www.futurumcorfinan.com Page 1 Penentuan Tarif yang Wajar dalam Transfer Pricing Pendahuluan Pada tanggal 6 September 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (selanjutnya disebut sebagai PER-43). Dalam bab ini akan dibahas khusus mengenai Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transfer Pricing yang terkait tarif atas penggunaan hak kekayaan intelektual dan/atau aktiva tak berwujud lainnya. Tarif atas penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau pemanfaatan barang tidak berwujud lainnya Tarif di sini dapat dibagi menjadi dua kelompok: Royalti, umumnya terkait dengan imbalan atas penggunaan hak kekayaan Sukarnen DILARANG MENG-COPY, MENYALIN, ATAU MENDISTRIBUSIKAN SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS DARI PENULIS Untuk pertanyaan atau komentar bisa diposting melalui website www.futurumcorfinan.com
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
www.futurumcorfinan.com
Page 1
Penentuan Tarif yang Wajar
dalam Transfer Pricing
Pendahuluan
Pada tanggal 6 September 2010, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa (selanjutnya disebut sebagai PER-43).
Dalam bab ini akan dibahas khusus mengenai Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transfer Pricing yang terkait tarif atas penggunaan hak kekayaan
intelektual dan/atau aktiva tak berwujud lainnya.
Tarif atas penggunaan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) atau pemanfaatan barang
tidak berwujud lainnya
Tarif di sini dapat dibagi menjadi dua kelompok:
Royalti, umumnya terkait dengan imbalan atas penggunaan hak kekayaan
Sukarnen
DILARANG MENG-COPY, MENYALIN,
ATAU MENDISTRIBUSIKAN
SEBAGIAN ATAU SELURUH TULISAN
INI TANPA PERSETUJUAN TERTULIS
DARI PENULIS
Untuk pertanyaan atau komentar bisa
diposting melalui website
www.futurumcorfinan.com
www.futurumcorfinan.com
Page 2
intelektual.
Non-royalti, misalnya licensing fee dan franchise fee atau bentuk rental rights
tertentu atau bentuk fee lainnya yang pada intinya merupakan pembayaran atas
suatu penggunaan hak di luar kategori hak kekayaan intelektual
Definisi Royalti menurut OECD Model, UN Model dan US Model adalah sebagai berikut:
2005 OECD Model, Art. 12(2)
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a
consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific
work including cinematograph films, any patent, trade mark, design or model, plan, secret
formula or process, or for information concerning industrial, commercial or scientific
experience.
Definisi royalti dalam OECD Model Art. 12(2) dapat dibagi menjadi dua kelompok:
1. Consideration received for the use of, or the right to use:
– any copyright of literary, artistic or scientific work including cinematograph
films;
– any patent, trade mark, design or model, plan, secret formula or process; or
2. Consideration received for information concerning industrial, commercial
or scientific experience.
1981 UN Model/2001 UN Model, Art. 12(3)
The term “royalties” as used in this Article means payments of any kind received as a
consideration for the use of, or the right to use, any copyright of literary, artistic or scientific
work including cinematograph films, or films or tapes used for radio or television
broadcasting, any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or
for the use of, or the right to use, industrial, commercial or scientific equipment or for
information concerning industrial, commercial or scientific experience.
2006 US Model, Art. 12(2)
The term “royalties” as used in this Article means:
www.futurumcorfinan.com
Page 3
a) payments of any kind received as a consideration for the use of, or the right to use,
any copyright of literary, artistic, scientific or other work (including cinematographic
films), any patent, trademark, design or model, plan, secret formula or process, or
for information concerning industrial, commercial or scientific experience; and
b) gain derived from the alienation of any property described in subparagraph a), to the
extent that such gain is contingent on the productivity, use, or disposition of the
property.
Kalau dapat dirangkumkan, royalti diartikan sebagai:
Segala jenis pembayaran yang diterima atas penggunaan, hak penggunaan, setiap karya
tulisan, kesusasteraan atau karya ilmiah termasuk film-film bioskop dan film-film atau
rekaman untuk siaran radio atau televisi, setiap hak paten, merek dagang, disain atau
model, rencana, rumus atau cara pengolahan, atau penggunaan, atau cara
menggunakan, peralatan industri, alat-alat perdagangan atau pengetahuan, atau untuk
informasi mengenai pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.
Walaupun maksud dari pembayaran royalti atau pembayaran fee lainnya di atas tidak
disebutkan secara eksplisit, akan tetapi, mengingat konteks pembayaran adalah pada
umumnya didapatkan dalam dunia bisnis, maka dapat disimpulkan bahwa ada motif profit-
www.futurumcorfinan.com
Page 4
seeking dalam pembayaran tersebut.
Bisnis dalam International Financial Reporting Standards 3, didefinisikan sebagai:
An integrated set of activities and assets conducted and managed for the purpose of
providing:
a) A return to investors; or
b) Lower costs or other economic benefits directly and proportionately to
policyholders or participants.
A business generally consists of inputs, processes applied to those inputs, and resulting
outputs that are, or will be, used to generate revenues.1
Tentunya beralasan apabila mengkaitkan antara pembayaran royalti atau bentuk fee
lainnya, dengan pemberian imbalan (atau imbal jasa – rate of returns) kepada pihak lain
sehubungan dengan penggunaan hak kekayaan intelektual properti atau hak penggunaan
benda tak berwujud.
HAKI atau benda tak berwujud sendiri digunakan sebagai input dalam proses bisnis untuk
menghasilkan pendapatan (revenue). Pihak yang membayarkan royalti atau fee tersebut,
tentunya bukan hanya semata-mata sekumpulan aset dan kewajiban (collections of assets
and liabilities). Secara normal, tentunya, pihak tersebut menjalankan suatu kegiatan bisnis
yang berkelanjutan, dengan pendapatan yang dapat diidentifikasi (identifiable revenue),
yang berarti, aset dan kewajiban entitas tersebut berinteraksi satu sama lain, termasuk
penggunaan HAKI atau harta berwujud lainnya sebagai input yang relatif penting, dan
orang-orang yang mengoperasikan input tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembayaran royalti atau fee tersebut dalam
konteks bisnis, dimaksudkan untuk memperoleh pendapatan yang dapat diidentifikasi,
yang berarti :
Ada manfaat ekonomis yang terkait dengan transaksi tersebut akan mengalir
kepada entitas tersebut
Jumlah pendapatan yang teridentifikasi tersebut dapat diukur secara andal
1 International Financial Reporting Standards, International Accounting Standards Committee
Foundation, 2010, London, UK.
www.futurumcorfinan.com
Page 5
Tentunya tidak mengherankan apabila dalam praktik bisnis, pembayaran royalti atau fee
tertentu lainnya, mengambil bentuk-bentuk sebagai berikut:
1. Tarif royalti sebagai persentase dari pendapatan bersih (net sales)
2. Tarif royalti sebagai persentase dari laba kotor (gross margin)
3. Tarif royalti sebagai persentase dari laba operasional (income from operations)
atau bentuk lainnya, seperti EBITDA
4. Jumlah royalti per jumlah unit yang terjual
5. Jumlah royalti per jumlah unit yang diproduksi
6. Suatu jumlah tertentu yang tetap (lump-sum), yang dapat pula dikombinasi dengan
jumlah yang dikaitkan dengan ukuran lain.
7. Tarif royalti yang berbeda-beda untuk tingkat penjualan yang berbeda
8. Tarif royalti yang berbeda untuk wilayah penjualan yang berbeda atau tahun
produksi yang berbeda atau jenis produk yang berbeda
9. Tarif royalti yang ditentukan minimum dan maksimumnya
Bahkan ahli penilaian untuk HAKI dan aktiva tidak berwujud, mengkaitkan secara
langsung bahwa nilai dari (penggunaan) HAKI dan aktiva tidak berwujud lainnya dengan
imbal hasil atas investasi (return on investment).
But, in the main and in the long-run, businesspeople base those decisions on a careful
(and correct) evaluation of the potential for earning a return on investment. Dollars are
not committed for idle amusement. They are planted in order to grow – businesspeople
are simply farmers with their own unique seeds and implements, trying to employ the
classic agents of production in their own way.2 (kalimat ditebalkan untuk keperluan
penekanan)
(terjemahan bebas : Akan tetapi, terutama dan dalam jangka panjang, pelaku bisnis
mendasarkan keputusan-keputusan mereka pada evaluasi yang hati-hati (dan benar) atas
kemungkinan untuk memperoleh imbal hasil atas investasi. Dolar tidak diinvestasikan
untuk kesenangan semata-mata. Investasi ditanamkan supaya bertumbuh – pelaku bisnis
2 Gordon V. Smith, Russell L. Parr, Valuation of Intellectual Property and Intangible Assets, third
edition, 2000, John Wiley & Sons, USA, halaman X.
www.futurumcorfinan.com
Page 6
adalah semata-mata petani dengan benih mereka yang unik dan berusaha menjalankan
agen produksi yang klasik dengan cara mereka sendiri.)
Tarif yang Wajar dalam Transfer Pricing
Sesudah diketahui bahwa tarif royalti dan non-royalti terkait dengan imbal hasil atas
investasi, tentunya, sekarang dihadapkan kepada pertanyaan : bagaimana menentukan
tarif yang wajar dalam konteks Transfer Pricing?
Konteks Transfer Pricing ini di sini tentunya dapat diartikan apakah transaksi pembayaran
royalti atau fee non-royalti tersebut dilakukan antara pihak-pihak:
1) yang kedua-duanya berada dalam jurisdiksi perpajakan yang sama. Sebagai
contoh, pembayaran royalti atas penggunaan HAKI dari PT A kepada PT B, di
mana baik PT A dan PT B merupakan perusahaan yang didirikan dan
berkedudukan di Indonesia. Atau,
2) yang tidak didirikan atau berkedudukan di Negara yang sama, atau dengan kata
lain, berada dalam jurisdiksi perpajakan yang berbeda. Sebagai contoh,
pembayaran royalti yang dilakukan oleh PT A (yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia) kepada principal-nya di Negara Jepang.
Namun menilik kepada bagian “Menimbang” dalam PER-43, dapat diketahui bahwa
ketentuan PER-43, lebih mengarah kepada point ke-2 di atas, dimana transaksi
pembayaran royalti atau fee non-royalti adalah antara pihak-pihak yang tidak berada pada
jurisdiksi perpajakan yang sama (transaksi lintas negara - cross-border transaction).3
Esensi dari permasalahan pembayaran royalti untuk transaksi lintas negara, adalah
adanya fakta bahwa pembayaran lintas jurisdiksi perpajakan tersebut, untuk penggunaan
HAKI atau pemanfaatan Barang Tidak Berwujud Lainnya (atau Barang Tidak Berwujud),
adalah pembayaran royalti atau fee non-royalti tersebut adalah merupakan :
pengurang penghasilan kena pajak bagi pihak pembayar.
penambah penghasilan kena pajak bagi pihak yang menerima pembayaran
3 Hal ini diperkuat dalam Pasal 22 dan 23 dari PER-43, dimana diatur mengenai permohonan
Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) dan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement), hal mana lebih umum didapatkan dalam literatur-literatur yang membicarakan transaksi-transaksi lintas negara.
www.futurumcorfinan.com
Page 7
Pada saat baik pihak pembayar maupun pihak yang menerima pembayaran royalti atau
fee non-royalti adalah merupakan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa,
otoritas perpajakan masing-masing negara (terutama otoritas perpajakan dari negara
pihak pembayar) dapat dimengerti akan memberikan perhatian lebih untuk memastikan
apakah:
Jumlah pembayaran royalti atau fee non-royalti merupakan fungsi dari hanya
pengelakan perpajakan (tax avoidance) atau dengan kata lain, tidak didasarkan
kepada realitas bisnis (business reality) atau transaksi yang memiliki substansi
komersial (transaction without commercial substance).
Suatu transaksi disebutkan memiliki substansi komersial adalah apabila arus kas di masa
mendatang diharapkan akan berubah secara signifikan sebagai akibat adanya transaksi
tersebut4.
Tampaknya, pihak otoritas perpajakan berusaha menyederhanakan hal di atas menjadi
penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Tentunya, yang menjadi pertanyaan utama Wajib Pajak pada umumnya (asumsi : Wajib
Pajak sebagai pembayar royalti ke luar negeri yang merupakan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa), adalah :
apakah yang dimaksud dengan tarif royalti atau fee non-royalti yang dianggap
memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha?
Dari PER-43, diperoleh petunjuk sebagai berikut:
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (arm's length principle/ALP) merupakan prinsip
yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam
rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding. (Pasal 1 point 6).
4 International Accounting Standards No. 16, Property, Plant and Equipment, International
4. The licensor’s established policy and marketing program to maintain a patent
monopoly by not licensing others to use the invention or by granting licenses
under special conditions designed to preserve that monopoly.
5. The commercial relationship between the licensor and licensee, such as
whether they are competitors in the same territory in the same line of business,
or whether they are inventor and promoter.
6. The effect of selling the patented specialty in promoting sales of other products
of the licensee, the existing value of the invention to the licensor as a generator
of sales of non-patented items, and the extent of such derivative or convoyed
sales.
7. The duration of the patent and the term of the license.
8. The established profitability of the product made under the patent, its
commercial success, and its current popularity.
9. The utility and advantages of the patent property over the old modes or devices,
if any, that had been used for working out similar results.
10. The nature of the patented invention, the character of the commercial
embodiment of it as owned and produced by the licensor, and the benefits to
those who have used the invention.
11. The extent to which the infringer has made use of the invention and any
evidence probative of the value of that use.
12. The portion of the profit or of the selling price that may be customary in the
particular business or in comparable businesses to allow for the use of the
invention or analogous inventions.
13. The portion of the realizable profit that should be credited to the invention as
distinguished from non-patented elements, the manufacturing process, business
risks, or significant features or improvements added by the infringer.
14. The opinion testimony of qualified experts.
15. The amount that a licensor (such as the patentee) and a licensee (such as the
infringer) would have agreed upon (at the time the infringement began) if both
had been reasonably and voluntarily trying to reach an agreement, that is, the
amount obtain a license to manufacture and sell a particular article embodying
the patented invention—would have been willing to pay as a royalty and yet be
able to make a reasonable profit and which amount would have been
acceptable by a prudent patentee who was willing to grant a license.
www.futurumcorfinan.com
Page 19
Dari bacaan atas 15 faktor-faktor di atas, pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 5
kelompok, sebagai berikut13:
1. Market Comparable royalties – Nomor 1 dan 2
2. Licensor’s Policies/Potential Terms – Nomor 3, 4, 5 dan 7
3. Technology – Nomor 9 dan 10
4. Profitability and Other Financial Metrics – Nomor 6, 8, 11, 12, 13, 14
5. Hypothetical Negotiation – Nomor 15
Tampaknya, ukuran berupa profitabilitas dan metrik keuangan lainnya mendominasi
faktor-faktor yang menentukan tarif royalti yang dianggap wajar.
Penentuan Tarif Royalti yang Wajar
Terdapat dua point yang penting mendasari penentuan tarif royalti atau fee non-royalti
lainnya yang wajar:
(1)
Sebagaimana diutarakan di awal bab ini, penentuan tarif royalti atau fee non-royalti
lainnya erat terkait dengan imbal hasil atas investasi. Dengan demikian, suatu tarif royalti
atau fee non-royalti sering didasarkan pada logika ekonomi dengan menggunakan model
keuangan yang mengkaitkan dua hal secara langsung:
investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan HAKI atau barang tidak
berwujud tersebut, dan
pendapatan yang diharapkan akan dihasilkan oleh penggunaan HAKI atau barang
tidak berwujud tersebut.
(2)
Pada waktu pihak-pihak independen akan mengadakan suatu transaksi, kondisi dari
hubungan komersial dan keuangan masing-masing pihak (misalnya mengenai harga
barang yang akan dijual dan dibeli, jasa yang akan diberikan dan persyaratan dan kondisi
(terms & conditions) isi perjanjian) pada umumnya akan ditentukan oleh kekuatan pasar
eksternal. Namun pada waktu transaksi tersebut dilakukan antara pihak-pihak yang
13
Glen S. Newman, How Reasonable is Your Royalty?, September 2008, Richard J. Gering and Jeffrey N. Press.
www.futurumcorfinan.com
Page 20
mempunyai hubungan istimewa, hubungan komersial dan keuangan tidak akan secara
langsung dipengaruhi oleh kekuatan pasar eksternal dengan tingkatan yang sama seperti
transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Seberapa besar
perbedaan tersebut, inilah yang menjadi fokus fiskus.
Perlu dicatat bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa biasanya tetap
berusaha mereplikasi ke-dinamis-an dari kekuatan pasar eksternal pada waktu
menegosiasikan transaksi. Pihak fiskus tidak seharusnya secara otomatis
mengasumsikan bahwa pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa berusaha untuk
selalu memanipulasi laba mereka dari transaksi tersebut. Ada kemungkinan bahwa
memang ditemukan kesulitan untuk secara akurat menentukan harga pasar yang wajar,
pada saat kekuatan pasar eksternal sulit untuk dikuantifikasi atau bahkan tidak ada
(mengingat keunikan dari HAKI atau barang tidak berwujud) atau pada saat penggunaan
HAKI atau barang tidak berwujud tersebut membutuhkan penerapan strategi pemasaran
yang khusus.
Sebagai konsekuensi, pada saat menghitung tarif yang digunakan dalam transaksi antara
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, pihak fiskus akan menerapkan
pengujian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, dalam rangka mengubah nilai transaksi
menjadi apa yang disebut nilai wajar yang mengacu ke pasar.
OECD (2010) mengingatkan bahwa pada waktu penyesuaian tersebut dilakukan14:
It is important to bear in mind that the need to make adjustments to approximate arm's
length transactions arises irrespective of any contractual obligation undertaken by the
parties to pay a particular price or of any intention of the parties to minimize tax. Thus, a
tax adjustment under the arm's length principle would not affect the underlying contractual
obligations for non-tax purposes between the associated enterprises, and may be
appropriate even where there is no intent to minimize or avoid tax. The consideration of
transfer pricing should not be confused with the consideration of problems of tax fraud or
tax avoidance, even though transfer pricing policies may be used for such purposes.
(Catatan : kalimat yang digaris-bawahi dilakukan untuk keperluan penekanan).
14
OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administrations, July 2010, halaman 31.
www.futurumcorfinan.com
Page 21
Jadi dari dua hal di atas, ini berarti sangat relevan bahwa dalam dokumentasi Transfer
Pricing untuk melihat apakah tarif royalti atau fee non-royalti lainnya sudah menerapkan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah perusahaan memiliki rencana bisnis
(business plan) yang baik. Sungguh beralasan untuk mengasumsikan bahwa
perusahaan tentunya akan memiliki rencana bisnis yang baik sebagai basis untuk
memulai suatu negosiasi penentuan tarif dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa. Rencana bisnis di sini bukan berarti suatu laporan yang harus berpuluh-puluh
lembar halaman dipenuhi dengan berbagai gambar dan chart yang warna-warni, dan tidak
selalu harus disiapkan oleh pihak konsultan. Rencana bisnis yang baik tentunya rencana
bisnis yang cukup memadai untuk memungkinkan pengambil keputusan atau manajemen
perusahaan untuk melihat seluruh aspek baik faktor eksternal maupun internal, termasuk
resiko, dan dampaknya ke depan bagi masa depan perusahaan.
Dalam konteks perusahaan multi-nasional, seperti misalnya struktur di bawah ini, adanya
suatu rencana bisnis yang komprehensif tentunya dapat membantu pihak fiskus untuk
melihat apakah faktor-faktor kekuatan pasar eksternal telah menentukan penetapan tarif.
Adanya rencana bisnis dalam dokumen alternatif persyaratan dokumentasi Transfer
Pricing juga akan dapat melengkapi :
1. Analisa atas proyeksi laba (atau bahkan target profitabilitas perusahaan yang
dijadikan acuan/benchmark) versus laba aktual dalam suatu tahun.
Analisa tarif yang wajar (termasuk dokumentasi Transfer Pricing) pada umumnya
berfokus pada laba yang sesungguhnya diperoleh oleh wajib pajak dalam suatu
www.futurumcorfinan.com
Page 22
tahun fiscal. Hal ini tentunya juga menimbulkan permasalahan (bahkan sengketa
pajak dengan wajib pajak) mengingat keputusan penentuan tarif royalti atau fee
non-royalti adalah keputusan bisnis (business decision) yang pada umumnya
ditentukan pada waktu wajib pajak mengadakan suatu transaksi dengan baik pihak
yang mempunyai hubungan istimewa atau tidak. Keputusan bisnis sendiri
mengandung resiko, dimana laba yang diharapkan diperoleh pada suatu tahun
fiskal dapat tidak terealisasi, atau bahkan bergeser ke tahun-tahun fiskal
berikutnya. Apakah hal ini sudah dipertimbangkan pada awal tahun? Tampaknya
dokumentasi Transfer Pricing berdasarkan PER-43 tidak melihat hal ini sebagai
faktor yang penting untuk dipertimbangkan.
Di samping itu, rencana bisnis juga dapat mencakup target laba yang diharapkan
oleh perusahaan multi-nasional dari penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang
tidak berwujud lainnya, terlepas dari berapa tarif royalti atau fee non-royalti yang
akan disetujui.
Dalam rencana bisnis dan analisanya terhadap laba atau rugi yang terjadi selama
satu tahun fiskal atau dalam beberapa tahun fiskal , akan tercermin interaksi
antara laba yang diproyeksikan dengan laba atau rugi yang sesungguhnya terjadi
(projected vs. actual), informasi mana memberikan pemahaman yang lebih jauh
terhadap transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
2. Analisa atas karakteristik HAKI atau barang tidak berwujud tersebut.
Penggunaan atau manfaat dari HAKI atau barang tidak berwujud lainnya pada
umumnya berbeda dengan transfer antar-perusahaan yang membutuhkan
penilaian, di mana syarat dan kondisi penggunaan hak atau lisensi tersebut
ditentukan untuk periode waktu yang relatif lebih panjang, misalnya dibandingkan
dengan penjualan produk yang berwujud, penyediaan jasa dan lain-lain.
Mengingat jangka waktunya yang lebih panjang, maka mengkaitkan tarif royalti
apakah wajar atau tidak pada suatu tahun fiskal menjadi suatu yang dapat
diperdebatkan. Secara konseptual, tarif royalti atau fee non-royalti lainnya
selayaknya lebih dikaitkan dengan laba, penjualan atau metrik keuangan lainnya
yang bersifat proyeksi ke depan – alih-alih menggunakan hasil yang aktual.
Penggunaan pandangan yang sempit (narrow view) dengan hanya melihat hasil
aktual setiap tahun, tanpa mengkaitkan ke rencana bisnis dan hasil aktual
www.futurumcorfinan.com
Page 23
beberapa tahun, akan menciptakan tambahan resiko kepada wajib pajak, yaitu:
tarif royalti atau fee non-royalti dan jumlahnya dapat dianggap terlalu tinggi
oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan tarif pihak yang dijadikan acuan.
margin wajib pajak sesudah beban royalti atau fee non-royalti lainnya dapat
dianggap terlalu tinggi oleh pihak fiskus, dibandingkan dengan hasil pihak
yang dijadikan acuan.
Wajib pajak menderita rugi fiskal setelah beban royalti atau fee non-royalti
lainnya, yang dianggap oleh pihak fiskus, selayaknya, wajib pajak tidak
menderita rugi fiskal mengingat wajib pajak masih mampu membayar
royalti atau fee non-royalti kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
3. Analisa atas tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang dapat disesuaikan
(updated) secara periodik
Mengingat ke-dinamis-an lingkungan bisnis serta nilai HAKI atau barang tidak
berwujud dapat mengalami perubahan, analisa kesebandingan sendiri tidak
mengakomodasi kemungkinan perubahan tersebut tarif tersebut. Misalnya, kalau
tarif di negara lain tidak berubah, maka dengan menggunakan tarif yang tetap di
dalam negeri, secara PER-43, tentunya hal tersebut masih dianggap memenuhi
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Review atas rencana bisnis yang
disesuaikan secara periodik memungkinkan manajemen perusahaan/wajib pajak
untuk melihat keperluan untuk menegosiasikan ulang tarif royalti atau fee non-
royalti lainnya. Hal ini harusnya terjadi mengingat bahwa negosiasi selalu
dititikberatkan pada dampak dari faktor pasar eksternal – kalau tentunya transaksi
dilakukan dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Tarif royalti
atau fee non-royalti lainnya yang tidak pernah mengalami perubahan untuk
beberapa tahun fiskal tentunya menimbulkan pertanyaan.
Dengan demikian, penetapan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya yang wajar, tidak
harus selalu melibatkan proses analisa kesebandingan dan mencari perusahaan
pembanding. Keputusan tarif adalah keputusan bisnis semata, yang tentunya adalah
merupakan imbal hasil atas investasi. Dari sudut pandang perusahaan multi-nasional,
investasi yang dilakukan di setiap negara adalah merupakan portofolio asset mereka, dan
pengembalian investasi dalam HAKI atau barang tidak berwujud, diusahakan dapat
www.futurumcorfinan.com
Page 24
diperoleh dari pembayaran royalti atau fee non-royalti dari setiap negara. Dengan
demikian, metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti, terlepas apakah
menerapkan prinsip kewajaran atau kelaziman usaha, selayaknya diserahkan seluruhnya
kepada pihak wajib pajak dan pihak lain, baik yang mempunyai hubungan istimewa atau
tidak. Penentuan tarif tersebut dapat berdasarkan ketentuan 25%15, metode biaya-plus
atau bentuk-bentuk yang lainnya, seperti:
Royalti yang wajar = investment rate of return – fair or normal rate of return
Royalti yang wajar = interest cost of capital in the capital budgeting
Royalti yang wajar = royalti rate yang dihitung dikurangi faktor diskonto (misalnya
ditentukan 25% - 35% untuk faktor-faktor ekstraneous – sebagai contoh, seberapa
cepat, produk dapat dipasarkan dan menghasilkan pendapatan, ke-eksklusif-an
dari HAKI, feature produk yang kompetitif, pangsa pasar yang sudah ada dan
target ke depan, dan lain-lain).
Kesimpulan
Transaksi penentuan tarif royalti atau fee non-royalti lainnya antara wajib pajak dengan
pihak yang mempunyai hubungan istimewa maupun tidak, tentunya melibatkan negosiasi
yang didukung oleh rencana bisnis (business plan) dengan menggunakan bisnis model
perusahaan atau grup perusahaan multi-nasional. Negosiasi tersebut tentunya
dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar eksternal. Jadi tidak semata-mata meminta tarif royalti
yang serendah mungkin.
Penentuan tarif yang wajar termasuk proses negosiasi (akan tergambar sebagian dalam
rencana bisnis) tentunya harus memiliki substansi komersial, dimana sejauh mana arus
kas di masa mendatang diharapkan akan mengalami perubahan signifikan sebagai akibat
penggunaan HAKI atau pemanfaatan barang tidak berwujud tersebut. Analisa
kesebandingan untuk satu periode, tanpa melihat Rencana Bisnis, dan untuk beberapa
periode, tentunya tidak memberikan gambaran yang lengkap.
Metode penentuan tarif royalti atau fee non-royalti yang timbul dari penggunaan HAKI atau
pemanfaatan barang tidak berwujud dapat diserahkan seluruhnya kepada wajib pajak,
mengingat transaksi tersebut merupakan transaksi bisnis dan keputusan yang timbul
15
Lihat Russell L. Parr, Royalty Rates for Licensing Intellectual Property, 2007, John Wiley & Sons, USA, dan, Robert Feinschreiber, Transfer Pricing Methods – an Applications Guide, 2004, John Wiley & Sons, USA.
www.futurumcorfinan.com
Page 25
dengan pihak lain merupakan keputusan bisnis, yang pada umumnya ditetapkan pada
awal transaksi. Analisa kesebandingan pada hasil yang aktual kembali menjadi tidak
terlalu tepat.
Menutup bab ini, penulis ingin mengutip Stephen Albainy-Jenei (2005)16
I say that the “correct” royalty rate is the maximum royalty rate that the licensee is
willing to pay that meets the minimum royalty rate the licensor is willing to accept. If
you are only willing to pay 3% and the university will only accept 6%, then you’ll have no
deal (and I’d argue you shouldn’t!). Why front your capital on a business venture that you
can’t afford to pursue?
Considering that the total investment required for the development can be hundreds of
millions of dollars, in many cases only a small royalty rate is economically reasonable
depending upon the expected sales volume. If the expected sales volume doubles, the
reasonable royalty rate payable will likewise increase. However, as the amount of
investment capital increases, the maximum royalty rate payable to the university will
decrease. In that case, the range of reasonable royalty rates can easily vary from 1%-
12% (or even well outside this range) depending upon the expected sales.
In light of this, guide books of reasonable royalty rates don’t seem all that helpful.
~~~~~~ ####### ~~~~~~
16
Stephen Albainy-Jenei, What’s a Reasonable Royalty Rate?, 2005, http://www.patentbaristas.com/archives/2005/11/17/whats-a-reasonable-royalty-rate.
www.futurumcorfinan.com
Page 26
Disclaimer
This material was produced by and the opinions expressed are those of FUTURUM as of the date
of writing and are subject to change. The information and analysis contained in this publication
have been compiled or arrived at from sources believed to be reliable but FUTURUM does not
make any representation as to their accuracy or completeness and does not accept liability for any
loss arising from the use hereof. This material has been prepared for general informational
purposes only and is not intended to be relied upon as accounting, tax, or other professional
advice. Please refer to your advisors for specific advice.
This document may not be reproduced either in whole, or in part, without the written permission of
the authors and FUTURUM. For any questions or comments, please post it at