-
LAPORAN PENELITIAN
INVENTARISASI MOTIF TRADISIONAL BATIK GEDHOK TUBAN SEBAGAI
UPAYA PELESTARIAN KHASANAH TRADISI JAWA TIMUR
Tim Penyusun Penelitian Jurusan Seni Rupa
Ketua Tim Peneliti:
Drs. Bramantijo, M.Sn.
Anggota:
Totok Priyoleksono, M.Sn.
Alamsyah Sinaga, S.Sn.
Hari Prajitno, S.Sn.
Taufik Solehkhudin, S.Sn.
Tim Mahasiswa Pengumpul Data :
Sri Sefri
Habibullah
Minhatus Syaniyah
Agung Budianto
Novy Rosandy
Jurusan Seni Rupa
Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya
2014
-
ABSTRAK
Bramantijo, dkk. 2014. Inventarisasi Motif Tradisional Batik
Gedhok Tuban sebagai upaya Pelestarian Khasanah Tradisi Jawa Timur
Jurusan Seni Rupa, STK Wilwatikta Surabaya Salah satu penyebab
punahnya warisan budaya tradisional karena masyarakat penduduknya
mulai bergeser meninggalkan nilai-nilai tradisi dan menyesuaikan
diri menjadi masyarakat yang lebih modern. Warisan tradisi yang
bernilai tinggi sering tidak tersampaikan secara lengkap pada
generasi selanjutnya, karena sudah tidak ada lingkungan yang
memungkinkan proses belajar secara naluriah, juga tidak ada
dokumentasi yang dapat dipelajari dan diwarisi. Batik gedhok yang
akhir-akhir ini mulai populer dikhawatirkan akan mengalami hal yang
serupa, mengingat pesatnya usaha pembaharuan untuk menjaga
kelangsungannya. Saat ini banyak dijumpai motif pengembangan pada
batik gedhok yang diproduksi untuk mengimbangi persaingan di
pasaran dan motif tradisional yang kurang dapat mengimbangi usaha
persaingan mulai ditinggalkan. Keadaan seperti ini mempercepat
proses kepunahan motif tradisional, apalagi tidak ada usaha
inventarisasi dan pendokumentasian.
Penelitian, inventarisasi dan dokumentasi terhadap motif
tradisional batik gedhok Tuban ini bertujuan menginventarisasi dan
mendokumentasi ragam hias tradisional batik gedhok dengan
mendeskripsikan : (1) motif tradisional berdasarkan jenis motif
yang dipakai dan susunan motifnya, (2) produksi motif tradisional
ditinjau dari kepopuleran dan produksinya, dan (3) pengembangan
motif tradisional dan alasannya.
Sasaran utama penelitian ini adalah 23 motif tradisional batik
gedhok. Informan yang dipergunakan sebanyak 20 orang yang terdiri
dari para perajin batik dari desa Margorejo. Dari hasil penelitian
dapat dikemukakan bahwa adanya kaitan yang erat antara kepopuleran
suatu motif dengan produksinya sehingga timbul suatu kecenderungan
motif yang populer semakin ditingkatkan produksinya, sedang yang
kurang popular atau tidak populer produksinya semakin menurun atau
bahkan tidak diproduksi dan nyaris punah. Pengembangan terhadap
motif tradisional juga banyak diarahkan pada motif yang sudah
populer dan dinikmati konsumen.
iii
-
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah tim peneliti panjatkan ke hadirat Illahi
karena penelitian
dengan judul Inventarisasi Motif Tradisional Batik Gedhok Tuban
sebagai upaya
Pelestarian Khasanah Tradisi Jawa Timur ini telah dapat
diselesaikan.
Dalam penyelesaian penelitian ini berbagai pihak banyak
terlibat, sejak
perencanaan, pelaksanaan penelitian, dan penulisannya. Oleh
karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah banyak
membantu penulis
sehingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
Mudah-mudahan segala budi baik yang telah diberikan akan
memperoleh
balasan dari Allah SWT.
Peneliti menyadari sepenuhnya, bahwa penelitian ini tidak lepas
dari
kekurangan, oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca atau
penulis selanjutnya
sangat diharapkan demi kesempurnaan penelitian selanjutnya.
Besar harapan peneliti semoga hasil penelitian ini memiliki
menfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
Surabaya, Nopember 2014
iv
-
DAFTAR ISI
Halaman Judul
.......................................................................................................
Halaman Pengesahan
............................................................................................
Abstrak ..
Kata Pengantar ..
Daftar Isi ...
Daftar Gambar ..
i
ii
iii
iv
v
vii
BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN ..
1.1 Latar Belakang Masalah
...........................................................
1.2 Rumusan Masalah
.....................................................................
1.3 Tujuan Penelitian
......................................................................
1.4 Manfaat Penelitian
...............................................................
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
........................................................
1.6 Keterbatasan
Penelitian...........................................................
1.7 Metode
Penelitian....................................................................
LANDASAN TEORI
..........................................................................
2.1 Selintas Daerah Tuban dan Sentral Produksi Batik Gedhok
.....
2.2 Selintas tentang Batik
................................................................
2.3 Sejarah Batik di Indonesia
........................................................
2.4 Ragam Hias pada Peninggalan Benda-benda Sejarah
...............
2.5 Penciptaan Motif Batik
PROSES PEMBUATAN BATIK GEDHOK TUBAN...
3.1 Proses Pembuatan Batik Gedhok ..
3.2 Menenun ...
3.3 Membatikatik
3.4 Proses Pembuatan Warna Alam
3.5 Motif Batik Gedhok ...
3.6 Klasifikasi Ragam Hias Batik .
PEMAHAMAN PERAJIN DAN PEMAKNAAN MOTIF
4.1 Penganalan Motif dan Stategi Pengembangan
4.2 Susunan Motif Batik Gedhok
4.3 Pengenalan dan Produksi Motif Tradisional Batik Gedhok
1
1
3
4
4
5
6
6
12
12
14
14
16
17
21
21
23
25
35
38
38
40
40
45
68
v
-
vi
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran-saran .
84
84
86
DAFTAR PUSTAKA
...........................................................................................
88
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industri kerajinan merupakan salah satu usaha sehari-hari
penduduk di hampir
seluruh daerah pedesaan di Jawa Timur, serta menjadi sumber
penghidupan bagi
sebagian penduduk di wilayah perkotaan. Berbagai jenis bahan
alami dari lingkungan
sekitarnya diolah dengan daya kreativitas sehingga menjadi
bentuk yang layak menjadi
hiasan maupun berfungsi membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga
sehari-hari.
Tenun Batik Gedhok sebagai usaha industri kecil masyarakat
pedesaan di
Kabupaten Tuban, khususnya di Kecamatan Kerek telah menjadi
tumpuan penghidupan
masyarakat, selain berladang atau bertani. Ketrampilan menenun
dan membatik yang
diperoleh secara turun-temurun dengan peralatan yang sangat
sederhana diupayakan
tetap bertahan dan dapat mengikuti perkembangan zaman, sehingga
usaha tersebut tetap
dapat menopang kelangsungan hidup sehari-hari.
Arus modernisasi dan industrialisasi yang melanda Indonesia saat
ini di satu sisi
sangat bermanfaat bagi perkembangan industri tekstil termasuk di
dalamnya produksi
batik modern, di lain sisi berdampak kurang sehat terhadap
industri batik tradisional
sebagai produk kecil dari daerah atau industri rakyat. Menurut
pengamatan John Heskett
(1986 : 25), revolusi industri tidak hanya mengubah
kerajinan-kerajinan tradisional,
melainkan juga sejalan dengan meningkatnya pembaharuan teknik
telah melahirkan
beberapa industri baru yang menerapkan proses mekanisasi
produksi untuk
menghasilkan berbagai bentuk baru.
Mengingat hal tersebut layak bila kita perlu waspada dan selalu
mencari jalan
pemecahan agar modernisasi tetap berjalan tanpa mengabaikan
nilai-nilai yang telah
mentradisi di masyarakat. Tradisi merupakan kebiasaan yang turun
temurun dalam
sebuah masyarakat, ia merupakan kesadaran kolektif sebuah
masyarakat (Rendra, 1982 :
3). Nilai nilai yang telah mentradisi dalam kehidupan masyarakat
sangatlah kompleks,
-
2
sehingga sukar dipilah-pilah menjadi rincian yang pasti serta
dicari batasannya. Jadi
dengan demikian masyarakat sebagai pendukung suatu tradisi perlu
menyiapkan diri
menghadapi perubahan-perubahan yang sedang atau akan terjadi.
Perubahan-perubahan
tersebut dapat merubah pula sikap mental masyarakat terhadap
nilai-nilai dan produk
tradisi. Bila masyarakat mulai bergeser menuju kebentuk
masyarakat non-tradisional
atau tidak begitu tradisional, maka kesenian (karya-karya)
tradisional yang ada di
masyarakat sulit untuk bertahan (Umar Khayam, 1987 : 65).
Lunturnya nilai-nilai budaya tradisional ini jelas akan
menghambat proses
pelestarian dan pewarisan budaya saat terjadi alih generasi.
Penekanan pada pelestarian
budaya tradisional tidak berarti kita menutup diri dari
modernisasi dan industrialisasi.
Tenun Batik Gedhok sebagai batik tradisional daerah pesisiran
tentunya
dilingkupi oleh nilai-nilai tradisi pula. Hal ini tidak lepas
dari masyarakat yang sejak
awal menjadi pendukung dan penerus tradisi tersebut. Namun
demikian gesekan dengan
pola budaya baru lambat laun akan mempengaruhi pula kesetiaan
masyarakat terhadap
tradisi yang selama ini dipegangnya, sehingga mereka harus
merelakan apa-apa yang
selama ini dibanggakan harus tertinggal oleh zaman. Seperti yang
dikemukakan oleh
Umar Khayam (1987 : 58), bahwa tidak terlalu sulit membayangkan
kegelisahan
sekelompok pendukung warisan budaya itu, bila suatu ketika
sebagai suatu konsekuensi
dari kesediaan mereka untuk menerima kesetiaan yang lebih besar,
ia harus melepaskan
sebagian dari atau bahkan seluruh warisan itu.
Kegelisahan ini tampaknya juga dialami oleh sebagian pendukung
yang setia
dan mendambakan kelangsungan hidup Batik Gedhok, Disatu sisi
ingin
mempertahankan segala sesuatu yang telah mentradisi dan bersifat
tradisional, di lain
sisi mereka harus bersaing dengan produksi batik dari daerah
lain yang sudah mulai
mengikuti perkembangan teknologi serta selera pasar. Sehingga
kini mulai tampak
berbagai usaha untuk mengupayakan agar Batik Gedhok tetap dapat
hidup dan
mengikuti selera pasar walau harus mengutak-atik motif
tradisional untuk diwujudkan
dalam motif yang baru agar lebih menarik minat konsumen. Dan
hasilnya kini mulai
tampak, popularitasnya semakin meningkat.
Namun dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidup Tenun Batik
Gedhok
tersebut mereka sering kali lupa meninggalkan agenda yang berupa
catatan atau
-
3
dokumentasi terhadap segala sesuatu yang pernah dikerjakan dan
dimiliki yang nantinya
dapat dihayati dan dipelajari oleh generasi penerusnya.
Dari observasi pendahuluan yang peneliti lakukan di lokasi
penelitian, yaitu di
Desa Margorejo Kecamatan Kerek Kabupaten Tuban terhadap perajin
dan hasil
kerajinan berupa motif Tenun Batik Gedhok, ditemui beberapa
permasalahan,
diantaranya :1) sebagian besar motif batik yang diproduksi oleh
perajin adalah motif
pengembangan, 2) sejumlah motif tradisional yang dulu populer
dan banyak diproduksi
kini sudah jarang atau bahkan sudah tidak diproduksi lagi, 3)
sejumlah motif tradisional
yang ada pada Batik Gedhok terancam kepunahan dan sudah kurang
populer atau
dikenal sebagian besar perajin, 4) sebagian besar masyarakat dan
perajin tidak
memahami makna yang terkandung dalam motif Tenun Batik Gedhok
Tuban.
Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk
memperoleh data yang
berguna dan dapat membantu ke arah penyelamatan motif
tradisional melalui
penginventarisasian dan pendokumentasian serta pembahasan
melalui sumber teoritis.
Dengan langkah tersebut diharapkan generasi selanjutnya masih
dapat mengetahui dan
mempelajari motif tradisional serta diharapkan perkembangan
produksi motif
tradisional Tenun Batik Gedhok dapat segera diketahui guna
menentukan langkah-
langkah selanjutnya.
1.2 Rumusan MasaIah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, maka yang menjadi
masalah pokok
dalam penelitian ini adalah, INVENTARISASI MOTIF TRADISIONAL
BATIK
GEDHOK TUBAN SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KHASANAH TRADISI
JAWA TIMUR. Masalah pokok penelitian ini dapat dijabarkan
menjadi sub-masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana proses produksi Batik Gedhok di Tuban?
2. Motif tradisional apa saja yang terdapat pada batik gedhok
Tuban ?
3. Motif tradisional apa yang sudah tidak diproduksi dan kurang
dikenal oleh
masyarakat?
4. Bagaimana pemahaman para perajin batik gedhok terhadap ragam
motif yang
ada beserta pemaknaannya ?
-
4
-
5
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menginventarisasi motif
tradisional Batik
Gedhok Tuban serta memperoleh deskripsi secara mendalam tentang
motif tradisional
Batik Gedhok, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1. Memperoleh gambaran secara deskriptif proses produksi Tenun
Batik Gedhok
berdasarkan: pengenalan bahan dan alat, pemintalan, pembatikan,
pewarnaannya.
2. Memperoleh gambaran secara deskriptif ragam motif tradisional
Batik Gedhok
berdasarkan:
a) jenis motif ;
b) susunan motif pada pola ragam hias batik.
3. Memperoleh gambaran secara deskriptif produksi motif
tradisional, berdasarkan
kepopuleran motif ;
4. Memperoleh gambaran secara deskriptif pemaknaan tentang motif
tradisional Batik
Gedhok.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan memiliki manfaat yang cukup
penting, yaitu dari
segi teoritis dan dari segi praktis, yang masing-masing dapat
dijabarkan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Karena penelitian ini memaparkan klasifikasi motif tradisional
Batik Gedhok
dengan menggunakan beberapa sumber acuan tentang jenis-jenis
motif di Indonesia,
seperti dari Van Der Hoop ( 1949), Soegeng Toekio M (1987) dan
pengklasifikasian
sacara khusus terhadap ragam hias batik, seperti klasifikasi
dari Balai penyelidikan
Batik Yogyakarta (1964 : 11-14), Sewan Susanto (1973), LRKN-LIPI
(1986), Nian S
Djoemena (1986). Maka secara tidak langsung ciri-ciri motif
tradisional Batik Gedhok
ini mencari keterkaitan secara teoritis dan mempelajari
kemanfaatan motif dari sumber
yang ada terhadap motif Batik Gedhok. Apabila pada penelitian
ini ditemukan
penyimpangan-penyimpangan terhadap teori yang ada maka hasil
dari penelitian ini
-
6
dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyempurnakan teori yang
sudah ada, sehingga hasilnya dapat menjadi bahan pengetahuan
terhadap motif batik
yang ada di tanah air.
1.4.2 Manfaat Praktis
Sejalan dengan bahasan yang tercakup dalam penelitian ini
tentang inventarisasi
motif yang dipakai serta susunan dan pola motif yang di dalamnya
menyinggung
masalah penempatan motif sebagai motif pokok, pelengkap
pelengkap dan isen-isen
motif, maka memungkinkan dimanfaatkan sebagai bahan studi atau
dipakai sebagai
acuan dalam pengembangan disain motif Batik Gedhok. Karena
penelitian ini juga
membahas masalah pemaknaan motif Batik Gedhok tradisional maka
manfaat yang
cukup penting yang dapat dipetik diantaranya :
1) sebagai data inventarisasi dan sekaligus dokumentasi terhadap
motif Batik
Gedhok Tuban ;
2) dengan mengetahui jenis motif dan susunan motif maka dapat
dijadikan sarana
belajar bagi generasi selanjutnya, khususnya para pelajar di
kota Tuban;
3) dengan mengetahui perkembangan produksi ragam hias batik
tradisional
diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan
kebijaksanaan terhadap pengembangan dan pelestarian budaya
daerah oleh pihak
yang berkepentingan ;
4) dengan terdokumentasinya motif tradisional batik gedhok, maka
dapat menjadi
tambahan bahan studi tentang motif yang dapat dimanfaatkan bagi
kalangan
yang berkepentingan, khususnya perguruan tinggi.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang
ada pada
motif tradisional Batik Gedhok, dengan penekanan pada
inventarisasi motif tradisional.
Motif tradisional Batik Gedhok yang akan dinventarisasi
berjulmah 23 motif
berdasarkan keterangan lisan dari para informan yang telah
dipilih pada saat observasi
pendahuluan.
Sedangkan yang akan dibahas dalam pengenalan motif adalah:
-
7
1) pendataan terhadap kepopuleran suatu motif berdasarkan
pengenalan para informan
dan sumber pengenalannya;
2) Produksi terhadap motif batik yang pernah dilakukan para
informan;
3) Pendataan terhadap motif tradisional yang sudah tidak
diproduksi bahkan tidak
dikenal;
1.6 Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan yang berkaitan dengan penelitian ini
antara lain
keterbatasan dalam hal dana, waktu, luas wilayah penelitian,
ruang lingkup penelitian,
dan lain-lain diluar jangkauan peneliti. Keterbatasan itu antara
yang satu dengan lainnya
saling berkaitan dan mempengaruhi, sehingga berpengaruh juga
pada hasil penelitian.
Mengingat dana dan waktu yang ada pada penelitian ini sangat
terbatas jika
dibandingkan dengan penyebaran obyek yang dapat diteliti maka
ruang lingkup dan
wilayah penelitian terbatas pula. Ruang lingkup penelitian sudah
dikemukakan pada
bagian 1.5 dan wilayah penelitian dapat dikemukakan sebagai.
berikut :
1) tidak semua daerah penghasil Batik Gedhok di Tuban ditetapkan
sebagai
wilayah/lokasi penelitian, penelitian ini hanya dilaksanakan di
Kecamatan Kerek,
dengan pertimbangan Kecamatan Kerek memiliki jumlah perajin
terbesar dan
memiliki variasi ragam hias yang cukup banyak ;
2) dipilih 1 (satu) desa di kecamatan Kerek yang menjadi sentral
produksi batik
gedhok dan sudah mendapat pembinaan dari Depertemen
Perindustrian serta
memiliki kelompok perajin, yaitu Desa Margorejo.
1.7 Metode Penelitian
Pada bab ini akan dibicarakan tujuh pokok bahasan, 1) sasaran
penelitian, 2)
informan penelitian, 3) rancangan penelitian, 4) metode
penelitian, 5) instrumen peneliti
6) prosedur pengumpulan data, 7) analisis data.
1.7.1 Sasaran Penelitian
Seperti telah dikemukakan pada bagian 1.5 penelitian ini
menitikberatkan
pembahasan pada permasalahan inventarisasi motif tradisional
Batik Gedhok di
-
8
Kabupaten Tuban khususnya di Kecamatan Kerek. Batik Gedhok saat
ini sudah sangat
populer di kalangan masyarakat Tuban, namun hanya beberapa
kecamatan di Kabupaten
Tuban yang menjadi daerah penghasil Batik Gedhok, yaitu
Kecamatan Kota Tuban,
Kecamatan Semanding, dan Kecamatan Kerek. Dari ketiga kecamatan
tersebut,
Kecamatan Kerek yang menjadi sentral produksi Batik Gedhok,
karena daerah tersebut
memiliki jumlah perajin yang terbesar. Perajin Batik Gedhok di
Kecamatan Kerek
tersebar di beberapa desa, diantaranya Desa Gaji, Kedungrejo,
Margorejo, Karanglo,
dan Temayang. Namun yang dijadikan sasaran penelitian adalah
desa Margorejo, hal ini
didasari oleh beberapa pertimbang, yaitu : 1) desa tersebut
sudah memiliki kelompok
perajin yang terorganisasi cukup baik di bawah pembinaan
departemen Perindustrian, 2)
masih banyak perajin senior yang memiliki pengalaman yang cukup
dan mempunyai
wawasan yang luas tentang Batik Gedhok di daerahnya, 3) masih
cukup mudah digali
informasi tentang keberadaan motif tradisional Batik Gedhok.
Mengingat bahwa sasaran penelitian ini adalah motif batik dengan
penekanan
pada inventarisasi terhadap motif tradisional, maka hal-hal lain
di luar sasaran penelitian
dibatasi pembahasannya atau tidak disinggung sama sekali.
1.7.2 Informan Penelitian
Penelitian ini tentang inventarisisi dan rekonstruksi motif
tradisional Batik
Gedhok. Karena yang menjadi sasaran adalah motif tradisional
lama atau kuno, maka
kemungkinan sekali motif tersebut sudah kurang dikenal oleh
sebagian besar perajin
Batik Gedhok pada saat ini. Selain itu sebagian besar motif
tradisional yang ada belum
terdokumentasi dan terinventarisasi secara baik atau mungkin
sudah jarang diproduksi.
Hal ini dapat dibuktikan dengan belum adanya koleksi motif
tradisional Batik Gedhok
di Museum Kambang Putih Tuban atau di Departemen Perindustrian
Tuban. Oleh sebab
itu dibutuhkan informan yang dapat memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang
persoalan-persoalan dalam penelitian ini. informan adalah orang
yang dimanfaatkan
untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian. Jadi ia harus
mempunyai banyak pengalaman tentang latar penelitian (Moleong,
1989 : 97). Lebih
lanjut dijelaskan oleh Moleong (1989), seorang informan harus
memiliki sifat jujur, taat
pada janji, patuh pada peraturan, mudah berkomunikasi, tidak
termasuk salah satu
-
9
kelompok yang bertentangan dengan latar penelitian dan memiliki
pandangan tertentu
tentang sesuatu hal atau tentang peristiwa yang terjadi.
Informan ditentukan secara
purposive (purposive sampling) dan jumlahnya mengikuti
karakteristik elemen-elemen
yang ditemukan di lapangan.
Untuk memperoleh informan yang diharapaan dapat dilakukan dengan
cara : 1)
melalui keterangan orang yang berwenang, baik secara formal
(aparat pemerintah) atau
informal (tokoh masyarakat), 2) melalui wawancara pendahuluan
yang dilakukan oleh
peneliti. Sanapiah Faizal (1990 : 44-45) memberikan syarat
secara umum untuk
informan awal maupun lanjut : 1) mereka yang menguasai dan
memahami sesuatu
melalui proses enkulturasi, sehingga sesuatu itu bukan sekedar
diketahui tetapi juga
dihayati, 2) yang tergolong masih sedang berkecimpung atau
terlibat pada kegiatan yang
tengah diteliti, 3) mereka yang mempunyai kesempatan/waktu yang
memadahi untuk
dimintai informasi, 4) mereka yang tidak cenderung menyampaikan
informasi hasil
"kemasannya" sendiri, dan 5) mereka yang tergolong cukup asing
akan peneliti
sehingga lebih menggairahkan untuk dijadikan semacam guru atau
nara sumber.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang digunakan sebagai
persyaratan memilih
informan dalam penelitian ini adalah : 1) penduduk Kecamatan
Kerek yang masih aktif
membatik serta dipilih peneliti saat observasi pendahuluan, 2)
komunikatif, dan 3) dapat
mengungkapkan gagasan dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Jawa.
Dari ketiga persyaratan tersebut, peneliti menetapkan perajin
yang akan
dijadikan informan yaitu : 1) semua ketua kelompok perajin batik
gedhok dari desa-desa
yang menjadi wilayah penelitian, 2) perajin senior yang memiliki
pengalaman
membatik cukup lama dan rutin serta berwawasan luas tentang
batik gedhok dan
dijadikan panutan perajin lainnya (dalam pencariannya dibantu
ketua kelompok atau
tokoh formal atau informal).
Pemilihan para ketua kelompok pembatik ini diasumsikan bahwa
para ketua
kelompok sebagai perajin yang memiliki pengetahuan dan wawasan
terhadap apa yang
dilakukan anggota kelompoknya. Pemilihan perajin senior
diasumsikan bahwa mereka
selama kurun waktu yang cukup panjang sempat mengamati dan
mengikuti
perkembangan motif tradisional batik gedhok di daerahnya.
-
10
1.7.3 Metode Pengumpulan Data
Penelitian mengenai inventarisasi motif tradisional Batik Gedhok
dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh gambaran secara lebih jelas
tentang motif batik
berdasarkan jenis motif dan susunan motif dalam pola ragam hias
dengan mengacu pada
beberapa sumber rujukan tentang klasifikasi motif yang
selanjutnya akan diperoleh
gambaran motif secara visual serta deskripsinya.
Seperti telah dijelaskan pada bagian awal bahwa data yang
diperlukan pada
penelitian ini diperoleh sebagian dari informan, maka dari sini
secara implisit terlihat
salah satu metode yaang dipakai yaitu wawancara. Dan karena yang
jadi obyek utama
penelitian ini adalah motif tradisonal Batik Gedhok, maka metode
lain yang dipakai
yaitu observasi.
1. Metode Wawancara
Pemakaian metode wawancara ini dilakukan terhadap informan
bertujuan untuk
mengetahui kepopuleran suatu motif melalui pengenalan dan
produksinya, serta hal-hal
lainnya yang berkaitan dengan ragam hias tradisional Batik
Gedhok.
Wawancara ini dilakukan terhadap informan dengan pedoman pada
beberapa
arahan, yaitu :
a. wawancara dilakukan langsung di lokasi penelitian terhadap
informan yang telah
ditentukan ;
b. wawancara dilakukan dengan memakai bahasa yang komunikatif,
baik bahasa
Indonesia ataupun bahasa Jawa, tergantung pada penguasaan bahasa
informan dan
dilakukan oleh peneliti sendiri ;
c. wawancara dilakukan secara bebas terpimpin, yaitu dengan
mengajukan pertanyaan
tentang pokok-pokok permasalahan yang telah disusun sebelumnya,
dan informan
diberikan kebebasan dalam memberikan jawaban.
2. Metode Observasi
-
11
Pemakaian metode observasi ini bertujuan untuk mengetahui jenis
motif,
susunan motif pada pola ragam hias dan untuk meyakinkan
informasi yang telah
disampaikan informan pada saat wawancara.
Dalam melakukan observasi pada penelitian ini berpedoman pada
beberapa
arahan, yaitu :
a. observasi dilakukan langsung pada obyek yang diteliti ;
b. setiap obyek diteliti berdasarkan indikator yang telah
ditentukan pada instrumen
observasi;
c. apabila dalam observasi .ditemukan data yang tidak tercakup
dalam instrumen,
maka dilakukan pencatatan tersendiri
1.8 Analisis Data
Pada bagian ini dikemukakan 1) acuan yang digunakan untuk
menganalisis data
dan 2) teknik yang digunakan untuk menganalisis data yang
masing-masing akan
diuraikan sebagai berikut .
1. Acuan Analisis Data
Penelitian deskriptif bila memberikan fenomena yang muncul, maka
peneliti
perlu membandingkan dengan acuan yang ada. Acuan tersebut dapat
dijadikan kriteria
atau rujukan guna menentukan apakah fenomena mencapai acuan.
Bila peneliti tidak
menetapkan salah satu model analisis, maka peneliti wajib
menguraikan prosek analisis
(Soetopo, 1990: 10). Hasil inventarisasi motif yang
diklasifikasian berdasarkan jenis
motif yang menyusun ragam hias dan susunan motif pada pola ragam
hias yang
disesuaikan dengan acuan yang telah ditentukan sebelumnya. Oleh
karena penelitian ini
membahas motif batik, maka yang menjadi acuan adalah teori yang
membahas tentang
motif.
Acuan yang digunakan merupakan rujukan dari beberapa sumber
seperti Van
Der Hoop (1949), Balai Penyelidikan Batik Yogyakarta (1964),
Sewan Susanto (1973),
Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN)-Lembaga Ilmu
Pengetahuan
lndonesia (LIPI) ( 1981), Nian S DJoemena (1986), Soegeng Toekio
(1987) serta
sumber-sumber lain yang mendukung.
-
12
-
13
2. Prosedur Analisis
Prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk
mendeskripsikan motif
tradisional Batik Gedhok adalah sebagai berikut.
Analisis terhadap instrumen wawancara
a. Mempelajari seluruh data yang sudah terkumpul dari seluruh
informan.
b. Melakukan identifikasi terhadap semua jawaban untuk
dikelompokkan menurut
pokok permasalahannya.
c. Menyusun data yang sudah dalam kelompok untuk ditransfer
dalam matriks atau
table untuk memudahkan analisis.
d. Menguraikan data pada matriks dalam kalimat yang singkat dan
mudah dimengerti
atau dideskripsikan.
e. Melakukan analisis tiap-tiap faktor untuk mengarahkan pada
langkah kesimpulan.
Analisis terhadap instrument observasi
a. Mempelajari seluruh data yang sudah terkumpul dari
observasi.
b. Melakukan identifikasi terhadap hasil observasi untuk
dikelompokkan menurut
pokok permasalahannya.
c. Mendeskripsikan setiap motif sesuai dengan pokok permasalahan
yang telah di
tentukan.
d. Menganalisis motif secara keseluruhan berdasarkan deskripsi
yang tersusun dan
mengklasifikasikannya berdasarkan kelompok pokok
permasalahan.
e. Menyajikan hasil analisis untuk memudahkan penarikan
kesimpulan.
-
14
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini dikemukakan kerangka teori yang menjadi acuan
penelitian ini
serta konsep-konsep yang berkaitan dengan kondisi, lingkungan
penelitian, sejarah batik
dan motif batik, pengetahuan tentang motif batik, teori yang
melandasi klasifikasi motif,
dan selintas tentang motif tradisional batik gedhok Tuban. Untuk
lebih jelasnya dapat
diikuti pada uraian berikut.
2.1 Selintas Daerah Tuban dan Sentral, Produksi Batik Gedhok
Kabupaten Tuban termasuk wilayah Propinsi Jawa Timur yang
terletak paling
barat di tepi pantai utara, jarak kota Tuban dengan ibukota
propinsi +114 km. Di Jawa
Timur, Kabupaten Tuban termasuk daerah penghasil jagung, kacang
tanah, dan kapas
yang cukup besar.
Ditinjau dari letak geografis, menurut penelitian US Army pada
tahun 1944 yang
dikutip Salladien (1969: 10) kota Tuban memiliki letak
astronomis antara :
112o 4' 9" Bujur Timur - 112o 4' 4" Bujur Timur
6o 38' 51" Lintang Selatan - 6 o 59' 24" Lintang Selatan
Melihat kenyataan di atas, kota Tuban termasuk daerah beriklim
tropis dengan curah
hujan yang relatif rendah. Dalam arti bulan-bulan kering lebih
banyak dibandingkan
bulan-bulan basah
Daerah perkotaan terletak di tepi pantai utara dengan kondisi
wilayah sebelah
utara merupakan daerah pantai dan wilayah sebelah selatan
berbukit kapur. Karena
letaknya di tepi pantai utara, maka wilayah utara kota dapat
dikatakan sebagai sentral
perekonomian. Di sini lalu lintas antar propinsi
(Surabaya-Semarang) cukup lancar,
sehingga aktifitas perdagangan, pemerintahan, budaya dan
sebagainya banyak dilakukan
-
15
di wilayah utara ini. Mata pencaharian masyarakat kota juga
sangat bervariasi, mulai
dari pedagang, buruh, pegawai, nelayan dan juga perajin
batik.
Sedang wilayah sebelah selatan kota sebagian besar berupa
bukit-bukit,
tanahnya berwarna merah dan mengandung endapan kapur. Daerah
sebelah selatan ini
memiliki areal yang lebih luas dibandingkan wilayah sebelah
utara. Dengan kondisi
tanah yang berbukit dan mengadung endapan kapur, maka wilayah
selatan digolongkan
daerah yang kurang subur. Masyarakat di wilayah ini sebagian
besar sebagai peladang
dan buruh penggarap, sehingga bila ditinjau dari penghasilan
perkapita termasuk dalam
taraf rendah.
Demikian halnya dengan Kecamatan Kerek yang dijadikan sebagai
wilayah
penelitian ini. Kecamatan Kerek terletak +23 km sebelah barat
daya Kabupaten Tuban,
dikenal sebagai daerah gersang dan kering. Sebagian besar
lahannya berupa tegalan dan
hanya dapat ditanami kacang tanah, jagung, singkong, dan
sebagian kapas. Jangan
berharap padi dapat tumbuh subur di daerah ini, karena curah
hujannya sangat kecil. Di
daerah Kerek dan sekitarnya memiliki sistim pertanian tadah
hujan. Tetapi di daerah ini
justru tersimpan warisan budaya bernilai tinggi yaitu tenun dan
batik gedhok. Aktivitas
kerajinan tenun dan batik dilakukan sebagian besar wanita di
daerah ini untuk mengisi
waktu luang saat selesai musim garap, serta karena daerah
tersebut memiliki potensi
alam dan manusia yang memungkinkan dilakukannya aktivitas
tersebut. Menurut Umar
Khayam (1987: 314), suatu pranata lahir dari masyarakat karena
masyarakat
membutuhkan, la terbentuk dan lahir karena pengalamannya dan
potensi alamnya.
Pengalaman mengajarkan mereka untuk membangun media-media yang
akan menjadi
sasaran mencari maksud dan tujuan.
Di Kecamatan Kerek pembuatan tenun dan batik gedhok ini berpusat
di Desa
Gaji, Kedungrejo, Margorejo, Karanglo, dan Temayang. Belum ada
yang dapat
mengungkapkan riwayat pengembangan tenun dan batik gedhok di
Kecamatan Kerek
Kabupaten Tuban ini, yang jelas kerajinan ini merupakan warisan
turun-temurun yang
proses pengerjaannya banyak melibatkan kaum wanita mulai dari
anak-anak sampai
nenek-nenek.
-
16
2.2 Selintas Tentang Batik
Bangsa Indonesia telah lama mengenal adanya batik sebagai salah
satu corak
bahan sandang yang dipakainya guna menunjukkan ketinggian
peradaban dan
kepribadian bangsa. Bahan sandang itu bermacam-macam kegunaanya,
yaitu untuk
menutup sebagian anggota badan atau penghias rumah, contoh :
penutup kepala, baju,
kain panjang, kemben dan stagen.
Motif batik di Indonesia sangat banyak jumlahnya, mulai dari
yang sederhana
sampai yang sangat rumit dan memiliki nilai keindahan
tersendiri. Tiap Motif batik di
Indonesia mengandung falsafah yang dalam dan disesuaikan dengan
kegunaan batik
tersebut. Motif-motif batik itu memiliki motif yang diambil dari
perwujudan bentuk-
bentuk yang memiliki kesaktian, dimana bentuk aslinya sudah
diubah sedemikian rupa
sehingga bentuknya menjadi lebih indah. Contoh hal ini terdapat
pada motif semen,
udan riris, ceplok keci, parang rusak, dan kawung.
Di tiap-tiap daerah pembatikan di Indonesia corak dan perwujudan
motif batik
satu sama lain berbeda-beda dalam hal ini saling mempertahankan
tradisi, proses
teknologinya dan selera masing-masing. Corak dan motif batik
daerah-daerah itu
sampai kini masih kelihatan jelas unsur-unsur yang mempengaruhi
pertumbuhannya,
baik dari corak pewarnaan, susunan, penempatan motif dan isian
(pelengkap) pada
ragam hias batik. Dengan corak dan motif yang khas, membatik
dapat hidup tumbuh
dan berkembang sebagai kegiatan yang bersifat naluri dan sebagai
kegiatan untuk
melestarikan hidup. Hal ini terlihat karena daerah-daerah yang
menghasilkan batik
menunjukkan kemajuannya dalam membangun daerah dan memberikan
lapangan kerja
kepada masyarakat.
2.3 Sejarah Batik di Indonesia
-
17
Sejak jaman dahulu, batik telah menjadi bahan sandang
sehari-hari bagi bangsa
Indonesia. Batik merupakan gambaran pada bahan sandang dari
tenunan atau mori
dengan teknik batik dan pewarnaan dengan teknik pencelupan,
sehingga tidak tahan
disimpan sampai berpuluh-puluh tahun, apalagi berabad-abad. Maka
guna mengetahui
rentetan kejadian dalam masalah kegiatan seni kerajinan batik di
Indonesia sampai saat
ini agak mendapat kesulitan. Selain karena di zaman penjajahan
benda-benda
peninggalan sejarah banyak yang dibawa penjajah sebagai koleksi
museum di
negaranya. Khususnya museum dan istana kerajaan negeri Belanda
memiliki banyak
peninggalan dan buku sejarah, khususnya tentang batik di
Indonesia.
Dari beberapa penulisan, diantaranya (Tirtaamidjaja, 1966 dalam
LRKN-LIPI,
1986; Yudoseputro, 1986; Ila Keller, 1971) menyatakan bahwa
batik di Indonesia mulai
berkembang bersamaan dengan berkembangnya agama Hindu di
Indonesia. Pada saat
itu para seniman Indonesia yang belajar membuat benda-benda atau
barang keperluan
agama mendapat pula pengetahuan tentang batik di India. Pendapat
lain menyatakan
bahwa batik adalah asli Indonesia, dengan alasan bahwa teknik
dasar batik yaitu
menutup bagian-bagian kain yang tidak akan diberi warna dengan
lilin atau malam.
Teknik ini tidak hanya dikenal di daerah-daerah yang terkena
kebudayaaa Hindu saja
(Jawa dan Madura), tetapi juga dikenal di Toraja, Flores,
Halmahera, bahkan di Irian
(Tirtaamidjaja, 1966 dalam LRKN-LIPI, 1986 : 112-113).
Pada akhir abad 17 di Minahana Koromandel (India) berkembang
kegiatan
pembatikan dengan teknik lilin (waxresist technique), sehingga
merupakan hasil
kegiatan yang ekonomis (menjadi barang dagangan) dan merupakan
produk sandang
yang bernilai tinggi. Perkembangan batik di negara kita mencapai
kesempurnaan pada
abad 14-15. Adapun pengaruh luar yang terdapat pada batik
terjadi pada zaman kerajaan
Daha Kediri. Fungsi batik pada zaman itu belum menjadi barang
yang ekonomis, tetapi
baru merupakan barang-barang kepentingan kerajaan atau sebagai
perkakas untuk sang
Sakti. Setelah mereka mempunyai hubungan dagang yang luas dengan
negara lain maka
batik tidak hanya sebagai alat untuk sang Sakti melainkan sudah
merupakan barang
dagangan.
-
18
Kerajaan Kediri mempunyai hubungan dagang yang luas dengan
kerajaan
Sriwijaya, India, dan Tiongkok. Pada zaman ini seni kesusastraan
dan seni rupa
mengalami perkembangan yang amat pesat. Para seniman yang
belajar membuat benda-
benda keperluan agama Hindu di India, setelah kembali ke
Indonesia merupakan tenaga
penyuluh dan instruktur yang cakap dalam segi pembatikan.
Dilandasi dengan
kecakapan yang telah dimiliki para seniman Indonesia dalam segi
teknik pembatikan,
pewarnaan, dan pembuatan motif serta penyusunannya menjadi ragam
hias, maka
sebelum abad 17 batik di Indonesia mulai maju dan
berkembang.
Kemajuan yang dicapai sesudah abad ke 17 lebih pesat lagi,
malahan dari segi
mutu lebih tinggi baik pewarnaan, motif, dan susunan motif dalam
ragam hias
dibandingkan dengan batik dari India. Faktor yang mempengaruhi
mutu batik di
Indonesia adalah bahan campuran untuk lilin batik lebih
sempurna.
2.4 Ragam Hias pada Peninggalan Benda-benda Sejarah
Sebelum munculnya kerajaan Hindu Mataram di Jawa, banyak orang
India telah
datang ke Indonesia untuk berdagang, disamping menyebarkan agama
Hindu dan
kebudayaan. Hal ini jelas dapat dilihat dari ragam hias yang
terdapat pada patung di
candi Singsari, candi Lumpang, candi Dieng, candi Banon di
kompleks Borobudur dan
dari benda berupa gendering dari Sangeang Bima. Bangsa Indonesia
lebih kurang mulai
abad 9 telah membuat batik sebagai bahan sandang. Kegunaan batik
pada zaman itu
belum merupakan barang yang ekonomis melainkan hanya sebagai
peralatan
kelengkapan upacara keagamaan.
Temuan arkeologis berupa ragam hias yang terdapat bagian
patung
menunjukkan bahwa proses batik di Indonesia telah dikerjakan
sejak sebelum agama
Hindu datang di Indonesia. Ragam hias yang dipakai pada batik
telah ada sejak zaman
perunggu sampai dengan zaman kerajaan Islam di Indonesia, hal
ini terus berkembang
dan disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada serta sifat
dan kegunaannya.
Contoh pada zaman perunggu telah adanya genderang perunggu
dengan motif cecek
-
19
dan sawut, pada abad 9 telah ada patung yang menggambarkan Syiwa
dari gemuruh
Dieng memakai kain dengan ragam hias lereng, pada zaman kerajaan
Daha Kediri telah
ada patung yang berpakaian kain dengan ragam hias semacam
kawung.
Petunjuk di atas menggambarkan bahwa ragam hias yang dipakai di
Indonesia
tidak mengambil dari luar, tetapi merupakan hasil ciptaan bangsa
Indonesia sendiri.
Contohnya, di Indonesia terdapat ragam hias tumpal tetapi di
India tidak ada ragam hias
semacam itu.
2.5 Penciptaan Motif Batik
Ketrampilan membatik dikenal hampir di seluruh wilayah
Indonesia, sehingga memiliki
corak dan ragam hias yang sangat bervariasi. Variasi motif batik
di Indonesia sangat
ditentukan oleh kebudayaan etnik daerah serta pengaruh dari luar
daerah, termasuk
pengaruh kebudayaan asing. Seperti corak dan motif batik
pesisiran yang
memperlihatkan tanda-tanda pengaruh dari kebudayaan Cina, yang
tampak berbeda
dengan corak dan ragam hias batik Yogyakarta dan Solo
(Vorstenlanden). Antara kedua
kelompok tersebut memiliki ciri-ciri khas yang secara garis
besar dapat dijelaskan
sebagai berikut (Nian S Djoemena, 1986 : 7- 9).
1. Batik Yogyakarta-Solo (batik keraton) memiliki ciri-ciri
:
a. Motif bersifat simbolis dan berlatar kebudayaan Hindu-Jawa
;
b. warna : sogan, indigo (biru), hitam, dan putih.
2. Batik Pesisiran memiliki ciri-ciri :
a. Motif bersifat naturalistis dan pengaruh kebudayan asing
terlihat kuat;
b. warna : beraneka ragam (bervariasi).
Pada batik pesisir dari berbagai daerah tata warna dengan
komposisi warna biru-putih
(kelengan), merah-putih-hijau (bang-biru-ijo), merah-putih
(bang-bangan), merah-biru
(bang-biru) hampir selalu ada, tentu saja dengan perbedaan
nuansa warna menurut
selera daerah yang bersangkutan. Sebagai contoh, warna merah
dari pekalongan
-
20
bernuansa lebih cerah dan terang dibandingkan dengan warna merah
Indramayu yang
condong ke arah merah tua.
Dilihat dari segi ragam hias, tata warna serta gayanya, batik
pesisir yang paling
menonjol dan sekarang masih digemari, antara lain batik dari
daerah Indramayu,
Cirebon, Pekalongan, Lasem, Garut , Madura, dan Jambi. Antara
batik Solo-Yogyakarta
dengan batik pesisiran meskipun terdapat keragaman corak dan
motif yang
menunjukkan perbedaan, tidak berarti tidak ada keterkaitan atau
terlepas sama sekali,
namun sedikit banyak masih memiliki unsur-unsur yang mengarah
pada kesamaan yang
universal. Hal ini dapat dimaklumi karena setiap manusia pada
dasarnya dalam
mewujudkan kemampuannya selalu menyangkut tiga unsur pokok yang
merupakan satu
kebulatan, yaitu pikiran atau cipta, kemauan atau karsa, dan
rasa. Serta se1alu harus
ditunjang oleh tersedianya bahan. Maka tidak mengherankan bila
suatu hasil budaya
dari negeri satu dengan lainnya, pulau satu dengan lainnya, atau
dalam satu pulau
terdapat persamaan gaya. Seperti yang dikemukakan Yudoseputro
(1983: 151), gaya
seni kerajinan tidak selalu terbatas pada satu daerah atau
pulau, tetapi dalam pulau yang
sama bisa terdapat lebih satu gaya.
Di pulau Jawa saja dikenal berpuluh-puluh atau bahkan
beratus-ratus motif
batik. motif tersebut ada yang diciptakan dengan satu harapan
tertentu, misalnya : motif
batik sido mukti mempunyai garis-garis corak yang merupakan
pengungkapan harapan
agar pemakainya dapat mengalami hidup bahagia dan kecukupan atau
mukti
(Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 3, 1989 : 206 - 207).
Dalam budaya pakaian adat di pulau Jawa, terutama di lingkungan
keraton ada
motif batik tertentu yang terlarang bagi rakyat kebanyakan,
misalnya di lingkungan
sekitar keraton Yogyakarta dan Solo, misalnya motif batik parang
barong yang hanya
boleh dikenakan oleh raja dan pangeran, rakyat biasa dan orang
kaya sekalipun dilarang
mengenakannya. Pada zaman itu pelanggaran terhadap ketentuan
adat mendapatkan
sanksi, karena dianggap ingin menyamai kedudukan raja, Karena
motif diciptakan
dengan bentuk gambaran simbolis yang melambangkan harapan dan
doa, maka
pemakainya disesuaikan dengan isi perlambang itu. Misalnya kain
batik dengan motif
-
21
parang tidak boleh dikenakan oleh pengantin, pengantin harus
mengenakan kain dengan
motif sido mukti, sido luhur, sido mulyo, atau sido asih. Pada
upacara pernikahan, orang
tua pengantin baik laki-laki maupun perempuan mengenakan kain
batik dengan ragam
hias truntum, karena motif tersebut melambangkan tuntunan orang
tua pada anaknya,
sementara itu golongan orang tua lainnya selain orang tua
kandung pengantin
mengenakan kain batik dengan motif wirasat.
Ide penciptaan motif dan susunan motif yang membentuk suatu
ragam hias
sangat bervariasi sekali, mulai dari bentuk-bentuk geomtris
sampai ke bentuk-bentuk
non-geometris atau naturalis atau stilirisasi dari segala
sesuatu yang ada di alam dengan
pengerjaan yang berbeda-beda di tiap daerah.
Motif pada ragam hias batik biasanya dapat dipilah-pilah
menurut
penempatannya, seperti : 1) motif pokok, 2) motif pelengkap, 3)
isen-isen motif. Namun
demikian kehadiran suatu motif dalam membentuk suatu ragam hias
tidak harus terdiri
dari ketiganya, dapat hanya berupa motif pokok saja atau
bergabung dengan salah satu
unsur lainnya, susunan seperti ini biasanya ada pada ragam hias
geometris. Dalam
pembatikan dengan teknik cap biasanya isen-isen motif langsung
dikerjakan sendiri
oleh sipembatik, karena dia sudah tahu pasti dimana motif yang
harus diberi isen-isen
(terutama batik klasik dengan isen-isen cecek, sawut atau
cecek-sawut). Kekhususan
motif batik itu yaitu adanya cecek dan sawut (garis-garis yang
halus dan rajin) terdapat
pada gambaran-gambaran motif sebagai isen-isen guna memperindah
dan
menghidupkan motif batik itu (Murtihadi dan Mukminatun, 1979 :
4).
Penempatan motif sebagai motif pokok pada ragam hias batik
umumnya
dimaksud sebagai unsur yang diutamakan dan mengandung arti serta
menjiwai
perwujudan ragam hias batik secara keseluruhan. Sedang motif
pelengkap (tambahan)
merupakan pengisi bidang, sehingga ada keluwesan antara motif
pokok dengan motif
pengisi lainnya agar tampak lebih harmonis. Sebagai contoh ragam
hias batik semen
dimana motif pokoknya terdiri dari meru, pohon, burung, ular,
dan api. Sedang motif
pelengkap berupa daun-daun dan bunga-bunga. Motif utama/pokok
tersebut mempunyai
arti sebagai berikut :
-
22
1) meru, melambangkan gunung atau tanah yang disebut bumi ;
2) api atau lidah api, melambangkan nyala api atau geni;
3) ular atau naga, melambangkan air atau banyu/tirta;
4) burung, melambangkan angin atau maruta;
5) garuda atau lar garuda (sayap), melambangkan mahkota atau
penguasa tinggi
yaitu penguasa jagad dan isinya.
Keindahan visual dari perwujudan ragam hias yaitu dari segi
penempatan dan susunan
motif, tata warna yang harmonis. Keindahan filosofis yang
ditunjang keindahan
visualnya dapat menggambarkan sesuai dengan pegangan dan
pandangan hidup saat itu.
Karena sedikit banyak aspek-aspek kehidupan manusia sudah
tergambar dalam motif
tersebut.
-
23
BAB III
PROSES PEMBUATAN BATIK GEDHOK TUBAN
Batik gedhok Tuban, mempunyai ciri khusus yang jarang dijumpai
pada
kebanyakan kain batik, bahkan batik gedhok ini merupakan
satu-satunya batik yang
menggunakan kain jawa atau lawon sebagai bahan dasarnya.
Dinamakan batik gedhok
karena merupakan gabungan antara tenun dan batik (Bentara
Budaya, 1987 : 4). Alat
yang digunakan menenun disebut tenun gedhok atau tenm
gendong.
3.1 Proses Pembuatan Batik Gedhok
Proses pembuatan batik gedhok sebenarnya diawali dari proses
yang paling
awal, yaitu pembuatan kain tenun atau lawon sebagai bahan dasar,
baru dilanjutkan
proses pembatikan
1. Proses Pembuatan Kain Tenun Gedhog
Nama Gedhok adalah kain tenun yang berasal dari Tuban, juga
sekaligus nama
untuk hasil batiknya. Gedhok berasal dari suara dhok-dhok alat
tenun sederhana
ketika sedang digerakkan. Proses pembuatan kain tenun gedhok,
ada tiga proses yang
perlu dikuasai agar mendapatkan hasil yang bagus, yaitu proses
mengolah kapas (bibis),
pembuatan benang (memintal) dan proses merajut benang menjadi
selembar kain
(menenun).
2. Bibis
Tanaman kapas menghasilkan buah yang ketika masih muda
dibungkus
cangkang yang keras. Ketika matang, cangkang terbalah. Tampak di
dalamnya empat
penampan berisi gumpalan kapas berbiji. Bibis (mbibis) adalah
proses bembersikan
kapas, yaitu memisahkan biji dari kapas, atau sebaliknya. Proses
ini dilakukan sebelum
kapas siap dijadikan benang. Tapi sebelum proses ini lakukan,
langkah pertama dalam
mengolah kapas adalah menjemur gumpalan yang sudah di keluarkan
dari cangkannya.
-
Kapas yang sudah kering, diambil dari penjemuran. Setelah itu
kapas dipisahkan
dari diji-bijinya dengan menggunakan alat gilingan. Yaitu
menarik kapas ke celah
sempit antara dua kayu, sehingga biji-bijinya tertinggal. Kapas
yang sudah bersih dan
agak padat, kemudian diurai dengan alat berbentuk busur (alat:
sendeng) dan digulung
sampai mencapai konsistensi yang pas untuk dipintal (alat:
pusoh).
Gambar: Kapas yang sudah dipisahkan dari bijinya
3. Pintal
Kapas yang sudah bersih dari biji-bijiya dan tergulung akan siap
di pintal
menggunakan roda pintal (jantra). Helai demi helai serat kapas
dari gulungan akan
terkumpul pada batang bambu pendek (kisi), yang berputar karena
tali yang
menghubungkannya dengan gerakan roda pintal. Setelah kisi ini
penuh, maka diganti
dengan kisi yang masih kosong. Begitu seterusnya, sampai
helai-helai benang yang
dihasilkan ini cukup untuk menenun selembar kain.
Setelah itu, benang tadi dipindahkan dengan digulung di sebuah
alat yang
berbentuk bingkai kayu (alat: likasan). Hasil gulungan benang
ini disebut tukel benang,
siap dicuci, tiadak atau diberi warna, dan dikasih kanji supaya
kuat dan tidak kusut.
Tukel benang, setelah dicuci dan dijemur, diurai lagi pada
kerangk kayu (ingan) dan
pada akhirnya dipindahkan ke kumparan untuk pakan dan gulungan
untuk lungsi.
Di Desa Kedungrejo, proses tersebut di atas, biasanya dikerjakan
oleh nenek dan
cucu perempuannya, sekaligus menurunkan keahliannya. Sementara
memasang benang
lungsi ke alat tenun (maneni) biasanya dikerjakan oleh perempuan
yang lebih dewasa,
di bawah pengawasan ibu mereka yang lebih berpengalaman. Tapi
sekaraang ini,
24
-
kegiatan memintal dilakukan anak-anak perempuan sepulang
sekolah, di antara aktifitas
mengerjakan PR dan membantu ibu merekan mengurus rumah
tangga.
Gambar: Dua jantra yang ada di Sanggar Batik H.M. Sholeh
3.2. Menenun
Pekerjaan menenun merupakan pekerjaan yang membutuhkan
ketelatenan serta
tenaga yang tidak sedikit. Seorang penenun dapat mengerjakan
paling panjang 2 meter
dalam sehari jika tidak mengalami gangguan dalam pengerjaannya,
sebab biasanya
setiap saat harus berhenti untuk mengurusi kebutuhan rumah
tangga, karena biasanya
memang sebagai kerja sambilan wanita di desa.
Memasang benang lungsi (maneni) ke alat tenun ini sebenarnya
adalah tugas
seorang perempuan yang sudah menikah. Namun sekarang ini karena
usia menikah
makin bertambah, maka untuk kain yang bukan diperuntukkan
sebagai perangkat
upacaya tradisional, tugas ini bisa juga dilakukan oleh
perempuan yang sudah akil balik.
Dibutuhkan pengalaman yang cukup banyak untuk menyelesaikan
pekerjaan ini dengan
baik. Biasanya satu atau dua orang akan ikut membantu, duduk
berhadapan denganalat
tenun dan memasukkan benang satu demi satu, dari satu ujung ke
ujung lainnya, bolak-
balik sepanjang alat tenun, sampai selesai.
Alat tenun gedhog adalah alat tenun yang tidak permanen, bisa
dipindahkan
kapan dan ke mana saja, biasanya diletakkan di lantai. Komponen
alat ini sangat
25
-
sederhana, hanya terdiri dari apit, suri, liro, gun, usek,
gligen, gedheg, dan por yang
menjepit si penenun dengan apit terhubung tali sumbi di kedua
sisinya. Gedheg
dipasang sebagai penahan di ujung alat tenun sekaligus sebagai
gulungan benang
lungsi, sedangkan apit merupakan tempat gulungan bagian yang
telah ditenun. Seiring
dengan proses menenun, gulungan benang lungsi di gebheg, sedikit
demi sedikit dibuka
sementara bagian yang telah ditenun digulung di apit. Adanya
suri di ujung alat tenun
menandakan kain yang dikerjakan bukanlah berbentuk selongsong
dengan lungsi
bersinambung, melainkan selembar kain yang ujungnya tidak
bertemu, artinya
berbentuk persegi.
Di daerah Kerek kapas ini dapat dibeli di pasar Kerek saat hari
pasaran yaitu hari
Senin atau Jumat. Kemudian kapas ini dikeringkan serta diurai
baru setelah kering
diantih atau dipintal menjadi benang dengan alat yang namanya
ingan. Setelah
dirasa cukup panjang benang yang dihasilkan digulung dalam
jantra hingga menjadi
gulungan benang yang siap ditenun. Sebelum ditenun benang
dilumuri kanji supaya
padat dan tidak mudah putus.
Pada tahap berikutnya adalah nyucuk atau memasukkan benang
satu-persatu
pada suri atau sisir yang terbuat dari bambu sepanjang 60 cm
atau 90 cm, kemudian
memasang benang tersebut pada alat tenun gedhok. Setelah lusi
terpasang kemudian
alat yang disebut teropong diisi benang (pakan). Pakan ini
kemudian ditenunkan
sehingga terbentuk anyaman atau tenunan benang sedikit demi
sedikit membentuk
lembaran kain. Untuk merapatkan pakan yang satu dengan lainnya
benang pakan
digedhok dengan bambu panjang yang disebut blero atau balero
26
-
27
Gambar: Alat tenun gedhog
Ukuran kain tenun ini ada dua macam, yaitu untuk sayut atau
selendang
berukuran lebar 52 cm - 60 cm, sedang untuk kain jarit berukuran
lebar 90 cm dan
panjangnya dapat mencapai 250 cm - 270 cm. Setelah selesai
ditenun kain tersebut
lalu dilepas dari alat tenun. Untuk sayut masih harus dikerjakan
lagi bagian atas dan
bawahnya yaitu dengan merenda sisa-sisa benang lusi menjadi
hiasan berupa rumbai-
rumbai, caranya dengan dipintal membentuk segi tiga atau segi
empat kecil, baru
kemudian sayut siap dibatik.
Ada beberapa hasil tenun yang khusus disiapkan untuk motif
tertentu pada batik
gedhok, yaitu tenun jenis jangan menir dan kedele kecer untuk
motif batik cuken,
satriyan, kijing miring, dan jenis tenun krompol untuk motif
batik krompol. Tenun
tersebut terdapat garis-garis yang membentuk kotak-kotak
kecil.
3.3. Membatik
Dalam proses pembatikan batik gedhok tidak jauh dengan proses
pembatikan
pada kain mori seperti di daerah-daerah lain. Hanya saja para
perajin batik gedhok
dalam menggambarkan motif-motif secara langsung tanpa memerlukan
sketsa atau
gambar pembantu dengan pensil, sebab gambaran motif sudah
dihafal di luar kepala.
Pengerjaannya dimulai dari tepi terus berkembang memenuhi semua
kain dengan
motif-motif yang dikehendaki.
Keunikan batik gedhok ini adalah warna cecekannya berwarna
gelap, tidak
seperti warna cecekan pada batik tulis dari daerah lain yang
biasanya warna
cecekannya putih kain (warna dasar). Hal ini karena batik gedhok
ini tidak
menggunakan canting cecek, tetapi menggunakan duri jeruk untuk
menusuk kain yang
sudah ditutup malam, sehingga bekas tusukan kemasukan zat warna,
maka membekas
menjadi cecekan yang berwarna gelap.
Setelah selesai menggambarkan motif pada kain, kemudian kain
dicelup untuk
diberikan warna. Ada dua cara dalam pewarnaan, yaitu cara
tradisional dengan
-
28
menggunakan nila (merah), soga (coklat), dan wedel (biru atau
hitam) atau dengan
menggunakan pewarna kimiawi seperti naptol, indigo. Proses
pewarnaan dengan
pewarna tradisional jauh lebih sulit, lama dan harus sering
membersihkan untuk
kemudian direndam kembali. Kualitas pewarna tradisional jauh
lebih kuat
dibandingkan dengan pewarna kimia, hal ini dapat dibuktikan dari
hasil pembatikan
yang sudah berusia lebih dari 70 tahun tetapi masih belum
kusam.
Batik gedhok biasanya tidak mengutamakan banyak warna,
kebanyakan jumlah
warna yang digunakan hanya dua yaitu biru dan merah tua, jika
ada yang tiga warna
itupun hanya pada batik tertentu saja, malah banyak ditemukan
batik dengan satu
warna, misalnya biru atau merah saja.
Lebih lanjut proses pembatikan dapat dijelaskan sebagai berikut
: Sebelum
memulai kerja kretif (membatik), pembatik harus menyiapkan
tempat dan beberapa
bahan dan alat, di antaranya yaitu:
1). Kain
Kain yang akan ditorehkan corak hias bisa putih polos, berwarna
atau lurik
(bercorak gatis-garis) yang sudah siap. Untuk mempersiapkan dan
membersikan
biasanya dilakukan tahap yang disebut Ngetel, tahap perendaman
kain untuk
menghilangkan kanji atau kotoran-kotoran yang menempel dan
setelah itu
dijemur di bawah matahari.
2). Malam
Warna malam yang biasa disiapkan disesuaikan dengan jenis kain
dan jenis
pengerjaan. Untuk jenis kain sutra biasanya memakai malam putih.
Biasanya
dua warna untuk membedakan Ngengreng/ lengreng dengan isen-isen
agar tidak
terjadi kelewatan.
-
Gambar: Persediaan malam di Sanggar Batik H.M. Sholeh
3). Canting
Canting adalah alat khusus untuk menggambar motif batik di atas
kain yang
berisi cairan lilin atau malam panas untuk membuat motif atau
menutup bagian-
bagian tertentu sesuai dengan pola yang dibuat.
Gambar: Canting
Di Sanggar Batik H.M. Sholeh, setiap pembatik diharuskan
punya
canting sendiri-sendiri. Canting yang dimiliki para pembatik
bisa lebih dari lima,
karena tiap jenis pekerjaan akan membedakan pula jenis
cantingnya, juga
berbeda untuk setiap jenis kain yang dibatik.
29
-
4). Kompor
Biasanya kompor kecil karena lebih mudah untuk mengatur suhu
malam yang
diinginkan atau kompor listrik. Tapi di Sanggar Batik H.M.
Sholeh, walaupun
pernah dapat bantuan kompor listrik, tidak ada yang mau
memakainya karena
terkadang bisa menyengat.
5). Wajan
Karena mengunakan kompor kecil, wajan yang dipakai sebagai
tempat untuk
memanaskan malam (mencairkan) pun berukuran kecil. Wajan yang
dipakai
seperti wajan yang biasa dipakai oleh penjual serabih.
Gambar: Dari kiri, wajan yang berisi malam, kompor dan 3
canting
6). Korek api
Korek api yang biasa dipakai adalah korek batang. Korek jenis
itu dianggap
lebih efisien, karena digesekkan dan nyala, bisa langsung
dipakai untuk
menyulut sumbu-sumbu kompor.
7). Minyak tanah
Sebagai bahan bakar kompor.
8). Gawangan
Terbuat dari kayu, bertuknya seperti gawang, berfungsi sebagai
tempat untuk
menyampirkan kain, baik yang ingin dibatik maupun yang sudah
selesai proses
pembatikan.
9). Tempat atau ruang untuk membatik
Tempat yang cukup luas dalam proses ini harus tersedia.
30
-
3.3.1. Pembatikan
Setelah semua bahan dan alat juga tempat sudah di siapkan,
barulah memulai
proses penting dalam seni batik, yaitu penorehan corak hias pada
kain. Berikut adalah
tahap-tahap membatik:
a. Ngengreng/ lengreng
Adalah proses menorehkan pola corak pada kain dengan menggunakan
canting
yang berisi cairan malam. Untuk pemula, biasanya pola corak
digambar terlebih dahulu
pada kain yang akan dibatik. Sedangkan untuk yang berpengalaman,
mereka langsung
menggambar kain sesuai dengan ingatan. Dan kalau ingin
menghasilkan pola corak
yang hampir sama, biasanya menumpuk kain polos di atas kain
batik yang sudah atau
berpola, kemudian menggambarnya dengan mengikuti pola corak kain
yang ada
dibaliknya.
Selain itu, mengetahui karakter kain dan peka pada suhu malam
juga harus
dimiliki. Missal untuk kain tenun gedhog, malam yang terlalu tua
(panas tinggi) akan
membuat malam yang ditorehkan merembes lebar dan kalau enom
(kurang panas) tidak
bisa tembus pada sisi satunya. Dan tingkat suhu panas malam yang
akan ditorehkan,
setiap jenis kain akan berbeda.
Gambar: Pembatik sedang nglengreng
b. Ngiseni
Pemberian isen-isen pada bagian dalam pola corak atau di luar
pola, berfungsi
sebagai pelengkap, biasanya berbentuk kecil dan sederhana,
misalnya titik-titik, garis.
31
-
Isen yang masih berkembang sampai saat ini antara lain adalah
cecek-cecek, cecek pitu,
sisik melik, cecek sawut, cecek sawut daun, herangan, sisik,
gringsing, sawut, galaran,
rambutan dan rawan, sirapan, cacah gori.
32
Gambar: Remaja perempuan yang sedang memberi isen-isen
c. Nerusi
Ini biasanya harus dilakukan karena kain yang dibatik terlalu
tebal sehingga
malam tidak sepenuh merembes pada sisi baliknya. Nerusi adalah
membalik kain dan
membatik sesuai dengan pola corak yang sama dengan sisi yang
sudah dibatik.
Walaupun proses ini tergolong lebih mudah, tapi tetap butuh
ketepatan untuk
menghasilkan garis-garis di kedua sisi bisa sama persis. Untuk
kain jenis sutra, mori,
atau yang tipis lainnya, proses ini tidakdiperlukan karena malam
bisa merembes dan
akan menghasilkan pola corak sama di kedua sisi.
d. Nemboki
Yaitu menutup semua pola corak yang tidak akan ikut diwarnai
melalui tahap
pewarnaan pertama dengan malam tebal. Proses ini tergolong yang
paling mudah dan
biasanya dilakukan oleh pembatik pemula atau anak-anak. Dan
sesuai dengan rujukan,
tahap pertama ini disebut pembatikan. Walaupun tergolong muda,
menurut pembatik
profesional, nemboki corak hias yang rumit dan kecil-kecil juga
dibutuhkan ketelatenan
dan ketelitian. Karena sering juga terjadi kelewatan, yaitu
masih ada bagian-bagian
yang belum ditembok dan ini akan merusak corak seusai
pewarnaan.
-
33
Gambar: Nemboki
e. Pembabaran
Setelah tahap pembatikan, tahap-tahap berikutnya adalah tahap
penyelesaian
pembabaran. Tahap ini merupakan tahap pewarnaan pada kain yang
sudah diberi pola
corak.
1). Persiapan
Untuk melakukan proses pembabaran, ada beberapa hal penting yang
harus
disiapkan, di antaranya adalah:
a). Ruang
Untuk proses pembabaran dibutuhkan tempat yang jauh lebih
luas
dibandingkan tempat untuk proses pembatikan. Tempat yang harus
disediakan, di
antanya yaitu:
1) Tempat untuk pewarnaan (nyelup dan nyolet)
2) Tempat untuk menyimpan bahan pewarna
3) Tempat untuk merendam (warna alam indigo)
4) Tempat untuk ngetus
5) Tempat untuk merebus
6) Tempat untuk membuang air sisa rebusan (untuk endapan
malam)
7) Tempat untuk mencuci
8) Tempat untuk menjemur
b). Alat
Alat yang harus disiapkan, di antaranya:
1) Kuas dan tempat cairan pewarna (biasanya gelas-gelas plastik)
untuk nyolet
-
34
2) Bak celup (glondongan)
3) Tungku pembakaran
4) Drum atau panci besar untuk merebus (nglorot)
5) Bak untuk mencuci
6) Sampiran (tempat untuk menjemur)
c). Bahan
Bahan yang perlu disediakan untuk proses pembabaran, yaitu:
1) Pewarna (alam atau sistetis)
2) Bahan bakar
3) Air
1. Pengerjaan Pewarnaan
Di workshop Batik Tulis Tenun Gedhog H.M. Sholeh ada dua cara
pewarnaan,
yaitu dengan menggunakan pewarna alam dan pewarna sistetis. Dan
di tempat itu ada
dua teknik mewarnai, yaitu:
a. Nyelup
Ini adalah awal dimulainya tahap pembabaran, yaitu menyelupkan
kain yang
sudah di tembok (pembatika) dalam warna yang (kadang) bisa
berulang-ulang selama
berhari-hari sampai mendapatkan nada warna yang diinginkan.
Untuk pewarnaan yang
menggunakan warna alam, proses pencelupan ini akan lebih lama
dibandingkan
pewarna sistetis.
Proses dibutuhkan orang yang sudah perpengalaman di bidang
pewarnaan
(pencampuran warna) dan juga untuk mngerjaannya. Karena hasil
(warna) akan
menentukan keelokan motif (keserasian).
b. Nyolet
Nyolet adalah teknik mewarnai pola cocak dengan cara langsung
menorehkan
warna pada kain, dengan menggunakan kuas. Jika memang terlalu
banyak warna yang
diingikan dan pola corak yang rumit, pewarnaan teknik ini bisa
dilakukan tanpa harus
menutup (nemboki) pola corak sperti pada tahap pembatikan di
atas. Atau dengan kata
lain, bisa langsung memberikan warna pada kain yang sudah di
diberikan pola dan atau
sebelum diberi isen-isen.
-
Pada pewarnaan teknik ini nyolet, warna yang biasa dipakai
adalah pewarna
sintetis (indigosol dan remazol), kerena proses penyerapannya
(warna) ke kain lebih
cepat dibanding memakai pewarna alam yang harus, direndam,
direbus dan harus
mengulang tahap-tahap untuk warna kedua dan seterusnya.
Gambar: Mewarnai teknik membalurkan warna sistetis (remazol)
dengan kuas
Gambar: Proses mengikat warna dengan lautan waterglass (untuk
pewarna remazol
Setelah pengikatan, kain dimasukkan ke kolam yang berisi air.
Diinjak-injak
dengan maksud untuk membersihkan cairan sisa warna sistetis
(remazol dan waterglass)
yang ada di kain.
35
-
Gambar: Ibu Ami sedang menginja-injak kain yang baru saja
dicelup
Setelah kain dibersikan dari sisa warna bekas pencelupan dan
pengikatan,
barulah kemudian dilakukan penjemuran yang disebut ngetus.
Gambar: Ngetos
Setelah kain meneteskan air (hampir kering), kain dimasukkan ke
dalam drum
yang berisi air mendidih. Ini bertujuan untuk melepaskan malam
dari kain, proses ini
disebut nglorot. Kain yang usai melalui tahap ini, kemudian
dicuci untuk membersikan
sisa-sisa malam yang masih menempel. Setelah bersih, kain akan
langsung dijemur di
bawah terik matahari. Kain kering, lalu diambil, dilipat,
dikemas dan dipasarkan. Jika
masih harus melakukan pewarnaan kedua atau berikutnya, kain yang
sudah dicuci
bersih tidak langsung dijemur di bawah terik matahari. Melainkan
kain dijemur di
tempat yang teduh sampai kering dan lalu tahap-tahap di atas
diulang lagi, yaitu mulai
dari memberi isen-isen, nembok i, sampai nglorot.
36
-
Gambar: Nglorot
Gambar: Mencuci kain yang telah direbus (ngorot)
3.4. Proses Pembuatan Warna Alam
Pohon Tom (indigo) merupakan bahan dasar untuk membuat warna
biru (nila).
Proses mengolahan bahan ini cukup sederhana, tetapi sangat
sensitif. Untuk kemudian,
dari pohon indigo tersebut diolah menjadi bentuk pasta nila yang
bisa digunakan dan
disimpan dalam jangka waktu yang lama.
Pohon Tom diambil sebelum matahari terbit, lalu langsung
direndam semalam
dalam bejana besar dengan air yang didapat dari telaga Luwuk,
Kedungrejo. Air dari
dari telaga tersebut dianggap yang paling bagus, karena kualitas
air yang buruk dapat
mengganggu proses fermintasi. Keesokan paginya, bejana disaring,
airnya diolah lagi
37
-
38
dan ampas endapannya digunakan sebagai pupuk hijau. Air tom yang
telah disaring
ditambahkan gamping (kapur) dan kemudian dikebur sambil terus
membuang busa yang
timbul. Proses mengebur ini bisa sampai sejam, kegiatan ini
biasa dilakukan oleh laki-
laki.
Setelah adonan tom-kapur tidak berbusa, diendapkan lagi. Sore
harinya, cairan ini
disaring lagi dengan cara menutup sebuah lubang yang digali
dengan kain kasa. Cairan
ditumpahkan ke atas kain kasa, sehingga endapan terkumpul,
sementara air yang
terbuang mererap dalam tanah. Dan endapan inilah, pasta tom yang
digunakan untuk
mewarnai. Untuk menyimpannya, pasta ini bisa dimasukkan kaleng
atau kantong plastic
dan siap digunakan setiap saat.
Proses menggukan pasta indigo untuk mewarnai kain adalah sebagai
berikut: pasta
dicampur air, gamping dan gula kelapa. Setelah diaduk sampai
rata, didiamkan
semalam. Keesokan harinya sebelum matahari terbit, kain dicelup,
direndam lima belas
menit, kemudian dijemur ketempat tetuh sampai kering. Proses
akan diulang untuk bisa
menghasilkan warna biru yang diharapkan. Dan untuk menghasilkan
warna biru tua,
cairan tom tersebut bisa ditambahkan akar pohon ketapang.
Untuk membuat warna merah bata, ada dua resep yang bisa
digunakan. Pertama:
Mencampurkan bubuk kayu tegeran (Cudrania javanensis), sogo
jambal (Peltophorum
ferrugineum), dan kulit kayu tinggi (Ceriops candolleana),
dilarutkan dengan air dan
direbus. Untuk mendapatkan merah yang agak terang bisa
ditambahkan kapur, tawas
untuk merah sedang, dan tunjung untuk merah agak tua.
Kedua: Dengan merebus kayu tegeran, tunjung, serpihan kayu
mahoni, dan kulit
kayu tinggi sehingga tinggal separuh rebusan yang tertinggal.
Hasil rebusan dari kedua
resep tersebut di atas bisa langsung dibalurkan pada kain yang
setelah itu direndam
dalam air rebusan yang sama.
Dan untuk menghasilkan warna kuning, bisa merendam kayu tegeran
semalam,
lalu keesokan paginya direbus sampai kental. Saring kemudian
ditambahkan tawas.
-
Gambar: Daun tom atau tumbuham indigovero
Gambar: Persediaan pasta indigo
Gambar: Menjemur kulit pohon kajaran/ jaranan
39
-
40
3.5. Motif Batik Gedhok
Motif atau gambaran yang menghiasi kain batik gedhok cukup
banyak
jumlahnya, antara lain : kembang waluh, jemprakan, asem londo,
galaran, wal-awil,
ganggeng, guntingan, krompol, cuken, dan lain-lain. Sayut pada
batik gedhok biasanya
menggunakan ragam hias kembang waluh, guntingan, jemprakan, asem
londo, wal-
awil. Sedangkan kain panjangnya banyak menggunakan ragam hias
kembang waluh,
ganggeng, satriyan, krompol, cuken, kijing miring, dan kenongo
uleren. Disamping
ragam hias tradisional tersebut, saat ini banyak kita jumpai
ragam hias baru yang
dikarang para perajin, seperti ragam hias untuk taplak, bantalan
kursi, dan bahkan ada
ragam hias dengan lambang KB (Bentara Budaya, 1987 : 5).
Di Kabupaten Tuban penyebaran kerajinan batik gedhok ini ada di
beberapa
kecamatan, seperti kecamatan kota Tuban di Desa Sumur Gung Dukuh
Bongkol, di
Kecamatan Semanding di Desa Mbejagung, dan di Kecamatan Kerek
sebagai
sentralnya di Desa Gaji, Kedungrejo, Margorejo, Karanglo, dan
Temayang. Motif
batik gedhok dari daerah Bongkol mempunyai kemiripan dengan
motif batik dari
daerah Kerek, khususnya dalam penggunaan jenis motif
daun-daunan, bunga dan
burung, yang membedakan hanyalah corak warnanya, batik dari
Bongkol biasanya
berwarna kuning gading pada latarnya, sedang batik Kerek
warnanya lebih bersih
(putih). Hampir semua bahan dasar berupa lawon (kain tenun) yang
dibatik di
kabupaten Tuban berasal dari Kecamatan Kerek, khususnya dari
Desa Gaji sebab desa
tersebut juga merupakan sentral produksi tenun gedhok.
3.6. Klasifikasi Ragam Hias Batik
Mengingat banyaknya ragam hias batik di Indonesia dengan variasi
corak dan
perwujudan motifnya serta pengaruh budaya pada masing-masing
ragam hias menarik
minat para ahli ragam hias untuk dianalisis menurut
spesifikasinya menjadi suatu
klasifikasi yang dapat memudahkan dalam mempelajarinya.
-
41
Dari beberapa sumber dapat dikemukakan beberapa klasifikasi
ragam hias yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, diantaranya :
1. Van Der Hoop, (1949), secara umum mengklasifikasikan ragam
hias di Indonesia
menjadi, a) ragam hias ilmu ukur, b) ragam hias naturalis dalam
urutan ilmu hayat
dari atas ke bawah, jadi mula-mula manusia dan bagian-bagian
tubuh manusia,
kemudian hewan yang lebih tinggi, lalu hewan yang lebih rendah,
tanaman, dan
akhirnya beberapa ragam hias yang tidak dapat dimasukkan dalam
salah satu
golongan tadi.
Dari penggolongan Van Der Hoop di atas lebih lanjut dapat
diuraikan sebagai
berikut.
a. Ragam hias ilmu ukur atau geometris, terdiri dari tumpal,
pilin, parang, banji
(meander, swastika, kait, dan kunci), kawung, dan pola kertas
tempel.
b. Ragam hias naturalis atau non-geometris, diantaranya :
1) manusia dan bagian-bagiannya, termasuk yang sudah distilir,
seperti bagian
dari wajah (mata, hidung, telinga, dsb), topeng, wayang;
2) hewan yang lebih tinggi atau hewan bersayap termasuk yang
sudah distilir,
seperti burung (phoniks, merak, nuri, ayam, garuda, atau lar
garuda, dsb),
kupu-kupu ;
3) hewan yang lebih rendah dan hewan darat termasuk yang sudah
digubah,
seperti kerbau, gajah, singa, kuda, ular, kadal, biawak, udang,
kerang;
4) tanaman atau gubahannya, seperti daun, bunga, buah,
sulur-suluran, lung-
lungan, ranting, dan juga jenis tanaman air ;
5) ragam hias yang tidak termasuk klasifikasi di atas, seperti
gunung, awan, api,
bulan, matahari, ombak, lidah api, batu karang, dsb.
-
42
BAB IV
PEMAHAMAN PERAJIN DAN PEMAKNAAN MOTIF BATIK GEDHOK
Pendekatan informal peneliti terhadap perajin saat tanya-jawab
dengan perajin
sambil melakukan aktivitas bekerja membatik, diperoleh gambaran
bahwa secara
implisit perajin mengerti motif batik gedhok, karena perajin
bisa menggambarkan
kembali tentang motif yang pernah ia lakukan. Disisi lain
perajin tidak memahami
terhadap ragam motif yang telah diproduksinya, karena yang
mereka ketahui adalah ada
beberapa motif yang laris di pasaran. Perajin juga tidak bisa
menjawab pemaknaan
motif-motif yang ada, yang mereka ketahui adalah nama-nama motif
itu ada di sekitar
lingkungannya, misalnya: Motif Kembang Jeruk, Kembang Randu,
Kemiri Kopong,
Uleren, Kopi Pecah, Kembang Klawuh, Kembang Waluh, Asem Londo,
Manuk
Jemprak, Manuk Guntingan, Manuk Emprit, bahwa nama motif
tersebut adalah identik
dengan tumbuhan dan binatang yang ada di daerah Tuban.
Keberadaan Tenun Batik Gedhok ditinjau dari historis, maka
secara filosofi
Tenun Batik Gedhok digunakan sebagai tanda mata atau bawaan
dalam acara adat
lamaran yang disebut seserahan (menyerahkan barang bawaan calon
pengantin laki-laki
yang melamar kepada calon pengantin perempuan), jika lamaran
laki-laki tersebut
diterima, maka pengantin perempuan juga membalas dengan batik
yang bermotif
lainnya. Pada masa modern ini, masyarakat sudah tidak lagi
menggunakan Tenun Batik
Gedhok sebagai barang bawaan pada acara lamaran pengantin.
4.1. Pengenalan Motif dan Startegi Pengembangan
Kesamaan startegi pengembangan motif serta pengetahuan dan
pemahaman
para pembatik di sentra pembatikan milik H. M. Sholeh dan Ibu
Nanik (sebagai sampel
penelitian) , antara lain:
-
43
1. Keduanya senantiasa sama-sama melakukan revitalisasi/
pembaharuan motif
karena berhubungan dengan peningkatan omset penjualan.
2. Proses yang digunakan pada Tenun Batik Gedhok didominasi
menggunakan
proses pewarnaan secara kimia, sebagai alasan mengejar target
pemesan karena
dapat dikerjakan dengan waktu lebih singkat, sedangkan
penggunaan pewarna
alami memerlukan waktu yang lama (warna satu dalam pewarna
alam
memerlukan waktu satu minggu).
3. Rata-tara pengetahuan dan pemahaman para pembatik terhadap
motif tradisional
batik gedhok sangat terbatas. Pengenalan hanya sebatas pada nama
dan
perkitaan gambaran motif, bahkan banyak pula yang mereka tidak
mengenalnya.
-
44
TABEL I
Data Pengenalan Motif Tradisional Batik Gedhok di sentra
pembatikan milik H. M. Sholeh dan Ibu Nanik
No Nama Motif
Batik
Sentra Pembatikan H.M. Sholeh Sentra Pembatikan Ibu Nanik
AdaTdk
AdaKeterangan Pengrajin Ada
Tdk
AdaKeterangan Pengrajin
1. Cuken Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
2. Satriyan Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
3. Kijing Miring Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
4. Krompol Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
5. Wal-awil Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
6. Rengganis Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
-
45
7. Gringsing Tidak dikenali Tidak dikenali
8. Kembang Jeruk Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
9. Kembang Randu Tidak memproduksi, tapi mengenali
motif
Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
10. Kemiri Kopong Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
11. Kopi Pecah Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
12. Panji Krentil Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
13 Panji Serong Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
Hanya diproduksi apabila ada
pesanan
14. Panji Konang Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan
sering diproduksi
15. Panji Ori Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering
diproduksi
16. Ganggeng Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering
diproduksi
17. Ganggeng
Klabang Mlaku Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan sering
diproduksi
18. Gedang Secengkeh Motif tidak dikenali oleh pengrajin Motif
tidak dikenali oleh pengrajin
-
46
19. Kembang Kluweh Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan
sering diproduksi
20. Kembang Waluh Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan
sering diproduksi
21. Dampung Pokak Motif tidak dikenali oleh pengrajin Motif
tidak dikenali oleh pengrajin
22. Asem Londo Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan
sering diproduksi
23. Manuk Jemprak Dikenali dan sering diproduksi Dikenali dan
sering diproduksi
-
4.2. Susunan Motif Batik Gedhok
Pada bagian ini akan diuraian tentang susunan motif beserta
bagian-
bagiannya, yaitu motif pokok, motif pelengkap dan isen-isen
motif, sebagai berikut:
1. Motif Cuken
Batik gedhok dengan motif cuken terdiri dari susunan motif
yang
tersusun mengikuti garis horisontal dan vertikal membentuk suatu
pola. Dalam
satu raport terdapat sebuah motif pokok yang ditempatkan dalam
kurungan yang
tersusun dari cecekan dan sekaligus menjadi penghubung antara
raport yang
satu dengan lainnya. Motif pokok cuken berbentuk menyerupai
kitiran (baling-
baling) yang tersusun dari empat bidang segi tiga dan
masing-masing segi tiga
tersusun dari cecekan (cecek enam atau cecek sepuluh). Motif ini
tidak memiliki
motif pelengkap dan isen-isen.
Motif disusun dengan mengikuti pola pada motif tenun jangan
menir atau
kedele kecer.
Gbr. Motif Cuken
2. Motif Satriyan
47
-
Batik gedhok dengan motif satriyan terdiri dari susunan motif
yang
tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Tiga
motif pokok
terletak pada sebuah raport masing-masing tersusun dari cecekan
(cecek songo)
membentuk bujur sangkar. Bila melihat ragam hias secara
keseluruhan tampak
seperti susunan bujur sangkar yang berselang seling (Bali :
poleng) dan saling
bersinggungan. Motif ini disusun dengan mengikuti pola pada
motif tenun
"jangan menir atau kedele kecer". Motif ini tidak memiliki motif
pokok dan
isen-isen.
Gbr. Motif Satriyan
48
-
3. Motif Kijing Miring
Batik gedhok dengan motif kijing miring terdiri dari susunan
motif yang
tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif
pokok tersusun
dari cecekan (cecek sepuluh) dan antara motif pokok yang satu
dengan yang
lainnya tersusun saling bersinggungan. Motif ini memiliki motif
yang disusun
mengikuti pola pada ragam tenun jangan menir atau kedele kecer.
Motif ini
tidak memiliki motif pelengkap dan isen-isen motif.
Gbr. Motif Kijing Miring
49
-
4. Motif Krompol
Batik gedhok dengan motif krompol terdiri dari susunan motif
yang
tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Dalam
satu raport
terdiri motif pokok yang tersusun dari cecekan (cecek songo)
membentuk suatu
bujur sangkar yang ditempatkan dalam suatu kurungan yang
tersusun tidak
bersinggungan atau berkaitan serta penyusunannya mengikuti pola
pada motif
tenun krompol. Motif ini tidak memiliki motif pelengkap dan
isen-isen.
Gbr. Motif Krompol
50
-
5. Motif Wal-awil
Batik gedhok motif wal-awil tersusun dari motif mengikuti garis
diagonal
membentuk suatu pola. Motif pokok yang terletak pada satu raport
tersusun dari
dua buah motif banji (meander : T) yang saling berkaitan. Motif
ini memiliki
motif pelengkap dari jenis motif tumbuhan dan hewan yang
ditempatkan pada
lingkaran-lingkaram kecil seperti pada motif ceplok.
Gbr. Motif Wal-awil
6. Motif Rengganis
51
-
Batik dengan motif rengganis memiliki susunan motif yang
tersusun mengikuti
garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok yang terletak
pada satu
raport dari jenis motif ceplok berupa kitiran mubeng
(baling-naling berputar)
yang ditempatkan dalam kurungan berbentuk segi empat dan
disetiap sudut
kurungan terdapat bidang segi empat yang tersusun dari cecekan
(cecek songo),
kurungan tersebut sekaligus sebagai penghubung antara raport
yang satu dengan
lainnya. Di dalam motif pokok terdapat isen-isen yang berupa
lintangan dan
upan-upan.
Gbr. Motif Rengganis
7. Motif Gringsing
52
-
Batik gedhok dengan motif gringsing terdiri dari susunan motif
yang
disusun mengikuti garis horisontal dan vertical membentuk suatu
pola. Motif
pokok dari jenis motif ceplok berupa bidang segi dua belas yang
di dalamnya
terdapat isen-isen cecekan yang disusun mengikuti bentuk motif
pokok dan di
dalam susunan tersebut terdapat isen-isen lintangan dan cecek
papat. Disekitar
motif pokok terdapat motif pelengkap dari jenis motif ceplok
pula dan
bentuknya lebih kecil dari motif pokok berbentuk segi enam yang
sisinya tidak
sama serta bidang menyerupai segi empat yang terangkai dari
delapan buah
garis setengah lingkaran. Motif pelengkap yang lebih kecil lagi
berupa bidang
segi empat, bentuk daun, waru dan lingkaran yang di dalam tiap
motif
pelengkap terdapat isen-isen berupa cecekan yang tersusun
mengikuti bentuk
motif dan lintangan. Latar pada motif ini dipenuhi oleh cecekan
yang disusun
mengikuti garis-garis lurus.
Gbr. Motif Gringsing
8. Motif Kembang Jeruk
53
-
Batik gedhok dengan motif kembang jeruk memiliki motif yang
tersusun
mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok
yang
terletak pada satu raport jenis motif ceplok yang merupakan
gubahan
dari kembang jeruk. Antara motif pokok yang satu dengan lainnya
tidak
saling bersinggungan atau berkaitan. Motif pelengkap pada ragam
hias
ini jenis motif ceplok berupa gubahan bentuk bunga dan cecek
pitu.
Gbr. Motif Kembang Jeruk
9. Motif Kembang Randu
54
-
Batik gedhok dengan motif kembang randu terdiri dari susunan
motif yang
tersusun mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif
pokok pada
motif ini dari jenis motif ceplok yang merupakan gubahan kembang
randu dan
saling berkaitan dengan motif pelengkap dari jenis ceplok dengan
isen-isen
cecek pitu, lintangan dan angina-angin. Motif pelengkap lainnya
jenis banji
(meander : T). Dalam raport motif pelengkap yang berupa ceplok
terpotong
oleh garis tepi raport dan akan tampak jelas/utuh jika raport
tersebut saling
dihubungkan.
Gbr. Motif Kembang Randu
10. Motif Kemiri Kopong
55
-
Batik gedhok dengan motif kemiri kopong terdiri dari susunan
motif
yang mengikuti garis horisontal dan vertikal membentuk suatu
pola. Motif
pokok yang terletak dalam satu raport sejenis motif ceplok
berbentuk lingkaran
yang tersusun dari cecekan dengan isen-isen sawut dan lintangan
yang
ditempatkan dalam kurungan. Motif pelengkap ragam hias ini jenis
motif ceplok
yang terbentuk dari rangkaian 12 garis setengah lingkaran dengan
isen-isen
lintangan dan angin-angin. Motif pelengkap dalam satu raport
akan tampak
lebih jelas setelah raport tersebut disusun, karena motif
pelengkap tersebut
susunannya terpotong oleh garis tepi raport.
Gbr. Motif Kemiri Kopong
11. Ragam Hias Kopi Pecah
56
-
Batik gedhok dengan motif kopi pecah terdiri dari susunan motif
yang
mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok dari
jenis motif
ceplok berupa susunan gubahan biji kopi yang disusun saling
bersinggungan.
Disekitar motif pokok terdapat motif pelengkap berupa cecek
pitu, lintangan
dan angin-angin. Dalam satu raport angin-angin ini terpotong
oleh garis tepi
raport dan akan tampak utuh setelah masing-masing raport
disusun.
Gbr. Motif Kopi Pecah
12. Motif Panji Krentil
57
-
Batik gedhok dengan motif panji krentil terdiri dari susunan
motif yang
mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok dari
jenis ceplok
berupa gubahan bentuk bunga dengan motif pelengkap berupa cecek
pitu,
angin-angin dan ceplikan. Dalam satu raport motif pelengkap
jenis angina-
angin dan ceplikan terpotong oleh garis tepi raport dan akan
tampak utuh
setelah masing-masing raport utuh.
Gbr. Motif Panji Krentil
13. Motif Panji Serong
58
-
Batik gedhok dengan motif panji serong terdiri susunan motif
yang
mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Motif pokok dari
jenis motif
ceplok berupa gubahan bunga berkelopak empat dengan isen-isen
berupa cecek
pitu dan angin-angin. Disekitar motif pokok terdapat motif
pelengkap jenis
motif banji (meander : T) dan cecek pitu yang ditempatkan dalam
kurungan
bersilang. Dalam satu raport motif pelengkap yang berupa
kurungan dengan
cecek pitu terpotong oleh garis tepi raport, akan tampak utuh
setelah masing-
masing raport disusun.
Gbr. Motif Panji Serong
14. Motif Panji Konang
59
-
Batik gedhok dengan motif panji konang terdiri dari susunan
motif yang
mengikuti garis horisontal dan vertical membentuk suatu pola.
Motif pokok dari
jenis motif ceplok berupa segi dua puluh empat yang disetiap
sudut luarnya
terdapat upan-upan dan didalamnya terdapat isen-isen jenis
lintangan, angin-
angin dan kurungan rangkap. Motif ini memiliki motif pelengkap
jenis motif
ceplok yang lebih kecil (ceplik'an) dan lintangan. Motif
pelengkap ini akan
tampak utuh setelah raport yang satu dengan yang lainnya saling
disusun atau
dihubungkan, sebab kedudukan motif ini terpotong oleh garis tepi
raport.
Gbr. Motif Panji Konang
15. Motif Panji Ori
60
-
Batik gedhok dengan motif panji ori terdiri dari susunan motif
yang
mengikuti garis diagonal membentuk suatu pola. Dalam satu raport
terdapat
motif pokok dari jenis moti