JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print) 1 Abstrak— Antisipasi ancaman kebakaran hutan yang terjadi sejauh ini dapat di prediksi dengan beragam pendekatan salah satunya adalah dengan melihat hubungan kemunculan hotspot dengan beberapa data pendukung lainnya seperti indeks kekeringan atau indeks vegetasi. Dilihat dari analisa spasial kemunculan hotspot dari satelit NOAA-18/AVHRR dengan metode clustering, di Provinsi Riau intensitas kemunculan hotspot rata-rata sangat rendah dalam satu grid. Hal ini berpengaruh pada analisa hubungan dengan data lainnya sehingga dibutuhkan data hotspot dari satelit lain yang resolusinya lebih tinggi. Selanjutnya perhitungan hubungan antara hotspot dengan indeks kekeringan secara spasial memiliki variasi keragaman yang baik pada bulan Juli dan September 2014 tetapi rendah pada bulan Agustus 2014 hal ini disebabkan persebaran dan pola kemunculan hotspot paling besar hanya 4 kali dalam satu grid serta pengaruhnya terhadap cuaca dan nilai kekeringan saat itu. Sedangkan jika dilihat secara temporal pola hubungan hotspot dan kekeringan memiliki hubungan yang erat. Berbeda dengan indeks vegetasi tidak memiliki hubungan yang erat secara spasial terhadap intensitas kemunculan hotspot karena indeks vegetasi lebih tepatnya untuk analisa kawasan bekas kebakaran hutan ataupun sebelum kebakaran hutan. Perbedaan hasil dari regresi secara spasial dan secara temporal ini diperlukan perhitungan statistika yang lebih akurat selain menggunakan regresi linier sederhana. Hasil dari dua data perbandingan ini menghasilkan peta zona rawan kebakaran hutan yang didapat dari analisa hubungan indeks kekeringan dengan hotspot. Kata Kunci— Clustering, Hotspot, Indeks Kekeringan, Indeks Vegetasi, I. PENDAHULUAN EJAK bulan Februari hingga Maret 2014, sebuah sistem online baru yang mencatat perubahan tutupan lahan dan kebakaran hutan, Global Forest Watch mendeteksi sekitar 3.101 peringatan titik api muncul di Pulau Sumatera. Mayoritas kebakaran terjadi di Provinsi Riau sebanyak 87 persen dari peringatan titik api hal ini dikarenakan kawasan Provinsi Riau banyak dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Hal ini menunjukkan bencana kebakaran hutan di Provinsi Riau sering tidak terkendali karena kurangnya pengawasan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyarakat sekitar [1] Provinsi Riau merupakan salah satu Provinsi yang memiliki kawasan dengan titik hotspot paling tinggi sehingga daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap kebakaran dan di daerah tersebut sebaiknya tidak dilakukan kegiatan pembakaran. [2] Oleh karena itu dibutuhkan sebuah informasi kawasan-kawasan yang tidak boleh dilakukan pembakaran secara disengaja karena akan berakibat fatal jika dibiarkan. Untuk mempermudah pengambilan keputusan antisipasi bencana dapat dilakukan dengan bantuan teknologi salah satunya yaitu dengan data hotspot dari NOAA dan melihat kerapaan vegetasi dengan menggunakan citra Landsat 8. Hotspot juga bisa diartikan wilayah yang memiliki suhu tertinggi dibandingkan daerah lain. Meski disebut titik panas, tidak seluruh hotspot adalah actual fire (api sebenarnya) di lapangan. Jumlah titik panas dapat juga digunakan sebagai dasar untuk memastikan luas kebakaran di lapangan [3] Pengolahan data hotspot yang diperoleh dari data citra satelit NOAA-18/AVHRR yang bersumber dari ASMC (ASEAN Specialized Meteorogical Centre) yaitu pusat meteorologi khusus ASEAN yang memberikan data koordinat (lintang dan bujur) hotspot di Indonesia sebagai peringatan titik api agar lebih waspada akan bencana kebakaran hutan. Data yang diberikan ASMC ini adalah data titik panas atau hotspot yang belum membuktikan adanya kebakaran hutan, sedangkan di Indonesia sendiri membutuhkan kevalidasian data hotspot apakah benar-benar adanya titik api penyebab kebakaran hutan dan lahan. Banyaknya hotspot yang ditangkap oleh satelit memiliki keterkaitan dengan faktor-faktor lain, oleh karena itu dilakukan analisa spasial dengan metode Clustering dan tentunya data hotspot ini memerlukan komponen-komponen lain yang mendukung seperti kekeringan lahan dan nilai indeks vegetasi. Perhitungan kekeringan lahan menggunakan metode KBDI (Keetch Byram Drought Index) dan perhitungan indeks vegetasi menggunakan metode SAVI (Soil Adjusted Vegetation Index). Dari keterkaitan antara munculnya hotspot dengan nilai kekeringan dan indeks vegetasi yang terjadi dapat ditentukan faktor yang berpengaruh sehingga didapat zona atau kawasan yang rawan terjadinya kebakaran. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian Tugas Akhir ini mengambil daerah studi di Provinsi Riau. Secara geografis tertetak pada koordinat antara 1° 15’ Lintang Selatan sampai 4° 45’ Lintang Utara atau antara 100° 3’ - 109° 19’ Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi Riau adalah 107.932,71 kilometer persegi dengan luas daratan 89.150,15 kilometer persegi dan luas lautan 18.782,56 kilometer persegi. Keberadaannya membentang dari lereng Analisa Penentuan Zona Rawan Kebakaran Hutan Berdasarkan Indeks Kekeringan KBDI dan Indeks Vegetasi SAVI (Studi Kasus : Provinsi Riau) T. Alfira Devy 1 , dan Bangun Mulyo Sukojo 1 , Awaluddin 2 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, 60111, Indonesia 2 Badan Pusat Penelitian Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Indonesia e-mail: 1 [email protected], 2 [email protected]S
penentuan zona rawan kebakaran hutan remote sensing dan gis teknik geomatika
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.