ha) masih tergantung pada jenis tanah dan aktifitas
pengelolaan. Harga perkolasi berkisar antara 1 – 6 mm/hari.
Penggantian air genangan diperlukan untuk pemberian pupuk pada tanaman yang
terjadi pengurangan air pada petak sawah sebelum pemberian pupuk. Besarnya
adalah 50 mm selama ½ bulan atau sebesar 3,33 mm /hari pada bulan 1 dan ke 2.
Sedangkan kebutuhan air untuk pembibitan dianggap sudah tercakup dalam
pengolahan tanah (areal untuk pembibitan sempit dan waktu bersamaan ± 30 hari.
3) Curah hujan efektif
Curah hujan efektif adalah curah hujan yang langsung mempengaruhi
pemberian air di sawah.
4).Ratio Pelaksanaan Pembagian Air (RPPA)
Menurut Suroso,dkk.2007 menyatakan bahwa Tingkat efisiensi jaringan
irigasi terutama pada jaringan irigasi primer dan sekunder adalah perbandingan
antara debit realisasi dan debit rencana. Menjadi konsep kinerja jaringan irigasi
adalah membandingkan debit air nyata yang dikirim ke pintu dan debit air rencana
12
yang dihitung untuk periode irigasi yang dimaksud. Hal ini merupakan
pendekatan yang cepat dan sederhana dan dapat dilaksanakan di mana saja pada
suatu sistem dimana terdapat pintu dan bangunan pengukur lainnya. Lebih cepat
lagi dengan mengisi papan eksploitasi yang memperlihatkan perbandingan kedua
data tersebut. Perbandingan yang tepat dapat dibuat jika papan eksploitasi
dilaksanakan semestinya. Perbandingan antara 2 debit air dihasilkan dengan
menghitung Ratio Pelaksanaan Pembagian Air (RPPA), yang dirumuskan :
Dari angka-angka RPPA dapat disimpulkan apakah jaringan, sub jaringan
atau sadap tersier dioperasikan dengan benar. Nilai RPPA yang lebih besar dari
satu akan menunjukkan kelebihan air. Sebaliknya dengan RPPA kurang dari satu,
tanaman menerima air kurang dari yang direncanakan.
Suroso dkk, 2007 menyebutkan bahwa Ketersediaan air irigasi di
bangunan pengambilan air adalah air yang tersedia di suatu bangunan
pengambilan yang dapat digunakan untuk mengairi lahan pertanian melalui sistem
irigasi.
Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi pada Pola Tata Tanam
Dalam menentukan kebutuhan air irigasi tanaman, dilakukan perhitungan
kebutuhan yang berdasarkan pola tata tanam yang dipengaruhi oleh faktor seperti
evapotranspirasi potensial, perkolasi, penyiapan lahan, pergantian lapisan air dan
efisiensi irigasi. Di lokasi studi DI Karangtalun, tanaman yang diterapkan pada DI
tersebut adalah padi, palawija dan tebu. Tabel 4.19 Luas tanam eksisting pada
setiap musim tanam di DI Karangtalun
Tahapan perhitungan debit dengan menggunakan metode KP PU adalah seperti
berikut:
1. Menggambarkan pola tata tanam sesuai dengan jenis tanaman, durasi
penyiapan lahan, durasi sesuai usia tanaman dan durasi WLR untuk tanaman
padi.
2. Menentukan koefisien tanaman sesuai dengan gambar pola tata tanam dan
usia tanaman.
13
3. Memasukkan nilai evapotranspirasi potensial ETo
4. Mengitung penggunaan air konsumtif (PAK) dengan mengalikan nilai
koefisien masing-masing tanaman dengan nilai evapotranspirasi potensial,
untuk tanaman :
PAK = Koefisien x ETo mm/hari
5. Menentukan rasio luas tanam
6. Menghitung kebutuhan air tanaman dengan mengalikan nilai PAK dengan
rasio luas tanam:
7. Memasukkan nilai perkolasi
8. Menentukan nilai rasio luas perkolasi sesuai dengan gambar pola tata tanam
untuk tanaman
9. Menghitung nilai perkolasi dengan rasio luas perkolasi:
= Perkolasi x Rasio luas perkolasi mm/hari
10. Memasukkan nilai kebutuhan air untuk penyiapan lahan (LP)
11. Menentukan rasio luas LP sesuai dengan gambar pola tata tanam
12. Menghitung nilai LP dengan rasio luas LP:
= LP x rasio luas LP
13. Pergantian lapisan air (WLR)
14. Menentukan rasio luas WLR berdasarkan gambar pola tata tanam
15. Menghitung nilai WLR dengan rasio luas WLR:
= WLR x Rasio luas WLR
16. Menghitung kebutuhan bruto air tanaman
17. Memasukkan nilai curah hujan efektif
14
18. Menghitung kebutuhan neto air tanaman (netto farm requirement atau NFR)
dengan mengurangkan nilai kebutuhan bruto tanaman dengan nilai curah
hujan efektif.
19. Selanjutnya, nilai hasil perhitungan NFR dikonversi dari mm/hari ke l/dt/ha
20. Menghitung nilai efisiensi saluran irigasi untuk saluran primer, sekunder
dan tersier dimana masing-masing adalah sebesar 90% dan 80%:
21. Menghitung nilai kebutuhan neto air irigasi (demand requirement atau DR)
per satuan luas
22. DR per satuan luas = (NFR)/(Efisiensi saluran irigasi)
23. Berdasarkan hasil perhitungan DR diperoleh nilai DR persatuan luas
C. Analitical Hierarchy Process (AHP)
Metode AHP berperan dalam menstrukturkan kriteria-kriteria yang ada
untuk suatu masalah pengambilan keputusan dengan banyak kriteria. Pengambil
keputusan perlu menentukan tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang ada
dengan membandingkan semua kombinasi kriteria yang mungkin. Selanjutnya
disusun suatu matriks hubungan relatif nilai kepentingan dari kriteria-kriteria yang
ada. Urutan prioritas/ranking dari kriteria dapat disusun dengan mencari eigen
vektor matriks tersebut.
Dewi, E.M. dan Heru,P.H.P.(2015) menggunakan AHP untuk
memecahkan suatu permasalahan dikarenakan metode AHP:
1. Struktur yang berhirarki
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi berbagai alternatif
dan kriteria yang dipilih
3. Mengunakan perhitungan daya tahan output analisis sensitivitas
Struktur formulasi masalah dalam AHP dapat dilihat sepertiGambar 2.1.
15
Tiap alternatif diuji konsekuensi-konsekuensi (outcomes) yang
ditimbulkan, kemudian dinilai dengan masing-masing kriteria sesuai dengan Tabel
2.10. Sehingga tiap alternatif mempunyai nilai untuk semua kriteria. Selanjutnya
nilai tersebut dikalikan dengan bobot kriteria dari hasil analisis eigen vektor
matriks hubungan relatif nilai kepentingan di atas. Jumlah nilai setelah perkalian
ini adalah nilai akhir alternatif tindakan. Pengambil keputusan selanjutnya
memilih alternatif tindakan yang paling tinggi nilainya.
Saaty (2008) menggunakan skala kuantitatif 1 sampai 9 sebagai penilaian
perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen terhadap yang lain.
Tabel 2.10 Skala Banding Secara Berpasangan
INTENSITAS
PENTINGNYA DEFINISI PENJELASAN
1 Kedua elemen sama pentingnya. Dua elemen menyumbangnya
sama besar pada sifat itu.
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting ketimbang yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan
sedikit menyokong satu elemen
atas yang lainnya.
5 Elemen yang satu esensial atau
sangat penting ketimbang
elemen yang lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan
dengan kuat menyokong satu
elemen atas elemen yang
lainnya.
7 Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen yang lainnya.
Satu elemen dengan kuat
disokong dan dominannya telah
terlihat dalam praktek.
9 Satu elemen mutlak lebih
penting ketimbang elemen yang
lainnya.
Bukti yang menyokong elemen
yang satu atas yang lain
memiliki tingkat penegasan
tertinggi yang mungkin
menguatkan.
2,4,6,8 Nilai – nilai diantara dua
pertimbangan yang berdekatan.
Kompromi diperlukan antara
dua pertimbangan.
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i.
Sumber : Saaty, 1993
16
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan
dengan i.
Prosedur Analitical Hierarchy Process (AHP) dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Menyusun struktur kriteria-kriteria yang ada untuk suatu masalah
pengambilan keputusan.
2. Menentukan tingkat kepentingan antara kriteria-kriteria yang ada dengan
membandingkan semua kombinasi kriteria yang mungkin.
3. Menyusun matriks hubungan relatif nilai kepentingan dari kriteria-kriteria
yang ada.
4. Selanjutnya urutan prioritas/ranking dari kriteria dapat disusun dengan
mencari eigen vektor matriks tersebut.
5. Tiap alternatif diuji konsekuensi-konsekuensi (outcomes) yang ditimbulkan
kemudian dinilai dengan masing-masing kriteria, sehingga tiap alternatif
mempunyai nilai untuk semua kriteria.
6. Selanjutnya nilai tersebut dikalikan dengan bobot kriteria tersebut dari hasil
analisis eigen vektor matriks hubungan relatif nilai kepentingan di atas.
Jumlah nilai setelah perkalian ini adalah nilai akhir alternatif tindakan
tersebut.
7. Pengambil keputusan selanjutnya memilih alternatif tindakan yang paling
tinggi nilainya
2. METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
1. Saluran Induk Mataram merupakan saluran primer yang berfungsi
memenuhi kebutuhan air irigasi di beberapa wilayah di Propinsi D.I.
Yogyakarta, meliputi Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan
Kabupaten Bantul. Saluran ini mengambil air dari Sungai Progo di
17
Bendung Karangtalun dan berakhir di daerah Kalasan di Sungai Opak,
dengan debit rencana 21,5 m3/dt. Saluran ini direncanakan mampu
mengairi 33.000 Ha persawahan di sebelah selatan saluran.
Keberadaan Saluran Induk Mataram yang berfungsi sebagai saluran
irigasi menjadi semakin terancam dengan bertambahnya fungsi saluran
menjadi sarana saluran drainase dan sarana pembuangan sampah. Di
samping itu pada saat ini di beberapa bagian sarana Saluran Induk
Mataram juga telah mengalami kerusakan. Kesadaran masyarakat
untuk ikut memelihara kelanjutan fungsi Saluran Induk Mataram juga
perlu ditingkatkan dengan adanya fenomena pembuangan limbah
rumah tangga ke saluran sehingga mengalami penurunan produktivitas.
2. Saluran Induk Mataram sebagai sarana dan prasarana sumberdaya air
khususnya irigasi, telah beberapa kali direhab sehingga nilai manfaat
air irigasi yang optimal dapat diperoleh melalui operasi dan
pemeliharaan. Operasi dan pemeliharaan irigasi pada dasarnya
meliputi pengaturan, pelaksanaan, dan evaluasi beroperasinya
prasarana irigasi dan pemeliharaannya untuk menjamin kelestarian
sistem irigasi. Ketiadaan O & P dapat mengakibatkan degradasi
prasarana dan sarana sumberdaya air sehingga memperbesar kebutuhan
biaya untuk kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi.
3. Daerah irigasi Mataram memiliki luas areal 5.159 Ha. Sumber air
berasal dari penyadapan Sungai Progo melalui Bendung Karang Talun
yang terletak di Desa Karang Talun, Kecamatan Ngluwar, Kabupaten
Magelang. Areal pertanian mendapat pasokan air irigasi dari Saluran
Induk Mataram maupun melalui bendung pada sungai yang disuplesi
dari Saluran Induk Mataram.
18
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Daerah Irigasi Mataram
4. Daerah irigasi ini memiliki 3 (tiga) pengamatan yaitu :
1. Pengamatan Pucang Anom yang mengelola jaringan irigasi D. I.
Van Der Wicjk
2. Pengamatan Mataram I
3. Pengamatan Mataram II
5. Bangunan utama Bendung Karang Talun merupakan bendung tetap
dengan konstruksi beton bertulang. Bendung Karang Talun memiliki 4
(empat) buah pintu intake yang dioperasikan secara mekanis.
6. Saluran Induk D. I. Mataram hanya berupa satu Saluran Induk
Mataram mulai dari intake di Sungai Progo sampai ke Sungai Opak.
Sepanjang saluran tersebut memberikan air ke petak-petak sawah
melalui bangunan sadap dan mensuplai debit kali yang dilintasinya
agar dapat di bendung untuk daerah irigasi di hilirnya.
7. Berdasarkan kewenangan pengelolaannya maka Saluran Induk
Mataram terbagi 4 (empat) bagian yaitu :
1. Dari Bendung Mataram sampai bendung bagi KT4 / B1 atau
BVW0 (bangunan bagi menuju Saluran Van Der Wicjk) dan dari
KT4 / B1 sampai MA 22 masuk dalam kewenangan Pengamatan
Mataram I
2. Dari BVW0 ke arah hilir termasuk D. I. Van Der Wicjk masuk
dalam Pengamatan Pucang Anom
19
3. Dari MA 22 sampai BM 40 masuk dalam kewenangan Pengamatan
Mataram II
Kondisi Eksisting
1. Daerah Irigasi Mataram mempunyai bangunan penangkap air (intake) berupa
bendung dengan nama Bendung Karang Talun yang dibangun pada tahun
1970 dan direhabilitasi oleh Proyek Kali Progo tahun 1980 yang mengairi
30.000 ha. Secara umum kondisi Bendung Karang Talun masih baik dan
berfungsi dengan normal.
2. Pintu pengambilan (intake) di Bendung Karang Talun berjumlah 4 buah
dengan saluran pengarah di masing-masing pintunya, yang bisa dioperasikan
baik manual maupun elektrik.
3. Daerah Irigasi Mataram mempunyai saluran induk Karang Talun yang
memanjang dari Intake Bendung Karang Talun kemudian terpecah menjadi 2,
yaitu yang lurus ke arah Saluran Induk Mataram dan yang berbelok ke kanan
menjadi Saluran Induk Van Der Wijck.
4. Sesuai dengan skema Jaringan Irigasi yang ada di DI. Mataram, terdapat
beberapa bangunan bagi yang membagi aliran air di DI. Mataram menjadi 2
(dua) saluran induk yaitu Saluran Induk Mataram dan Saluran Induk Van Der
Wijck. Di Saluran Induk Van Der Wijck terdapat 14 (empat belas) bangunan
bagi yang mengalirkan air dari Saluran Induk Van Der Wijck ke-14 (empat
belas) saluran sekunder. Bangunan bagi yang terdapat di kedua saluran induk
itu adalah :
1. Saluran Induk Mataram :
a. Bangunan Bagi Saluran Sekunder Cibuk
2. Saluran Induk Van Der Wijck :
a.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sendang Pitu
b.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sedayu Rewulu
c.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sedayu Barat
d.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Sedayu Selatan
e.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Jamur Wetan
20
f.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Jamur Kulon
g.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Cerbonan Wetan
h.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Cerbonan Kulon
i.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Kergan
j.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Rewulu I
k.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Rewulu II
l.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Gancahan
m.Bangunan Bagi Saluran Sekunder Brongkol
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4. 1 Data klimatologi rerata dari tahun 2006 s.d. 2015
Sumber: BMKG Stasiun Klimatologi Tegal
21
Tabel 4.2 Hubungan antara temperatur (T), tekanan uap jenuh (es), nilai w dan nilai f(t)
Tabel 4.3 Nilai radiasi gelombang pendek (Ra) sesuai dengan letak lintang
22
Tabel 4.4 Nilai angka koefisien bulanan (c)
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember